Part #102 : Yang penting ini hari bahagia

Bobi dan Amira menjalani semua prosesi pernikahan dengan adat kraton Jawa masa zaman kuno itu dengan segala macam pernak-pernik dan langgamnya. Semuanya berjalan dengan syahdu dan agung karena punya nuansa kekuasaan yang tak akan didapat dari EO wedding manapun. Tentu karena memang Bobi alias Lord Purgatory punya titel maharaja di depan namanya. Pernikahan agung di alam lelembut, alam lapisan tertentu di luasnya Alas Purwo, dengan segala kekuasaan yang dimiliki Lord Purgatory tentunya harus begini tarafnya.

Bobi dan Amira saling tersenyum bahagia telah disatukan dengan ikatan sakral ini. Tak ada yang bisa memisahkan mereka berdua lagi. Sang pandita yang memimpin upacara penyatuan dua insan ini telah selesai membacakan doa-doanya, air suci sudah dikibas-kibaskan ke sekujur tubuh kedua pengantin itu. Kini saatnya, keduanya bersanding di pelaminan yang merupakan singgasana kebesaran Lord Purgatory yang merupakan maharaja kerajaan ini. Raja diraja yang sekaligus menguasai berbagai macam kerajaan lain.

Para tetamu yang hadir di paseban agung itu ikut bersuka cita akan kebahagiaan maharaja mereka yang telah menyelesaikan urutan prosesi agung penyempurnaan dirinya. Seorang maharaja harus memiliki maharatu, tentunya. Makanan dan minuman beredar di kalangan tamu. Hiburan berupa dua lusinan penari wanita cantik berlenggak lenggok menarik perhatian seirama dengan suara denting gamelan dan gendang. Riuh suara gembira yang hadir saat menikmati suguhan makanan dan hiburan.

Begitu penuhnya tempt ini oleh beberapa macam mahluk ghaib tak dirasakan Amira dan bu Grace. Keduanya seperti diberi mantra-mantra khusus hingga netra mereka seperti melihat manusia saja layaknya. Padahal aslinya astajim… bisa berak mencret dari semua lubang kayaknya mereka berdua kalau bisa melihat tampilan asli para tetamu undangan pernikahan ini. Bobi yang dirasuki Lord Purgatory tentunya tenang-tenang saja karena mereka yang hadir adalah bawahan dan koleganya semua.

“Panjang umur untuk maharaja dan maharatu…” satu mahluk yang duduk paling depan bersorak memberi selamat, ia mengangkat tempat minumnya. Sorakannya disambut sorakan senada dari tetamu lainnya hingga paseban agung ini menjadi demikian meriahnya oleh suara-suara bermacam ragam. Dari musik, suara teriakan, lengkingan. Bahkan ada suara ringkikan segala. Untungnya di semua indra dua manusia yang hadir di kejadian meriah itu, semuanya diredam dan dinormalkan…

Gending hiburan terus berkumandang, bergema di paseban agung tempat jamuan pernikahan maharaja dan maharatu kerajaan Alas Purwo berlangsung meriah. Sorak sorai, gelak tawa, cengkrama perbincangan terus berlanjut. Makanan dan minuman terus beredar dengan lancar agar memuaskan semua hadirin yang datang dari kalangan dekat ataupun kenalan jauh. Semakin lama semakin banyak tetamu undangan yang datang layaknya pesta pernikahan di dunia nyata saja. Hanya saja tamu yang sudah ada tidak kunjung beranjak dari tempatnya hingga tamu baru hanya menambah jumlah yang telah ada. Tak ayal pesta pernikahan ini semakin meriah hingga di luar paseban agung.

“Sayaaang…” bisik Amira pada suaminya yang duduk dengan bangga menatap para hadirin undangan yang telah menyempatkan diri datang ke pestanya. “Banyak banget ini undangannya… Apa sayang kenal semua itu orang-orang? Temanmu kok banyak banget, sih?”

“Ya tentu banyak, dong Amira sayang… Mereka ini semua undangan dari dekat dan jauh… Semuanya adalah raja dan sekaligus bawahanku di kerajaan ini… Dari ujung Barat sampai Timur… Dari Utara hingga Selatan semua memenuhi undanganku… Berani-berani mereka tidak hadir… mereka pasti tau apa akibatnya…” jawab Bobi tertawa-tawa senang melihat patuh datang banyaknya undangan seperti yang diharapkannya. “Biar menikmati meriahnya pesta pernikahan kita ini…”

“Kamu ini loh berlebih-lebihan… Biayanya ini gimana nantinya? Apalagi nanti kita akan resepsi lagi sehabis pemberkatan gereja, loh…” Amira mengingatkannya akan pembicaraan mereka sebelumnya.

“Itu kamu tidak usah khawatir sayang… Beres kok semuanya… Nikmati saja pesta ini…” bisik Bobi semesra mungkin agar semua hadirin dapat melihat kedekatan dirinya dengan sang maharatu. “Apalagi malam pengantin kita nanti… He he he hehehehe…” lanjutnya sambil menjawil dagu ranum sang istri terkasih yang hanya senyum-senyum malu dikulum tapi mau.

Ibu Bobi, bu Grace juga menikmati semua prosesi hingga acara puncak ini. Ia terpesona karena di usianya yang sudah tua ini, ia masih sempat menikahkan anak semata wayangnya dengan wanita yang juga disetujuinya. Hidupnya kini terasa lengkap tanpa ada yang ketinggalan. Apalagi ia sempat hilang harapan saat duka kehilangan Bobi. Untunglah ia sudah kembali dan melanjutkan mimpinya yang tertunda. Tak ada hari yang lebih berbahagia selain hari ini.

Ditatapnya dengan sumringah semua hadirin tetamu yang menikmati pesta meriah ini. Jarang-jarang ada pesta dengan tema tradisional seperti ini terjadi di masyarakat. Ia tak memikirkan kenapa segala modernisasi tak menyentuh pesta ini dengan segala peralatan masa kininya yang sama sekali absen. Katakanlah orgen tunggal, sound system, lampu-lampu terang, foto-foto dokumentasi. Apalagi makanannya serba kuno dan tradisional. Bahkan ia tak mengenali beberapa jenis makanan yang sedang disantap para tetamu.

Yang penting ini hari bahagia.

Amira

—–oo0O0oo—–

“Sayaaang… sayaaang… Uuhh… uhh… Aahh… Aku dapeet laggiihhh… Aiihh… Mbb… mm…” keluh Amira tergial-gial tubuhnya berkelojotan karena rasa nikmat yang mendera tubuhnya akibat genjotan tubuh pria di atasnya. Penis perkasa itu baru saja mengaduk-aduk kemaluannya tanpa ampun. Padahal beberapa waktu lalu penis itu baru saja menyemburkan muatan kental berjumlah banyak mengisi rahimnya hingga meluber-luber. Ini sudah bekerja giat kembali seperti tak ada hari esok. Harus segera dituntaskan sekarang juga.

Padahal, diluar sana kemeriahan pesta masih terdengar berlangsung. Apakah pesta ini benar-benar akan berlangsung tujuh hari tujuh malam seperti sesumbar Bobi pada semua hadirin. Sorak-sorai gembira para hadirin membahana senang mendengar pengumuman itu. Mereka bisa berlama-lama menikmati pesta meriah itu dengan makanan-minuman-hiburan yang tak putus-putus. Mungkin-mungkin para tetamu tak perlu pulang dahulu ke asalnya sampai pesta berakhir.

Amira berusaha sebaik-baiknya melayani suaminya yang ekstra perkasa ini. Dibiarkannya tubuhnya dibolak-balik lalu digenjot dengan penuh vitalitas lagi dan lagi. Saat istirahatpun, ia harus mengulum kemaluan pria yang disodorkan ke mulutnya. Dengan patuh ia memberikan kepuasan sebaik-baiknya pada suaminya. Alas kain tempat tidurnya sudah penuh dengan berbagai noda cairan. Cairan kemaluannya, ludah dan sperma. Aroma persetubuhan bersaing ketat dengan wewangian dupa dan kayu cendana yang harum.

“Suamiku yang perkasaaa… lagiii~~kah? Aahh…” sperma kental itu baru saja merembes dari sela bibir vaginanya saat terasa penis itu masuk kembali dan menggasak kewanitaannya lagi dan lagi. Perutnya terasa penuh. Penuh oleh bibit cinta sang suami yang dicintainya. Tak mengapa. Mungkin dengan begini, kami akan segera dikaruniai anak, begitu pikirnya. Payudaranya menjadi mainan mulut sang pria selagi ia menggenjotkan penisnya keluar masuk. Dicucup-cucup rakus hingga berdecit suara sedotan beceknya. Putingnya mengacung tegang menantang terangsang.

Dipandanginya dengan semesra mungkin wajah Bobi yang bekerja keras di atas tubuhnya. Senyumnya lebar sekali. Senang dan bahagia. Juga bangga bisa mempersunting pujaan hatinya. Lelehan keringat yang menetes menerpa dirinya dianggapnya tetesan madu yang sangat manis. Kapan lagi aku berbakti pada suami kalau bukan pada momen seperti ini, pikirnya. Kami sudah terpisah sekian lama. Ini ejawantah kerinduan kami. Rindu dendam terbalaskan sudah.

“Oouuhh…” dirasakannya lagi semburan demi semburan sperma kental itu mengisi lagi rahimnya. Indah… Walau begitu, ia merasa perlu minum sesuatu untuk menambah staminanya. Ini bakalan panjang. Tujuh hari tujuh malam, og.

——————————————————————–
“Si bagudung (tikus) itu udah gilak kali-la kurasa, Yon…” kata Kojek yang jiwa dan raganya lelah sekali terhadap ini semua. Hampir setitik lagi mendekati muak.

“Kenapa, lae-ku? Pengen pulang buru-buru yaa? Bisa kita atur… Gak boleh angek (iri, kesal, panas) kalo orang mau mesra-mesraan bentar…” jawab Iyon yang paham kali perangai sobatnya ini.

“Gimana awak gak angek? Udah kek gini kejadiannya… sempatnya-sempat itu dua orang buat anak di rumah sakit kek gini… Kan paok kali namanya itu…” Kojek hanya bisa garuk-garuk kepala gak abis pikir jalan pikir sepasang suami istri itu.

“Makanya kubilang jangan angek… He he hehehehe… Perlu kuantar kau ke Porsea, hah? Biar bikin anak jugak kau di rumahmu sama si boru Sihite…” tawar Iyon pada Kojek yang jelas-jelas pengen ketemu juga dengan istrinya di rumah. “Aku pun mau ke Warni, nih… Cool down dulu kita ceritanya…”

“Iyalah kalok kek gitu… Ngapain kita jagain orang itu dua kek orang paok kek gini…” setuju Kojek sambil menuliskan sesuatu di selembar kertas dengan sebuah spidol yang dipinjamnya dari station perawat jaga, lalu ditempelnya di pintu bak sebuah segel instansi pemerintah, mencegah orang luar agar jangan masuk mengganggu. Keduanya tertawa-tawa geli membaca tulisan itu sekali lagi dan kembali kesal karena suara-suara berisik saru dari dalam kamar.

“Aah… ahh ahh ahh…”

“Kimak-nya memang orang itu dua… (*sfx) FWOOOP!!” menghilang instan.

JANGAN DIGANGGU! LAGI NGENTOT!

—–oo0O0oo—–

“Mama jadi bertambah hot kek gini?”

“Papa juga keknya…”

“Apa gara-gara spiralnya mama lepas?”

“Hah?”

“Akibat kejadian akhir-akhir ini… banyak yang bikin stres… Haid mama terakhir malah jadi gak teratur… Sama bidannya disuruh lepas spiralnya karena posisinya melenceng hingga menyebabkan pendarahan… makanya dilepas…”

“Maafkan papa sekali lagi, yaa?”

“Iya, paa…”

“Tapi~~ nanti Salwa bakalan punya adik, doong?”

“Salwa kan udah gede, paah…”

(*sfx) Whooo wooo… Wooo!! Ada apa ini? Aya naon, what’s goin’ on?

Ada apa ini? Dari beberapa percakapan diatas kok konklusinya jadi seperti ini. Bukannya terakhir kali itu kerajaan Mahkota Merah sedang diserang Awyati dan semua petarung peri Aruna yang menghadangnya menjelang dibantai? Lalu Aseng mengalami kecelakan mobil dengan istrinya akibat menabrak setangkai eh sebatang pohon di jalan?

Lalu yang di atas itu apa? Kok gak sesuai dengan kejadian? Bisa gak dirunut satu-satu? Kita coba ya…

Dimulai dengan munculnya Astha. (Kok Ashta?) Dengan terangnya kembali daerah kekuasaan Aseng akibat sabetan penuh tenaga menggunakan sabit kematian Awyati yang tadinya dikira bakal membantai semua petarung versus kasta tertinggi peri Candrasa itu. Sang peri yang terbang menggunakan sepasang sayap hitam itu mengambang turun dari ketinggiannya setelah mencabik-cabik kegelapan yang beberapa lama ini mengkungkung daerah kekuasaan baginda rajanya ini hingga menyebabkan banyak perubahan drastis, yang bisa dikatakan menyebalkan. Aseng berubah 180 derajat kepribadiannya. Bukan masalah mesumnya, tetapi pola pikirnya. Karena dari awal Aseng memang sudah mesum.

Awyati berdiri dengan kaku dengan mata mendelik-delik tak mengerti apa yang terjadi dengan tubuhnya. Apalagi apa yang dilakukannya dengan jurus mematikan barusan malahan menghasilkan hal yang sangat berbeda. Hal yang malah menguntungkan lawan.

“Bingung ya kamu?” tanya Astha yang selama beberapa lama ini memang menghilang setelah menemani Cayarini untuk mengunjungi kembali lokasi kerajaan lama Gua Kresna. Awyati tak dapat menjawab apalagi menghardik ketua kelompok pemburu itu. Mulut dan rahangnya tak sanggup bergerak, lidahnya seakan kelu.

“Kamu salah telah menyerap ratu Candrasa yang telah menyiapkan dirinya dengan baik sebelum berani-berani datang menghadap maharaja-mu itu…” jelas Astha yang lebih mendekat. Ia menekan pangkal lengan kanan Awyati dan muncul menjuntai seutas rantai hitam dari sana. Ditariknya hingga mencapai tanah. Dikeluarkannya sebuah pasak dan memakukan ujung rantai itu di tanah. Diulanginya hal yang sama di pangkal lengan kirinya, pertengahan dada dan pangkal lehernya. Empat utas rantai hitam dan empat pasak menahan peri Awyati itu tak berdaya ditahan sedemikian rupa.

“Apa-apa yang kau lakukan ini… tak akan lepas dari kontrol Cayarini yang ada di dalam tubuhmu…” kata Astha tepat di depan Awyati. “Karena kau kira kau telah menyerap ratu peri Candrasa ini… tapi salah… Kaulah yang sebenarnya diserapnya!”

Melotot mata Awyati yang kaget dengan kenyataan yang menimpa dirinya. Bagaimana mungkin?

“Sebagai ratu peri Candrasa tentu Cayarini dapat akses penuh akan istana kerajaan Gua Kresna… Hal yang tak akan didapatkan oleh siapapun yang pernah memasukinya termasuk kalian yang mengira sudah mengatasi segalanya… Ada satu ruang khusus yang bisa dimasuki ratu peri Candrasa… Disana ia menemukan banyak rahasia termasuk rahasia menaklukkan peri Awyati seperti dirimu… Kau tak pernah menyangka, kan… bagaimana ratu-ratu peri Candrasa di masa lalu dapat memerintah bahkan banyak peri Awyati seperti dirimu diantara peri Candrasa lainnya… sementara sang ratu ini masihlah tetap peri Candrasa saja… Dengan satu set rantai hitam khusus ini… Ia membawanya di dalam tubuhnya ketika kau coba menyerap dirinya… Membiarkanmu merasa menang… padahal sebaliknya…”

Awyati mencoba meradang, tapi ia tak dapat melakukan apa-apa. Dicoba ditepisnya rasa keberadaan kepribadian asing yang ada di dalam benaknya. Sesuatu yang selalu mengusiknya tetapi selalu diabaikannya. Menghasilkan akhir fatal seperti ini.

“Jadi ini yang kau lakukan bersama Cayarini selama ini, Astha?” tanya Dwi yang datang beramai-ramai mengerubungi Astha dan Awyati.

“Benar… Maaf kamipun awalnya tidak tahu akan mendapat keuntungan sebesar ini saat berniat mengunjungi istana lama peri Candrasa… Hanya ratu sejati peri Candrasa yang mengetahui ini semua… Dan Cayarini baru tahu itu semua saat sudah masuk kesana… Maaf sekali lagi… Kalian juga terkejut, ya?” kelakar Astha. Sepertinya ia mulai ketularan sablengnya sang baginda raja-nya sendiri. Kalau di kalangan manusia, cewek-cewek lagi, pasti ia sudah disemprot berbagai lemparan kaleng rengginang, ulekan, kotak make-up, pensil alis dan segala teman-temannya. Tapi para peri Aruna ini untungnya cuma menggerutu kesal.

“Tapi keadaan terang ini? Apa yang kalian lakukan dengan kegelapan ini?” tanya Iyon yang ikut bergabung di sela-sela peri Aruna montok ini. Apalagi keadaan bugil telanjang Awyati yang super semok terbelenggu masih memegangi sabit besar bergagang panjang itu. Iyon dan Kojek malah lebih fokus pada kondisi peri Awyati yang terbelenggu itu.

“Itu semua berkat sabit ini, teman-teman baginda raja… Sabit ini terbuat dari tanduk yang sempat muncul di mahkota baginda raja… Hampir semua emosi negatif beliau terproyeksi di tanduk ini… Kalau istilah Cayarini… semua kegelapan baginda raja difokuskan ke satu titik ini saja dan itu cukup kuat untuk menelan dan menghalau semua kegelapan yang menjerat kerajaan ini… Jampana Katara… Tanduk Sakti…” papar Astha.

“Waah… Baru tau ada senjata seperti itu…” kagum Kojek akan kemampuan senjata sakti itu.

“Dan itu jurus yang sangat berbahaya… Salah-salah keseimbangan berbalik malah menjadi fatal… Mungkin bisa berhasil sebab beberapa faktor… Pertama karena awalnya baginda raja memang ada di sisi terang… jadi lebih mudah untuk Cayarini membalik kondisi itu… Yang kedua adalah tekad Cayarini sendiri… untuk keselamatan baginda raja yang menjadi objek baktinya…” jelas Astha kembali. “Setelah ini Cayarini akan tetap memakai wujud Awyati ini untuk sementara waktu… Menjadi agen rahasia kita di kalangan musuh… Sementara Awyati aslinya akan tetap disegel seperti ini…”

“Musuh masih bisa masuk dengan mudah lewat matahari hitam itu…” tunjuk Tri pada manifestasi bentuk mantel rubah hitam yang berbentuk matahari gelap itu. Memang kalau dilihat lebih teliti malah mirip sebuah lubang gelap di langit.

“Itu seharusnya menjadi kebijakan baginda raja kerajaan Mahkota Merah semata…” jawab Astha tak berani mengambil keputusan apa-apa karena penempatan posisi matahari hitam itu semua atas wewenang penguasa mutlak tempat ini. Tak ada siapapun yang boleh mengotak-atik keberadaan benda itu kecuali pemiliknya.

“Kami paham… Kami akan keluar dulu… Nolong raja klen yang lagi kesusahan kek gitu…” tunjuk Iyon pada layar virtual itu dimana Aseng masih meringkuk memeluk istrinya selama kecelakaan mengerikan itu terjadi. Suara klakson mobil yang tertekan punggung pria mulai melemah dan sama sekali padam. Iyon dan Kojek bergegas keluar.

Di luar, di dunia nyata, jalanan mulai ramai oleh masyarakat yang menolong korban kecelakaan, sekedar nonton atau malah cari kesempatan nyopet. Iyon dan Kojek yang bisa tepat di mana terjadinya kecelakaan ini tentu saja dengan cepat bergerak menyelamatkan keduanya dan membawa mereka ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Tapi pertolongan medis yang mereka dapat hanya minimal saja karena ternyata tak ada luka-luka berarti yang dialami pasangan suami istri itu. Sekedar luka-luka lecet saja yang hanya perlu penanganan sekedarnya. Tapi karena pihak rumah sakit tahunya mereka adalah korban kecelakaan dan memerlukan klaim asuransi ke depannya, disarankan untuk rawat inap saja untuk dipantau apabila ada hal-hal yang tak diinginkan.

—–oo0O0oo—–

“Apa kalian berdua tau apa yang dilakukannya di luar sana?” tanya istri Aseng pada Iyon dan Kojek. Keduanya ditempatkan di kamar yang sama untuk memudahkan pemantauan oleh pihak Rumah Sakit.

“Sama sekali gak tau…” jawab Iyon.

“… dan gak pernah bisa tau…” sambung Kojek yang paham kalau pertanyaan ini hanya untuk menjebak mereka berdua, terlibat atau tidak dengan segala tingkah polah mblenger Aseng selama ini.

“Saat itu… papa seperti menutup diri, maa…” jawab Aseng mencoba menolong dirinya sendiri karena tentu saja kedua sahabatnya ini tak bisa dimanfaatkannya untuk menyelamatkan lehernya.

“Dia gak bisa dipercaya waktu itu… Lakikmu ini juga menjauhi kami berdua… Saat itu dia memasuki masa terkelam hidupnya kalo bisa kubilang… Masa paling gelap… Entah sudah apa saja yang dilakukannya… kamipun enggak kenal lagi dengan dirinya…”

“Tapi sekarang sudah tidak lagi… Ini si Aseng seperti yang dulu… Kujamin itu…” kata Kojek menyambung perkataan Iyon barusan. Kedua pasutri itu melongo dalam dua artian yang berbeda. Sang istri tentu tidak tahu apa yang dibicarakan dua pria itu, sedang Aseng tak percaya kalau ia sudah kembali berubah ke kondisinya semula.

“Apa… apa yang terjadi? Gimana bisa?” tanya Aseng tentu ingin tahu detail kejadiannya. Ingin tahu bagaimana ia kembali berpindah sisi dari kegelapan ke sisi terang. Aseng ingat semua apa yang telah ia kerjakan selama berada di sisi kegelapan itu. Hal-hal menyebalkan seperti apa yang telah dilakukannya selama itu. Perkataan menyakitkan apa yang telah diutarakannya selama berperangai begitu. Semuanya ia ingat. Saat dalam keadaan itu, ia tahu telah berubah tetapi tidak berusaha untuk mengubah dirinya. Hal itu yang membuatnya sangat menyesal.

“Kau lebih baik selesaikan masalah kalian berdua dulu… Hanya saja secara singkat… kerajaanmu sudah kembali terang…” kata Iyon yang sudah menyaksikan secara langsung terangnya kembali daerah kekuasaan Aseng yang dihuni warga kerajaan peri Mahkota Merah.

“Kami ke depan dulu…” Kojek beranjak ke arah pintu.

“Maafkan papa, maa…”

(*Plak!)

Aseng: “Siapa kau?”

Narator: “Ampun, bang… Sakit, bang… Saya-saya narator cerita ini sementara, bang…”

A: “Eh… Ada pulak pakek narator-naratoran… Siapa kau si Narto rupanya?”

N: “Narator, bang… Bukan Narto… Abang kan selama ini gak bisa diakses benaknya. Pembaca cerita ini jadinya tidak tahu gimana jalan pikir bang Aseng. Efek abang jadi Menggala kegelapan itu loh, bang… Saya cuma bantu-bantu aja, bang…”

A: “Heleh… Bilang aja kao mo ngintip, iya kan? Ku-smek don pulak kao nanti… Pigi kao sana!”

N: “Iya-iya… Pergi saya, bang… Para pembaca, saya Narto e-e… Narator harus permisi pamit diri dahulu. Berhubung yang punya cerita sudah balik lagi mengambil alih tempatnya. Sampai jum- (*sfx) Bletak!”

A: “Udah pigi kao sana… Tah hapa-hapa ngomongmu-pun… Kukasi Gugur Glugur mau kao?!”

N: “Enggak, bang-enggak… Cabut awak, bang…” (melipir menjauh ke ujung dunia nyari semur jengkol)

Selamat pagi para pembaca. Balik lagi bersama Aseng disini setelah sekian lama absen karena guling-guling di lembah gelap, melakukan banyak hal yang jelas-jelas membuatku malu sendiri kalo diingat-ingat lagi. Setelah posisi ini sempat dikudeta oleh si Narto pukimak itu. Entah anak mana pulak dia itu? Apa ini lengket-lengket? Ngocok si Narto kimak itu di sini? Kimak-kimak… Memang anak dajal-la si Narto itu. Pakek ngocok pulak dia ngawasin aku maen sama banyak binor bohay itu. Awas aja kalo jumpa lagi, ku-pedikur usus dua belas jarinya nanti.

Udah pernah kelen nabrak pohon? Besar kali pohonnya yang tadi kubeter (incar) di pinggir jalan itu. Pikirku kalo kuarahkan mobil menabrak pohon itu, matilah orang rumahku abis itu. Udah kek setan betul isi otakku waktu itu. Ngeri kali kalo kuingat-ingat lagi. Emosiku saat itu bisa kali kukendalikan seperti saat sekarang ini. Tapi tujuannya yang berbeda. Kuinjak gas mobil rental itu, menghalangi kakinya yang akan menginjak rem untuk menghentikan mobil, stiur mobil kuarahkan kuat-kuat ke arah pohon itu. Kalok masih pohon kek gitu aja aku gak akan mati tapi orang rumahku pasti mati.

Ngeri ya kan, woi… Udah gilak kali kali rasanya aku berniat membunuh istriku sendiri dan menyamarkannya menjadi kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan tunggal dengan modus mengajari istri agar lebih lancar mengendarai mobil. Mobil lepas kendali akibat gugup dan menabrak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Ntah hapalah salah pohon mahoni itu. Untung gak sampe tumbang dia. Kokoh kali dia.

Itu yang kurencanakan saat itu. Benak gelapku merencanakan itu semua dengan cepat begitu ia naik ke mobil setelah pindah dari mobil Vivi. Kuminta ia berganti mengendarai mobil itu dengan alasan aku sudah lelah sebab ia sudah beberapa kali sesi ikut belajar mengemudi. Polisi pasti akan percaya dengan alibiku yang pasti akan diperkuat dengan pernyataan dari kursus mengemudi itu juga. Dengan sedikit cipratan fulus, pasti aku akan aman melenggang tak tersentuh hukum. Memuluskan langkah sesatku untuk menikahi Roro. Kalo perlu aku akan menikahinya secara resmi secepatnya.

Begitu isi benak gelapku saat itu—aku terbebas dari sumpahku yang hanya menikahi satu wanita di hidupku karena objek sumpahku tidak ada di dunia lagi. Batal demi hukum dunia akhirat. Semua demi ambisi menjadi kaya mendadak dengan banyaknya harta yang dimiliki janda kaya itu. Tenang secara finansial dan janji kenikmatan dunia yang berlimpah ruah.

Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya sambil membenamkan mukaku di genggaman tangannya. Air mataku mengucur kek air ledeng. Mengucur tanpa bisa dicegah. Keknya semua cairan di tubuhku dikonversi menjadi air mata semua. Sak-sak air maniku-pun berubah jadi air mata. Abis ini aku pasti akan keriput dehidrasi dan mengering kek daun meranggas.

Istriku tercinta, penuh dengan cinta kasihnya mengelus-ngelus rambutku. Mencoba menenangkanku yang meracau berbagai kata-kata penyesalan yang dapat kutuangkan tak tentu arah dan tak terkendali. Kubeberkan semua dosaku yang tadi hendak mencelakakannya. Kuberitahu juga motifku di antara sesenggukan suaraku yang terbata-bata. Ini bukan akting juga bukan modus. Ini beneran.

“Jadi papa sampe berencana kek gitu?” tanyanya dengan nada selembut mungkin. Malah ketakutan aku mendengar nada seperti itu. Udah kek mau digoroknya aku abis ini dengan benda tajam sesimpel apapun yang dapat ditemukannya di ruang perawatan Rumah Sakit ini. Pasti sakit kali kalo digorok pake sendok plastik.

“Mama pernah dengar kan… Menggala-Menggala golongan hitam itu?” tanyaku takut-takut. Aku gak terlalu banyak memberinya informasi tentang dunia tersembunyiku ini. Sempat gak ya kuceritain tentang pihak lawan kami di golongan hitam padanya? Aku gak yakin dan lupa.

“Jadi papa sebelumnya di golongan putih?” suaranya masih lembut. Aku hanya bisa meliriknya yang ada di atasku karena aku masih membenamkan mukaku yang penuh salah di tangannya. Seolah aku hanya pantas ada disitu saat ini. Aku hanya bisa mengangguk pelan-pelan. Kembali tangannya berkisar di atas kepalaku, mengelus-elus rambutku. Bermaksud menenangkanku. Padahal aku sudah rela bakal dijambak.

“Karena Selvi meninggal… papa jadi marah kek gitu… Karena merasa gak bisa melindungi adik sendiri… Adik kandung sendiri… Galon juga kebakaran… Rumah di kompleks XX juga bakal disita bank… Papa merasa lengkap sudah kegagalan bertubi-tubi itu hingga jatuh serendah-rendahnya… Begitu? Jadi golongan hitam?”

Lagi-lagi aku mengangguk membenarkan karena itu adalah faktor utama penyebab ini semua. Tambahan lagi tekanan yang diberikan Lord Purgatory paska kekalahan telak dengan kehilangan ribuan peri muda cantikku di peperangan Alas Purwo.

“Maafkan mama…” kata itu. Kenapa dia yang malah minta maaf? Apakah ia tak sanggup lagi bertahan di sisiku? Abis semuanya. “… maafkan mama yang gak sanggup memberikan ketenangan jiwa untuk papa… Seharusnya mama tidak terlalu banyak menuntut… Papa sudah bekerja dengan sangat kerasnya untuk kita semua… untuk anak-anak… untuk kesejahteraan kita… Bahkan papa melakukan banyak hal yang tak terbayangkan di luar sana untuk memberi kami kecukupan… Maaf kami membuat papa merasa terbebani…”

Loh? Kok kek gini jadinya?

“Semua itu tak ada artinya buat mama, paa… Papa lepaskan semua itupun mama tak akan keberatan… Kuterima papa apa adanya waktu itu karena Aseng yang mama kenal adalah pria yang baik… yang bertanggung jawab… pantang menyerah… dan itu semua sudah cukup buat mama…” diangkatnya wajahku dengan memegang kedua pipiku hingga sejajar dengan wajahnya. Kami bertatapan.

“Kita balik lagi hidup sederhana di Mabar cuma naik kereta Supra papa aja mama sudah senang… Mama malah merasa papa semakin menjauh dengan segala kenaikan ekonomi kita… Jarang pulang… Ditambah beban kuliah… Kerjaan bejibun… Ngurusin galon-lah… Kesibukan yang gak abis-abis… Bukankah kita lebih baik seperti awal saja… Papa pagi-pagi menggendong anak-anak keliling gang… Pergi kerja pagi pulang sore bawa anak-anak lagi keliling gang… Akhir-akhir ini papa gak ada waktu buat Rio dan Salwa… Apalagi buat mama…” dibersihkannya air mata yang membasahi wajahku dengan bantalan bawah tangannya.

Pecah lagi tangisku karena semua memori kebejatan perselingkuhanku tiba-tiba membanjiri otakku. Belasan skandal affair yang sampe menyebabkan para binor itu hamil membelasah benakku hingga terasa perih. Hingga puncaknya aku berencana membunuhnya yang dibalas dengan manis berupa memaafkanku sampe taraf segini.

Aku merasa sangat kotor saat ini tetapi langsung dibersihkan oleh sebuah kerelaan tulus dari istriku. Aku tak butuh siapa-siapa lagi saat ini kecuali maaf darinya.

“Abis ini… papa datang ke ibu… Hibur dirinya…” kata istriku. Yaa… Tak terbayangkan betapa pedih dan sedih dirinya. Kehilangan anak adalah duka terdalam seorang ibu. Apalagi anak berpulang ke Maha Kuasa mendahului dirinya. Itu duka yang sangat dalam harus menyaksikan kematian anak kandungnya. Aku tak dapat membayangkan kesedihan dirinya. Tak ada rasa sakit yang dapat melebihi itu semua.

Luka-luka yang kuderita sampe saat ini gak ada apa-apanya. Apalagi cuma benturan menabrak pohon Mahoni aja. Mantel rubah hitam menahan sebagian besar benturan hebat itu. Mantel berelemen api ini melindungi sekujur tubuhku dengan sempurna dan juga melindungi istriku secara gak langsung saat tabrakan itu terjadi karena aku tepat waktu tersadar dan memeluknya di saat terakhir. Gerak cepatku melindunginya. Gak terasa himpitan menekan stiur yang menghantam punggungku.

Kami sehat wal afiat dan aku kembali ke diriku yang sebelumnya.

Definisi diriku yang sebelumnya itu gimana, ya? Sepotong Aseng yang mesum yang sukanya menghamili binik orang? Seorang baginda raja dengan warga peri-peri cantik di daerah kekuasaan Menggala-nya? Peri-periku… Ah. Raja macam apa aku ini? Meninggalkan peri-periku dalam keterpurukan seperti itu. Apa bedanya aku sama si ratu sebelumnya, kuntilanak merah tobrut bernama Fatima itu? Apalagi dengan isi kantung kecil kalungku yang berisi tiga butir telur peri Anaga. Benar. Saat ini ada tiga butir telur Anaga yang kumiliki. Si Cundamanik hanya bisa mesem-manyun melihat aku sedang bermesraan begini setelah beberapa hari gak ketemu.

“… Jadi si Roro itu gimana ceritanya, paa?”

“Yaa… batal… Orang itu keputusannya diambil waktu papa lagi sableng gitu kok…” jawabku lurus-lurus aja, jujur.

“Batal? Kok dibatalin? Kan enak janda kaya kek gitu…” godanya dengan menggerak-gerakkan alisnya.

“Abis itu papa mati untuk apa?”

“Oo… Masih ingat sumpahnya ternyata… Kirain lupa…” ia mengangguk-angguk ngejek.

“Masihlah, maa… Udahlaa… Gak osah ngomongin si Roro lagi…”

“Jadi duitnya yang 25 milyar buat bayar hutang semua?” singgungnya tentang hasil penjualan blue diamond.

“Jadi rinciannya… 10 miliar punya ternak lembunya si Kojek… dan 10 miliar punya otobus-nya Iyon, maa…” jelasku sekedarnya aja. Dengan itu semua seharusnya masalah keuangan kami sudah selesai termasuk denda dan penalty-nya kalo ada.

“Kan masih ada sisanya 5 milyar tuh…”

“Maksudnya buat cadangan dana operasional dan jaga-jaga… Tapi buat mama aja lah…” cobaku menyogok dirinya. Itung-itung bentuk permintaan maafku walo duit segitu harusnya gak akan cukup untuk menambal semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Kalo dia tau semua detail dosaku, bakalan diminta semua 25 M itu pasti.

“Buat mama? Berjanda aja terus! SPBU? Galon itu mau diapain?… Gak dipikirin berapa banyak yang menggantungkan hidupnya dari galon itu? Perbaiki lagi galonnya… Kalo duitnya kurang alokasikan dulu dari punya Kojek ato Iyon… Sukur-sukur kalo ada sisa… sedekahkan pada yang berhak… Itu baru yang bener…”

“Maa… Keknya papa perlu financial advisor-la ini… Mama dulu kan kuliahnya akuntansi yaa? Sempat kerja juga di bidang itu… Bisa-la… bantu-bantu papa ngelola duit sebanyak itu… Kalo bisa lebih meningkat lagi… Gimana? Tau sendiri papa cuma tamatan SMA… Itupun banyak maen-maennya… Si Iyon, si Kojek sama aja kami bertiga…” rayuku.

“Dengan syarat…” Aku mendengarkan berbagai macam persyaratan yang disampaikannya. Aku hanya mendengarkannya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena anehnya, mendengar dan melihat ia melakukan ini semua, bertindak bossy dan otoriter seperti saat ini malah membuat gejolak birahi di diriku meningkat. Aseng junior menggeliat bangun. Semua sex appeal yang ada di dirinya menguar kuat. Padahal ini di Rumah Sakit ya kan, woi? Si Iyon dan si Kojek mungkin ada di luar sana duduk-duduk ngobrolin apa tau.

Suka-sukaku-la… Binik-binikku, kok.

“E-e-e-eh… Apa sih, paaa? Aaihh… Ishh… Ihh, papa… Geli tau… Mmm…” ia hanya bisa kebingungan kala kuserobot pertahanan dirinya dengan serangan erotis yang tak akan dapat dicegahnya. “Papa… Ini rumah sakit, loohh~~mm… Ahh… Papaaahh… Itu Iyon sama Kojek lagi diluarrr… ihh…” walo penolakan yang keluar dari mulutnya tapi getaran membara juga terpantik oleh rangsangan yang kuberikan. Mulutku mencumbu bagian lehernya.

Geli juga mengingat sewaktu aku di sisi gelap itu, aku dengan gampang membuat cupang-cupang di sekujur tubuh binor yang kucumbui. Padahal sekarang ini, aku tak mengerti dimana letak serunya. Makanya hanya jilatan, kecupan dan ciuman yang kulakukan di bagian lehernya hingga membuatnya menggelinjang geli. Apalagi ketika telinganya kupermainkan, tubuhnya bergetar-getar kek smartphone nerima panggilan. Pasti lempit daging di antara kakinya sudah menitik basah karena ulahku ini.

“Mmbb…” ia pasrah ketika kupagut mulutnya dan kini kami sedang bercumbuan mulut. Bibirnya menjadi bulan-bulanan mulutku. Lidahnya kusedot-sedot hingga ia merintih-rintih keenakan. Apalagi toge semoknya kuremas-remas. Aku makin gemas dengan ukuran togenya yang meningkat kekenyalannya ke tingkat primanya. Ukuran saat ia hamil ya segini karena banjirnya hormon. Tapi upgrade akibat persinggunganku dengan si Mutee pukimak sama ratu Fatima yang gak kalah pukimak itu, malah memberiku keuntungan tampilan paripurna orang rumahku ini. Aah… Aku aja yang kurang bersyukur punya aset sehebat ini di rumah masih mencari-cari di rumah. Ini tentunya lebih barokah lahir bathin daripada binor-binor serupa di luar sana.

Tak berapa lama kami berdua sudah tak berpakaian lagi di atas ranjang rumah sakit ini. Tanganku sudah mengobok-obok kemaluannya yang benar-benar basah siap dicoblos Aseng junior-ku yang diremas-remasnya hingga membengkak ke ukuran tempurnya. Berganti-ganti aku menciumi bibir dan puting payudaranya yang menantang. Diarahkannya Aseng junior-ku ke arah antara bentangan dua kakinya.

“Masukin, paahh… Uhh…”

Tak harus diminta dua kali Aseng junior sudah meluncur masuk ke stasiun utamanya. Kami berdua melenguh bersama dan rintihan menyusul begitu aku mulai bergerak menggenjot dirinya. Ahh… Tak ada yang lebih nikmat dibandingkan ini semua. Legal dan… apa, yaa? Pokoknya yang paling resmi. Resmi itu artinya kalo kami digrebek satu Indonesia-pun, aku berani lantang ngomong kalo ini istriku, lahanku. Mau kupake dimanapun, siapa yang bisa melarang. Apalagi ini adalah ruang tertutup. Klen-klen aja yang masuk gak pake permisi… Cuma mau ngintip, ya?

Ahh… Ntah hapa-hapa aja ngomongku.

Rasanya masih saja seenak yang kuingat. Bukan cuma karena bodinya udah upgrade. Ada hal hal yang tak akan dapat diperoleh dari perempuan lain, binor lain, janda lain, bahkan gadis sekalipun. Rasa cintanya. Ini bukan cuma ngentot, maen seks, ngewe, ngenthu, ML ato apalah itu, ini bercinta, men. Berhubungan badan dengan istri itu bagian dari bercinta. Bukan puncaknya. Puncaknya adalah penyatuan perasaan itu menjadi satu kesatuan hingga tercapai satu kesepahaman… aduuh… Bertele-tele.

Paham ya, kan? Pokoknya aku mau ngecrot dulu-la ini ceritanya. Gak tahan kali aku.

Rasanya kek terbang ke awang-awang saat ini. Indah sekaligus nyaman. Merasakan tubuhnya sama-sama puas seperti yang juga kurasakan. Elusan-elusan tangannya di lenganku. Elusan penuh kasih sayang. Hanya dia yang bisa memberikan itu semua.

“Lagi…” (*sfx) Kriiiettt. Ranjang rumah sakit ini sampe berderit karena ia membalik tubuhnya hingga berganti posisi. Ini posisi favoritnya. Ia sangat suka berada di atas kala bercinta hingga bisa mengatur tempo ritme bercinta kami. Kalo favoritku tentu lain lagi. Kubiarkan ia memimpin sekarang. Aku hanya menikmati rasa nikmat dan visual paripurnanya yang terpampang jelas di depan mataku yang lamur ini. Sedekat ini, tak ada yang terlewat. Apalagi rasa nikmat mencekik si Aseng junior yang dikocok-kocok brutal, dipilin-pilin kala ia memutar ala ngebor, ato saat diremas-remas otot kegel.

Toge semoknya berguncang-guncang saat ia melompat-lompat di tempat mengocok si Aseng junior yang meradang gak tahan lama-lama disiksa begini. Ia paling tau bagaimana membuatku menyerah kalah dengan cepat. Segera liang kawinnya dipenuhi benih-benih cinta kami berdua. Berbuih-buih panas yang mengendap di pangkal penisku. Karena dirasanya, ereksiku masih terjaga, kembali ia menghajarku habis-habisan. Membuatku blingsatan tak bisa melakukan apa-apa kecuali diam pasrah dan menikmatinya. Aku hanya bisa meremas-remas pahanya, pinggulnya, ato sesekali mempermainkan toge semoknya. Dari putingnya, ada cairan putih susu yang menetes pelan, ASI buat Salwa.

Suara berderit-derit ranjang perawatan ini tak kami perdulikan. Peduli setan, suami istri resmi ini. Total empat kali aku ngecrot jadinya di kamar perawatan Rumah Sakit ini.

“Mama jadi bertambah hot kek gini?” ia masih duduk di atas tubuhku. Aseng junior masih tertancap dalam di kelaminnya. Sperma meluber dari sela-sela kemaluannya dalam tahap banjir karena berkali-kali ngecrot. Nafasnya masih ngos-ngosan

“Papa juga keknya…” itu benar. Aku juga bernafsu sekali. Hanya saja, ini benar dan di jalan yang benar pula.

“Apa gara-gara spiralnya mama lepas?”

“Hah?” mulutku terbuka lebar. Beneran terkejot, aku terheran-heran…

“Akibat kejadian akhir-akhir ini… banyak yang bikin stres… Haid mama terakhir malah jadi gak teratur… Sama bidannya disuruh lepas spiralnya karena posisinya melenceng hingga menyebabkan pendarahan… makanya dilepas…” Lepas spiral? Harusnya itu adalah prosedur yang lumayan menyakitkan. Apalagi pendarahan itu. Jadi sekarang ia udah gak pake kontrasepsi sekarang.

“Maafkan papa sekali lagi, yaa?”

“Iya, paa…”

“Tapi~~ nanti Salwa bakalan punya adik, doong?”

“Salwa kan udah gede, paah…”

Nambah anak…

“BRAAAKK!!”

Amsyong! Ranjang rumah sakit ini somplak. Kami berdua yang ada di atasnya tak ayal lagi jatuh dan kagetnya. Suaranya jelas bukan main kerasnya. Mungkin satu lantai Rumah Sakit ini pasti dengar suara benturannya. Keempat kaki-kaki ranjang masih berdiri tegak dan itu artinya sambungan las antara kaki dan badan tempat tidur yang kuat dengan mekanisme yang bisa diatur tinggi rendah dan sudutnya itu sudah kami rusak dengan aktifitas gila kami barusan.

Benar-benar amsyong… Keknya luck-ku belum pulih.

——————————————————————–
Abis dari Rumah Sakit, dengan membayar ganti rugi ranjang rusak itu tentunya, kami pulang ke rumah. Libur semingguku tinggal dua hari lagi keknya sebab Senin depan aku udah harus masuk kerja lagi. Jadi tak ada kerjaanku selain kelonan dan kelonan aja terus dengan orang rumah. Cundamanik terlihat kesal karena ia diabaikan beberapa waktu ini. Aku jadi jarang-jarang berbicara dengannya. Hanya saja ia sesekali menghilang entah kemana lalu muncul lagi hanya untuk menemukan aku belum selesai-selesai bercinta dengan binikku.

Saat ini, aku dan istri sedang hepi-hepinya aja berduaan bergelung di kamar. Bercinta kek kelinci, istilahnya. Istilah kalo mau bikin anak banyak-banyak. Tertawa cekikikan saling gelitik dan rangsang. Bila tensi meningkat hingga birahi, dilanjutkan bercinta kembali. Itu aja kerjaan kami berdua seharian itu. Ngentot, makan, tidur.

Sewaktu tidur-pun, aku gak benar-benar tidur. Kusempatkan untuk memasuki daerah kekuasaanku. Ini kali pertama aku masuk setelah kutinggalkan tempat ini menjadi gelap setelah cahaya terangnya dimakan raja Batara Kala AKA Lord Purgatory itu. Tempat ini tidak seramai yang kuingat dulu. Ribuan peri mudaku sudah tak ada lagi memenuhi tempat ini. Kangen juga melihat masa-masa mereka latihan perang dan latihan fisik di beberapa lokasi. Ratusan peri-peri muda tak berpakaian itu berlari-lari mengitari istana. Berlatih pedang, tombak dan panah diawasi oleh peri-peri seniornya. Apalagi para ratu peri sudah tidak ada lagi sekarang…

Yaahh… Hutanku yang dulu indah, sekarang jadi terbengkalai gini jadinya. Banyak pohon-pohon yang rusak, patah dan tumbang. Pesanggrahan favoritku, hammock-ku juga sudah tidak ada lagi. Menara tinggi istana tumbang dan jatuh ke sana. Dahan-dahan utama pohon beringin ini juga banyak yang rusak. Aku masuk lebih ke dalam lagi untuk menemukan pohon Glugur, tempat bakiak Bulan Pencak berasal.

“Bagindaaa?” seru satu suara di belakangku sebelum aku sempat sampai di pohon itu. Ternyata itu adalah Sas. Salah satu peri Aruna kelompok pembangun yang kini spesialisasinya malah menambang mineral. Di belakangnya ada satu sosok lagi yang berbaur sempurna dengan lingkungan hutan ini—peri Wanadri itu.

“Kalian rupanya… Kirain siapa…” jawabku dan terus menuju ke pohon asam Glugur itu lagi. Aku ajak mereka berdua menyertaiku. “Ada perkembangan apa, Sas… selama aku tidak ada?” tanyaku. Sebaiknya sebelum bertemu dengan lebih banyak lagi peri penghuni kerajaanku ini, lebih baik aku tau sebanyak mungkin. Apalagi Sas termasuk salah satu peri Aruna terpercayaku, pun hanya dia yang tau rahasia terbesar tempat ini berupa titik-titik tertentu yang merupakan bagian tubuh vitalku.

“Hamba hanya bisa bantu-bantu sebisanya untuk mendapatkan batu-batu kapur untuk bahan membangun kembali istana, baginda… Waktu hamba banyak hamba habiskan untuk menemukan masalah mata baginda itu, baginda raja…” jawabnya. Masalah mata? Mataku memang sampe sekarang masih lamur. Biasanya masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan menggunakan lensa kacamata. Hanya saja karena ini masalahnya bukan fisik, kacamata tidak akan berguna sama sekali.

“Dan kau sudah menemukan masalahnya, Sas?” harapku. Semoga saja benar.

“Masalahnya ada di laut, baginda…”

“Laut?”

—–oo0O0oo—–

“Ini pohon yang sangat penting, baginda raja…” tatap peri Wanadri berambut hijau. Tak banyak yang tau tentang krusialnya pohon ini bagi daerah kekuasaanku ini. Ini adalah pohon pertama yang tumbuh berkembang disini sebagai penanda kiprahku menjadi Menggala. Pohon aslinya mulai bertunas saat aku lahir ke dunia ini dan itu artinya pohon ini representasi diriku sendiri. Aku tetap menjadikannya rahasia bahkan dari siapapun.

“Tentu ini pohon yang penting… Dari kayunya aku membuat senjata yang menjadi ciri khasku sebagai seorang Menggala… Bakiak Bulan Pencak…” tunjukku ke atas pada sepasang bakiak kayu berwarna merah, yang sedang nangkring dengan antengnya di sebuah dahan pohon asam Glugur ini. Kami memandangi sepasang bakiak itu. “Dengan bakiak itu… hanya ada serangan pamungkas yang dihasilkannya… Kekuatannya bukan maen-maen tingkatannya… Seluruh lawan yang pernah merasakan dahsyatnya kekuatan gempurannya menjadi bukti…” kusegel pentingnya pohon Glugur ini dengan informasi itu. Hanya sebatas itulah mereka-mereka ini boleh mengetahuinya. Jangan sampe ada yang tau kalo ini adalah kunci diriku.

Setelah memastikan bahwa pohon asam Glugur itu baik-baik saja, aku beralih ke arah laut yang ada dekat dengan bangunan istana berada. Hanya saja aku mengajak Sas dan peri Wanadri itu untuk berputar agar tak bertemu warga kerajaan lain dulu. Sang peri Wanadri bermaksud berpisah dengan kami karena ia hendak memeriksa bagian hutan lainnya, kubiarkan ia karena itu lebih baik. Tak ada yang akan mendengar pembicaraan kami.

“Jadi sebenarnya baginda… air laut inilah yang menyebabkan mata baginda raja menjadi lamur… Menjadi semacam penghalang mata fisik baginda untuk melihat tanpa pelapis apapun…” jelas Sas. Kaget aku mendengarnya. Jadi penjelasannya hanya seperti itu. Air laut yang menjadi gangguan mataku.

“Apa kau sudah menemukan posisi tepatnya kedua mata fisikku di lautan itu, Sas?” tanyaku sambil kami memandangi laut lepas dari kejauhan begini dekat dengan hutan bakau. Hanya ada hamparan luas nun jauh di sana berupa air asin yang berombak kecil. Awan seputih kapas yang merupakan sisa-sisa penguapan air laut bercampur kepulan debu gunung berapi yang kini sudah kalem kembali, menggantung malas di atas langit.

“Sudah, baginda… Sudah hamba beri tanda dua buah batu besar itu…” tunjuknya ke dua titik yang diberi tanda batu-batu kapur besar bekas menara yang sudah tumbang. “Perkiraan hamba… bila kita buat persepsi sebuah tubuh… Tubuh baginda raja… bagian kepala ada di sekitar istana, hutan dan laut… Tubuh adalah bentangan luas tanah kosong ini hingga kita menemukan tambang biji besi yang ternyata adalah lokasi jantung baginda… Dan seterusnya… seterusnya…” papar Sas.

“Lalu bagaimana rencanamu untuk memperbaiki kerusakan mataku akibat gangguan air laut ini?” tanyaku.

“Ampun beribu ampun baginda raja… Mohon ampun bila sekiranya hamba lancang memberi usul…”

“Gak usah sungkan… Aku percaya pada penilaianmu…”

“Istana kita kembangkan hingga maju ke laut, baginda… Lokasi mata fisik baginda bisa amankan dengan membangun semacam pagar pelindung yang disamarkan menjadi semacam dua tiang atau mercusuar berukuran besar… Tiang atau mercuar berlubang bagian tengahnya hingga mata baginda tetap lega tanpa halangan apapun…” usulnya lebih pede karena aku sudah memberinya izin.

“Bagus juga… Dengan demikian para peri Asti akan lebih terakomodir karena mereka tinggal langsung di air… Bisa diusahakan kalo begitu ruang-ruang khusus buat mereka?” aku mendadak mendapat antusias kembali dengan kemungkinan ini. Aku bisa mulai mengembangkan kembali peri-peri penghuni kerajaanku.

“Tentu bisa, baginda… Hamba sudah membantu membangun ruang-ruang khusus buat para peri Candrasa… Tentunya para peri Asti juga akan gembira seperti mereka… bila punya habitat yang lebih kondusif…”

“Telur-telur peri Candrasa sudah menetas?” kagetku. Aku sudah dengar tentang kiprah Cayarini dalam mengelabui Lord Purgatory dan peri Awyati itu tapi aku belum dengar tentang 506 telur peri Candrasa.

“Sudah menetas, baginda… Mereka sangat senang sekali berada di tempat itu… Hanya saja mereka belum berani untuk keluar ke permukaan seperti Cayarini dahulu… Mungkin perlu persiapan dahulu…” jawabnya. Mendengar itu, harapanku semakin tinggi. 500-an peri Candrasa sudah cukup banyak untuk permulaan. Nantinya akan menyusul peri-peri lain.

Ada banyak agenda yang harus kulakukan di kerajaanku. Sebanyak juga wacana yang juga harus segera direalisasikan. Aku juga mendapat laporan tentang kondisi Eka yang masih tak sadarkan diri paska perang Alas Purwo. Kesana aku sekarang menuju setelah mengamati laut dari hutan bakau bersama Sas. Di tengah jalan, aku menemukan sosok tubuh Awyati yang terpancang tak bergerak karena dikekang empat utas rantai besi hitam yang dipasakkan ke tanah. Hanya gerakan kecil yang bisa dilakukannya dan sorotan mata tak bersahabat. Hanya sekedar itu. Aku hanya menatapnya dan bergegas ke pintu masuk istana yang belum selesai dipugar.

“Baginda raja memasuki istana!!” lantang suara Dwadasa yang berjaga di depan pintu memberitaukan siapapun yang dapat mendengar suara kerasnya tentang kehadiranku. Senyumnya lebar sekali melihat kemunculanku kembali. Memberiku harapan yang semakin besar. Walo aku sempat mendengar ada dua faksi yang terbentuk saat absennya diriku; faksi yang mendukung apapun keadaanku dan faksi yang ingin kembali ke kondisi semula. Sekarang dua faksi itu tak ada gunanya lagi dengan pulihnya diriku. Kutepuk bahu Dwadasa sebagai apresiasi atas kerja kerasnya menjaga pintu istana. Senyumnya makin lebar.

Balairung ini belum sepenuhnya pulih seperti sedia kala karena pengerjaannya masih kasar dan belum dilakukan sentuhan akhir dengan berbagai sentuhan dari pihak kelompok perajin yang bisa menyulap semuanya menjadi lebih indah dan elegan. Tapi semua peri Aruna sudah berkumpul di tempat ini minus Eka. Aku juga melihat sang pengendali air dan dua dayang-dayang ratu, pengawal ratu Dawala dan beberapa peri Kencana berambut pirang, hijau, ungu dan lainnya. Walo penasaran dengan beberapa gelintir peri berambut ungu itu, aku harus melakukan tugasku terlebih dahulu, menyapa mereka.

“Warga kerajaan Mahkota Merah sekalian… Ini kali pertamanya saya kembali setelah sekian lama kerajaan kita berpindah haluan… dari terang ke gelap dan kembali terang kembali sekarang…” ucapku membuka suara. “Dari kekalahan kita yang lalu saat melawan pasukan musuh kita belajar bahwa… jumlah dan kekuatan saja tidaklah cukup untuk mencapai kejayaan… Ada banyak hal-hal lain yang harus kita perhitungkan selain itu semua… Taktik! Kita kalah di sana… Musuh lebih licik daripada kita saat memainkan taktik ini… Kita seharusnya tidak akan kalah jika kita lebih licik menggunakan taktik…” sampaiku tegas.

“Jangan samakan licik dengan jahat… Licik itu menggunakan semua sumber daya dengan pintar dan cermat… Tidak ada yang salah dengan menggunakan taktik licik… karena lawan juga tak segan-segan menggunakan cara itu… Kita harus selangkah lebih licik dari pada mereka… Kita sudah pernah mereka kalahkan dengan telak… dan kita tidak akan dikalahkan untuk kedua kalinya… Berikutnya kita harus menang!”

Gemuruh suara para peri menyambut gegap gempita seruanku dengan penuh semangat. Satu mengangkat tangan, yang lainnya ikut mengangkat tangan terkepal.

“WHHOOOOOOOOHH!!”

—–oo0O0oo—–

Aku bertekad untuk menghabiskan lebih banyak waktu di kerajaanku. Jauh lebih-ebih lama dari terakhir kali aku berdiam diri di sini. Pertama, tentunya aku harus mengembalikan jumlah peri warga kerajaanku. Peri muda yang sudah dibabat habis saat pertempuran di Alas Purwo sebelumnya. Ada target yang ingin kucapai kali ini. Kali ini aku tak khawatir dengan kemampuanku karena hanya aku yang bisa melakukan ini pada peri-periku. Ribuan kalo perlu.

Kedua, rumusan taktik licik tadi. Yang namanya taktik harus dieksekusi dengan baik dan sempurna tentunya memerlukan sumber daya yang mumpuni. Para periku harus melakukan latihan yang lebih berat daripada yang sudah-sudah. Tentunya demi melaksanakan taktik licik tadi.

Ketiga tentunya atas kedatangan peri-peri jenis baru ini. Ada peri berambut hijau dan ungu ini di kerajaanku. Mereka aslinya adalah warga kerajaan Istana Pelangi yang kutampung dan bergabung di kerajaanku. Apalagi ratu andalan mereka kini sedang diserat, ditahan oleh pihak musuh—Ratu Kanaka. Seperti juga ratu Pancaka, ratu Lawana dan ratu Dawala. Hanya Cayarini yang kini sedang bersandiwara di kalangan.

Aku belum sempat bertemu dengan Cayarini hingga sekarang karena ia langsung kembali ke tengah-tengah musuh. Berkat dirinyalah aku bisa kembali pulih menjadi Menggala golongan putih dengan Jampana Katara luar biasa itu. Sabit itu merusak semua kegelapan itu mengembalikan diriku, benakku, lebih jauh lagi sifat-sifat jahatku. Kalo tidak, aku akan selamanya akan tetap begitu. Mengerikan sekali kalo aku mengambil sisi gelap yang selama ini kuperangi. Gak terbayang kalo nantinya aku akan berhadapan malah dengan teman-teman sendiri dan bergabung dengan mantan lawan.

—–oo0O0oo—–

“Ng… Kau punya ide gimana membuat Eka siuman, Cundamanik?” tanyaku pada peri Anaga yang saban hari tambah bete aja bawaannya. Apalagi saat ia kek gak punya wibawa lagi di kalangan para peri yang ada sekitarnya. Mungkin karena pride-nya yang tinggi, menganggap dirinya begitu perkasa karena bisa berubah wujud menjadi naga hingga ia merasa lebih superior dibanding peri lain—peri yang dianggapnya biasa-biasa aja. Cundamanik berdiri bersandar di dinding lembab ruangan tempat Eka dirawat di ruang bawah tanah ini. Ruangan ini dikosongkan dan hanya berisi kami bertiga.

Ia menggeleng kecil. Obor-obor yang banyak sebagai penerang ruangan ini tak dapat mengalahkan pendar terang di dada dan matanya yang berelemen api. Gerakan-gerakan api membuat siluet yang juga bergerak-gerak di tubuh Eka yang hanya bisa berbaring diam di atas tempat tidurnya. Hanya gerakan nafasnya yang menandakan ia masih hidup.

“Kita buat gini ajalah…” pungkasku. Cundamanik melihat semua gerak-gerikku dengan pandangan sedikit kesal. “Nah kalo dibeginikan… akankah ia bisa sadaaar?” sambungku meneruskan apa yang terbersit begitu saja di pikiranku. Ide-ide gilaku sering terbukti manjur untuk semua masalahku. Bukankah terobosan teknologi dan penemuan fenomenal juga adalah awalan sebuah ide gila. Ide gila siapa dulu yang coba-coba buat pesawat terbang biar terbang seperti burung, padahal mereka berdua cuma tukang sepeda.

“Kenapa? Kau gak setuju kalo peri Aruna ini kubeginikan? Kau bahkan gak perduli dengan peri Aruna ini… Padahal kalian sama-sama berelemen api, loh…” kataku tambah mendekat. Ada rasa hangat yang sangat kukenali. Apalagi aromanya. “Shhlkkk…” jilatan panjang dengan sapuan penuh kutarik dari bawah ke atas pada permukaan vagina Eka yang beraroma mawar. Langsung lembab lepitan cantik menggugah selera itu sekali jilat. Kakinya yang kubentangkan lebar langsung membuatku bisa melihat lubang target yang segera akan dimasuki Aseng junior-ku.

“Akan sangat beruntung kalo Eka bisa menghasilkan peri-peri kasta tertinggi itu lagi… Daaan… kali ini aku gak akan tanggung-tanggung lagi… Kita buat dalam jumlah banyak sekalian… Ha ha ha hahahahaha…” tawaku gila sendiri dengan ide cemerlang ini. Padahal ini masih kemungkinan saja. Apakah Eka benar-benar bisa menghasilkan telur berukuran besar itu lagi, belum pasti juga.

Cundamanik memutar bola matanya seperti muak. Aku sudah terbiasa dengan reaksinya. Peri Anaga itu imut kalo sedang jutek begitu. Abis ini kau kuentot juga sampe kau menghiba-hiba berhenti. Gak akan berhenti sampe kau bertelur sebutir lagi. Ahh… Sudah ada cairan pelumas yang keluar dari liang kawin Eka. Pertanda ia sudah siap untuk dicoblos dan digenjot. Aseng junior juga udah gak sabar setelah tadi kulucuti pakaian Eka dan pakaianku sendiri hingga bugil.

“UUuuhhh… Sedaaappp…” lenguhku keenakan merasa lepitan ketat vagina Eka yang menampung lesakan Aseng junior-ku. Biarpun Eka dalam keadaan tak sadarkan diri begini, tetapi tak mengurangi rasa nikmat yang kurasakan menjalar di sekujur tubuh ini. Kudiamkan sebentar saat Aseng junior mentok terbenam dalam. Hangat dan lembut tetapi mengatup kuat terasa menggenggam penisku. Rasa nikmat ini.

Rasa nikmat yang akan kurasakan dan menghasilkan ribuan peri tak lama lagi akan kurasakan non stop dari sini sampe waktu yang tak dapat kutentukan. Ada beberapa target yang akan kugauli setelah ini. Pastinya Dwi dan Tri yang terbukti menghasilkan banyak telur peri Aruna. Ditambah teknik memperbanyakku, tak diragukan lagi aku akan mendapatkan ratusan peri Aruna dengan cepat. Apalagi lima peri Aruna kelompok pemburu yang pastinya akan menghasilkan peri yang mampu bertarung juga. Dari peri Asti—peri laut berambut biru, hanya ada tiga kandidat; sang pengendali air dan dua dayang-dayang cantik itu. Bisa juga dari Udaka, peri duyung itu. Tapi ia dan anak-anaknya adalah bagian Iyon dan Kojek. Mereka yang harusnya membuahi peri-peri duyung itu lagi. Itu urusan kedua sobatku. Dari peri Kencana—para peri berambut pirang itu. Aku harus berpuas dengan warga peri Kencana biasa saja tapi tak mengapa karena masih ada peri Wanadri dan peri Ananta. Potensi dua peri baru ini sangat luar biasa. Dari peri Dawala ada si pengawal ratu yang tak kalah tangguh dari ratunya sendiri. Aku menunggu masa tiba gilirannya. Aku sangat bersyukur ia tidak ikut berperang di Alas Purwo karena diperintahkan ratu Nirada untuk menjaga kerajaan, membantu pertahanan. Dari kalangan peri Candrasa, sama kasusnya seperti peri Kencana yang hanya menyisakan peri biasa dan muda. Tapi gak boleh pilih-pilih tentunya. Siapa tau nanti Cayarini berbaik hati dan pulang buat secelup dua, boleh dong berharap.

“Hssss… Aahhh…” erangku yang berusaha keras menahan diri dengan sodokan pendek-pendek menggenjot tubuh Eka yang tergial-gial pendek juga akibat gerakanku. Tubuh bugilnya tetap sangat menggairahkan walo tak ada reaksi yang bisa menambah rangsangan visual untukku. Sodokan pendek-pendek teknik mutakhirku untuk menghasilkan banyak telur tanpa menunggu telur itu terbentuk secara alami di tubuh sang peri. Sayangnya Eka tak dapat memberitahuku sudah berapa banyak telur yang sudah terbentuk di dalam tubuhnya dan ukurannya juga. Ukurannya juga lebih penting. Telur yang berukuran besar ato telur ratu bahkan ato hanya telur biasa?

Cenut-cenut Aseng junior menggerenyam keenakan digesek-gesek di dalam liang kawin Eka yang becek dan hangat. Aku lebih baik mengalihkan pikiran agar gak fokus sama kenikmatan semata. Teorinyaaa… Teori terbentuknya telur-telur secara cepat ini menurutku adalah… Ini bagian dari mengalihkan pikiran itu. Dengan begini gak cepat kali ngecrotnya. Energi yang ada di dalam tubuh sang peri dipaksa untuk mempercepat regenerasi selnya. Sel untuk membentuk telur yang sehat dan dapat dibuahi. Lengkap dengan cangkang dan isinya yang berisi gumpalan energi lini itu. Entahlah… Ini cuma teori ngawurku aja daripada cepat-cepat ngecrot karena kalo dikira-kira baru 2-3 telur saja yang terbentuk di bentuk rahim Eka. Kuraba-raba perutnya yang rata. Belum ada tonjolan yang terasa karena memang tak akan terasa. Anatomi tubuh peri tidak bisa disamakan dengan manusia atau mahluk mamalia lainnya. Bisa terasa janin yang berkembang ato dalam hal ini telur yang terbentuk. Tidak akan terasa itu.

Aku tetap berjongkok mengangkang di depan bukaan kaki Eka yang juga mengangkang lebar sementara Aseng junior terbenam dalam dan digenjot pendek-pendek hanya menggunakan jarak kulit penisku yang longgar. Kukutik-kutik payudara montok Eka sebagai hiburan figuran. Harusnya rintihan dan lenguhan perempuan yang sedang kugauli memberi sensasi yang menggairahkan, belum pernah sebelumnya aku mengalami yang seperti ini, gak biasa aja rasanya—kek menyetubuhi mayat.

Hii… Amit-amit kalo mayat beneran. Necrofilia kalee…

“EEHH?!”

Aku dan Cundamanik kaget sekaget-kagetnya. Apa pasal? Tiba-tiba tubuh Eka terbakar dan tenggelam dalam gumpalan api yang sangat besar hingga membakar alas tidur yang dibaringinya. Tubuhku yang sedang gencet dengannya tentu saja ikut tenggelam dalam api yang segera cepat membesar hingga menenggelamkan tempat ini dalam semacam lautan api yang sangat dahsyat. Aku tak dapat mencegah apa-apa. Cundamanik juga. Kamar luas ini terbakar hebat.

Hanya saja karena aku karena memakai mantel rubah hitam ini sehingga tahan panas dan api, juga Cundamanik yang merupakan peri Anaga yang berelemen api jadinya tak ada yang jadi celaka karena kejadian mengejutkan ini. Untuk beberapa lama, kamar yang tadinya hanya terang secukupnya dari bantuan obor, menjadi terang benderang mengalahkan siang hari akibat kobaran api. Aku sampe harus mengibas-ngibaskan tanganku buat menghalau kobaran api yang menyebabkan kebakaran ini.

“E-Eka?” tebakku pada sosok bertanduk di hadapanku ini. Eka menjadi peri Agni? Tiba-tiba, sekonyong-konyong Eka naik kasta, berubah menjadi peri Agni. Padahal barusan ia tak sadarkan diri, kan? Baru kuentoti memanfaatkan keadaannya…

“Baginda raja… Salam hormat…” sapanya tak lupa sedikit menunduk untuk menghormatiku yang merupakan raja junjungannya. Aku hanya bisa cengengesan aja. Api yang berkobar dari tubuhnya perlahan memudar, entah karena dikendalikan Eka entah pula karena hanya cukup segitu lonjakan elemen api yang terjadi karena perubahannya.

“He he hehehe… Kau sudah siuman, yaa?”

“Baginda… Kita melakukan ini lagi?” tanyanya. Ia masih menunduk setelah bangkit duduk dari posisi berbaringnya selama ini. Pandangannya tertuju pada bagian bawah kami berdua. “Mmm…” kelamin kami berdua masih menyatu erat berpadu. “Hamba… hamba minta maaf karena telah merepotkan dan membuat baginda raja dan yang lain khawatir…”

“Uss… uss… uss… Gak pa-pa… Gak pa-pa, Eka… Gak mengapa, kan kalo kita melakukan ini lagi… Rencanaku akan mulai mengumpulkan peri-peri lagi untuk membangun ulang pasukan kita…” jawabku sebenarnya serba salah. Masak yang lagi pingsan gini diperkosa buat menghasilkan telur? Raja gak ada ahlak macam apa aku ini.

“Hamba menurut saja apa kehendak baginda raja… Tubuh dan hidup hamba hanya milik baginda raja semata…” jawabnya benar-benar menghambakan diri secara total padaku apapun kondisinya. Masa sebagai peri yang belum bernama dan berpakaian, lanjut bernama dan berpakaian, menghasilkan telur-telur berukuran besar hingga meningkat menjadi peri Agni, dedikasi dan loyalitasnya total diberikan padaku. “Ahh…” desahnya dengan mulut sedikit terbuka.

Mantaap! Rasanya tetap enak, malah semakin enak aja. Aseng junior-ku berdenyut-denyut kembali setelah tadi sempat melemah akibat perubahannya barusan. Kini si Aseng junior mulai meradang lagi. Eka mendesah-desah dan membaringkan tubuhnya kembali ke lantai dan pasrah kuapakan saja. Begini ternyata rasanya peri kasta tertinggi Aruna ini. Luar biasa nikmat. Tak kalah nikmatnya dengan tipe ratu peri kedahsyatan rasanya.

“Kita buat peri Aruna banyak-banyak ya, Eka?” Aseng junior terus menyodok-nyodok pendek. Lendir yang tergerus akibat gesekan terus menerus kami berbekas di pangkal penisku dan bagian luar vagina Eka Agni. Eka merintih-rintih lirih menikmatinya, untung masih sempat menjawab dengan anggukan setuju.

“Sudah berapa telur yang terbentuk, Eka?” tanyaku meraba-raba perut ratanya yang mengetat. Guncangan payudara montoknya masih menjadi candu yang memanjakan mata.

“Yang biasa ada 47 butir, bagindaa…”

“Yang biasa? Maksudmu peri Aruna biasa?” senangku. Dari pemilihan katanya, seperti berimplikasi kalo ada telur yang berukuran lebih besar. Telur kasta tertinggi ato malah telur calon ratu. “Yang lain…?”

“Tiga yang berbeda, bagindaaa… Dari ukurannya sama persis dengan telur peri kasta lanjut itu, baginda raja…” Wow?! Mantap! Sudah ada 3 butir telur yang kunanti itu. Ini kemajuan pesat. Berarti bisa didapatkan lagi lebih banyak info. Aku semakin semangat menggenjotnya walo tetap pada pakem genjotan pendek-pendek.

“Cundamanikk!! Kemari kau?! Kau ikut serta disini…” Energi lini periku ini berlimpah sangat banyak. Pastinya akan sangat sangat bagus kalo pengaruh Eka yang sudah mencapai Agni bagi peri Anaga itu. Bisalah ia menghasilkan sebutir telur lagi.

Bersambung

janda ngentot
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Dua
cewek menunggu
Kereta terakhir , pertemuan ku terakhir juga
ngentot tante
Aku Menjadi Kekasih Gelap Tetangga Ku Bagian Dua
Ngewe dengan sepupu yang lagi hamil
ttm hot
Hubungan sexs meskipun tanpa status
Abg IGO Cabe2an Pamer Memek Jembut Lebat
gadis kena obat perangsang
Memberi obat perangsang pada mahasiswi cantik yang betamu ke rumah
mami Mertua sexy
Mami Mertua Tergila-gila Dengan Kontol Ku
hamil muda
Cerita dewasa menikmati tubuh wanita yang sedang hamil muda
foto tante cantik telanjang
Foto tante girang cantik putih mulus lagi bugil
ngentot adik sepupu
Ngentot adik sepupu waktu dia tidur terlelap bagian dua
Tante hot suka ngentot
Pemuda Perkasa Yang Bisa Memuaskan Hasrat Sexs Ku
Foto jilbab telanjang masih ABG suka nonton video bokep
tante hot
Tante Ratna Sang Rentenir Cantik
Foto Sange Mahasiswi Pulang Kuliah Kobel Memek