Part #103 : Citra
“Dah berapa lama kau ngeram di dalam sini? Makin sejahtera aja kutengok kau?” sengit kuliat muka Iyon ngeliat kebahagiaan yang terpancar di wajahku. Nampak kali rona-rona kebahagiaan di tiap biji mataku yang menatapnya balik.
“Sante, lur… Sante, lae-awak… Ngopi dulu kita…” aku mengangkat tanganku dan memanggil. Satu peri Asti cantik berambut biru datang menghampiri kami bertiga yang duduk-duduk di tepi pantai ini. Menikmati nyamannya suasana damai pantai.
“Kopi… Jangan terlalu manis… satu… Klen pesan apa?” kataku pada sang pelayan.
“Ba-ba-ba-ba-bah… Udah bisa pesan-pesan sekarang di sini? Ada makanan minuman sekarang?” Kojek berdecak kagum menatapku dan pelayan peri Asti itu bergantian.
“Ehh… Sepele… Ada-la sekarang… Klen berdua aja yang gak pernah datang kemari lagi… Sekalinya datang cuma mau minta jatah ngentot sama para peri Udahani… Udah banyak perubahan sekarang di sini… Klen tengok… ada cafe terbuka kek gini… Gak klen rasa kek di Bahama-Bahama gitu rasanya… Pelayannya… beuuh… cantik-cantik jaminan mutu… Dapur cafenya ada di sebelah sana…” tunjukku sesumbar pada beberapa perubahan yang terjadi. Sekarang tempat ini jadi lebih menyenangkan dari dulu yang sudah asik.
“Pakek apa kopi yang kao pesan itu… Arang pantat kuali? Bukannya buah-buahan di hutanmu itu gak bisa dimakan? Gak bisa dikonsumsi… Gak kao bawak dari luar, kan?” tanya Iyon yang langsung diserahkan sebuah leaflet menu oleh sang pelayan. Sampe ada leafletnya segala. Terpaksa ia mengucapkan terima kasih sambil bengong liat pelayan cantik dan leaflet menu. “Ada menu segala, cuy…” batinnya.
“Makanya waktu itu awak berkeras mau nyari peri Wanadri itu… Hutanku tambah luas… dan segala macam tanaman yang bernilai ekonomis bisa dimanfaatkan secara optimal…” jelasku mulai memberitahu beberapa perubahan drastis di kerajaanku ini. “Klen pada tau ya, kan… berapa luas daerah kekuasaanku ini… Kalo secara normal… dari ujung Utara sama Selatan ditempuh jalan kaki dengan kecepatan 10 km per jam… itu perlu dua hari dua malam nempuhnya… Cuma kosong melompong aja… Kan mubazir kali… Udah kubuat sistem irigasi di sini biar klen tau… Pertanian dan perkebunan juga sudah berjalan… Gini-gini para periku sekarang udah makan nasi biar klen dua tau… Nanti-nanti kalo misalnya udah swasembada beras bisa kami ekspor ke luar…” koarku.
“Kimaaak… Ada nanam padi pulak perimu…” maki Iyon.
“Eh… Selo-la kau… Biasa aja ngomongnya… Awak raja di sini… Gak kau tengok prajurit-prajurit itu dah mau manggang kau jadi Iyon guling kau kimak-kimak’kan rajanya… Selo aja… Pesan dulu… Capek ini pelayannya nungguin kau gak mesan-mesan cuma nengok’in teteknya aja dari tadi klen berdua…” ingatku pada mereka berdua. Biarpun mereka berdua, tapi kebanggaan seorang raja sangat dijunjung tinggi para wargaku yang rata-rata punya kekuatan masing-masing. Keduanya malah mesan banyak kali. Yang berat-berat dipesan, yang ringan-ringan kek arum manis-pun juga. Kemaruk kali kurasa.
Iyon dan Kojek celingak-celinguk kanan-kiri dulu sebelum nanya yang macam-macam lagi. Kuceritakan kalo peri Wanadri itu memberi banyak perubahan untuk bentuk lanskap daerah kekuasaanku ini. Pertama-tama mereka membuka hutan dahulu untuk memilih dan membagi hutan menjadi sejenis hutan produksi kalo di dunia nyata. Ini karena sangking beragamnya tanaman yang tumbuh di hutanku. Tumbuh secara acak tumpang tindih antara tanaman yang dapat dimanfaatkan secara langsung ato harus diolah dahulu. Peri Wanadri punya kemampuan unik yang dapat memanipulasi tanah dan tumbuhan. Tapi walopun begitu tenaga mereka masih terbatas oleh jumlahnya yang sedikit dibanding luas hutan dan bakal lahan yang akan mereka kelola nantinya.
Untuk itu, peri Wanadri masuk dalam program pembiakanku. Sang ketuanya menjadi sample pembiakanku. Dibuahi tentunya dong. Kalo masalah enak, jangan ditanyakan lagi. Pasti enak, lah casing-nya aja semlohay kek gitu, kok. 220 butir dihasilkan olehnya. Ia kuberi nama Cuta yang artinya pohon mangga, teringat pada pohon mangga golek-ku yang rajin berbuah. Telur peri Wanadri sebanyak itu menetas di dalam hutan, tempat favorit mereka dan mulai bereaksi pada lingkungannya.
Selaras dengan lahirnya banyak peri Wanadri itu, lahir juga peri-peri lainnya. Peri Aruna, peri Asti, peri Kencana, peri Dawala dan peri Candrasa yang merupakan lima jenis peri pembentuk pasukanku kelak. Tak lupa hadir pula peri-peri lain seperti Padma dan Ananta. Diantara bintangnya adalah peri-peri berelemen kasta tertinggi itu lagi. Siapa lagi kalo bukan keturunan dari Eka. Tak tanggung-tanggung aku memberinya 50 butir telur berukuran besar itu di dalam rahimnya. Kali ini kami sudah lebih siap menangani keluarnya telur-telur berukuran besar itu dengan bantuan si pengendali air yang kuanugrahi nama indah Payoda; penghasil air sesuai kekuatannya. 50 peri kasta tertinggi! Dan semuanya kubagi-bagi rata ke dalam tiap jenis kasta tertinggi lima peri itu. Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati. Masing-masing 10 peri kasta tertinggi.
Tapi masalah bintang, ada bintang melebihi bintang di kalangan peri, siapa lagi kalo bukan peri Anaga. Total bersama si Cundamanik, aku memiliki sepuluh peri Anaga yang berbeda-beda. Mereka tidak menetas pada waktu yang bersamaan karena aku selalu menjauhkan mereka satu sama lain. Apalagi dari indukannya yang sering bete dan jutek. Berbagai macam emosi pencetus lahirnya mereka yang berasal akumulasi emosiku, menciptakan beragam peri Anaga yang berbeda. Untungnya kepribadian tiap-tiap peri Anaga gak ada yang sejutek Cundamanik. Lebih kalem dan mudah diatur. Tetap saja aku belum pernah mempertemukan mereka di satu tempat bersamaan karena basic instinct mereka sangat egois walo pure evil-nya sudah teredam lumayan dalam.
Udah kek dragon breeder awak, ya? Jadi dimana kesembilan peri Anaga itu sekarang?
Itu pertanyaan yang bagus sekali. Mulanya dari Sas. Kok Sas? Kenapa peri bertubuh besar dari kelompok pembangun itu mulanya? Si Sas, kan kutugaskan untuk melakukan penambangan kembali di istana lama kerajaan kami di bawah danau Toba itu. Ia minta tambahan tenaga karena gak mungkin melakukan itu semua sendirian. Tambahan tenaga itu kata lainnya minta keturunan kalo kuterjemahkan. Benar saja, peri-peri Aruna yang merupakan keturunannya rupanya kekuatannya bukan kaleng-kaleng semua. Mana badannya gede-gede kek mamaknya, 142 peri Aruna penambang disebar dibawah komando Sas. Nah saat mereka menambang, salah satu keturunan Sas menemukan banyak lapisan-lapisan dimensi baru di kerajaan Mahkota Merah kuno yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Pintu masuk tiap dimensinya sangat tipis dan sulit dimasuki. Jumlahnya ada puluhan. Dari sanalah ide itu berasal.
Sembilan peri Anaga itu kutempatkan di beberapa lapisan dimensi itu sebagai penjaga dan pengawal peri Aruna yang sedang melakukan penambangan. Karena mereka merasakan adanya perasaan aneh sebab merasakan keberadaan peri Anaga lainnya walo di dimensi yang berbeda, mereka selalu waspada dan siaga. Itu cukup untuk membuat mereka selalu sibuk dan memperkuat diri setiap masa. Penambangan aman, kekuatan didapatkan. Cerdas bukan.
Jadi dimana si Cundamanik itu?
“Tuh…” tunjukku pada matahari mantel rubah hitam itu. Disamping ia mendapatkan energi panas matahari elemen apinya, ia juga bertugas menjaga pintu masuk ilegal itu dari penyusup. Siapapun yang coba-coba masuk dari sela-selanya lagi harus merasakan panasnya semburan api dahsyatnya. Kerajaan aman, kesejahteraan terjamin, semuanya nyaman, enak makan enak tidur.
“Enak ngentot…” sambar Kojek sebelum ia mulai mengaduk mie ayam miliknya. Sudah ada teh manis dingin juga di hadapannya begitu juga beberapa jenis makanan dan minuman lain.
“Betul-betul itu…” setuju Iyon lalu menatap tatanan plating steak miliknya. Ia mungkin heran kok ada daging-daging seperti ini juga di sini. Daging sintetis apa tiruan seperti vegetarian gitu? Lalu kujelaskan juga garis besarnya aja sebagaimana pernah dijelaskan oleh kelompok yang dibentuk; kelompok peternak. Ada kelompok petani dan hutan juga. Kelompok sebelumnya yang berupa petarung, pemburu, pembangun, perajin dan penghibur tetap ada malah anggotanya semakin besar saja. Tentu saja kelompok terbesar adalah kelompok petarung karena terdiri dari ribuan prajurit yang terbagi dalam beberapa divisi lagi. Kelompok besar yang merupakan gabungan beberapa jenis peri sekaligus.
“Rumit kali…”
“Awak-pun gak ngerti kali apa yang awak omongin tadi, Yon… Intinya jadi setiap hewan ternak yang sudah ditandai di luar sana dipotong, disembelih… sebagian dagingnya akan muncul di sini… Rasanya juga akan berpindah kemari…” ulangku sekali lagi. “Jadi kalo ada daging hewan yang terasa hambar itu yaa… karena itu semua nyampe kemari…”
“Jadi kek nyolong gitu?” urungnya hendak memotong steak di piring hotplate-nya.
“Sementara ini kek gitu, Yon… Makanya kao tengok aku ada makan daging-daging kek yang kau pesan? Gak ada, kan? Aku cuma minum kopi, jus… paling banter mie aja pake micin dikit…” kami berdua melirik pada Kojek yang dengan lahapnya menyantap mie ayamnya sampe berdecap-decap menyeruput.
“Apa?? Aku gak peduli… Asal bukan dari lembu peliharaanku… Lembuku udah abis…” katanya lanjut makan gak perduli. Kami berdua paham.
“Sementara ini begitu… Jadi memanfaatkan kawasan yang luas begini… tentunya bisa digunakan untuk menggembalakan hewan ternak… Cuma ternak ghaib apa juga yang bisa diternakkan disini? Kelompok peternak bekerja sama dengan kelompok pemburu sedang mencari binatang ghaib di tempat lain yang kira-kira dieksploitasi dagingnya… mungkin juga telurnya… susunya… kulitnya… bulunya… Seperti juga ternak di dunia kita… Beberapa sudah didapat tapi masih dalam masa domestikasi… dijinakkan… Mungkin nanti bakalan ada steak ular raksasa bersisik emas… ato pepes ikan paus bertanduk… semur gajah mammoth yang sudah punah… Pasti nanti ada yang ngiler ngeliat itu ada di menu…”
“Pasti jatohnya haram, tuh…” komentar Iyon.
“Kalo direndang jadi harum…” sambar Kojek sepertinya tertarik.
Tak lama kemudian cafe outdoor ini penuh oleh berbagai macam peri yang baru selesai bekerja membangun istana. Rata-rata tubuhnya penuh peluh dan debu pekerjaan. Yang terdekat dengan tempat kami berada menyempatkan diri memberi salam hormat. Iyon dan Kojek berkomentar tentang tangguh-tangguhnya para peri pembangun ini yang juga terdiri dari berbagai macam ras peri. Aku harus menjelaskan tentang pembangunan berkelanjutan istana kerajaan Mahkota Merah yang berkelanjutan yang dimulai dari dua menara mercusuar besar yang menjorok ke dalam air laut. Tapi tak kujelaskan terlalu detail tentang fakta mataku yang harus dilindungi sepasang mercusuar itu. Keuntungannya adalah mataku kini sudah kembali normal karena tak ada laginya air laut yang menghalangi pandangan mataku.
Filosofi dua menara mercusuar itu adalah persatuan dari berbagai tipe dan ras peri yang ada di dalam kerajaan ini. Kalo kau menganggap peri lain adalah satu mercusuar, dirimu adalah mercusuar satunya. Dekat dan setara tanpa dibeda-bedakan karena merupakan bagian pondasi terbangunnya istana kerajaan ini. Mantap, gak filosofinya? Itu juga boleh ngarang-loh. Tapi benar dan cocok dengan keadaan untungnya. Bayangkan ada berapa jenis ras peri yang ada di kerajaanku ini. Padahal hanya aku dan Sas yang tau alasan sebenarnya.
Istana kini jadi sedemikian besarnya sekarang karena harus mampu menampung banyak peri sekaligus hingga menjorok ke laut segala. Tentunya itu untuk mengakomodasi peri Asti yang berelemen air. Bagian yang menjorok ke laut menjadi spot yang menarik juga karena banyak peri ras lain yang berkunjung sekedar menikmati pemandangannya. Yang menarik tentu saja usul dari para peri Dawala yang sangat suka pada cahaya terang dibanding peri lainnya. Mereka minta ditempatkan di puncak tertinggi bangunan saja tanpa atap untuk dapat menyerap cahaya sebanyak-banyaknya tanpa penghalang atap dibandingkan versi istana sebelumnya yang bersekat-sekat kamar. Tidak masalah. Peri Candrasa aja di bawah tanah disanggupi, kok.
“Jadi kalo kita ke tingkat paling atas… ada banyak peri Dawala rambut putih telanjang bulat sedang tidur mandi cahaya sekaligus… Bisa-bisa kau ngecrot di tempat tanpa sempat nyentuh kontol… Hebat, gak?” pamerku berbisik-bisik kepada mereka berdua yang mencondongkan muka akan gambaran indah yang kupresentasikan. Hidung keduanya kembang kempis sange. Cuma bisa geleng-geleng.
“Tapi tempat tinggal peri duyung Udahani itupun udah bagus kali, kok… Udah kek cottage di tengah laut gitu…” kagum Kojek. “Dimana ada di tengah laut ada air terjun kek gitu?… Bangunannya dibuat di dinding air terjunnya pulak… Paten kali-la pokoknya… Aku akan sering-sering kesitulah pokoknya…” kenangnya akan kunjungannya belum lama berselang untuk buang hajat tai macan di tempat para peri Udahani. Kelompok pembangun gak ketinggalan membangun tempat para peri Udahani. Aku bercanda menyebut tempat itu sebagai kecamatan terluar kerajaan Mahkota Merah karena jaraknya yang lumayan jauh di tengah laut.
“Cumaaa… pertumbuhan peri Udahani agak lambat kalo klen bedua yang megang… Nambahnya cuma satu dua aja… Gak mau awak bantu…?”
“Gak-gak! Biar kami aja… Itu bagian kami berdua… Kau urus aja peri yang lain… Peri Udahani bagian kami berdua! Iya-ya, kan Jek?” potong tegas Iyon langsung paham akal bulusku untuk menggasak peri demenan keduanya. Kojek manggut-manggut setuju.
—–oo0O0oo—–
Berikutnya aku membawa kedua sahabatku itu kek kunjungan kerja pejabat dari ibukota yang meninjau berbagai infrastruktur dan fasilitas yang ada di kerajaanku yang luas ini. Kalo aku buat wisata bagi para pria mata keranjang ke tempat ini pastinya bakalan laku keras. Kek mana gak laku keras? Sepanjang mata memandang ada banyak sekali peri berwarna-warni warna rambut berkeliaran di sembarang tempat melakukan tugas dan pekerjaannya dengan pakaian minim ato sama sekali tak berpakaian. Iyon dan Kojek aja bolak-balik membetulkan posisi junior mereka yang melenceng di dalam celana.
Di sepanjang sungai yang kini semakin besar dan deras ini ada hamparan sawah berhektar-hektar luasnya. Lalu ladang sayur dan buah-buahan juga ada berhektar-hektar terbentang luas. Ini untuk mengatasi kekurangan makanan yang tak dapat dicukupi dengan hanya menyerap elemen alam saja yang sebenarnya coba dicukupkan daerah kekuasaanku ini. Ada sawah dan ladang yang masih kosong, yang sedang diolah dahulu kegemburan tanahnya dengan kemampuan manipulasi tanah dari beberapa peri Wanadri. Sebagian lagi sedang dirawat dan diairi. Apalagi yang sedang sibuk-sibuknya ini memanen padi yang telah kuning siap panen.
“Nengoknya jangan ngiler kek gitu kali-lah…” hardikku membuyarkan lamunan keduanya yang pasti hanya ngeliatin bokong-bokong menungging para peri yang sedang menanam padi.
“Kimak kau… Kau pikir aku ngeliatin pantat aja… Aku hanya mikir tempat ini bentar-bentar lagi bakal jadi kota sebesar apa? Yang luar biasanya adalah kemandirian yang kau rintis, Seng… Tak lama lagi tempat ini akan berdiri otonom tanpa bergantung pada sumber daya tempat lain… Ini luar biasa… Keknya kau memang berbakat jadi raja…” kata Kojek.
“Iya… Aku juga jadi mikir kenapa aku yang jadi pemimpin gak resmi Ribak Sude… Harusnya itu kau, Seng…” setuju Iyon.
“Awak cuma bisa mimpin yang bisa awak entot… Klen berdua tato matahari cap lonceng busuk… Gak selera awak…” elakku.
“Kimak kau!” hardik keduanya.
—–oo0O0oo—–
Di kejauhan kami melihat sepasang hewan raksasa sedang dikejar-kejar oleh beberapa sosok peri. Dari bentuknya segera ketahuan kalo itu adalah hewan sejenis gajah mirip mammoth yang sudah punah itu. Hanya saja mammoth ini berbelalai lebih pendek dan rambut-rambut tubuhnya lebih panjang. Kelompok peternak dan pemburu menemukan hewan di daerah yang dingin. Entah apakah hewan ini cocok di iklim panas tempat ini. Makanya mereka hanya membawa sepasang mammoth ini untuk pengenalan daerah.
Kami hanya melihat-lihat hewan yang ada di balik pagar keliling. Iyon dan Kojek segera mengenali beberapa ekor unicorn dan pegasus. Entah sampe kemana mereka melanglang buana mencari hewan-hewan ghaib itu untuk diternakkan. Beberapa lain adalah sejenis kerbau bertanduk panjang ato banteng dan berbagai jenis rusa. Tentu saja masih hewan ghaib.
“Lebih canggih kan dari ternak lembumu?” pamerku. Kojek hanya mengangguk-angguk. “Eeehh… Sampe lupa awak… Untung teringat ternak lembumu, Jeeek… Gini-gini…” aku segera menarik Iyon dan Kojek agar lebih mendekat. “Awak punya 25 M nih… Untuk lembumu, Jek… 10 M… Untuk busmu, Yon… 10 M juga… sisanya 5 M untuk membangun kembali galon awak…” paparku. “Kalo ada sisanya kita infaq-kan…”
“Beneran nih, Seng?” kaget Iyon. Kojek hanya bisa menganga tak percaya.
“Beneran… Kok ecek-ecek (pura-pura) pulak… Beneran, nih!… Duitnya udah ada di rekening… Nanti awak transfer-la ke rekening klen bedua… Jadi bisnis kita bisa jalan lagi setelah semua selesai… Biar klen bedua gak setres kali-la mendadak bangkrut sebelum kaya… OK? OK, gak?”
“OK!”
“Jadi ada hasilnya jugak kau waktu jadi Menggala hitam ya, Seng?”
“Gak usah dibahas lagi-laa… Malu awak… (*gelay)”
“Kimak! Sok imut kao!!” maki keduanya. Keduanya seperti menatap satu sosok yang mendekat padaku di belakang.
“Baginda raja?”
“Yaa…” aku memutar pandangan untuk dapat menjawab sapaan dari satu peri yang menghampiriku. “Cayarini?!” kagetku. Bukannya ratu peri Candrasa ini sedang menyusup di kerajaan maharaja Lord Purgatory itu sebagai Awyati yang telah menyerapnya? Apa ada sesuatu yang terjadi? Ini pasti sesuatu yang gawat lagi penting…
“Apakah sesuatu yang gawat sedang terjadi di sana?” tanyaku sembari mencoba membaca air mukanya yang cemas.
“Benar, baginda… Maharaja Lord Purgatory yang memakai tubuh Bobi Putranto itu sedikit lagi akan mencapai ‘surga’ yang ingin ditujunya itu…” ujar Cayarini.
“Surga?” ulangku.
“Iya… Semua ini ternyata untuk mengintip ‘surga’, Seng… Aku-pun gak terlalu ngerti surga seperti apa yang akan diintipnya ini… Apakah surga beneran ato hanya kiasan aja… Tapi gak mungkin pula cuma ngeten (ngintip) sampe segini usahanya…” kata Iyon yang seperti tau lebih banyak. Kojek juga memiliki pengetahuan yang sama.
“Jadi? Gimana? Kita hentikan lagi semua kegilaannya itu?” tanyaku. Aku sudah siap untuk berperang lagi. Aku sudah lama memikirkan semua persiapan untuk membalas kekalahan kerajaanku sebelumnya.
“Tentu… Hanya saja… Kita gak boleh pake cara yang kemaren itu… Kami berdua pergi duluan untuk melumpuhkan dua peri Ananta dan Byuha saktinya itu… Setelah keduanya lumpuh… baru kau datang dengan pasukan perimu… Kami akan bawa bantuan juga…” ujar Iyon tentang rencananya. Aku gak pernah sekalipun ragu dengan rencananya walo tak sepenuhnya selalu tepat.
“Baik… Awak mau nyiapin pasukanku dulu… Klen pergi duluan…”
“OK… Kami pergi duluan… Ayok, Jek…” ajak Iyon hingga keduanya menghilang dari pandanganku, keluar dari kerajaan Mahkota Merah—daerah kekuasaanku.
“Yuk, Cayarini…” ajakku menarik tangan ratu peri Candrasa itu agar mengikutiku. Ia kebingungan kubawa sepanjang jalan menuju istana. Beberapa peri yang kami jumpai di jalan juga ngeliatin penuh makna, paham apa yang sedang kurencanakan saat ini. Sudah jamak pemandangan ini terjadi berkali-kali sebelumnya. Satu ato lebih peri kubawa ke ruangan istirahat pribadiku di dalam istana adalah pemandangan yang biasa saja terjadi akhir-akhir ini.
“Ba-baginda… baginda raja hendak membawa hamba ke-kemana?” gugup Cayarini terus kuseret ke dalam kamarku. “Ke-ke kamar pribadi bagindaa…?” sadarnya begitu melewati pintu yang telah tertutup rapat lagi. Apalagi aku mulai menggerayangi tubuhnya.
“Aku kangen kamu, Cayarini… Mm… Ahh…” kuremas-remas bagian tubuhnya bertujuan merangsang ratu peri Candrasa ini. Mulutnya langsung kupagut dan merasakan kelembutan mulutnya. Kenyal payudaranya seperti lumer di remasan tanganku. Pakaiannya segera berantakan dan berakhir terlucuti hingga ia tak berpakaian sama sekali. Ia membalas perlakuanku dan mengelus-elus tubuhku juga.
“Hamba juga kangen, bagindaaa… Mmmh…” dipasrahkannya tubuhnya larut dalam dekapan eratku. Kuendus seluruh aroma pinus segar tubuhnya yang sangat kurindu. Aroma ini tak sama dari peri Candrasa lainnya. Ini aroma yang kurindu dari Cayarini-ku. Kujilat-jilat seluruh tubuhnya dan ia pasrah diapakan saja walo dalam keadaan masih berdiri begini dekat pintu. Tubuh telanjangnya kujilati dengan rakus. Pinggul lebarnya kuremas-remas ketika lidahku mampir menjamah kemaluannya. Dari sini semua aroma segar itu berasal. “OOouuuhh…” Ratu peri Candrasa itu melolong.
Lidahku bermain lincah di belahan kemaluannya. Sebelah kakinya kutopangkan di bahuku agar aku lebih mudah membuka liang kawinnya. Lidahku mencucuk-cucuk masuk menyedot semua cairan mengalir deras dengan segarnya. Tubuhnya bergetar-getar merasakan lidahku menelusup masuk mengacak-acak kemaluannya. Jariku ikut campur dan mengocok liang kawinnya sementara lidahku pindah menyentil-nyentil kacang itilnya. Curahan deras cairan adalah anugrah yang kudapatkan dari ratu peri Candrasa ini. Rasanya sangat menyegarkan.
Tubuh Cayarini yang rapat di dinding lemas berdiri dengan dada naik turun. Kutuntun ia agar duduk bersimpuh. Ia duduk lemas tetapi segera paham tugasnya begitu Aseng junior-ku mengacung tepat di depan matanya. Patuh ia mengulum, menjilat dan menyedot penisku. Dibasahinya sekujur batang kemaluanku dengan skill yang makin yahud saja. Permainan mulutnya semakin menggetarkan sukma. Lidahnya menyentil-nyentil saat sedotan kuat menyepong kontolku hingga aku melenguh.
Selama melakukan itu, ia tak lepas menatapku dengan pandangan seksi itu. Mulutnya bermain dengan lincah penuh dedikasi dan pengabdian penuh. Kugenjot mulutnya penuh perasaan dan ditampungnya Aseng junior sepenuh jiwa. Ludahnya menetes-netes membasahi pipi dan payudaranya. Kulepas Aseng junior dari mulutnya untuk permainan yang sebenarnya. Tubuh bugilnya berbaring pasrah di atas ranjang luas yang muat untuk menampung lima tubuh sekaligus. Matanya sayu siap diapakan aja.
“Cayarini tau… aku mengharapkan kau datang lebih awal agar peri-peri Candrasa muda sekarang ini adalah hasil keturunanmu lagi… Rajamu ini harus berpuas diri melakukannya pada peri Candrasa lain…”
“Hamba siap menerima hukuman dari baginda raja… Hamba sangat egois berdiam diri di sarang musuh…” jawabnya.
“Berdiam diri-heh? Apa tak ada pejantan yang menyentuhmu di sana selagi menyamar? Tak ada yang pantas?”
“Tubuh hamba hanya milik baginda raja Mahkota Merah… Lagipula mereka tak ada yang berani melirik kami bentuk kasta tertinggi peri berelemen…” jawabnya lagi malah melebarkan kakinya lebih terbuka hingga kemaluannya terlihat jelas menantang. Dadanya naik turun sepertinya sudah terbakar birahi yang sudah kami mulai sedari tadi. Aku merangkak di atas tubuh bugilnya. Aseng junior bahkan berkisar di atas kakinya hingga ke pangkal paha.
“Jawaban yang bagus sekali… Tubuhmu ini hanya milik rajamu… Hanya aku yang boleh menyentuhmu begini dan memasukinya…” kuremas gemas kenyal satu payudaranya dan mengarahkan Aseng junior ke sasaran tembaknya. Melonjak tubuh montoknya disodok tiba-tiba begitu. Hanya karena sudah demikian basahnya liang kawinnya, Aseng junior-ku mudah masuk.
“Aaaeehh… Bagindaaaaahh… Auuhh… Mbbb…” mulutnya yang merintih-rintih langsung kusumpal lagi dengan sodokan-sodokan gemas panjang. Aku benar-benar kangen dengan peri Candrasa ini. Well… Aku juga kangen dengan ratu Nirada, ratu Lawana dan ratu Kanaka. Setidaknya satu dari sekian ratu peri yang ada sudah ada di hadapanku saat ini dan kulampiaskan sebaik-baiknya dengan mengisinya dengan bibitku.
Melonjak-lonjak tubuh montoknya menerima sodokan penuh emosi rindu dariku ini. Berayun-ayun tubuh kami berdua mengarungi lautan birahi sepuas-puasnya. Aseng junior-ku bersenang-senang dengan salah satu sarang primanya. Salah satu sarang favoritnya. Cayarini terbata-bata mengatakan bahwa satu-dua telur miliknya mulai terbentuk. Padahal aku hanya melampiaskan syahwatku saat ini, belum memakai teknik pembentukan telurku yang paripurna.
Segera kuposisikan tubuhnya ke standar operasi. Berbaring tenang dengan Aseng junior menancap dalam lalu kugenjot pelan-pelan dengan efek menggerus. Walo begitu tak ayal Cayarini merintih juga keenakan.
“Enaak, bagindaa…” rintihnya merasakan genjotan pendek-pendekku ini. Aku sudah begitu mahir melakukan ini semua terbukti aku sudah menghasilkan ribuan peri muda baru tiap waktunya. Hari ini bahkan terjadwal beberapa batch telur peri Dawala akan menetas. Setelah melakukan ini beberapa kali, efek sudah begitu lamanya aku ada di daerah kekuasaanku ini, kami jadi tau jadwal menetas tiap-tiap telur jenis peri. Misalnya peri X akan menetas setelah equivalent Y hari dunia normal berada di lingkungan elemennya. Sebenarnya tak ada takaran waktu di tempat ini karena waktu sepertinya berhenti di tempat ini sebab selalu dalam keadaan terang bagaikan siang hari. Para warga peri-ku hanya mengambil waktu istirahat bila tubuhnya merasakan perlu istirahat—saat itulah malam bagi peri tersebut dan ia istirahat sebagaimana manusia istirahat di waktu malam.
Rintihan-rintihan Cayarini terus berulang-ulang seiring genjotan pendek-pendekku. Sesekali ia mengelus-elus perutnya sendiri bahkan meremas payudaranya juga karena aku berpegangan erat pada kedua sisi pinggulnya. Pemandangan indah selama proses pembanyakan telur peri ini adalah hiburan tersendiri bagiku. Suara seksi rintihan, aroma yang menyenangkan dan rasa nyaman di Aseng junior-ku.
“Sudah 192 buahh… bagindaaahhh… Uuhmmm… Hambaa… hamba tak tahan laggiihh… Mmm…” keluhnya. Rasa nikmat yang menggelitik relung-relung tubuhnya sebenarnya hanya tanggung saja seperti yang juga kurasakan. Karena harusnya nikmat begini harusnya dipuncaki oleh orgasme yang melenakan dan itu tak kami capai dari tadi. Ia sepertinya merindukan rasa nikmat orgasme yang dulu pernah dirasakannya bersamaku.
“Kita genapkan sampe 200 aja, yaah… Kasi tau kalo udah dua ratuss…” kataku. Sebenarnya masih belum apa-apa jumlah segitu karena sebelumnya Cayarini pernah menampung sampe 500-an telur di dalam tubuhnya.
“Hamba-hamba… akan bertahan sedikit lebih lama lagi, bagindaa…” ujarnya. Tugas monoton ini sudah menjadi makanan sehari-hariku. Sudah berapa banyak peri berbagai jenis yang kusetubuhi di tempat ini dan tempat-tempat lainnya. Tempat ini menjadi spesial bagi peri-peri tertentu yang punya nilai sentimentil tertentu bagiku seperti trio petarung peri Aruna, trio peri penghibur seksi itu, beberapa peri Wanadri, peri Ananta dan Payoda si pengendali air. Termasuk juga Cayarini ini.
Kami berdua lalu bersenang-senang seperti sepasang kelinci yang memacu birahi ingin mencapai orgasme. Jeritan lirih manjanya memenuhi ruang pribadi raja ini. Berkejat-kejat sekujur tubuhnya kala mencapai klimaks itu. Sepertinya sudah saatnya aku membuahi semua telur miliknya sekarang juga. Sudah cukup lama kami melakukan senggama ini penuh kerinduan mendalam. Saatnya Aseng junior mendapatkan hadiah terbaik yang paling disukainya. Ngecrot tentunya.
“Croot croott crooottt… Ukh…” keluhku sampe merinding-rinding merasakan rasa enak, nyaman dan nikmat berpadu jadi satu saat klimaks milikku juga menyembur di liang kawin Cayarini. Membuahi 200 butir telur peri Candrasa miliknya. Cuddling berduaan begitu terasa begitu nyamannya. Kukecup-kecup pipinya dan ia membiarkanku memeluknya cukup lama karena ia punya kemampuan untuk menyimpan telur yang sudah dibuahi. Tidak seperti peri lain yang langsung brojol telur-telurnya begitu selesai proses kimpoi ini.
“Hamba merasakan rasa rindu baginda juga… Sebagaimana hamba rindu baginda…” bisiknya saat kupeluk tubuhnya dari belakang. Tanganku nakal meremas-remas payudara montoknya. “Hamba merasa sangat bahagia menjadi bagian penting dari kerajaan baginda raja… hingga saya sangat membenci apa yang telah diperbuat maharaja itu…”
“Apa rupanya yang sedang dilakukan si Lord Purgatory itu saat ini?”
“Belum lama ini ia menikah, baginda raja… Ia mengundang semua raja-raja bawahannya, semua kenalannya, semua mahluk ghaib yang tunduk padanya… Pesta pernikahannya berlangsung 7 hari 7 malam… Mereka semua bersenang-senang, berpesta pora tiada henti… Alas Purwo saat ini sedang dalam masa yang sangat meriah… Segala macam hiburan, makanan dan minuman tersedia buat para tetamu… Semua hal dibebaskan tanpa batas… Terjadi hal yang luar biasa saat ini, pendeknya…” papar Cayarini masih dipelukanku.
“Waah… Ternyata dia tau cara berpesta juga rupanya… Kalo semua diundangnya begitu…” aku berhenti dan membayangkan dekadensi moral yang serendah-rendahnya. Pasti ada banyak pesta seks yang terjadi. Kalo sudah terjadi pesta meriah seperti itu di level kerajaan besar, segala macam hiburan termasuk pesta lendir juga pasti disediakan. “Siapa rupanya pengantin perempuannya? Manusia ato mahluk ghaib?” tanyaku kepo. Aku membayangkan ia berjodoh dengan raksasa Batara Kala betina yang gemuk dengan dandanan menor dan bibir bergincu merah tebal. Ancur kali bayanganku…
“Seorang manusia, baginda…” Cayarini merasa perlu berbalik untuk menghadap padaku untuk menyampaikan ini. “Seorang wanita bernama Amira… Dengar-dengar ia adalah cinta lama dari manusia bernama Bobi itu…”
“Amira?” ulangku. Bukannya Amira itu perempuan yang menjaga tante Grace di Pasuruan? Kalo gak salah perempuan itu masih ada hubungan keluarga dengan tante Grace dan Bobi. Sepupu kalo gak salah. Bobi sering menyebut-nyebut nama Amira saat kami bersama dulu. Lord Purgatory bahkan sampai menikahi Amira agar menyamai apa yang dikehendaki Bobi. “Ya-ya… Aku kenal dengan yang namanya Amira itu…”
“Ibunya Bobi juga dibawa ke Alas Purwo… Bergabung di dalam pesta itu…” tambah Cayarini. Itu masih normal rasanya. Tentu saja orang tua Bobi harus menyaksikan anaknya menikah. Tetapi membawa tante Grace yang dalam kondisi mental seperti itu ke Alas Purwo. Bukannya itu akan tambah membuat perempuan tua itu makin tertekan dengan segala macam aura ghaib. Saat ini aku yakin energinya sangat negatif. Orang maharaja-nya aja punya rencana jahat yang kira-kira kek gitu, kok.
“Apa lagi?”
“Saat ini adalah malam pengantin bagi keduanya, baginda…” jawab Cayarini. Aku tersenyum lebar. Bukannya kami juga seperti pengantin barusan. Ngentot habis-habisan juga. Gak usah ngiri-la sama Lord Purgatory dan Amira yang sedang menikmati malam pengantin mereka dengan ngentot juga selagi ada pesta meriah 7 hari 7 malam di luar sana. Entah udah berapa ronde berlalu. Pokoknya puas-la. Tapi ekspresi Cayarini tak sesuai denganku. Ia sepertinya terganggu akan sesuatu.
“Kenapa?”
“Perempuan itu… manusia itu sedang dinikmati oleh banyak mahluk-mahluk bawahan Lord Purgatory, baginda… Ia terperdaya… Ia mengira sedang melayani suaminya… Padahal…”
“Alamaak?” Glek…
—–oo0O0oo—–
Jadi gak konsen aku menyiapkan pasukanku untuk perang nanti. Persiapan pasukanku sebenarnya sudah matang sejak lama karena tak banyak perubahan yang terjadi. Hanya tambahan pasukan dari peri Candrasa yang sangat mencolok kini hingga matra pasukanku terdiri dari lima jenis peri berelemen. Hanya saja aku pede mengatakan bahwa kecakapan pasukanku sekarang jauh lebih tinggi dari generasi sebelumnya.
Peri-peri muda ini tak hanya berlatih dan bertanding antar pasukan seperti sebelumnya. Unit-unit berbagai ukuran diberikan berbagai tugas keluar lingkungan kerajaan. Ini berfungsi untuk meningkatkan keterampilan, keberanian, pengalaman dan ketangguhan mereka saat menghadapi pertempuran. Kehidupan di luar kerajaan yang keras menempa mereka untuk menjadi prajurit tangguh. Unit-unit ini selalunya dipimpin oleh peri kasta tertinggi itu untuk selalu mengasah kepemimpinannya.
Alhasil, pasukanku bahkan sangat kuat jadinya per individu karena sudah ditempa oleh panasnya medan tempur yang sebenarnya. Korban-korban memang pasti berjatuhan tapi itu semua sesuai dengan hasil yang diharapkan. Unit pasukan yang berhasil melakukan misinya selalu kuberikan hadiah. Tentunya berupa nama dan pakaian adalah hadiah tertinggi. Jadinya, saat ini ada banyak peri muda yang meningkat menjadi peri dewasa yang sudah memiliki nama dan berpakaian. Semakin berprestasi, semakin tinggi derajatnya di kerajaan ini.
Dengan begitu, peri-peri muda lainnya terpacu untuk mengejar ketertinggalannya dengan peri yang sudah meningkat dewasa. Efek rivalitas yang sehat ini membuat kerajaan Mahkota Merah yang dipenuhi berbagai jenis peri ini menjadi semakin meriah dan menyenangkan untuk dipimpin. Aku sebagai raja tertinggi di sini tentu saja selalu gembira dan puas dengan banyak pencapaian positif ini.
Tak ada yang dibedakan di kerajaan ini. Itu kunci keberhasilanku keknya. Semua peri ada dalam tatanan yang sama walopun mereka adalah kasta tertinggi sekalipun ato peri dewasa bernama, berpakaian. Hak dan kewajiban mereka tetap sama. Itu semua tidaklah mudah awalnya. Awalnya tentu saja ada sentimen tertentu karena ini kerajaan Mahkota Merah dengan penghuni utamanya peri Aruna. Makanya unit-unit pasukan yang bertugas terdiri dari campuran berbagai jenis peri sebagai unit lengkap. Ada petarung yang menggunakan senjata, menggunakan elemen, penyembuh, pencari jalan dan lainnya. Dengan begini, campuran berbagai peri bisa bekerja sama dengan baik karena sudah terbiasa berinteraksi dengan peri berbeda elemen sekalipun.
Hasilnya, sangat ruaarr biasaa. Pencapaian memuaskan didapatkan beberapa peri kesayanganku. Beberapa peri melejit dan meningkat karena sistem yang kubuat ini. Tentunya menjadi peri kasta tertinggi. Dari 50 peri kasta tertinggi yang dihasilkan telur Eka yang merupakan Agni juga, ada penambahan peri kasta tertinggi lagi. Dwi dan Tri juga menjadi Agni setelah memimpin beberapa kali tugas keluar kerajaan, sehingga trio kelompok petarung awal peri Aruna lengkap menjadi Agni semua. Astha juga menjadi Agni untuk memimpin kelompok pemburu yang lebih besar dan tangguh. Tentu saja ada juga peri-peri tangguh dari kalangan peri Asti, peri Kencana, peri Dawala dan peri Candrasa yang menjadi kasta tertinggi itu. Otomatis mereka menjadi pemimpin pasukan yang sudah berkembang bersama dengannya.
Pasukanku kita tak bisa dianggap remeh. Pasukan dari kerajaan kecil? Jangan salah. Dengan sepak terjang pasukan-pasukan peri yang kukirim melakukan berbagai misi berbahaya, kerajaan Mahkota Merah kini adalah kerajaan yang disegani di kalangan mahluk ghaib. Siapa yang bisa menyerang balik kerajaan ghaib yang terdiri dari ribuan peri berbagai elemen yang letaknya ada di dalam daerah kekuasaan seorang Menggala? Hanya ada dua jalan masuk ke tempat ini; undangan masuk oleh sang Menggala sekaligus rajanya dan matahari hitam yang dijaga seekor naga api. Coba-coba masuk lewat matahari hitam itu pasti akan habis dibakar Cundamanik.
Sudah berapa lama aku di dalam daerah kekuasaanku ini? Sudah lama sekali. Padahal aku harusnya… Ngg… Terakhir kalinya aku baru saja berbaikan dengan istriku dan menghabiskan beberapa ronde bercinta, 4 ronde tepatnya. Istirahat aku masuk ke daerah kekuasaanku ini dan sampe sekarang. Rasa-rasanya udah mau setahun-la kurang lebih.
Setahun? Lama bener…
Yaa… Itu-la untungnya ada di daerah kekuasaan Menggala seperti ini. Kerajaanku bisa berkembang pesat, kemampuanku bertambah, kemajuan didapatkan. Keluar dari sini, aku hanya balik kelonan dengan orang rumahku sehabis bercinta setelah insiden tabrakan itu. Tak ada jeda waktu sama sekali walo sudah begitu lama.
Pasukan sudah siap tempur. Masing-masing divisi sudah dipimpin oleh ketuanya masing-masing yang merupakan peri kasta tertinggi. Semua sudah siap sedia tak sabar lagi hendak maju dalam pertempuran. Mereka yang sudah terbiasa oleh panasnya medan tempur semakin panas lagi begitu tau kalo lawan kali ini pernah mengalahkan kerajaan kami di pertempuran sebelumnya. Eka yang menjadi jendral tempur utamanya ditemani Dwi dan Tri memberikan lecutan semangat dengan kata-kata bersemangat untuk membakar semangat juang mereka.
“DEMI MAHKOTA MERRAAAAHHH!!” Eka mengacungkan pedangnya ke atas yang diikuti oleh semua pasukan yang akan ikut andil dalam perang ini.
Aku sangat terharu akan dedikasi dan semangat mereka semua. Kurasa saatnya aku keluar dan segera menyusul Iyon dan Kojek di luar sana. Tugas mereka akan segera tiba begitu masanya tepat dan aku bisa mengeluarkan mereka semua…
——————————————————————–
“Eh… Apa cerita?”
“Ahh… Lama kali-pun kau datangnya… Ngentot dulu pasti kau, kan?” kata Iyon yang menunggu bersama Kojek di tempat yang sudah kami tentukan sebelumnya. Ini adalah tempat di luar kraton tempat kekuasaan Lord Purgatory berada. Dimana sedang berlangsung pesta meriah pernikahan sang maharaja bersama maharatu-nya selama 7 hari 7 malam itu.
“Ish… Muncungmu… Orang lagi sibuk mengatur pasukanku biar siap tempur gitu…” ngelesku. “Yang klen pikirnya gampang ngatur pasukan sebanyak itu? Ribuan woy itu perinya…”
“Heleh… Lebih payah lagi ngatur pelermu itu…” Kojek ikut-ikutan ngejek-ngejek aku. “Kau pikir gak tau kami ada pemimpin tiap-tiap pasukanmu… Ada pulak lagi jendralnya… Yang kau pikir kami liat?”
“How do you do?”
“How do you do juga?” muncul lagi dua orang ajaib yang kaya rayanya nauzubilah. “Kenapa ngeliatinnya gitu?” tanyanya. Ia mengecek penampilannya sendiri yang mungkin agak terlalu mewah untuk sebuah penyerbuan. Soalnya kedua kembar identik ini sudah memakai semua atribut tempurnya secara lengkap. Kemunculan dua orang ini menghentikan ledek-ledekan biasa kami.
“Kubilang apa tadi, Bun… Rencana Ribak Sude gak sama dengan cara kita…” kata Ron buru-buru menyimpan kembali semua zirah tebal kebesarannya yang berwarna kuning keemasan itu. Melihat itu, Buana juga melakukan hal yang sama. Keduanya masih memegang pedangnya masing-masing.
“Iya… Kalo cara klen berdua keknya lebih bar-bar daripada cara kami…” kataku.
“Kalo bos-bos yang maju duluan… itu semua mahluk ghaib pasti langsung lari kocar-kacir…” tukas Iyon tentang salah satu bos tempatnya bekerja.
“Abangmu gak bisa ikut?” tanya Kojek. Abangnya kedua kembar identik ini maksudnya adalah Iqbal, pria bertubuh besar kekar yang sehari-harinya adalah seorang chef ternama dengan kekuatan sepasang harimau putih. “Kalo ikut mungkin abis ini kita bisa makan-makan… He hehehe…”
“Mungkin agak terlambat datangnya… Tapi gak janji juga… Katanya ada kesibukan sedikit…” jawab Buana. “Abah ikut juga?”
“Mungkin terlambat juga… Kita tinggal nunggu beliau aja…” kata Iyon.
“Eh… Ini pesta nikahan, ya?” tanya Ron yang memperhatikan keriuhan perhelatan pesta pernikahan itu. “Bukannya lebih baik kita menyusup ke dalam dan membuat keributan… Kita mencar gitu… dan masing-masing membuat keributannya sendiri… Pasti bakalan heboh, deh…” usulnya.
“Itu salah satu pilihannya, Ron… Awalnya cuma kita kepung dan kita serang serentak dari semua penjuru… Hasilnya pasti sama… semua yang lagi pesta ini pasti kocar-kacir… Rusuh-la pasti pokoknya…” kataku tentang rencana awal kami. Tapi karena menunggu abah Hasan, kami harus menunggu persetujuannya dulu. Kojek menambahkan kalo ini pesta 7 hari 7 malam.
“Ini malam terakhir pastinya?” tebak Buana. “Semakin banyak yang datang, tuh…” tunjuknya pada beberapa kelompok tamu yang datang berbondong-bondong menuju kraton yang semakin semarak saja. Daerah yang biasanya gelap ini menjadi memiliki cahaya terang sendiri berkat beberapa penerangan yang disediakan selama hiburan berlangsung.
“Itu semua karena Amira…” ungkapku. Iyon dan Kojek langsung mengenali nama itu, lain halnya dengan Ron dan Buana. Kembar identik ini pernah beberapa kali bertemu Bobi tetapi tidak begitu akrab karena beberapa alasan, hingga tidak mengenal Amira.
“Kenapa Amira? Bukannya dia yang merawat ibunya Bobi, kan? Yang kita temui di Pasuruan waktu itu?” ingat Iyon. Kojek juga mengangguk-angguk.
“Gini…” aku memperbaiki posisi berdiriku di dekat pohon besar tempat kami berkumpul. “Ternyata… Lord Purgatory menikahi perempuan yang sudah sejak lama disukai Bobi…” aku menatap mereka berempat bergantian.
“Seingatku… siapa yang pernah bilang… si Bobi ini pernah sempat suka dengan istrimu, kan?” kata Buana coba mengingatnya. Ron juga mengangguk mengingat hal itu.
“Benar… Itu masa sekolah dulu… dan lanjut gak lama setelah lulus… Tapi orang rumahku gak pernah meladeninya… Malah ujung-ujungnya malah kawin denganku akhirnya… Tapi intinya… Si Lord Purgatory ini malah meneruskan keinginan Bobi yang gak kesampaian ini pada si Amira ini… dan menikahinya saat ini… Di pesta meriah ini…”
“Jadi maksudnya Fatima-Fatima itu si Amira ini aslinya? Karena ada jauh di Jawa sini… si Bobi coba-coba mengalihkan perasaannya pada orang rumahmu gara-gara inisial nama tengahnya ‘F’ juga?” tebak Kojek.
“Tepat sekali…” jawabku.
“Oop maak!” tiba-tiba Iyon mengumpat. Kami semua beralih padanya. “Betul yang dibilang abah… Si Lord Purgatory ini harus mengorbankan orang yang disayanginya—orang yang dicintainya untuk bisa mengintip ‘surga’ itu… Ingat kau, Jek?” kata Iyon mengingat sesuatu yang krusial.
“Iya… Jadinya maksudnya si Lord Purgatory ini harus ngorbanin istrinya gitu? Si Amira-Amira ini?” kaget Kojek menyadarinya.
“Mengorbankan istrinya?” aku tertegun. Teringat apa yang pernah akan kulakukan pada orang rumahku sendiri. Bukankah itu artinya saat itu, aku gak ada bedanya dengan Lord Purgatory sekarang? Tega sekali ia mengorbankan orang yang seharusnya dikasihinya untuk tujuannya itu. Sepadankah pengorbanan yang dilakukannya dengan hasil yang akan didapatnya? Kalo diingat-ingat, saat itu hasil yang akan kudapatkan bila istriku, amit-amit, meninggal… aku akan dengan aman bisa menikahi Roro yang berharta banyak dengan mudah tanpa terikat janji matiku lagi. Aku tak perlu lagi lelah memikirkan dari mana asal uang untuk mendapatkan kembali semua asetku yang diagunkan ke bank.
“… demi surga? Mengintip surga?” ulang Buana yang membuyarkan lamunanku. Surga apa yang dimaksudkan mereka ini?
“Klen ngomongin surga apa dari tadi?” tanyaku.
“Surga yang dimaksud Iyon sama Kojek itu cuma perumpamaan aja, Seng…”
“Abah…” buru-buru kami menyambutnya dan rebutan salim duluan pada orang tua ini. Aku, Iyon, Kojek, Ron dan Buana. Untung saja abah Hasan sudah sampe di tempat ini hingga mungkin kami akan dapat pencerahan yang lebih jelas darinya. Sepertinya Iyon dan Kojek sudah mendapat sedikit pengetahuan selama aku keblinger kemaren.
“Jadi ada semacam prasasti yang dikumpulkan si Lord Purgatory ini dari lima tempat… kata mereka berdua dari lima kerajaan peri… Salah satunya kerajaan peri milikmu ya, Seng-ya? Di prasasti ini bertuliskan macam-macam bullshit ini tae kocheng itu… kunci kehidupan kembali… Dan!… Bagian terpentingnya adalah ‘surga’ yang diomongin Iyon tadi… Penting menurut abah karena sebelum-sebelumnya abah bahkan belum pernah dengar bualan se-ambyar ini… Yang lain-lainnya bahkan kunci kehidupan kembali itu bagi abah malah udah biasa… Udah sering sekali abah nemu hal-hal semacam ini… Baik beneran maupun cuma omong kosong yang tak berdasar…” jelasnya.
“Bahkan lebih misterius dari yang pernah kami alami, bah?” tanya Ron yang lirik-lirikan dengan kembarannya.
“Lebih misterius dari kasus kalian berdua bahkan… Abah beberapa kali pernah dengar kasus seperti kalian yang kembali ke masa lalu balik lagi dan semacamnya… Karena ini… sesuai namanya… Surga… Kita asumsikan kalau cara ini adalah cara untuk mengakses surga… Kita definisikan lagi surga sesuai bayangan kita… Kalo anggapan abah yang Muslim… surga secara garis besar adalah tempat dimana Tuhan menempatkan jiwa-jiwa manusia yang telah berhasil melalui berbagai cobaan dunia ini dengan segala amal baiknya… tempatnya di surga… Tentunya dengan segala nikmat dan keberkahan di dalamnya… Secara umum… surga adalah tempat yang damai, baik, sejahtera, indah… Pokoknya segala yang bagus-baguslah ada di situ…”
“Samakah persepsi manusia di zaman sekarang tentang surga dengan zaman dimana prasasti itu berasal… Sama… Karena impian kita akan keindahan sebagai manusia tetaplah sama… Dari dulu kita mendambakan keindahan yang sama… Taman indah… pohon dengan buah-buahan yang ranum… sungai kecil yang jernih… Ketenangan dan kenyamanan hidup…” lanjutnya terus. Dari gambaran yang diungkapkan abah Hasan, bukankah itu gambaran daerah kekuasaanku saat ini? Deskripsi itu persis apa yang sedang terjadi di kerajaan Mahkota Merah saat ini.
“Tapi yang jadi pertanyaannya adalah… apakah yang mendambakan ‘surga’ ini juga manusia?” ia berhenti sampe disitu. Ia menatap wajah kami satu-satu yang berfikir keras, termasuk aku. “Nah… Prasasti ini konon berasal dari pecahan cermin dewi kahyangan dan berakhir di lima kerajaan peri… Tak ada campur tangan manusia di dalamnya… Ini artinya dambaan ‘surga’ ini berbeda dengan bayangan kita sebagai manusia… Jadi jangan beranggapan kalau ‘surga’ yang dimaksud di dalam prasasti ini seperti yang kita kira… Sama sekali berbeda…”
“Lord Purgatory hendak mengorbankan istri yang baru saja dinikahinya, bah…” lapor Iyon. Abah Hasan tak terlalu terkejut mendengarnya. Ia hanya mengusap janggutnya dan bertakbir senyap.
“… padahal ia belum tau apa yang ada di balik ‘surga’ itu sama sekali…”
Kami lalu tersadar. Apa saja bisa menjadi kemungkinan di balik ‘surga’ misterius itu. Bisa surga beneran, bisa jadi kehampaan, bisa jadi malah kebalikan dari surga sebenarnya… malah nyemplung ke neraka. Bisa jadi kan, ya?
“Amira sedang digilir banyak bawahan Lord Purgatory selama 7 hari 7 malam ini…” lirihku. Tapi karena kami sedang diam, hanya ada suara keriuhan pesta di sebelah sana, suaraku terdengar dengan jelas. Bahkan abah Hasan melotot menatapku.
“Digilir?”
—–oo0O0oo—–
Aku ingat betul berbagai sumpah serapah tertuju pada Lord Purgatory karena kekejaman tak beradabnya itu bahkan pada istrinya sendiri. Ia membiarkan mahluk lain menyentuh istrinya sendiri. Mungkin ini interpretasi yang didapatnya dari syarat pengorbanan untuk mengintip ‘surga’ asing itu. Mengorbankan orang yang disayanginya untuk disentuh oleh bawahannya sendiri. Itu tentu pengorbanan yang sangat berat. Sumpah serapah yang tak akan ada gunanya mengingat mahluk itu sama sekali bukan manusia, kata abah Hasan. Ada benarnya, sih.
Tak ada yang dapat kami lakukan kecuali menghentikannya. Menghentikannya dari mengakses ‘surga’ asing itu karena potensi yang mungkin datang dari tempat itu sangat berbahaya bahkan bagi eksistensi dunia ghaib, apalagi dunia nyata. Kita tak tau apa yang akan keluar dari sana. Lebih baik berjaga-jaga intinya.
Aku gak boleh beraksi dulu, turun tangan langsung sebelum peri Ananta bernama Citra dan peri Byuha bernama Asweta itu sudah dijauhkan dari pusat kraton kerajaan maharaja Lord Purgatory ini. Aku hanya berusaha berbaur di dalam kemeriahan pesta ini, tentunya dengan cara menyamar. Taktik menyamar canggih ini kupelajari dari kelompok pemburu, terutama Astha. Dalam keriangan dan suka cita seperti ini, kewaspadaan para mahluk ghaib yang biasanya kontra dengan keberadaanku menjadi melonggar. Mereka bahkan cenderung ramah dan jinak akan kehadiran seorang manusia sepertiku. Aku cukup mengaku-ngaku sebagai teman sang maharaja yang juga diundang seperti mereka.
Kami bisa bernyanyi-nyanyi riang, menari dan menggoda penari ronggeng yang cantik-cantik aduhai ini. Para penari ini gak keberatan dicolek-colek karena ujung-ujungnya mereka juga menjadi mangsa kebuasan nafsu birahi para undangan juga. Makanan dan minuman beredar bebas. Enak-enak dan bermacam ragam rasa lagi jenis. Tentu saja aku gak akan menelan makanan dan minuman terkutuk dari kalangan astral ini. Berat akibatnya, cuy.
“Haa haa haa haa haa… Bro… Ini saatnya aku ke sana… Sepertinya sebentar lagi giliranku akan tiba… Joki antrianku sudah hampir mencapai pintu masuk… Kenapa kau gak ikut mengambil antrian-hah?” ujar mahluk ghaib berkepala kuda ini akrab denganku. Sebentar saja kami sudah demikian akrabnya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah sebuah ruangan yang banyak diantri berbagai jenis mahluk ghaib ini.
“Bro-broo… Antrian apa sih itu? Kok keknya seru, ya? Seperti antrian sembako aja… Ha ha ha ha hahahaha…”
“Ngenthu, bro… Kita bisa ngenthu’in maharatu milik maharaja yang baru saja beliau nikahi… Bukankah itu keberuntungan yang sangat luar biasa… Belum pernah ada pesta yang begini ini sepanjang yang kuingat selamaku hidup… Ini pesta yang terhebat sepanjang masa… Maharatu loh ini, tau? Sehebat apa ini akan berulang kembali?… Makanya begitu panjang antriannya… Lagipula ini malam terakhir…” bualnya panjang lebar.
“Maharatu yang cantik rupawan itu?? Sumpe loe?” pura-puraku kaget lalu kami sama-sama tertawa lagi berbaur dengan keceriaan lainnya. “Kok bisa?”
“Maharaja memberi maharatunya ini jampi-jampi yang membuatnya mengira kalau kita-kita ini adalah sang maharaja sendiri… Aku kuda berwajah yang tamvan ruvawan ini akan dikiranya sebagai suaminya…” bual sang siluman kuda sambil memperagakan gerakan menggenjot vagina imajiner sang maharatu bernama Amira.
“Bagoooss!” aku mengacungkan kedua jempolku padanya belagak mabok. “Kamu keren, broo… Bisa kepikiran buat pake joki antrian… Jokimu ini pasti mantan jokimu yang duduk di punggung, kan? Ha hahahahahahaha…” Begitulah kira-kira kemeriahan yang terjadi. Suara-suara keras lazim saja dilakukan siapapun. Mengalahkan suara gamelan yang tak henti-henti menghibur. Sang siluman kepala kuda beranjak menjelang joki antriannya dengan meringkik penuh semangat.
Aku gak boleh heran, kok tahan kali si Amira dientot berulang-ulang 7 hari 7 malam seperti ini oleh bermacam ragam tamu undangan pesta pernikahannya sendiri bareng suaminya. Sekelas Lord Purgatory pasti punya semacam kemampuan ilusi yang membuat Amira mengira ia hanya sedang bersenang-senang dengan suaminya sendiri. Tak tau bentang waktu yang dilaluinya.
Tapi selain antrian untuk ngentoti sang maharatu, ada antrian lain tak jauh disana. Hanya saja ini dari kalangan semacam emban kraton ini. Mereka membawakan berbakul-bakul makanan dari pesta ini ke bangunan di sebelah sana. Sepertinya ada pesta makan kecil di sana yang memerlukan banyak makanan. Keknya dari kalangan raksasa kalo dilihat dari selera besarnya. Lebih baik aku melihat ke sana dulu. Mana tau dari sana aku bisa cari-cari kesempatan untuk ngintip kamar pengantin Lord Purgatory dan Amira sebab lokasinya tak begitu jauh. Jangan dia aja yang boleh ngintip, karena aku juga mau. Hanya saja aku gak berencana untuk ikutin nyicip sang maharatu. Ogah aja bekas ribuan mahluk ghaib. Ihhh… (*gelay. Kimak kok udah dua kali aja pake kata ini)
Di ruangan kecil ini hanya ada hamparan berbagai macam makanan itu digelar di atas lantai. Seluruh lantai dipenuhi makanan hingga tak terlihat satupun mahluk yang sedang berpesta makan di dalam sini. Tidak seperti di pesta seks di sebelah, pengamanan tempat ini lebih longgar hingga ada beberapa pengintip lain sepertiku. “Siapa yang lagi pesta makan, mas?” tanyaku pada Mahluk Ghaib (MG) berkepala tokek di sampingku ini.
“Itu loh… Ibu-ibu itu…” tunjuknya menggunakan lidahnya yang panjang. Aku agak kesulitan melihat ibu-ibu yang ditunjuk si MG ini karena tumpukan makanan yang sangat banyak hingga membukit menggunung tingginya. Bayangan tumpukan semua makanan ini membuat gelap tampilan ibu-ibu itu yang hanya terlihat kelebatan gerakannya sedang lahap menyambar makanan ini dan itu, hilang ke dalam mulutnya. Kerakusan seperti apa yang dipunyai sang ibu-ibu ini hingga sanggup menghabiskan makanan sebanyak ini?
Para emban terus menyuplai makanan lagi dan lagi agar sang ibu-ibu tak kekurangan makanan yang sangat disukainya. Menumpuk makanan yang sudah habis dengan yang baru hingga semakin tinggilah baki tumpukan makanan itu menutupi pandangan. Aku merasa sia-sia nonton orang makan kek gini karena gak ada menarik-menariknya sama sekali, lebih baik ngintip orang ngentot di sebelah, sampe pada satu kesempatan…
“Wong padhang?”
Aku tercekat dan cepat-cepat ngumpet ke dinding di balik pintu masuk. Hanya dia yang memanggilku dengan sebutan itu. Wong padhang… Dengan logat Jawa Timurannya. Bu Grace! Itu ibu Grace…
Dia sudah tak tertolong lagi.
Seluruh tubuhnya sudah memelar memenuhi ruangan itu hingga menopang semua bakul makanan yang terus disuplai padanya. Jika kau pernah dengar tentang Gluttony, salah satu dosa besar itu, ini adalah salah satu contohnya. Hanya saja ini versi kearifan lokal.
Bu Grace yang pernah cantik dan bersinar dulu seingatku, kini hanya tinggal kenangan dirinya sendiri yang ditenggelamkan oleh Lord Purgatory yang berperan sebagai Bobi. Apakah ini termasuk pengorbanan yang dilakukan Lord Purgatory demi ‘surga’ itu dengan menyebabkan bu Grace masuk dalam keadaan mengerikan seperti itu? Dapat kupastikan, perempuan itu bukan lagi manusia akibat memakan terlalu banyak makanan dunia ghaib ini—juga bukan mahluk ghaib. Hanya merupakan angan-angan kosong yang terombang-ambing di antara dunia yang gelap.
Lord Purgatory harus mempertanggung jawabkan perbuatannya ini. Pesta pernikahan yang berlangsung 7 hari 7 malam ini sebentar lagi akan berakhir. Sesuai prediksi kami, ia akan mengorbankan istrinya setelah pesta ini usai. Setelah ia mengumpankan istri cantiknya untuk digilir oleh ribuan mahluk ghaib terkutuk ini. Masih banyak sekali yang mengantri untuk dapat merasakan kemolekan sang maharatu dan saat ini semua berakhir, pasti akan ada yang gak kebagian giliran.
Gak kebagian giliran, yaa? Itu pasti akan menyebalkan sekali sebab kentang. Udah ngaceng-ngaceng pengen ngerasain maharatu cantik, waktu abis dan giliran tak kunjung tiba. Fix itu sangat menyebalkan.
“Enak, broo?” tanyaku menemukan si kepala kuda itu sedang duduk selonjoran di tepi bangunan ini bersama mahluk-mahluk ghaib lainnya. Sama-sama membicarakan kenikmatan yang mereka rasakan setelah menggumuli sang maharatu.
“Ahh… Kamu, broo… Enaak tentunya… Tak terkatakan nikmatnya… Maharatu gak ada lawan pokoknya… Ini ngenthu paling nikmat yang pernah kurasakan selama hidupku… Aku akan ngenthu lagi kalau joki-ku sudah dapat kesempatan masuk kembali…” jawabnya yang masih serasa di awang-awang sambil mengelus-elus peler kudanya yang panjang gak kira-kira walo dalam keadaan lemes. Kimak memang siluman kuda ini, pelernya bikin iri. Mahluk ghaib lain juga berekspresi puas yang sama. Sama-sama puas sambil mengelus kemaluan masing-masing. Kalo rata-rata mereka ini mau merasakan nikmat itu lagi dan punya joki… dapat dipastikan kalo itu tidak akan kesampaian.
“Malam ketujuh ini akan segera berakhir, broo… Keknya jokimu gak bakalan sempat…” tunjukku pada sang joki yang masih ngantri di barisan jauh sekali di belakang. Aku celingak-celinguk ke langit lalu memperkirakan waktu. “Paling-paling sampe ke siluman srigala berwarna merah itu aja…” tunjukku pada salah satu MG yang berbaris patuh padahal siluman srigala terkenal brangasan dan tak tau aturan. Mau-maunya dia sabar berbaris ngantri demi secelup dua nikmat.
Banyak mendengar pembicaraan kami dan membenarkan. Kasak kusuk terdengar tidak puas. Aku memang memanfaatkan sifat dasar para MG golongan hitam yang negatif. Jarang sekali mereka mau bersatu untuk hal yang baik. Lord Purgatory sudah cukup hebat bisa mengundang mereka ke pesta pernikahannya ini tanpa insiden yang berarti. Keributan-keributan kecil tak terlalu dihitung.
Aseng. Seorang Menggala golongan putih yang senangnya mesum menghamili binik orang ini paling jago kalo masalah mem-provokasi. Provokator awak jadinya. Provokator labelku. Ini yang sedang kulakukan. Makanya abah Hasan menugasku untuk melakukan pekerjaan yang paling jago kulakukan selain ngebuntingi binor.
Mereka yang terpancing provokasiku mulai berpikir keras setelah membenarkan prediksiku. Mereka ini ego dan kebanggaannya sangat tinggi. Mereka merasa yang paling hebat dan paling segala-galanya. Segera mereka merangsek menuju antrian dan mulai menawarkan harga tinggi untuk menyerobot antrian mereka-mereka yang berkesempatan besar masuk ke ruangan dan menikmati maharatu. Kericuhan demi kericuhan mulai terjadi karena ada yang menolak mentah-mentah peluangnya diambil demi materi. Ada yang menerima dan menunggu harga lelang tertinggi. Bahkan yang paling depan, yang selangkah lagi akan masuk dan menjejalkan penisnya pada vagina lezat sang maharatu jadi ragu ditawarkan harga yang sangat menggiurkan.
MG yang baru selesai dengan gilirannya, yang baru keluar keheranan dengan kericuhan yang terjadi di luar sini karena giliran berikutnya tak kunjung masuk. Aku berkesempatan untuk mengintip sebentar ke dalam ruangan. Tidak sama dengan mengintip ‘surga’ yang sedang diusahakan Lord Purgatory, tetapi apa yang kulihat aku tidak yakin itu mengerikan ato apa…
Aku dapat menerka seberapa besar ruangan itu. Lord Purgatory sendiri ada di dalam sana. Duduk diam bersandar di semacam tahta kecil. Kemungkinan besar menjaga terus mantra jampi-jampinya untuk menghipnotis Amira agar mengira suaminya-lah yang sedang menggaulinya. Padahal… hiiih… Kalo-lah Amira sampe tau siapa-siapa aja yang sudah menjamah dan mengotori tubuhnya.
Amira sendiri berbaring dengan erotisnya di ranjang yang sangat indah untuk zamannya. Beberapa bunga tersebar di sekitarnya bersama asap dupa wangi untuk merelakskan dan peningkat libido sebab bersetubuh dengan suami sendiri—maunya begitu. Tubuh telanjang montoknya tentu saja menjadi santapan lezat bagi MG-MG ini. Sampe bertekad untuk ngulang lagi dan lagi. Nekat menawar harga untuk pengantri lainnya.
Yang menjadi perhatian utamaku awalnya… adalah bagian vaginanya yang menjadi tujuan utama para MG ini. Berselemak cairan sperma kental dong tentunya. Hanya saja, cairan itu bergerak perlahan masuk lebih dalam memasuki vagina Amira. Bahkan yang terciprat di luar sekalipun berprilaku seperti itu, merasuk perlahan hingga di luar selangkangan perempuan cantik itu tak ada cairan apapun hingga pengantri berikutnya akan menghadapi vagina segar dan bersih. Siap dicoblos.
“Hei!! Kau liat apa?!” hardik satu MG yang berhasil membayar mahal pengantri yang seharusnya mendapat giliran sekarang. “Ngantri sana! Ha ha hahahaha…” Aku terpaksa menjauh dari tempat ini dan sabar menunggu sampe bibit provokasiku berhasil membakar semua kegilaan ini sampe ke akar-akarnya.
“Kamu beli beri darinya tadi… aku bayar dua kali lipat?” tawar satu MG yang penasaran pada pembeli yang berhasil menyakinkan pengantri yang bakalan masuk.
“Enggak dijual…” jawabnya enteng.
“Tiga kali lipat? Empat kali lipat?” pemilik kesempatan antri tak bergeming. “Enam kali lipat??” desaknya terus. Tetapi pemilik tak juga bergeming. Antrian yang berkesempatan mencicipi maharatu semakin pendek saja. Harga semakin melambung tinggi hingga ke angka yang fantastis ngalah-ngalahin harga lukisan Monalisa yang terkenal kalo dilelang. Melambung tinggi lagi hingga gila-gilaan gak masuk akal. Sampe-sampe ia berniat menjual kerajaan miliknya demi kesempatan yang sangat langka ini.
Antrian yang di belakang tentu ikut ricuh. Mereka mulai menyadari kalo sangat kecil kesempatan mereka untuk mencicipi sang maharatu dan mereka hanya bisa berbuat ribut karena tak punya kekuatan ekonomi yang memadai. Beberapa mulai memaki, mengumpat, sikut-sikutan dan ujung-ujungnya berkelahi. Provokasiku mulai membuahkan hasil manis.
Para prajurit bertombak mulai bergerak untuk melerai keributan di antrian panjang mengular ini. Malam semakin mendekati berakhir. Malam ke-7 hampir usai. Antrian yang berkesempatan menggauli maharatu semakin pendek. Antrian yang pasti tak dapat kesempatan semakin bringas dan brutal. Umpatan-umpatan kasar berkumandang liar. Mereka mulai melawan para prajurit bertombak yang mungkin masih rendahan kekuatannya dibanding para tetamu ini. Mulai terjadi pemberontakan disini. Padahal mereka adalah bawahan para Lord Purgatory. Mereka merasa sangat tak puas atas pembagian kesempatan yang sangat super langka ini.
Pengantri yang masih berhasil mendapat kesempatan masuk, sangat histeris meluapkan kegembiraannya masih berkesempatan melesakkan penisnya ke liang kawin lezat pengantin baru, sang maharatu Amira. Histeris girangnya tentu saja membuat panas pengantri lain. Provokasi milikku malah ditambah parah dengan provokasi tambahan dari pengantri sukses dengan banyak uang ini. Pokoknya kalo banyak uang, semuanya bisa diraih, inti provokasinya. Kalo tadinya ada di antrian paling belakang-pun kalo punya banyak materi bisa melejit ke barisan terdepan. Hmm… Sepertinya cocok dengan keadaan saat ini di dunia.
Sebuah pisau terbang melayang dengan anggunnya di udara. Semua bisa melihat trajektori melengkung gerakan pisau itu bak gerakan slo-mo. Wiu wiu wiu-mak-cleb! Menancap di jidat jenong MG berbentuk seperti siluman kucing gembrot berwarna jingga yang hendak masuk ruangan untuk gilirannya. Kontan saja sang kocheng oren kolaps tewas bersimbah darah. Pelempar pisau barusan melonjak seperti mendapat jack-pot togel Singapur empat angka. Ia langsung keluar dari antriannya yang rusuh untuk meng-klaim pembunuhannya. Apa aturan itu berlaku saat ini?
Pengantri-pengantri lain tentu melotot geram dengan perbuatan tiba-tiba pelempar pisau ini. Tapi ini menjadi inspirasi bagi pengantri-pengantri lain. Seakan justifikasi, pembenaran kalo kesempatan bisa diambil alih dengan cara membunuh pemilik antrian. Senjata-senjata lain terbang berhamburan yang tentu saja tak dibiarkan begitu saja oleh para target. Dibalas dengan cara yang sama. Perang senjata lempar jadinya. Alhasil pecahlah kerusuhan ini. Perang yang kudamba-dambakan. He hehehe.
Ahh… Indah sekali kerusuhan ini.
—–oo0O0oo—–
(*sfx) Sst sst… Narto balik lagi bentaran… Si Aseng sedang menikmati kerusuhan akibat provokasi-nya, kan? Kita biarkan dia dengan kesenangannya dahulu sementara saya sebagai Narator akan meliput apa yang sedang dilakukan Iyon dan Kojek dalam misinya memisahkan peri Ananta bernama Citra dan peri Byuha bernama Asweta itu. Trik seperti apa yang akan mereka lakukan?
Apakah bakalan pakai cara ngerayu seperti: ‘Bapak kamu pembasmi serangga, ya? Kok tau? Ya… karena kamu telah membuatku jatuh dari tembok, kejet-kejet sekarat setelah disemprot cairan anti kecoak…’ Ceritanya mereka ini jadi sepasang kecoak yang baru keluar dari got dan nyari makan ke dapur.
Ataukah bakal pakai cara tembak langsung seperti: ‘Kamu wanita, aku jantan. Maka dari pada itu mari kita adu kemaluan!’ Tentu pasti bakalan langsung digampar dong kalau begitu jalan ceritanya. Kenapa saya; Narto mengumpamakan hubungan mereka seperti ini? Apakah Narto jomblo? Gak punya cewe? Ehem. Sepertinya Narto sudah mulai ngelantur jauh.
“Permisi, mbah… Cucu mau numpang duduk sek, mbah…” kata Iyon yang mindik-mindik mencoba akrab pada barisan para Mahluk Ghaib (MG) yang sepertinya sangat sepuh kalau ditelisik penampilannya alias tua banget pake ekstra keriput berminyak. Di balik keriputnya masih ada keriput lagi yang krispi. Ia bolak-balik memberi kode pada Kojek untuk ikut menunduk dengan tangan ditunjukkan ke bumi pertanda permisi minta jalan. Para MG sepuh itu hanya berdehem membiarkan kedua manusia itu untuk bergabung, duduk di antara mereka sambil menikmati makanan.
Tentu saja penampilan Iyon dan Kojek tak seperti biasanya. Tentu saja harus menyamar karena trio Ribak Sude sangat terkenal seantero jagat Mayapada (maunya). Aseng yang membantu mendandani penyamaran kedua sobatnya itu agar tak dikenali pihak musuh. Bisa dipastikan semua yang sedang berpesta ini adalah musuh. Penyamaran ini berasal dari kostum tiga tetamu yang super duper terlambat untuk acara pesta ini. Dicegat, dan dirampok pakaiannya sebagai alat penyamaran.
“Gak ikut ngantri di sana, mbah?” tanya Iyon basa-basi padahal matanya keliaran liar kek ndas maling.
“Huue huue, cuu… Bercanda kamu, hyung… Manuk-ku ra kuwat bersaing karo sing enom-enom iku-loh… ” jawab salah satu MG lawas itu sadar diri. Giginya cuma tinggal dua yang untung ada untuk menggerogoti juadah kenyal yang disediakan kerajaan untuk para tetamu. Sisanya digondol burung kakatua yang hinggap di jendela.
“Mungkin mbah senengnya dengan yang kinyis-kinyis kek yang di sebelah sana itu, yaa?” goda Iyon lagi sambil menggerakkan dagunya ke arah satu peri cantik yang berdiri mengawasi jalannya kemeriahan ini dari tempatnya. Itu si Asweta peri Byuha berambut kelabu itu. Ia terlihat berdiri santai tetapi matanya mengawasi, memperhatikan semua yang terjadi seperti elang.
“Waduh, hyung… Tobat-tobat… Kulo masih pengen hidup, cah gemblung… Karuan kulo karo nenek-nenek peyot bau tanah aja, ra po-po… Daripada berurusan dengan Byuha gendheng koyo iku… Kuwi ngerti ora… kalo Byuha itu senengnya dudu lanangan seng kuwi bacotkan mau? Byuha gendheng itu senengnya cuma nyiksa… Segala dhemit… siluman karo kecoak ae tego og disiksa karo siji gendheng iku…” cecar sang MG sepuh itu mengenai sang peri Byuha itu. Teman-temannya sesama lawas bersatu juga setuju apa yang baru disampaikan sang MG tua.
Iyon manggut-manggut dan turun dari bale-bale lesehan tempat mereka berkumpul. Tentu aja mereka semua bengong, itu orang mau ngapain pake nyamperi itu peri Byuha gendheng? Nu-nuk nu-nuk Iyon beraksi dan tiba di depan Asweta dengan menunduk-nunduk inferior, menggosok-gosok tapak tangannya.
“Anu, mbak… Itu ada anu…”
Asweta sampai mengernyitkan kening heran apa yang dilakukan mahluk gak penting itu sampe harus menghadap padanya. “Ya? Kenapa anumu?”
“Gatel, mbak…”
“Garuk sana kalau gatel… Kenapa harus lapor saya?” jawabnya datar.
“Bukan saya… Bukan anu saya, mbak… Itu-loh… mbah-mbah yang disitu-itu… Katanya mbak peri yang sangat ramah… Jadinya mereka pengen kenal lebih dekat… Saya-saya sebagai yang lebih muda… hanya berani menyampaikan salam mereka saja… Siapa tau mbak berkenan dan menerima salam kenal dari mereka…” kata Iyon berimprovisasi.
“OK… Tapi apa hubungannya dengan ‘gatel’ tadi?” masih tetap aja datar ucapan Asweta.
“Mereka suka dengan mbak… tapi gak berani mengganggu… Sebab mbak sedang bertugas…”
“Kamu tau saya sedang bertugas… Tugas yang sangat penting dan kamu berani mengganggu saya seperti ini… Kamu gak tau saya ini siapa dan apa kedudukan saya di sini-heh?” mulai terbit emosi peri Byuha yang datar ini.
“Ampun… takut, mbak… Mbak cantik ini peri Byuha… Salah satu dari dua peri andalan maharaja yang agung… Yang terkenal dengan kekuatannya hingga masyur hingga ke kerajaan jauh, mbak… Tau, mbak… Tapi apalah daya saya ini… Saya cuma orang rendahan yang bisanya disuruh-suruh orang tua seperti mereka…” mindik-mindik Iyon berlagak ketakutan sampai melindungi kepalanya takut digampar.
“Bagaimana kalau saya menghukum mereka untukmu?”
“Menghukum bagaimana, mbak?” tanya Iyon seperti menemukan secercah harapan untuk menjauhkan Asweta dari tempat ini untuk sementara.
“Kamu tahu…” ragu peri Byuha itu membuka dirinya.
“Saya tempe, mbak… Kadang-kadang oncom juga…” sempat-sempatnya melawak ini orang dihadapan musuh.
“Saya paling suka mendengar gemeretak tulang-tulang yang patah perlahan-lahan sementara pemiliknya menjerit tertahan… Orang muda sepertimu punya otot yang tebal… pasti suara patahnya enggak seru… Mahluk-mahluk tua itu pasti akan menghasilkan suara yang luar biasa… Bisa membantu saya?” tawar Asweta menemukan sesuatu yang disukainya di keramaian ini yang sesuai dengan kesukaannya. “Apalagi pesta meriah ini sebentar lagi akan berakhir… Bisa?”
“Mb-mbak yang cantik akan mematahkan… tulang-tulang mereka? Saya dan teman saya… eng-enggak termasuk kan, ya? Iya kan, mbak?”
“Kalian malah akan saya beri hadiah yang banyak… Tertarik? Hitung-hitung kamu membalas apa yang telah mereka telah perbuat selama ini… Kamu punya dendam dengan mereka, kan?” kata Asweta yang merasa tahu sesuatu yang terpendam di hati pria tertekan di depannya ini.
“Ha-hadiahnya apa, mbak?”
“Kamu bakalan suka… Clink…” Wadaw! Damage-nya keras, bung. Peri Byuha dengan reputasi yang mengerikan seperti itu mengerlingkan mata indahnya pada Iyon. Si anggota Ribak Sude yang sedang menyamar dengan balutan kain tebal bak turban melilit sampai ke leher itu, sampai terjungkang jatuh terduduk di kain pakaian panjangnya.
“Mau-mau, mbak… Saya harus apa?” Setelah diberi instruksi oleh sang peri Byuha tentang cara memancing orang-orang tua itu, Iyon balik lagi ke bale-bale itu, bergabung kembali.
“Kuwi ngomong apa karo Byuha gwuendheng iku-heh? Gelem disikso kuwi, hyung?” tanya si MG senior tingkat lanjut itu perihal tingkah sableng Iyon yang malah menyamperi peri sedingin es itu. Teman-teman lawasnya setuju dengannya.
“Wong cucu cuma pengen ngeliat susunya dari dekat aja, kok?” jawab Iyon ngasal tentang penampilan mengundang sang peri Byuha yang memang cantik dan seksi dengan pilihan pakaiannya. “Gedi tenan rupanya… Ck ck… Rayuan gombalku berhasil memikatnya… Gitu-gitu mbak cantik itu sebenernya udah bosen banget pengen pergi dari pesta 7 hari 7 malam ini… Dia mengundangku untuk minum-minum di tempatnya… Mbah-mbah jangan pada ngiri, yaa? Ini urusan untuk yang lebih muda…” bual Iyon memutar balikkan fakta.
“Bwaha ha haha… Hyung-hyung… Pengalaman memang gak bisa bohong, hyung… Kuwi wis diapusi terang-terangan og ra ngerti… Kulo mau wis ngomong kan… seng Byuha gendheng iku suka nyikso sampe kuwi modhar… Kuwi percaya karo wong lawas koyo kami ini-lah… hyung-hyung…” ia dan teman-teman lawasnya tertawa akan kebodohan Iyon yang sudah dibohongi mentah-mentah begitu.
“Ya uwis kalo gak mau ikut… Yuk, bro…” diajaknya Kojek yang berpenampilan sama dengan dirinya dalam penyamaran. Pakaian panjang dan turban melilit untuk menyamarkan wajah. Ia melambaikan tangan pada Asweta yang menunggu. Tak disangka tak dinyana, peri Byuha itu membalasnya dengan kiss-bye yang sangat hot. Ciuman terbang jarak jauh bahkan sanggup menerpa jiwa-jiwa tua itu bergetar ngaceng melihatnya. Berlagak tangkas, Iyon menangkap ‘flying kiss’ itu dan mengantonginya ke dalam celananya—di depan pelernya!
Damage-nya lebih edan lagi dari kerlingan maut tadi hingga tua-tua itu berebutan mengikuti Iyon dan Kojek. Melupakan fakta yang sudah mereka paham kalau peri Byuha itu suka menyiksa. Pesona cantik peri berambut kelabu itu mengalahkan segala-galanya. Bahkan membangkitkan gairah tua itu menggelegak kembali, membakar akal sehat. Inikah sandiwara yang mendadak disiapkan Iyon dan Asweta? Sandiwara di dalam sandiwara…
“Hei-hei, mbah? Kenapa pada ngikut-toh?” berlagak kaget Iyon karena di belakangnya para MG-MG sepuh itu pada mengekori kepergian dirinya menuju tempat sudah ia sepakati dengan peri Byuha cantik itu. Asweta sudah bergerak semenjak tadi dengan cepat. Mungkin dengan harapan agar dapat menyiapkan acara penyiksaan yang dirancangnya dengan melibatkan seseorang yang kebetulan punya dendam dengan target hobi anehnya ini. Mematahkan tulang-tulang tua?
Kakek sepuh yang mungkin sudah buyutan, yang berjalan aja perlu alat bantu, mata rabun jauh-rabun dekat-rabun senja-rabun ayam, masih saja berselera untuk mencicipi perempuan cantik montok sebentuk Asweta, sang peri Byuha cantik. Berbondong-bondong mereka mengikuti Iyon dan Kojek yang juga mengikuti Asweta ke tempat tersembunyi ini. Berkali-kali peri berambut kelabu yang masih dengan datarnya melirik ke belakang akan para penguntitnya sudah sejauh mana. Di kejauhan, kemeriahan pesta masih berlangsung walau hampir mencapai ujungnya di malam ke-7.
Bangunan ini merupakan paviliun kecil yang kiranya adalah tempat pribadi bagi peri Byuha ini. Lokasinya agak terpencil dari bangunan-bangunan di kraton ini hanya saja masih dalam lingkup pagar istana. Bahkan tak ada pengawalan di sini. Tempat yang kondusif untuk bersenang-senang seperti yang disangkakan para MG-MG sepuh itu.
“Kenapa ada banyak sekali tamu yang ikut kemari?” sadar Asweta melihat muka-muka mesum keriput yang jumlahnya sekitar 7 MG lawas disamping dua sosok manusia yang berhasil memancing mereka semua.
“Kami ingin ikut… minum… minum-minum juga…” jawab salah satu MG lawas itu. Teman-temannya membenarkan.
“Masih kuat minum? Kita bukan akan minum wedhang ronde, kisanak… Lagipula tadi aku hanya mengundang dua manusia ini… Rencanaku jadi berubah gara-gara kalian…” ia hanya perlu mendongakkan kepalanya hingga dagunya menghunjuk. Beberapa utas benang tipis tapi berkilauan melibat tubuh MG-MG senior ini dengan ketatnya juga cepat bak mesin pemintal.
“Syut syut syut…” sekejab mata saja ketujuh MG senior itu sudah terbungkus seperi kokon. Terbungkam juga karena bagian mulut terlibat ketat. Tertangkap dengan pengecualian kedua manusia memakai turban tebal itu. Mendapat tangkapan sesuai seleranya, Asweta mulai menunjukkan wajah cerianya. Ia tersenyum lebar. Hanya saja senyumnya itu artinya penyiksaan brutal yang pasti berakhir dengan kematian.
Iyon dan Kojek terkaget-kaget hampir berpelukan menyaksikan penangkapan ketujuh MG senior keriput itu. Iyon berbisik-bisik ke Kojek akan apa yang sedang direncanakan peri Byuha itu pada mangsanya. Tentu hasilnya membuat merinding DJ sangking mengerikannya. Dipatah-patahin pelan-pelan agar bisa terdengar suara berderaknya dengan seksama.
“Hiih…” keduanya merinding.
—–oo0O0oo—–
Sebelumnya di tempat yang tak jauh dari dari posisi Asweta berdiri mengawasi berlangsungnya acara pesta, sebagai salah satu peri andalan maharaja-nya, Citra langsung dapat melihat kerusuhan yang terjadi di antrian tamu yang hendak menggilir maharatu. Sigap ia bergerak ingin segera membereskan masalah itu. Tapi pekerjaannya langsung mendapat gangguan dari dua orang lain yang menghadangnya.
“Siapa kalian berdua?” tatapnya pada sosok dua pria yang cengengesan. Keduanya tampak mirip, yang membedakan hanya bentuk potongan rambutnya saja karena perawakannya sama persis, tingginya sama, wajahnya sama, bahkan posisi tahi lalat yang ada di dekat hidung juga sama persis. “Dua pendekar Menggala kembar… Pengguna 6 Agung… Ron dan Buana…” sadarnya. Cepat-cepat ia menyiapkan diri agar tidak mati konyol di hadapan dua pendekar berbahaya ini.
Citra mundur dengan cepat sebelum dirinya dibabat pedang-pedang kedua pria yang sudah dihunus itu. Sabetan sudah dilakukan dan ia mundur teratur. Tetapi lawan tetap menyerang. Beberapa prajurit pengawal mencoba membantunya tetapi dengan mudah dilumpuhkan dan ia tetap dikejar. Sepertinya ia memang sudah diincar sedari tadi. Peri Ananta itu terdesak hingga hampir mencapai dinding terjauh kraton oleh kedua pendekar kembar itu. Di kejauhan ia mendengar ledakan dahsyat. Ia tak dapat berbuat apa-apa, setidaknya ia percaya kalau maharaja-nya juga bukan tokoh sembarangan.
Bersambung