Part #104 : Keributan besar terjadi
Keributan besar terjadi di kerajaan maharaja Lord Purgatory oleh sebab penyusupan yang dilakukan hanya segelintir manusia saja. Dimulai dari saling ributnya para pengantri yang ingin merasakan kehangatan tubuh sang maharatu yang tersohor, yang telah menyebabkan kehebohan di kalangan bawahan, kolega dan kenalan Lord Purgatory yang datang menghadiri pesta pernikahan ini.
Citra yang geram atas ketidak teraturan para pengantri yang malah membuat keributan, langsung bereaksi untuk meredakan kerusuhan tetapi malah dihalangi oleh dua sosok pria kembar, Ron dan Buana yang bermaksud memisahkan peri Ananta berambut ungu itu jauh dari pusat kekuasaan. Peri Ananta ini sangat kuat kemampuannya hingga dirasa kedua Menggala kembar ini yang ditugaskan untuk menghadapinya.
Sementara Iyon dan Kojek sedang terlibat satu petualangan aneh dimana ia harus menyaksikan satu kegemaran peri Byuha bernama Asweta itu untuk menyiksa mahluk-mahluk ghaib tua itu. Penyamaran keduanya sejauh ini belum terbongkar dan keduanya hanya meringis-ringis melihat beberapa MG sepuh itu dipatah-patahkan dengan perlahan untuk mendengarkan suara derakan patah tulang rapuh yang menurut peri Byuha berambut kelabu itu sangat memuaskan.
Aseng sendiri masih tenggelam dalam kerusuhan yang dimulainya lewat provokasi yang sangat dikuasainya. Ratusan MG dari berbagai jenis saling berkelahi antara mereka sendiri dan prajurit kerajaan ini. Sudah banyak yang jatuh menjadi korban. Aseng terlibat langsung di dalam pertikaian berdarah ini. Tujuannya hanya menyebabkan kerusuhan sehebat-hebatnya hingga timbul chaos yang akan membingungkan pihak lawan. Suasana yang sudah panas, semakin dibakarnya lagi dengan beberapa metode, verbal dan perbuatan sekaligus. Dengan elemen api yang masih dimilikinya, diledakkannya kamar dimana penggiliran maharatu itu berlangsung. Tempat dimana ada maharaja Lord Purgatory juga.
“ADI PAWAKA!!”
“DHWAAARRRRHHH!!”
Ledakan dahysat menghancurkan bangunan kecil yang diperuntukkan bagi ruangan bulan madu Lord Purgatory dan istri yang baru dinikahinya. Begitu ia melakukan itu, Aseng langsung cabut melarikan diri karena ia sadar, Lord Purgatory tidak akan dapat dimusnahkan dengan cara semudah itu. Setidaknya, ia bisa menarik perhatian mahluk yang tak jelas jenisnya itu. Berada di dalam wujud manusia, tak membuatnya puas hingga harus melakukan hal yang mengerikan ini dengan mengorbankan bu Grace dan istrinya Amira.
Benar saja, Lord Purgatory melesat keluar dari gumpalan api dan asap tebal dalam sebuah gelembung besar berwarna kehijauan itu sambil membopong sang maharatu-nya. Tangan kanannya yang memakai cincin Green Lantern itu diacungkannya ke depan. Terlihat beberapa blitz berwarna-warna silih berganti berkilauan pertanda diaktifkan. Ia sedemikian marahnya hingga ia tak segan-segan mengeluarkan semua serangan ini.
“Blats blatzz blugghh blakk prakk…”
Berbagai kengerian terjadi pada sosok-sosok MG yang terkena serangan amarah Lord Purgatory karena telah dibahayakan di dalam ruangan bulan madu itu. Tercabik-cabik, terpotong-potong, tersayat-sayat hingga berbagai bentuk tumpukan bergelimang darah. Suara-suara kesakitan pilu mengisi malam terakhir dari rangkaian 7 hari 7 malam pernikahan Bobi dan Amira. Banyak sekali yang menjadi korban kemarahan Lord Purgatory dan hanya sedikit yang bisa selamat. Diantara yang sedikit itu, tentu saja ada Aseng yang sudah menyingkir ke tempat aman begitu ia selesai merusak bangunan itu.
Aseng hanya melihat dari kejauhan sambil menahan tawa. Lord Purgatory membopong tubuh telanjang istrinya yang sepertinya tak memiliki ekspresi jelas. Sosok tubuh pria yang aslinya bernama Bobi itu berteriak-teriak marah pada gelimpangan mayat-mayat di depannya yang sudah melakukan kerusuhan dan hingga menyebabkan ledakan bangunan yang berisi dirinya dan maharatu-nya.
“PESTANYA SUDAH BERAKHIR, BANGSAAATT!! TIDAK TAU BERTERIMA KASIH!! SUDAH DIUNDANG DAN DIJAMU… MASIH SAJA MEMBUAT MASALAHH!!” hardiknya. Padahal hanya sedikit saja pelaku kerusuhan tadi yang masih hidup, itupun kebanyakan dalam keadaan sekarat dan paling banter luka parah akibat ledakan kemarahan balasannya. “Ini sudah berlangsung 7 hari 7 malam… Pengorbanannya sudah cukup banyak… Dewi-dewi busuk itu pasti akan menerima persembahanku yang melimpah ini…” gumamnya tetapi cukup keras hingga terdengar bagi yang ada di sekitarnya. Matanya menatap gelimpangan berbagai bentuk tubuh yang sudah tewas hingga akhirnya jatuh pada tubuh polos di tangannya.
“Puncaknya…” senyum lebar tersungging di sudut mulutnya.
Suara musi gamelan dan keriuhan pesta berhenti akibat insiden barusan. Para tetamu, penghuni istana dan prajurit tak ada yang berani mengeluarkan suara. Hanya berani melihat pergerakan Lord Purgatory yang menuju ke tempat ibu Grace yang masih makan dengan rakusnya akan sisa-sisa setoran makanan yang dibawakan pelayan. Berbagai jenis daging, buah-buahan, sumber karbohidrat, lauk pauk, minuman manis. Sudah banyak yang ia konsumsi hingga tubuhnya membengkak melar tak wajar sebab memakan makanan dunia ghaib ini tak kira-kira. Aseng bahkan sampai menyerah akan kondisi wanita lanjut usia itu.
Dengan kedua tangannya yang kuat, Lord Purgatory membawa dua perempuan penting di dalam hidup Bobi itu. Amira ada di pundak kirinya sedang tubuh gemuk membengkak ibunya diseretnya tanpa ampun. Gelambir panjang membentang seperti jaring penuh dengan lemak terseret sepanjang jalan menuju arah yang dituju Lord Purgatory. Perempuan tua tetap saja memakan apa yang sempat dibawanya dari dalam bangunan tempatnya berdiam tadi. Ia masih mengunyah seekor ayam utuh yang sepertinya sangat lezat hingga membangkitkan selera rakus tak kira-kira demikian.
Aseng menjaga jarak di balik para tetamu undangan lain yang juga penasaran akan tindak-tanduk sang maharaja ini. Apa yang akan dilakukannya dengan dua manusia itu? Pengorbanan macam apa lagi yang akan dilakukannya? Tidakkah cukup ia mempermalukan, melecehkan istrinya sendiri dengan membiarkan mahluk-mahluk lain mengotori tubuhnya? Tidakkah cukup membiarkan tubuh ibunya bengkak melar mengerikan seperti itu seperti gak pernah makan tahunan?
Aseng juga tau, dirinya tak sendiri. Abah Hasan juga ada di antara mereka juga. Berbaur menyamarkan diri, bersembunyi menunggu momen yang tepat. Aseng dan abah Hasan yang akan menghadapi Lord Purgatory bila sesuai rencana. Iyon dan Kojek mengurus Asweta sedang Ron dan Buana bermain dengan Citra.
POV Aseng:
Duuh… Kapan nih mulainyanya? Abah gak kunjung ngasih tanda-pun dari tadi. Si Lord Purgatory ini terus aja masuk ke kratonnya ini. Ini jauh lebih besar daripada balairung istanaku. Ini pasti paseban agung dimana ia menerima tamu dan melakukan pertemuan. Nanti aku minta kelompok pembangun-ku menyiapkan istanaku seperti ini juga-ah.
Apa itu? Dinding batu? Apakah itu yang mereka maksud dengan cermin dewi kahyangan itu. Gak ada bentuk cermin sama sekali di benda itu. Hanya dinding batu dengan tulisan-tulisan asing saja. Benda itu dijaga oleh beberapa raksasa Batara Kala dan peri-peri kasta tertinggi yang telah dibajaknya dari kerajaanku. Ada Awyati juga di sana, penyamaran dari Cayarini. Bagus!
Tapi, kapan kita akan bergeraknya, bah? Di sebelah sana, abah hanya menggeleng kecil mendengar suara hatiku, agar tidak ketahuan mahluk-mahluk busuk disekitarnya. Aku ada di sebelah kiri paseban agung ini, mengintip dari balik kepala-kepala MG yang sedang ngepoin apa yang sedang dilakukan sang maharaja di dalam sana. Sedang abah Hasan ada di seberang kanan sana. Kami hanya diperbolehkan sampe batas sini aja karena barisan pasukan bertombak menghalangi yang tak berkepentingan memasuki paseban agung lebih jauh. Para peri kasta tertinggi itu juga ikut mengawasi pengamanan ini.
“Jangan dorong-dorong kalau tidak ingin kami bertindak kasar!!” hardik salah satu pasukan bertombak terdepan pada para tetamu kepo.
Lord Purgatory menatap dinding batu lekat-lekat. Pasti ia sedang membaca mantra-mantra semacamnya ato malah sedang membaca tulisan yang ada di dinding itu. Suara riuh kek tawon dari para penonton ini membuatku tak bisa jelas mendengar apa yang sedang dilakukannya…
“Wuussshhh!!” terpaan angin kencang berhembus cepat dari dalam paseban agung untuk pertama kalinya. Beberapa MG terhempas karena dorongan angin itu. Aku beruntung berada di belakang satu MG yang berbadan besar yang sanggup menahan tiupan barusan. Beberapa prajurit bertombak juga bergeming di posisinya dan buru-buru mengkoreksi sikapnya. Melongok lagi ke dalam paseban agung, sepertinya susunan dinding batu itu telah berubah. Aku langsung melirik pada abah Hasan yang berpikir keras.
Ternyata susunan lima fragmen batu itu bila disusun ulang akan bertindak seperti sebuah kombinasi kunci sebuah brankas. Dengan kombinasi yang tepat, apakah dengan begitu pintu untuk menuju ‘surga’ itu akan didapatnya? Apakah dibolak-baliknya susunan kalimat ato malah bait kata-kata yang tertera di dinding itu mengaktifkan sesuatu? Hanya saja hembusan angin ini tak kunjung berkurang, malah semakin kuat saja.
“Berbahayaaa…” desis para MG yang ada di sekitarku. “Bahayaa…” gumam tersadar yang lainnya merasakan ada bahaya yang tiba-tiba menyeruak mengancam. Benar… Aku juga merasakan hal yang sama. Ada gelombang energi asing dan sangat pekat di dalam hembusan angin ini. Ini bukan berupa energi lini ato apapun yang kukenal. Ini seperti sebuah panggilan. Seperti ada suara panggilan yang menuntut sesuatu untuk dituntaskan.
Dan begitu saja, hembusan angin itu berubah arah! Dari awalnya berasal dari dinding batu itu ke arah luar paseban agung, kini sebaliknya. Udara seperti tersedot ke arah dinding batu yang sudah disusun ulang bentuknya. Ini belum terlalu berbahaya karena tenaga sedotan udara ini belum sampe pada tahap menghisap mahluk-mahluk yang ada di sekitarnya. Kekuatannya masih hanya bisa menyedot benda-benda remeh seperti lambaian ujung kain, untaian rambut terurai panjang dan gelayutan dedaunan di pohon. Tapi ini sudah menciptakan kepanikan tersendiri. Para penonton kepo yang tadinya berkerumun denganku sudah berlari kocar-kacir. Bahkan para prajurit bertombak ini, yang masih berdiri tegap, masih sempat lirik-lirikan dengan rekannya. Misalnya ada diantara mereka yang inisiatif lari duluan, yang lain pasti ikut menyusul.
Abah Hasan masih memberi kode padaku untuk bertahan dulu. Segelintir kecil penonton masih bertahan di depan paseban agung. Penasaran akan prosesi yang sangat langka ini. Mungkin ada di antara mereka yang ingin meniru dengan menyimak dengan teliti langkah demi langkah secara detail. Abah Hasan masih berpikir hingga menyuruhku bersabar dahulu.
“AWAAASSS!!” teriakan dari belakang membahana histeris. Suaranya malahan kebanyakan vokal lelaki yang melengking tinggi, ngalahin suara high pitch kaum hawa. Tentu saja kami semua berpaling ke belakang untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Mayat-mayat korban kemarahan Lord Purgatory tadi di depan ruangan bulan madu keduanya mengapung seperti gravitasinya dikendalikan. Gelimpangan mayat-mayat berjumlah banyak ini seperti berjalan menggunakan conveyor belt, bergerak teratur memasuki paseban agung. Ke arah dinding batu tepatnya.
Bagi manusia mahluk yang fana, pemandangan ini tentunya mengerikan dan sekaligus menjijikkan karena onggokan daging mahluk ghaib itu tumpuk bertumpuk melayang-layang memasuki masuk paseban agung Lord Purgatory. Titik-titik darah menetes di sepanjang jalur melayangnya menuju dinding batu tersebut. Karena jumlahnya sangat banyak, tetesannya menjadi menggenang banyak seperti jalur darah yang sangat menyeramkan. Apalagi ini berasal dari sekian banyak dan beragam jenis mahluk ghaib yang telah terbantai.
Aku menutup hidungku karena bau anyirnya minta ampun. Tapi aku gak bisa pergi. Masih banyak hal penting yang akan terjadi dan aku harus selalu siap disini. Hanya tinggal beberapa sosok yang tertinggal di depan jalan masuk paseban agung ini. Beberapa prajurit bertombak itu beberapa bahkan ada yang melarikan diri karena kengerian yang terjadi saat ini. Bayangkan bangkai dan mayat berbagai jenis mahluk yang tak jelas lagi bentuknya ditarik ke arah dinding batu itu.
Semua potongan-potongan tubuh itu masuk terserap ke dalam dinding batu itu. Dinding batu itu laksana mempunyai sebuah yang menampung semua yang memasukinya. Lord Purgatory hanya menatap semua kejadian itu dengan seksama dengan ekspresi puas. Tubuh kedua wanita itu masih di tangannya; Amira dibopong di bahu dan bu Grace dirangkul. Keduanya tetap dipegang agar tak jauh-jauh darinya. Apa ini bagian korban persembahan yang diberikan Lord Purgatory untuk mengakses ‘surga’ itu?
Gerakan abah Hasan mengindikasikan kode-kode lagi padaku. Ia yang juga menyamar menggerak-gerakkan tangannya ditambah mimik muka. Yang kutangkap adalah aku harus segera bersiap-siap karena ia akan melakukan sesuatu untuk segera menghentikan semua yang sedang dilakukan Lord Purgatory. Ia akan segera bergerak begitu semua daging-daging bangkai berdarah ini selesai masuk semua ke batu itu. Aku berharap ini segera selesai karena bau anyirnya minta ampun busuk.
Bangkai terakhir melewati para prajurit bertombak dan segera meluncur ke dalam paseban agung. Abah Hasan sudah mulai bergerak, ia terlihat sudah berkonsentrasi untuk menggunakan kekuatannya. Aku pelan-pelan bergeser menjauh dari pintu masuk agar tak dicurigai beberapa sosok MG yang ada di sekitarku. Di belakang sana, pasti ada sebentuk benda berat besar sedang meluncur cepat hendak menghantam dengan keras. Abah Hasan suka sekali menggunakan batu-batu berukuran besar untuk menghukum lawannya. Pasti ini batu yang sudah dipilihnya dengan sangat baik.
“Wiiiirrrrhhhh…”
Terbelalak mata para prajurit bertombak itu melihat sebuah batu besar segede dua ekor kerbau jadi satu meluncur cepat tanpa mereka sempat mereka bisa mengelakkannya. Menghantam mereka bagaikan bola bowling dan mereka para pin-nya.
“BRAAAKKKK!!!” benturan dahsyat terjadi. Para prajurit penjaga itu tercerai berai tanpa ampun. Bagian pintu masuk paseban agung itu juga berantakan terkena hantaman. Batu terus meluncur masuk berguling-guling. Kelima peri kasta tertinggi itu maju bertindak hendak menghentikan laju batu besar itu yang sepertinya akan membahayakan sang maharaja dan apapun yang hendak dilakukannya. Abah Hasan tak meninggalkan batu itu begitu saja. Ia terus memberikan support-nya pada sang batu besar yang terus meluncur. Lantai sampe tergerus oleh lesakannya. Lord Purgatory juga sepertinya menyerahkan semua urusan itu pada para perinya.
Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati bersatu padu mengeluarkan semua kekuatan mereka untuk menghancurkan, setidaknya menghentikan laju batu besar itu. Semburan api dahsyat, lesakan tembakan air, tiupan angin kencang, tembakan sinar menyilaukan dan balutan bayangan hitam mencoba menahan serangan batu besar yang berguling-guling ogah berhenti sebelum mencapai targetnya. Lesakan kelima elemen itu saling bahu membahu menghentikan batu yang dikirim abah Hasan dan sepertinya ini giliranku untuk bersinar.
Karena sudah tak ada lagi yang berjaga di pintu masuk, aku menerjang masuk. Suara ketukan bakiak Bulan Pencak-ku bertalu-talu saat kuberlari, membuatku melesat maju cepat untuk menghantamkan jurus pamungkasku.
“GUGUR GLUGUR!”
Hantaman dua kaki pada batu milik abah Hasan setelah melompat ala-ala sleding. Hantaman ini menambah kekuatan batu tersebut hingga melonjak lebih cepat.
“GRUUOOOOKKK!” kelima peri kasta tertinggi itu berusaha menahannya yang malah menyebabkan batu itu terpecah menjadi beberapa bagian. Tadinya yang mereka tak jelas siapa yang telah mengirimkan serangan mendadak ini, terbelah-belahnya batu besar ini membuat mereka dapat paham siapa pelakunya. Aku dapat melihat jelas wajah-wajah peri kasta tertinggi ini. Entah kenapa aku malah tersenyum. Kebanyakan mereka tentu kaget siapa yang melakukan serangan tapi aku sangat yakin melihat sekelumit senyum tipis di bibir Awyati.
Pecahan bebatuan itu terpental ke segala arah dan kucoba memanfaatkannya. Dengan satu Gugur Glugur lagi, kutendang batu terdekat ke arah Agni yang sepertinya sedang menyiapkan lontara tembakan apinya. Bak bola, batu itu meluncur cepat dan menghantam Agni dengan telak.
“Sutan Mandalo Nasrul Chaniago… Datang juga kau di hari pentingku ini… Pesta ini semakin meriah berkat kehadiranmu…” ujar Lord Purgatory berwujud Bobi. Penyamaran kami berdua sudah terbuka. Ia cepat mengenaliku. Tak diperdulikannya Agni yang bangkit susah payah terkena hantaman batu barusan. “… bersama… orang tua ini… Saya percaya dia yang bernama Ahmad Hasan bin Hussain bin Ahsan bin Abdul Manaf bin Abdul Hasan… Benar?” Abah Hasan masuk menyusulku ke dalam paseban agung yang sudah kami berdua acak-acak.
“Hentikan kegilaanmu ini Lord Purgatory…”
“Koreksi… saya Bobi Putranto saat ini… Putra semata wayang dari bu Grace ini… Kamu pasti sudah bisa membedakannya… Kita luruskan disana, Aseng…” ujarnya malah memperbaiki panggilanku padanya.
“Kau hanya mengambil jasadnya… Bukan namanya! Sampe kapanpun kau bukanlah Bobi yang kami kenal walo berusaha keras untuk itu! Camkan itu benar-benar di kepala gilamu itu!” hardikku. Kelima peri kasta tertinggi itu mengepung kami berdua. Lawan kami lebih banyak di sini dibanding pembagian sebelumnya. Tetapi ada abah Hasan disini dan kurasa itu tak mengapa.
“Kau ingin menuju ‘surga’ di balik cermin batu itu, bukan?” tanya abah Hasan langsung saja dengan kebijaksanaannya. Aku merasa abah Hasan bermaksud mengulur waktu selama mungkin dengan masuk dalam percakapan ini.
“Surga? Kalian memahaminya sebagai surga? Boleh-boleehh…” Lord Purgatory tertawa-tawa kecil. “Mungkin tempat yang saya tuju ini di mata kalian manusia sebagai surga… Tapi saya melihatnya sebagai peluang yang lebih menjanjikan daripada tempat menyedihkan ini… Tempat dimana potensiku tak pernah mencapai tingkat terbaiknya…” aku mencium aroma kesombongan.
“Kalau begitu… itu artinya kau sendiri sudah paham… tempat apa yang kau tuju ini?” simpul abah. Aku hanya mencari kesempatan bagaimana menyelamatkan Amira yang ada di bopongan bahunya. Sementara dengan bu Grace, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi padanya. Perempuan tua itu sudah terlalu banyak makan makanan dunia ghaib ini. Celah sempit itu tak kunjung datang dan terus kutunggu kesempatan itu. Amira masih bisa diselamatkan…
“Dengan segala keindahan… dengan segala kemuliaannya… saya sama sekali tidak tahu seperti apa ‘surga’ yang akan saya tuju ini…” ia tetap menahan Amira dan bu Grace tak tersentuh. “Tapi disitulah letak keseruannya… Tak ada lagi hal seru di dunia ini… Semuanya terlalu mu…”
“BOOUUFFF!!”
“… dah…”
“Tak ada yang terlalu mudah di dunia ini, maulana…” kata abah Hasan sudah kembali lagi ke posisinya. Sedangkan Lord Purgatory di sana berdiri dengan dada berlubang besar seukuran kepalan tangan abah Hasan. Berlubang tembus hingga ke punggung seperi sebuah donat. Aku tak pernah bisa mengikuti kecepatan abah Hasan kalo beraksi kek barusan. Apapun tak ada yang bisa menahan pukulan tangan dahsyatnya itu. Bahkan tidak Lord Purgatory sekalipun.
“Entah apapun yang kau percayai… tak ada kebenaran yang mudah… Kebenaran yang kau anggap kebenaran sejati itu belum tentu benar di mata yang lain… Hanya kebenaran ilahi yang mutlak dan sudah berulang kali kau tentang… Itu yang membuatmu sangat berbahaya bagi ketentraman dunia…”
“Berbahaya, ya?” jawabnya. Walo dengan dada berlubang, Lord Purgatory sepertinya tenang-tenang saja. Ia seperti tak terganggu. Apa karena itu bukan jasad sejatinya. “Makanya… bukankah lebih baik kalau kalian membiarkan saya pergi dari sini… Tempat ini bukanlah tempat saya… Tempat baru ini mungkin lebih cocok buat saya…” umbarnya. Tempat baru? Jadi ‘surga’ yang dimaksudnya ini adalah tempat baru ato hanya dimensi baru. Kalo hanya sekedar dimensi baru di dunia ini juga ada banyak dimensi yang belum terjamah. Buktinya di kerajaan kuno Mahkota Merah-ku aja ada banyak sampe aku harus menugaskan banyak peri Anaga untuk menjaganya. Apa maksudnya dunia baru.
“Kau menghidupkan orang yang sudah meninggal… Itu tantangan yang sangat berat… Itu kesalahan utamamu… Kesalahan-kesalahanmu yang lain tentu saja telah menyebabkan banyak sekali kesulitan bagi pihak lain… Menyebabkan banyak hilangnya nyawa untuk ambisi butamu ini… Itu sangat tidak terampuni…” ujar abah Hasan mencoba mencegahnya bertindak lebih jauh.
“Norma dan moral itu tak berlaku buat saya, Ahmad Hasan bin Hussain bin Ahsan bin Abdul Manaf bin Abdul Hasan… Saya bebas dari tuntutan menjaga nilai-nilai itu karena saya ini bukanlah mahluk yang seharusnya ada disini… Ini bukan tempat saya… Saya hanya ingin mencari tempat yang tepat disebut rumah… Ini semua tak ada artinya… Ini semua akan saya tinggalkan…” ia berkoar-koar lebih jauh. Lubang menganga mirip donat itu tak diperdulikannya. Harusnya mahluk ini sudah tewas dari tadi. Kenapa bacotnya masih bisa mengeluarkan semua sampah ini?
“Lihat… Lihatlah baik-baik… Tubuh sementara ini hanyalah alat buat saya… Tubuh ini bisa membusuk kapanpun… Tapi saya percaya di tempat yang baru nanti… ada janji indah di sana…” lubang yang tadi menganga di dadanya perlahan-lahan menutup kembali bak sebuah regenerasi yang sangat cepat. Lubang itu tak ada lagi. Tubuhnya kembali mulus tak terluka. Kostum pernikahan adat Jawa yang dikenakannya yang bertelanjang dada membuat kami bisa melihat semua proses itu terjadi. Tentunya kaget.
“Kau benar-benar bukan mahluk asing biasa…” kaget abah Hasan. Dan jauh lebih kaget lagi saat dinding batu itu berubah dengan cepat menjadi cermin seperti nama aslinya; Cermin Dewi Kahyangan. Dinding batu itu benar-benar menjadi semacam kaca yang memantulkan bayangan. Lord Purgatory lalu melemparkan kedua tubuh perempuan yang dikuasainya menuju cermin itu. Itu adalah hal yang tak dapat kami cegah sama sekali. Tubuh kedua perempuan yang masih dalam pengaruh sejenis hipnotis berat itu, terhisap dan tenggelam di permukaan cermin. Bahkan ada semacam riak air yang menandakan cermin itu menjadi semacam air yang menelan apapun yang dilemparkan padanya.
“Amiraa!!” aku tak dapat mencegahnya lagi.
Untuk beberapa saat, cermin itu mengeluarkan cahaya terang. Seolah ada suatu mekanisme yang aktif di baliknya. Wajah Lord Purgatory berseri-seri gembira melihatnya. Apakah dengan pengorbanan itu cukup dengan memasukkan objek persembahannya ke dalam cermin ini? Ini berarti cermin inipun bukan benda yang baik.
“Berhasil… Usahaku berhasil…” girangnya tak perduli apapun lagi. Padahal ia sudah mengorbankan begitu banyak nyawa untuk ambisi gilanya ini. Bahkan ia mengorbankan Amira dan bu Grace. Karena ia tak punya perasaan sedikitpun untuk kedua perempuan itu apalagi ratusan nyawa lainnya, ia merasa tak punya beban.
“Saya akan menuju dunia baru… Terserah kalian suka atau tidak…” dicelupkannya tangannya ke dalam cermin itu. Tangannya tenggelam. Lord Purgatory semakin girang.
PUKIMAK! Si borjong ini mau melarikan diri ke sana setelah semua masalah dan kekacauan yang disebabkannya disini?? Gak boleh terjadi! Enak-enak aja…
“Cayarini! Ambil cermin itu!!” teriakku ke arah sosok peri Awyati berambut hitam dan bersayap itu. Peri Candrasa yang menyamar itu mengangguk kecil dan bayangan miliknya dengan cepat memanjang ke arah bayangan yang terbentuk oleh cermin berukuran besar itu. Bayangannya membesar dan dengan mengejutkan menelan cermin itu seperti lumpur hidup yang sangat fleksibel. “DAN PERGILAH SEJAUH MUNGKINNN!!” instruksi utamaku. Dengan kepakan sayap hitamnya yang lebar, ia terbang dengan cepat dan melarikan diri dari kraton maharaja Lord Purgatory ini sejauh-jauhnya sesuai perintahku.
Sosok peri Awyati itu dengan cepat menghilang. Meninggalkan mimik kaget si Lord Purgatory yang tak mengira kalo ia sudah dipecundangi seperti ini. Abah Hasan aja kaget juga kok. Rencananya, memang aku yang ditugaskan untuk merebut cermin itu bila-bila sudah terbentuk betul dengan kecepatan lokomotif-ku. Tapi kurasa-rasa itu akan mudah ditebak lawan dan di-counter mereka. Bagaimana kalo yang mengambilnya adalah salah satu pihak terpercayanya sendiri?
Cayarini dengan rapi bisa menyembunyikan keberadaannya di dalam lingkungan musuh. Dirinya yang dikira diserap oleh Awyati malah berbalik menguasai peri kasta tertinggi peri Candrasa itu dari dalam. Cayarini hanya berpura-pura berperan sebagai Awyati yang sudah dikendalikan oleh Citra. Ternyata puas juga rasanya menjadi orang yang licik begini. Kelicikan dibalas kelicikan.
“KEJAARR PERI SIAALAN ITUU!!” teriak Lord Purgatory berang. Ia kehilangan ketenangannya. Tentu bisa dimengerti kenapa ia begitu marah. Tinggal selangkah lagi ia mencapai tujuan utamanya; masuk ke dunia baru yang didamba-dambakannya. Agni, Rasa, Rukma dan Praba bergerak bersamaan untuk melakukan perintah sang maharaja. Tapi kami tak membiarkan keempat peri pembelot ini bergerak lebih jauh.
“GUGUR GLUGUR!!” dua hentakan tamparan bakiak Bulan Pencak-ku menghantam pedas muka Rasa dan Rukma. Kedua bakiak ini kupegang di tangan menjadi alat pukul yang menyakitkan. Saatnya aku menghukum peri-peri pembelot ini sesuai dengan kesalahannya terlepas dari pengaruh dari peri Ananta yang menguasainya. Kedua peri kasta tertinggi peri Asti dan Kencana itu terlontar mundur tak bisa keluar dari paseban agung ini. Abah Hasan juga menghentikan dua peri Agni dan Praba, agar tak dapat mengejar Cayarini. Saat ini, Cayarini sudah pasti sangat jauh dengan kemampuan terbangnya itu.
“Cayarini? Peri Candrasa itu tidak benar-benar diserap peri Awyati…” sadar Lord Purgatory. Tapi itu sudah terlambat. “Kalian akan dapat ganjarannya bila sudah begini.
“Gak takut…” jawabku.
“Gak baek loh ngancam orang tua… Berdosa…” jawab abah Hasan mengepalkan kedua tinjunya telah bersiap. Setelah ini semuanya akan berujung kasar.
“Serang mereka berdua!” perintah langsung Lord Purgatory pada keempat peri yang tersisa.
“Jangan sampai ada yang keluar, Seng!” peringat abah Hasan. “Dia pasti tetap akan mengejar cermin itu sampai kemanapun!” lanjutnya dan berusaha menghalangi pergerakan Lord Purgatory yang buru-buru hendak meninggalkan kraton ini demi mengejar Cayarini. Keempat peri kasta tertinggi itu digunakannya untuk menghalangi pergerakan kami. Dua lawan dua tentunya cukup. Tapi tidak begitu ceritanya dalam skenario kami. Rencana awalnya malah abah Hasan akan menahan siapapun di arena pertempuran dan aku yang lari membawa cermin. Hanya saja rencana sedikit berubah dengan improvisasiku. Dengan begini, aku harus menghadapi empat peri ini dan abah Hasan yang menghadapi Lord Purgatory.
—–oo0O0oo—–
POV Narator:
Di satu tempat, dimana kediaman peri Byuha bernama Asweta itu berada, ia sedang bersenang-senang dengan tangkapannya. Tangkapan berupa 7 mahluk ghaib lawas dengan tulang-tulang rapuh yang hendak dipatahkannya pelan-pelan. Sementara menonton di sebelah sana dengan merinding-rinding kaget adalah Iyon dan Kojek yang masih dalam penyamarannya.
Satu MG yang bagian tangannya sedang ditekuk ke sudut yang salah tak bisa bersuara untuk menjeritkan rasa sakit yang tak terperi itu. Lebih karena mulut yang tersumpal begitu juga dengan sekujur tubuhnya. Mereka bertujuh sepertinya tak punya harapan untuk lolos dari tempat ini karena dua manusia itupun tak punya alasan untuk menyelamatkan MG-MG ini.
“Suaranya merdu sekali… Uuuhh… Ini yang terbaaaaikk… Mmm…” gumam si Asweta gendheng ini memelintir tangan itu pelan-pelan hingga berderak-derak. Mata lawas MG itu berputar-putar di tempat sedangkan dari sela-sela benang tipis kuat yang membekap mulutnya itu meleleh busa. Tak terbayangkan rasa sakit yang melanda sang MG senior ini. Gumaman, erangan senang peri Byuha ini kedengarannya udah seperti ungkapan senang ekstasi yang membawa perasaannya ke awang-awang. Mungkin karena kegemaran melencengnya ini ia bahkan digelar gendheng oleh MG-MG senior ini.
Asweta
“Kau gak ngaceng ngeliat peri itu bersuara kek gitu, Jek?” bisik Iyon yang tetap menatap semua kejadian itu tanpa berkedip. Giginya rapat agar gak ketahuan berbicara dengan pria jangkung di sampingnya ini. Mereka berakting seolah-olah patung tak bernyawa saat ini.
“Ngaceng kali pidong-ku, Yon… Kau pun jugak, kan?” jawab Kojek bertingkah sama. Dapat kelihatan gembungan kemaluan mereka di balik celana yang mereka kenakan mendengar suara-suara seksi puas Asweta selagi menyiksa korbannya.
“Krrk krrrkk kkrrttkk tak tk krrkk…”
Kelojotan tubuh peri Byuha itu sambil memeluk lengan tua keriput yang disiksanya. Suara tulang tua patah rapuh itu sangat memuaskan hatinya hingga sampai orgasme. “Myuu… Hah hah hah… Nikmat sekali suara indahnya… Ini tulang prima yang sangat pas kerapuhannya… Aku akan menyimpan tulang-tulang ini selamanya… Kupatahkan sedikit-sedikit… Mmm… Pasti akan nikmaaaat sekaaali… Uhh…” Asweta mengusap-usap wajahnya yang sedang meremang pori-porinya akibat orgasme barusan. Padahal MG senior yang sedang disiksanya ini mungkin sudah pingsan atau malah mati akibat rasa sakit yang keterlaluan.
“Jeek…Kira-kira kalo peri cantik, sakti tapi kejam kek satu ini kita perkosa berdua… sanggup gak kira-kira kita?” bisik Iyon masih dengan gigi rapat dan mata melirik sesekali ke Kojek yang ia tahu pasti sama sange-nya dengan dirinya.
“Tapi ini musuh, Yoon… Apa abis itu kita mutilasi aja?” balas Kojek. Ia malah sudah mengelus-elus tonjolan penisnya sendiri tak tahan akan rangsangan yang diberikan Asweta. Pakaian seksi yang dikenakan peri Byuha itu sudah tersingkap sendiri oleh Asweta sendiri saat menyentuh dirinya.
Asweta beralih ke bagian tubuh lain dari MG senior itu, bagian kakinya. Peri aneh dengan hobi melenceng itu mengendus-endus bagian kaki tua yang berbulu lebat bak monyet itu untuk menemukan titik patah yang paling optimal. Dicobanya untuk meremas betis kurus itu dan menemukan kalau MG itu bergerak mengaduh tanpa suara walau hanya minimal. Diremasnya lagi lebih keras dari sebelumnya dan kembali mangsanya meringis tanpa bisa bersuara. Asweta meleletkan lidahnya tanda ia semakin senang dengan penemuannya ini. Ia mengulangi lagi perlakuannya pada betis MG senior itu berulang-ulang dan lebih kuat.
Bila mulutnya terbuka, pastinya MG tua itu akan menjerit sejadi-jadinya akan perlakuan Asweta. Peri Byuha itu makin menjadi dan mulai menyentuh tubuhnya kembali. Bagian dadanya tersingkap saat ia meremas-remas dadanya bergantian sembari tetap menatap wajah kesakitan mangsanya. Sekali waktu ia memilin-milin putingnya juga menarik-nariknya berbentuk cubitan. Lidahnya menjulur-julur menjilati bibirnya sendiri. Ini bukan berupa ejekan, semata bentuk ekspresif kenikmatannya.
“Maaak, Jeek… Makin mendidih otakku, Jeek…”
“Waduuhh… Mintak diocop (hisap), tuh pentilnya, Yoon… Aku pun gak tahaaan…”
Bergetar-getar tubuh MG tua itu saat kakinya diputar ke arah luar persendian normalnya. Mendelik-delik matanya merasakan sakit yang luar biasa. Sebenarnya ia sudah berulang kali pingsan lalu sadar kembali saat siksaan baru melanda tubuhnya. Air mata, ingus dan liurnya sudah mengucur deras di wajahnya menahankan beban derita rasa sakit yang sangat luar biasa. Asweta menekankan selangkangannya pada tumit MG tua itu dan menggesek kuat, menambah siksaan pada kakinya. Derakan sendi yang dislokasi terdengar sangat jelas perlahan-lahan. Gerakan Asweta seperti itu layaknya sedang memperkosa kaki mahluk malang itu.
Menjerit melolong peri Byuha gendheng itu sekali lagi dalam keadaan berjongkok menyiksa mangsanya, menikmati orgasme yang tiada tara. Jiwa dan raganya secara aneh terpuaskan dengan orientasinya ini. Sementara mangsanya menderita dengan berbagai kerusakan permanen.
“Hei-hei… kalian mau apa?” tanya peri Byuha itu menyadari kalo dua manusia yang telah membantunya menjerat 7 MG tua itu mulai mendekat dan bermaksud membantunya menyiksa MG malang yang terikat erat itu.
“Kami akan membantumu…” kata Kojek yang mengarah pada jari-jari tangan sang mbah-mbah malang itu.
“Kalo ia bersuara… ini pasti lebih seru… Cobain, deh…” Iyon melonggarkan penutup yang membekap mulut MG tua itu. Bertepatan dengan saat jari kelingkingnya ditekuk melengkung ke arah pergelangan tangannya oleh Kojek..
“AaaaaAAAAAAHHHHHH!!!” jeritnya melengking tinggi ke oktaf tertinggi ngalah-ngalahin Mariah Carey. Mata malangnya membeliak hanya terlihat putihnya aja. Sakit yang terasa pasti luar biasa sampai suara jeritannya sangat memilukan. Asweta terperangah melihat efeknya yang berbeda. Ia makin gencar meremas payudaranya sendiri. Liur kedua pria itu mengucur deras karena menyaksikannya dari jarak dekat, kebelet pengen membenamkan muka di gundukan kenyal itu.
Melihat korbannya yang menjerit keras menambah rangsangan bagi dirinya, Asweta makin girang. Ia menggesekkan arah selangkangannya ke tangan tersiksa MG tua itu. Hanya saja, sebenarnya tangan Kojek yang dijumpainya karena ia akan menekuk jari manis kurus sang korban.
“Aaarrrhh…” mengerang merintih Asweta karenanya. Jari Kojek terbenam tak sengaja ke belahan vagina peri Byuha dan tak menunggu lama langsung berkarya dan mengocok liang licin basah itu. Asweta meremas lengan yang sudah patah itu untuk membuat korbannya kembali menjerit kesakitan. Iyon memperparah semuanya dengan menginjak kaki yang sudah dipelintir tak wajar barusan.
“AaaaaAAAAAAHHHHHH!!!” menjerit merdu kembali sang MG lawas dengan segala penderitaannya. Pasti di pikirannya, ia lebih baik mati sekarang juga daripada disiksa terus menerus seperti ini. Asweta makin panas dan terangsang dengan jeritan kesakitan ini hingga tak menyadari rasa nikmat yang menjalar di sekujur tubuhnya, terutama dari bagian dadanya berasal dari kenyotan dua mulut lapar dua pria yang melancangkan diri berlagak membantunya. Padahal hanya berusaha memanfaatkan keadaan ini untuk keuntungan mereka sendiri.
Nyot nyot nyot nyoot. Rakus mulut Iyon dan Kojek mengenyot-ngenyot, menghisap-hisap pentil peri Byuha itu hingga berdecap-decap seru. Tak lama sekujur permukaan payudara montok sang peri berambut kelabu itu basah oleh liur dua bapak-bapak mesum dari Ribak Sude yang sedang menyamar menyerang kerajaan maharaja-nya. Jari Kojek tetap lincah mengorek-ngorek isi kemaluan Asweta. Sementara Iyon meremas-remas bokong kenyalnya dengan gemas. Dari gelinjangan gelisah sang peri Byuha, tak lama lagi peri gendheng yang sukanya menyiksa ini akan orgasme tak lama lagi. Tetapi siksaan atas MG malang itu terus berlangsung. Iyon dan Kojek malah ketularan gendheng juga karena ikut terlibat menyiksa.
“Mmmm~~aah…” tak lama, benar saja peri Byuha itu orgasme hingga bergetar-getar lagi. Menggelinjang ia menikmati orgasme luar biasa mendapat berbagai rangsangan dari beberapa aspek sekaligus. Dari hobi gilanya, menyiksa dan rangsangan atas fisiknya. Dipeluknya tubuh tua yang sudah habis-habisan disiksa untuk menyenangkan hobinya. Masih tetap diremas-remas beberapa tulang bengkak patah itu. Tak diperdulikannya akan tubuhnya diatur, diposisikan untuk berdiri agak menungging. Yang ia tahu hanya rasa nikmat yang membuncah-buncah berbentuk gelombang silih berganti dari berbagai titik vitalnya.
“Aahh…” keluhnya saat sebentuk batang panjang pejal menusuk kemaluannya dan langsung bersarang dalam. Itu kemaluan hitam panjang berurat kasar milik Kojek yang menyodok vagina beceknya. Masih dari belakang, tubuhnya yang memeluk mangsa MG tua itu dipeluk lagi lebih erat oleh Iyon yang tak bosan-bosan memerah payudaranya yang kenyal menggemaskan. Pilin-pilin terus ditingkahi remasan kuat makin memanaskan semua persetuhan aneh beberapa segi ini. Entah apakah MG tua itu termasuk di dalamnya.
Untuk tetap menjaga semangat dan gairah Asweta, siksaan masih terus berlanjut. Iyon melanjutkan siksaan Kojek akan jari-jari MG itu yang masih bisa dimanfaatkan. Apalagi ia punya dua tangan, hingga alat penyiksaan masih tersedia relatif banyak untuk dimanfaatkan. Kojek bersemangat sekali melakukan goyangan andalannya. Ia sudah beberapa kali menggauli peri dari kalangan Udahani, peri duyung itu dan menurutnya ini tak kalah hebatnya. Apalagi tantangannya sangat tinggi kali ini karena sasaran mereka berdua dari kalangan musuh. Lawan berat lagi.
Sadarkah kedua sobat Aseng ini saat melakukan kegilaan ini? Ini yang dihadapi bukan hanya sekedar musuh biasa aja. Ini Asweta-loh. Salah satu dari dua peri andalan Lord Purgatory selama ini. Peri yang ditakuti banyak kalangan karena punya kemampuan andalan bisa menghidupkan kembali mayat-mayat atau yang sudah mati menjadi zombie yang tunduk padanya, dengan media sejenis serbuk kemilau. Itu kemampuan yang sangat berbahaya, kan? Dan entah apa lagi kemampuannya yang lain…
Hobi anehnya ini. Kesenangan anehnya ini, apakah ada hubungannya dengan kemampuan itu?
“Yang kuatt!! Yang keraass!! Yeaahh… Uhh… Uhh… Uhh… Yeaah…” sodokan-sodokan keras yang dilakuan Kojek berkat penisnya yang panjang walau kurus lurus itu sanggup mengacak-acak kemaluan Asweta. Peri Byuha itu menuntut ia diperlakukan yang kasar juga. Pantatnya ditampar-tampar dengan keras, payudaranya dibetot-betot dengan kasar, bahkan klitorisnya dicubit-cubit gemas. Selagi dikasari, ia juga tak lupa terus menyiksa MG lawas itu tanpa henti. Seluruh jari-jari MG tua itu sudah dalam bentuk keriting tertekuk tak wajar sesuai arah persendiannya.
“Plak! Plak! Spaak! Spak!” suara spanking bokong Asweta terdengar sangat keras. Setiap kali tapak tangan Kojek menampar, semakin merah matanglah kedua pipi montok bokong peri Byuha itu. Semakin sakit dan perih, semakin senang dan semangat Asweta menerima berbagai rangsangan yang menerpa dirinya. Sodokan penis panjang berurat itu terasa sangat mantap menyiksa kemaluannya. Apalagi remasan-remasan kasar di payudaranya. Ia melampiaskannya dengan berteriak-teriak keras sembari menyiksa MG malang itu juga.
Akhirnya ia mencapai orgasmenya kembali. Tubuh menggelinjangnya ditahan tangan-tangan perkasa pria yang menyetubuhi kemaluannya. Kojek terlihat kepayahan, hampir saja ia kebobolan kalau saja peri Byuha ini tak klimaks duluan. Kojek memutar jarinya pertanda ganti pemain pada Iyon. Penis panjangnya mengacung mengangguk-angguk saat dikeluarkan dari vagina Asweta, berkilauan oleh cairan kental. Terhuyung-huyung pria kurus itu akan staminanya yang mulai terkuras akibat harus menggenjot lawan, menyingkir dahulu untuk memulihkan diri.
Iyon mengait kaki MG tua itu hingga terjatuh. Asweta ikut terjatuh, hanya saja tertahan di atas tubuh kurus berbalut benang tipis kuat itu. Anggap saja itu termasuk dalam siksaan karena harus membentur lantai keras. Iyon menatap bokong peri Byuha yang merah akibat terlalu sering ditampar Kojek di ronde sebelumnya. Bokong itu bergetar-getar karena masih merasakan nikmat dan sakit sekaligus. Tangannya meremas dan mengelus berputar-putar untuk merasakan tekstur paripurna daging bokong yang kenyal. Ia sudah membayangkan kala kemaluannya dilesakkan masuk ke vagina nikmat peri ini.
“Mmbb…” Asweta terpaksa mengangakan mulutnya kala ada sebuah benda pejal dipaksakan memasuki mulutnya. Kojek menjejalkan penis panjang hitamnya ke mulut peri itu. “Ghlkk Ghh… Hllooggh…” Kojek tanpa ampun langsung menggenjot mulut peri berambut kelabu itu tanpa ampun. Asweta kini berlutut menungging dengan kepalanya ditahan pria kurus tinggi berkulit gelap itu untuk menikmati mulut seksinya. Sementara di belakangnya, Iyon sedang menggesek-gesek vaginanya dengan penisnya sendiri, bersiap masuk. “Gllloogghhhhaaahhhssss…”
Dari depan ada Kojek dan di belakang ada Iyon. Kedua anggota Ribak Sude itu meng-gangbang Asweta dengan ganasnya. Keduanya menggenjot peri Byuha yang dikenal berbahaya dan kejam ini tanpa henti. Walau suka menyiksa, ia juga disiksa sedemikian rupa. Ia membiarkan tubuhnya dilecehkan dan disiksa seperti ini karena ia juga tetap menyiksa MG lawas itu dibawahnya. Lututnya menekan bagian dada dan perut MG tua itu layaknya sebuah alas karpet. Jadi tekanan saat ia dilecehkan begini juga merupakan bagian siksaannya juga bagi korbannya.
Alhasil ada banyak suara jeritan-jeritan yang terdengar di bangunan yang letaknya jauh dari bagian kraton utama. Suara jeritan MG tua yang tanpa ampun terus disiksa, suara jeritan tertahan Asweta dan lenguhan keenakan Iyon-Kojek. Keenam MG lainnya, yang tergabung bersama-sama di sudut sana pasrah, karena yakin tak lama lagi menyusul disiksa seperti rekannya.
“Jeeek… Enak kali ni, Jeekk… Mancuutt, nihh…” Iyon menggila dengan genjotan cepat bertenaganya. Menggebrak hingga tubuh montok Asweta berguncang-guncang dihentaknya. Akibatnya, penis Kojek yang menggasak mulut peri itu juga tak perlu digerakkan, hanya perlu mengikuti gerakan tubuh yang sedang mereka nikmati bersama. Kojek juga kelabakan, ia menahan mati-matian agar tak malu ejakulasi duluan daripada rekannya. Diremas-remasnya rambut kelabu lembut peri itu hingga sampai taraf menjambak.
Tarikan pada rambut Asweta sudah mirip jambakan. Itu juga yang disukai peri gendheng ini. Apapun yang terjadi pada dirinya dianggapnya sebagai siksaan yang sangat disukainya. Dilecehkan dua manusia begini, disiksa begini, ia masih sempat menyiksa mahluk lain juga sekaligus. Ini waktu yang sangat menyenangkan bagi dirinya. Tak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan ini. Seberapa ‘sakit’ peri Byuha ini?
“Sa-saama, Yoon… Uhh…” keluh Kojek juga tak tahan. Hampir bersamaan kedua pria itu mencabut penis mereka dari lubang kenikmatan itu dan menyemprotkan sperma panas. Muka Asweta berlepotan sperma kental Kojek yang menyembur kencang. Beberapa semburan mengenai pipi, hidung dan kening Asweta. Peri Byuha itu tetap mengangakan mulutnya lebar-lebar. Ia mencari-cari batang keras yang baru saja menodai wajahnya dan hap! Ketemu dan langsung dicaplok. Di lain pihak, Iyon juga menembakkan lahar panasnya ke bagian atas punggung Asweta dan sekitar bokong merahnya. Sperma kental itu meleleh hingga turun kembali ke belahan pantat peri berambut kelabu itu dan mencapai lubang anusnya. Iyon menggesek dan menekan-nekankan kepala penisnya ke kenyal daging bokong sang peri.
Asweta mencari-cari pria di belakang dengan tangannya, ia menemukan batang menjuntai itu dan langsung menariknya ke arah mulutnya. Dua penis sekaligus dinikmatinya. Dua penis yang baru saja ejakulasi dengan sisa sperma yang masih tersisa disedot-sedotnya rakus. Kedua pria itu hanya bisa melenguh keenakan masuk mulut sempit, berjejalan dengan penis lain. Tak ada suara lain saling komen mengejek biasanya selain keenakan semata. Bisa-bisanya mulut mungil begitu memaksakan dua buah penis yang belum sepenuhnya layu itu masuk.
“Laaggii…” ujarnya masih mau lagi. “Uuummmbb…” erang sang Byuha masih menginginkan kenikmatan ini sambil menekuk bahu MG lawas di bawahnya itu hingga berderak dislokasi sendinya. Menjeritlah MG tua itu sejadi-jadinya.
Kenapa dua pria ini mau-mau saja menuruti apa kemauan peri Byuha ini? Apakah ini rencana keduanya atau malah rencana Asweta sendiri? Siapa yang diserang dan siapa yang menyerang?
—–oo0O0oo—–
Gerakan cepat silih berganti Ron dan Buana yang menyerang Citra menggunakan pedang masing-masing. Citra tak tinggal diam dan membalas semua serangan dua lawannya dengan sengit juga. Seperti yang sudah diberitahu oleh sesama Ananta kalau Citra ini adalah gambaran kesempurnaan peri Ananta yang mahir di segala bidang. Ia bisa sihir dan mahir bertarung juga, baik tangan kosong maupun bersenjata. Karena kedua lawannya menggunakan pedang ia juga mengeluarkan pedang miliknya.
Kala Ron mendesak Citra dengan serangan frontal yang bayangan kabur pedangnya bergerak cepat, Buana di lain pihak akan mengganggu sambutan lawan dengan serangan-serangan lebar berupa tebasan jarak jauh. Itu semua biasanya akan merepotkan lawan karena begitulah cara tempur mereka bila berdua, saling support sebab mereka berdua masing-masing tahu jurus partner-nya. Tapi tidak halnya dengan Citra. Peri Ananta itu secara mengagumkan bisa mengimbangi serangan kedua Menggala itu.
Awalnya memang keteteran, tetapi setelah sekian lama ia menyadari esensi serangan kedua lawannya dan memahami pola serangan hingga semakin lama ia bisa mengimbangi, memungkinkannya bahkan sesekali mendesak. Seperti yang sedang dilakukannya saat ini. Menggunakan teknik pedang andalannya, ia hujani lawan terdekat dengan tusukan pedang bertubi-tubi bak teknik fencing. Kecepatannya luar biasa apalagi power-nya. Untung saja pedang yang dimiliki Ron bukan pedang sembarangan. Dengan pedang itu ia menangkis serangan bertubi-tubi itu sesuai dengan intensitas tusukannya. Kecepatannya yang luar biasa diantisipasi dengan baik.
Untuk Buana, ia bahkan menyempatkan menyerang pria itu dengan tembakan sejenis energi murni dari tangan kirinya yang bebas tak membantu memegang pedangnya. Kelabakan tentunya kembaran Ron itu diserang tiba-tiba menggunakan serangan seperti itu. Berdua, mereka kini yang mulai kerepotan.
“Kenapa?” Citra menanyakan kesiapan kedua penyerangnya itu yang sekarang malah mundur.
“Kamu sepertinya sangat kuat sekali… Jarang sekali kami menemukan ada yang bisa mengatasi serangan-serangan kami berdua hingga malah balik mendesak… Sangat luar biasa…” malah puji Buana akan ketangguhan peri Ananta itu.
“Itu hanya karena kalian berdua belum bertemu yang level kekuatannya lebih tinggi dari kalian… Karena percayalah… di atas langit masih ada Citra…” jawab sang peri Ananta berambut ungu itu sangat percaya diri. Lazimnya itu di atas langit masih ada Hotman Paris tapi Citra sudah sangat yakin dengan kemampuan supernya yang bisa banyak membungkam lawan-lawannya. Mendengarnya, kedua pria kembar identik itu manggut-manggut membenarkan. Ron bahkan mengacungkan jempolnya pertanda salut. Tapi entah salut akan kemampuannya ato tentang percaya dirinya yang sangat tinggi.
“Tapi apa kau pernah menyadari… bahkan di atas Citra masih ada Grammy Award…”
“Bahkan Oscar… Filmnya bagus-bagus… kelas dunia tentunya…” sambung Buana malah ikut ngaco seperti kembarannya. Malah mereka menghubungkan nama peri Ananta ini seperti anugrah perfilman Indonesia dengan kelas dunia. “Ada festival film Cannes… Hanya saja itu untuk yang indie…”
“Kalian membicarakan apa?,”
“Ahh… Ha ha hahaha… Itu hanya joke kami berdua aja… Peri sepertimu gak akan ngerti… Dibilang receh… ya memang receh…” jawab Ron. “Jangan terlalu diambil hati, deh… karena kamu sepertinya gak punya liver…”
“Bisa dibilang… kami berdua ini orang sibuk… Sibuuuuk banget sampe-sampe mau kencing aja harus ada jadwal terstruktur… Repot banget pokoknya… Ha hahaha…” sepertinya dua orang ini sama gokilnya. “Jadinya kita akan langsung ke bagian seriusnya aja…” lanjut Buana dan memunculkan kembali zirah tebal miliknya yang banyak memendarkan aura biru kekuningan. Hal serupa juga dilakukan Ron dengan warna aura yang kuning keemasan.
“Itu artinya dari tadi kalian belum serius… Baiklah… Aku akan serius juga…” ungkap Citra juga. Pedang miliknya dibuang begitu saja seperti tak berharga. Kemudian tangannya mengacung ke depan, masing-masing ke arah Ron dan Buana. Apakah ini serangan mematikan tersohornya itu? Dengan acungan tangan saja ia pernah membunuh prajurit-prajurit yang membangkang tak patuh perintah. Citra melakukan sesuatu di pikirannya. Matanya lebih fokus dengan mengerutkan keningnya bertaut.
“Nguuunng…” Baik Ron dan Buana keduanya dapat merasakan getaran menekan di bagian dadanya yang ditunjuk peri Ananta itu. Dan diakhiri dengan hentakan yang mendorong kedua pria bersaudara kembar itu.
“Whooaa…” kaget Ron merasakan dorongan yang terasa tak wajar itu. Walaupun terdorong beberapa tindak saja, tapi itu terasa sangat kuat bahkan untuk dirinya. Kenapa ia merasa kaget, karena biasanya serangan semacam itu tak punya efek terlalu berarti baginya.
“Whooaa juga… Whuuu…” Buana juga merasakan hal yang sama. “Itu baru namanya hebat… bukan begitu?” ia menunjuk-nunjuk pada Citra selagi berbicara dengan Ron. “Kau tentu merasakannya… Serangan kuat yang sangat spesifik menghantam dada… Lebih spesifiknya hanya mengincar satu bagian tertentu saja…” terangnya merasakan sensasi apa yang baru saja menyerangnya.
“Yaa… Karena itu dia ini sangat berbahaya… Ia menyerang persis semua aspek yang dimiliki tiap mahluk… Baik mahluk hidup maupun mahluk ghaib sekalipun…” ia mengangguk-angguk membenarkan. “Yaa… Sangat berbahaya… Whuuuu…” sekarang malah menggeleng-geleng.
“Apa yang kalian ocehkan sedari tadi… Kalau mau bertarung… bertarung saja! Jangan banyak mulut!!” hardik Citra yang merasa antusiasnya terhenti di tengah jalan karena dianggapnya kedua manusia ini plin plan. “Karena aku punya banyak urusan… Dan aku akan membereskan kalian sesegera mungkin…” ia menuding-nuding kedua manusia itu dengan remehnya karena merasa punya kemampuan yang sangat superior. “Ini semua pasti rencana kalian untuk menjauhkanku dari kraton agar kalian dapat merusuh di hari penting ini… hari pernikahan maharaja… dan hari dimana maharaja mencapai tujuan utamanya… Aku, Citra… tidak akan membiarkan kalian seenaknya merusak itu semua!”
Tangannya mengacung lagi dengan jari-jari terbuka, mengirimkan serangan mematikan yang sangat berbahaya itu. Serangan yang dapat langsung membunuh banyak mahluk sekaligus saat diperagakannya di peperangan Alas Purwo sebelumnya. “Nguuuungg…” Getaran berbahaya itu terjadi lagi dan langsung menghentak kedua pria kembar itu kembali hingga terdorong. Citra sepertinya menambah intensitas kekuatannya untuk segera membunuh mereka karena di serangan pertama ia yakin bisa membunuh keduanya tetapi gagal. Di kesempatan kedua ini tidak boleh gagal dan mempermalukan reputasi yang disandangnya.
“Buuhh…” keduanya terbatuk-batuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Citra tersenyum menang karena sebentar lagi dua pria menyebalkan itu akan segera berkalang tanah. Keduanya memandangi darah yang mengecap di tapak tangan masing-masing.
“Whooo hoo hooo… Hebatt!! Ini jurus yang keren sekali peri Anantaaa… Kenapa kami jarang sekali ketemu lawan sepertimu… Malah Ribak Sude aja yang sering ketemu yang beginian… Kita selalu aja jadi figuran di urusan mereka bertiga…” umpat Buana walau terlihat senang.
“Keren keren keren… Benaran keren, Bun… Itu karena kita terlalu sibuk aja terus… Gak pernah menikmati dunia Menggala seperti mereka bertiga… Mungkin-mungkin kita juga udah berkarat karena gak pernah diasah… Waaah… Kita ketinggalan banyak kalau begini ceritanya…” respon Ron setelah mengelap noda darah dari mulut dan sedikit di hidungnya. “Pake muntah darah kek gini lagi… Memalukan gak, sih?”
“Yaa… memalukan, sih sebenarnya…” Buana maju ke depan seakan hendak menghadapi Citra sendirian aja. “Jangan salah sangka dulu… Aku hanya mau memastikan teoriku aja… Kalo salah ya maap, ya?” ia menyiapkan pedangnya di samping tubuhnya. (*sfx) Whuuuzzz… Tubuhnya melesat cepat ringan seperti angin. Citra yang sudah siap sedia aja kaget melihat pergerakan salah satu lawannya yang begitu laju. Buru-buru ia menyiapkan kembali senjatanya untuk menyambut lawan.
“Trannkk!!” kedua senjata tajam itu beradu. Tangan Citra terasa kesemutan akibat benturan itu. Padahal ia menggunakan kedua tangannya antisipasi menahan serangan lawan, untuk memegang gagang pedangnya. Pria itu sudah sangat dekat, tepat di depannya. Wajahnya sangat serius dengan seringai hingga giginya terlihat. Ia sangat beringas. Tak ada jalan lain, Citra melepaskan satu tangannya dan hendak melesakkan satu tapak tangannya ke arah wajah sombong pria itu untuk langsung membunuhnya, menyerangnya langsung di kepala.
“Nguung!”
Buana mengayunkan kepalanya menghindari tapak tangan Citra. Peri Ananta itu kaget melihat lawannya kembali bergerak cepat bagai angin, menggelengkan kepalanya ke kanan hingga ia luput menyarangkan serangan jurusnya yang paling mematikan. Pedang keduanya yang saling bergesekan, ditarik ke bawah dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut bawah. Mau gak mau Citra menggunakan serangan jurus tangannya untuk mencegah tusukan maut itu.
Tentu saja tak ada yang terjadi pada pedang yang digunakan Buana akibat serangan itu. Ia bahkan membalik arah tusukan itu tak lagi mengincar perut bawah, sekarang malah mengincar tangan yang berbahaya itu. Buru-buru Citra mengurungkan niatnya dan menggunakan serangan yang serupa hanya saja melalui media yang berbeda; dengan tatapan matanya.
“Tiga pedang berantai… Quarn!” desis Buana dan secara ghaib, berputar cepat sebuah lingkar dengan sebentuk mata besar di tengahnya muncul dan memblok serangan mematikan itu. Tatapan mata dibalas satu tatapan mata besar. Quarn adalah salah satu mahluk Menggala yang dimiliki Buana dan Ron secara bersama-sama. Mahluk itu hanyalah menyerupai sinar transparan. Berbentuk segita dalam lingkaran. Di dalam segitiga ada sebuah gambaran mata berwarna pelangi hologram yang berganti warna tiap berganti sudut. Pada bagian luarnya adalah lingkaran lain yang berupa rantai mirip tasbih berbiji besar menjadi sumbu putar tiga buah benda mirip pedang yang tajam. Pedang-pedang ini berputar cepat, menjadi andalan utamanya dalam bertarung. Dengan itu ia bisa membelah apapun yang ada di depannya. “Tembak!!”
Dan tak lupa mata sinar transparan itu bisa menembakkan sinar hitam berbentuk bola dari dua sisi sekaligus. Kali ini ia menembak tepat ke arah mata Citra yang berusaha melakukan serangan itu. Terjadi ledakan yang walaupun ukurannya kecil, tetapi impact-nya mampu membuat peri Ananta dan mahluk Menggala itu terlontar mundur. Buana di lain pihak sudah mundur dari tadi mencari posisi aman. Citra mengipas-ngipas asap hitam yang menutupi pandangannya sisa ledakan tadi. Quarn itu sudah tak terlihat lagi dimana-mana. Citra merasa terancam oleh keberadaan mahluk aneh itu. Tidak jelas sebenarnya itu mahluk hidup atau hanya sebentuk senjata semata.
Buana tak meneruskan serangannya dan malah mengobrol dengan kembarannya. “Benar tebakanku, Ron… Dia sebenarnya sangat sangat heeeebat… kalau kita pada gak tau apa yang dilakukannya… Mengerikan kata tiga Ribak Sude itu… Dia hanya memanfaatkan celah kecil yang ada di tiap permukaan organ vital lawannya… Kalau jantung untuk membunuh… ia menekan celah sempit antara bilik jantung dengan memanpatkan udara secara cepat… Jantung siapa yang kuat digebrak kayak ayam penyet gitu? Nyawa siapa yang kuat digebrak kayak nyamuk gitu?”
“Tapi kita kuat… Tubuh kita terlapisi zirah ini dengan sempurna… Dia bisa mencoba berkali-kali untuk menggebraknya…” kata Ron terkekeh-kekeh.
“Heleh… Tadi muntah darah juga, kan?” guyon Buana. “Intinya jangan sampai terkena serangannya aja… karena masih bisa dihindari…”
“OK… Sekarang giliranku… Yoss…” ujar Ron memutar-mutar tangan kirinya yang tak memegang pedang. “XLS-85 Rezona… Mode tempur, CHIC!” seru Ron memanggil salah satu Menggala pribadinya dari formasi andalannya. Seekor robot harimau berwarna merah mewujud di hadapan pria itu. Operating System yang menggerakkan robot itu langsung merespon dan membentuknya menjadi mode tempur hingga robot harimau itu berubah bentuk menjadi humanoid. “SERAANG!!” tanpa menunggu lama-lama ia menerjang bersamaan dengan mode tempur Menggala-nya ini.
Walau tadinya merasa superior, sekarang Citra merasa mendapat lawan yang sangat berat. Satu orang Menggala yang dibantu mahluk Menggala-nya kita sedang menggempurnya habis-habisan sehingga ia harus berusaha mati-matian mempertahankan dirinya. Serangan kedua mahluk itu sangat gencar dan cepat. Ron dengan lindungan zirah tebalnya kadang menyilaukan pandangan matanya karena kilauan pelindung tubuh itu sinkron dengan pedangnya yang sama-sama bersinar bak matahari. Beberapa kali ia merasa beruntung punya pedang untuk menangkis semua sabetan dan bacokan pedang berbahaya itu. Hanya saja pedang miliknya harus korban rompal-rompal terkena tajam pedang lawan.
Ditambah lagi repot serangan robot bernama panjang XLS-85 Rezona itu silih berganti menyerang bareng tuannya. Namanya robot, tentu serangannya tak jauh-jauh dari yang namanya tembakan berbagai jenis. Dari ujung-ujung jari tangan menyemburkan brondongan tembakan cepat kaliber kecil. Citra menangkisnya dengan repot menggunakan pedangnya. Beberapa tembakan sempat mengenainya. Dua buah misil kecil meluncur cepat sehabis sabetan berputar pedang Ron, meledak tanpa ampun dan mendorong tubuhnya terguling-guling mundur.
Ron tak membiarkannya begitu saja, mengejarnya yang berusaha bangun. “HeeeaaaAAAA!!” tangannya mengacung tinggi hendak menyabetkan pedang mataharinya yang mendadak menerangi area pertarungan mereka selagi ia melompat tinggi untuk hasil maksimal.
Di detik-detik akhir, Citra berhasil menghindar. Alhasil tanah bekas serangan itu terbelah dengan rengkahan panjang hingga jauh dan membelah pagar Utara kraton hingga hancur. Citra berguling menjauh karena robot berbentuk humanoid itu mengejarnya dan berondongan tembakan berkaliber lebih besar yang berasal dari telapak tangannya. Berjumpalitan lincah peri Ananta itu menghindari semua serangan lawan. Untung ia bisa menguasai berbagai jenis kemampuan ini. Tak hanya ahli bertarung, memakai senjata, sihir kuat, ia juga ahli melindungi dirinya dengan berkelit lincah.
“Blllaaarrrhhh!!” kesombongannya tak bertahan lama karena ia tak dapat menghindari sapuan sinar laser yang terpancar dari mata robot humanoid itu. Serangan itu membakar tubuhnya. Citra terguling-guling sekaligus menghindar dari serangan lanjutan dari robot itu. Ia belum pernah menghadapi kombinasi serangan yang tak terduga seperti ini. Belum pernah ada perbendaharaan serangan mekanikal seperti ini dalam rangakaian pengalaman tempurnya yang beragam. Peri ini meringis kesakitan yang amat sangat.
“Kurang ajar…” desisnya. Pakaian tempurnya sudah hancur. Pakaian yang hanya berbahan minim itu sejatinya adalah pakaian tempur terbaik yang pernah ia miliki. Musnah terbakar sudah karena serangan tembakan laser yang tak dapat dihindarinya.
“Whoo hohho!! Satu kosong!” seru Ron karena sudah berhasil mendesak lawan sampai pada taraf ini. Baju tempur peri Ananta itu sudah hancur terbakar berkat XLS-85 Rezona. Ron sangat gembira dan merayakannya seperti baru saja membuat skor penting buat timnya. “Yes yes yes! Zirahnya sudah tidak ada… Pasti akan lebih mudah mengalahkannya… Yes!”
“Kurang ajaaaarr!!” bergetar sekujur tubuh peri Ananta itu tak menahan-nahan lagi emosi marahnya yang meluap banjir diperlakukan sedemikian rupa oleh lawannya. Pedang yang tadi digunakannya untuk menyerang dan bertahan dibuangnya begitu saja. Tubuh telanjangnya bergetar seolah hendak meledak tak terkendali. “Rasakan puncak kemarahanku!” urat-urat darah di tubuhnya bertonjolan kasar saat semua otot di tubuh indahnya mengetat. Rambut ungunya berkibaran. Bayangan hitam terbentuk di belakangnya saat aura peri Ananta yang superior dibanding jenisnya itu memompa semua potensi tenaganya untuk serangan ini. Garis-garis ungu membentuk samar di sekujur tubuhnya berbarengan dengan garis-garis hitam yang lebih tipis. Lama kelamaan garis-garis itu bertambah jelas seperti body painting yang tarikannya kuasnya cukup artistik. Ada bentuk-bentuk bulat di beberapa sudut tubuhnya. Garis-garis itu lebih fokus di jenis garis bulat itu. Seperti di pangkal lengannya, sikunya, di samping pelipisnya, di atas payudaranya, lutut dan tumit. Lingkaran itu semakin jelas dan semakin tebal.
Dari sana muncul duri-duri yang semakin panjang dan kasar. Perlahan-lahan Citra berubah drastis karena telah membiarkan dirinya dipenuhi oleh emosi marah itu yang semakin mendekatkannya pada iblis.
“Naaah… Jadi makin seru, kaaan?” kata Ron yang masih mempertahankan keberadaan robot humanoid itu di lingkungan pertempuran baru ini. Bayangan gelap yang tadi muncul di belakang Citra kini menjadi semakin nyata hingga membentuk lingkungan tersendiri. Lingkungan yang pastinya menguntungkan bagi pemiliknya.
“Seru-seru? Pastinya kekuatannya bertambah, tuh…” lirik Buana pada lingkungan yang baru terbentuk ini. Lingkungan gelap setara dengan daerah gelap seorang Menggala kegelapan. “Lihat aja tanduk-tanduk yang nongol di sekujur tubuh eksotis telanjangnya… err… itu…” risih kembaran Ron itu akan perubahan yang terjadi pada lawan mereka berdua. “Harusnya ini kita selesaikan ini sebelum berlarut-larut dan merepotkan nantinya…” begitu pikiran praktis Buana.
“Iya, sih… Apa kau gak ingin bersenang-senang dulu dengan peri sekuat ini? Jarang-jarang kita nemu lawan sekuat ini loh, Bun…” pandangannya langsung menjadi awas karena lawan sudah bergerak. Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya. Garis-garis yang tergambar di permukaan kulitnya memberikan ilusi optik yang sangat mengganggu karena saat bergerak mirip efek warna belang-belang zebra untuk membingungkan pemangsa. Belang ungu hitam itu sangat cocok di lingkungan gelap ini sebagai kamuflasi. Hanya saja, Citra yang merasa sebagai pemangsa di kasus ini.
“Sial!” walau coba dihindari dengan baik, peri Ananta itu berhasil melesakkan satu serangan yang bisa melukai lengan Buana yang tak tertutup zirah itu. Gerakan Citra saat ini sangat liar dan memanfaatkan dengan baik tanduk-tanduk di sekujur tubuhnya untuk menyerang lawan. Terbukti dalam sekali gebrak saja, lengan Buana tertusuk oleh bagian siku Citra. Ron mencoba menutupi kelengahan Buana dengan bantuan XLS-85 Rezona itu. Citra melentingkan dirinya ke arah robot humanoid itu tanpa pikir panjang. Ia menghempaskan dirinya ke arah robot, mengunci beberapa part robot itu, memutar bagian tangan kanan dengan bergerak memutar, memelintir hendak mencopotnya dari kesatuannya dari tubuh mahluk Menggala Ron ini. Untung saja sendi bagian lengan itu adalah sendi putar/sendi bebas yang dapat diputar dari sudut manapun.
Karenanya ia menggunakan cara lain, dicecahkannya kedua kakinya pada bagian pinggang robot itu hendak mencabutnya paksa. Citra menggeram mengerahkan tenaga dengan sepenuh upaya untuk melucuti tangan kanan XLS-85 Rezona.
“Kau sangat menginginkan tangan ini? Akan kuberikan… Tak usah repot-repot mencabutnya…” ada suara wanita yang sangat lembut memperingatkan peri Ananta agar tak terlalu kerepotan. “Fisssshh…” tangan kanan robot humanoid itu terlepas dengan sendirinya, bukan karena bertarung, bukan karena berselisih dengan bagian tubuh lain—sengaja dilepas. Citra awalnya terjungkal pada pelepasan tangan itu dengan cepat mengendalikan dirinya, memegang bagian tangan robot merah itu yang sudah terlepas. Ia bingung, kenapa lawan membiarkan tangannya terlepas? Apakah ini semacam kemampuan cicak atau kadal?
Harimau merah humanoid itu berdiri di sana tanpa satu tangannya, tapi tetap siaga untuk tetap bertarung sesuai yang diperintahkan Ron. Citra di lain pihak yang merasa tak memerlukan tangan yang sudah copot itu, apalagi lawannya sudah cacat, membuang tangan itu begitu saja. XLS-85 Rezona berlari dengan cepat, tak terganggu telah kehilangan sebelah tangan, hendak menyerang kembali. Citra bersiap tetapi ia segera teringat akan suara perempuan yang merelakan tangan robot tadi lepas. Apakah itu suara mahluk merah ini?
Tak ada waktu untuk itu, ia menyiapkan dirinya untuk menghadapi lawan-lawannya. Lingkungan serba gelap yang setara daerah kekuasaan Menggala golongan hitam ini tentu menguntungkannya, terbukti ia bisa melepas tangan satu lawannya dengan mudah. Mereka sedikit sudah mengerti bagaimana kemampuannya bekerja. Ia punya teknik khusus yang dikembangkannya sendiri untuk memanipulasi ruang. Ia bisa memperbesar atau memperkecil ruang yang diinginkannya. Di dalam pertarungan hidup dan mati, kemampuan ini sangat efektif untuk membunuh musuh dengan cepat. Katakanlah memperkecil ruang bilik jantung jantung lawan, tekanan darah jantung akan membunuh pemiliknya sendiri. Atau menekan tengkorak kepala lawan yang akan merusak bagian otaknya. Dari dua contoh itu saja ia sudah sangat over power.
Tapi ia tak dapat melakukan kemampuannya ini dengan efektif pada kedua pria kembar Ron dan Buana ini. Ada semacam perlindungan yang sangat kuat pada zirah-zirah yang mereka kenakan. Mereka menamakan simpel saja zirah matahari dan zirah bulan sebagaimana pedang mereka bernama pedang matahari dan pedang bulan. Ia berusaha semaksimal mungkin menyerang bagian dalam tubuh kedua lawannya ini, ke taraf paling maksimal, walau ia tak menunjukkannya, paling banter lawannya ini cuma muntah darah dan tak cukup untuk membunuh keduanya.
Citra merasa frustasi dan mencoba cara lain. Dengan ruangan gelap ini. Ruangan ini ada di dalam tubuhnya sendiri yang diperbesar ukurannya membentuk suatu alam. Lebih tepatnya ada di bagian perutnya—masih memanfaatkan kemampuan miliknya yang bisa memanipulasi ruang. Memasukkan lawan-lawannya ke dalam ruangan yang telah disiapkannya. Dengan begini, usaha maksimalnya untuk menembus pertahanan zirah lawannya akan berlipat-lipat di kondisi ini. Buktinya ia bisa melepas tangan mahluk Menggala itu, pikirnya. Padahal tangan itu dilepas dengan sengaja.
Peri Ananta itu kembali mengacungkan tangannya pada Menggala merah bertangan satu itu untuk menghancurkan tangannya yang lain. Meledakkannya dari dalam menggunakan energinya sendiri tentu akan mudah. Tapi tak terjadi apa yang diharapkannya. Tak terjadi ledakan spektakuler, hanya ada friksi-friksi kecil pertanda sedang terjadi pergolakan di tubuh mahluk Menggala merah itu. Sepertinya XLS-85 Rezona itu jadi lebih langsing dan padat dari sebelumnya. Robot itu telah memampatkan semua ruangan kosong yang ada sehingga compact tak ada celah. Apa itu artinya tak ada celah lagi di dalam tubuhnya untuk kemampuan manipulasi lawan masuk?
Sebelum terlambat, robot harimau mode tempur itu sudah sangat dekat hendak menghantamnya dengan semacam cakar yang dimilikinya sebagai robot harimau. Citra mundur menghindar. Orang-orang ini sangat tangguh hingga mahluk Menggala-nya saja sudah merepotkan. Apalagi kalau ia harus menghadapi mereka sekaligus. Citra harus benar-benar memanfaatkan ruangan ini dengan baik. Jangan sampai ini menjadi titik balik hidupnya.
“BRRAAKKK!!”
Citra merasakan panas pada bagian punggungnya. Sesuatu telah menghantam bagian punggungnya. Ia terjerembab jatuh akibat hantaman itu. Sesuatu itu terbang cepat ke arah mahluk Menggala merah itu dan melekatkan diri kembali di posisinya sebagai tangan kanan. Benda itu bisa menyatu kembali? Tak berlama-lama untuk berpikir. Ia tak punya kemewahan untuk berpikir dalam karena serangan berondongan tembakan kembali menghujani dirinya. Tubuh telanjangnya yang diliputi garis-garis ungu dan hitam ini terkena tembakan beberapa kali dan ia mengumpat karena rasanya benar-benar menyakitkan.
Ia melihat sisa asap lesatan sebuah misil yang menargetnya dari kanan sementara yang lainnya melebar dari kiri, hendak mengepungnya. Misil pertama meledak dekat dengan kakinya, membuatnya tak bisa melompat dengan benar sehingga misil kedua menghantamnya di bagian dada. Ledakan telak. Citra mulai berpikir, slogannya selama ini salah. Di atas langit masih ada Citra. Seharusnya di atas langit masih ada pelangi. Berbagai warna ada di lengkungan pelangi, yang berarti masih ada pihak-pihak lain yang kekuatannya setara monster sedang bermain-main di atas sana tetapi tidak sombong seperti dirinya.
Seharusnya ia menuruti namanya, Citra yang berarti beraneka warna.
“Singkirkan siapapun yang mengganggu tujuanku!” terngiang-ngiang perintah sang maharaja Lord Purgatory saat memberi instruksi saat pesta 7 hari 7 malam ini akan dimulai. Perintahnya jelas dan tak ada alasan untuk mengkontradiksikannya dengan artian lain. Kedua pria ini dan tak tahu seberapa banyak mahluk Menggala yang dimilikinya, jelas-jelas mengganggu tujuan maharaja-nya. Mereka harus disingkirkan…
Bagaimanapun caranya.
“MATILAH KALIAN SEMUAAAA!!!” serunya.
“Peringatan! Dimensi kecil ini mulai terdistorsi. Pemiliknya bermaksud untuk kembali mempersempit tempat ini untuk meremukkan kita semua menjadi satu dengan mengorbankan dirinya sendiri. Peringatan!” suara wanita yang merupakan OS robot harimau merah itu memberi peringatan yang cepat membuat Ron maupun Buana terkaget.
“Woy woy, coy! Gila ini, peri maen bunuh diri aja!” reaksi yang pertama keluar dari Buana. “Gak bisa gitu dong maennya… Curang nih maen teroris gini… Kau aja mati sendiri!” hingga menjadi kesal dan berang. Ia harus bereaksi yang tepat untuk melindungi nyawanya. “Wingasaur! Hancurkan tempat ini!” serunya memanggil Menggala andalan miliknya.
“CHIC! Mundur!” seru Ron menarik mundur Menggala XLS-85 Rezona miliknya. OS yang menggerakkan robot itu bernama CHIC, menarik keberadaan mesin yang dikendalikannya balik ke tuannya. “Jaw-Flame… Ikuti temanmu dan hancurkan tempat ini!” Ron tak mau kalah dan mengeluarkan Menggala andalannya juga.
Di lingkungan yang mulai terasa sesak ini, muncul dua ekor naga yang berbeda spesies lagi kekuatan. Mereka langsung mengamuk sesuai perintah yang diberikan tuannya untuk menghancurkan tempat berbahaya ini. Jaw-Flame sesuai namanya membuka mulutnya lebar-lebar dan menyemburkan api panas dalam jumlah besar. Tembakan-tembakan bola apinya dibarengi dengan lontaran lidah api yang besar. Ia bermaksud membakar tempat ini dengan kekuatannya. Dengan kaki dan ekornya yang besar ia merangsek maju dan menghancurkan apapun yang ada di depannya. Lain halnya dengan Wingasaur, ia punya metode penghancuran yang berbeda. Sayapnya yang lebar dikepakkannya hingga menyebabkan hembusan angin kencang yang dihisapnya kembali dengan mulutnya yang lebar. Dua jenis serangan brutal dari dua ekor naga kepunyaan Ron dan Buana tak ayal menghancurkan lingkungan gelap milik Citra ini.
“Phew… Akhirnya keluar juga dari tempat gelap itu…” kata Ron yang berusaha menenangkan naga Jaw-Flame yang clingak cliguk mencari mangsa yang bisa digosongkannya. “Tempat itu sangat pengap dan sempit…”
“Tapi disini juga tetap gelap, kok… Yang terang hanya bagian kebakaran akibat kerusuhan di kraton itu saja…” sahut Buana yang berulang-ulang memberitahu naga Wingasaur itu untuk turun ke tanah dan berhenti mengepakkan sayapnya yang lebar. Hembusan anginnya mengganggu banyak hal. “Dimana peri tadi? Ahh… Itu dia…”
Citra terlihat terkapar di tanah dengan lemah. Ia terluka parah, terutama di bagian perutnya yang tercabik-cabik karena menjadikan ruang perutnya menjadi ruang gelap tempat pertarungan berat sebelah barusan. Tentunya perutnya terbakar dan berlubang oleh serangan dua ekor naga ganas yang tentu saja hanya mau menurut pada tuannya.
Ron dan Buana mengelilingi peri Ananta yang sudah bersiap-siap menerima kematiannya di tangan lawan yang terlalu perkasa. Dari sudut pandang Citra, ia tak begitu jelas melihat mimik kedua pria kembar itu. Hanya saja ia tahu, ajalnya sudah sangat dekat.
“Kau tau… apapun usahamu… peri sepertimu masih tidak lebih mulia daripada manusia…” ia tak tahu, siapa antara dari dua manusia itu yang mengatakannya. “Hanya perbuatanmu yang menentukan dirimu tergolong yang mana…”
—–oo0O0oo—–
Bangunan paseban agung yang merupakan bagian penting dari kraton bergaya kuno di tengah hutan Alas Purwo ini, sudah tak karuan lagi bentuknya. Hancur berantakan karena berbagai pertarungan yang terjadi. Di dalam paseban agung, Aseng bertarung melawan 4 peri kasta tertinggi itu yang masih terpengaruh dan setia pada maharaja-nya. Padahal mereka terlahir dan diberi nama oleh pria yang sedang mereka perangi ini.
Menyerang seorang Aseng yang tahu semua esensi semua serangan para peri kasta tertinggi ini, bukanlah hal mudah tentunya. Aseng yang walau tak lagi memiliki satupun permata peri di mahkota kosongnya, ia bisa mengimbangi semua serangan-serangan para peri itu dengan elemen-elemennya. Serangan api ia sudah paham sekali karena sering menggunakannya. Semburan air hingga level tertingginya sekalipun sudah pernah ia lakukan. Serangan hembusan angin sudah dipelajarinya luar kepala selama lama berdiam di daerah kekuasaannya. Serangan berbasis cahaya yang cepat juga bukan hal yang aneh lagi baginya. Semua kerja kerasnya selama ini berlatih di dalam daerah kekuasaannya seperti terbayarkan semua di momen penting ini.
Gak sia-sia menghabiskan waktu begitu lama yang berbarengan dengan membangun kembali kerajaannya hingga makmur dan sejahtera seperti sekarang. Agni, Rasa, Rukma dan Praba merasa frustasi serangan keroyokan mereka tak ada yang bisa mendesak sang baginda raja Mahkota Merah ini. Bahkan mereka menjadi kesal karena sepanjang pertarungan ini, Aseng terus menerus membujuk mereka untuk kembali ke kerajaan Mahkota Merah saja. Ia mengatakan kalau ia paham apa yang telah menimpa mereka berempat, itu bukan sepenuhnya salah mereka, mereka akan dimaafkan, mereka akan diampuni.
Pengaruh peri Ananta bernama Citra itu, masih sangat kuat terpatri di pikiran mereka. Mereka tentu saja menolak mentah-mentah karena di pikiran mereka hanya patuh dan setia pada maharaja Lord Purgatory. Serangan-serangan terus berlanjut, berulang dan berlangsung terus. Semburan api, bilasan air, hembusan angin dan kilauan sinar silih berganti-ganti yang makin menghancurkan kondisi paseban agung ini ke tingkat tak mungkin diperbaiki lagi. Hanya puing-puing.
“Ayolah… Kalian harus melihat kerajaan kita sekarang… Kalian pasti akan langsung suka…” Aseng menepiskan serangan penuh Adi Pawaka yang berasal dari Agni dengan serangan tandingannya yang berupa Adidamu. Tembakan api itu ditahan dengan tandingannya yang berupa air. “Laut semakin dalam saja sekarang… Istana diperluas dan diperbesar hingga mencapai pantai…” Sebuah serangan berupa angin Adipawana dari Rukma ditebasnya menggunakan pedang Paksapeti. Ia memegang dua pedang di tangannya sebagai pedang Utara dan Selatan. “Ada sawah dan ladang yang luas… Ada banyak peri yang sekarang hidup dengan rukun… Hidup sejahtera, aman dan nyaman… Jauh dari kata khawatir…” Tembakan beruntun Banatirta disabetnya berkali-kali menggunakan mandau Panglima Burung. “Aku sebagai raja kalian tak akan mengungkit-ungkit tentang pembelotan yang tak bisa kalian hindari ini… Kerajaan Mahkota Merah memanggil kalian…”
“Tidak sudi!!” “Kau bahkan tak punya permata peri sebijipun!” “Enyahlah saja selamanya!!” “Mati saja kau!!”
Ucapan-ucapan kurang ajar seperti itu harusnya sudah pantas mendapatkan hukuman mati saja bila langsung menghina seorang raja. Tapi ini bukan raja sembarang raja. Ini adalah seorang raja bernama Aseng yang penuh cinta kasih. Tapi enggak tahu juga apakah ada unsur mesum di dalamnya karena bila menilik bodi-bodi peri-peri kasta tertinggi ini, bodinya yahud semua. Mungkin dipikirnya sayang kalau harus menghabisi mereka kalau masih bisa dibujuk, dibelokkan lagi ke jalur yang benar.
Yaa… Sulit menilai seorang Aseng saat ini. Ia bisa dengan darah dingin membantai peri Agni sebelumnya. Mungkin, ia sudah banyak berkontemplasi, memperbaiki diri, merenung dan lebih banyak kompromi. Mengingat kepedihannya sebelum ini. Kehilangan adik kandungnya, kehilangan ribuan peri mudanya, terjebak menjadi Menggala golongan hitam, dan hampir membunuh istrinya sendiri. Itu perlu keterbukaan mental yang sangat besar sekali untuk memaafkan diri sendiri terlebih dahulu, menerima keadaan dan mencari solusi terbaik.
Keempat peri itu terus menyerangnya sesuai instruksi sang maharaja sebelumnya. Menghabisi sang raja Mahkota Merah.
Lord Purgatory mendapat perlawanan yang sangat sengit dari abah Hasan. Bila ditilik dari segi kekuatan, Lord Purgatory sepertinya masih lebih tinggi levelnya. Hanya saja dari segi pengalaman dan determinasi, abah juaranya. Lord Purgatory menggunakan cincin bermata hijau besar Green Lantern-nya sebagai senjata utamanya sebagai seorang Menggala Aga. Dari cincin itu keluar berbagai serangan-serangan aneh. Abah Hasan segera mengenali beberapa jenis serangannya yang berasal dari batu mulia kecil-kecil diseputar batu hijau utamanya.
Gelembung-gelembung berukuran besar menyerang. Gelembung pecah dan dari dalamnya melompat berbagai jenis serangan. Bisa jadi berupa berondongan tembakan machine gun, bisa jadi berupa lontaran tombak maupun panah, bahkan bisa jadi adalah serangan petir yang sambar menyambar. Dari 18 butir batu cincin itu adalah sumber jenis serangan yang dilontarkan terus menerus. Batu cincin besar dengan warna hijau ini yang mengarahkan kemana serangan diarahkan.
Beberapa serangan Lord Purgatory hanya ditangkis abah Hasan dengan tangan kosong. Beberapa yang terlalu kuat dan membahayakan sekelilingnya, cukup dielakkan.
“Yang kamu cari-cari itu tidak baik, maulana… Masuk ke dunia lain yang maulana sendiri tak paham apa yang ada di dalamnya… bisa membahayan dirimu sendiri dan banyak orang”
“Aku tak perduli apa yang akan terjadi pada orang lain itu… Aku tidak perduli… Biarkan kepalanya digantung sepanjang jalan yang ditumbuhi pohon, lihatlah apakah aku perduli?” diacungkannya kembali tangan kanannya dan kembali lagi menembakkan serangan lagi melalui tangannya.
“Bila sampai seluruh dunia ini hancur sekalipun… aku akan tidak perduli” apalagi ketus omongannya kotor.
Bersambung