Part #105 : Ledakan yang mengerikan terdengar dimana-mana
Ledakan-ledakan yang mengerikan terdengar dimana-mana. Angkara murka yang saat ini terjadi di pusat kerajaan yang dikuasai maharaja Lord Purgatory sedang sangat memuncak. Bangunan-bangunan kraton bergaya kuno zaman dahulu yang tadinya indah dan megah hancur lebur begitu saja. Tembok-temboknya runtuh, bagian atapnya rubuh, perabotannya berserakan dan hancur berantakan, mayat ada di mana-mana.
Ini semua sebagian besar adalah ulah maharaja-nya sendiri, Lord Purgatory. Ia mengamuk saat menggempur abah Hasan dengan serangan-serangan yang tak diragukan lagi kekuatannya. Sebelumnya ia bisa menaklukkan begitu banyak kerajaan ghaib lain untuk mendapatkan titel maharaja, raja diraja bagi berbagai kerajaan di berbagai penjuru. Itu semua tentunya diperolehnya dengan menggunakan kekuatan. Kekuatan yang bisa mengalahkan berbagai macam kekuatan kerajaan yang hendak ditaklukkannya. Ia tak segan-segan menghancurkan semua ini karena sepertinya ia tak memerlukan ini semua lagi.
Abah Hasan yang menjadi lawan Lord Purgatory sepertinya tak dapat melakukan banyak selain menghindar dan menghindar saja. Karena kebanyakan serangan Lord Purgatory berupa serangan jarak jauh menggunakan gelembung-gelembung hijau itu. Lord Purgatory banyak meradang marah karena kehilangan cermin dewi kahyangan itu yang dibawa lari Cayarini dengan wujud Awyati atas perintah Aseng. Ia hendak menghajar Aseng yang juga sedang sibuk dengan pertarungan bagiannya melawan empat peri kasta tertinggi itu. Di sinilah peran abah Hasan untuk menghalang-halangi niat mahluk asing tak jelas ini.
“Menyingkirlah kau dari hadapanku!! Brengsek!!” maki Lord Purgatory sambil terus menyerang agar pria tua gemuk itu berlalu darinya. Ia semakin bernafsu akan amarahnya yang meluap-luap. Abah Hasan malah sengaja terus hanya menghindar dan terus menghadang. Pendeknya, sang pria tua ini hanya mengulur waktu saja. Sukur-sukur ia bisa mendapat kesempatan untuk menyerang. Hanya saja hal itu masih jauh dari harapan karena lawan terus menyerang membabi buta. Bertahan adalah pilihan terbaik.
“Enyahlah kau bangsaaat!! PERGI!! JAUH-JAUH SANAAA!!” ia semakin berang saja dari waktu ke waktu. Abah Hasan makin senang mempermainkannya. Ia sudah banyak makan asam garam pertarungan Menggala berbahaya tentu bisa membaca situasi ini untuk keuntungannya. “KURANG AJAAAARRR!!” Lord Purgatory sepertinya akan mengerahkan sebuah kekuatan besar. Tangannya ditarik jauh ke belakang seperti hendak melakukan tinju sapuan yang sangat berbahaya. “HEAAARRRGGHHH!!”
Tinju tangannya, lengannya bahkan seluruh tubuhnya mendadak membesar seperti raksasa. Ini sepertinya fitur raja Batara Kala miliknya. Pontang-panting abah Hasan berusaha menghindari serangan pukulan berukuran masif itu. Tubuhnya dapat dipastikan gepeng kek ayam geprek bila terkena pukulan sebesar dan sekuat itu. Alhasil kompleks kraton ini semakin hancur hingga musnah berantakan oleh kekuatan dahsyat sang maharaja-nya sendiri. Kekuatan yang sangat dahsyat yang mampu menghancurkan istana terbang peri Kencana dan mampu memakan cahaya terang daerah kekuasaan Aseng sebagai raja para Batara Kala.
“HUUUUAAAAARRRRRRHHHHH!!” jeritnya yang mengerikan hingga memekakkan telinga. Abah Hasan yang baru saja selamat dari hancurnya puing-puing kraton ini, harus melindungi gendang telinganya akibat suara dahsyat ini. Suara tertekan penuh amarah. Karena akibat aksinya barusan, Aseng yang tadinya bertarung melawan empat peri itu tidak jauh darinya dan hanya dibatasi hadangan abah Hasan yang selalu mengganggunya. Sekarang mereka hilang sama sekali. Kemungkinan besar terpelanting jauh akibat serangan dahsyatnya barusan.
Di dekat-dekat situ hanya abah Hasan saja yang tersedia untuk lawannya. Tentu bingung dirinya hendak marah gimana lagi untuk memuaskan amarahnya ini? Apalagi karena dirinyalah penyebab semua kehancuran ini. Bahkan satu-satunya yang bisa dipaksanya untuk menunjukkan dimana posisi peri Candrasa itu sudah menghilang. Mana kraton-nya sudah hancur rata dengan dengan tanah.
“Yaah… Kau benar-benar menghancurkan kraton indah ini… walau ini semua memang milikmu… Tapi itu sungguh kekuatan yang luar biasa dahsyat… Untung aku sempat menghindar tadi…” kata abah Hasan sekarang lebih serius daripada yang tadi. Ia membuka pakaian gamis panjangnya hingga hanya tertinggal kaos kutang putih, pas di badan dan celana cingkrang-nya sejengkal di atas mata kaki. Ia tetap mengenakan kopiah turki itu di kepalanya. Sesekali ia melakukan peregangan tangan dan punggung.
“Kemana perginya si Aseng itu?!” hardiknya menuntut.
“Tidak tau… Bukannya kau yang menerbangkannya entah kemana dengan kekuatan dahsyat raja Batara Kala-mu… Arahnya aja saya gak tau… Dia bisa ada dimana aja sekarang ini…” ujar abah Hasan sebenarnya tetapi dengan intonasi yang membuat kesal Lord Purgatory. Ia tadi harus pontang-panting menyelamatkan diri menghindar tentu tidak sempat memperhatikan keadaan orang lain.
“Sekarang aku bisa meladenimu sepenuhnya… karena tak ada lagi yang menghalangi kita…” ujar pria tua gemuk itu. “Naga Ora… Kura-kura Lontar…” ia memanggil kedua mahluk Menggala miliknya. Satu adalah seekor mahluk yang lebih tepat disebut ular berwarna hijau. Hanya saja ukurannya sangat besar hingga menyerupai naga. Panjang lebih dari 10 meter dengan sisik tebal berkilauan berwarna dominan hijau kecoklatan. Sedang kura-kura besar mempunyai tempurung lebar tebal berdiameter 4 meter. Ada duri-duri di tepian tempurung rumahnya yang sepertinya bisa berfungsi untuk serangan dan bertahan.
“Jadi ini yang disebut pendekar terkenal Ora et Labora itu?” ungkap Lord Purgatory tentang julukan nyeleneh orang tua ini. Bukannya itu jargon tentang ‘Bekerja dan Berusaha’ berbarengan itu? Ini julukan yang diberikan Iyon karena dulu sering liat stiker tulisan itu di angkot dan bus. Apalagi nama ular besar itu juga Ora dan ada unsur Lontar di kata Labora juga. Maksa sih sebenarnya. Tetapi karena itu abah Hasan benar-benar terkenal dengan julukan Ora et Labora itu.
“Ah hahaha… Kau dengar juga julukan basi itu…” abah Hasan tertawa terpaksa. “Tapi walaupun begitu… aku akan tetap akan menghajarmu, kau tau Lord Purgatory? Ketiga orang ini adalah murid-muridku… Mereka juga menganggapku sebagai orang tuanya… Kau sudah menyusahkan mereka bertiga sampai pada taraf yang sangat berbahaya… Sebagai orang tua dan murid tentunya aku tak bisa membiarkan itu semua… Kita mulai…” tangan kanan abah Hasan terlihat berwarna kehijauan sedang tangannya menjadi coklat gelap. Ia memasukkan kedua mahluk Menggaa itu di kedua tangannya. Pria tua tambun itu bisa bergerak dengan cepat dan menyerang Lord Purgatory walaupun ukurannya setambun itu. Raja Batara Kala itu bukan halangan bagi abah Hasan bila sudah mengaplikasikan kedua mahluk Menggala Suba-nya ke dalam tubuhnya. Di belakangnya, terlihat aura kedua mahluk raksasa itu turut membayangi pergerakannya. Pukulan tangan kanannya dilambari kekuatan dan wujud naga Ora.
“Heaahh!!”
Lord Purgatory terkaget serangan semacam itu dapat mengenai tubuhnya dan ia dapat merasakan sakit terkena hantaman yang cukup kuat serangan pembuka itu. Buru-buru ia memanfaatkan ukuran besarnya untuk segera menghentikan kiprah lawan lebih jauh lagi. Kakinya menyasar hendak menyapu saja, biar terpelanting sekalian saja hingga jauh entah kemana seperti Aseng. Abah Hasan mengangkat tangan kirinya untuk memblok serangan.
“Buuff!!”
Ukuran tubuh normal abah Hasan sangat impresif sekali bisa menahan tendangan menyapu raksasa sekelas raja Batara Kala ini menggunakan kekuatan kura-kura Lontar. Hempasan angin yang dibawa sapuan kaki itu itu menghempaskan debu, pasir dan bebatuan puing kraton sangking kuatnya. Tubuh pria tua tetap bertahan di tempatnya dan balas menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan ke kaki yang baru saja menendangnya tepat di bagian tulang keringnya beberapa kali. Lord Purgatory sampai meringis merasakan sakit akibat beberapa kali pukulan cepat di kaki itu yang kemudian ditariknya. Ditarik untuk mengulangi tendangan menyapu kembali.
Kembali ditahannya serangan itu dengan tangan kiri gempalnya. Sepertinya pertarungan ini bakalan seru dan tak bisa diprediksi siapa yang bakalan menjadi pemenangnya. Itu karena abah Hasan mengganti taktik dengan mengganti sasaran. Dinaikinya tubuh raksasa raja Batara Kala yang setinggi pohon kelapa itu dengan berlarian di permukaan tubuhnya. Tangannya bersiap hendak menyarangkan satu pukulan kuat lagi dengan tinju tangan kanannya yang dilambarai naga Ora. Kilau kehijauan yang hanya bisa dilihat Lord Purgatory sebelum…
“Braagg!!” dagunya terkena uppercut telak dari mahluk sekecil itu. Tak setara dalam masalah ukuran tubuh, tetapi lawan kecilnya dapat memberikan kerusakan yang sangat parah. Bagaikan sengatan lebah yang membuat kesakitan seekor gajah!
Hampir terjengkang sang maharaja terkena uppercut telak kalau ia tidak mengganti pijakan kakinya mundur, untuk menahan tubuh raksasanya. Abah Hasan sepertinya belum selesai karena ia mengarah ke bagian rahang Lord Purgatory yang juga terbuka. “Heaaahhh!” Lord Purgatory kaget karena serangan lawan seperti tak ada habisnya. Ia terlalu percaya diri selama ini dan meremehkan lawannya yang sudah tua apalagi gendut begini tetapi bisa bergerak cepat dan kuat.
Lord Purgatory bereaksi cepat dan membatalkan bentuk raja Batara Kala-nya hingga serangan di ketinggian yang mengincar rahangnya menjadi luput menyasar angin. “Fyuuuup…” Lord Purgatory kini seukuran manusia normal saja di jasad Bobi Putranto. Abah Hasan melenting turun dari posisi tinggi itu dan mulai mendapat serangan. Sang maharaja menggerakkan tangannya berkali-kali. Ada lesakan angin yang berbentuk sabit tepat mengarah pada abah Hasan. Bukan hanya satu, tetapi sekaligus banyak. Setelah melakukan serangan itu, ia berpindah tempat dan menggerakkan tangannya untuk menciptakan sabit-sabit berikutnya dari sudut lain.
Abah Hasan menyerongkan tubuh bagian kirinya untuk menggunakan keseluruhan tangan kanannya menjadi perisai berkat sang kura-kura Lontar itu. Sabit angin menghantam tanpa ampun berkali-kali tangan abah Hasan. Sabit-sabit tajam transparan yang terbuat dari angin terkompresi itu pecah berkeping-keping seperti kaca setelah berbentur dengan tangan kiri yang dilambari Menggala Suba tipe defensif kuat sekelas kura-kura Lontar. Tetapi dari pergerakan Lord Purgatory yang berpindah tempat, sepertinya ia sedang merencanakan sesuatu.
Selagi abah Hasan bertahan dari serangan sabit angin itu, Lord Purgatory menghentakkan kakinya ke depan ke arah abah Hasan. Tanah dengan mengejutkan rengkah dan menjalar sampai ke arah abah Hasan berada. Berderak-derak tanah ini semakin lebar membentuk celah rengkahan yang mengerikan. Siapapun tak ada yang kepengin cepat-cepat masuk ke dalam tanah apalagi dengan cara begini. Abah Hasan mengambil langkah pencegahan dengan terlebih dahulu menghentakkan kakinya juga ke tanah sebelum celah rengkah itu mencapainya lalu ia menghantamkan tinju tangan kirinya ke permukaan tanah.
“Booom!!”
Bumi seperti meledak jadinya akibat pertempuran ini. Bebatuan dari dalam tanah, pasir-pasir, puing kraton terangkat seperti kena hentakan tekanan udara yang pastinya tak akan tahan dirasakan petarung pemula. Kemudian bak rentetan tembakan senjata mesin, abah Hasan melakukan pukulan-pukulan langsung pada material yang terangkat ke permukaan. Serangan menuju Lord Purgatory yang masih berusaha mengkamuflasekan dirinya dengan gerakan mematikan ini. Pertahanan yang dilakukan abah Hasan sangat efektif sebagai serangan juga karena dalam pukulan bertubi-tubi itu ada andil naga Ora juga diantaranya.
Batu-batuan itu berhamburan ke arah Lord Purgatory dengan deras. Beberapa bisa dielakkannya, beberapa hancur setelah menghantam bagian tubuhnya, beberapa lagi disingkirkannya dengan tujuan dibalikkan pada abah Hasan. Serangan bertahan itu akhirnya berakhir cepat karena material batu yang digunakan telah habis terkuras dari dalam tanah. Mereka saling berdiri berhadap-hadapan. Lord Purgatory komat-kamit sedang membaca suatu mantra atau apa dan tubuhnya kemudian dibaluti semacam zirah kebesarannya yang beraksen merah dan perak. Ia juga memegang sebuah pedang bergagang panjang. Ia sepertinya berniat all out untuk pertarungan melawan orang tua ini.
Abah Hasan tidak terpancing emosinya melihat penambahan tenaga lawan karena ia masih mempertahankan naga Ora yang menyebabkan tangan kanannya berwarna hijau kecoklatan bersisik ini dan kura-kura Lontar yang membuat tangan kirinya berwarna coklat gelap. Lord Purgatory memutar-mutar pedang gagang panjang itu di atas kepalanya lalu bergerak maju. Aura yang dikeluarkannya sekarang sangat mengerikan lagi kuat. Tapi abah Hasan tak gentar dengan peningkatan lawan. Sepertinya ia juga punya kartu as yang masih disimpannya.
Selagi sabetan-sabetan pedang, sapuan ekstra gagang pedang yang lebih panjang setengah tombak itu, ada blitz-blitz energi merah dan perak yang juga sambar menyambar silih berganti. Abah Hasan harus bergerak ekstra hati-hati menghindari itu semua selagi berusaha memasukkan serangannya juga. Lincah tubuhnya tambunnya pasti membuat frustasi lawan manapun. Ini semua tentunya berkat gerak kakinya yang lincah berkat sebuah ilmu kanuragan yang dimilikinya sejak muda. Campuran gerakan kaki lincah cepat susah untuk diantisipasi lawan inilah dasar ilmunya yang bila dikombinasikan dengan jurus-jurus lain menjadikannya seorang pendekar yang pilih tanding.
Dengan tubuh gemuk dan perut buncit, ia bisa berjumpalitan kesana kemari dengan lincah, koprol depan belakang dengan mudah bak seorang pesenam gimnastik langsing. Lord Purgatory sepertinya kesal ia tak dapat mengenai lawannya dengan serangan yang telak apalagi mematikan. Sabetan pedangnya dan sambaran blitz energi itu hanya melulu menerpa ruang kosong yang telah ditinggalkan abah Hasan ke posisi baru. Beberapa kali Lord Purgatory bahkan yang malah terkena pukulan terlambar kekuatan naga Ora itu.
Pada puncak frustasinya, Lord Purgatory seperti mengamuk dan men-charge energi miliknya semaksimal mungkin hingga blitz merah dan biru seperti berkobar bak api yang menyala-nyala membakar sekelilingnya. “AAAAARRRRRGGGHHHH!!!” sinar-sinar merah biru itu juga berkobar di sekitar zirah miliknya. Pandangan mata dan nuansa wajahnya tak lagi waras. Hanya ada emosi yang negatif tergambar di sana. Dari dalam tanah di sekitarnya muncul beberapa kobaran blitz merah biru itu. Saat pudar muncul beberapa bentuk sosok bayangan hitam yang telah dipanggilnya. Kalau dihitung dengan cermat, ada 9 sosok bayangan yang bentuknya berbeda satu sama lain.
Ada yang berukuran seperti manusia biasa, ada yang berbentuk hewan, ada juga yang berwujud monster gak jelas bahkan ada yang berukuran raksasa!
“Kau memanggil semua raja-raja kerajaan ghaib yang telah kau taklukkan… Sangat bagus… Pertanda kau mau serius denganku… Itu satu kehormatan bagi orang tua ini… Melawan diriku ini kau sampai berbuat begini… Ini membuat semuanya menjadi semakin menarik saja…” respon abah Hasan tetap berdiri tegak tak gentar sedikitpun. Abah Hasan mengatakan kalau kesembilan sosok hitam bayangan itu adalah semua raja-raja kerajaan ghaib yang telah ditaklukkan Lord Purgatory? Berarti ini semua raja-raja kerajaan yang sekarang dikuasainya. Ini adalah roh-roh semua raja itu sehingga ia mendapatkan titel maharaja sekarang…
—–oo0O0oo—–
POV Aseng:
Kimak! Apa tadi itu?
Aku ada dimana, nih? Dimana kraton tadi. Ini semua hutan dan hutan melulu dengan pohon-pohon besar yang rapat. Oh, OK… Aku sudah enggak ada di seputaran kraton si Lord Purgatory pukimak itu lagi tapi masih di dalam hutan ghaib Alas Purwo ini. Hanya saja entah dibagian mananya. Dan tentu saja saat ini aku tersesat karena gak bisa menentukan arah. Kalo aku bisa menentukan arah Utara Selatan tentu aku bisa memperkirakan keberadaanku saat ini.
Ini semua karena pohon-pohon besar tinggi menjulang ini bahkan menutupi keberadaan langit. Hanya saja satu lagi hal yang pasti, dimensi hutan Alas Purwo ini masih ada di dalam daerah kekuasaan ke-maharaja-an Lord Purgatory. Entah ada berapa kerajaan yang sudah dikuasainya hingga mendapat titel bergengsi itu. Aku hanya punya satu kerajaan; kerajaan Mahkota Merah hingga hanya sekedar dipanggil baginda raja.
Apakah mereka juga ikut dihantam kekuatan tadi juga? Maksudku tentu saja keempat peri kasta tertinggi itu. Agni, Rasa, Rukma dan Praba. Huuh… Bingung, nih. Apa yang harus kuprioritaskan dulu? Mencegah si Lord Purgatory pukimak mencapai ‘surga’-nya itu, memulihkan kembali keempat peri tersesat itu, ato yang lainnya? Semuanya terasa penting dan krusial saat ini. Dari mereka semua, hanya Awyati yang sudah berhasil kutangkap walo masih ditahan dengan penangan khusus di Mahkota Merah. Karena ia adalah kasta tertinggi peri Candrasa yang berelemen kegelapan, ia malah dibelenggu di tempat yang terang, di tempat terbuka yang selalu mendapat sinar terang.
Awyati yang berwujud sekarang hanyalah Cayarini yang sedang menyamar menjadi dirinya. Ratu peri Candrasa itu saat ini dalam misi penting karena ia membawa cermin dewi kahyangan itu menjauh dari maharaja Lord Purgatory. Mudah-mudahan abah Hasan bisa menahannya selama mungkin sebelum perang besar pecah.
Apa itu?
Lamat-lamat aku bisa mendengar kilasan sinar di sebelah sana. Seperti percikan berlaganya senjata tajam saling bentur. Kutelusuri jalan yang sebenarnya tak ada. Berupa belitan akar-akar pohon menggurita bergelung-gelung sangking tua dan padatnya. Gelap hutan tak menjadi masalah bagiku karena masih bisa diraba jalannya.
Whaddepak? Apa ini? Bukannya itu Praba, ya? Kasta tertinggi peri Dawala berambut putih dengan senjata dan perisai lengkapnya sedang nyungsep terjepit sebongkah batu besar seukuran gajah. Kalo ditilik dari kondisinya, ia sama sepertiku yang dihempaskan dari pertarungan kami di kraton Lord Purgatory tadi. Ia meluncur jauh hingga kemari, pedang besarnya menghantam bukit batu itu hingga longsorannya malah menghimpit dirinya sendiri. Untungnya batu itu tidak langsung membunuhnya karena ada renggangan sedikit yang terbukti menyelamatkan nyawanya walopun harus menahan tubuhnya tak bisa lepas. Pedang itu lepas dari tangannya—tak terjangkau sementara ia menggunakan perisainya untuk menghantam batu besar itu berkali-kali dengan tenaga minimal. Dari sanalah sinar terang itu berasal. Buru-buru kuambil perisai yang dikenakannya itu lalu menarik pedang miliknya sejauh mungkin.
“Kurang ajar… Siapa itu?” hardiknya yang merasa ditodong dari belakang secara curang saat ia dalam kesusahan seperti ini.
“Bukan siapa-siapa, Praba… Hanya baginda rajamu yang datang…” jawabku sembari menepuk-nepuk bokongnya yang dalam keadaan menungging karena ketindihan batu segede itu. Posisinya sangat tidak menguntungkan buatnya tetapi bagus buatku.
“Kembalikan pedangku dan mari bertempur lagi!” serunya tapi putus asa. Tubuhnya merinding-rinding kala aku melecehkan tubuhnya. Belahan bokongnya kulebarkan untuk mengintip apa yang tersembunyi di balik balutan celana dalam mini miliknya. Celana dalam kusisihkan… Katupan dua bongkah bokongnya sangat ketat hingga aku harus melebarkannya begini. Aku malah jadi tergoda untuk berbuat mesum dengan peri Praba ini. Aku sama sekali tak merespon teriakan marahnya. Rabaan tanganku makin menjadi-jadi saja. Praba mendesis-desis geli tak rela.
“Hentikaaan!! Stopp… Kurang ajaarr! Hentikan ituu!! Tidakk!”
Berbagai titik tubuh sensitifnya tak luput dari sentuhan tangan mesumku. Lubang analnya kuelus-elus hingga bokongnya bergetar-getar kegelian. Apalagi tak jauh dari sana adalah lubang kemaluan sempitnya yang segera lembab akibat ulahku. Teriakan-teriakan berangnya tak kuperdulikan. Aku sudah berkali-kali menyentuh peri Praba di kerajaan Mahkota Merah. Tentu saja peri Praba lain, keturunan berikutnya yang dihasilkan Eka. Hanya mereka berlima dari generasi pertama peri kasta tertinggi yang kuberi nama sesuai nama jenisnya; Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati. Akan sangat sayang sekali kalo aku harus kehilangan generasi pertama ini.
Akhirnya aku menemukan alasan yang tepat kenapa aku tidak buru-buru menghabisi mereka saat pertarungan kami sebelumnya di kraton. Alasan utamanya.
“JANGAANN… JANGAN LAKUKAN ITTUUU… UUUHHhh…” keluh Praba tak sanggup lagi mencegahku hingga lemas sendiri. Lemas oleh rasa nikmat yang tiba-tiba menyergap sekujur tubuhnya. Lidahku bermain-main di tunggingan bokongnya yang beraroma kayu manis kuat. Aroma rempah ini sangat akrab di benakku karena aku tiba-tiba mengingat aroma ratu Nirada, peri Dawala pertama yang kugauli. Ahh… Benar… Praba telah menyerap ratu Nirada ke dalam tubuhnya, tentu saja aku mengingat aroma ratu Nirada walopun masih aroma kayu manis yang sama.
Lidahku menjilat-jilat belahan vaginanya hingga basah menuju becek. Cairan kemaluan Praba tanpa dapat dicegahnya mengucur deras akibat rangsangan seorang Aseng yang udah pro kali ngejilmek binor maupun peri. Bukankah ini ide bagus, aku mendapat keuntungan dari ketidak beruntunganku disapu, diterbangkan hingga jauh dari medan tempur, untuk mendapat kesempatan memenangkan pertarunganku melawan salah satu peri kasta tertinggi ini melalui adu kelamin. Ide bagus yang sangat cemerlang.
Aroma unik kayu manis ini membuatku menjilati seluruh permukaan yang terlihat jelas. Aku bahkan gak segan-segan menjilati lubang anusnya yang berkedut-kedut sementara liang kawinnya kujejali jari. Aseng junior udah nuntut dikaryakan aja dari tadi, menggeliat sempit di dalam sempak. Sabar ya kau, junior. Ini memang bagianmu. Kita bikin kelojotan dulu sekali si Praba ini, trus lanjut kita cuss…
Mulutku terus mengeksplorasi kelamin Praba hingga semua tersentuh basah. Tanpa sadar peri Praba itu melebarkan kakinya agar aku lebih mudah memainkan semua relung indah kelaminnya. Kacang itilnya kini kusedot-sedot sementara liang kawinnya sudah menampung dua jariku yang merogoh dalam. Ketat sempit lubang itu semakin menghisap walo banyak cairan yang mengucur dari dalamnya. Erangan dan rintihan makin seksi terdengar dari mulutnya yang tak berdaya. Kedua tangannya yang terkunci tak bisa banyak bergerak hanya bisa mengepal menggaruk-garuk bebatuan keras.
“OOoohhh…” akhirnya targetku tercapai. Agak memercik cairan yang keluar dari vagina Praba saat orgasmenya meledak. Berkejat-kejat berkelojotan tubuh terjepitnya akibat geli-geli enak yang merongrong seluruh tubuhnya. Aku buru-buru mengeluarkan Aseng junior yang sudah menuntut dari tadi. Keras dan menegang berwarna merah tua seluruh batang penisku dengan urat-urat kasarnya. Kulit penisku jadi sedemikian licin dan halus malah cenderung lebih sensitif sekarang karena terlalu sering dipakai ke peri cantik. Apalagi kali ini akan dipakai kembali ke peri Praba yang masuk dalam masa hukumannya.
Semoga gak ada yang akan mengganggu usahaku ini karena saat ini aku ada di daerah musuh. Sebenarnya ini sangat riskan tapi aku tidak akan menemukan kesempatan emas seperti ini lagi. Jadi harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
“Ummbb…” rintih tertahan Praba saat vaginanya kuterobos. Aseng junior masuk perlahan tapi pasti menikmati hangat dan halus liang sempit yang mengepit erat. Seperti yang dikatakan Cayarini saat menyamar menjadi Awyati, tak ada yang berani menyentuh mereka selama berada di kraton Lord Purgatory. Mereka terjaga karena nama besar kasta tertinggi peri yang mereka sandang masing-masing. Padahal seharusnya tampilan seseksi mereka ini pasti jadi sasaran empuk berbagai jenis jin yang banyak berkeliaran di tempat seperti ini.
Tepat sekali. Mereka ini hanya milikku seorang. Tak boleh ada yang menyentuh mereka selain diriku. Aku raja mereka dan aku yang mencetuskan keberadaan mereka lewat Eka.
Dengan pemikiran itu, aku mulai menggenjot Praba dengan gaya doggie ini. Ahh… Nikmatnya peri Praba cantik ini. Walopun dia sepenuhnya tak rela diperlakukan seperti ini, bagian dalam tubuhnya meleleh dengan benar, mengekang Aseng junior dengan benar dan merintih juga dengan benar untuk memberikan rangsangan tambahan. Aku meremas-remas pinggulnya berisi otot kenyal hingga ask untuk disentuh. Aseng junior dengan gembiranya keluar masuk dengan teratur. Batangnya sudah basah berlumuran cairan pelumas Praba yang beraroma kayu manis hingga genjotanku mudah dan terasa enak.
Kali ini aku tidak bermaksud memproduksi telur peri pada Praba dan karenanya genjotanku tak kutahan-tahan lagi. Kugasak dengan maksimal saja berupa genjotan panjang-panjang agar rangsangannya maksimal buat kami berdua. Gesekan kulit kelamin kami pasti membuat Praba sangat keenakan walopun keadaannya tergencet tak berdaya seperti itu. Kalo yang kurasakan, so pasti enak-la pokoknya. Genjot-genjot-genjot terus dengan nikmatnya. Aku makin keranjingan meremas-remas bagian belakang tubuh Praba ini, seperti sekarang yang mencengkram erat bokong sekal peri Praba berambut putih bertanduk ini.
Tak ada suara-suara penolakan, makian ato umpatan dari mulutnya lagi. Yang terdengar hanya keluhan, rintihan dan desahan saja. Praba sudah semakin menikmati. Sayangnya aku gak bisa mengganti posisi ini semauku sebelum kusingkirkan batu besar yang menghimpitnya ini dan itu tak bisa kulakukan sekarang juga dengan resiko ia bisa saja menyerangku saat lagi posisi yang enak-enaknya. Kentang pastinya nanti.
Biarin aja-la kek gini dulu.
Jadinya aku hanya terus menggenjotnya mengejar kenikmatan yang pasti dinikmatinya juga. Terbukti Praba sudah mendapatkan puncak klimaksnya di foreplay tadi dan barusan saja tubuhnya bergetar-getar lagi menikmatinya lagi. Keluhannya sudah seperti suara hewan buas yang hendak menerkam mangsa. Bisa dipastikan, posisi kami saat ini bakalan diketemukan oleh siapapun yang dapat mendengar teriakan kuat orgasme Praba tapi aku gak berhenti. Gak mau pulak berhenti badan ini menggenjot kenikmatan yang bentar-bentar lagi juga kucapai.
Kugenjot terus tunggingan bokong Praba yang semakin nikmat saja. Aku udah gak kuat lagi menahan-nahannya. Apalagi dah kujelaskan di atas tadi kalo si Aseng junior makin sensitif aja akan barang enak kek gini. Buang hajat ke peri-peri begini sudah terlalu sering kulakukan di kerajaanku hingga ia menganggap ini tak ada bedanya dengan liang nikmat biasanya.
“Crooott croott croottt!” menyembur-nyembur spermaku ke dalam liang kawin Praba menuju rahimnya yang ternyata membawa efek nikmat yang sama padanya. Praba juga mendapat klimaks kenikmatan yang sama denganku. Kami berdua menikmatinya. Hanya saja aku menahan suaraku sedang peri Praba ini tidak. Ia meluapkan semua rasa nikmat itu dalam sebuah jeritan puas yang sangat nyaring. Keknya seluruh hutan ini akan mendengar suara keenakannya.
“Aaauuuhhh…” lengkingan suaranya sangat keras. Buru-buru aku langsung mencabut Aseng junior dan cabut meninggalkannya sendiri masih terhimpit batu besar itu. Enak boleh enak, tapi otak masih harus mikir cepat juga. Aku bersembunyi tak jauh dari TKP. Tetap mengawasi sembari menenangkan Aseng junior yang masih penasaran tak cukup sekali ronde saja. Barang bagus begitu gak boleh digarap hanya sekali, begitu katanya. Sabar kau… Kalo ketemu peri penghianat lain, mungkin akan ada kesempatan lain juga.
“Loh…?” mengawasi Praba yang masih terhimpit disana, ada sosok lain yang berguling jatuh dari tubuh peri kasta tertinggi peri Dawala itu. Aku sepertinya mengenali sosok tubuh dengan pakaian itu. Buru-buru aku keluar dari persembunyianku dan menghampiri. Aku tak percaya apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Benarkah ini?
“Uuh… Bagindaa…”
“Ratu Nirada?” desisku pelan mengenali wajah cantik sang ratu peri Dawala ini. Ia terbebas dari tubuh Praba? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia yang sudah diserap peri Praba itu keluar lagi secara utuh seperti ini? Bagaimana caranya? Apa yang terjadi? Apakah apa yang baru saja kulakukan pada Praba–mengentotinya barusan–menyebabkan ratu Nirada keluar dari tubuh Praba?
Lebih pada kangen, kupeluk tubuh ratu peri Dawala yang sudah lama tak ketemu ini lagi penuh kerinduan, sekaligus membantunya bangkit. Tubuhnya masih lemah. Pastinya ia sudah ditekan dan didiamkan selama ini di dalam tubuh Praba tanpa bisa berbuat banyak. Alangkah putus asanya keadaannya. Ini berita bagus.
“Kau baik-baik saja, ratu Nirada?” bisikku sepelan mungkin. Aku takut pertanyaanku malah membuatnya emosi. Kuciumi pipinya kangen sekali.
“Hanya lemah dan syok, baginda… Baginda raja berhasil membebaskan hamba dari tubuhnya…” jawabnya kami berpelukan dalam posisi berjongkok begini. Kakinya masih belum kuat menopang tubuhnya. “Ratu-ratu lain juga sama seperti hamba, baginda… Ulangi proses ini pada yang lainnya dan ratu-ratu yang diserap seperti hamba akan terbebas juga…” susah payah ratu Nirada menyampaikan kabar gembira ini. Kabar gembira? Yaa… Ini benar-benar kabar yang menggembirakan. Aku bisa membebaskan 3 ratu peri lainnya kalo begitu. Ratu Pancaka, ratu Lawana, dan ratu Kanaka.
“Benarkah? Dengan cara barusan itu?” tanyaku menatapnya berpindah-pindah ke Praba juga. Baru saja aku mengentoti Praba dan pada puncaknya aku malah melepaskan ratu Praba yang telah diserapnya. Kenapa caranya mudah sekali begini? Kalo tau caranya hanya begini, sudah kuculik dari kemaren-kemaren peri-peri kasta tertinggi ini. Ratu Nirada mengangguk membenarkan.
“Daaan… satu lagi baginda…” ia mengacungkan tangannya. Di telapak tangannya ada sebuah batu putih itu. “Batu biduri bulan (moonstone) putih, baginda raja… juga sudah kembali…” ia mengarahkan batu putih itu ke arah mahkota besi hitam yang masih setia melingkar di jidatku. Bak benda logam yang ditarik magnet kuat, biduri bulan itu melompat dan menempel kembali di mahkotaku. Kupastikan posisinya dan tempatnya kembali di sebelah kanan mahkota seperti sebelumnya.
“Woow… Luar biasa, ratu Nirada… Berarti Lord Purgatory menyerahkan permata-permata peri ini pada mereka setelah gak digunakannya lagi…” tebakku.
“Dia membuangnya, baginda… Ia menganggap batu-batu berharga peri ini tak berguna lagi…Cuma kerikil saja katanya… Hanya saja batu ini kembali sendiri pada peri kasta tertinggi yang kebetulan ada di sana… Dengan ini, baginda bisa mengumpulkan kembali semua permata peri di mahkota baginda…” katanya. Aku membuat kata wow lagi tanpa suara. Hanya mulutku yang monyong-monyong berbentuk O sangking semangatnya.
“Bagus kalo begitu… Tapi kau masih lemah kan ratu Nirada… Sebaiknya kau beristirahat di kerajaan… Para peri Dawala pasti akan senang melihatmu…” merangkulnya agar bisa bangkit berdiri.
“Bukannya semua peri Dawala mudah sudah habis digilas di peperangan, baginda?” tatapnya sedih mengingat semua prajurit keturunannya tewas dalam peperangan sebelumnya.
“Mereka peri baru keturunan dari Kirana, ratu Nirada… Kirana itu nama pengawalmu… Aku sudah memberinya nama…” jawabku membesarkan hatinya. “Biar kupanggil dia untuk mengurusmu…” Tak lama pengawal ratu yang setia itu muncul di hadapan kami. Tentunya dengan mimik kaget campur bahagia.
“Ratu Niradaaa?” lirihnya hampir menjerit senang. “Baginda… ratu Nirada kembali…” tanpa ditahan-tahan lagi ia langsung memeluk ratu Nirada tanpa sungkan-sungkan. Padahal ini adalah ratunya. Tapi budaya di kerajaan Mahkota Merah sudah banyak berubah sekarang. Mereka lebih ekspresif mempertontonkan emosi mereka sekarang. Pengaruh siapa dulu, dong?… Baginda rajanya.
“Sudah-sudah, Kirana… Bawa ratumu pulang ke kerajaan… Dia masih lemah-loh…” kutepuk-tepuk kepalanya agar menghentikan temu kangen itu nanti saja di tempat yang lebih aman. Mandi cahaya terang di kerajaan pasti akan membuat ratu peri Dawala ini lebih segeran.
“Peri Praba itu?”
“Biarkan saja dia begitu…” jawabku mengenai peri Praba yang masih tergencet batu besar longsoran bukit di atasnya. “Masih terlalu beresiko membawanya pulang ke kerajaan…”
“Dia sudah tidak dikendalikan musuh, baginda… Pengaruhnya sudah hilang begitu hamba lepas dari tubuhnya…” jawab ratu Nirada dengan nada sangat yakin.
“Benarkah?” kagetku. Ini benar-benar kabar bagus ke kabar bagus lainnya. Kalo benar-benar begitu adanya. Aku umpama sekali dayung melampaui dua tiga pulau. Sekali ngecrot melepaskan ratu peri yang diserap dan menyadarkan peri yang dikendalikan musuh. Ini betul-betul hari yang menggembirakan. Begitu banyak keuntungan yang kudapat dibalik ketidak beruntunganku akhir-akhir ini. Hanya saja, Praba tergencet batu segitu besarnya dan itu bukan pekerjaan mudah mengevakuasinya dari keadaan itu.
“Mundur ke tempat yang aman… Aku akan menggeser batu yang menghimpitnya…” ujarku dan mereka berdua berpindah ke tempat yang lebih kondusif. Sepasang bakiak Bulan Pencak sudah berada di kakiku. Kukerahkan energi lini ke seluruh tubuhku terutama ke bagian kaki sembari menguatkan kuda-kuda untuk melakukan tendangan berputar dengan satu tumpuan kuat. “GUGUR GLUGUR! HEAAAHH!!” dengan hembusan nafas yang tepat, aku berputar cepat dan tapak kaki kananku menghantam permukaan batu besar…
“PRAAASSSHHH!!”
Batu sebesar gajah itu berguling ke samping setelah mendapat dorongan menghentak jurus pamungkas menggunakan bakiak andalanku. Bergeser sedikit saja tapi sudah cukup untuk membebaskan peri Praba yang masih telungkup menungging tak berdaya. Ia langsung sujud bersimpuh begitu mengetahui dirinya sudah bebas, mengabaikan keadaan dirinya yang baru saja kuperkosa.
“Mohon ampun, baginda raja… Hamba pantas mati setelah semua yang telah hamba lakukan… Tak ada yang lebih pantas dari kematian hamba… Hukum ham…”
“Udah-udah… Diamlah…” potongku pada peri Praba yang nyerocos minta dihukum seberat-beratnya. Ia langsung tutup mulut. “Hukumanmu nanti akan kita bicarakan lagi… Sekarang kau pulanglah dengan mereka berdua ke kerajaan… Aku masih banyak kesibukan lain… Pergi sekarang…” ia langsung bergabung pada ratu Nirada dan Kirana yang membawa mereka pulang ke kerajaan Mahkota Merah.
Hutan ini kembali sepi. Kekhawatiran diriku tak terbukti. Tak ada yang datang saat mendengar suara jeritan Praba tadi hingga sekarang. Sejauh ini aku aman. Masih ada tiga peri kasta tertinggi yang harus kutemukan. Agni, Rasa dan Rukma. Semoga saja mereka terpencar dan dalam keadaan sulit seperti Praba tadi hingga bisa kukerjai dengan mudah.
—–oo0O0oo—–
Yang kucurigai sebagai penyebab tercerai berainya pertarunganku dengan empat peri kasta tertinggi itu adalah pukulan mode raja Batara Kala-nya Lord Purgatory. Hanya itu yang bisa kupikirkan karena saat itu memang abah Hasan sedang bertarung melawan bentuk raksasa si maharaja pukimak itu. Hanya itu penjelasan logis. Raksasa sebesar itu pasti punya kekuatan yang besar juga hingga menghancurkan kraton dan mencampakkan kami hingga jauh.
Saat ini aku sedang berusaha menguping pembicaraan beberapa mahluk ghaib yang sedang berkumpul di tengah hutan begini. Ada beberapa sosok yang berusaha mensejajarkan diri agar bisa berbicara secara setara. Mahluk ghaib bisa dengan mudah menyesuaikan ukuran tubuh mereka bila diperlukan. Itu lazim dilakukan beberapa spesies mahluk ghaib yang bertubuh besar seperti raksasa.
“Saat ini kraton maharaja sedang hancur lebur oleh kekuatannya sendiri… Ia sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh… Kalangan Menggala menyebutnya sebagai pendekar Ora et Labora… Mungkin kalian pernah dengar namanya…” ujar satu mahluk ghaib yang bentuknya seperti pohon yang sangat tua. Tubuhnya bercabang-cabang dengan tekstur keriput pecah-pecah tanpa daun sehelaipun. Mungkin sudah pada gugur daunnya akibat kerontokan.
“Yaa… Maharajaa mainn-mainn dengann muridd-muridd pendekarr inii… Pastii diaa marahh…” jawab satu mahluk ghaib lain berwajah kuda dengan surainya yang panjang lagi lebat. “Apakahh tepatt waktunyaa kitaa untukk membalass kembalii? Sekarangg inii?” ujung kata yang digunakannya agak sedikit bergetar.
“Semuanya… semuanya sudah siap… Sudah siap semuanya… Ya siap sudah semuanya… Aku setuju… Setuju-tuju…” sahut satu lagi yang berupa berukuran kecil dengan kepala yang selalu bergoyang kanan kiri…” Mahluk ganjil itu suka mengulang-ulang kalimatnya.
“Bagaimana dengan dua peri berbahaya itu? Di perang dengan kerajaan peri itu mereka tak punya kesempatan sedikitpun… Mereka kira bisa menang dan akhirnya dibantai habis juga… Apakah kita nantinya tidak akan berakhir seperti mereka?” tanya satu raksasa Batara Kala yang menyetel ukuran tubuhnya agar bisa berbicara setara dengan yang lainnya di pertemuan rahasia ini.
“Kerajaan maharaja ini kuat karena kita menyediakan prajurit-prajurit kita sebagai bala tentaranya… Bila terjadi perang lagi… kita harus kompak dan memboikot suplai bala tentara pasukannya… Tanpa prajurit tentu maharaja tidak akan bisa bicara banyak di pertempuran… Dia tidak bisa hanya mengandalkan sedikit pasukannya dan dua peri sekuat itu… Kita bokong dia dari belakang seperti apa yang telah dilakukannya pada kerajaan-kerajaan kita saat itu… Kalian juga mengalaminya tentu… Kini saatnya kita membalas demi kejayaan kerajaan kita masing-masing… Dari semua perwakilan kerajaan yang sudah dicaplok maharaja… jangan ada satupun yang mengirimkan pasukan! Kita harus kompak serentak!!” gegap gempita ia mengumumkan pengambilan sikap ini.
“Setuju!”
“Setuju-setuju-setuju…”
“Setujuuu…”
“SETUJU!” jawab mereka berganti-gantian. Ternyata ada banyak juga pihak yang berkumpul di tengah hutan sepi ini. Walopun mereka mahluk ghaib, tetapi aku merasakan aura kebangsawanan pada masing-masing penyuara pendapat ini. Ternyata memang benar-benar pewaris kerajaan-kerajaan yang telah ditaklukkan Lord Purgatory lewat jalan peperangan. Ini perkumpulan yang menarik.
Misalnya raksasa Batara Kala itu. Lord Purgatory saat ini merupakan raja para Batara Kala. Ia pasti telah menggantikan raja sebelumnya dengan jalan menumpahkan darah dengan membunuh raja sebelumnya. Batara Kala yang hadir kali ini mungkin adalah pewarisnya. Juga ular besar yang ada di belakang sana, kaumnya hadir saat perang di kerajaan Istana Pelangi seperti juga gagak hitam raksasa dan lain sebagainya. Ternyata di belakang, mereka masih mendendam dan berkomplot untuk membalas semua kekalahan mereka dengan memanfaatkan momen ini. Dengan mengumpulkan barisan sakit hati, mereka mencoba bersatu padu untuk menghancurkan sang maharaja. Menarik…
Bukannya aku sama aja seperti mereka?
“Peri Ananta bernama Citra dan peri Byuha bernama Asweta itu sedang sibuk dengan teman-temanku…” aku keluar dari persembunyianku dan menghampiri pertemuan rahasia ini. Mendadak mereka menjadi waspada karena kehadiranku yang tiba-tiba. Apalagi yang sedang mereka rencanakan ini termasuk persekongkolan berbahaya. Dari bisik-bisik beberapa dari mereka, segera mengenaliku sebagai manusia yang juga merupakan raja kerajaan peri yang baru saja mereka bicarakan.
Jangan lupa. Aseng ini punya mulut yang sangat manis-loh… Binor aja pada klepek-klepek ngangkang oleh pesonaku. Apalagi cuma mahluk ghaib penuh dendam dan iri dengki ini. Provokasiku harus dimanfaatkan lagi.
“Sori aku mencuri dengar pembicaraan kalian semua yang hadir disini… Ya… Pendekar Ora et Labora yang kalian bicarakan tadi itu adalah guru dan juga orang tua buatku…” aku berdiri di tengah-tengah perkumpulan mereka ini. Pandangan seram dan angker dari mereka semua tak begitu kuperdulikan. Mereka merencanakan sesuatu yang jahat pada musuhku dan karena itu sementara ini mereka temanku. Musuh dari musuhmu adalah temanmu, begitu pribahasanya, kan?
“Kita sama-sama menderita kalo mau diceritakan… tetapi kalian sudah tau itu semua… Kalian pasti sudah dengar apa yang terjadi pada kerajaan Mahkota Merah-ku… Maharaja kalian itu telah menghancurkan kerajaanku dan semua pasukan periku hancur… Itu semua demi ambisinya menuju ‘surga’ itu… Aku mengacaukan rencananya… dan mencuri cermin dewi kahyangan berharganya…” aku menunjuk ke arah kraton nun jauh disana di tengah Alas Purwo. “Sekarang dia lagi mengamuk… menghadapi pendekar Ora et Labora itu…”
“Kenapa bukan kau yang menghadapinya?” tanya mahluk berbentuk pohon itu.
“Pertanyaan yang bagus… Kenapa bukan aku yang menghadapi maharaja bangsat itu? Oh… aku dan kedua temanku sudah pengen aja bertarung langsung mati-matian dengannya… Pengeeeen kali… Tetapi kami dilarang… Tentu saja dilarang guru dan orang tua kami itu—si pendekar Ora et Labora itu… Ehem-ehem…” aku berusaha mengulang kata-kata abah Hasan waktu kami berbagi tugas. “Emosi kalian bertiga akan dimanfaatkan secara maksimal oleh Lord Purgatory ini… Ia bisa memanipulasi semua kemarahan kalian… akibat berbagai masalah yang telah disebabkannya selama ini… Dapat dipastikan kalian akan kalah bila terperangkap dalam situasi itu… Yang paling aman dan masuk akal… abah yang akan menghadapinya… karena belum pernah punya masalah dengannya sama sekali… Begitu…” ulangku persis semua kata-kata abah Hasan saat itu.
Jadi intinya abah Hasan tidak memperbolehkan kami bertiga yang menghadapi Lord Purgatory. Pilihannya antara dirinya dan si kembar Ron-Buana. Pilihan jatuh pada abah Hasan sendiri karena Ron-Buana punya tugas penting untuk mengatasi Citra. Sementara Iyon dan Kojek menghadapi Asweta. Dan aku… ada di situasi ini sekarang. Lebih pada seksi sibuk yang menghadapi apapun yang ada di luar ketiga target utama itu; Lord Purgatory, Citra dan Asweta.
“JADI KAU MAU IKUT DALAM RENCANA KAMI INI? BEGITU??” sergah suara bak marah-marah si Batara Kala.
“Jangan salah sangka… Sebetulnya kalianlah yang sedang membonceng aksi kami ini… Bukan begitu?” Jangan sok hebat klen semua. Kami cuma enam manusia yang datang dengan gagah berani mengacak-acak kerajaan besar maharaja Lord Purgatory ini dan kalian hanya sedang memanfaatkannya. “Benar, kan?” mereka diam tak menjawab.
“Tidak apa-apa… Malah menurutku itu bagus… Kalau benar-benar klen tidak mengirimkan pasukan kerajaan klen untuk men-support dia di perang yang kami mulai lagi ini… itu malah sangat bagus… Tapi jangan tanggung-tanggung… Klen juga harus menyerang maharaja itu bersama-sama… Bersatu padu lawan dia… Keroyok dia… Tuntaskan dendam klen… Kobarkan lagi api kebanggaan kerajaan kalian bersama-sama… Itu baru namanya pewaris tahta yang sejati… Setuju?!” pancingku. Tidak ada yang menjawab. Semuanya hening. Hanya ada suara sedikit keributan di belakang sana. Seperti suara hewan yang sedang ditangkap dan dibungkam.
“Kalo tidak mau ya tidak apa-apa… Tidak ada ruginya buat pihak kami karena bagaimanapun maharaja pukimak itu memang harus dibasmi apapun caranya… dengan atau tanpa bantuan kalian…”
“Aku setuju… Setuju aku… Setuju-setuju-setuju…” jawab mendadak dengan cepat mahluk ghaib pecicilan itu bergerak-gerak terus memusingkan. Disusul dengan jawaban setuju senada dari perwakilan kerajaan-kerajaan lain. Persetujuan komunal ini pasti punya keuntungan yang sejenis bagi pihak mereka. Semuanya punya kepentingan disini. Terserah mau membonceng aksi kami ini ato apapun motifnya. Semuanya akhirnya setuju membentuk aliansi mendadak ini untuk mengalahkan Lord Purgatory ini. Kami berbincang-bincang lagi memantapkan kerjasama sementara ini untuk beberapa lama. Sebelum ada pihak yang mencetuskan ini kembali.
“Apakah kalian yakin bisa mengalahkan Citra dan Asweta… Mereka itu sangat-sangat kuat…”
“Aku percaya pada teman-temanku…” jawabku akan pertanyaan penting ini.
“Selagii kamii mencarii caraa mengalahkann duaa perii andalann maharajaa… kamii malahh menemukann perii berambutt biruu inii…” ujar mahluk ghaib berwajah kuda itu lalu memanggil bawahannya. Prajuritnya mendorong-dorong peri Rasa terikat itu di bawah ancaman pedang dan tombak. Waah… Ketemu juga.
“KAMI JUGA…” raksasa Batara Kala itu melemparkan sebuah kantung besar yang isinya segera tersingkap keluar berupa peri Rukma yang terikat sekujur tubuhnya dan mulut terbungkam. Rambut pirangnya terhampar. “KAMI PIKIR INI ADALAH TANGKAPAN BAGUS…”
“Serahkan dua peri ini padaku… Mereka adalah pembelot yang disebabkan peri bernama Citra itu…” tatapku bergantian pada kedua pemimpin faksi mahluk ghaib yang berniat memberontak pada sang maharaja yang terlalu perkasa untuk dihadapi sendirian saja. “Tentunya kalian tidak keberatan, bukan?” desakku. Ini kesempatan yang sangat bagus. Sepertinya luck-ku sudah mulai pulih dengan berbagai keberuntungan yang sangat indah ini. Satu persatu apa yang sebelumnya dipersulit sepertinya berubah dimudahkan seiring dengan berbagai keuntungan yang mengalir padaku.
“Tidakk keberatannnn…” jawab si wajah kuda dan gelengan kepala pemimpin Batara Kala. Aku tidak perduli walo mereka tidak iklas mengatakan itu semua, yang penting kedua peri ini sudah kutemukan, meninggalkan peri Agni yang terakhir.
“Kalo begitu… dua peri ini kuambil… Sebelumnya terima kasih sudah menangkap mereka… Pekerjaanku jadi lebih mudah untuk menghukum dua pembelot ini…” satu persatu peri-peri itu kucekal dibagian lengan dan bagian ketiaknya agar cepat bangkit dari posisi awalnya. “Kami hanya perlu menunggu partisipasi kalian semua di perang melawan maharaja itu… Pasukan kalian sudah dipastikan tidak akan datang bila pasukanku datang menyerbu…” mereka semua mengangguk yakin. “Aku pegang janji kalian…”
Kubawa kedua peri Rasa dan Rukma itu memasuki kegelapan hutan kembali cepat-cepat. Aku tidak begitu yakin akan janji pemimpin-pemimpin kerajaan yang akan berkhianat pada maharaja barunya karena mahluk-mahluk itu memang tidak pantas dipercaya omongannya apalagi janjinya. Bila memang mereka menepati janji, anggap saja itu bonus yang tidak akan ada konsekuensi lain di masa berikutnya. Karena maharaja saja mereka khianati, gimana dengan manusia yang baru mereka temui? Bila ini semua berakhir, kerajaan Lord Purgatory hancur, titel maharaja-nya copot dan raja-raja yang sudah ditaklukkannya kembali memimpin secara penuh tanpa embel-embel dibawahi maharaja.
Sudah begitu saja cukup. Kalo nantinya di masa depan mereka mengajak perang kerajaanku, akan kuladeni dengan senang hati. Ini perjanjian yang lemah sebenarnya.
—–oo0O0oo—–
“Rasa… dan Rukmaaa…” aku mengikat keduanya di batu besar yang tadi menghimpit Praba. Aku balik lagi ke tempat yang lumayan aman ini. Entah khasiat apa di alat belenggu yang digunakan mahluk-mahluk tadi hingga mereka jadi lemah tak bertenaga begini. Aku memanfaatkan tali dan rantai untuk mengikat kedua peri kasta tertinggi ini sebaik-baiknya. Aku mondar-mandir di depan keduanya yang hanya bisa menunduk takut juga tak berdaya.
“Hanya melakukan tugas… pasti itu yang akan kalian katakan… Aku tau apa yang dilakukan peri bernama Citra itu pada kalian… dan aku tau bagaimana cara melepas pengaruhnya… Mau dengar?” aku mengangkat kedua dagu peri cantik itu bersamaan hingga mata kami sejajar tapi tak sudi melihatku sama sekali. Saat kulepas, keduanya membuang muka ke arah lain. “Bagus… bagus… Kalian masih belum menganggapku sebagai baginda raja kalian… Tapi sebentar lagi itu akan berubah… Percayalah… Akan berubah… ” Nyoot.
Keduanya sontak bergidik kaget karena sebelah payudara keduanya dengan lancangn kuremas. Aksi berikutnya malah lebih nakal lagi dengan mengupas penutup dada montok itu sampe payudaranya tumpeh-tumpeh. Kubenamkan mukaku ke payudara Rukma yang terbuka. Mulutku langsung mencaplok putingnya dan langsung menghisapinya dengan ganas. Sementara tak kalah gencar payudara Rasa kuremas-remas kasar dan pentilnya kutarik-tarik. Sisa cup penutup dada peri itu kubuka juga hingga bagian dada keduanya terbentang bebas di udara dingin sejuk hutan ghaib Alas Purwo ini.
Sebagai raja kerajaan Mahkota Merah yang masuk mode mesum-nya, tak akan ada yang bisa selamat dari gempuran Aseng junior-ku. Ha ha ha hahahahaha… (*sfx: ketawa jahat) Uhuk-uhuk keselek pentil.
—–oo0O0oo—–
“Bagaimana… hah hah hah hah… Enaak?” godaku yang memeluknya erat. Payudaranya yang tersingkap menempel erat di dadaku, tergencet ketat selagi tubuh kami berdua terguncang-guncang. Rukma menyeringai dengan mata terpejam meringis-ringis merasakan tubuhnya terus-menerus kuserang dengan gencar begini.
“Mmh… mmh… mmbh…” rintihnya tak memungkiri menikmati apa yang sedang kulakukan pada tubuhnya. Aseng junior menusuk masuk vaginanya hingga basah merembes menetes-netes begini. Tadi ia bisa menolak apapun yang kutawarkan padanya lewat berbagai jenis cumbuan yang kulakukan. Mulai dari elusan, grepean, kobelan hingga tusukan. Berkat kesaktian Aseng junior, runtuh juga pertahanannya dan merintih keenakan juga jadinya. Aku harus sedikit merunduk dan menekuk lutut agar Aseng junior dapat masuk dengan tepat dan merasakan semua rasa nikmat ini.
Kusosor mulutnya yang tengah mengerang-erang. Tak sanggup ia mengelak dan membiarkanku merajai mulutnya. Kujajah isi mulutnya dengan menjulurkan lidahku dan menghisap-hisap isi liat di dalamnya. Genjotanku makin menggila saja dan cepat. Rojok-rojok masuk semakin dalam mengetuk-ngetuk dinding terdalamnya. Kakinya yang tadi kubuat mengait di pinggangku, sekarang malah bertahan sendiri makin mengait tak membolehkanku lepas.
Menetes-netes liur Rukma dan ia mulai membalas permainan mulutku dan semakin larut saja dalam permainan panas kami. Kubiarkan Rasa hanya bisa menonton dengan gelisah di samping pergelutan kami ini. Sabar, ya… Giliranmu nanti akan tiba.
“Auuhh… auuhhh…” Rukma harus melepas pergulatan mulut kami saat ia menjerit mendapatkan klimaks orgasmenya. Aseng junior-ku serasa dikunyah-kunyah mulut tak bergigi di dalam liang kawinnya. Tubuh montok dan panasnya semakin menggairahkan dan tak ada alasan bagiku untuk berlama-lama mendapatkan klimaks milikku juga. Hanya memberinya istirahat sebentar, kugenjot lagi dirinya mengejar milikku yang sudah dekat.
“Splok splok splok…” genjotanku makin brutal dan cepat. Rukma hanya bisa mengerang terikat begini tak bebas. Erangan panjang karena rasa ngilu dan nikmat yang tak terperi melanda tubuhnya dan rasa enakku yang menggelegak hendak meluncur. “Splok splok splok…” aku harus memejamkan mata berkonsentrasi penuh untuk satu nikmat puncak ini. “Ooh…”
“Croot croott croottt!” terpancar juga sperma yang menandakan kenikmatan bagiku. Kupeluk erat tubuh montok Rukma. Kuciumi leher, pipi dan mulutnya dengan agak memaksa karena ia hanya bisa mengerang-erang tak bisa merasakan apa-apa lagi. Hanya pasrah terikat tak berdaya. Sudah tau apa yang akan terjadi berikutnya, aku tak pergi jauh-jauh dari tubuh Rukma. Aku harus bersiap…
“Hup…” sigap kutangkap tubuh yang terlontar keluar dari tubuh Rukma. Aku segera mengenalinya sebagai ratu para peri Kencana; ratu Kanaka. “Halo, ratu Kanaka?” sapaku. Aku harus membiarkannya berbaring dahulu di atas dedaunan kering ini karena tubuhnya pasti masih sangat lemah seperti ratu Nirada sebelumnya.
“Baginda… Hamba-hamba…”
“Husst… Sudah-sudah… Semua baik-baik saja sekarang… Kau akan diurus oleh Cuta setelah ini… Cuta…” peri Wanadri itu sudah siap siaga dan mengambil alih mengurus ratu Kanaka. “Tunggu sebentar Cuta… Kau juga harus membawa si Rukma ini juga beserta ratumu…” aku beralih pada Rukma lagi yang masih terikat tali ajaib yang bisa membelenggu dirinya itu. Kulepaskan dirinya yang sudah tersadar. Begitu lepas ia langsung menjura memohon ampun padaku.
“Hukum hamba seberat-beratnya, bagindaa… Hamba sudah tak pantas lagi hidup di depan baginda raja… Mati lebih pantas untuk hamba ini…”
“Bangkit… Tak ada yang bersujud di depan raja Mahkota Merah… Kau dengar?!” peringatku akan prinsip dasar kerajaan kami. “Bangkit!” hardikku karena ia tak kunjung bangkit dari posisi bersujudnya. Buru-buru ia berdiri tetapi menunduk, itu lebih baik. “Ikut dengan mereka kembali ke kerajaan dan tunggu hukumanmu di sana… Dengar?!” titahku. Rukma hanya bisa mengangguk.
“Dia sudah tidak berpihak pada musuh lagi, baginda?” tanya ratu Kanaka yang terlihat masih khawatir.
“Tenang… Dia sudah sembuh… Aman kalo dia balik ke kerajaan… By the way… Selamat datang kembali… untuk kalian berdua…” jawabku semanis mungkin. Cuta membawa ratu Kanaka dan Rukma balik ke kerajaan Mahkota Merah setelah opal pelangi yang ada di tangan sang ratu sudah kembali ke mahkotaku. Sejauh ini, aku sudah punya dua permata peri kembali.
Sekarang giliran Rasa yang seperti punya ekspresi yang bercampur aduk. Ia sudah menyaksikan semuanya dan paham apa yang sedang kulakukan tapi tak punya daya upaya untuk mencegahku melakukan itu semua. Hanya komentar-komentar tak berarti yang bisa diucapkannya. Tapi itu semua tak ada artinya bagiku karena pada akhirnya dia tak bisa melakukan apa-apa sebab terikat rantai misterius milik para mahluk ghaib berkepala kuda itu. Ujung-ujungnya peri Rasa itu hanya bisa pasrah kuperkosa, kunikmati sampe puas.
Agak-agak bosan sih sebenarnya menceritakannya karena kejadiannya berulang-ulang, itu-itu aja. Genjot, ngecrot, ratu Lawana keluar dari tubuh Rasa, ia kembali mendapat kesadarannya dan mustika safir biru kembali ke mahkotaku. Payoda, si pengendali air yang menjadi penjemput ratu Lawana dan Rasa untuk membawa mereka kembali ke kerajaan Mahkota Merah. Hanya tinggal satu peri kasta tertinggi yang harus kutemukan; Agni. Aku harus menjelajah hutan ini untuk menemukannya.
—–oo0O0oo—–
Gimana ya kabar Iyon-Kojek, Ron-Buana, apalagi abah Hasan dengan tugas berat mereka? Bisakah mereka menghadapi lawan-lawan berat itu? Kalo Ron dan Buana, aku gak terlalu khawatir dengan kekuatan kedua kembar identik itu. Kekuatan mereka sungguh dahsyat pilih tanding. Aku ragu apakah Citra, peri Ananta itu masih utuh setelah bertarung habis-habisan dengan mereka berdua. Abah Hasan juga sangat kuat. Memang pilihan lawannya cukup tepat bila abah Hasan yang menghadapi Lord Purgatory dibanding kami bertiga dari Ribak Sude. Karena pasti akan ada emosi yang larut di dalam pertarungan kami nantinya. Itu bisa menjadi pembeda yang sangat signifikan. Pun, tanpa emosi kami juga tak akan sanggup menghadapinya karena satu dan lain hal.
Pokoknya kebijaksanaan abah Hasan dalam membagi-bagi lawan sudah sangat pas dan semua setuju tak ada yang keberatan. Yang menjadi kekhawatiranku adalah Iyon dan Kojek. Sanggupkah mereka berdua menghadapi peri Byuha sekuat Asweta itu? Kekuatan peri Byuha itu sangat mengerikan dan misterius sekaligus.
Ada jalur yang terbentuk di sini. Terseret jauh hingga ke depan sana. Dari sisa rerumputan yang tersibak, ada yang terbakar hingga hangus juga. Terbakar? Bukankah itu atribut elemen api Agni. Aku segera bergegas menembus kegelapan yang masih demikian pekat. Mataku yang sudah kembali normal, tak lagi rabun, dengan penambahan energi lini juga, aku bisa sedikit-sedikit melihat menembus kegelapan walo tak terlalu jauh. Jalurnya masih panjang dan berakhir di sini…
“Ada telaga?” gumamku sendiri. Aku tak bisa menaksir luas pasti genangan air ini sehingga aku hanya memperkirakan air sebanyak ini sebagai telaga. Bisa jadi ini adalah danau yang lebih luas dan dalam ato malah hanya tasik dangkal. Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku langsung melompat menceburkan diri ke dalam genangan air yang ternyata cukup dalam. Tapi tak mengapa, aku punya mustika safir biru yang bisa memberiku kebebasan di dalam air bak peri Asti. Sangat berbahaya bagi Agni berada di dalam elemen kontra dirinya. Air segini banyak bisa-bisa memadamkan api miliknya dan itu artinya fatal.
“AGNIIII??! Dimana kauu?!!” teriakku di dalam air. Rasanya cukup aneh bisa mengeluarkan suara di dalam air begini. Tapi aku gak tau cara lain untuk menemukan Agni selain ini. Semoga saja suaraku akan sampe padanya. Hanya air gelap pekat yang ada di sekitarku. Aku berkeliling-liling beberapa lama menyisir telaga ini hingga kuperkirakan sampe di bagian tengah. Suhu air disini sedikit lebih hangat. Agni mungkin ada disekitar sini. Aku fokus mencari di sini dan menyelam lebih dalam. Ada buih gelembung di sana. Ada sesuatu di sini…
“AGNI!!” panggilku lagi. Aku bisa melihat pendar lemah rambut merah khas peri Aruna-nya di dasar terdalam telaga. Aku menyelam secepat mungkin. Benar… Itu dia. Ia terkapar di dasar telaga sedikit terbenam lumpur dan tanaman air. Ia masih hidup walo lemah, itu tertanda dari pendar rambut merahnya. Kukait tubuhnya dan berusaha mencapai permukaan.
Diperjalanan menuju permukaan, aku mencoba menyalurkan nafas bantuan padanya. Tentu bukan hanya nafas saja, energi lini juga termasuk karena tubuhnya sangat lemah dan tubuhnya sangat dingin. Semoga bantuan nafas dan liniku cukup untuk membuatnya bertahan. Rasanya sangat lama untuk mencapai permukaan di waktu genting seperti ini. Aku berpacu dengan waktu. Semoga masih sempat…
Begitu sampe permukaan, buru-buru kubawa tubuh lemahnya ke pinggiran telaga sejauh mungkin dari air. Kuberikan pernafasan bantuan langsung ke mulutnya. Memaksa sistem pernafasannya untuk kembali berfungsi. “AGNI!!” seruku memanggil disertai membakar menggunakan bola api yang kuciptakan di kedua tanganku. Bola-bola api ini mengeringkan pakaiannya yang basah. Kuulangi lagi untuk menghangatkan tubuhnya yang sedingin es. “ADI PAWAKAAA!!” kusiapkan serangan api maksimal yang kuketahui. Api bergelora panas bergulung-gulung menerpa tubuhnya. Kepulan uap air yang menguap mengerubungi kami berdua di tepian telaga.
Kuulangi lagi Adi Pawaka. Lagi dan lagi demi menyelamatkan Agni. Tapi sialan. Agni tak kunjung bangun. Aku hampir menangis. Aku tiba-tiba teringat adikku, Selvi yang telah meninggal dunia akibat aku sebagai abang tak becus menjaganya. Aku tak boleh membiarkan ini. Aku gak boleh membiarkan ini terjadi lagi pada siapapun di sekitarku. Apalagi ini adalah warga peri kerajaanku. Dia secara tak langsung adalah keturunanku!
Dea! Dea pernah mengalami kasus seperti ini. Kenapa aku baru ingat? Waktu itu, Dea juga dalam keadaan membeku seperti es sebab diserang para hantu Burong Tujoh itu. Aku menyembuhkannya dengan mengentotinya. Itu jawabannya!
Kupreteli semua pakaian yang dikenakan peri Agni beku di hadapanku ini, juga pakaianku. Panas tubuhku harus secara langsung kusalurkan padanya. Tubuh telanjangnya tersaji di depan mataku. Kenapa Agni harus mendapat giliran kucari yang pertama kali. Tentu ia sudah terlalu lama berada di dalam air telaga dingin ini hingga jadi seperti ini. Tubuhnya sangat dingin sangat berbeda dengan kondisi tubuh peri Agni pada umumnya yang hangat cenderung panas karena elemen apinya. Aku ikut kedinginan tersentuh kulit dinginnya. Teringat aku kondisi mayat yang dingin begini. Jangan sampe Agni mati!
Yang paling sulit, aku harus merangsang diriku sendiri agar Aseng junior mau ngaceng. Pada Praba, Rukma dan Rasa sebelumnya hal itu tidak sulit karena kondisinya yang kondusif dan lawan dalam keadaan yang siap entot. Tapi Agni tidak demikian, dia dalam kondisi yang menyedihkan. Aseng junior yang lembek menyentuh kulit sedingin ini aja ogah terangsang sama sekali. Coba aja dulu. Anggap aja ini dalam kondisi normal dan jangan terlalu memikirkan tubuhnya yang dingin.
Kugeluti tubuhnya, mencoba tak menghiraukan kondisi dinginnya. Ini semua demi keselamatan Agni. Kucoba cumbu sekujur tubuhnya seperti mencumbu normalnya. Menciumi pipinya, lehernya, payudaranya, meraba-raba kulit halusnya, mengobel vaginanya. Aku semakin larut dalam permainanku sendiri hingga tanpa kusadari Aseng junior sudah menegang dan siap tempur. Kupeluk erat selalu tubuhnya dan kuarahkan penisku untuk mulai membuatnya sadar.
“Uuhh…” seret dan kesat. Tak ada cairan pelumas sama sekali hingga sulit masuk. Ini benar-benar memperkosa mayat hidup. Aku harus menggunakan ludahku sebagai pelumas. “Cuhh…” kubalur kepala Aseng junior dengan ludahku dan kucoba lagi. Lumayan bisa masuk walopun harus sangat pelan dan hati-hati sekali jangan sampe melukainya. “Uuhh…” setengah batang Aseng junior sudah masuk dan mulai kukocok-kocok.
Kondisinya memang sama persis dengan keadaan Dea waktu itu. Aku sama-sama harus berpacu dengan waktu agar ia tak mati karena kedinginan. Apalagi metode recovery yang kugunakan sama-sama intra-vagina.
Untunglah, lama kelamaan suhu Agni perlahan mulai meningkat. Aku mulai merasakan kehangatan tubuh peri Aruna kasta tertinggi ini. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan ini. Jangan sampe ia sadar dan mengamuk karena disenggamai seperti ini. Prioritasku berubah sekarang yaitu segera ngecrot! Genjotanku semakin menggila dan cepat. Apalagi vaginanya sudah mengeluarkan pelumas alami hingga pergesekan kami menjadi sangat nikmat. “Splok splok splok…” aku gak menahan-nahan lagi.
“Splok splok splok…” tubuhnya semakin hangat lebih panas. “Splok splok splok…” ini semakin enak. Aseng junior… Cepatlah kau nembak. Ngecrotlah secepat mungkin. Ayo. Ini enak! Enak!
“Aaahhh… Uuhh… Crot crot crott…” Enaknya. Untunglah segera berakhir masa kritis ini. Jantungku rasanya mau copot dari tadi karena gak mau kehilangan Agni. Aku benar-benar gak rela kalo harus kehilangannya dengan cara ini. Untunglah semua masa kritis ini sudah berakhir. Tubuh yang kupeluk erat saat ini adalah Pancaka, ratu peri Aruna. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali tak percaya ia bisa melihatku sekali lagi.
“Baginda? Ini benar baginda raja?” tukasnya masih tak percaya.
“Iya, Pancaka… Ini aku… baginda rajamu… Bisakah aku istirahat sebentar di pelukanmu… Aku agak lelah…”
——————————————————————–
POV Narator:
Kita tinggalkan dulu Aseng yang sedang menikmati pelukan hangat dari ratu peri Aruna yang sudah pulih dari serapan peri Agni yang sempat membelot ke pihak maharaja Lord Purgatory. Kita alihkan perhatian pada Iyon dan Kojek yang sedang asyik masyuk dengan Asweta di tempat tinggal peri Byuha itu.
“Jeek? Kau masih bisa, gak?” tanya Guntur Setiono alias Iyon pada Kojek yang sama-sama dengan dirinya terkapar lemas dengan tangan dan kaki terbentang lebar. Lunglai letoy kemaluan mereka yang lelah menggempur peri Byuha itu. Lalu dimana sang peri berambut kelabu itu?
“Lemas kali aku, Yoon… Tapi enak…” jawabnya menatap langit-langit bangunan. “Kau udah berapa kali? Aku tiga kali…” lanjutnya berusaha mencari keberadaan peri Byuha yang sudah membuatnya ejakulasi tiga kali. Tapi di dekat-dekat situ, ia tidak terlihat. Ternyata Asweta berada di tempat para MG tua itu diikat dengan benang-benang halus berkilau. Ia sedang melakukan hobinya—menyiksa.
“Aku tiga kali jugak… Lemes kali, Jeek… Tapi bener-bener enak… Trus… Ngapain kita?”
“Ngapain lagi?”
“Kita kok malah ngentoti peri itu sampe lemes sendiri? Harusnya kita berantem kan dengannya… bukan malah kek gini?” Apa yang mereka berdua bicarakan? Jadi dari tadi apa yang mereka berdua lakukan ini bukan bagian dari rencana untuk mengatasi peri Byuha berambut kelabu itu? Jadi… jadi?
“Tapi gimana caranya? Apa kau masih punya tenaga untuk kelahi dengan dia? Jangan-jangan kalo masih ada malah dipake buat ngentot lagi…” tebak Kojek karena sepertinya itu juga yang akan dilakukannya.
“Aku juga bingung, Jek… Aku gak bisa berpikir apa-apa selain ngentot aja… Ini mengerikan Jek… Apa yang telah terjadi pada kita? Kita terjebak peri Byuha itu… Kita terjebak ilmu mengerikannya…” kata Iyon yang samar-samar sadar apa yang tengah terjadi pada keduanya.
Tak jauh dari sana, terdengar gemeretak suara tulang patah tipis-tipis yang ditingkahi suara tangis jerit memilukan dari rasa sakit satu mahluk ghaib tua keriput yang tengah menjalani penyiksaan di tangan peri Byuha bar-bar itu. Sedang suara yang keluar dari Asweta sendiri adalah suara desahan-desahan terangsang senang merasakan puas bisa melakukan penyiksaan ini. Sungguh individu yang ganjil.
“AAAAAAAAAAaahhhhh…”
“Aauhh… Mmhh… Uumm…”
“Hegkkh…” tersedak dan mati.
“Oouhhh…” sempat-sempatnya peri ganjil dengan otak miring sepertinya mendapatkan klimaks dengan metode menyimpang seperti ini. Ketujuh MG sepuh yang berhasil dipancingnya masuk ke dalam kediamannya ini sudah terkulai mati lemas akibat akumulasi rasa sakit yang tak terbayangkan. Tulang patah-patah hingga serpihan kecil. Ada jari yang diemutnya, ada juga jari yang mengobel vaginanya sendiri.
“Sangat memuaskan… Uuhh… Sudah mati semua, yaa… Sayang sekali…” gumamnya sendiri ketika diperiksanya MG terakhir yang dimilikinya. Semuanya dalam keadaan lumpuh layu tak bertulang. “Ahh… Masih ada dua manusia dari pihak musuh yang mencoba menyamar itu… Kita akan bersenang-senang lagi…” Perhatiannya berpindah pada Iyon dan Kojek yang masih berbaring sembarangan di atas lantai. Menandak-nandak riang Asweta bergerak menuju kedua anggota Ribak Sude yang lelah akibat 3 ronde senggama yang membuat lemas dan puas sebelumnya. Asweta sejak awal sudah tahu siapa dua manusia ini dan itu artinya…
Pemandangan payudara Asweta yang berguncang-guncang bebas saat menuju ke arahnya, Iyon dan Kojek merasakan perasaan itu lagi. Apalagi geliat kelamin mereka menyadari bila peri Byuha itu menginginkan tubuh mereka lagi. Lagi-lagi sepertinya mereka berdua kehilangan kewarasan dan logika berpikir itu lagi. Mereka kembali jatuh ke dalam lembah yang tak dikenal itu lagi.
Asweta menunggangi tubuh Iyon dengan ganasnya. Penis pria itu menancap dalam-dalam dan mengaduk-aduk bagian terdalam kemaluan peri binal berambut kelabu itu. Asweta bergoyang liar di atas tubuh Iyon hingga dadanya berguncang-guncang mengundang siapa saja untuk menjamahnya. Erangan keenakannya membahana di dalam rumah yang jauh dari kraton utama. Diremas-remasnya dada Iyon selagi ia menikmati rasa geli dan nikmat yang berpusat di kelaminnya.
“Ahh auuhh aauhh aahh ahh…” desahnya terus menerus merasakan liang kemaluannya terus menerus diganjal penis yang berdenyut-denyut meradang menahankan nikmat luar biasa. Diaturnya ritme keluar masuk penis pria yang rebah dibawahnya ini sesuai dengan kesukaannya. Menunggangi pria ini bak seekor kuda pacu dengan riang gembira. Suara-suara binal yang manja sedang menikmati seks yang disukainya. “Mmm… mmhh… Aku mau keluaarr, sayaaanghh… Ayo berbarengan, yaahh… Aoohh… ahhh… Mmm…” hentakan tubuhnya makin menjadi-jadi dan menambah bumbu penyedap. Tubuh indahnya terus terguncang-guncang mengaduk kemaluan pasangannya.
Seperti apa yang ia mau, peri Byuha itu dan Iyon mencapai klimaks itu bersama-sama. Semburan demi semburan nikmat mengisi kemaluan Byuha dengan deras. Keduanya hanya bisa mengerang puas. Nafas terengah-engah dan peluh bercucuran.
“Kemari, manisss… Kita lihat apa yang kita punya disini…” ia memanggil Kojek yang hanya bisa duduk lemas dengan penis hitam panjangnya mengacung keras melihat pergumulan temannya barusan. Asweta tak kunjung turun dari tubuh Iyon dan melepaskan penisnya, sesekali ia masih menggerak-gerakkan bokongnya mengulek lumeran sperma yang meleleh dari sela vaginanya. “Yaahh… Bukankah ini bagus sekali…” ia langsung menarik penis Kojek yang hanya sanggup ngesot beringsut mendekat. Dipaksanya pria itu untuk berdiri agar ia bisa menggunakan mulutnya untuk menikmati penis hitam kurus tetapi keras itu. Walau tak ada tenaga sama sekali, anehnya Kojek berhasil berdiri berkat kemauan sang peri cantik menggoda ini.
“Uumbb… mmb…” Asweta langsung saja mencaplok penis itu hingga ia menguasai dua penis sekaligus. Satu di mulut dan satu di vaginanya karena ia mulai menggerak-gerakkan bokongnya berputar gaya ngebor yang aduhai. Gaya ngulek itu benar-benar membuat Iyon blingsatan hanya bisa mengerang keenakan. Apalagi Kojek juga yang merasakan mulut peri binal ini sangat profesional menservis pidong-nya. Lidahnya, sedotannya, katupan bibirnya kelas wahid. Kedua sahabat itu hanya bisa mengerang keenakan. Kojek memaksakan kakinya untuk tetap berdiri agar terus bisa merasakan nikmat mulut yang sedang melahap kemaluannya secara sempurna.
“Akhh… ahh…” Kojek tak tahan lagi. Ini artinya ini ejakulasi keempatnya di tangan Asweta ini. Disedot-sedotnya semua air sari kehidupan itu dengan rakus bak makanan yang sangat lezat. Berdecap-decap mulutnya. Disedotnya sampai tandas semua cairan kental itu selagi terus bergoyang dengan penis Iyon. Dikeluarkannya penis yang mulai lunglai itu lalu dielus-eluskannya di sekitar wajahnya. Sangat seksi sekali peri satu ini. Entah dari mana ia belajar trik seperti itu. Iyon dan Kojek kembali bersemangat.
Ronde baru dimulai.
“Permisi?”
Ketiga otomatis menatap ke arah pintu. Di sana nongol kepala seorang pria. Mereka semua memiringkan kepala dengan pikiran yang berbeda-beda. Seperti, siapa orang ini, kenapa lama sekali munculnya, bawa rantang tidak (*serius), pesta apa yang sedang berlangsung ini. Tapi walau bagaimana anehpun situasi dan kondisi saat ini, tamu yang baru muncul ini masuk begitu saja dan menutup pintu kembali dengan sopannya. Asweta juga tidak terlalu ambil pusing dan meneruskan kesenangannya dengan penis di vagina dan mulutnya.
“Yoon, Iqbal, Yoon…” erang Kojek yang segera mengenali tamu yang baru datang ini.
“Tentu aku tau itu siapa, Jeek… Itu bala bantuan kita…” kata Iyon. Tentu saja ia mengenal orang itu. Berbadan tinggi besar dengan otot-otot gempal terlatih bak binaragawan. Pria ini adalah abang dari Ron-Buana. Yang dikabarkan akan ikut juga dalam peristiwa ini tetapi agak terlambat karena ada sedikit urusan di pekerjaan chef-nya. Sepertinya urusannya sudah selesai dan sampai tepat waktu di saat yang segenting ini bagi Iyon dan Kojek. Iyon menganggapnya sebagai bala bantuan.
“Sepertinya ada kucing nakal di sini, ya?” ujarnya ringan setelah meninjau sikon yang sedang terjadi di tempat ini. Sekali sapuan pandang ia bisa menilai dengan cepat bahwa Iyon dan Kojek sedang dalam bahaya besar dan langsung ditarik kesimpulan adanya kucing nakal. Kucing nakal? Kenapa tiba-tiba kucing kesimpulannya?
“Mrrrrrrrrrrrr…” Lalu kenapa tiba-tiba ada terdengar purr getaran suara mendengkur yang dihasilkan kucing? Dimana ada kucing di sekitar sini? Asweta terdiam tapi waspada. Mata ber-iris vertikalnya waspada menatap Iqbal dengan seksama. Gerakan nakalnya sama sekali berhenti, penis Kojek dilepaskannya sama sekali tak diperdulikan. Pria kurus hitam jangkung itu hanya bisa jatuh ke lantai dalam keadaan lemas. Suara kucing ini khas terjadi bila hewan itu dalam keadaan rileks hingga dengkuran ini terdengar. Tapi suaranya cukup kuat pertanda ini bukan kucing sembarangan.
“Kalian berdua sudah terperangkap dalam puzzle siluman kucing yang sudah berumur ribuan tahun ini…” ujar Iqbal yang mengeluarkan sesuatu dari kantungnya jaketnya yang longgar. Sebuah wadah Tupp*rw*re berwarna hijau muda yang kemudian dibuka penutupnya. Diletakkannya di lantai lalu didorongnya hingga meluncur dan berhenti di tengah ruangan. “Kebetulan ini masa birahi bagi semua kucing… Jadi siluman-pun bukan pengecualiannya…” lanjutnya.
Asweta langsung melompat meninggalkan tubuh Iyon yang sedari tadi ditungganginya, penis pria itu lunglai becek berlumuran berbagai cairan. Peri Byuha itu mendekati wadah yang menarik perhatiannya dengan berjalan melenggak lenggok menggoda dan mengendusinya tanpa menyentuhnya sama sekali. Benar-benar seperti kucing.
“Meoww…”
Anjriiit. Dia benar-benar mengeong! Tapi ini peri Byuha apa siluman kucing? Yang mana yang benar?
“Kau tak bisa menolak aromanya, kan? Makanlah… Itu memang khusus dibuat untukmu… Hanya untukmu…” kata Iqbal masih berdiri di tempatnya, dekat pintu masuk. Lidahnya keluar dan mencoba mencicip dengan ujungnya saja. Sepertinya ia suka dengan makanan yang disiapkan Iqbal ini. Bokongnya menungging tinggi. Ekor kelabu panjangnya mencuat bermaterialisasi. Juga ada sepasang kuping kelabu tumbuh di atas kepalanya. Dia benar-benar seekor kucing!
Jadi… siluman kucing merasuki peri Byuha bernama Asweta ini? Hanya itu yang bisa Narator pikirkan. Terus terang aja Narto sendiri masih bingung. Iqbal tak mengatakan apa-apa lagi karena Iyon dan Kojek yang berkepentingan bertanya disini hanya diam saja masih sibuk dengan dirinya sendiri yang lemas lunglai tak berdaya. Tapi mahluk ghaib bisa dirasuki mahluk ghaib lainnya? Apakah semacam parasit begitu?
“Habiskan semua. Jangan bersisa… Kau akan rileks sehabis memakannya… Begituuu… Nice…”
“Meoww…” siluman kucing itu menjilati sampai habis apapun yang ada di dalam wadah Tupp*rw*re yang disediakan Iqbal. “Purrrrrr…” suara dengkuran bergetar terdengar lebih intens. Itu bukanlah tanda bahaya, malah itu tanda senang seekor kucing. Mungkinkah Iqbal memindahkan, membelokkan luapan masa birahi siluman kucing ini ke suatu rasa lainnya. Rasa gembira menikmati makanan lezat yang disiapakan seorang chef kelas Michelin ini?
“Malu awak, bang Iqbal…” ternyata di sana Iyon sudah memakai kembali celananya dan berusaha memakai bajunya dalam keadaan duduk. Kojek juga begitu. “Kami disuruh mengurus peri Byuha berbahaya ini… tapi malahan kami kenak kek gini…” Kojek juga mengangguk-angguk membenarkan.
“Ck… Ya gak apa-apa… Namanya juga kalian gak tau… Hanya saja aku baru teringat tentang tindak-tanduk siluman kucing legendaris ini setelah mendengar penjelasan kalian lewat telepon saban hari… Siluman kucing ini punya banyak kemampuan hebat… Salah satunya menghidupkan yang sudah mati menjadi zombie… Itu kemampuan yang langka sebenarnya… Tapi karena kalian katakan itu peri berambut kelabu… semuanya jadi kabur… Saat kuteliti lebih lanjut lagi… peri Byuha sudah tak ada lagi di manapun… Kelompok terakhirnya yang ada di pulau terpencil terakhir kalinya kontak… ya dengan siluman kucing berumur 3000 tahun ini… Jadi kita sudah lihat siapa yang bertanggung jawab untuk itu…” Iqbal mendekati siluman kucing itu yang sedang bergulingan di lantai seperti sedang bersenang-senang dengan benda imajiner.
“Pilihannya adalah mengurung siluman kucing ini atau membasminya… Apa pendapat kalian? Mumpung dia lagi nge-fly, nih… mabuk catnip…” ia bahkan tak segan mengelus-elus rambut tebal panjang berwarna abu-abunya itu. Siluman kucing itu hanya menikmati elusan tangan manusia yang sudah memberinya makanan, garukan di belakang telinga runcingnya dengan jinak. Padahal harusnya mahluk ghaib ini sangat berbahaya mengingat umur dan reputasinya.
“Catnip?” ulang Iyon. “Cuma pake itu?” pastinya. Catnip sejenis tanaman perdu yang sering dijadikan cimeng-nya para kucing untuk sekedar nge-fly. Sebagian kucing sering tak dapat menahan diri untuk mengkonsumsi dedaunan ini. Kucing suka mabok-mabokan juga ngelepas stres kayaknya.
“Tentunya ada bahan lain… Ada salmon, jus buah kiwi sedikit… Kucing juga suka aroma buah kiwi kalau kalian mau tau… Liat saja buktinya…” sudah rancu sekarang bentuk peri Byuha yang ditirunya dengan penambahan ekor panjang dan kuping runcing ini. “Jadi apa pilihan kalian?”
“Tentunya dibasmi aja, bang… Siapa yang bisa mengurung siluman sekuat ini?” pilih Kojek senewen mengingat ia sudah dikerjai abis-abisan oleh peri ini hingga tubuhnya lemas tak berdaya dengan beberapa kali ngecrot. Walaupun ia menikmatinya juga.
“Bukannya kau sering menelan siluman-siluman begini, Jek?… Apa namanya?… Parbegu? Ya… Parbegu…” ingat Iqbal akan kemampuan unik yang sempat menjadi andalan utama Kojek untuk mengatasi lawan dari pihak ghaib. Lawan-lawan itu lalu dikurung di dalam daerah kekuasaannya untuk kemudian dilepas menggunakan Angka Silgang, jurus terbarunya yang lebih keren.
“Kalo yang setua ini umurnya… enggak sangguplah, bang akunya… Kalo istilah wine… Optimus Prime ini levelnya…” elak Kojek.
“Bah… Ha hahahaha… Ada Optimus Prime segala… Lu kira robot Transformers…” Iqbal tergelak mendengar perumpamaan yang tak tepat itu. Mungkin maksudnya adalah skala 50-100 untuk menilai grade wine dari Good-Very Good-Outstanding sampai grade Classic yang mendapat skor 95-100 poin.
“Jek-Jek… Tah hapa-hapa bahasamu… Optimus Prime-lah kau bawak-bawak… Bahasa kuliner ajaibmu gak usah disebut-sebut, lae… Biasa makan lapet sama ombus-ombus aja pakek istilah wine… Malu-maluin… Dimatiin aja, bang…”
“Lah dalah… Temanmu ini mau dimatiin?” canda Iqbal pura-pura kaget. Keduanya cengengesan tau kalau itu cuma candaan aja. Berikutnya Iqbal mengeluarkan dua buah tongkat berwarna keperakan dari kedua tangannya. Disatukannya kedua tongkat itu menjadi sebuah tongkat yang lebih panjang. Diarahkannya ke siluman kucing yang bergelung-gelung gembira masih hepi nge-fly. Ia mengerahkan sejumlah tenaga untuk menetralkan semua kekuatan yang dimiliki sang siluman berbahaya level purba ini.
Di sini, di alam ghaib ini, semua yang ghaib-ghaib akan terlihat bentuk konkritnya. Tenaga yang dikeluarkan Iqbal berupa sepasang harimau putih berukuran besar mengepung posisi siluman kucing itu. Sang siluman mulai gelisah karena secara tingkatan, harimau/macan lebih tinggi kedudukannya di kerajaan kucing lebih karena ukurannya. Hikayat mengatakan kalau kucing harus mengubur atau menutupi kotorannya karena takut ketahuan oleh sang penguasa hutan.
“Sera-ohm-ziraa… Tunjukkan semua dosa-dosamu… Wahai entitas tiga ribu tahun… bernama Sera-ohm-ziraa… Tebus semua dosa-dosamu!” siluman kucing itu tidak lagi dalam keadaan fly, ia sudah sadarkan diri dan panik. Tapi terlambat! Ayunan tongkat itu tak dapat dihindarinya karena di kanan-kirinya ia dikepung oleh sepasang penguasa hutan yang perkasa. Ujung tongkat berlambang Bhumi itu langsung menghantam kepalanya dengan keras menghasilkan suara gelegar bak petir menyambar.
“BLAAARRR!!!”
Terjadi ledakan dahsyat yang menghancurkan esensi tubuh siluman kucing yang telah menyebabkan banyak bencana ini dengan sekali pukulan luar biasa kuat. Berputar-putar sisa-sisa energi miliknya lalu hilang di keniscayaan. Iyon dan Kojek hanya bisa melongo melihat lawan seberat itu hancur begitu saja di tangan Iqbal. Memang tepat mereka menganggap pria ini sebagai bala bantuan. Mereka benar-benar terbantu.
“Now we got a new issue here…” gumam Iqbal menatap sisa tubuh yang tergeletak di lantai.
—–oo0O0oo—–
Lawan abah Hasan sekarang bukan hanya Lord Purgatory seorang saja. 9 avatar raja-raja yang sudah ditaklukkannya juga berdiri meradang siap tempur untuk menghajarnya. Tapi abah Hasan sama sekali tak gentar. Pengalaman beliau sudah terlalu banyak hingga hal berbahaya selevel ini tak membuat nyalinya ciut kayak kerupuk kena air.
“SERANG DIAA!!” seru Lord Purgatory memberi perintah. Sembilan sosok gelap berbentuk avatar taklukan itu menyerang silih berganti dengan berbagai ragam teknik andalannya semasa hidup. Raja gelap dengan pedang besar menyabet-nyabetkan pedangnya dengan cepat dielakkannya dan sesekali ditangkis dengan tangan kirinya yang dilambari pertahanan kura-kura Lontar. Satu kesempatan ia balas menyerang dan dengan menggunakan ekor naga Ora yang panjang seperti cambuk, disabetnya avatar raja berpedang besar itu.
Serangannya langsung digantikan oleh sebentuk ular King Cobra besar yang mematuk cepat mengandalkan racun mematikan setelah melompat memanfaatkan tubuh avatar-nya yang lentur. Avatar seekor mahluk berkepala srigala juga mencoba memanfaatkan situasi untuk memperkeruh keadaan, juga menyerang dibelakang sang raja ular. Abah Hasan hanya berkelit sedikit menghindari terjangan ular besar itu dan fokus menyerang sang srigala yang malah didorongnya menghantam bagian ekor penyerang didepannya. Dan entah dari mana, Lord Purgatory datang menyergap dengan sebuah tembakan gelembung hijau itu.
Abah Hasan hanya menghindar saja, agak drastis merebahkan punggungnya ke tanah hingga semua serangan luput menghantamnya. Dengan gerakan kaki menyapu berputar, apapun yang ada di sekitarnya mendapat tendangan. “Brak brak brak…” Keempat penyerang awal itu terjengkang terjajar, termasuk Lord Purgatory juga. Ia sudah berdiri tegak lagi, ekor King Cobra tadi ada di dekatnya hingga cepat-cepat dipungutnya. Semuanya mundur begitu ular sebesar itu diputar-putar bak memutar gear motor saat tawuran. Abah Hasan punya banyak akal saat bertarung, hingga lawanpun bisa dijadikan senjata.
“BRAAKK!” karena tak ada kena putaran ular kobra itu, abah malah membanting ular itu ke tanah. Setidaknya ular ini akan keok dan mengurangi jumlah musuh. Tapi ia tak kunjung melepas ular itu, tetap memegang ekornya dengan tambahan cengkraman ke bagian lehernya. Sang King Cobra sepertinya sudah tak bisa bertarung lagi. Remasan pada bagian leher ular lalu disentaknya ke depan. “Srrooottt!! Cruutt!!”
“AAKKHHHhhh…” jerit bentuk avatar terbesar yang ada di pertarungan mengeroyok dirinya ini. Abah Hasan menyemprotkan bisa ular kobra itu ke arah mata avatar raksasa Batara Kala yang hendak membantu pertarungan ini. Raksasa itu meraung-raung karena matanya terbakar oleh racun mematikan rekannya sendiri. Sisa ular itu dilemparkannya pada raja gelap berpedang besar itu. Ular ditebasnya menjadi dua potong. Abah Hasan tak menyia-nyiakan kesempatan dan terus memburu si avatar raksasa Batara Kala yang kelimpungan matanya rusak. Lawan masih mengejar dirinya.
Ia hanya perlu melukai satu kaki raksasa itu dengan hantaman tangan kirinya yang berfungsi sebagai tameng. Kesakitan sang raksasa melompat-lompat panik sebab kakinya terluka, apalagi matanya kini rusak, mungkin juga buta akibat racun ular sebelumnya. Berdebum-debum bumi berpijak sebab lompatan-lompatan cengeng sang raksasa Batara Kala. Abah Hasan hanya perlu menari-nari lincah mengelak dan mengarahkan sisa lawannya memanfaatkan keuntungan manis ini. Biar saja si raksasa segede itu menginjak-injak rekannya sendiri dan sambil menyaksikan prosesnya dengan hasil manis.
Avatar ular besar itu mati terinjak-injak dan hilang begitu juga dua avatar lainnya yang berbentuk kadal raksasa manusia kerdil mirip kurcaci. Avatar mahluk berkepala srigala itu masih penasaran walaupun terluka. Avatar Batara Kala itu mati di kejauhan akibat racun berbahaya ular King Cobra tadi. Empat keok dan sisa lima avatar lagi. Abah Hasan menghapus peluh yang membasahi kepalanya. Kopiah Turki-nya sudah basah kuyup oleh keringat begitu juga pakaian kaos putihnya.
“Kau yang bertitel maharaja… Dosa yang kau buat sudah terlalu banyak… Aku bukan sok suci ingin menghukummu atas dosa-dosa itu… tapi mudharat-mu lebih besar dari pada kehadiranmu… Lebih baik kau dimusnahkan saja dari pada membuat lebih banyak kerusakan… Huufffttt…” ia menghembuskan nafas panjang hingga dua mahluk Menggala Suba miliknya lepas dari kedua tangannya. Naga Ora dan kura-kura Lontar kemudian menghilang. Abah Hasan masih menghembuskan nafas panjang itu. Ada beberapa perubahan yang terjadi pada fisiknya.
Para 5 avatar yang tunduk pada perintah Lord Purgatory, mengepung abah Hasan membentuk lingkaran. Semuanya merasakan perubahan yang terjadi pada pria paruh berumur setengah abad itu. Mereka merasakan perubahan drastis itu tetapi tak kuasa untuk menolak perintah Lord Purgatory paska kekalahan mereka di masa lalu. Mereka tak kuasa untuk lari padahal apa yang dipertontonkan abah Hasan sangat mengerikan. Ia memompa energi lini miliknya ke tingkat maksimal ke seluruh tubuhnya. Seluruh otot, tulang, darah, kuku, kulit. Seluruh tubuhnya mengeras ke tingkat tertinggi yang berdampak pada perubahan tubuhnya.
Tak ada lagi abah Hasan yang gendut berperut buncit dengan otot gempal bergelambir penuh lemak. Penampilannya jauh lebih muda dan gagah dari pada pemuda perkasa sekalipun. Pakaiannya tercabik-cabik akibat luapan energi yang sangat besar ini. Batu-batu kerikil berpecahan tak tahan terpapar energinya.
“Kalian bisa beristirahat dengan tenang sekarang… Kalian tidak rela, kan?” gumamnya tentang keterpaksaan para avatar ini. Kelima avatar para raja kerajaan yang telah ditaklukkan Lord Purgatory dalam menghimpun kekuatan militer, hanya terdiam menatap. “Istirahatlah!!”
“Wuuussshhh…”
Avatar terdepan di jalur pergerakannya langsung hancur dan musnah terkena lesakan energi abah Hasan yang meluncur langsung ke arah Lord Purgatory yang berdiri menantang. Satu, dua, tiga avatar lainnya juga menyusul musnah. Semua avatar itu habis hanya dari terkena luapan energi saja.
“BDDAAAAMMM!!” sebuah bogem mentah telak menghajar rahang kiri Lord Purgatory yang terlambat mengantisipasi serangan abah Hasan yang sangat cepat dan bertenaga maksimal. Belum sempat ia mengeluh sembari berayun jatuh ke arah kanan, “BLLDAAAAMMM!!” rahang kanannya juga mendapatkan bogem mentah serupa. Nyalang matanya tak percaya akan ketidak berdayaannya merasakan pukulan yang teramat dahsyat ini. Bogem lainnya menghantam perutnya. “BDDGUUMMM!!”
Lord Purgatory tak dapat waktu untuk terbanting ke tanah dan berguling-guling karena belakang lehernya ditahan agar tidak kemana-mana. “BLAAMMM!” tendakan lutut menghajar rusuk kirinya. “BLAAMMM!” rusuk kanannya menyusul dan berulang-ulang. Pukulan berulang lagi di bagian kepalanya kanan dan kiri juga di bagian dada silih berganti. Lord Purgatory menjadi samsak hidup tanpa bisa menghindar apalagi melawan.
Abah Hasan menarik tangan kanannya jauh ke belakang sementara tangan kirinya menahan ubun-ubun Arc form core ini untuk sebuah bogem telak di bagian muka. “Krrrrt…” terdengar jelas suara ototnya mengetat dan… “GDDGAAAAAMMM!!!” mukanya dibongkar dengan telak oleh pukulan barusan. Wajahnya tak berbentuk utuh lagi penuh darah. Tangannya ditarik lagi kebelakang untuk mengulang… “Pluk!” Tubuh itu lemas tak berdaya dan jatuh begitu saja di puing-puing reruntuhan kraton.
“Tinggalkan tubuh yang sudah kau pakai semena-mena itu sekarang!” ancam abah Hasan. Walau lemas, Lord Purgatory harus menuruti apa yang diperintahkan lawan superiornya ini. Buru-buru walau lemas, ia melepas jasad Bobi yang sudah disalahgunakannya. Jasad mati itu terbujur kaku ditinggalkan Lord Purgatory yang kembali ke wujud asalnya.
“Begini rupanya tampang aslimu…” tanpa ampun abah Hasan hendak menginjak kepala bentuk lanjut core pribadi milik Bobi Putranto ini. Walaupun pemilik aslinya telah meninggal belasan tahun lalu, arc form core-nya masih hidup hingga sekarang. Seharusnya bila hanya sekedar core seperti Ameng milik Vivi, akan meninggal bila pemiliknya meninggal. Apakah karena arc form ini mempunyai keinginan sendiri sebagai bagian dari impiannya? Keinginannya adalah menjadi manusia dan menjelajah hingga ‘surga’ yang asing. Sementara di bumi saja ia sudah babak belur begini.
“Serahkan dia pada kami… tolong…” lagi-lagi abah Hasan dikepung oleh beberapa sosok mahluk ghaib. Bentukan mereka mengingatkan pada sosok para avatar yang baru saja dikalahkannya. Ada ular yang besar, kepala srigala, mahluk berbentuk pohon, raksasa Batara Kala dan sebagainya. Tapi abah Hasan tak memperdulikan mereka dan tambah menekan kepala Lord Purgatory agar segera pecah saja.
“Kami mohoooon… dengan segala kerendahan hati… Demi kehormatan kerajaan kami yang telah dirusak dan dikuasainya… Tolong kabulkan permintaan hina kami ini… O pendekar Ora et Labora…” mereka sampai-sampai bersujud menjura pada abah Hasan agar request ini dikabulkan. Mendengar itu, abah Hasan dalam bentuk prima-nya ini melonggarkan injakan kakinya. Ia lalu mulai memperhatikan satu persatu sosok mahluk ghaib yang bersujud padanya.
“Bangkit kalian semua!!” hardiknya. Buru-buru mereka semua berdiri dengan patuh sekali komando saja. “Ana bukan mahluk yang patut disembah… Ada Dzat yang paling tinggi… yang menciptakan langit dan bumi ini… yang menciptakan ana… dan kalian-kalian juga… Dia-lah yang patut kalian sembah… Kalau kalian mau berjanji untuk menyembah Dzat yang ana maksudkan ini… mahluk bernama Tori-tori ini ana serahkan pada kalian semua…” Wadaw! Wadidaw! Malah misi Islamisasi yang dibawa abah Hasan pada mahluk-mahluk ghaib ini.
Mereka-mereka ini adalah para pewaris kerajaan taklukan Lord Purgatory, yang sebelumnya bertemu Aseng dan diminta berpartisipasi dalam mengalahkan kerajaan maharaja ini. Mereka datang terlambat tapi untungnya si Lord Purgatory itu masih hidup untuk mempertanggung jawabkan semua yang pernah ia lakukan di masa lalu. Lirik-lirikan ke-9 pewaris kerajaan itu dan akhirnya dicapai kata mufakat. Mereka setuju demi kehormatan mereka sendiri dan kerajaan yang mereka pimpin nantinya.
—–oo0O0oo—–
“CAYARINI!! CAYARINI DIMANA KAUUU??!” teriak Aseng di kerajaan Mahkota Merah. Para peri berkumpul mendekatinya ingin tahu mengapa sang baginda raja berteriak-teriak begini memanggil satu nama.
“Baginda mencari Cayarini?” datang Eka mewakili semuanya. Aseng masih mondar-mandir tak menemukan ratu peri Candrasa yang dipanggilnya.
“Ya, Eka… Apa kau melihatnya? Dia membawa satu benda yang sangat penting dan berbahaya…” ujar Aseng membekap kedua bahu peri nomor satu di seluruh kerajaan Mahkota Merah ini.
“Bukankah dia sedang menyamar di kerajaan musuh?” jawab jujur sepengetahuannya. Ia bingung. Ia dari tadi menunggu perintah untuk segera maju ke medan perang untuk membalas kekalahan mereka di perang Alas Purwo. Para prajuritnya juga sudah tak sabar untuk maju ke pertempuran.
“Sudah tidak… Dia kuperintahkan membawa cermin dewi kahyangan itu…” matanya masih jelalatan kesana kemari mencari keberadaan ratu peri Candrasa itu. Kalau ia benar-benar membawa cermin itu kemari, kerajaan ini ada dalam bahaya. Matanya tertumbuk pada Astha yang melompat tinggi dan tiba di hadapannya.
“Dia ada di Utara, baginda… Cayarini sedang melakukan sesuatu…” buru-buru Astha melapor apa yang ditemukannya.
“Utara?” tak memperdulikan apapun, Aseng langsung berlari menuju arah Utara yang disebutkan Astha. Bagian utara kerajaan Mahkota Merah sebagian besar masih dibiarkan kosong. Seringnya digunakan untuk melakukan latihan perang atau hal-hal bersifat keramaian sementara. Karena itu daerah itu tetap dibiarkan tandus luas membentang. Selagi berlari bersama Astha, ketua kelompok pemburu yang sudah berubah menjadi peri Agni itu melaporkan apa yang sedang terjadi.
“Mahluk-mahluk asing mulai keluar dari cermin itu baginda… Awalnya cuma sedikit dan kami bisa mengatasinya… Tetapi semakin lama semakin banyak dan mengkhawatirkan… Makanya Cayarini dan hamba sepakat untuk membawa cermin itu ke tempat yang jauh… Saat ini Cayarini sedang mengurung mereka semua di dalam daerah gelap bayangannya, baginda… Tetapi sepertinya tempat itu tak akan bisa bertahan lebih lama karena terlalu penuh…”
Daerah gelap bayangan? Seperti ruang gelap yang sempat digunakan Awyati untuk mengambil senjata sabit besar itu dari tanduk di mahkota Aseng? Ini sangat gawat! Ada mahluk asing dari dunia lain yang sedang keluar menginvasi dunia ini. Untungnya masih berusaha diisolir di daerah gelap Cayarini dan lebih luas lagi di daerah kekuasaan kerajaan Mahkota Merah Aseng. Tetapi untuk berapa lama? Seberapa berbahaya mahluk-mahluk itu?
Bersambung