Part #106 Tamat : Mahluk apa mereka ini?

Aseng tertegun sebentar melihat bagaimana bentukan daerah gelap bayangan yang diciptakan Cayarini untuk mengakomodasi sejumlah besar mahluk asing yang keluar dari cermin dewi kahyangan itu. Cayarini membentangkan tangannya ke arah Utara di belakang dinding batu yang telah dicurinya dari maharaja Lord Purgatory sebelumnya. Tepat di dinding batu yang merupakan cermin dewi kahyangan itu ada sebuah bola besar berwarna hitam. Ukurannya tidak terlalu besar. Diameternya hanya sekitar 10 meter saja.

Cukupkah daerah gelap bayangan yang diciptakan Cayarini menampung banyak penghuni seperti itu?

Cayarini

Aseng sempat merasakan masuk ke dalam medan gelap serupa ini ketika berhadapan dengan Awyati. Saat itu peri kasta tertinggi Candrasa itu hanya ingin mengambil sabit besar dari tanduk di mahkotanya. Segera setelah itu daerah gelap bayangan ciptaan Awyati itu segera dibatalkan. Bahkan Cundamanik yang berbentuk naga api tidak bisa menghancurkan lingkungan gelap buatan itu. Berarti lingkungan ini cukup kuat dan fleksibel.

“Cayarini?!” Aseng sudah merapat pada posisi ratu peri Candrasa itu. “Seberapa banyak mahluk asing yang keluar dari cermin?”

“Banyak, baginda… Mereka berebutan keluar dari cermin itu seperti menemukan jalan…” jawabnya sambil terus berkonsentrasi menjaga bola hitam itu. “Mereka sepertinya senang mendapatkan jalan ini dan berbondong-bondong memasukinya…”

“Berbondong-bondong?” kaget Aseng. Sepertinya mereka memang menunggu kesempatan ini. “Apa tujuan dewi kahyangan ini meninggalkan cermin ini di dunia kami?” gumamnya sambil memperhatikan dinding batu yang bertindak sebagai cermin yang lalu berperan seperti pintu. Dari pintu itu malah muncul mahluk-mahluk asing ini. Seperti apa mahluk asingnya yang keluar dari cermin itu? “Apa mahluk itu ada yang sempat keluar dari bola hitammu ini?” Aseng juga memikirkan hal itu.

“Beberapa, baginda… Hamba dan Astha sudah menghabisinya…” jawab Cayarini masih menjaga konsentrasinya. Sepertinya tidak baik mengganggunya yang sedang sibuk menjaga benda sepenting daerah gelap bayangan ini.

“Seperti ini, baginda…” Astha menyeret dua sosok tubuh yang sudah mati terkena sabetan pedangnya. Aseng buru-buru memeriksa dua mayat mahluk asing yang keluar dari cermin dewi kahyangan itu. Bentuknya mahluk bipedal (dua kaki dan dua tangan), hanya saja mahluk ini berjenis kelamin jantan, berkulit coklat cenderung hitam gelap, berpakaian seadanya berupa kain-kain rombeng, pelindung tubuh seadaanya dan tak lupa buruk rupa.

“Belum pernah liat mahluk kek gini sebelumnya… Mahluk apa mereka ini? Kenapa mereka menyerbu masuk kemari?” tanya Aseng yang tentu saja tak kunjung mendapat jawaban. Tentu saja, siapa yang bisa tahu motivasi dan tujuan mahluk-mahluk ini. Pun lagi, bisakah mereka diajak berkomunikasi? Aseng tak dapat memikirkan hal-hal lain lagi selain memanggil teman-temannya yang sudah membantunya menyerbu kerajaan maharaja Lord Purgatory. Hanya saja ia ragu, mereka sudah menyelesaikan bagian mereka atau sudah?

“Abah…” ia langsung menyambut pria tua itu yang masih dalam bentuk prima-nya yang bertubuh perkasa dengan otot-otot menggelembung. Sepertinya pria paruh baya itu masih merasa, bentuknya ini masih sangat diperlukan.

“Sudah… Si Tori-tori itu sudah abah bereskan… Perwakilan 9 kerajaan yang pernah ditaklukkannya sedang membagi-bagi bangkainya sebagai pampasan perang… Sepertinya sebagai legitimasi kalau mereka bisa kembali membangun kerajaan mereka seperti semula… untuk ditunjukkan pada rakyatnya… Sepertinya kau yang menyuruh mereka untuk datang dan memboikot pasukan si Tori-tori ini?” jelas abah Hasan menjelaskan hasil akhir pertarungannya dengan Lord Purgatory.

“9 kerajaan?” ulang Aseng. Ia teringat akan sosok 9 pewaris kerajaan yang hendak berkomplot berontak akan superioritas maharaja Lord Purgatory. “Mereka benar-benar datang dan membantu abah?” Aseng langsung terbayang serunya pertarungan orang tua yang sudah dianggapnya orang tua sendiri merangkap guru itu, dibantu sembilan mahluk ghaib yang ingin kerajaannya kembali.

“Nggak gitu juga… Abah sendiri aja yang ngehajar si Tori-tori itu… ehh… mereka pada minta bagian… Sekalian aja abah suruh syahadat… Abah harus tetap dakwah, kan?” ia melambaikan tangannya supaya Aseng tak terlalu memikirkannya. “Sudah gitu aja… Makanya abah gak kasih kalian izin untuk menghadapi si Tori-tori ini langsung… Kalian bertiga masih harus banyak berlatih… fisik dan mental… Kalau abah kasih sama si kembar itu… bisa-bisa Alas Purwo ini hancur berantakan dan mengganggu dimensi lain… Khawatirnya kita malah akan berhadapan dengan pihak lain yang terkena getahnya… Apalagi kalau si kembar pe’a itu udah ngeluarin Double Dragon-nya… Nyi Ratu bisa marah-marah… bisa panjang urusannya…” panjang lebar abah Hasan mengulangi alasannya mengatur pembagian match-up pertempuran ini.

“Iya, bah… Paham… Tapi ini, bah…” tunjuk Aseng pada bola hitam besar yang diciptakan Cayarini.

“Nah… Ini yang abah paling khawatirkan…” abah Hasan terdiam dan menatap dinding batu cermin dewi kahyangan itu. “Panggil semuanya kemari… Daerah kekuasaan Menggala-mu bisa dalam bahaya kalau keadaannya begini…” ia menyuruh Aseng memanggil Iyon, Kojek dan lainnya kemari untuk membantu tetapi tetap memandang bagian belakang dinding batu.

“Baik, bah…” dengan masih banyaknya energi lini yang dimilikinya, tak sulit bagi Aseng untuk memanggil dua sahabat Ribak Sude-nya ke daerah kekuasaannya ini. Juga Ron-Buana dan Iqbal. Mereka yang sudah tahu bagaimana bentuk kekuatan abah Hasan tak kaget melihat bentuk pria berumur 50 tahun itu menjadi sedemikian perkasa. Iqbal saja yang bertubuh bak binaragawan, minder melihat bentuk tubuh penuh otot pria tua itu.

“Iyon… Kojek… kemari kalian berdua…” dipanggilnya kedua pria itu. “Ente berdua waktu pake darah Batara Kala menjiplak tulisannya… cuma bagian depan aja… Benar?” tanya serius abah Hasan. Bagian depan saja? Ada tulisan asing juga di belakangnya?

“Yon… Di belakang ada tulisan juga rupanya…” bisik Kojek bersalah karena telah memberi info yang tak lengkap pada abah Hasan.

“Iya, baah… Gak tau ada di belakang juga…” jawab memelas Iyon.

“Ini mahluk-mahluk yang keluar dari cermin itu?” abah tak memperpanjang masalah itu dan malah beralih memperhatikan dua mahluk asing yang sudah tewas oleh Cayarini dan Astha. Ia manggut-manggut paham. “Begitu, yaaa…” abah Hasan bangkit lagi dan menghadap pada para Menggala-Menggala yang ada di depannya.

“Dibalik cermin dewi kahyangan ini ada dunia lain yang hendak dituju si Tori-tori itu… Dunia yang pernah kacau… Ingat pernah kacau… Si dewi kahyangan ini menyegel para mahluk-mahluk seperti ini di suatu tempat yang tertutup rapat dan membuang kuncinya ke dunia kita… dan memecahnya menjadi lima bagian… Tiap-tiap bagiannya menjadi permata peri yang sudah dikumpulkan si Aseng ini… Lalu dimanfaatkan si Tori-tori untuk membuka segel dengan mengorbankan istri dan ibunya… Hanya saja ia tidak tau kondisi dunia yang hendak ia tuju ini… Untung saja peri cantik ini punya kemampuan untuk menahan mereka untuk sementara ini… Siapa nama peri milikmu ini, Seng?”

“Cayarini, bah… Namanya Cayarini… Dia ratu peri Candrasa… peri bayangan…” jelas singkat Aseng.

“Cayarini… Nama yang bagus… Tau aja ente barang bagus, Seng…” sindir abah Hasan. “Kamu cuma bisa menahannya untuk sementara saja, kan… Cayarini?” belum sempat Aseng membalas, abah Hasan langsung menyambar.

“Jawab saja… Beliau ini guruku…”

“Benar… Mereka terlalu banyak… Ini tidak bisa menahan mereka selamanya…” jawab ratu peri Candrasa itu.

“Yaa… Kekuatanmu tentu ada batasnya… Beda dengan dewi kahyangan pemilik cermin ini… Perlu kalian semua tau… Peri-peri ini adalah gambaran dari dewi kahyangan… Ia membagi-bagi bentuk kesukaan… favoritnya menjadi berbagai bentuk peri yang beraneka ragam ini… Itu yang abah baca di belakang cermin batu ini… Asal peri-peri milikmu ini, Seng… bukan asli dari dunia ini… Peri asli dimensi kita mungkin saja di perjalanan waktu berasimilasi dan bercampur dengan lima peri ciptaan dewi kahyangan pemilik cermin ini… hingga menciptakan berbagai variasi… hingga kabur perbedaannya… Terus terang aja… abah-pun baru tau ini…” jelas abah Hasan berdasarkan apa yang dibacanya di bagian belakang cermin itu.

“Dan… di dunia asalnya… Bukan hanya peri-peri ini yang ada di sana… Ada banyak mahluk lainnya tentu… Seperti di tempat kita juga yang ada manusia… hewan, jin dan lain-lain… Termasuk juga mahluk-mahluk ini… Mereka disebut sebagai mahluk perusak yang enggan diberi nama… Mereka hidup hanya untuk merusak… Mereka berlipat ganda dengan cepat dan melakukan perusakan dimana-mana… Tidak ada jalan lain selain menyingkirkan mereka dan menciptakan kedamaian… Hanya saja jumlah mereka terlalu banyak dan… satu-satu jalan logis adalah mengumpulkan mereka di satu tempat yang sangat luas… Menyegel dan mengucilkan mereka dengan harapan mereka akan saling bunuh satu sama lain hingga punah sendiri karena keterbatasan sumber daya… Pendek kata mengurung mereka hingga kelaparan…” papar abah Hasan.

“Ini yang tidak dijelaskan di belakang cermin ini… Perbedaan waktu yang sama-sama kita ketahui sebagai seorang Menggala yang bermain-main dengan segel, daerah kekuasaan, perjanjian… ya? Kita semua sama-sama tau tak ada jeda waktu di dalam sini dengan di dunia nyata… Bagi mahluk-mahluk ini… malah menguntungkan… karena di dunia mereka itu dimensinya setara dengan dunia nyata kita… mereka merasa baru saja diperangkap di dalam segel itu yang setara dengan tempat ini… dan mendapat jalan keluar… Berduyun-duyunlah mereka keluar…” itu menjelaskan kenapa ada jeda waktu saat cermin baru saja aktif dengan dimasukkannya banyak mayat-mayat mahluk ghaib yang menjadi makanan lezat bagi mereka dan dua pengorbanan utama Lord Purgatory. Tidak serta merta ada mahluk asing ini yang keluar. Mereka baru sadar pintu terbuka setelah beberapa saat karena sibuk makan dan Cayarini memerangkap mereka lagi dengan daerah gelap bayangannya.

“Untungnya… Kita harus sangat berterimakasih sekali pada peri cantik bernama Cayarini ini…” ratu peri Candrasa itu sampai tersipu dipuji begitu. “Untungnya cermin dibawa ke daerah kekuasaannya Aseng ini… Coba bayangkan kalau mereka lepas di Alas Purwo sewaktu si Tori-tori itu hendak masuk… Si tori-tori ini pasti akan dibantai mereka dan mereka membanjiri Alas Purwo… dan meluas entah sampai kemana-mana… Berbahaya, kan?” abah menjelaskan secara lugas apa bahayanya kejadian ini. “Seluruh mayapada ini tentunya bakal heboh dan repot… Apalagi kalau mereka sampai muncul di dunia nyata… entah kekacauan apa yang bakal terjadi… Pastinya bakal banyak korban…”

Glek.

Segitunya resiko yang ternyata bakalan terjadi mengingat tingkat keganasan mahluk-mahluk asing dari dunia lain yang namanya aja gak diketahui. Sesama mereka lalu bisik-bisik entah apa. Pastinya bersyukur Cayarini berpikir cepat dan mengisolasi masalah di tempat yang relatif aman.

“Ada berapa peri yang kau punya selain… dua peri ini?” tanya abah Hasan menghitung dua peri berbeda jenis yang hadir di tempat ini. Cayarini dan Astha. “Bantuan mereka bisa kita gunakan untuk membasmi teman mahluk-mahluk mati ini…”

“Dari 5 istana peri yang sudah selesai dibangun… Yang aktif sebagai prajurit siap tempur ada sekitar 5000 peri, bah…” jawab Aseng sebaik-baiknya. Ia berharap jumlah itu cukup membantu untuk membasmi mahluk-mahluk berbahaya dari dunia lain ini.

“Lima ribu? Lima ribu peri maksudmu goceng? Goceng?!” kaget abah Hasan.

“Iya goceng, bah… Ya lima ribu… Kurang ya, bah? Peri-peri lain sih bisa bertarung juga tapi spesialisasi mereka bukan buat bertempur… Ada yang bertani, berladang… perajin, pembuat bangunan… nelayan, pelaut… Tapi bisa awak kerahkan kalo perlu, kok…” ia mungkin berpikir, ada berapa banyak sih jumlah mahluk asing yang sedang disegel di dalam sana? Ia melirik pada Iyon, Kojek, Ron, Buana dan Iqbal lalu balik lagi ke abah Hasan.

“Alhamdulilah kalo gitu… Pasukanmu segitu abah rasa cukup untuk membasmi mereka-mereka ini… Kalian semua boleh mengamuk sesukanya di tempat ini… karena sepertinya tempat ini lumayan jauh dari pusat kerajaan si Aseng… Jangan biarkan ada yang lolos… Habisi semua tanpa ampun…” instruksi abah Hasan.

Mereka sudah diberi izin untuk mengamuk. Ini tentunya kabar buruk bagi mahluk dari dunia lain itu.

—–oo0O0oo—–

“Baginda…” sapa Cayarini sebelum rajanya itu pergi untuk mengkoordinasikan semua pasukan lewat jendral-jendralnya.

“Ada apa, Cayarini? Ada yang hendak kau sampaikan sebelumnya…?”

“Hamba hanya ingin menyerahkan permata peri terakhir ini pada baginda raja… Onyx hitam yang sudah hamba ambil dari Awyati… Baru sekarang hamba berkesempatan menyerahkannya… sebelum maharaja itu menyadari keberadaan hamba…” ujar dengan suara pelan ratu peri Candrasa itu. Dari ujung tangannya yang lebar mempertahankan bola hitam besar itu, terlihat sebuah batu hitam berkilau yang segera dikenali Aseng sebagai onyx hitam—permata peri kelima.

Dengan senang hati Aseng menerimanya dan melengkapi lima permata peri di mahkotanya. Rubi api, safir biru, opal pelangi, biduri bulan dan onyx hitam. “Dengan ini aku punya semua kekuasaan penuh atas semua peri berelemen ini kembali, Cayarini… Kerajaan Mahkota Merah kita akan semakin lengkap dan kuat…” ia menepuk-nepuk lembut ubun-ubun sang ratu peri Candrasa. “Jaga semua telurmu baik-baik, ya… Peperangan kali ini akan keras…” setelah itu Aseng benar-benar pergi.

—–oo0O0oo—–

5000 pasukan peri kerajaan Mahkota Merah digelar untuk menghadapi gerombolan mahluk asing dari dunia lain itu. Pasukan yang sudah kenyang asam garam medan tempur ini tentunya tak gentar sedikitpun untuk melakukan tugasnya. Pasukan-pasukan ini kini bukanlah pasukan eksklusif yang terdiri satu jenis peri saja, melainkan campuran dari berbagai jenis peri. Semua jenis peri yang hidup di kerajaan ada di tiap baris pasukan. Tentu saja pasukan terdepan adalah pasukan bersenjata; pedang, tombak, kapak, dan lain-lainnya. Ada juga pasukan mengutamakan kekuatan elemen. Disini baru berupa peri berelemen sejenis seperti yang khusus api, air dan angin. Hanya saja mereka adalah unit-unit yang merupakan bagian yang terintegrasi untuk menciptakan serangan penggedor. Beberapa pemimpinnya yang berupa kasta tertinggi peri, berdiri paling depan sebagai andalan tiap pasukannya. Berupa; peri Agni, peri Rasa, peri Rukma, peri Praba dan peri Awyati. Kemampuan dan kekuatan mereka tidak usah disangsikan lagi.

Bagi abah Hasan, Ron, Buana dan Iqbal yang baru pertama ini melihat pasukan peri sebanyak ini berbaris rapi dengan satu komando Aseng, agak gimana gitu rasanya… Kagum, bangga, serem juga mungkin. Bagaimana bisa satu manusia bisa memimpin segini banyak peri? Tapi bagi Iyon dan Kojek yang sudah pernah mengalami perang bersama-sama mereka, hanya biasa-biasa aja.

“Cayarini… lepaskan mereka begitu ada aba-aba dari rajamu… Siap?!” kata abah Hasan yang kali ini ikut serta dalam peperangan ini. “Ron… Buana… kalian bertarung seperti biasa… Keluarkan kekuatan maksimal kalian bila mendapati hanya lawan yang kuat saja… Apalagi naga-naga kalian itu terlalu berbahaya… Ingat hanya bila ada lawan yang terlampau kuat bagi peri-peri ini… Sedang kau Iqbal… bebas… Keluarkan saja harimau-harimau putihmu di awal… tidak apa-apa… Iyon dan Kojek… seperti biasa aja… seperti juga Aseng dan abah sendiri…”

“Abah… awak juga punya naga… Ada 9… hanya saja mereka tidak akur kalo ketemu… Gimana baiknya, bah?” tanya Aseng tentang 9 peri Anaga-nya yang disebar di berbagai tempat berbeda agar tidak saling bentrok karena pakem hanya ada satu peri Anaga dalam satu masa. Makanya Aseng mengakalinya dengan menempatkan kesembilan naga itu di dimensi-dimensi yang berbeda. Dengan demikian tidak saling bertemu.

“Maksudmu seperti yang di matahari hitam itu?” tunjuk abah Hasan pada Cundamanik yang ditugaskan untuk menjaga matahari hitam yang beberapa kali sempat dimanfaatkan musuh untuk menyusup masuk. Naga api itu jelas sekali mengepak-ngepakkan sayapnya.

“Iya, bah… Itu peri Anaga yang berelemen api… Hampir mirip dengan naga api-nya si Ron… hanya saja dia sebenarnya peri…”

“Iya, tau itu peri Anaga… Tidak ada dua atau lebih peri itu di satu waktu… Jangan dicampur dong… Kacau nanti kerajaanmu ini… Biar saja dia disana… Kalau perlu panggil… Jangan sampai malah mengacau nanti tapinya… Ngerti?” kata abah mengatur anak-anak angkatnya ini. “OK? Siap semua??!” teriak abah Hasan. “Mulai, Seng!” begitu ia melihat semua unsur bersedia.

“Batalkan daerah gelap bayanganmu, Cayarini…” perintah Aseng pada ratu peri Candrasa itu.

“Baik, baginda…” perlahan bola hitam yang mengurung para mahluk asing berbahaya itu memudar seiring gerakan tangannya yang tadi lebar kini mengatup menutup. Bola hitam berukuran besar itu kini menghilang dan mulai menampakkan isi di dalamnya. Mereka tertegun untuk beberapa saat melihat hamparan banyaknya mahluk-mahluk itu menyebar bagaikan daun-daun yang berserakan. Memenuhi lapangan luas kosong kering ini seperti penyakit yang mematikan.

“WrrrRRRAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!!!” suara melengking mahluk-mahluk itu langsung menggelegar telah bebas kembali di suatu tempat yang asing. Tidak mengapa asing, asalkan ada tempat untuk mereka untuk membuat kehancuran.

“Pasukaaaaann!! SERAAANGGG!!” tak kalah Aseng berteriak keras memberi perintah. Pasukan terdepan langsung menerjang maju. Mereka adalah prajurit-prajurit peri yang terkenal paling berani menghadapi musuh. Pengalaman bertempur mereka paling banyak dan ketangguhan mereka tak perlu dipertanyakan lagi. Gelombang pertama pasukan peri kerajaan Mahkota Merah langsung menghancurkan musuh terdepan bersama dengan pendekar-pendekar Menggala yang sengaja datang ke tempat ini.

Ron, Buana dan Iqbal langsung menggebrak maju ke tengah-tengah musuh. Gebrakan-gebrakan mereka beserta senjatanya langsung saja mencerai-beraikan musuh yang terkaget-kaget diserang mendadak begini. Sepasang harimau putih Iqbal juga dengan entengnya berlompatan kesana kemari menggigit, menerkam dan membunuh musuh sementara pemiliknya dengan tongkat panjang itu menggebrak dengan gerakan berputar cepat sambar menyambar. Tiap gerakan pasti memakan korban.

Pasukan mahluk ini diperkirakan jumlahnya sangat banyak. Itupun mungkin belum semua yang sempat keluar dari cermin dewi kahyangan itu. Kemungkinan ada banyak lagi yang masih tertinggal di penyegelan aslinya di alam seberang sana. Ini tugas abah Hasan untuk menutup kembali cermin itu dengan kemampuan bahasanya. Ia sempat melihat apa yang dilakukan Lord Purgatory yang menggunakan semacam kombinasi lima keping batu ini untuk membuka akses. Dengan membalik kombinasinya, semoga pintu antar dimensi ini bisa tertutup.

Dirinya dikawal ketat Iyon dan Kojek agar tak ada yang mengganggu selama ia melakukan itu semua. Apalagi sesekali masih ada mahluk-mahluk itu muncul dari balik cermin itu. Itulah target utama mereka sementara abah Hasan berkonsentrasi penuh. Tapi lama kelamaan kedua orang itu semakin larut dalam kesibukannya membasmi mahluk asing yang sangat banyak ini.

“Uuhh… Ternyata kekuatan si Tori-tori itu lumayan juga ya… bisa memutar kombinasi lima batu ini… Padahal ini keras dan berat sekali…” gumam abah Hasan masih berusaha memindah kombinasi batu-batu yang berasal dari lima kerajaan peri berbeda, walaupun sekarang ini masih memakai bentuk prima, saat menghadapi Lord Purgatory itu, tetap berat.

Saat ini bentuk potongan lima kerat seperti pizza itu berbentuk seperti bunga, sudut runcing yang di tengah loyang menghadap keluar, kebalikan dari awalnya. Dari tengah irisan kelima potong batu itulah mahluk-mahluk asing itu keluar berebutan, berlompatan. Iyon dan Kojek menghajar dan membasmi apapun yang keluar dari sana sementara abah Hasan terus berusaha.

“WRRRAAAAAAHHHKK!!” sebuah tangan kiri yang besar menyeruak dengan cepat hampir menyerempet abah Hasan kalau ia tidak sigap mengelak. Cermin setinggi 10 meter yang awalnya berupa dinding batu mulai bergetar. Tangan yang tadi masuk bertambah panjang. Ia menggapai-gapai hendak mencari pegangan untuk menarik tubuhnya memasuki gerbang sempit ini. Tangannya mencecah tanah dan langsung mencengkramnya. Abah Hasan menunggu dengan seksama menunggu waktu yang tepat.

Sebuah kepala mulai muncul masuk menyusul tangannya. Tentunya ukurannya sangat besar dibanding dengan mahluk-mahluk asing sebelumnya yang sedang dihabisi pasukan peri kerajaan Mahkkota Merah ini.

“BBDDAAAMMM!!” pukulan bogem tangan abah Hasan yang sudah teruji ampuh kekuatannya langsung menghajar bagian kepala mahluk berukuran besar itu. Akibatnya, kepala itu menghantam pinggiran permukaan gerbang antar dimensi itu. Kepalanya terbelah dua. Tubuh mati mahluk itu mengganjal di depan cermin, menghalangi rekan-rekannya untuk lewat melaluinya. Itu bukan tujuan abah Hasan. Ia ingin menutup pintu itu sama sekali!

Mengetahui pinggiran pintu yang terbuat dari cermin itu sanggup memotong kepala mahluk sebesar tadi, abah Hasan menarik sebelah tangan yang sudah menjuntai masuk itu dan menghentakkannya ke arah tepian pintu. “SHHHRAAAKKK!! TESS!!” sesuai harapan, tangan itu terputus. Dilemparkannya kembali potongan tangan dan lengan itu kembali ke asalnya, memasuki permukaan cermin yang transparan—menghantam siapapun yang akan mencoba melewatinya lagi. “ZUUHHH!!” sesuatu menarik sisa tubuh besar yang mengganjal itu dengan kasar. Abah Hasan tak mengendurkan kesiagaannya. Pasti masih ada mahluk-mahluk seperti yang tadi di balik sana.

Abah Hasan harus segera menutup pintu itu dengan cepat. Entah apa lagi yang akan keluar dari sana nanti.

“IQBAALLL!!” abah Hasan berteriak memanggil Iqbal agar mendatanginya. Sepertinya ia butuh bantuan pria bertubuh besar itu untuk menutup pintu gerbang keparat antar dunia ini. Dua harimau berukuran besar milik Menggala itu yang lebih dahulu sampai membuka jalan untuk Iqbal kembali pada abah Hasan.

“Bantu abah membalik cermin ini… Sepertinya perlu kekuatan dua orang untuk menutup ini semua…” tunjuknya dimana Iqbal harus berada untuk membantunya dengan kombinasi cermin ini. “Tarik ujung itu dan abah tarik ujung ini… Gerakannya akan menggeser yang lain sekaligus!” teriaknya memberi instruksi sekaligus memberi contoh. Iqbal langsung menurut dan mengerjakannya.

“Berat bangeet, baahh… Ini terlalu keras… Hegghh…” keluh Iqbal karena bagian miliknya tak bergeming sedikitpun begitupun juga dengan bagian abah Hasan. Bahkan dengan bantuan dirinya, lima bagian batu ini tak bergerak sedikitpun. “Coba pake Menggala Iqbal ya, bah…” ia mengerahkan kedua harimau putih andalannya memasuki kedua tangannya. Tekniknya hampir mirip dengan abah Hasan yang menggunakan naga Ora dan kura-kura Lontar untuk menambah kekuatan tempurnya dengan memasukkan kedua mahluk Menggala-nya ke kedua tangannya yang sudah berukuran besar. Abah Hasan juga melakukan hal yang sama, kedua mahluk Menggala-nya juga ia pakai kembali. Keduanya kini bahu-membahu untuk menutup pintu gerbang itu.

“BRRAAAKKKK!!!” keduanya terlempar dari permukaan cermin itu oleh satu hentakan dahsyat yang menghantam dari balik dunia sana. Kelima keping batu yang membentuk cermin itu berguguran dari tempatnya. Sepertinya ada sesuatu di balik sana yang telah menggedor pintu ini. Sebuah ketukan dari balik ‘surga’.

Kejadian berikutnya adalah campuran mengejutkan dan mengerikan sekaligus. Seperti semburan, ratusan mahluk itu menyerbu masuk dengan lancarnya seperti gelombang banjir bandang, menerjang masuk. Mereka tak memperdulikan abah Hasan dan Iqbal yang ada di tepian pintu gerbang dimensi itu. Mereka hanya menerjang maju pada keriuhan pertempuran yang sepertinya mulai dikuasai oleh pasukan peri kerajaan Mahkota Merah. Tetapi tambahan kekuatan ini membuat keadaan kembali berat.

“Bedebah… Ada sesuatu dibalik sana yang telah merontokkan semua batu-batu ini, Iqbal… Sepertinya ia akan mencoba memasukinya… Krrrtt…” abah Hasan menarik tangannya jauh ke belakang lalu menekuk hendak meledakkan sebuah pukulan penuh tenaganya pada pintu gerbang ini. Apakah ia bermaksud merusaknya agar tak dapat dipergunakan sama sekali? Benar sih, dihancurkan aja sekalian daripada membuat repot di kemudian hari. Iqbal juga punya pikiran yang sama, ia melakukan gerakan yang sama dengan pukulannya.

“BDDLLLAAAAMMM!!!” hantaman dua orang itu menggelegar kuat. Percikan-percikan sisa energi pukulan itu terasa sampai jauh menggetarkan jiwa-jiwa yang lemah. Sebuah gelombang kejut yang merupakan gabungan kekuatan pukulan abah Hasan dan Iqbal menumbangkan beberapa mahluk-mahluk asing berukuran normal yang baru saja keluar dari pintu gerbang itu.

“Huh?”

Abah Hasan dan Iqbal mundur teratur menyadari ada sebuah tapak tangan yang mereka baru hantam–menahan itu semua, mencuat dari dalam cermin. Keduanya pasti berpikir, pemilik tangan ini pasti sangat sangat kuat. Hanya dengan tangan saja bisa menahan pukulan sepenuh kemampuan itu.

Benar saja, sesosok kepala mencuat lagi dari balik cermin itu. Dari kekuatannya, auranya, sepertinya yang satu ini adalah yang terkuat diantara semua mahluk-mahluk asing yang dikurung di dalam penyegelan itu. Dan artinya sama saja dengan kabar buruk. Tak ada jalan lain kecuali mereka harus bersatu padu menghancurkan mahluk terkuat ini sebelum ia berbuat yang tak disangka-sangka lagi.

—–oo0O0oo—–

Keadaan semakin memburuk di depan cermin dewi kahyangan. Mahluk-mahluk asing yang disegel di dalam pengurungan itu menemukan jalan keluarnya di daerah kekuasaan Menggala Aseng. Satu mahluk terkuat, sebut saja sebagai pemimpinnya, kini sudah keluar dari balik cermin itu. Ukurannya sangat besar. Jauh lebih besar dari mahluk-mahluk asing yang jumlahnya banyak sekali. Kalau sekedar mahluk-mahluk ini, pasukan peri kerajaan Mahkota Merah sudah jauh lebih dari cukup untuk membasminya karena mereka hanya mengandalkan kekuatan mentah dan jumlah yang banyak saja.

Sedangkan kekuatan pemimpinnya ini, kelasnya jauh berbeda. Kemungkinan ini rajanya.

Abah Hasan, Iqbal, Ron, Buana, Iyon, Kojek dan Aseng mengepung sang raja. Mahluk itu berdiri setinggi 5 meter totalnya. Kulitnya sama persis warnanya dengan yang berukuran normal, coklat tua cenderung hitam gelap. Rambutnya panjang dikucir satu berjuntai-juntai di belakang kepalanya. Mahluk ini sebelah matanya buta karena terluka di pertarungan sebelumnya, hidung kecil hampir rata dengan wajahnya dengan rahang lebar kokoh dan mulut bertaring mencuat dari bawah bak babi hutan. Fitur yang mengerikan dari raja musuh ini adalah dua pasang tangannya. Entah itu adalah hal yang lumrah di dunianya atau kelainan dirinya. Ia hanya memakai aksesoris jalinan rantai yang dibelitkan di dadanya melintang membentuk X besar. Pergelangan tangannya yang besar dilibat semacam kain rami kasar yang bertonjolan duri-duri kasar. Di tiap tangannya ia memegang sebilah senjata, dua buah pedang di kanan-kiri tangan terbawah, kapak dan gada di kanan-kiri tangan atas. Ini gambaran musuh yang sangat kuat.

“Kek dajjal, ya?” komentar Iyon pada Aseng yang berdiri tak jauh darinya. Si Aseng hanya menggangguk. Pertempuran para pasukan perinya digiring menjauh dari tempat mereka sekarang walau masih terdengar jelas riuhnya suara-suara kematian.

“BUKANKAH INI TEMPAT YANG INDAH… TERANG DAN MENJANJIKAN…” ucap sang raja. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa khas seorang raja yang berkuasa. Pasti dia yang menyuruh pemilik tangan besar tadi yang terpotong tadi dan menariknya kembali. Di balik sana, kemungkinan masih ada mahluk seukuran dirinya yang sedang menunggu.

“KALIAN JUGA PUNYA BANYAK PASUKAN UNTUK MENAHAN PASUKANKU… ITU BAGUS…” katanya mengenai pasukan peri yang sedang menghabisi pasukan mahluk asing ini. “PERI… LAGI-LAGI PERI… DEWI ITU SUNGGUH MENYEBALKAN, BUKAN…” ia menyebut nama dewi dan mengenali para peri yang sedang bertempur itu. Jadi para peri berelemen itu benar-benar berasal dari dunia raja musuh ini.

“DAN MAHLUK SEKECIL KALIAN HENDAK MENGHENTIKANKU… MENGGELIKAN…” ejeknya mendengus. Ia mengibaskan keempat tangannya. Demo kekuatannya yang mengerikan kuat itu. Angin tebasan kosong itu berderu-deru bak badai. Terbayang bila tertebas pedang sebesar itu atau terhantam gada seukuran gerbong kereta api itu.

“Jeeekk!!” seru abah Hasan.

“Siapa yang kau bilang kecil?” Kojek membagi pukulan bertenaganya dalam bentuk Nabalga-nya yang mampu membesarkan tubuhnya sesuka hati. Apalagi sekarang Nabalga itu juga dibarengi dengen teknik Angka Silgang yang membuatnya bergerak secepat cahaya. “BUUUFFFTTT!”

“HE HEHEHE… MENARIK JUGA KALIAN…” dengan satu tangan yang menyilangkan tangannya raja musuh itu memblok pukulan Kojek dengan sisi pedang di tangan kiri bawahnya. Pedang itu didorongnya dengan ringan hingga tinju Kojek mundur. Kojek sepertinya masih penasaran dan melayangkan pukulan tangan kiri ke arah muka raja musuh itu.

“BUUGGH!” Masuk! Tetapi ia tidak bergeming. Bergeser saja tidak. Hanya permukaan kulitnya pipinya yang bergetar akibat hentakan pukulan bertenaga itu. “RrrrRRRAAAAAHH!!” Kojek bermaksud mengulanginya dengan pukulan dengan putaran tubuh penuh dengan segenap bobot tubuhnya untuk mendapat dampak yang lebih kuat. Tangannya berputar cepat dilambari kekuatan Angka Silgang-nya.

“WHHAAFFT!” malah tubuh raksasa Kojek yang terjengkang dan terdorong mundur jauh ke arah pertempuran itu, sebelum sempat pukulannya menyentuh musuh. Tubuhnya menghimpit beberapa mahluk asing berukuran normal itu. Kaki kiri raja musuh itu maju ke depan sehabis menendang push kick Kojek yang telak menghantam dadanya. Kojek mengaduh kesakitan di sebelah sana. Rekan-rekannya tak tinggal diam, Iyon dan Aseng meradang balas menyerang. Ron dan Buana tak ketinggalan sebagaimana abah Hasan dan Iqbal.

Teriakan-teriakan membahana nyaring dari pertempuran beberapa orang berukuran normal sekaligus mengeroyok raja musuh yang berukuran besar setinggi 5 meter itu. Walaupun besar, ia bisa bergerak dengan lincah dan cepat. Apalagi tenaganya ekstra kuat bisa menghajar lawan-lawan yang mengeroyoknya sekaligus. Iyon dan Aseng bolak-balik terhenyak mendapat hantaman kuat raja musuh itu. Ron dan Buana dapat bertahan berkat zirah yang masing-masing mereka kenakan walaupun mereka harus tunggang langgang juga terkena hantaman senjata musuh yang berukuran besar.

Iyon mengeluarkan cambuk terkuatnya, Kamarasuta, berusaha berkali-kali memberi penanda di tubuh raja musuh berukuran besar itu untuk melancarkan serangan khas dirinya. Hanya saja sepertinya kulit musuh mempunyai penangkal tersendiri untuk serangan sejenis itu. Menggala bercambuk itu sampai bingung harus bagaimana melemahkan lawan satu ini. Aseng juga sudah masuk dalam mode Mandalo Rajo-nya. Kuku-kuku cakar di tangan dan kakinya sudah keluar, berusaha mencabik-cabik musuh dengan teknik khusus membunuhnya. Semua itu tak terlalu berarti.

Beberapa kali Iyon dan Kojek yang dalam keadaan genting berbahaya harus diselamatkan Ron dan Buana. Entah itu menggunakan mahluk-mahluk Menggala keduanya, ataupun dengan menggunakan kekuatan murni dan bantuan zirah kuat mereka. Tapi lagi-lagi kedua anggota Ribak Sude itu terus balik lagi meradang dan terus meradang maju. Sepertinya mereka sedang mengkoordinasikan sesuatu karena Kojek yang tak lagi berukuran besar, hanya berputar-putar saja di sekitar pertarungan itu, seperti menunggu kesempatan emas.

“SEMUA MENYINGKIR!! FIRE IN THE HOLE!!” teriak Kojek dari kejauhan posisinya. Semua tahu persis apa istilah yang digunakan Kojek dengan frasa ‘Fire in the Hole’ itu, kecuali Iqbal dan tentu saja raja musuh itu. Bagi Iqbal, ia hanya mengikuti rekan-rekan dan adik-adiknya yang menyingkir, dengan bantuan insting tentunya. Alasannya tentu bau busuk gas yang tiba-tiba menyeruak menusuk hidung.

Rentetan ledakan kemudian terjadi dimulai dari tepian medan tempur mereka semua melawan raja musuh berukuran besar itu. Ledakannya menjalar ke tengah dimana lawan berada yang kaget terkesiap tak siap. “DHHHAAAARRRR!!!” ledakan akibat ledakan gas busuk yang dihasilkan tabung gas milik Kojek meledak dahsyat menggetarkan tanah tempat berpijak.

“Gokil… Untung aku sempat menyingkir, ya?” gumam Iqbal dari tepian medan tempur yang walaupun cukup jauh, tetapi hembusan angin ledakannya tetap kencang beserta gelombang kejutnya yang dahsyat. Debu tebal akibat ledakan tersebut tersebar membentuk radius luas. Ledakannya membumbung tinggi membakar habis semua kandungan gas yang disemburkan Kojek dari tabung legendarisnya itu. Tapi sepertinya ia kurang begitu puas dengan hasilnya dengan tidak bergembira seperti biasa. Ia malah merengut.

Mungkinkah, serangan itu tidak berhasil?

Dari balik debu tebal sisa ledakan, terlihat gerakan mengipas-ngipas debu dan asap. Raja musuh masih hidup dan aktif bergerak di sana. Aseng berlari cepat ke kepulan debu. Dibelakangnya Iyon menyusul dengan menyeret cambut Kamarasuta miliknya siap dilecutkan. Aseng melompat meninggalkan suara kletukan bakiak kayunya. Ia meneriakkan jurus pamungkas menggunakan bakiak Bulan Pencak itu, “GUGUR GLUGUR!!” kedua kakinya bergerak bersamaan melompat tinggi mengincar bagian perut lawan.

Di belakangnya, Iyon melecutkan cambuk andalannya ke salah satu pedang raja musuh yang hendak memblok serangan Aseng barusan. Cambuknya membelit ujung pedang itu dan dicoba untuk menghalangi gerakannya agar serangan Aseng dapat mengenai sasarannya. Iyon sampai menggunakan siku dan kakinya menahan panjang cambuknya. Sekali betot, perangkap Iyon langsung jebol dan raja musuh mengganti metode bertahannya dengan mengangkat lututnya untuk menghadapi Gugur Glugur Aseng.

“RRAAFFTTT!!”

Aseng yang malah terpental jadinya terkena hantaman lutut lawan. Ada serpihan-serpihan kayu yang terburai di sekitar kakinya. Apakah bakiak Bulan Pencak-nya hancur? Pria itu bergulingan di tanah menahan sakit di kakinya sisa hantaman barusan. Ia meringis, antara sakit atau kesal senjata andalannya hancur berkeping-keping. Raja musuh sekarang sedang meladeni serangan duo kembar identik itu dengan pedang dan zirahnya. Terlihat beberapa kali mahluk Quarn dengan tiga bilah pedang itu berkelebat cepat bermaksud memotong-motong lawan. Hanya saja mahluk dari dunia seberang ini sangat tangguh pertahanannya.

“Bakiak-ku hancur…” adunya pada sobatnya yang mendekat. Ia menunjukkan sisa-sisa serpihan kayu yang masih tersisa cat merahnya. Rahangnya mengetat bergerak-gerak menahan marah. Tapi apa mau dikata, musuh ini bukan lawan sembarangan. Ia sudah merasakannya sendiri.

“Ledakan gas-ku juga gak kerasa sama si baluap ini, Seng… Kita harus bekerja keras… Kita kerahkan semua kemampuan kita… Apalagi kita ada si kembar itu, ada bang Iqbal… ada abah juga…” Kojek menepuk-nepuk bahu sobatnya ini, menaikkan semangatnya lagi.

“Yaa… Sejauh ini… Ini yang paling berat yang pernah kita hadapi… Tapi kita harus menang… Kamarasuta-ku juga putus dibuatnya… Kita harus perang all out melawannya…” kata Iyon menimang-nimang cambuk andalannya yang juga agak rusak, putus sepertiganya. Ia mengeluarkan semua koleksi cambuk di perbendaharaan arsenal miliknya. Pria itu sudah mirip gurita dengan banyak tentakel yang berupa puluhan cambuk. Semua cambuk yang pernah dimilikinya dari dulu hingga sekarang, muncul sebagai senjata.

“Ahh… Aku masih punya Angka Silgang keren ini… Babiat Balemun, Hortuk, Sigak… Nabirong!” Kojek mengikuti langkah Iyon mengeluarkan semua kekuatan maksimal yang dimilikinya. Kekuatan harimau ganas itu, taring babi hutan, sayap gagak, dan pengerasan tubuh menjadi hitam plus sayap putih malaikatnya.

“OK… Aku ikut… Aku punya lima permata peri ini… Ini pasti berguna… walo tanpa Bulan Pencak… Aku akan membalasnya…” Aseng ikut bersemangat lagi. Ia setidaknya harus memberikan serangan telak pada mahluk raja musuh itu. Akumulasi serangan yang bertubi-tubi dari banyak pihak sekaligus pastinya akan membuatnya kewalahan. Selagi yang lain beristirahat, yang lain akan menggantikan dan bila perlu akan menyerang bersamaan mencari kombinasi serangan efektif bagi lawan.

“WROOAARRHHH!!” seekor naga berkaki besar dan bukaan mulut lebar muncul di atas raja musuh. Rahangnya yang lebar langsung mengincar bagian leher sang raja musuh. Ia sempat mengelak hingga katupan mulut bergigi tajam itu menggigit bagian bahunya saja. Naga Jaw-Flame milik Ron itu tak serta merta melepaskan mulutnya. Dengan kakinya, ia menjejak bagian perut dan punggung bermaksud melakukan take-down—menjatuhkan mangsanya yang ukurannya sebanding dengan ukuran naga itu. Bagian kiri raja musuh sudah ditahan musuh dan tubuhnya limbung ke arah yang diinginkan naga Jaw-Flame. Kedua tangan kanannya yang bebas tentu tak tinggal diam bahu kirinya dikunyah lawan. Ia bermaksud menghantam kepala besar naga itu dengan pedang dan kapaknya.

Kedua senjata itu berdesing hendak menghantam naga Jaw-Flame sebelum ditahan oleh naga lain. Tak lengkap rasanya bila Jaw-Flame muncul tanpa rekannya, Wingasaur. Mulutnya mencaplok salah satu tangan yang memegang kapak, menggigitnya sembari ia menindih lawan dan mencakari punggungnya. Ron dan Buana muncul berbarengan hendak menghabisi sebelah tangan raksasa yang memegang pedang di bawah. Bahu membahu keduanya menghajar tangan berpedang itu dengan teknik terkuat mereka. Tak salah kalau Ribak Sude perlu featuring dua pendekar kembar yang bisa bertarung brutal bila diperlukan ini.

Tangan kanan bawah raja musuh tercincang-cincang. Ia meradang mengamuk merasakan sakit yang teramat sangat. Jaw-Flame melepas gigitan ganasnya dengan luka terbakar hangus karena selain digigit, ia juga menyempatkan membakar bahu menonjol itu itu. Wingasaur menjauh dan memberi kontribusi juga, kepakan sayapnya memperparah sayatan kaki di punggung lawan, dengan cabikan-cabikan angin. Terseok-seok raja lawan berusaha bangkit lagi akibat beberapa luka yang disebabkan oleh dua lawan dan dua mahluk Menggalanya yang brutal.

Tak memberi jeda, luka sabetan terbentuk memanjang di leher hingga dadanya secara tiba-tiba. Iyon menggunakan jurus B3-nya dan muncul tiba-tiba di depan raja musuh dan melecutkan semua cambuk miliknya yang disatukan untuk mendapat efek gabungan yang lebih berasa bagi lawan seukuran besar ini. Seharusnya, dengan kemampuan teleportasinya, Iyon bisa jadi mesin pembunuh dari tadi. Ia bisa muncul dimana saja dan menghindar sesukanya.

Belum sempat sang raja musuh mengeluh. Aseng menembakkan sinar thermal itu dari mulutnya ke arah dada yang tadi barusan dilukai Iyon dengan cambuknya. Sinar thermal bak laser itu sukses melubangi dada sang raja dan mungkin akan menjadi lebih parah kalau saja ia tak buru-buru membebaskan diri dengan melontarkan dirinya jauh-jauh. Rantai yang dibelitkan di dadanya satu per satu putus. Padahal Aseng bermaksud membuat graffiti di dadanya. Di posisi barunya, Kojek sudah menunggu. Mereka hendak mengeksploitasi luka yang sudah ada dengan memperparahnya dengan memperlebarnya.

“RRRROOOAAAAHHHRRRRRRKKK!!!” jerit pilu sang raja musuh. Ia sampai harus bergulingan menahankan rasa sakit itu.

Dimana abah dan Iqbal? Kenapa mereka tidak ikut dalam carnage ini? Mereka berdua kembali sibuk untuk menutup pintu gerbang itu lagi karena mereka merasa gabungan Ribak Sude dan duo kembar itu sudah cukup memadai untuk menghadapi lawan saat mereka sudah cukup serius, tidak main-main lagi. Dan penilaian itu rasanya sangat tepat. Buktinya sang raja musuh robek-robek.

“Mereka jauh lebih kuat kalau sudah terpacu semangatnya ya, abah?” kata Iqbal yang masih mengerahkan semua tenaganya untuk menyusun kembali batu berat ini di posisinya setelah sempat jatuh tadi dimasuki raja musuh.

“Adik-adikmu gak usah disangsikan lagi… Abah hanya sedikit khawatir tentang tiga orang itu… Mereka sering salah langkah… salah jalan… sehingga harus sering-sering abah ingatkan…” jawab abah mengungkapkan kecemasannya. “Buktinya masalah saat ini adalah bukti salah jalan mereka… hingga mudah dimanfaatkan pihak lain…” lanjutnya. Tentunya ia paham betul akar permasalahan apa yang terjadi hingga berujung pada situasi chaos kali ini.

Dipancing sedikit saja dengan hangat tubuh wanita, mereka bertiga terjerumus dalam masalah pelik yang didalangi oleh arc form core salah satu teman lama mereka yang telah lama berpulang ke haribaan Sang Pencipta. Strategi jitu yang diramu dengan pelik terlambat mereka sadari dan telah jatuh banyak korban jiwa sepanjang digodognya rancangan ini. Ternyata sang peramu strategi hanya ingin berpindah dari dunia yang dirasanya tak sesuai dengan dirinya yang tak jelas ini. Bukan jin bukan manusia. Mendapat sedikit petunjuk tentang keberadaan eksistensi dunia lain yang penuh ‘keindahan surga’ menarik hatinya. Para peri yang muncul kemudian sebagai penjaga kuncinya, semuanya kalau perlu dibasminya. Lord Purgatory tertarik untuk mengunjungi dunia lain. Padahal tempat yang ditujunya ini hanyalah dimensi lain yang merupakan tempat penyegelan entitas jahat yang diusir dari dunia asalnya. Dunia antah berantah asing itu. Dengan dewi kahyangan menciptakan segel pengurungan mahluk asing yang bahkan jenisnya tidak dicantumkan namanya di literatur manapun. Bahkan tak tertulis di pahatan batu cermin ini.

“Ini belum selesai, Iqbal… Mereka yang lain sepertinya mendengar teriakan rajanya itu barusan… Yang lain pasti berbondong-bondong masuk kemari apapun akibatnya…” peringat abah merasakan perubahan yang terjadi kemudian. Dari tadi, hanya mahluk-mahluk asing berukuran normal yang sesekali menerobos. Beberapa mahluk asing seukuran rajanya sepertinya bakal menyusul. “Mundur…”

Benar saja satu sosok kepala muncul lagi dari balik cermin yang belum berhasil di tutup itu. Paras dan ukurannya sama dengan mahluk yang sempat dimutilasi abah Hasan sebelum sang raja masuk. Dipaksakannya tubuhnya menembus cermin itu yang sepertinya dibantu dorongan di belakang sana oleh rekannya yang lain. Ia segera melihat rajanya sedang disiksa habis-habisan oleh kelima pria itu. Ia segera berteriak-teriak histeris tak terima junjungannya di-gangbang sedemikian rupa. Dibelakangnya menyusul dua mahluk serupa. Tinggi dan besar mereka sedikit lebih kecil dari sang raja tetapi kekuatan mereka digantikan dengan jumlah.

Meradang ketiganya mengamuk menuju pembantaian raja untuk menuntut balas. Mereka berlima tentu saja berpencar kaget diserbu tiga mahluk asing sebesar itu. Tapi itu tak lama karena mereka bersiap lagi.

Tapi kenapa naga milik Ron dan Buana itu terlihat malah berhadap-hadapan? Seperti mau berkelahi? Keduanya bergerak serempak bersamaan. Naga Jaw-Flame itu berlari dengan kakinya yang kuat. Naga Wingasaur itu terbang mengepakkan sayapnya. Kedua-duanya merundukkan kepala hendak saling menandukkan kepala bak adu domba. Jarak semakin dekat dan mereka tak mengganti arah sedikitpun.

“”DRAAAKK!!” terjadi percikan sinar menyilaukan dan suara berderak seperti ada yang pecah. Debu-debu tebal menutupi pertemuan berhantamnya kepala dua naga si kembar itu barusan. Apa yang kedua naga itu lakukan? Kenapa mereka bersiteru di saat seperti ini? Dan kenapa Ron dan Buana membiarkan itu terjadi?

Debu yang terbentuk dengan cepat menghilang karena kibasan sayap. Naga Wingasaur bersayap itukah pemenangnya? Tetapi bentuk siluet mahluk berbentuk naga ini jauh berbeda sekarang. Tidak seperti naga Jaw-Flame maupun Wingasaur sama sekali. Lebih tepatnya gabungan keduanya. Double Dragon?

Satu naga di hadapan Ron dan Buana kini berbentuk sempurna. Tubuhnya setinggi 6 meter dengan otot-otot tubuh kasar dan kulit tebal. Tangannya berbentuk sempurna dengan otot kuat dan tiga cakarnya. Sayapnya terpisah dari tangannya; dengan kata lain sayapnya berdiri sendiri. Dadanya ramping lalu membuncit pada bagian perut lalu disambung dengan sepasang kaki yang kokoh lagi kuat. Ekornya panjang dan gempal. Kepalanya berbentuk baru sama sekali. Rahang bawahnya lebih besar dari rahang atas untuk memastikan kekuatan gigitan yang menghancurkan. Lalu ada mulut kedua di atas mulut pertamanya. Ukurannya lebih kecil dan selalu tertutup. Di dekat hidung ada sebuah tanduk panjang mencuat. Lalu sepasang gigi panjang di bawahnya dari rahang atas. Sepasang tanduk juga tumbuh di belakang kepalanya.

Ya inilah yang disebut Double Dragon. Entah dimana kedua kembar ini mendapatkan naga-naga kuat seperti ini yang bisa bergabung walaupun perbedaan mendasar yang mereka miliki.

“Yaah… Abis-la semuanya klen bante ini semua mahluk-mahluk jelek ini…” kata Aseng sembari menatap naga gabungan dua ekor naga sekuat itu. Ia bahkan gak bisa membandingkannya dengan sembilan peri Anaga yang dimilikinya dengan milik kembar identik ini.

“Sori, ya… Sepertinya terlalu makan banyak waktu kalau harus bertele-tele dengan mahluk-mahluk seperti ini…” alasan Buana.

“Abis ini… Kita sebaiknya masuk saja ke balik cermin itu dan membasmi semua yang tersisa di dalam sana supaya tak ada yang membuat kekacauan lagi di lain hari… Bukankah itu lebih baik, abah Hasan?” ujar Ron.

“Sebenarnya lebih baik begitu… Biar saja segelnya tetap berdiri dengan isi kosong… karena sudah kita habisi semua… Double Dragon-mu bisa lewat gerbang ini tidak?” tanya abah Hasan.

“Cukup kami yang lewat…” jawab Buana. Teralih perhatiannya seperti Ron yang sedang menonton bagaimana Double Dragon membantai ketiga mahluk asing berukuran besar itu yang bermaksud membalas kematian rajanya sudah ‘dihakimi’ oleh manusia-manusia ini. Satu mahluk itu sedang meregang nyawa karena terbakar oleh api panas yang berwarna biru. Satunya sudah nyungsep dengan kepala remuk dan leher terpelintir ke arah yang salah. Yang terakhir sedang dicabik-cabik naga itu berulang kali dengan kuku cakar tangannya dengan brutal. Ketiganya tak ada nilainya di hadapan sang naga gabungan ini.

“WRRAAAAHHH!!” raungan war-cry sang Double Dragon membahana memekakkan telinga. Yang mendengar suara itu harus menutup kuping kalau tidak mau gendang telinga pecah karena suara dahsyatnya. Naga buas itu sepertinya kurang puas dengan mangsa yang sudah didapatkannya. Diinjak-injaknya bangkai mahluk asing yang sudah bergelimpangan di sekitarnya.

“Sabar… Masih ada banyak lagi di dalam sana…” Ron melambaikan tangannya menarik perhatian sang naga. Buana hanya perlu melambaikan tangannya pada kepribadian Wingasaur yang ada di dalam Double Dragon itu karena naga miliknya jauh lebih kalem bila hanya sendiri.

“Jadi kita masuk aja, bah? Apa tidak berbahaya?” tanya Iqbal. Mereka semua sedang mengerumuni pria paruh baya yang tetap mempertahankan bentuk primanya. Banyak aksi yang harus ia lakukan setelah ini.

“Tidak ada jalan lain… Cermin ini tidak bisa ditutup dengan cara normal… Benar kata Ron tadi… Lebih baik kita sekalian membasmi apa yang ada di balik segel ini… Kita langsung ke sumbernya aja… Di sini cukup kita percayakan pada pasukan peri Aseng… Sebentar lagi mereka juga bakalan selesai…” kata abah Hasan mengambil keputusan. “Sehabis itu kita hancurkan saja benda ini…”

—–oo0O0oo—–

“Wuoohhh!!” kaget mereka setelah memasuki dunia segel di balik cermin dewi kahyangan itu. Mereka bertujuh memasukinya berganti-gantian. Ron dan Buana langsung mengeluarkan kembali Double Dragon-nya yang masih haus. Naga itu langsung terbang dan menebarkan terornya.

Cahaya di tempatnya ini sangat temaram di medan berbentuk kubah sangat besar untuk dapat menampung jutaan mahluk itu sekaligus. Kontur daerahnya berbukit-bukit batu tanpa ada tanaman atau sumber makanan sama sekali. Membuat mereka kelaparan hingga mati memang sebenarnya pilihan tepat. Hanya saja mereka menemukan jalan keluar terlalu cepat sebelum metode itu berhasil membasmi keberadaan mereka. Di kejauhan, masih ada beberapa sosok mahluk yang bertubuh besar itu lagi yang lagi-lagi menjadi pusat pembasmian Double Dragon.

Frustasi, mereka tak punya jalan lain kecuali melawan. Hanya untuk meregang nyawa terkena semburan api biru yang keluar terpancar dari mulut naga yang terbang rendah dan membakar raga mahluk-mahluk penyebab kehancuran ini. Beberapa kelompok memusatkan diri untuk menyerang para manusia yang nekat memasuki daerah segel mereka. Mereka menyebar amuk membabi buta yang dibalas dengan amukan yang lebih mengerikan lagi. Ron, Buana, Iqbal, Iyon, Aseng dan Kojek menghancurkan mereka semua. Abah Hasan tinggal di dekat gerbang cermin, menjaga agar tidak ada yang mencoba meloloskan diri mencuri kesempatan.

Semuanya mengeluarkan senjata milik mereka untuk bertarung habis-habisan untuk membasmi mahluk-mahluk ini. Jumlah terlalu banyak sebenarnya dan walaupun tak terlalu kuat, itu memakan banyak tenaga dan lagipula cukup membosankan karena hanya mengulang-ulang hal yang sama terus menerus. Menebas, pukul, menghindar, berkelit, menendang, sabet kanan-kiri, melompat, bergulingan menghindar, tusuk, berputar dan menggasak musuh.

Lagipula apa yang bisa diharapkan dari jutaan mahluk asing menyebalkan yang hanya tahu menghancurkan saja? Mereka hanya tahu bergerak dengan insting untuk menghancurkan, membunuh, merusak, menyerang dan segala macam hal merugikan lainnya. Double Dragon itu yang praktis menyebabkan paling banyak kerusakan. Sekali semburan api biru memanjangnya bisa menghabisi ratusan lawan sekali serang. Ia bolak-balik terbang rendah dan menyemburkan apinya pada kelompok yang berkumpul bergerombol untuk mendapatkan hasil maksimal. Semua yang berukuran besar sudah dihabisi Double Dragon hingga yang tersisa dan kocar-kacir berlindung melarikan diri adalah mahluk-mahluk berukuran normal saja.

—–oo0O0oo—–

“Capek…” keluh entah suara siapa.

“Hei… Ini olahraga yang bagus, tau?” kata Ron yang membersihkan bilah pedangnya dari noda darah pada permukaan tubuh yang sudah mati itu.

“Tapi tetap capek… dan membosankan…” sahut Buana. “Mereka-mereka ini gak memberi perlawanan berarti… Tidak bisa lari kemana-mana juga… Tak ada jalan lain kecuali melawan… Putus asa lebih tepatnya…”

“Udah habis-kah?” tanya Kojek yang ngos-ngosan. “Jangan sampe ada yang tersisa… Kalo misalnya ada yang tersisa satu aja… bayangkan ada berapa banyak makanan yang ia dapatkan dari semua bangke-bangke ini… Siapa tau mereka bisa berkembang biak lagi dengan cara itu walo harus memakan bangke kaumnya sendiri…” paparnya khawatir. Sepertinya itu hal yang masuk akal.

“Tapi seluas ini… Masak kita harus periksa satu-satu tempat ini untuk menemukan yang masih bertahan dan sembunyi…” protes Iyon. Ia sepertinya juga kelelahan.

“Sayangnya itu benar… Tidak boleh ada yang dibiarkan tetap hidup… Mungkin juga malah ada yang bersembunyi di bawah tubuh-tubuh mati temannya sendiri… Kita harus berpikir lebih licik daripada mereka sendiri… Sayangnya tugas kita tidak berakhir dengan mudah…” kata abah Hasan logis.

“Tidak perlu, bah… Biar para peri Aseng aja yang melakukan semua sisa tugas ini… Para peri pemburu akan lebih efektif melakukan ini semua…” kata Aseng memberi solusi yang lebih masuk akal dan mudah. Ada yang lebih kredibel untuk ini semua ternyata.

“Ente punya peri seperti itu, Seng?” pasti abah Hasan senang mendengarnya. Jadilah mereka keluar dari tempat itu dan semua mahluk-mahluk asing di medan pertempuran sudah semua dibantai oleh pasukan peri kerajaan Mahkota Merah. Beberapa masih memeriksa sisa-sisa lawan untuk memastikan lawan benar-benar tewas karena dalam perang kali ini tidak ada tawanan yang diambil. Habisi semua musuh tanpa ampun karena musuh juga tidak akan memberi ampun. Jasad-jasad lawan yang sepertinya tak punya luka mematikan, ditusuk kembali bahkan dipenggal kepalanya untuk memastikan tak ada yang pura-pura mati untuk kembali beraksi kemudian.

Aseng hanya perlu memanggil Astha sebagai ketua kelompok pemburu untuk mendelegasikan tugas penting berikutnya ini, memburu para mahluk itu yang mungkin masih hidup dan bersembunyi di tempat asalnya. Astha yang kini merupakan Agni dengan cepat paham dan mengumpulkan anggotanya yang jumlahnya.

“Bawa semua pemburu yang kau miliki di kelompok dan buru semua mahluk asing itu di daerah asalnya… Habisi mereka semua… Lakukan dengan cepat dan efisien… Setelah itu kita akan menghancurkan pintu ini selama-lamanya…” perintah Aseng pada Astha yang berdiri takzim.

“Hamba, baginda… Segera kerjakan…” ia undur diri dan memanggil semua pemburu di kerajaan Mahkota untuk memasuki gerbang cermin itu. Ada sekitar 150 peri berbagai jenis yang tergabung di dalam kelompok pemburu ini. Astha sendiri yang memilih mereka dan telah menjalani pelatihan khusus yang lebih berat dari prajurit biasa saja karena spesifikasi pemburu lebih kompleks dalam menguasai banyak hal disamping bertarung.

Selagi menunggu hasil perburuan, Aseng mendengarkan laporan pertempuran dari tiap-tiap pemimpin pasukan. Hasil gemilang didapatkan kerajaan Mahkota Merah kali ini. Semua musuh sudah berhasil dihancurkan. Tentu saja korban jiwa di pihak para peri juga ada. Jumlah korban jiwa juga dilaporkan secara rinci beserta yang luka-luka. Karena kini sudah ada tim medis dari peri Ananta (peri berambut ungu), luka-luka ini segera dirawat dan disembuhkan kembali setelah korban ditarik mundur dari medan pertempuran.

Aseng manggut-manggut mendengar rangkuman laporan yang disampaikan para jendral dan pemimpin pasukannya. Sepertinya ia bisa mentolerir jumlah korban jiwa yang jiwa. Walau tak dapat dipungkiri ia sedih juga karena para peri itu juga adalah bagian keturunannya. Tapi perang selalu menghasilkan kesedihan, ia lebih paham itu karena ia pernah kehilangan satu generasi peri di perang Alas Purwo sebelumnya. Ia hanya mengingatkan para prajuritnya untuk lebih berlatih lebih keras lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan.

Secara umum, peperangan ini dimenangkan dengan gemilang, walau jatuh korban jiwa juga. Mereka bersorak-sorak bangga telah memenangkan peperangan besar melawan pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar. Yel-yel kemenangan terdengar meriah sepanjang perjalanan pasukan kembali ke istana untuk merayakannya untuk perayaan yang lebih pantas. Baginda raja Aseng menjanjikan pesta kemenangan bagi mereka. Aseng menawarkan mereka semua untuk ikut dalam perayaan itu, hanya saja Ron, Buana, Iqbal dan abah Hasan tidak bisa dengan alasan ada urusan lain.

Cermin itu yang tak seperti menolak untuk ditutup, sepertinya memerlukan campur tangan dewi kahyangan itu sendiri, akhirnya dihancurkan adalah jalan satu-satunya. Berbagai macam metode penghancuran mereka lakukan, tentu saja kebanyakan merupakan cara kekuatan. Mereka menyerang cermin itu secara bersama-sama. Dampak terbesar tetap dilakukan naga Double Dragon milik Ron-Buana, lalu pukulan abah Hasan, bentuk Nabalga-Nabirong-Angka Silgang Kojek kemudian. Bahkan para peri kasta tertinggi juga menyumbang tenaga mereka.

Akhirnya hancur juga benda itu, beserta segel yang terkunci di dalamnya. Semoga tak ada lagi urusan dengan dunia lain itu setelah ini.

Setelah mereka menghancurkan cermin batu itu mereka pergi dari daerah kekuasaan Aseng ini, kembali ke kehidupan normal masing-masing. Jadinya hanya trio Ribak Sude saja yang menghadiri pesta kemenangan ini bareng ribuan peri kerajaan Mahkota Merah.

——————————————————————–
POV Aseng:

Setelah kehebohan peperangan dan pertempuran yang memakan waktu, tenaga, darah dan peluh lalu dilanjutkan perayaan kemenangan yang meriah. Akhirnya ketenangan juga yang kini kurasakan. Aku tak begitu memperdulikan bagaimana kerajaan maharaja Lord Purgatory setelah ditinggalkan sang maharaja-nya. Ada yang menyarankanku untuk mengambil alih kerajaannya dan menggabungkannya dengan kerajaan Mahkota Merah…

Ogah! Emoh…

Dan merusak pemandangan di kerajaanku yang indah bak surga ini? Isi kerajaan maharaja pukimak itu isinya mahluk ghaib gak jelas semua. Tentu aja bentuk menipunya akan berusaha dibuat yang indah-indah aja, bagus-bagus aja. Kenak pulak nanti ada yang tau seleraku suka liat peri-peri cantik-bening-kinclong-imut-imut-montok, apa enggak nanti ada mahluk ghaib cap lonceng buruk rupa yang merubah bentuknya menjadi janda bohay?

Hoeekks. Jijay bajay.

Biar saja kerajaan itu bubar jalan kalau perlu. Atau mungkin kesembilan kerajaan yang pernah ditaklukkan Lord Purgatory yang akan berebut kekuasaan kerajaan yang sudah tak berpemimpin itu. Si Lord Purgatory itu pastinya tidak punya pewaris. Pernikahannya waktu itu hanyalah bagian dari ritualnya untuk memberi persembahan bagi terbukanya cermin batu itu. Tentunya ia belum punya keturunan. Gak tau juga apa bisa dia punya keturunan secara ia bahkan mengorbankan Amira, istri sahnya.

Lupakan saja tentang mimpi buruk bernama Lord Purgatory itu untuk selama-lamanya dan mulai pikirkan hal lain…

“Sruut… sruut… sruut… sruut…”

Mesum kali suaranya, ya? Bukan. Aku bukan lagi ngentotin peri kali ini hingga mengeluarkan suara seperti itu. Aku ini lagi menyerut papan kayu yang terbuat dari dahan pohon asam Glugur yang tumbuh sakral di hutan daerah kekuasaanku. Aku harus membuat bakiak Bulan Pencak-ku lagi setelah hancur lebur berkeping-keping di peperangan sebelumnya. Bakiak Bulan Pencak bukan sekali ini saja rusak dan tiap kali rusak aku hanya bisa membuatnya lagi dari bahan pohon asam Glugur itu. Bahan kayunya harus eksklusif dari pohon itu tetapi bahan lainnya boleh memakai apa saja. Awalnya aku pernah memakai karet ban sebagai pembalut kakinya, ini tentunya kiprah awalku sebagai Menggala yang kere. Berlanjut ganti kulit sintetis, kulit sapi asli dan lain-lain. Hingga kali ini memakai bahan terbaik—kulit naga!

Bukan kaleng-kaleng bahan bakiak Bulan Pencak sekarang. Ini adalah kulit naga induk para peri Anaga yang telah menyerahkan telur pertama dan terakhirnya padaku yang kelak menghasilkan Cundamanik. Dipakukan dengan kuat menggunakan paku besi hitam buatan para peri Candrasa. Diberi warna merah berbahan sama dengan cat dinding istana Mahkota Merah. Test drive-nya sampe direndam di kawah gunung berapi, ditenggelamkan di laut, dilemparkan ke ketinggian matahari hitam dan jatuh kembali ke tanah. Sampe aku khawatir rusak lagi dan aku harus repot-repot lagi menyerut kayunya, membuat pola di kulit naga, memotongnya, memakunya dan mewarnainya kembali. Ternyata baik-baik saja.

Sentuhan akhir, aku menempelkan kembali stiker-stiker jadul itu itu. Ada lambang Peace, Nirvana, Bob Marley, daun cimeng supaya matching dengan tabung gas milik Kojek yang juga ditempeli stiker senada. Aku mematut-matut hasil karyaku ini lagi. Kaki ukuran 40-ku belum berubah dari dulu jadi cetakannya yang segini-segini aja. Selanjutnya aku melakukan prosesi pengikatan hubungan Menggala Wasi pada senjata made in dhewe ini sebagai senjata milikku.

Selesai juga.

“Ada laporan apa?” tanyaku pada peri yang rutin memberi jadwal padaku.

“Lapor, baginda… Awan hasil penguapan yang berkumpul di ujung sektor Selatan sudah bisa dipanen sebagai hujan… Bisakah kita menyuruh ‘dia’ untuk menurunkannya untuk mengairi sawah di kaki gunung?” tanyanya sedikit menunduk sambil memegangi perutnya.

“Atur aja… Koordinasikan dulu dengan Cuta sesuai kebutuhannya… Jangan sampe terlalu banyak airnya… malah banjir nanti…”

“Mengerti baginda…” ia menunduk lagi. “Permintaan bahan baku bijih besi hitam sudah datang dari istana lama Gua Kresna… Kelompok perajin sudah menerimanya… Apakah boleh langsung diproses, baginda…” lapornya lagi akan masalah lain. Aku hanya mengangguk memperbolehkan dan ia melaporkan beberapa masalah lainnya secara rinci dan lugas.

Dan saat ia hendak undur diri, kutahan sebentar. “Bagaimana keadaan perutmu? Sudah sembuh betul ato masih terasa sakit kadang-kadang?” tanyaku akan kondisinya. Saat datang ke bagian medis, luka-luka yang dideritanya sangat parah. Para peri Ananta bagian medis sampe pesimis ia bisa bertahan hidup karena bagian perutnya hancur total. Perawatan intensif paska perang sangat menyakitkan tetapi tetap harus dilakukan dengan cepat dan cermat. Hasilnya ia bisa bertahan dan sehat hingga sekarang.

“Terimakasih atas kebijaksanaan baginda raja yang memberi hamba kesempatan hidup dan berbakti disini… Izinkan hamba terus berbakti bersama yang lainnya… Perut hamba sekarang sudah lebih baik, baginda… Walau kadang masih sakit tetapi masih bisa hamba tahan…” ia menunduk lagi. Ia sudah terbiasa dengan tata krama di kerajaanku hingga tak perlu sampe bersujud-sujud segala seperti bersama rajanya yang dulu.

“Bagus-bagus… Ya… Silahkan lanjutkan lagi kalo begitu, Citra…” aku mengizinkan melanjutkan tugasnya. Peri Ananta itu lalu undur diri. Tugas barunya adalah semacam perpanjangan tanganku. Singkatnya sebagai sekretaris-ku di kerajaan Mahkota Merah ini. Semua jadwal dan pengaturan yang kupikirkan atopun yang diusulkan pihak-pihak lain dicatatnya kemudian disampaikan padaku untuk ditindak lanjuti. Peri yang awalnya musuh, kini punya peran yang sangat penting di kerajaan ini. Tugas yang hampir mirip dengan tugas sebelumnya bersama si borjong maharaja itu. Untung perutnya yang hancur setelah pertarungannya dengan Ron-Buana bisa disembuhkan… dan disinilah ia sekarang bertugas.

Sama halnya dengan peri Byuha itu. Iyon dan Kojek sempat menggerutu karena telah sempat dikerjai peri berambut kelabu itu. Ternyata peri ini salah satu peri langka yang hampir punah juga karena dihabisi siluman kucing berusia 3000 tahun yang sudah dibasmi bang Iqbal itu. Peri bernama Asweta itu ternyata sangat ahli mengendalikan cuaca. Dengan kemampuannya ia bisa menggeser awan bahkan menggeser matahari hitam dari tempatnya seperti rotasi siang malam layaknya. Hanya saja langit tetap terang. Pergeseran sumber panas di atas langit daerah kekuasaanku sungguh memberi efek-efek yang berbeda akan cuaca di tempat ini. Aku sendiri baru ngeh setelah ia mendemonstrasikan kemampuannya itu. Dengan demikian, di beberapa bagian kerajaanku bisa turun hujan, angin yang berhembus kencang, panas yang terik, bahkan salju. WOW, kan?

—–oo0O0oo—–

Minggu malam yang tenang. Tak ada lagi yang hal yang membuatku gusar dan cemas akibat ulah si Lord Purgatory borjong itu. Tadi siang aku sempatkan menghabiskan waktu dengan keluargaku. Sekalian menghibur ibuku juga. Biasa, cuma makan-makan dan mengajaknya berkeliling mengunjungi daerah wisata di seputaran Medan aja, gak jauh-jauh. Benar kata orang rumahku, ibuku yang paling menderita disini. Tapi ia ia berusaha tak menampakkannya karena memang ia pembawaannya seperti itu, pendiam, tenang dan tegar. Seingatku, baru dua kali aku melihatnya menangis; saat meninggal suaminya, ayah kami dan meninggalnya Selvi. Selebihnya, tak pernah ia mengeluarkan air mata.

“Halo? Apa cerita? Oo… Enggak… Lagi sante aja, kok… Bisa-bisa… Bentar ya…” hubungan telepon diputuskan dan aku bergerak meninggalkan rumah karena tempat yang tuju hanya dekat karena hitungannya masih tetangga. Sampai di depan rumahnya, ia sudah menungguku dan berdiri di depan teras. Wajahnya terlihat tegang dan sangat serius. Belum pernah aku melihatnya seperti ini selama mengenalnya.

“Malam… Apa kabar?” sapaku mendekat padanya. Ia mempersilahkanku duduk di depan kursinya. Ia hendak mengajakku berbincang di teras ini saja. Pasti urusannya santai tapi serius. Kira-kira urusan apa, ya? “Sepi kali… Dimana yang lain? Vivi?” tanyaku lagi, apalagi sapaan awalku tadi belum kunjung dijawabnya.

“Vivi dan yang lain sedang keluar, bang… Ada hal serius yang hendak kubicarakan dengan abang Aseng… Bisa kita bicara kan, bang?” ujarnya. Tak ada nada mendayu-dayu seperti biasanya khas dari seorang Benget yang cenderung bentjes. Ini kemajuan pesat. Aku cukup kagum ia punya sisi ini ternyata. Bagus. Ada kemajuan.

“Tentu… Bicaralah… Akan awak dengar…” tak kusinggung tentang perubahannya ini. Saat ini adalah perbincangan dua orang lelaki. Tentu saja harus disikapi dengan sikap lelaki yang seharusnya juga.

Ia berdehem dua kali lalu menenangkan dirinya dengan mengatur nafas. Kuperhatikan semua pembawaannya. “Ini tentang Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan, bang Aseng…” cetusnya. Tentang keempat inong itu? Ada apa rupanya? Kepalaku tak sadar miring sedikit. Ia menyadari mimik keherananku. “Terlebih dahulu… aku ingin tau dulu… seperti apa hubungan abang dengan mereka berempat? Karena setauku… abang sudah beristri… Abang juga sudah berulang kali menolak Vivi…”

Wah? Mempertanyakan hubunganku dengan keempat inong itu. Benar. Ini satu, koreksi, empat masalahku yang masih belum terselesaikan. Aku merilekskan diri dengan bersandar ke sandaran kursi. Mempertanyakan hubunganku dengan Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan. Itu sangat rumit dan sangat simpel tergantung dari sudut mana memandanganya. Secara mudah, aku adalah penyelamat mereka dari dalam hutan durjana itu. Secara rumit aku adalah tempat mereka bergantung saat ini. Di sisi lain aku juga sudah menikmati tubuh mereka berulang-ulang. Banyak dimensi bila harus membahas mereka berempat. Menjadi satu jalinan benang kusut yang sulit menemukan ujung dan pangkalnya sekarang.

“Rumit…” singkatku menyimpulkannya dalam satu kata saja.

“Rumit?” ulangnya. Rahangnya mengetat keras.

“Jujur sama awak…” aku condong ke arahnya. “… kau suka sama mereka, Bens?” tembakku langsung-langsung aja. Tak ada urusan lain kalo sudah membicarakan perempuan apalagi ia berusaha mengeluarkan sisi maskulinnya, mencoba mengintimidasiku dengan tubuh kekarnya yang gempal penuh otot. Intimidasi tak akan berhasil padaku. Aku malah balik memprovokasinya.

“Aa…”

“Harus mereka berempat… Tidak boleh satu-satu aja…” lanjutku lagi tembak langsung. “Ini paket four in one… Ambil semua atau tidak sama sekali…” Ini kesempatan emasku untuk menyerahkan mereka ke tangan yang lebih baik daripada diriku yang tak bisa memberi mereka kepastian sama sekali. “Karena jujur saja… mereka berempat itu tanggung jawab awak… Akan lebih baik menyerahkan mereka pada orang sepertimu daripada orang lain yang tak awak kenal… Awak udah kenal kau, Bens… Kau bisa bertanggung jawab…” aku mengacungkan jari telunjukku. “Itu kalo kau mau tentunya…”

Ia terdiam.

Tunggu-tunggu. Maksudnya apa? Apa aku mau menyerahkan keempat inong begitu saja pada si Benget bencong ini? Melepaskan empat gadis bongsor, ralat empat perempuan cantik bongsor lezat kinyis-kinyis, ginuk-ginuk kinclong kek mereka? Saat berada di ‘sisi gelap’, aku bahkan menggarap keempatnya berhari-hari untuk memperkuat Cundamanik. Kami bersenang-senang di rumah kontrakan itu sampe kering ini kantong menyan. Tentu saja tujuanku bukan untuk menghamili keempatnya, murni bersenang-senang. Dan diserahkan ke Benget begitu saja?

Relakah aku?

Tentu harus rela. Aku tidak bisa jadi apa-apa bagi mereka berempat sama sekali. Tidak ada harapan kecuali membahayakan nyawaku sendiri. Dan tak adil juga kalo harus ngekep mereka menjadi simpanan gelap seperti niat awalku tadi. Didatangi hanya untuk menumpahkan hawa nafsu. Tentu seiring waktu, mereka juga akan butuh kepastian, kesempatan—berkeluarga misalnya. Sepertinya apa yang kupikirkan tentang Benget kali ini benar. Ia ada hati pada keempat inong ini.

Secara finansial, Benget sudah lebih dari cukup untuk menghidupi mereka berempat kelak. Secara fisik seharusnya tidak ada masalah. Secara mental ia masih dalam fase pendewasaan.

Bagaimana dengan Vivi? Bukannya aku sempat getol menjodohkan mereka berdua. Tapi Benget tidak membicarakan Vivi. Ia hanya membicarakan Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan. Nama Vivi sempat mencuat sebentar tadi karena ia tau bagaimana perasaan Vivi padaku. Vivi ada di luar konteks. Harusnya ia juga tau apa yang sudah kulakukan pada keempat inong ini, ia orang yang sudah terlalu dewasa hingga tak perlu dijelaskan apa yang terjadi bila ada seorang pria mesum sepertiku dengan empat perempuan cantik.

Tapi saat ini Benget berbesar hati meminta keempat inong itu secara langsung dan jantan. Ini sangat menjanjikan tentunya.

“Kau boleh memikirkannya baik-baik… Hanya saja ingat… empat ato tidak sama sekali… Tidak usah pikirkan yang lain…” kuacungkan keempat jari kananku dengan menutup jempol. “Sekarang itu terserah padamu… Ini pembicaraan yang bagus, bukan?” aku bersender lagi. Kami berdiam cukup lama lebih pada aku memberinya waktu untuk berpikir. Tidak harus sekarang juga sih keputusannya. Tapi mengingat ia yang bersemangat sekali menghubungiku, sepertinya ini tidak akan lama-lama sebelum aku mendengar kabar baik.

“Baik, bang… Empat…”

Aku tersenyum lebar dan mengacungkan tanganku meminta tangannya untuk dijabat. Ditatapnya tanganku sebentar lalu disambutnya. Kami bersalaman. Rahangnya mengetat tak mampu tersenyum. Aku masih senyum lebar. Tersenyum lebar karena setidaknya empat bebanku sudah berkurang berpindah ke tangan yang lebih memadai. Bukan bermaksud melempar tanggung jawab.

“Kau sudah sunat belom?” tanyaku out of the blue.

“Aa…”

—–oo0O0oo—–

“Si Bens lagi girang kali, tuh…” tunjukku dengan dagu dan mulut yang dimonyongkan ke arah si Benget yang buru-buru menstarter mobilnya dan meluncur ke pujaan hatinya. Empat inong yang dulu pernah kuselamatkan dari hutan gunung Leuser. Ia cerita dengan terbata-bata kalo ia terpikat pada mereka saat bekerja magang di salonnya. Ia juga tak mengerti kenapa ia punya perasaan itu pada mereka berempat padahal selama ini hidupnya selalu dikelilingi kaum Hawa yang jauh lebih cantik dan elegan daripada perempuan tau dari mana asalnya, dari tengah hutan di tengah gunung terpencil.

Awalnya hanya pada Cut Intan saja. Tetapi seiring waktu, yang lainnya juga mulai tertambat di hatinya. Ini yang selama ini membuatnya resah dan gelisah hingga mulai mempertanyakan jalan hidup yang selama ini ia pilih beserta orientasinya dalam pilihan hidup; lurus ato berbelok. Ia memilih mengikuti kata hatinya untuk kodrat sejati.

“Selamat deh buat si Bens…” tapi nadanya terdengar sarkas. Ia melengos.

Vivi

“Maafkan abang, Vi…”

“Abang udah aku maafkan… Jadi tidak usah diulang lagi… Vivi juga udah tau alasannya dan itu semua kesalahan Vivi juga… Jadi tolong… jangan minta maaf lagi…” ia berdiri di ambang pintu tetapi tak sekalipun mau melihatku. Ia melihat jejak merah lampu rem di belakang mobil Benget yang semakin menjauh untuk memberikan kabar gembira itu pada keempat inong itu di rumah kontrakan mereka.

“Awak akan bicara sama Benget lagi untuk mengam…”

“Vivi begini aja, bang… Tidak perlu dikasihani…” potongnya sebelum aku sempat menyelesaikan maksudku. Ia tau persis apa yang kumaksud. Pastinya hati Vivi saat ini hancur sekali. Ia tak mendapatkan apa-apa dariku dan dari siapapun. Tapi perasaan tidak dapat dipaksakan dan rencana manusia sangatlah rapuh.

—–oo0O0oo—–

Lisa

Lisa

“Cieee… Yang liburan seminggu entah pergi kemana… Yee…” sindir Lisa cekikikan. “Pas banget waktunya abang masuk lagi…”

“Kenapa? Ada kejadian gawat apa?” tanyaku yang duduk ke kursiku yang selama seminggu ini kutinggalkan lalu menekan tombol On CPU kompie-ku. Ada banyak tumpukan berkas yang harus ku-follow up setelah ini. Ahh… Balik lagi ke suasana kerja.

Lisa tak langsung menjawab malah melirik jam tangannya. “Papa bentar lagi mau datang… Pesawatnya baru mendarat dari Singapur… Kak Sandra bed rest sejak kemarin malam… Kesehatannya menurun… Menurut dokter yang menanganinya… ia harus bed rest total sampai hari melahirkannya… Umurnya sudah rentan untuk hamil dan melahirkan…” jelas Lisa mengelus-elus perut buncitnya sendiri. Mungkin berdoa agar kandungannya tak mengalami masalah seperti itu juga.

“Bed rest, ya?” ulangku merenung. Umur kak Sandra memang sudah di atas 35-an. Wajar kalo harus mengalami hal ini. Apa ini artinya pak Asui akan memutuskan siapa yang akan menggantikan kak Sandra sebagai Factory Manager. Pilihannya tentu saja aku sendiri yang diproyeksikan kak Sandra sejak beberapa bulan lalu, Lisa yang baru masuk nyemplung di industri ini ato malah orang baru sama sekali yang mungkin sudah berpengalaman di bidang ini hasil comot dari perusahaannya yang lain.

Singkat cerita, kami berempat berkumpul di ruangan direktur, pak Atam, yang notabene adalah adik pak Asui sendiri, yang tumben pagi begini sudah ada di ruangannya. Biasanya dia masuk kantor menjelang makan siang, abis mojok dimana gitu. Aku sendiri, Lisa, pak Atam dan pak Asui. Setelah basa-basi yang biasalah, keluar dari orang-orang bisnis ini…

“Sandra sudah sampaikan ke ai… ia nak resign… Notice-nya menyusul ASAP… Dan tinggalkan satu soalan penting… Who’s gonna replace her as ‘the’… Factory Manager?” ujar pak Asui sebagai pemegang saham tertinggi di perusahaan yang membuatnya punya wewenang mutlak untuk mengambil keputusan final.

“Lisa bisa, kan?” sambar pak Atam dengan senyum lebar. Gigi dengan veneer putihnya hampir membuatku silau dibuatnya. Setauku beberapa giginya sebelumnya ada yang terbuat dari emas. Tapi mendengar itu, pak Asui hanya tersenyum mendehem pelan.

“The most experienced… and the most competent… tentunya pak Nasrul yang selama ini sudah menjadi vice Factory Manager-nya Sandra… Pak Nasrul bahkan menguasai semua bidang di perusahaan ini sampai the smallest part, right?” ia menyanjungku sampe segininya. Aku harus bersiap-siap dibanting abis ini. “Lisa masih sangat baru in this industry… She’s barely green…” nyampur-nyampur terus bahasa ini bapak tua. Bingung aku ngartiinnya.

“Apalagi… dia juga bunting seperti Sandra…” anjay! Anaknya dikatain bunting. Kucing kale bunting. Hamil, cuy. Hamil. “That also mean… Lisa tidak bisa one hundred percent into this seperti harapan saya… dan perusahaan…” ia beralih menatapku tajam. Ada maksud tersembunyi di sana.

“Pak Nasrul… What’s your problem for the whole week? Okay… Saya ikut berbe-la-sung… my deepest condolence atas meninggalnya… your sister… I’m sorry for that… You… anda… terlalu banyak take a leave now and then… Terlalu banyak permisi tidak masuk kerja atas alasan pribadi… Personal excuses… Padahal jabatan anda sangat penting… so important while your superior also had this absence… Berganti-ganti pak Nasrul dan Sandra permisi tidak masuk kerja… That’s so annoying me… Ai… ai sangat terganggu karenanya…”

OK. Sedikit banyak aku udah paham apa maunya orang-orang ini. Prestasi tak dianggap. Dedikasi tak diindahkan. Loyalitas tak dihargai. Apa lagi yang kuharapkan. Tapi aku tak berkata apa-apa. Kata-kataku tidak akan ada artinya saat ini. Aku tak punya kuasa sebesar itu di sini di hadapan orang-orang ini. Aku juga tidak gila kuasa. Bila mereka masih mau aku bekerja selepas ini, aku akan tetap bekerja sebaik-baiknya seperti biasa.

“Jadi… siapa yang akan menjadi pengganti ci Sandra, pa?” ternyata Lisa tak sabar untuk segera menanyakan pertanyaan penting ini.

“Steven…”

“Steven?” suara Lisa melengking tinggi di ujung nama itu. Steven itu bukannya nama suaminya sendiri? “The hell?!… Excuse me…” ia berhenti. Menutup mulutnya. “Tau apa ia tentang industri manufaktur, paa?” Lisa malah mempertanyakan kredibilitas suaminya sendiri tentang mengelola perusahaan ini. Setauku, terakhir kali ia membentuk start-up berbasis keuangan dengan temannya di Singapur. Benar, sih. Kalo diarahkan ke direktur keuangan mungkin masih nyambung, jatohnya di bidang finance.

“Dia tentu bisa belajar… You juga sedang belajar di sini, right?” keukeuh pak Asui tak senang keputusannya dipertanyakan seperti ini. Ini mungkin salah satu caranya agar keluarga anak perempuannya utuh di tempat yang sama. Tidak seperti sekarang yang terpisah jarak antar negara. “Ai sudah bicara sama you punya suami… Dia setuju, tau…” aku malah gak konsen lagi dengan perdebatan ini. Aku malah merhatiin ekspresi pak Atam yang kek lagi nonton rally bola tenis meja, bolak-balik pak Asui dan Lisa yang masih berdebat tentang Steven.

“Keputusan papa ini rasis, tau?!” ledak Lisa.

“Lisa??” aku sampe ikut bersuara mendengar kata-katanya barusan. Aku gak menyangka ini sampe menyerempet masalah rasis segala. Tapi Lisa menyetopku, menghentikanku dari ikut menimpali pernyataannya.

“Papa tidak mau bang Aseng yang menggantikan ci Sandra karena dia orang pribumi, kan? Karena cuma penampilannya aja yang seperti Cina tapi bukan, kan? Bang Aseng sudah lama mengabdi di perusahaan papa ini, you know that… Bahkan dia tau lebih banyak seluk beluk perusahaan ini daripada siapapun… Dia yang paling kredibel dan tepat menggantikan ci Sandra… Dan perlu papa tau… bang Aseng sudah menyelamatkan keluarga kita…” Lisa sangat berapi-api. Aku malah khawatir akan kandungannya.

“What’s your point?” berkerut kening pak Asui mendengar kata-kata Lisa barusan mengenai menyelamatkan keluarganya.

“Lisa… hati-hati…” aku memberinya peringatan agar tidak kebablasan. Aku gak mau ia seperti Julio yang tak bisa mengerem mulutnya. Bisa fatal akibatnya. Lagi Lisa menghentikanku tanda paham apa yang akan diungkapkannya.

“Koh Albert… dan ci papahnya nenez syah dibunuh oleh Dewa Kera Emas sebagai tumbal kemakmuran kita…”

Waduh… Keluar juga masalah lama ini kembali. Pak Asui dan pak Atam tercekat kaget. Kedua orang ini memang langganan ke pekong di Pangkalan Brandan itu untuk berdoa mengalap berkah untuk kesuksesan usahanya. Tak bisa dipungkiri kalo jantungku berdebar kencang. Tak tau akan mengarah kemana bola panas ini. Apa saja bisa terjadi sekarang.

“Siluman dewa palsu itu juga mengincar Lisa dan Anne kalau papa mau tau… Lisa tak kunjung hamil juga gara-gara siluman monyet itu, paa…” hampir menjerit Lisa menyuarakan kegundahannya ini. Bisa dibilang, sumber malapetaka ini berasal dari orang tuanya sendiri dan Lisa menemukan panggung untuk memuntahkan semua uneg-unegnya ini.

“Bang Aseng… Bang Aseng-lah yang menyelamatkan Lisa dan membunuh siluman monyet itu!” ia menunjuk arah imajiner ke kejauhan dimana Pangkalan Brandan berada. “Kalau tidak… papa tidak akan punya anak lagi… Dimakan siluman itu!” tempat ini mendadak hening. “Dan papa sudah tega bertindak rasis pada orang yang telah menyelamatkan keluarga papa sendiri… Think about it!”

Oke… Sekarang kondisinya jadi aneh, saudara-saudara. Kenapa aku terjebak di masalah keluarga orang, ya? Keluargaku sendiri aja masih mau kutata ulang menuju yang lebih baik.

“But this is my decision… my decision sebagai kom-komisaris utama…” ia harus memastikan keabsahan titelnya di perusahaan ini dari secarik dokumen. “I’m not being a racist here… I’m just being a businessman… Tak ada masalah rasis… Murni… business…” ia berhenti. Mungkin ia teringat akan kiprahku menanam kepala kerbau di pondasi mesin tempo hari untuk menenangkan masalah supranatural di lingkungan pabrik ini. “Thank you… Terima kasih banyak… kalau pak Nasrul sudah menyelamatkan keluarga kami… Kalau itu semua benar…” tak iklas. Tak percaya juga ada.

“It’s all true, papa… Lisa ada di sana dan menyaksikannya langsung…” sambar Lisa berusaha meyakinkan ayahnya yang skeptis padahal terbiasa meminta berkah pada mahluk ghaib.

“Tahan! Tahan, Lisa… Sudah cukup semuanya…” aku mengangkat kedua tanganku kek mau takbir. “Maaf, pak Asui… pak Atam… Saya bicara sebentar, boleh?… Begini sebenarnya… Menurut kemauannya kak Sandra… ia pernah sampaikan langsung pada saya… Ia menyiapkan saya untuk menggantikannya karena ia sudah berencana resign jauh-jauh hari sejak mulai hamil… Ia akan resign begitu melahirkan… Hanya mengurus anak saja katanya… Kita hormati keputusannya itu… Hanya saja resign-nya dipercepat sekarang karena masalah bed rest ini… OK… Normal… Sayaaa… Saya gak perduli mau jadi Factory Manager, kek… mau tetap jadi wakil aja, kek… Mau balik lagi ke mesin… Mau diapain aja… Gak perduli… Saya masih dibolehkan bekerja… saya kerja… Apapun… dimanapun… jabatan apapun…”

“Bang Aseng punya perusahaan sendiri, pa…”

“Yaa… Makasih tambahannya, Lisa…” waduh si Lisa. Malah dibocorin masalah ini. “Saya dirut juga di satu SPBU… Adalah di sana itu… Dan dua perusahaan lainnya yang masih dirintis… Sama posisi kita pak Asui… komisaris juga… Investor tunggal kerennya…” Kadung basah, nyemplung sekalian membeberkan tentang perusahaan peternakan sapi milik Kojek dan otobus besutan Iyon.

“Masih merintis…” gumamnya tapi tentu aku mendengarnya dengan jelas. Mungkin meremehkan.

“Kira-kira perusahaan pak Asui ini kalo dijual… harganya berapa?”

Tamat

janda muda
Cerita dewasa ngentot janda muda yang kaya raya
Burung Jalak
Foto Bugil Abg Terangsang Nonton Video Bokep
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
Bercinta Dengan Anak Pak RT
bawahan sexy
Cerita cinta satu malam dengan bawahan di kantor
Foto Bugil Mahasiswi Bohay Siap Booking
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
Foto Bugil Gadis Abg Spa Setelah Ngentot
jilbab binal
Penisku dikerjai 3 orang gadis cantik berjilbab sekaligus
cewek lagi masturbasi
Menikmati masturbasi di kamar mandi waktu di rumah gak ada orang
toge sma seragam
Menikmati meki kakak kelas yang bikin ketagihan
dukun cabul cantik
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian dua
Foto Bugil ABG jepang Mikuro komori di gangbang temannya
anak angkat nyusu pada ibu angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian satu