Part #98 : Kuntilanak merah
“Burung Enggang itu?”
“Benar, maharaja… Ia menempel atau lebih tepatnya menumpang pada burung Enggang itu dan tinggal di dekat raja kerajaan Mahkota Merah itu selama ini… Mungkin takdir yang mengarahkan maharaja untuk mengincar dirinya—salah satu teman dari wadah asli maharaja… karena maharaja akan menemukan si khorin brengsek ini di Aseng…” ujar Citra memberikan kemungkinannya. “Hamba baru menyadarinya saat perang berlangsung, maharaja… Burung itu datang untuk mengirimkan sebuah senjata untuk Aseng… lalu ia langsung menghilang… Seharusnya bila burung itu adalah kawanannya… tentu ia akan membantu di dalam perang itu. Tapi tidak, ia langsung menghilang setelah mengirimkan senjata itu… Dia takut ketahuan…”
“Makanya hamba lalu diam-diam menyelidikinya… Sisa-sisa keberadaan kuntilanak merah yang maharaja beri nama Fatima itu sungguh membantu hamba untuk masuk ke dalam daerah kekuasaannya… Mantel rubah hitam itu menjadi jalan masuk hamba ke tempat itu… Di tempat yang sekarang gelap itu, dia masih berusaha bertahan…” lanjutnya.
Jin khorin itu tetap menatap Lord Purgatory dengan pandangan menantang tak gentar. Dirinya yang tentunya sudah lama tertular keberanian dan kewibawaan Panglima Burung merasa tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau sudah begini akhirnya. Persembunyiaannya selama ini akhirnya terbongkar. Lord Purgatory menyandarkan punggungnya dengan puas ke tahtanya. Tersenyum dikulum, ia tetap menatap pandangan menantang sosok inferior di hadapannya.
“Apa kau tau sudah berapa lama aku mencarimu?” ujarnya sambil bertopang dagu. Ia melirik ke sebelah kanannya. Sebuah dinding batu besar yang sangat tua muncul secara ghaib, dijaga oleh satu raksasa Batara Kala. Di sana ada tulisan-tulisan aksara kuno, entah bahasa apa yang dipahat mulai kabur di permukaannya. Tulisannya percampuran huruf dan gambar. “Kuhabiskan waktu untuk belajar dan mengumpulkan sumber daya…” ia menatap bagian tengah tulisan. “Teman adalah bayangan… Tau artinya dalam kebudayaan bahasa yang menyebalkan sekaligus indah ini?… Artinya teman adalah segalanya… Melebihi harta dan kemasyuran…”
“Sedangkan dalam hidupnya… ia menganggap tiga orang ini sebagai teman sejatinya… Jadi yang mana di antara tiga ini yang memegang kunci hidup kembali itu? Satu-satunya jalan adalah aku harus melakukan banyak hal dalam hidup mereka… Memancing mereka untuk menunjukkan keberadaanmu… Tanda-tandanya muncul di kalimat berikutnya… ‘Bara apinya ada di lima kelopak bunga surga’… Awalnya kami benar-benar tak tau apa itu bunga surga… Jadinya Iyon, Aseng dan Kojek kuberikan berbagai ‘cobaan’ yang setara… sembari menunggu munculnya kelopak bunga surga itu… Ketiganya terus menerus dipantau dan diawasi terus tanpa henti…” Lord Purgatory entah kenapa mau berbaik hati mengumbar semua motif aslinya ini. Sang jin khorin mendengarkan dengan seksama walau bermuka ketat. Mungkin khawatir kenapa akhirnya ia harus ketahuan seperti ini.
“Satu petunjuk yang sangat penting malah muncul dari satu spesies peri Padma yang sejak lama sudah mengabdi padaku… Patuh dan selalu kueksploitasi hingga nyaris punah populasinya… Salah satunya berceloteh tentang asal usul jenisnya yang merupakan deviasi peri murni berelemen api yang bernama peri Aruna… Peri Aruna adalah satu dari lima peri yang berasal pecahan cermin dewi kahyangan… Bukankah itu kebetulan yang sangat indah… Peri Aruna baru saja mengalami suksesi kepemimpinan dan lebih indahnya permainan ini—di tangan Aseng… Raja Mahkota Merah… Mungkin saja bunga surga ini akan muncul dari salah satu perinya-pikirku begitu…” ia semakin bersemangat untuk membeberkan semua rahasianya ini.
“Disini semuanya semakin menarik… Dari semua permainan ini… dengan segala macam intrik dan dramanya… berujung pada perang yang luar biasa dahsyat itu… Kau tentu sempat melihat sedikit bagiannya… Kau sempat hadir di sana walau sebentar… Kemenangan gemilang berkat pengamatan cermat dan seksama… juga perhitungan akurat… Hasilnya… lima kelopak bunga surga sudah kudapatkan…” Lord Purgatory mengulurkan telapak tangan kanannya, muncullah kelima permata peri itu mengambang perlahan, berputar-putar dengan anggun. Rubi api, safir biru, opal pelangi, bidara bulan, dan onyx hitam. “Bara api telah kudapatkan di tanganku…”
“Sementara… kau hanya tau untuk lari menjauh dariku… Jauh dan menjauh… Padahal waktu itu kita dekat, kan?” kata Lord Purgatory. “Saat Bobi masih hidup… sesekali kita sempat ngobrol… Hingga akhirnya Bobi lebih memilih untuk menyerah dari menemukan bunga surga ini…”
“Karena itu salah!” sergah si jin khorin. “Bobi tau itu dan tak meneruskan petualangannya mencari bunga surga tak berguna itu… Kau tau aku juga tak setuju dengan semua ini…”
“Itu karena kau bisa hidup abadi sebagai jin khorin… Lihat saja… selepas Bobi meninggal kau tetap hidup dan sehat-sehat saja… Tetap terlihat muda terperangkap di umur yang segitu-segitu saja… Lihat aku… Aku terpisah dengannya dan hidup begini… Hidup yang tak jelas eksistensinya… Bukan manusia, bukan jin—bukan APAPUN!!” Lord Purgatory menghentakkan kakinya hingga istana besar yang dihuni banyak mahluk ini terasa bergetar. Beberapa mahluk meringkuk ketakutan melihat emosi sang maharaja.
“Setelah berusaha sana-sini… yang terbaik yang kudapatkan adalah bisa mengenali aroma sambel terasi yang nikmat dari desa Kanci… Hanya mengendus… tak lebih… Kalau bisa… segala-galanya pasti lebih nikmat rasanya…”
—–oo0O0oo—–
“Kau tak perduli kalau kerajaan yang indah ini rusak, Cayarini?”
Peri berambut hitam dengan topi lebarnya yang sedang mengawasi ratusan telur miliknya yang melekat di sepanjang dinding gelap di gua bawah tanah ini. Gua ini tetap lembab dengan tetesan air dari langit-langit gua, menjadi habitat pertumbuhan telur-telur semi transparan dengan inti hitam pekat itu. Cayarini diam saja seperti tak mendengar.
Peri Aruna itu hanya perlu penerangan dari rambutnya yang mengeluarkan cahaya panas. Ia hanya datang sendiri dan mencoba membujuk sang peri Candrasa yang sempat dianggap membelot ini.
“Aku tak sepenuhnya setia, Astha… Aku sempat keluar… aku tau kau tau itu… Mungkin kau tak melaporkannya secara lengkap pada baginda raja… Mungkin kau terlalu berharap padaku… Tidak seperti Eka yang tegas, Dwi yang teguh dengan kata-katanya… dan Tri memikirkan kerajaan ini terlalu dalam… Baginda raja terlalu naif bisa menyatukan semua peri dalam satu kerajaan sebesar ini tanpa masalah… Aku tak sanggup mengatakan dirinya bodoh… maafkan aku…” ia tetap memunggungi pendatang di gua yang dibuat khusus untuk peri jenisnya.
“Aku sempat meminta perlindungan di kerajaan Istana Pelangi… aku ditolak… makanya aku ke Lord Purgatory… Sakit memang bertemu dengan peri rambut kelabu bernama Asweta itu… peri berambut ungu, Citra itu… Kalau tidak menyabarkan diri, sudah kusobek-sobek mereka dengan tangan besi hitamku ini… Lord Purgatory hanya menginginkan kelima batu permata peri itu saja… Hanya itu…”
“Tapi jadinya kerajaan Mahkota Merah hancur dan gelap, Cayarini!” sergah Astha agak meninggikan suaranya.
“Itu harga yang ditebus dengan mahal, bukan… Sebut saja aku egois… Bukankah ini ekosistem yang sangat tepat bagi kami peri Candrasa yang biasa hidup di kegelapan… Saat keturunanku keluar ke permukaan… mereka tidak akan membutuhkan topi lebar seperti yang telah dipilihkan baginda raja agarku tidak silau di luar sana…”
“Tidakkah kau berterima kasih pada baginda telah diberikan tempat seperti ini?” suara Astha tetap meninggi. “Kerajaan kalian sudah dihancurkan Lord Purgatory dan baginda dengan senang hati memberimu ini semua tapi kau… kau kembali ke Lord Purgatory lagi…”
“Dengan harga yang tepat tentunya… Setelah ini… Lord Purgatory tak akan mengganggu kerajaan Mahkota Merah ini selamanya… Ia juga akan mengembalikan semua batu permata peri itu begitu urusannya selesai… Baginda tinggal mengisi kerajaan ini lagi dengan peri-peri baru… Oh-kau tentu tau baginda suka sekali melakukan itu semua… Dan ia sangat ahli melakukannya—kau juga tau itu…”
Say what? Itukah kesepakatan yang dilakukan Cayarini dengan Lord Purgatory?
“Apa kau tau?….” suara Astha turun mereda. Ia mencoba meredam emosinya. “Apa artinya itu semua kalau baginda raja berubah menjadi orang asing yang menyebalkan seperti sekarang… Kami sudah berganti-ganti pemimpin dari berbagai kalangan yang sangat-sangat menyebalkan sepertinya sekarang… Tapi sebelumnya… baginda raja adalah raja yang baik… raja yang mengayomi kita semua… raja yang melindungi kita semua… raja yang memikirkan kesejahteraan kita semua… Kau pasti merasakannya… Kau yang sempat menjadi zombie malah diterimanya disini… mengesampingkan semua resiko, malah menerimamu…”
Cayarini hanya diam. Astha tak jelas bagaimana ekspresi peri Candrasa itu sekarang karena masih memunggunginya. Hanya tetesan air yang terdengar menggema sesekali.
“Lalu aku bisa apa? Aku hanya calon ratu yang tak bisa berbuat lebih dari ini…” pungkasnya setelah menarik nafas panjang. “Hanya calon ratu yang mendobrak semuanya secara egois sebaik yang bisa kupikirkan… Baginda raja sangat baik… Sangat-sangat baik malah… disamping sifat mesumnya itu tentunya… Karena itu ia sangat mudah diperdaya… sebab kebaikannya itu hingga ia salah menangkap sinyal bahaya itu dan menganggapnya sebagai kebaikan…”
“Bukan salah menangkap sinyal, Cayarini… Ia hanya melihat ada sisi lain dari bahaya dan lebih mengambil kebaikannya selagi ia mengatasi sisi bahaya-nya… Kalau kau sering berbincang dengannya… kau pasti akan tau cara pandangnya itu…” untuk pertama kalinya, Cayarini berbalik pelan-pelan. Cahaya terang dari panas rambut Astha menampakkan deraian air mata deras di mata peri Candrasa itu.
“Kau menangis…”
“Baginda telah menjadi manusia yang brengsek—karena aku…”
——————————————————————–
“Cherni duluan, ya?” kata Aseng yang mengocok-ngocok junior-nya agar semakin keras saja. Penisnya basah oleh liur tiga perempuan yang dijuluki Aseng sebagai perempuan 3R karena masalah pelik perasaan mereka satu sama lain. Panlok cantik itu mengkoreksi posisi berbaringnya di atas ranjang yang akhir-akhir ini mereka bagi bertiga. Ia agak mundur sedikit agar tepat berada di tengah ranjang sementara pria itu semakin mendekat.
“Pelan-pelaan-aah…” desah Cherni merasakan penis itu mulai menggesek-gesek belahan vaginanya yang merekah terbuka. “Pelaan, baang… uuh…” erang merintih Cherni yang sudah bertahun-tahun tak melakukan aktifitas seksual. Mungkin sempitnya menyamai perawan. “Mmphh…”
Aseng menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menusuk kemaluan sempit itu. Perempuan berumur yang memiliki vagina sempit seperti ini jelas membuatnya gemas bukan main. Walau basah akibat dirangsang sebelumnya, kaki dilebarkan maksimal tak juga mempermudah ini semua. Tapi bukan Aseng namanya kalau menyerah karena masalah itu saja. Beberapa jam lalu, ia baru saja memperawani perawan sebenarnya dan ia sukses menyetubuhi gadis itu hingga menjerit-jerit keenakan.
Dicabutnya si-junior dan diludahinya banyak-banyak lalu diratakannya ke bagian kepala gundulnya. Dicucukkannya kembali dan itu sangat membantu memudahkan perjalanan sang junior menembus vagina sang panlok cantik yang pasrah buat dibuahi. Kembali Cherni mengerang-ngerang saat batang penis Aseng mulai menembus perlahan tapi pasti hingga semua mentok ke pangkal. Permukaan selangkangan Cherni bersatu dengan perut bawah Aseng. Cherni menganga lebar tanpa suara dan mata sipitnya membelalak kaget. “Aahhh…”
“Mentok, ya?” pamer Aseng yang mendiamkan penisnya yang bercokol di dalam jalan kawin perempuan yang sedang mendambakan buah hati ini. Perempuan itu hanya bisa mengangguk beberapa kali membenarkan. “Kujamin Cherni bakalan hamil, nih…” imbuh Aseng mulai bergerak sesuai kaidah senggama yang sangat dikuasainya. Membuat para perempuan ini merintih-rintih keenakan hingga rela menampung semua bibit subur yang terbukti manjur.
“Aahh…” rintih Cherni tubuhnya mulai berguncang-guncang kala Aseng mulai menggenjot kemaluannya. Merinding-rinding rasanya tubuh binor panlok yang tak pernah disirami lebih dari 5 tahun ini. Tangannya mencari-cari pegangan dan menemukan lengan Aseng dan langsung menggenggamnya erat-erat. Aseng terus memompakan tubuhnya di atas perempuan itu. Seperti tak mengenal lelah pria yang berubah bejat ini dalam menikmati perempuan seharian ini. Dari siang di rumah janda Amei, sore memperawani Vivi dan malam ini bakalan menggasak tiga perempuan sekaligus.
“Enaaak, baang… Aah ahh ahh aahh…” erang Cherni terus menerus merasakan tubuhnya terus digenjot dengan hentakan kuat bertenaga dari pria perkasa di atasnya. Tak pernah sekalipun ia merasakan ini bahkan saat bersama suaminya dahulu. Seks yang dahsyat yang diberikan Aseng terlalu nikmat untuk pernah dibayangkannya. Awalnya ia hanya menduga akan menjadi seks yang biasa-biasa saja. Ini terlalu nikmat bahkan untuk menjadi sekedar khayalan. Gak sadar kalau ia semakin melebarkan kakinya semakin membentang, memudahkan sang pejantan gagah itu menggasak kemaluannya terus. Memantik-mantik rasa nikmat yang akan segera membuncah.
Hentakan-hentakan bertenaga Aseng memang bertujuan utama demi kenikmatan dirinya semata. Hanya saja selagi ia melakukan itu, sang betina juga merasakan kenikmatan yang luar biasa juga. Dua perempuan lain yang menyaksikan pergumulan itu; Neneng dan Aisa hanya bisa gelisah menggigit bibir menunggu giliran. Berharap Aseng segera menuntaskan Cherni dan beralih pada salah satu dari mereka berdua. Lipatan-lipatan vagina yang sudah mbleber basah. Pucuk-pucuk dada yang menegang. Degub jantung yang bertalu-talu hingga badan terasa panas dingin sekaligus. Tak tahan jari mulai menggelitik.
“AAaakkkhhh…” tubuh Cherni melengkung membentuk busur, melenting saat ia mencapai Nirwana-nya. Serasa terbang ke awan-awan saat tubuhnya terasa ringan dipenuhi hormon kenikmatan berjuluk Endorfin itu. Hormon yang efeknya serupa narkotika itu melambungkan tubuhnya ke langit tujuh. Tergial-gial karena sodokan Aseng tak juga kunjung berhenti sekedar memberi jeda. Melambung ke langit tinggi dan gak turun-turun. Tanpa sadar ia terus menjerit-jerit bak pemain bokep Hongkong yang terkencing-kencing orgasme.
Aseng membekap tubuh kejang itu dan mencumbui tubuhnya terus. Tubuh putih bersih bak pualam itu kemerahan dicupang di beberapa tempat strategis. Junior-nya tak henti dipompakan menggenjot-genjot, keras seumpama kayu. Gagah terus menggagahi binor kering tak pernah disiram pejuh lagi. Aseng mengejar kenikmatannya sendiri. Ia merasakan kalau binor ini punya kualitas yang prima yang layak untuk disiram berkali-kali dan lagi di lain kesempatan. Tak ada yang harus ditahan-tahannya dan tak perlu basa-basi karena kenikmatanlah yang nomor satu saat ini.
Junior-nya terus terasa diperas-peras selagi ia menggenjot saat perempuan cantik ini orgasme. Makanya ia tak bisa berhenti menggenjotnya lagi dan lagi. Ia fokus memandangi gerakan berputar-putar payudara bernoda merah karyanya yang terasa sangat artistik saat ini. Penisnya terasa membengkak dan ia mempercepat gerakannya. Sudah terasa bakalan mencapai puncak kenikmatannya sendiri. Apalagi sang binor sudah dapat duluan, pikirnya. Impas.
“Banngg… banngg… Aaakkhh!! Akhh!!” tak dinyana, Cherni malah orgasme lagi. Aseng mengernyit tak tahan. Junior-nya serasa diperas-peras oleh tangan yang lembut di dalam sana. Dihentak-hentakkannya perutnya pada selangkangan mulus basah itu.
“Croottt crooott crooott!” Aseng membiarkan semburannya langsung memenuhi uterus sang binor kering siraman kasih sayang ini. Sperma hangat kentalnya membanjiri vagina sempit Cherni. Membuat keduanya terbang ke awang-awang bersamaan. Keduanya berpelukan erat saling pagut mulut. Hembusan nafas panas berderu-deru perlu oksigen tapi masih harus mengekspresikan rasa nikmat itu dengan ciuman panas. Berkedut-kedut batang junior Aseng menguras semua isi muatannya untuk sang binor.
“Semoga lakikmu yang tak berguna itu gak usah balik lagi… Aku akan memuaskanmu kalo kau mau, Cher…” bisik gombal penuh muslihat itu keluar dari mulutnya. Tentu saja Cherni senang sekali mendengar tawaran itu. Ia benar-benar kelimpungan dengan rasa nikmat luar biasa yang diberikan oleh teman kuliahnya ini. Pria beristri yang prestasi menghamilinya tak usah diragukan lagi. “Mau?”
Cherni tak sanggup menjawabnya karena ia masih sibuk bernafas. Kenikmatan luar biasa ini sungguh membutuhkan asupan oksigen yang banyak. Jantungnya apalagi, berdentum-dentum kencang bagai rentetan ledakan kembang api saat perayaan malam Imlek. Kakinya hanya bisa mengangkang tak bertenaga ketika dikoreksi dengan ganjalan bantal di bawah bokongnya. Standar operasi menghamili Aseng pada belasan binornya. Tak bisa dicegah lelehan sperma yang mengalir keluar dari liang sedikit menganga vaginanya.
“Gak keberatan, kan… aku istirahat bentar? Aisa… chayank Cherni-mu ini luar biasa nikmat-loh…” kata Aseng yang duduk dengan lututnya di atas ranjang itu. Junior-nya belum benar-benar layu, hanya sedikit turun berkilauan bekas cairan sperma dan vagina. Ia bergantian menatap Cherni yang ngos-ngosan, vagina beceknya, Aisa dan Neneng yang berkali-kali meneguk ludah.
“Ah… Sepertinya kalian berdua gak sabaran gitu, ya? Baiklah kemari dua-duanya…” ia memanggil kedua binor antusias itu agar mendekat dengan kode tangan. Junior-nya mengangguk-angguk setuju. Keduanya bergegas merapat. Mata keduanya lekat menatap benda perkasa di antara kaki pria pejantan itu dengan tatapan takjub. Seharusnya dan biasanya, laki-laki akan langsung layu begitu bekerja sekeras tadi. Ini masih bisa lagi kayaknya.
“Kalian pilih yang mana aja terserah… Ini apa ini…” kata Aseng sembari membaringkan tubuhnya, menunjuk antara penisnya yang berlumuran cairan kental atau vagina Cherni yang sama saja. “Intinya sih dibersihin…” kata Aseng licik. Ia memanfaatkan rasa sange kedua perempuan itu mau memilih yang mana. Neneng yang cinta mati pada Cherni mungkin akan memilih membersihkan vagina wanita pujaannya, pilihan kedua adalah Aisa yang akan memilih dirinya. Yang mana saja akan sama saja nikmatnya.
Aisa dan Neneng datang mendekati dua onggok tubuh yang berbalur peluh sehabis memacu nafsu dan birahi itu. Seperti yang diprediksi, Neneng menyosor ke arah Cherni. Tidak ke arah kemaluannya tetapi mendekati wajahnya. Diciuminya wajah panlok cantik itu dengan mesra yang dibalas sebisanya karena ia masih lemas sehabis beberapa kali orgasme dan dipejuhin sperma kental juga. Tangan Neneng bergerilya dan menemukan gundukan payudara wanita pujaannya itu. Diremas-remasnya dengan mesra selagi mereka saling kecup dengan mesra. Keduanya berbisik-bisik, kemungkinan besar tentang rasa enak bersetubuh dengan satu-satunya pria di kamar ini—Aseng.
Perempuan 3R ketiga menyasar Aseng. Tangannya langsung menggenggam penis berlumuran sperma itu dan menyosorkan mulutnya ke mulut sang pejantan. Ia bisa merasakan gimana keras dan tangguhnya junior yang baru saja ejakulasi di salah satu dari mereka. Ia sudah tak sabar lagi untuk merasakan benda yang dipegangnya memasuki tubuhnya. Mulut dan lidahnya bergulat dengan serunya di dalam mulut Aseng. Tangan sang pejantan bergerilya dan stereo menjamah dua tempat sekaligus; payudara dan kemaluan perempuan Batak ini. Pentil dan bongkah teteknya sudah dipermainkan hingga memerah, klit dan lubang senggama sudah dicolok-colok pakai jari.
“Klen bertiga benar-benar hot kali, yaa…” kata Aseng di sela-sela permainan mulutnya dengan Aisa. “Tiap malam klen bertiga selalu begini, yaa? Kobel-kobelan… Ngocok-ngocokin tempek selalu, ya?” lanjutnya vulgar. Neneng dan Cherni hanya senyum dikulum karena itu semua benar adanya. Seperti yang sedang ia dan Cherni lakoni sekarang plus Aisa tentunya.
“Keren nanti keluarga klen… Mamanya ada tiga… Cantik-cantik semua… Anaknya tiga juga… Udah kek apa aja aku jadinya…” ujar si Aseng terus makin gencar mengocok vagina Aisa lebih ganas. Perempuan yang memeluknya ini hanya bisa mengaduh-aduh keenakan. Dua jarinya melengkung berkait menstimulasi bagian G-Spot binor ditinggal lakinya ini. Makin menggila rasanya pria itu dalam mengeksploitasi ketiga perempuan 3R ini.
Aisa sampai menungging-nungging hendak menjauhkan tangan Aseng yang makin cepat mengaduk kemaluannya. Hanya saja tentu ia tak mau melepas mangsa potensialnya ini dengan menahan bagian bokongnya. Tak diperdulikannya remasan berupa cakaran di kulit tubuhnya akibat menegangnya perempuan yang sedang dirangsangnya ini. Hanya bisa merintih-rintih erotis seperti kepedasan sambel level. “YAAaaahhh… Ahh… Aahhh…” dan akhirnya jebol juga si binor boru Siahaan ini. Cairan vaginanya menetes-netes bocor dari sana dan juga di jari Aseng.
Sang binor yang baru saja takluk dalam sergapan orgasme, hanya bisa memasrahkan dirinya mendekap tubuh Aseng yang sigap menampung tubuhnya yang berkejat-kejat tak terkendali. Sama sekali lupa dirinya tentang keberadaan suaminya yang mbuh entah dimana, hanya ada kenikmatan haram yang bakal direguknya bersama pria di pelukannya ini. Aseng mengelap sisa cairan ngecrit orgasme Aisa di sprei ranjang. Diposisikannya sang binor untuk duduk di pangkuannya, mengangkang.
Junior Aseng secara profesional langsung mencari posisi terbaiknya di posisi ini. Aseng mengangkat tubuh Aisa sedikit untuk mengepaskan junior-nya untuk memasuki perempuan kedua malam ini. Penisnya sudah bersiap dan kembali menegang maksimal untuk menggauli lahan anyar ini. Ia sudah sempat merasakan hangat lahan itu dengan dua jarinya dan pastinya akan sangat aduhai kalau memakai junior-nya. Bengkok-melengkung junior Aseng untuk menemukan lubang yang tepat di antara belahan bibir kemaluan yang ditumbuhi rambut pubis yang lumayan lebat. Junior-nya tergencet beberapa kali dan akhirnya menemukan target yang tepat.
“Mmmpphh…” desah Aisa merasakan kemaluannya mulai ditembusi benda pejal yang telah lama absen mengisi relung kewanitaannya. Keras junior Aseng mendesak, membelah dan melonggarkan liang sempit itu merekah terbuka menyambut dirinya. Aisa menganga mengerang merasakan dirinya seperti dikoyak dengan nikmatnya oleh penis suami orang ini. Mereka sama-sama milik orang lain dan malam ini sepakat untuk tak mengindahkannya dan saling bertukar kenikmatan bersama dua perempuan lainnya. “Aaahhhkk…”
“Penuh kaliii~~, bang…” erangnya menggeliat-geliat di atas pangkuan Aseng. Di lain pihak, Aseng merem melek merasakan junior-nya tenggelam di peraduan barunya yang ekstra sempit ini. Diperas-peras seperti gerakan kegel yang dilakukan Aisa, padahal itu hanya tindakan yang berusaha membiasakan ada benda asing yang menembus, mengganjal kemaluannya.
“Enak kali ini, ito… Parbada (bar-bar) kek kau rupanya enak kali~ ternyata…” Aseng masih merem melek merasakan junior-nya diremas-remas nikmat di dalam vagina si ito-ito boru Siahaan ini. “Cepat ngecrot aku keknya sama kau-lah…” sampe menggigit bibir si Aseng jadinya merasakan posisi memangku sang binor. Padahal belum ada pergerakan berarti sama sekali.
“Aauhhhh…” keduanya sama-sama mengerang. Akibat gerakan yang dilakukan Aisa akibat sanjungan yang diutarakan Aseng barusan. Aisa mencoba mengangkat bokongnya sedikit untuk mulai mengopyok penis nikmat yang mengisi dirinya. Aseng mencengkram bokong si ito dan melebarkannya merenggang hingga pantat bohay-nya mengembang. Alhasil junior-nya makin terjepit. Aisa makin tinggi, ia bergerak lagi.
“Plok plok plok plok…”
Aseng makin mencengkram bokong Aisa sementara tubuh keduanya rapat tergencet dekat. Payudara montok Aisa tergencet menekan dada Aseng bak air bag. Hanya perlu menggerakkan bokongnya, Aisa sukses menyiksa junior Aseng mabuk dalam kenikmatan. Ia yakin sekali bisa menaklukkan Aseng dengan cara ini sementara ia juga mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Salah suami pekok-nya yang pergi meninggalkan perempuan penuh potensi sepertinya demi hal yang absurd entah dimana. Kalo tidak tentu dirinyalah yang akan selalu menikmati kenikmatan syahdu ini.
Si durjana ini tentunya bukan pemain kacangan dalam urusan seks. Ia bisa menahan dirinya relatif jago. Apalagi itu semua ada kaitannya dengan olah nafas yang sudah khatam dikuasainya lewat berbagai teknik bela diri yang dilakoninya. Tetap seperti kelabakan tetapi persisnya menikmati dengan maksimal takala penisnya tergesek-gesek nikmat, palkon membentur benda kenyal yang merupakan mulut rahim sang binor, apalagi kenyal bokong yang diremas-remas, pun membal asoy air bag yang menggencet dadanya. Aseng hanya menikmati.
Aisa mengernyit karena ia salah perhitungan. Ia sendiri yang terperangkap kenikmatan ini. Klitorisnya tergerus terus menerus oleh tegak lurus meradang junior Aseng. Benda kecil bagian tubuh sensitif wanita itu terstimulasi tanpa henti seiring gerakan naik turun sang ito boru Siahaan. Tergesek berulang oleh batang penis Aseng yang keras berurat kasar. Apalagi gelitikan ujung kasar jembut sang pejantan terus menambah bahan bakar apa yang tak dapat ditahannya lebih lama. Lubang sun-hole mengetat erat, bongkahan pantatnya mengejang, isi lorong uterusnya mengatup, junior Aseng diremas brutal dan ia meneriakkan salam ke malam dunia yang panas.
“AAAAHHhhssss…” dirinya sendiri yang kalah.
Berkelojotan Aisa di atas tubuh Aseng. Ia berusaha melepaskan sumpalan benda keras panjang itu dari vaginanya tetapi Aseng tak mengijinkannya. Ia menikmati momen-momen junior-nya diperas-peras ritmis oleh lawan mainnya. Walau sebagai mana terlihat tersiksanya sang lawan didera kenikmatan, Aseng tetap menahannya. Alhasil penisnya semakin enak diperas serasa diblender dan semakin lemaslah Aisa jadinya mendapatkan kenikmatan tak terperi.
Melengkung punggung Aisa dimanfaatkan Aseng untuk mencucup bagian payudara montok besarnya yang tergelar indah di depan mata. Aisa tak dapat mencegah apa-apa saat mulut nakal Aseng menggelomoh kulit mulus payudaranya dan meninggalkan bekas merah cupangan. Entah kenapa sekarang Aseng gemar sekali meninggalkan tanda-tanda jejak mesumnya di tubuh para wanita ini sekarang. Padahal sebelumnya ia sama sekali tak menemukan faedah sama sekali dari melakukan perbuatan ini, hingga tak pernah dilakukan.
Dipandanginya karya, jejak-jejak eksistensinya di tubuh Aisa dengan puas. Bercak-bercak merah hasil ‘love bite’ itu menghiasi kulit payudara Aisa bak gigitan nyamuk prasejarah yang sangat nakal yang berupa ruam kemerahan di sekitar pori-pori kulit. Sedikit lagi menuju lebam karena luka ringan di jaringan kulit hasil sedotan berlebih mulut nakal. Tubuh Aisa kini rebah di ranjang dengan dada turun naik menghela nafas. Mulutnya menganga untuk udara yang berkualitas, diracuni nafsu. Junior Aseng dengan gagahnya masih bercokol setengah total panjangnya di dalam liang kemaluan Aisa.
“Ooohh…” erang sang binor saat Aseng menarik junior-nya sedikit, mulut vaginanya monyong tertarik gesekan kulit batang penis Aseng. “Aahh…” ditusuk masuk lagi. Licin permukaan lorong kemaluan Aisa tak banyak membantu gesekan menimbulkan friksi menggetarkan jiwa kedua insan yang tak disatukan status legal ini. Aseng mengulangi, menarik junior-nya dan lalu didorong masuk lagi. Ulangi lagi lagi, tarik dorong, ulangi lagi dan lagi. Irama suara Aisa semakin merdu. Parbada menurut Aseng yang dialamatkan ke binor ini mendadak hilang. Seharusnya si ito-ito ini garang sekali di segala aspek. Di tangan Aseng, ia tak lebih seperti seekor kelinci jinak yang pasrah dijagal.
Kaki Aisa, paha dan betisnya melingkar di pinggul Aseng. Paha mulus gempalnya dielus-elus dan diremas-remas oleh Aseng. Bergoyang-goyang teratur seirama gerakan sang pejantan, menarik perhatian dua binor lainnya. Sepasang tubuh berpacu nafsu ini dirubungi Cherni dan Neneng. Cherni antusias sekali melihat demenannya sedang disetubuhi dengan gagahnya. Matanya berkilat-kilat menatap junior Aseng yang keluar masuk lancar. Tangannya tak dapat menolak godaan untuk ikut menjamah, bergerilya dan menemukan payudara Aisa yang berguncang-guncang. Ia tak sendiri karena Neneng juga melakukan hal yang serupa. Keempat peserta pesta seks ini bersatu padu mencari kesenangan komunal.
“Hamil kau, ittooo~~” gerakan Aseng semakin cepat. Guncangan yang disebabkannya pada tubuh Aisa semakin menggila. Dadanya ditahan Cherni dan Neneng. “Hamil! Hamil!! UUhhh… Crooott crooottt crooott…” Aseng menghentak-hentakkan selangkangannya pada selangkangan Aisa hingga bulir-bulir keringat berjatuhan dari dadanya. Aseng sampai memejamkan mata erat-erat menikmati puncak kenikmatan tabu ini. Junior-nya memompakan bibit-bibit subur dalam baluran cairan kental putih beraroma seperti klorin itu. Setoran kandungan bergizi tinggi dari pelirnya membanjiri rahim Aisa yang terbuka menyambut apapun yang memasukinya. Harapannya, agar ada yang sukses membuahinya.
“Huuuhh! Sedaaaapp!” umpat Aseng setelah melepaskan junior-nya dari kemaluan Aisa. “Plak plak plak!” ia menepuk-nepuk permukaan ranjang kuat mengekspresikan kepuasannya setelah menggumuli binor kedua di jajaran 3R ini. Ditariknya nafas panjang sembari mengocok-ngocok penis sendiri, meratakan cairan yang masih tersisa lalu membersihkan tangannya kembali di kain sprei. Dipandanginya kedua binor yang telah digaulinya; Cherni dan Aisa yang sedang asik bercumbu. Bokong Aisa diganjal bantal oleh Cherni, meniru apa yang telah dialaminya.
“Mantap-mantap kali klen berdua… Aaa… Neng… Sini, Neng… Giliranmu sekarang, kan? Sini kubuntingi kau…” ujar Aseng memanggil binor ketiga yang sudah menanti-nanti dari tadi. Beringsut-ingsut Neneng meniti ranjang dengan lututnya, mendekati Aseng yang menatap rakus tubuhnya. Saat beringsut tentu saja susu montoknya yang bergantungan berguncang menarik perhatian Aseng.
“Aahh…” desah Neneng karena yang pertama kali dicaplok Aseng adalah kedua susunya. Mulut pria langsung menyosor dada kanan Neneng, memberangusnya ke dalam mulutnya sekaligus semuat-muatnya. Susu sebelah diremas-remas dan dipilin dengan rakus. Putingnya dipuntir-puntir agak kasar hingga Neneng teraduk dalam nikmat, geli dan perih sekaligus yang anehnya campurannya sangat ia suka. Membuat titik basah di kemaluannya semakin becek saja. “Enak, baannghhsssttt… Uhh… Mmhh…” mendesis-desi Neneng menikmati permainan Aseng pada payudaranya yang rindu belaian pria.
Aseng tak mau menyia-nyiakan kondisi, diarahkannya tangan Neneng untuk menyentuh junior-nya. Neneng langsung paham dan mengocok-ngocok sembari meremas gemas benda gemuk keras itu. Benda yang sama yang telah mengaduk-aduk dua rekan sekamarnya barusan. Ia takjub bagaimana benda jantan seperti ini masih bisa sekeras dan segagah ini setelah dua kali ejakulasi sebanyak itu. Permainan Aseng pada dadanya masih berlanjut, berpindah kanan kiri sesukanya. Ia juga tak kalah binal, ditarik-tariknya kejantanan Aseng untuk mengetahui sepanjang apa maksimalnya. Ia langsung ingin segera penis di tangannya ini mengaduk-aduk dirinya, seperti janji pria ini untuk menghamilinya. Ini sangat gila, bagaimana mungkin ide segila ini mampir pada mereka bertiga. Suami entah dimana, bagaimana mungkin mereka bisa hamil?
Neneng hanya bisa pasrah aja ketika Aseng melakukan sesuatu. Sepertinya pria itu memposisikan dirinya hendak melakukan 69. Tubuh Neneng rebah dan ditindih sang pria dengan kemaluannya yang muncul begitu dekat di depan hidungnya. Penis merah meradang itu kuat sekali aromanya. Perpaduan berbagai campuran yang sangat kuat. Ada aroma tubuh Cherni yang disukainya, ada aroma kemaluan Aisa juga apalagi aroma sperma yang bercampur dengan aroma cairan vagina juga. Kepalanya terasa ringan saat mulutnya membuka dan menyambut dengan senang hati kepala penis itu.
Dijilatinya dengan seksama penis itu dengan menambahkan ludah sepanjang penampangnya. Lidahnya menari-nari meratakan cairan ludah ke kulit batangnya yang licin mengkilap sarat pengalaman. Aseng di sebelah sana juga melakukan hal yang sama. Dilebarkannya kaki Neneng dan menenggelamkan wajahnya di selangkangan itu untuk menikmati hidangan ketiganya malam ini. Lidah dan mulutnya langsung sibuk ‘memakan’ kemaluan Neneng yang mengembang terbuka menyajikan diri. Bentuk indah dan menggemaskan kemaluan binor ini dicucup, disedot, dijilatinya dengan rakus. Klitoris dikutik-kutik dengan ujung lidah membuat sang binor berayun-ayun mengulum kepala junior-nya. Mulut keduanya yang sama-sama sibuk dengan lawan main, melenguh keenakan dari mulut lawan.
“Oooh…” rintih Neneng ketika mulut Aseng berpindah mencucupi pahanya, meninggalkan tanda merah. Seperti beberapa penanda lain di dadanya juga. Neneng menggelinjang geli setiap hisapan dan pulasan lidah Aseng bermain di pangkal pahanya. Ia sangat sensitif di bagian itu sementara jari-jari Aseng menjolok-jolok liang vaginanya, melonggarkan jalan kawinnya. “Ooohhh…” semakin banyak noda merah itu tercipta di bagian pahanya yang membuka lebar, vaginanya juga semakin basah. “Mlloohhhbb…” Aseng menjejalkan junior-nya ke dalam mulut Neneng dan mengocoknya. Binor itu kelabakan merasakan penis itu memenuhi mulutnya. “Mloh… mlohh… mloohh…”
“AAkkhhh… Auuhh… Auuuhh…” Neneng mendapatkan orgasme dengan permainan jari Aseng yang mengocok vaginanya dengan cepat dan bringas. Dua jari dicabut basah lepas berlumuran cairan vagina. Sebagai penutup, dirangkumnya semua kemaluan Neneng semuat mulutnya dengan sapuan panjang lidah merasakan rasa cairan orgasme perempuan terangsang abis itu. “Aaahhh…” Dikangkanginya kepala Neneng saat bergulir berpindah ke bagian kaki. Dibaliknya tubuh binor yang lemas tak berdaya tak bisa banyak protes. “Uuhh…” Bokong montok Neneng mencuat menjulang dengan kepala rebah lemas di permukaan ranjang. Aseng berniat men-doggie binor ini. Variasi dari dua kali ronde sebelumnya.
Lagi-lagi Neneng hanya bisa mengerang saat kemaluannya ditembus begitu saja menggunakan junior Aseng. Penis itu langsung dihentakkan hingga mentok ke dasar. Aseng memutar-mutar penisnya sebentar untuk sedikit menyamankan posisinya di dalam tubuh sang binor yang hanya bisa mendesah-desah mengerang pasrah disodok demikian. “Oouuhh…” rintih sang binor lagi kala Aseng menarik cepat lalu menghentak lagi.
“Cplukk!” diulangi lagi hentakan setelah ditarik hampir lepas sebatas leher. Binor ketiga itu hanya bisa terhenyak didera nikmat mengganjal di liang kemaluannya yang basah disumpal penis suami orang ini. “Cpluk cpluk cpluk!” berulang-ulang Aseng melakukan gerakan itu hingga perut dan bokong Neneng saling terus berbenturan seperti bertepuk tangan. Bergetar-getar tubuh Neneng dihentak tubuh Aseng yang sedang asik menggenjot dari belakang begini. Bokongnya menjadi alat jangkar mencengkram kedua tangan Aseng agar semua genjotannya tetap terarah. Ia menikmati bagaimana penisnya dijepit di liang sempit yang sudah lama tak dikunjungi pemiliknya ini. Aseng membayangkan, ia bisa bersenang-senang dalam waktu yang lama pada ketiga perempuan yang kini tinggal bersama serumah ini. Mereka pasti akan dengan senang hati menerima semua limpahan spermanya.
Terbayang ia juga dengan banyak binor-binor lain yang telah digagahinya dan dihamili sebelumnya. Ia bahkan sebelumnya sudah menikmati salah satunya menjelang siang tadi; Amei. Sebegitu banyak potensi kenikmatan yang dapat diraihnya dari sebegitu banyak binor yang tersedia. Membayangkan itu dan mengingatnya, membuat junior Aseng semakin mengeras dan enak di jepitan binor terbaru ini. Binor di depannya ini hanya bisa merintih-rintih keenakan disodok-sodok terus oleh penis sang pria. Neneng merintih kalau ia akan segera keluar. Aseng makin gencar menggenjotnya.
Tak lama, benar saja Neneng mengejang hingga junior Aseng terlepas paksa karena sang binor merebahkan badannya rata di ranjang awut-awutan ini. Bergelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan sang wanita merasakan badai kenikmatan itu menggila di dalam tubuhnya. Sentuhan kecil Aseng di kakinya bahkan terasa menyetrum tubuhnya, saat kakinya diarahkan untuk berbaring menyamping. Sebelum kembali melanjutkan, Aseng menyempatkan mencucup kemaluan Neneng dengan jilatan rakus lalu mengarahkan kembali junior-nya ke sarangnya.
Aseng memeluk pinggul membulat itu saat kembali meneruskan menggauli Neneng. Ronde ketiga ini relatif lebih lama dari dua ronde sebelumnya. Biasanya Aseng juga begitu. Semakin banyak jumlah persetubuhan yang dilakukannya, semakin panjang pula durasinya. Junior pria itu tetap meradang merah, keluar masuk dengan lancar dijepit ketat di posisi favoritnya. Di masa masih menjadi Menggala putih, ia suka posisi ini, dimasa sekarang juga tak ada bedanya. Secara sekilas, Aseng masihlah seperti itu. Tak ada yang berubah. Masih suka menggauli binor-binor dan bersenang-senang dengan mereka. Tapi jauh di dalam. Di dalam sana yang berupa hati itu, sudah sangat berubah.
Tanpa beban moral dan etika, ia santai saja menggoda janda galau yang baru saja ditinggal mati suaminya. Tanpa banyak pertimbangan ia menerima tawaran Vivi untuk membuka segel keperawanannya yang sebelumnya telah ditolak dengan berbagai macam modus. Tanpa memikirkan ‘luck’ yang sudah habis terkuras, ia melanjutkan perjanjian untuk menyetubuhi untuk menghamili ketiga perempuan 3R yang entah dari mana dapat ide ingin hamil walau suami entah ada dimana. Pertimbangan untuk mendapatkan keturunan dengan segera atas pertimbangan umur menjadi aspek pembenar yang terlalu dipaksakan harusnya. Mereka bersuami, terpisah jarak oleh berbagai redaksi masalah. Istilah teknisnya pisah ranjang. Bagaimana mereka akan menjelaskan pada dunia, anak siapa yang akan mereka kandung ini?
Neneng tergial-gial di tempat oleh sodokan lesakan junior Aseng yang terus menghajar kemaluannya dari belakang. Pinggulnya dipeluk dan diremas-remas gemas oleh sang pejantan. Ia melesakkan junior-nya berganti-ganti sudut tusukan. Kadang dari kanan, kiri atau tengah. Mengaduk-aduk kemaluan binor yang semakin tenggelam dalam kenikmatannya sendiri. Neneng sudah orgasme tadi sebenarnya, tetapi kenikmatannya itu terlalu samar untuk diketahui Aseng yang sedang asik dengan dirinya sendiri hingga terus saja menghajar Neneng dengan ganas.
“Aah ahh ahh… Haahh… Mpp…” tubuh lemas Neneg dibalik dengan mudah hingga berbaring mengangkang pasrah dan kembali ditusuk kembali dengan posisi standar ngentot. MOT. Aseng menggedor kencang dengan meletakkan kedua kaki sang perempuan di bahunya. Peluh bercucuran di tubuh keduanya. Matanya menjilati tiap inchi kemolekan sang binor, dadanya yang berguncang-guncang, wajah cantik memelasnya, kulit halus mulus berkeringat kilat, hamparan rambut yang kusut menyebar, rintihan seksi pasrah seorang wanita yang rela diapakan saja.
Dijilatinya betis Neneng dan dicucupinya dengan hisapan meninggalkan noda merah. Lagi ejangan lemah terjadi orgasme menerpa Neneng yang dilewatkan Aseng dan terus menggenjot. Neneng tak kuasa protes minta berhenti, hanya sanggup merintih. Ia hanya bisa merasakan kalau batang penis perkasa yang sedang mengaduk-aduk kemaluannya itu terasa semakin keras dan bengkak saja. Aseng menggenjot makin brutal dan cepat. Ia menggeram-geram dengan dengusan nafas panas. Gesekan kelamin keduanya semakin panas dan licin lorong kemaluan itu tak banyak membantu. Masih adakah sperma yang tersisa untuk giliran ketiga ini? Kalau dirunut, ini permainan seks kelima Aseng seharian ini.
“Uuurrhh… Uhh uhhh…” Aseng melenguh. Ia menghentakkan pinggulnya kuat-kuat hingga kemaluan Neneng gepeng digencetnya. Scrotumnya dipaksa mengeluarkan isi berharga berupa bibit-bibit mikroskopis subur berbalur cairan media kental itu ke dalam rahim sang binor. “Croott croottt crooottt…” Keduanya terdiam menegang. Aseng menikmati rasa enak dan lega yang nagih itu selesai melepaskan semua birahinya di tubuh perempuan cantik yang pasrah digagahinya. Neneng pun serupa. Merasakan kemaluannya disembur cairan hangat cenderung panas yang sudah lama absen dari hidupnya. Apalagi ini ada kemungkinan ia dapat hamil di masa suburnya ini.
Aseng membaringkan tubuhnya sembarangan saja di atas ranjang besar itu. Aisa dan Cherni yang sudah merasakan kegagahan sang pria dalam memuaskan mereka membantu sesamanya, pantat Neneng diganjal juga dengan bantal untuk menghambat sperma itu keluar terlalu cepat. Teori Aseng, biar rahim mereka terendam sperma itu agak lama untuk memperbesar prosentasi kemungkinan hamil. Dan sejauh ini, semua perkataannya benar. Belasan binor sudah hamil buktinya.
——————————————————————–
“Rumahnya dimana, bang~~?” tanya Benget.
“Gak jauh… Vivi udah tau, kok…” jawab Aseng duduk di ruang tamu itu setelah meletakkan minuman kaleng multivitamin itu. “Kenapa? Kau keberatan?” sergah Aseng tak merasa perlu menatap pria kemayu itu.
“Enggak-lah, bang… Kenapa pulak Bens harus keberatan? Cuma mereka itu masih magang di salonnya awak… Kalo terlalu jauh kan kesian merekanya… Mereka kerjanya naik apa? Pulangnya sama siapa? Gimana makannya? Itu-loh…” kata Benget sebenarnya yang merupakan kekhawatiran utamanya.
“Ini supaya mereka lebih mandiri… Lebih dipercepat mandirinya… Lagipula mereka bukan anak manja kalo klen mau tau…” alasan Aseng yang membuka kaleng minuman kesehatan baru dan langsung menenggaknya. Vivi hanya bisa diam saja melihat pria itu telah menenggak empat kaleng minuman itu dari tadi. Ia tau apa yang telah dilakukan pria itu seharian sampe malam ini. Ia telah mendapat laporan dari Ameng sebelum core-nya itu diusir oleh sosok perempuan berambut hitam, bertanduk dan bersayap bermata bersinar kuning—peri Anaga elemen api.
Aseng nyerocos kalo ia akan membantu keuangan keempat inong yang telah diberikannya tempat tinggal baru itu karena ia tahu gaji pegawai magang di salon itu sangat kecil, tentu tak akan dapat menyokong kebutuhan hidup mereka berempat. Kalau pergi dan berangkat kerja di salon, mereka bisa naik angkot dan berjalan kaki karena tempat tinggal baru mereka itu tidak terlalu jauh dari tempat mereka bekerja saat ini. Dengan berada di rumah sendiri tanpa bantuan orang lain, diharapkan mereka bisa lebih cepat beradaptasi dengan dunia nyata yang keras ini.
Tidak ada yang bisa Vivi dan Benget lakukan untuk mencegah Aseng untuk membawa keluar keempat gadis itu dari rumah mereka. Aseng menitipkan keempatnya di tempat aman ini agar dapat belajar mandiri. Aseng yang paling berhak menentukan masa depan keempatnya tetapi seharusnya tidak secepat dan sedrastis ini. Vivi tahu alasan utamanya tapi ia tak punya kuasa untuk membantah apa yang sudah jadi keputusan Aseng. Perjanjian mereka berdua sudah putus, perjanjian untuk menitipkan keempat inong itu dengan ganti petting. Vivi sudah mendapat apa yang diinginkannya. Seks.
Vivi menatap sahabatnya, pria kekar berprilaku gemulai itu untuk melakukan sesuatu. Ia berharap ada sesuatu yang bisa dilakukan Benget untuk menghentikan ini semua sementara keempat perempuan muda yang sudah dianggap adik-adik sendiri oleh Vivi sedang berkemas-kemas dengan berbagai barang bawaan mereka. Benget hanya bisa menggeleng-geleng tak sanggup. Air mata Vivi menetes.
“Sudah semua? Cut Cahya… Cut Masita, Cut Riska… Cut Intan? Semua pakaian, barang-barang kalian sudah dibawa?” Aseng menghampiri keempatnya yang masing-masing sudah menenteng dua buah tas travel besar. Sebagian besar berisi pakaian dan benda-benda pribadi. Keempatnya mengangguk. Wajah-wajah mereka sebenarnya enggan, berat berpisah dari Vivi dan Benget yang selama ini telah menampung mereka, mengajarkan banyak hal. “Ucapkan terima kasih pada Vivi dan Bens…”
Vivi malah memeluk mereka berempat dengan linangan air mata. Ia mengatakan berulang-ulang kalau ia akan sering-sering mengunjungi mereka di rumah baru itu. Benget juga ikut melakukan hal yang sama. Keempat inong itu juga sama menangis seperti mereka berdua, paham kesedihan berpisah seperti ini karena perintah seorang Aseng yang tiba-tiba memaksakan keputusan sepihak seperti ini.
Tas-tas itu dimasukkan ke bagasi belakang mobil dan keempat inong itu masuk. Cut Intan duduk di depan sementara tiga lainnya harus berdesakan di kursi belakang Jazz. Vivi hanya berdiri di ambang pintu dan Benget yang mengantar sampai teras depan sebelum Aseng benar-benar masuk ke dalam mobilnya. Aseng melirik ke arah Benget yang melambaikan tangannya dengan kaku.
“Rebut mereka berempat dariku kalo kau bisa… Jangan kek gitu terus kau…” ujar Aseng pedih terarah sebelum ia membanting pintu dan membawa keempatnya meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat bernaung, belajar dan tumbuh berkembang sebagai manusia utuh. Jangan-jangan sehabis ini Aseng akan menjadikan mereka sebagai… Ah… Apa kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat ini? Vivi sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada keempat perempuan muda itu di bawah penanganan Aseng langsung saat ini. Ia bisa merasakan perubahan drastis Aseng sekarang karena ia sudah melakukan pengorbanan besar. Tapi ia tak bisa menyesali keputusannya.
Tapi begitu masalah pil KB itu mengemuka saat kejadian krusial itu, ia langsung paham nasib dirinya dan keempat adik-adik angkatnya itu. Menjadi budak seks Aseng.
“Dia bilang apa tadi?” bisik lirih Vivi pada Benget yang sedang menghentak-hentakkan kakinya dengan kheki seperti ABG yang menginginkan sesuatu tetapi tidak keturutan. Matanya merah dengan pipi basah penuh air mata. Ia tak sanggup menyalahkan sahabatnya yang juga tak berdaya menahan keempat inong itu dari meninggalkan rumah ini.
“Dia-dia menyuruhku merebut mereka darinya~~… Aku bisa apaa??” kesal Benget dengan hentakan kaki terakhir menghempas. Seperti juga hempasan perasaannya yang jatuh ke lubang yang sangat dalam. “Maafkan aku, Vi… Aku gak pantas…”
“Bukan soal pantas ato enggak pantas, Benss… Masalahnya kau mau apa enggak?? Apa jadinya mereka berempat abis ini? Apa kata hatimu, heh? Apa kau gak marah? Marah, kan? Mereka udah seperti keluarga kita sendiri… Mereka diambil begitu saja, kau gak marah?? Kau sanggup??” jerit parau Vivi meluapkan semua emosinya. Tapi itu semua seperti sia-sia karena keempat perempuan muda itu sudah dibawa pergi dari rumah mereka. Selangkah menjauh. Entah perlu berapa langkah lagi mereka akan menghilang?
“Aku… aku ini apa, Vii~~? Aku ini apa?”
——————————————————————–
“Disini letak istana kerajaan kalian itu?” bisik Astha pada Cayarini yang mengawasi jalan masuk menuju ceruk tersembunyi yang merupakan pintu utama memasuki kerajaan Gua Kresna. Peri Candrasa itu hanya mengangguk membenarkan karena tak ingin mengusik dan menarik perhatian beberapa sosok tubuh yang berkeliaran di depan ceruk itu.
“Bukannya dengan begitu… lokasi tempat ini akan terekspos pihak lain, Cayarini?” bisik Astha lagi tak sabar. Ia mencabut sebilah anak panahnya hendak menghabisi zombie-zombie yang berjalan tak tentu arah terseok-seok. Zombie-zombie itu berambut hitam yang menandakan berasal dari kalangan peri Candrasa sendiri. Dicobanya untuk membidik satu yang paling dekat dengan lubang ceruk.
“Swisshhh…” panahnya melesat cepat dan tepat menancap di jidat sang mayat hidup itu. Tetapi di sekitarnya, zombie-zombie lain juga ikut terjungkal dengan kepala berlubang. Astha sempat menangkap kelebatan cepat benda hitam kecil-kecil yang berterbangan lalu menyatu kembali di tangan Cayarini. Ia mengendalikan tangan palsu yang terbuat dari besi hitam itu sebagai senjata jarak jauh. Jari-jarinya melesat sebagai senjata. Tubuh-tubuh yang hidup secara tak wajar itu bergelimpangan tak bergerak lagi.
Cayarini bergerak menuju ceruk itu dan langsung memasukinya celah tersembunyi itu. Astha yang terbiasa dengan hal-hal rahasia semacam ini langsung paham kalau itu adalah jalan masuk yang terlindungi dengan baik sekali karena ada beberapa trik yang harus dilakukan untuk memasuki tempat itu. Peri Candrasa itu memasuki mulut gua diikuti Astha di belakangnya.
Peri kegelapan itu menempelkan jarinya di bibir pertanda Astha harus menjaga suaranya karena ternyata di dalam gua ini masih ada beberapa sosok zombie lain yang masih berkeliaran. Kemungkinan besar terjebak di dalam sini tak menemukan jalan keluar. Astha harus menajamkan penglihatan dan pendengarannya karena tempat ini sangatlah gelap. Hanya kalangan peri Candrasa yang bisa sesukanya bergerak bebas di tempat ini karena terbiasa dengan kegelapan. Mengendap-endap keduanya bergerak sehalus mungkin dan sebisa mungkin tak menarik perhatian zombie-zombie itu.
Astha walau spesialisasinya adalah infiltrasi tempat seperti ini, tapi kegelapan yang hampir total memberatkan mobilitasnya. Ia lebih bergantung pada mengikuti semua pergerakan Cayarini yang dijaganya tak terlalu jauh. Bila ia kehilangan peri berambut hitam itu bisa dipastikan ia akan tersesat di labirin gua di bawah tanah ini dan terpaksa menggunakan cahaya dari rambutnya yang akan membuatnya ketahuan zombie penghuni gua ini. Sekali waktu bila memungkinkan, Cayarini membunuh zombie yang bergerak sendirian dengan melukai kepalanya.
Mereka berdua semakin jauh dan dalam memasuki kerajaan Gua Kresna. Astha berusaha mati-matian menghapal jalan-jalan yang mereka lalui tanpa meninggalkan jejak apapun. Tetapi terlalu banyak menemui percabangan jalan, persimpangan, jalan memutar dan bermacam-macam rintangan. Cayarini bergerak dengan lugas dan lincah di ekosistem naturalnya tanpa kesulitan berarti. Jauh dan semakin jauh memasuki bumi yang gelap menuju pusat kerajaan yang seharusnya sangat terlindungi dengan baik dengan hambatan alaminya. Bagaimana mungkin tempat semacam ini bisa ditaklukkan Lord Purgatory?
“Kita sudah sampai…” bisik lirih peri berambut hitam yang berperan sebagai satu-satunya peri Candrasa yang tersisa, calon ratu yang telah menelurkan 506 butir telur yang ditinggalkannya di gua bawah tanah di bawah reruntuhan istana Mahkota Merah. Ia membiarkan Astha memasuki sebuah ruangan besar—sangat besar di dalam labirin gua ini. Walau begitu, Astha tak dapat menaksir seberapa besar tempat ini tanpa menggunakan penerangan. “Tidak ada yang bisa masuk dan keluar lagi… Semua sudah kusegel…” kata Cayarini.
Aman bagi Astha untuk menyalakan elemen api miliknya yang sedari awal diredamnya, untuk menerangi tempat yang gelap ini. Ia langsung terperangah karena ternyata ruangan ini besar sekali. Langit-langitnya saja ternyata sangat tinggi dan dinding-dinding penyangganya juga saling berjauhan. Astha langsung menebak ini adalah ruangan tahta bagi pemimpin peri Candrasa. Hanya saja dalam keadaan berantakan karena kerusakan di beberapa tempat. Sepertinya telah terjadi pertempuran hebat disini yang diteruskan dengan serangkaian perusakan.
“Lord Purgatory dan kroco-kroconya telah melecehkan tempat ini… Tempat ini seharusnya adalah tempat yang suci bagi kita peri berelemen…” sergah Astha. Walau ia bukan bagian dari peri Candrasa, ia merasa marah dan tersinggung lokasi tahta dimana pemimpin peri yang berkuasa yang agung ini dirusak sedemikian rupa. “Mereka hanya mengambil bagian tertentu saja dari lantai di bawah tahta ini…” imbuh Astha yang menyadari semacam bentuk tertentu yang dirusak dan diambil oleh musuh. “Apa yang seharusnya ada di lantai ini sebelumnya?”
“Tulisan kuno yang hanya dimengerti oleh segelintir kalangan… Bahkan ratu kami sebelumnya-pun tak bisa menyeranainya… Apakah ini yang diincar Lord Purgatory bersama dengan permata-permata peri—onyx hitam kami?” tebak Cayarini memperhatikan lekuk pecahan di lantai yang hancur berlubang lebar. Tahta yang tadinya berdiri di atas lantai itupun dihancurkan dan dibuang sembarangan ke sudut dekat dinding sana. Demi sekeping besar lantai yang kini menghilang.
“Kalau begitu… dapat kusimpulkan, walau masih lemah… Musuh juga mengumpulkan fragmen-fragmen ini dari kerajaan lainnya… Dari cerita Eka dan Sas… keempat peri Agni itu juga sedang ditugaskan menghancurkan lantai di dekat tahta istana lama kami yang ada di bawah sebuah gunung berapi purba… Baginda raja dan Sas kebetulan memergoki aksi mereka itu… Mereka memanfaatkan peri Agni untuk menemukan lokasi rahasia istana pertama kami…” simpul Astha.
“Itu juga artinya mereka melakukan hal yang serupa di istana kerajaan Bukit Putih dan istana kerajaan Laut Biru… dan terakhir di Istana Pelangi yang runtuh di dalam kerajaan Mahkota Merah…” pungkas Cayarini melengkapi puzzle-nya.
“Ya… mereka menyamarkannya dengan membuat kegelapan di kerajaan dan mengambilnya dari Istana Pelangi… yang menyebabkan kekacauan parah ini… Baginda raja sampai berubah drastis begini…” sadar Astha. “Apa isi tulisan-tulisan kuno itu?”
“Sudah kukatakan… hanya segelintir kalangan yang mengerti tulisan itu… Hanya peri berambut kelabu itu yang bisa…”
“Peri kuno dengan berbagai sihir kuno yang mengerikan… Entah bagaimana musuh bisa mendapatkan kepercayaan peri menakutkan seperti itu?” kesal Astha karena lagi-lagi mereka terhenti di sudut yang tak berpengharapan lagi. Ia melirik pada Cayarini. “Kau tentunya masih dendam pada peri berambut kelabu itu, kan? Bagaimana kalau kita jebak dia? Kita korek keterangan darinya… Isi dari tulisan-tulisan yang ada di lantai-lantai batu yang telah mereka ambil dari kelima istana peri…”
“Itu bukan pekerjaan yang mudah, Astha…” henti Cayarini. “Asweta itu sangat kejam dan berdarah dingin tetapi sangatlah pintar…”
“Tapi kau telah dijanjikan akan mendapatkan kembali semua permata-permata itu… Itu bisa menjadi alasanmu mendekat kesana…” ingat Astha. “Itu bisa menjadi serangan balik dari kita… Mereka akan mengira kita mengincar maharaja-nya… padahal kita mengincar si peri berambut kelabu itu… Mereka akan kaget tapi itu semua sudah terlambat…” ungkap Astha. “Yang lain juga pasti akan setuju dengan rencanaku ini…”
Cayarini terlihat seperti ragu akan muslihat yang dirancang Astha, peri Aruna ini. Entah apa yang sekarang berkecamuk di dalam kepalanya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Astha tetap mendesaknya untuk melancarkan rencana serangan balik tiba-tiba ini dengan dirinya sebagai ujung tombaknya. Cayarini sepertinya juga setuju dengan usul serangan balik ini tetapi masih ada banyak hal yang membuatnya ragu. Mungkin jumlah kekuatan yang mereka miliki masih sangat jauh dari lawan. Apalagi bagindara raja mereka sendiri tak dapat diandalkan kekuatannya. Sang raja hanya sedang menebarkan bibit durjananya di merata-rata tempat—tempat lembab lagi nikmat.
—–oo0O0oo—–
“Kelen tentu kangen sama aku?”
“Kangeeennn!!” jawab mereka berempat serempak. Wajah-wajah masygul karena bisa berada di tempat yang sebebas ini tanpa ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Pria itu meletakkan kaleng minuman energi itu begitu saja di meja kecil yang ada di dalam kamar itu. Entah kaleng keberapa yang telah dihabiskannya malam ini untuk mengisi kembali energinya yang terkuras. Kandungan kafein, taurin dan multivitamin di dalamnya diharapkan Aseng akan mendongkrak kembali vitalitasnya untuk menggila lagi.
“Pil tadi sudah diminum, kan?” ujar Aseng yang sangat antusias sekali menjelang pertempuran terbarunya menjelang tengah malam, pergantian hari. Dari siang, sore, malam hingga menjelang tengah malam, ia terus mencoba mereguk kenikmatan dari hangat tubuh perempuan lagi dan lagi. Berempat, semua inong muda itu mengangguk-angguk telah menelan pil-pil KB yang disediakan Aseng begitu mereka sampai di rumah ini. Bahkan sebelum membereskan semua tas yang mereka bawa ke dalam lemari. Pil dahulu yang dipastikannya.
“Bagus…” pikirnya. Sudah ada waktu setengah jam setidaknya. Pil-pil itu seharusnya sudah bereaksi. Tak ada hal lain yang dipikirkannya selain hal ini. Ia juga tak ingin keempat perempuan muda ini hamil hingga merusak kesenangannya. Kalau perlu, sempat terpikir baginya untuk mensterilkan saja mereka semua hingga ia bisa bersenang-senang sepanjang waktu tanpa efek samping kehamilan yang mengganggu. Pastinya akan mengganggu penampilan yang sudah sempurna keempat perempuan ini. Apalagi biaya yang nanti harus dikeluarkannya bila harus mengurusi ibu dan anak-anaknya akan sangat banyak sekali. Sejauh ini, pil KB adalah pilihan yang paling cepat. Kondom bukan pilihan.
“Kalo kelen kangen aku… ayo kemari dan buka semua pakaianku…” lanjutnya kembali setelah menutup pintu kamar yang akan menjadi situs pergumulan Aseng kembali. Tadi siang, ia telah merenggut kesucian Vivi di tempat yang sama. Ranjang yang saat ini diduduki keempat Cut itu. Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan lalu dengan riang gembira menyongsong pria yang menjadi tambatan hati semuanya.
Aseng menjadi rebutan keempat perempuan muda yang bakal menjadi ladang pelampiasan semua nafsu durjananya. Tak puas-puas dirinya melakukan ini seharian. Tak diingatnya bahwa di rumah, ada keluarga yang sedang menanti kepulangannya. Tak diindahkannya keberadaan ibunya yang kini sedang ada di rumahnya masih dalam keadaan berduka. Bahkan acara Malam Ketiga tahlilan berpulang adiknya tak dihadirinya. Ia asik dengan dirinya sendiri dan kesenangannya yang membuatnya lupa segala-galanya.
Ia asik menggenjot, mengentoti, menggagahi, dan menyetubuhi keempat perempuan muda yang menggantungkan masa depannya pada dirinya. Keempat inong itu tentunya semakin bertambah lekat pada Aseng setelah dipindahkan ke tempat seperti ini tanpa pengawasan siapapun. Sebelumnya, Aseng akan mikir panjang untuk menggauli keempatnya, entah segan atau enggak enak sama empunya rumah. Tapi kini, hanya ada mereka berempat yang ada di rumah itu. Tentunya ia merasa sangat bebas dan merdeka. Aseng dan keempat inong itu berpesta seks sepanjang malam hingga menjelang dini hari.
Pagi-pagi bangun terlambat karena kelelahan, yang dikonsumsinya kembali adalah minuman kesehatan itu lagi. Kaleng-kalengnya berserakan di beberapa sudut rumah. Tapi ia merasa tak cukup. Ia pergi keluar rumah bermaksud membeli jamu kuat saja. Jam segitu belum ada toko obat kuat yang sudah buka, pun pedagang jamu yang kerap mangkal di persimpangan jalan…
“Halo?”
“Halo, Seng-ah… Lu orang gak masuk lagi-hah?” tembak langsung Sandra di ujung sana. Nadanya sepertinya kesal karena Aseng membolos lagi hari ini. Total dua hari ia mangkir jadinya. Seharusnya jatah libur berkabung yang diberikan perusahaan hanya dua hari saja. Ini melar sampe empat hari sudah.
“Kak Sandra… Aku masih dalam masa berkabung nih, kak… Bisa gak aku libur seminggu aja… Masih ada urusan yang harus kukerjakan dulu, kak…” jawab ngasal Aseng asal keluar aja yang penting ia tidak masuk bekerja hari ini dengan entengnya. Padahal ia membayangkan akan menghajar keempat inong itu lagi sepuasnya seharian ini hingga malam kalau perlu. Ia tak puas-puas menggagahi keempat perempuan cantik itu. Saat ditinggal tadi, keempatnya masih tepar kelelahan habis digempur entah berapa ronde semalam suntuk.
“Kasian Lisa-loh, Seng… Itu anak udah abis-abisan tiga hari ini nge-cover kerjaan lu yang bertumpuk… Lagian itu anak juga bunting-loh… Gak kasian, lu?” lanjut Sandra yang mencoba bersabar dengan sikap ngeyel pria satu ini. Ia sudah sering berdebat dengannya tetapi tak pernah ia merasa sekesal ini.
“Masih repot-loh kak ini… Bisa-la si Lisa itu ngerjainnya semua… Yakinlah…” sahut Aseng yang tak perduli. Matanya yang memerah masih ngantuk berkendara sepagi ini untuk mencari suplai kebutuhan seksnya. Matanya tertumbuk pada penjual telur di pinggir jalan yang ramai dikerubungi ibu-ibu. Ia langsung menepikan mobilnya. Masih menempelkan bagian speaker HP ke telinganya ia langsung ke bagian yang menjual telur bebek. Satu papan (rak) telur bebek itu diambilnya dan dibayarnya kemudian kembali ke mobil.
“Yakin lu cuma seminggu aja?”
“Yakin, kak… Cukup seminggu… Makasih, kak…” ia langsung memutus hubungan dan berkendara lagi. Tapi satu sambungan telepon masuk lagi ke nomornya dan langsung diangkatnya. “Halo?”
“Papa kok gak pulang-pulang, sih? Ibu udah nanya-nanya terus nih… Mama jawab apa?” ternyata istrinya Aseng yang menelpon kali ini karena keluar rumah sejak kemarin dan hingga berganti hari belum juga pulang.
“Mama bilang apa aja terserah-lah sama ibu… Papa lagi sibuk ini… Masih banyak yang harus diurus…” jawab Aseng ketus. Padahal urusannya hanyalah vagina-vagina nikmat perempuan saja dari kemarin. Ini lagi dia belum puas dan bermaksud melanjutkan kegilaannya pada keempat inong yang ikut-ikutan bolos kerja magang di salonnya Benget. Mendapat suplai sumber energi baru dari telur bebek, doping yang biasa dikonsumsinya, Aseng percaya diri dapat mengembalikan semua vitalitasnya lagi.
“Papa mau membalas orang-orang yang telah menyantet Selvi?” tebak istrinya di sana. Wanita itu bukan setahun dua tahun mengenal Aseng, tentu ia tahu persis perangai pria yang kini telah menjadi suaminya. Apalagi ia tahu persis Aseng punya kemampuan untuk itu. Ia tahu persis duka yang membekas di jiwa pria itu. Ia punya kemampuan untuk membalas perlakuan biadab orang-orang itu dan ia bermaksud membalasnya.
Aseng diam saja tak menjawab apa-apa.
Pikiran itu ada jauh di dalam otaknya. Hanya saja saat ini, ia sedang mengalihkan fokusnya pada perempuan saja. Teruntuk perempuan saja. Sebisa mungkin ia harus memuaskan dirinya, sepuas-puasnya. Ia harus menenggelamkan dirinya dalam kegelapan kenikmatan tabu ini. Mereguk sebanyak-banyaknya.
Diputuskannya telepon dari istrinya itu secara sepihak. Tentu saja di seberang sana, perempuan itu jadi kebingungan dibuatnya. Ia bingung dengan prilaku, perangai dan tingkah suaminya beberapa hari ini. Aseng terlalu banyak berubah. Perubahan drastis. Ia menyabar-nyabarkan diri dengan mengatakan pada dirinya kalau itu akibat musibah tragis ini. Aseng masih syok. Biarkan ia menenangkan dirinya dahulu. Jangan terlalu ditekan dan didesak. Hal semacam ini pasti ada.
“Berapa lama lagi, Cundamanik?” tanya Aseng entah pada siapa. Mungkinkah pada sosok peri Anaga berelemen api itu? Sebab secara tak kasat mata, peri berwarna hitam dengan aksen jingga kemerahan itu selalu ada di sekitar Aseng, seakan bodyguard. Saat ini peri itu duduk dengan manisnya di kursi penumpang di samping Aseng. Bukan orang sembarangan yang dapat mengetahui keberadaannya. Aseng sepertinya sudah memberi nama peri Anaga itu dengan nama Cundamanik yang artinya permata terbaik. Aseng menganggap peri Anaga ini lebih hebat dari semua peri-peri yang pernah mengabdi padanya.
“Segera, baginda… Lebih banyak lebih baik…” jawab peri bertanduk itu dengan senyum licik.
“Metodemu boleh juga…” ujar Aseng yang asik berkendara untuk menuju kembali rumah dimana keempat inong itu berada.
“Dari ketiganya… Kesedihan dan kemarahan baginda sudah tak perlu dipertanyakan lagi… Dan sepertinya… bagian nafsu ini tak akan pernah penuh mengisi wadah baginda raja yang perkasa…” ia mengejek bagian ‘perkasa’ barusan. “Hanya saja baginda hanya memakai cara-cara biasa untuk mendongkrak keperkasaan baginda… Usulan hamba selalu baginda tolak… Padahal usulan hamba ini praktis meningkatkan dan menambah vitalitas pria hingga level tertinggi…”
“… dan perempuan-perempuan cantik itu takut padaku… Kapok dan gak mau lagi… Bukan begitu cara kerjanya, Cundamanik… Segini saja sudah cukup tau… Atau… kau tertarik juga untuk mencobanya?” pungkas Aseng yang masih asik mengendarai mobil di jalanan pagi menjelang siang ini. “Aku gak yakin kalo cuma boleh ada satu peri Anaga yang boleh hidup dalam satu waktu…”
“Itu insting kami, baginda… Kalau tidak… dua peri Anaga akan bertarung dan saling bunuh sampai ada yang mati… Pemenangnya yang hidup…” jelas Cundamanik tentang hanya ada satu peri Anaga tiap waktunya.
“Walopun itu adalah perintahku?”
“Walaupun itu adalah perintah baginda raja…” jawabnya menegaskan.
“Akan kita liat itu nanti… Kita liat…” Aseng sepertinya sedang merencanakan sesuatu lagi pada peri Anaga itu. Peri yang bisa berubah menjadi naga itu. Sudah mampukah ia berubah?
“Apakah baginda berencana untuk melakukannya pada hamba juga?” ada sedikit nada khawatir di suaranya yang coba disembunyikan. Aseng hanya manggut-manggut seperti sedang mendendangkan irama satu lagu. Pikiran mesumnya tak dapat ditebak saat ini bahkan oleh Cundamanik sekalipun. “Hamba baru saja lahir baginda… Belum berkembang sepenuhnya menjadi Anaga utuh… Kita sedang mengusahakan itu semua…”
“Sudah kubilang kita liat nanti, Cundamanik… Jangan bilang kau masih perawan-lah… Masih kecil-lah… Apa macam-lah… Liat nanti kataku…” ujar Aseng masih misterius sembari memutar setir untuk berbelok memasuki halaman rumah dimana keempat inong itu masih tidur kelelahan. Aseng masuk rumah, membangunkan keempatnya, menyuruh masak untuk sarapan yang bahan-bahannya sudah dibeli, beres-beres rumah lagi dan kemudian bersiap untuk kembali digarap habis-habisan.
Setelah menyuruh keempatnya menelan pil KB itu lagi, lagi-lagi Aseng mengentoti keempat inong cantik itu dengan berapi-api. Mendapat berbagai suplai suplemen setelah absennya kelima permata peri yang sempat menjadi alat keperkasaannya. Aseng tahu diri ia telah mundur beberapa langkah dari segi keperkasaan dan memaksakan diri melompat naik lagi dengan menenggak berbagai minuman energi, minuman kesehatan bahkan sepuluh butir telur bebek sekaligus. Walau itupun tak cukup sepertinya.
“Ahh ahh… ahh ah ahh ahh…” desah lemas Cut Intan yang sedang disodok-sodok dengan cara menungging. Kedua tangannya ditarik ke belakang seperti tali kekang kuda dan dikendarai dengan cepat menghentak-hentak. Di kanan, kiri dan depannya bergelimangan tiga perempuan muda lainnya yang sudah semaput paska digasak Aseng sebelumnya. Bagian kemaluan mereka masih meleleh sperma kental puas ditembakkan sang pejantan. Kali ini misi Aseng bukan untuk menghamili, hanya bersenang-senang sekaligus tujuan lain. Sekali mengayuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Habis-habisan Cut Intan digasak terus menerus dari belakang gaya anjing kawin. Junior Aseng melesak cepat memompa kemaluan sempit yang telah diperawaninya beberapa waktu lalu. Aseng menggila merasakan nikmat tubuh bongsor perempuan muda yang baru saja belajar peradaban modern ini dan langsung disuguhi kenikmatan seks duniawi oleh penyelamatnya. Tak mengetahui itu benar atau salah, keempat Cut itu malah menikmatinya saja. Sempat mulai kehidupan yang benar lagi normal di kediaman Vivi tetapi dicerabut kembali dan masuk ke kegelapan hati Aseng yang baru.
Beberapa kali hentakan penuntas dilesakkan Aseng sebagai penanda ia telah mencapai klimaks pemuncaknya. Menggeram-geram sang pejantan saat disemburkannya sperma yang kian menipis saja. Hanya sedikit sperma yang dihasilkannya di ronde entah keberapa ini. Padahal matahari baru saja mencapai titik singgasana tertingginya.
Sang inong terjerembab lemas dengan nafas berat. Peluh membasahi sekujur tubuh mereka. Pendingin ruangan bekerja keras untuk menyejukkan tubuh-tubuh lelah itu. Aseng menelusupkan tubuhnya yang lelah ke belakang Cut Intan, ditariknya Cut Cahya ke belakangnya dan dinikmatinya puas-puas kenikmatan dikelilingi banyak perempuan cantik sekaligus. Sebelum memejamkan mata terlelap, ia teringat nanti malam akan menyambangi kembali ketiga perempuan 3R itu lagi.
Alangkah indahnya hidup saat ini bagi Aseng…
——————————————————————–
“Ada perlu apa dirimu datang kemari?” tanya Citra di depan gapura sebelum memasuki istana. Peri berambut ungu itu diberitahu para prajurit penjaga gerbang pertama kerajaan bahwa ada tamu yang ingin menemui Maharaja Lord Purgatory. Sosok itu tak berbeda dari terakhir kali ditemuinya. Citra sedikitpun tak melepaskan kewaspadaannya. Peri penuh perhitungan rumit itu menilai banyak hal atas kemunculan sosok ini.
“Tentu saja menagih janji Maharaja…”
Mendengar kalimat itu, tak ada alasan lain bagi Citra untuk menahannya lebih lama. Ia memberi tanda agar para prajurit penjaga gapura membiarkan sosok itu melewati gapura pertama. Citra menunjukkan jalan untuk mengantar sang tamu untuk menemui sang maharaja yang sedang melakukan sesuatu di paseban agung istana. Ia sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang sepertinya cukup akrab. Mendapati Citra yang memasuki ruangan bersama satu tamu, percakapan itu terusik.
“Tamu hendak menagih janji, maharaja…”
“Ah… Selamat datang… ratu peri Candrasa… Sudah seharusnya begini… Ratu Cayarini…”
Benar. Cayarini yang datang sendirian ke kerajaan Lord Purgatory yang terletak di dalam lapisan tertentu hutan Alas Purwo yang angker. Cayarini yang sepertinya, entah bagaimana mendapatkan status baru yang diakui maharaja berwujud core itu sebagai ratu peri Candrasa. Bukan lagi calon semata.
“Perjanjian kita, maharaja…” hanya itu saja yang hendak ditagih Cayarini pada Lord Purgatory.
“Tentu saja, ratu Cayarini… Tentu saja… Saya selalu menepati janji… Lagipula saya tak membutuhkan kelima kerikil ini lagi… Urusan saya denganmu sudah selesai…” ujar sang maharaja. Asweta datang mendekat dengan membawa sebuah wadah semacam baki. Lord Purgatory meletakkan kelima permata peri itu ke baki itu dan peri berambut kelabu itulah yang bertugas menyerahkan kelima permata peri itu pada Cayarini.
Walau coba tak menampakkannya, muka ketat Cayarini tak bisa bohong. Ia jijik sekaligus dendam sekali pada peri manis berambut kelabu yang berjalan perlahan menghampiri dirinya membawa senampan penuh lima permata peri yang dikembalikan padanya. Cayarini menyimpan dendam kesumat pada peri bernama Asweta itu karena telah menyebabkan seluruh mayat peri kerajaan Gua Kresna menjadi zombie laknat setelah pertempuran berdarah. Entah keajaiban apa yang terjadi hingga ia bisa setengah zombie saja sementara yang lainnya menjadi zombie penuh.
“Silahkan…” cetus Asweta dengan manisnya menyerahkan baki itu pada Cayarini. Yang pertama kali dikutipnya adalah onyx hitam yang sejatinya adalah warisan miliknya. Ia meredam dendamnya tepat di depan peri rambut kelabu itu. Digenggamnya erat-erat permata utama peri Candrasa itu dengan tangan terkepal.
“Boleh tau sedikit?” serobotnya begitu Asweta beranjak hendak menjauh. Peri berambut kelabu itu berhenti dan berbalik. Kepalanya miring sedikit hingga rambut kelabu indahnya bergayutan indah di bahu dan punggungnya. “Kenapa aku tidak menjadi zombie seperti saudara-saudaraku yang lain? Kenapa hanya aku yang tersisa?”
“Mm… Itu karena…”
“Biarkan maharaja-mu ini yang menjawab itu semua… Asweta?” Lord Purgatory menghentikan penjelasan dari peri penyihir berambut kelabu itu. “Satu pertanyaan yang juga berharga jutaan dollar… Itu pertanyaan yang sangat penting, bukan?” sang maharaja duduk kembali ke singgasananya dan menyamankan diri.
“Semuanya sudah di-plot sedemikian rupa dengan susunan orkestra yang sangat indah, kamu tau? Kerajaan Gua Kresna memiliki fragmen yang merupakan bagian dari cermin dewi kahyangan… seperti juga yang dimiliki kerajaan-kerajaan lain… Maka daripada itu menguasai kelima-lima kerajaan peri yang berasal dari pecahan cermin itu adalah langkah awalku… Tentunya untuk mendapatkan bara api itu harus juga mendapatkan kelopak bunga surga terlebih dahulu… Kelima kerikil itu…”
Cayarini mengernyit. Ia hanyalah pion kecil dalam plot besar yang disiapkan Lord Purgatory dalam apapun rencana yang tengah disusunnya ini. Ia sengaja tidak dijadikan zombie sepenuhnya hingga berbagai pengaturan dan jalan hidup yang disiapkan untuknya mengarahkannya ke kerajaan Mahkota Merah milik Aseng.
“Berikutnya adalah lima bunga yang sangat indah dan cantik-cantik ini… Kau mungkin mengenali mereka… Baginda rajamu dengan simpelnya menamai mereka sebagai Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati…” ia berhenti sebentar. “Ahh… Kamu tak mengetahui bagian ini karena saat itu kamu sudah pergi bersembunyi… Intinya mereka adalah para champion dari tiap jenis peri berelemen alam ini… Pemuncak semua kekuatan dan keindahan yang pernah dianugrahkan dewi kahyangan ke bumi ini… Hanya saja hikayatnya cermin itu pecah berkeping-keping… dan menjadi pionir-pionir kalian di masa lalu… Ribuan tahun lalu mungkin…” ia melebarkan tangannya. Dari sudut-sudut istana, kelima bunga yang merupakan peri kasta tertinggi, yang merupakan keturunan ajaib dari Eka—yang dibicarakannya itu muncul.
Cayarini merasa terancam. Ia melirik pada kemunculan lima peri kasta tertinggi yang sesuai pemberitahuan Astha, telah menyerap ratu-ratu yang sempat bertarung sengit di perang penentuan kerajaan Mahkota Merah melawan pasukan kerajaan Maharaja Lord Purgatory yang dimenangkan pihak lawan dengan gemilang. Sejauh ini, para bunga yang merupakan peri kasta tertinggi itu telah berhasil menyerap ratu Pancaka, ratu Lawana, Ratu Kanaka dan ratu Nirada. Ketiadaan ratu dari kalangan peri Candrasa membuatnya belum lengkap.
Kedatangannya kali ini sepertinya sangat salah. Salah langkah. Ia menyerahkan dirinya pada musuh untuk diserap juga karena saat ini ia sudah lengkap dengan status ratunya.
“Saat saya sudah memiliki kelima kuntum bunga indah ini lengkap dengan kelopaknya… sang bara api surga ini akan muncul, tentunya…” Lord Purgatory sepertinya sangat antusias dan bersemangat sekarang. Ini salah satu lembar partitur yang paling penting dalam orkestranya. Dimana setelah segala macam set up, persiapan, intrik dan tipuan yang disiapkannya, akhirnya mencapai momen yang indah ini. Terus Lord Purgatory membanggakan keberhasilannya, pencapaian gemilangnya. Cayarini tak dapat sepenuhnya mendengar bualan mahluk itu karena ia harus terus waspada akan gerakan kelima peri kasta tertinggi itu. Apalagi gerak-gerik Awyati yang paling agresif.
“Kamu tau… Saya berasal dari pria ini… Bukan… saya bukan jin khorin seperti yang sudah kami cari-cari selama ini…” ia menunjuk pada sosok pria yang duduk di sebuah kursi yang diletakkan di depan tahtanya. Dari tadi ia sedang ngobrol dengan pria itu. Sosoknya adalah seorang pria yang bila ditilik lebih cermat lagi merupakan bentuk dewasa matang Bobi Putranto. Lebih dewasa dari pada sosok yang ditampilkan oleh sosok jin khorin-nya telah ditangkap pihak Lord Purgatory. “Pria ini telah meninggal dunia belasan tahun lalu… Mayatnya telah mengering terbujur kaku di peti jenazah itu… Dan kami telah berhasil membangkitkannya kembali dengan menggunakan jin khorin-nya… tentunya dengan bantuan gabungan pecahan cermin dewi kahyangan ini…” tunjuknya pada dinding batu kuno dengan banyak tulisan tak dikenal itu.
“Tubuhnya kembali hidup… Mencapai bentuk sempurnanya… Seorang manusia yang sempurna…” ia berdiri lalu berlutut dan memegangi tangan jasad Bobi Putranto yang hanya bisa duduk diam tak bergerak. Lord Purgatory sangat bersemangat. Ia seperti telah mendapatkan apa yang selama ini ia idam-idamkan.
“Wadah yang tepat bagiku… untuk menjadi sempurna…” desisnya puas.
Cayarini melotot mendengar pengakuan sang Maharaja. Matanya membelalak hingga ia lengah tak disadarinya kalau peri kasta tertinggi bernama Awyati itu mendekat dan menangkapnya dengan cepat. Pelukan peri yang merupakan kasta tertinggi peri Candrasa itu bukan hanya sekedar pelukan biasa. Pelukannya seperti hendak meremukkan semua tulang-tulang ratu peri Candrasa itu hingga hancur berkeping-keping. Lumer dan buyar.
Bukan. Bukan hendak dihancurkan. Awyati hanya ingin menyerap Cayarini.
Cayarini panik. Tak ada yang dapat dilakukannya. Bahkan kekuatan yang baru saja didapatnya sebagai ratu peri Candrasa-pun tak dapat menyelamatkan dirinya. Awyati terlalu kuat baginya. Dirinya, tubuhnya semakin tenggelam dan larut di dalam tubuh peri Awyati yang bersayap hitam itu. Esensi dirinya lumer diserap, disedot dan larut menyatu pada peri yang tetap memeluknya erat.
Ia teringat pada rencana-rencana yang telah disusunnya bersama Astha untuk melakukan serangan balik. Serangan kejutan. Apakah Astha akan tetap menunggunya. Menunggunya meneruskan rencana ini… sementara dirinya saja telah diserap lawan. Apakah rencana mereka gagal?
“Sekarang saya sudah punya kelima bunga surga ini lengkap… Sekarang kalian bisa mengambil kerikil-kerikil itu masing-masing satu…” ujar Lord Purgatory yang puas melihat ratu peri berelemen terakhir yang dibutuhkannya telah berhasil diserap oleh peri kasta tertinggi terakhirnya. Ia bangkit dari posisi berjongkok sebelumnya di depan jasad Bobi Putranto. Permata peri yang tadinya dipegang Cayarini itu lalu dibagi-bagi Awyati pada empat peri lainnya. Rubi api, safir biru, opal pelangi, dan bidara bulan.
“Sekarang kalian bisa meneruskan fungsi istimewa kalian itu sebagai lima bunga surga untuk memanggil sang bara api yang suci itu…” pungkas lirih Lord Purgatory tak sabar lagi.
“Hidup… sebagai manusia…”
Bersambung