Part #97 : Menemani Amei

“Aku mau membawa jasad Selvi pulang ke Medan… Aku akan menguburkannya di dekat kuburan bapak…” kata Aseng datar di depan Dedi, adik iparnya, suami Selvi yang sedang sesengukan dengan mata merah dan hidung meler.

“Tapi bang…”

“Tidak ada tapi-tapian… Tidak usah masalahkan biayanya… Aku yang tanggung semuanya…” potong Aseng dengan ketus. Lengannya sempat dicekal oleh Dedek, kakaknya, agar jangan begitu keras pada adik ipar mereka. Ini semua musibah jadi jangan seolah menyalahkan suami yang tak becus mengurus istri begini situasinya. Jadi tendensius ujungnya.

“Maksud Dedi bang… kita sebaiknya menyegerakan fardu kifayah jenazah Selvi di sini saja, bang… Kasihan kalau harus dibawa-bawa jauh ke Medan dengan pesawat… Prosedurnya juga pasti akan memakan waktu…” coba tawarnya.

“Tidak usah di sini… Aku tidak rela adikku dikubur di sini… Semua keluarganya ada di Medan… Gimana kami akan ziarah nanti…” sergah Aseng. Lagi kak Dedek mencekal tangannya dengan remasan agar tidak keterlaluan. Ibu mereka malah tambah menangis sedih anak-anaknya saling berbantah-bantahan di depan jenazah anak bungsunya yang telah terbujur kaku.

Akhirnya Dedi menyerah tak ingin membuat keributan di rumah kontrakannya ini. Apalagi ini bukan daerahnya sendiri. Ia hanya pendatang. Tak elok rasanya berbantah-bantahan dengan abang iparnya yang sepertinya sedang emosi kehilangan adik kandungnya. Padahal sebagai seorang suami, dirinya-lah yang paling berhak menentukan apa yang hendak ia lakukan demi kemaslahatan jenazah istrinya, terlepas walau masih ada walinya sekalipun. Tapi biarlah.

Aseng saling bertatapan dengan dua pria yang baru masuk ke dalam rumah. Iyon menggeleng-geleng juga tidak setuju kalau jenazah Selvi harus dibawa ke Medan. Ia mengira kalau Aseng hendak memanfaatkan kekuatan jurus teleportasi Bayangan Bunga Bujur itu lagi untuk memindahkan jenazah Selvi ke Medan. Itu sangat tidak pantas menurutnya.

“Sudah kalo kau gak mau… Aku ada duit… Kunaikkan pesawat adikku sekarang juga…” tegas pria itu langsung memutuskannya begitu saja saat melihat melihat Iyon menggeleng tak setuju dengan keinginannya. Ia berdiri dan pergi mengurus semuanya sendiri. Tentu saja Iyon dan Kojek kaget setengah mati melihat sikap sahabat mereka itu demikian berubahnya. Tentu mereka tau persis perangai baru Aseng ini karena mereka sudah saling kenal bukan hitungan setahun dua tahun, mereka sudah bersama-sama sejak remaja. Tentu tau persis seperti apa sifatnya.

Mereka seperti tak mengenal Aseng lagi.

Sepertinya mereka harus ekstra sabar menghadapi sahabat mereka yang satu ini sekarang. Tergopoh-gopoh keduanya mengejar dan menyusul Aseng yang buta sama sekali tentang kota Surabaya. Hanya mengandalkan uang yang banyak tidak akan membuat hidupnya jadi lebih mudah. Setelah ditinggal begitu saja di dalam daerah kekuasaannya yang gelap gulita, kini juga ditinggal begitu saja di dunia nyata.

“Seng… Seng… Tunggu, Seng! Oke oke… Aku nyerah… Aku akan bawa Selvi ke Medan… Tapi kau gak boleh kek gini…” hadang Iyon berhasil menghentikannya setelah berlari-lari mengejar pria itu yang berusaha mencari transportasi untuk mengurus pemulangan jenazah adiknya ke kota asalnya.

“Gak usah ceramahi aku, Yon… Mau-mau… Enggak-enggak… Itu aja… Kalo kau mau… bawa jenazah Selvi sekarang juga… Kalo enggak mau… aku bawak pake pesawat ke Medan… Berapapun akan kubayar biayanya… Simpel aja, kan?” hardiknya berhadap-hadapan dengan Iyon. “Walo galon-ku kebakar… uangku masih banyak… Untuk ini masih cukuplah…”

Iyon mengetatkan rahangnya agak kaget dengan perangai Aseng sekarang. Kojek ada di sisinya untuk menguatkannya buat bersabar. Ia merasakan tepukan di bahunya dari pria itu. “Oke… Kita bawa Selvi pulang… Kita kosongkan rumah itu dari para pelayat… Jangan sampe mereka heboh kita semua menghilang dari dalam rumah secara tiba-tiba… Oke?” tawar Iyon. Aseng menatapnya beberapa saat dan akhirnya setuju.

——————————————————————–
Setelah kasak-kusuk untuk mengkondisikan para jiran tetangga yang bertakjiah untuk segera meninggalkan rumah kontrakan itu, menyiapkan rumah Aseng untuk menerima jenazah yang akan dipindahkan ke sana, Iyon memindahkan mereka semua dengan kemampuannya. Keluarga Aseng tentunya sudah gatal lidahnya ingin menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi, tetapi mereka masih lebih berduka daripada kepo.

Singkat cerita, semua prosesi fardu kifayah dilaksanakan semua sesuai prosedur dan jenazah Selvi dikuburkan tepat disamping makam ayah mereka di pekuburan muslim yang sebenarnya jauh dari rumah Aseng. Saudara dan handai taulan datang silih berganti mengabarkan berita duka cita ini. Beberapa teman Selvi juga datang untuk ikut berbelasungkawa.

Aseng semakin sulit untuk didekati. Seperti ada barrier yang membatasi dirinya dengan siapapun. Sebuah dinding tak kasat mata yang mencegah siapapun untuk mendekati dirinya. Ia lebih banyak berdiam diri dan tenggelam dalam pikirannya. Emosinyapun tak jelas. Di masa berduka ini, ia sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. Datar…

Iyon dan Kojek tak dapat mendekatinya karena ia akan menghindar begitu keduanya mendekat.

—–oo0O0oo—–

“Pak Aseng… Galonnya masih dipagari garis polisi, pak…” sambut Suhendra yang ditemui Aseng di depan jalan masuk menuju SPBU yang tinggal bentuk hitam rusak penuh jelaga bekas terbakar. Pria itu tak menggubris dan masuk begitu saja melewati pita kuning yang dibentangkan pihak berwajib pertanda kebakaran ini masih dalam penyelidikan penyebab kebakarannya.

Ini sudah hari kedua setelah semua kejadian kebakaran itu dan kejadian-kejadian lainnya. Hari ini setelah sempat permisi tidak masuk di hari pertama, hari ini ia malah membolos kerja dan mampir kemari.

“Ada sinyalir sabotase, pak yang ditemukan penyidik…” pungkas manager SPBU yang berusaha mensejajari langkah-langkah cepat direkturnya. Mata pria itu bergerak-gerak cepat memindai sekelilingnya. Ia berhenti beberapa kali, berjongkok memeriksa sesuatu lalu berjalan lagi. Lalu ia berdiri di depan gedung yang merupakan kantor SPBU ini. Kebakaran hanya sedikit menyentuh bagian gedung dan menilainya hanya perlu perbaikan saja.

“Apa kata para tenant tentang status mereka?” tanya Aseng perihal para penyewa lapak-lapak usaha yang juga terimbas kejadian mengerikan ini. Usaha fried chicken, pizza, dan supermarket yang menyewa lapak di area SPBU. Suhendra lalu mengocehkan banyak hal-hal teknis tentang kontrak, perjanjian, asuransi, leasing, pinjaman dan lain-lain sambil terus jalan. Tempat ini masih terasa hangat sisa kebakaran hebat itu.

“Lalu para karyawan, pak?” tanya Suhendra. Ia terakhir menanyakan ini karena nasibnya juga harus dipertanyakan paska kejadian heboh yang cukup menggemparkan ini, sebagai seorang karyawan juga.

“Lakukan pemutusan hubungan kerja… Bayar semua kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku… Kita akan membekukan kegiatan SPBU sampe waktu yang tak dapat ditentukan…” ia mengatakan itu semua dengan datar sambil terus berjalan. Berhenti sebentar, mengutip sesuatu dan mengantunginya ke kantung celananya—dan lanjut jalan.

Suhendra terdiam dan tertinggal langkah cepat direkturnya setelah mendengar keputusan terakhir itu. Ia mendesah pasrah. Apa mau dikata. Itu adalah keputusan sang pemilik sekaligus direktur SPBU ini. Pria yang ia kagumi, ia hormati, sekaligus yang telah menghamili istrinya. Ia tak mengapa tak bekerja lagi di tempat ini secara ia masih punya pemasukan dari sumber lain. Ia sebelumnya tak keberatan kalau ia tak mendapat gaji selama setahun. Hanya saja…

“Hendra… Kudengar waktu itu kau punya beberapa rumah yang dikontrakkan, ya?” tanya Aseng tiba-tiba menanyakan hal ini.

“Ada, pak? Ada yang perlu, pak? Ada yang sedang kosong nih, pak” jawabnya.

“Aku ambil…”

“Untuk siapa, pak? Untuk keluarga bapak?”

“He-em…”

“Oh… Kalau untuk keluarga bapak… pake aja, pak… Gak pa-pa…” kata Suhendra merasa ini momen ia terus bisa berbakti pada pria yang sangat dihormatinya ini. Tak mendapatkan untung dari salah satu rumah kontrakannya tak mengapa, pikirnya.

“Beneran gak pa-apa?”

“Iya, pak… Gak pa-pa…” jawabnya merasa senang bisa membantu menyediakan tempat tinggal bagi keluarga Aseng. Istrinya saja diserahkan ke pria itu, apalagi cuma rumah kontrakan yang gak seberapa nilainya.

“Ya udah… Makasih kalo gitu… Nanti kuminta alamat sama kunci rumahnya, ya?” kata Aseng yang bergegas hendak pergi dari tempat itu. Ia menempelkan HP-nya ke telinga, berjalan dan mulai bicara di telpon, pergi dari tempat itu secepat datangnya. Suhendra melepas bosnya dengan perasaan bangga yang campur aduk.

—–oo0O0oo—–

Mobil Aseng terlihat berada di depan toko material milik Amei. Ia baru saja keluar dari panglong itu dengan HP menempel di telinga, menghubungi seseorang.

“Amei gak di panglong? Adanya cuma karyawanmu aja… Di rumah? Ya udah… Aku kesana…” ia dengan cepat menutup sambungan telepon. Tentu saja perempuan itu untuk beberapa hari ini tak akan mengurusi usaha materialnya dahulu karena masih dalam keadaan berduka setelah suaminya berpulang beberapa hari lalu. Hanya karyawan kepercayaannya yang bertugas menjaga usaha itu. Mobil Aseng melaju pelan lagi di jalan untuk menuju rumah Amei.

Apa yang dilakukannya ke rumah Amei siang-siang begini? Mendatangi rumah janda yang saja kehilangan suaminya itu? Mendatangi seorang perempuan yang dalam kondisi rapuh-rapuhnya? Memanfaatkan keadaannya yang sedang rapuh itu?

Kebetulan ataukah keberuntungan yang dimiliki Aseng. Bukankah keberuntungan pria ini sudah habis terkuras? Hanya ada Amei sendiri di rumahnya. Padahal seharusnya seorang janda yang baru kehilangan suaminya ini haruslah tetap ditemani oleh kerabatnya untuk beberapa hari kemudian karena ada prosesi-prosesi adat Tionghoa yang harus dijalani untuk mendoakan arwah Julio sesuai kepercayaannya. Tapi memang tak ada orang lain di rumah itu. Entah pada kemana. Hanya kain putih di pintu depan rumah pertanda rumah ini sedang berduka yang menyambut Aseng dan sang janda sendiri.

Amei

Amei

Mata sembab dan pucat adalah bentuk Amei yang ditemukan Aseng. Tapi itu tak mampu menghapus kecantikan panlok yang sedang berbadan dua itu. Dipeluknya Aseng dan menangis tersedu-sedu tak perduli apapun karena tahu, tak ada orang lain di rumah saat ini. Ia membiarkan Amei mengoceh apapun yang ia inginkan. Semua hal tentang kenangan indahnya bersama Julio ia beberkan tersedu-sedu. Aseng asik mengelus-elus rambut dan punggung janda cantik itu. Berusaha menghiburnya.

Tak diperdulikannya berbagai pernik ibadat yang masih ada di dalam rumah itu. Rumah yang masih berbau harum hio dupa yang tak putus-putus dibakar. Persiapan hari ketiga besok saat Amei dan keluarganya akan ke makam Julio lagi, membakar hio dupa, uang kertas dan beberapa benda sesaji lainnya. Tak diperdulikannya itu semua. Yang diinginkannya adalah segera menuntun perempuan cantik itu memasuki salah satu kamar di rumah ini dan segera menggarapnya.

“Sebaiknya Amei istirahat saja, yaa… Biar kubantu…” bagai dicocok hidung, Amei menurut saja dituntun memasuki kamarnya untuk diantar beristirahat. “Supaya Amei lebih rileks dan tenang… Almarhum Julio tentu tak ingin Amei terus sedih begini… Amei harus kuat demi anak ini…” sentuh Aseng lancang pada bagian perut Amei yang masih rata tentunya.

Perempuan yang sedang galau berat ini tentu saja menurut saja dituntun. Tak tahu kalau dirinya bakal dijagal di dalam sana. Dijagal dengan kenikmatan yang bakal ditawarkan Aseng. Segala bujuk rayu keluar dari mulut manis Aseng menebarkan madu-madu beracun yang tujuan akhirnya hanya satu, segera menelanjangi janda hamil cantik satu ini dan menggenjot tubuh seksinya sesegera mungkin. Hanya itu yang ada di pikirannya.

“Otot-otot Amei sepertinya tegang semua… Biarkan aku memijatnya sebentar… Kata orang pijatanku enak-loh…” tanpa diberi permisi, tangannya sudah lancang mulai menjamah dan mengurut perlahan leher jenjang Amei. Perempuan itu melenguh nyaman dan lega karena memang tubuhnya terasa lelah dan remuk oleh kesedihan yang teramat dalam. Lembut sentuhan Aseng secara magis membiusnya hingga turun ke bahu. Tak dapat dicegahnya saat rayuan lidah berbisa Aseng diturutinya untuk melonggarkan pakaian yang dikenakannya karena tangannya turun menari-nari di bagian punggung.

Tak lama, perempuan yang seharusnya sedang berduka itu hanya memakai pakaian dalam saja menikmati elusan-elusan tangan Aseng yang entah bagaimana bisa begitu terampilnya melakukan ini semua. Sepertinya ia menggunakan keterampilan ketiga peri Aruna penghibur dalam melakukan terapi pijat ini. Bagaimana ia bisa mempelajarinya?

“Emmhh… emhh… emmhh…” keluh Amei saat tangan-tangan berbalur baby oil Aseng lincah menguleni payudaranya yang dijuluki Aseng toge itu. Toket gede Amei lumat habis diremas-remasnya secara sistematis memberikan rasa nyaman dan melayang ke awang-awang. Walaupun tujuan asli ini semua adalah untuk merilekskan tubuh Amei tapi tak pelak lagi telah membuat lembah segitiga di selangkangan janda Julio itu sudah basah dari tadi. Tubuhnya menggeliat-geliat seksi antisipasi semua gerakan yang ditawarkan Aseng yang tetiba menjadi ahli pijat begini.

“Dibuka saja ya bra-nya, Mei…” usul Aseng karena dari tadi ia masih mencoba melakukan ini semua dengan menelusupkan tangannya ke dalam tangkup bra itu. Amei tak keberatan tangan Aseng masuk dengan berani menyentuh semua togenya dan mengusap pentilnya yang mengacung keras. Ia hanya cukup mengangguk dengan nalar yang berkabut oleh birahi terlarang dan voila, bra itu hilang entah dimana. Makin berani Aseng berkarya di atas toge Amei. Makin mendesahlah janda itu merasakan pijatan sensasional Aseng yang tambah yahud saja.

Pijatan yang sekarang berbentuk remasan-remasan makin menerbangkan Amei ke awang-awang. Tak ingat lagi ia duka yang beberapa hari ini menjeratnya. Menenggelamnkannya dalam lautan air mata, kini berenang dalam lautan birahi yang semakin menggelegak. Tubuh berbadan dua itu makin gelisah. Ia butuh pelampiasan. Ia butuh penyaluran. Ia butuh mengeluarkan emosinya yang kini berbuncah-buncak menggelegak menjadi gelembung yang semakin melesak ke permukaan. Selangkangannya semakin basah saja sementara sang pemijat tak menyentuh bagian itu sama sekali. Yang dapat dilakukannya hanyalah menyilangkan kakinya, menjepit dan menekan lepitan becek yang berdenyar-denyar ingin disentuh.

Mau tak mau, ia harus menyentuh dirinya sendiri. Ia menyentuh permukaan kemaluannya yang masih ditutupi kain celana dalamnya yang sudah lembab. Tergesa-gesa ia mencari, menuntut, mencari. “AAaahhh….” tubuhnya menggeliat makin hebat. Ujung jarinya bermain, berputar di atas kulup klitorisnya yang mengembang. Jarinya menelusup masuk dan menemukan ujung tombak sensitifitas kemaluannya. Aseng sang durjana yang bertopeng pacifist ini tentu tahu apa yang tengah terjadi pada korbannya ini.

Remasan tangannya yang menarik-narik pucuk-pucuk toge yang lebih bertumbuh besar dari terakhir kali disentuhnya ini menjadi pemicu semua pelampiasan binal janda ini. Menggelinjang-gelinjang liar perempuan hamil muda ini akibat permainan jarinya sendiri dan remasan-remasan ritmis Aseng yang memanggang kesadarannya.

“Aaahhh…”

Mencuat bokongnya tinggi akibat ledakan membuncah kenikmatan tiada terperi itu. Walau tanpa penetrasi penis sekalipun. Permainan tangannya sendiri dan campuran rasa yang dipermainkan oleh pejantan yang telah menghamilinya beberapa waktu lalu. Bergetar-getar tubuh sang dewi cantik bermata agak sipit ini menikmati sisa serpih kenikmatan itu menguap perlahan dari tubuhnya.

“Mmmm…” rintihnya kembali walau ia tak lagi menyentuh dirinya sendiri, kenikmatan itu masih ada di sana karena saat ia terbang ke awang-awang tadi, dengan kelincahan tangan Aseng, pria itu meloloskan garmen terakhir itu dari tubuh Amei tanpa bisa dicegahnya. Dan langsung disergap, ditangkup dan digosok. Ujung jari Aseng dengan lincah memainkan klitoris yang masih saja mengeras.

“Sudah rileks, Ameeei? Sudah lebih tenaaang?” bisiknya dekat dengan telinga janda itu. Hembusan nafasnya memberikan sengatan berbisa yang membuatnya semakin merinding, diserang dari berbagai macam penjuru. Togenya kembali dipijat, belahan vaginanya dielus dan telinganya diemut.

“Aaaarrrhhhmmm…” jawaban tak jelas yang keluar dari mulut mendesis-desis Amei. “Aaahh…” perempuan yang seharusnya berduka itu secara tak sadar makin melebarkan kakinya kala jari Aseng menelusup masuk ke lubang vaginanya dan dilumuri cairan cinta yang kental. Lancar jari itu keluar masuk saat lidahnya melata di tulang pipinya dan mampir di bibirnya kemudian. Keduanya saling kulum bibir akhirnya. Dibiarkannya Amei memimpin percumbuan mulut itu. Lidah Amei melata masuk bergulat dengan lidah lawan. Saling belit dan bertukar ludah. Sementara jari bertambah satu yang mengocok jalur kawin Amei.

Dalam percumbuan itu, dengan tanpa banyak kesulitan Aseng melepaskan pakaiannya juga karena pikirnya pada akhirnya adalah pergumulan kelamin adalah puncaknya. Kondisinya ini menyebabkan Aseng dapat memprediksi semua kemungkinan manis yang akhirnya akan menguntungkan dirinya. Tak perduli itu adalah kerugian bagi pihak lain. Yang penting keuntungan untuknya.

Makin blingsatan Amei mendapat berbagai gempuran sekaligus dari pria yang seharusnya tak layak baginya. Mulut mereka masih bertempur saling pagut. Toge miliknya silih berganti dipijat diremas kanan dan kiri. Jari Aseng lebih aktif mengocok vaginanya keluar masuk berkecipak-kecipak. Amei melebarkan kakinya lebih mengangkang. Tangannya diarahkan ke suatu tempat dan segera menemukan sebuah benda tegang yang menuntut sentuhan kulit halusnya. Otomatis tangannya menggenggam dan langsung saja mengocok junior Aseng.

Semakin keras junior Aseng mendapat kocokan dari Amei yang otomatis membuatnya semakin bersemangat mengopyok vagina perempuan itu. Kecipak-kecipak suara kulit basah beradu merdu dipadu suara erangan merdu Amei yang semakin gelisah. Sepertinya ia akan mencapai nirwana itu sekali lagi. “Slek slek slek slek… Plek plek plek plek…”

“Aauuhhhhh…” benar saja, perempuan itu kembali sampai ke surga indahnya. Yang hanya melulu berisi kenikmatan yang sangat memabukkan. Tubuhnya seperti ringan, terbang diangkut awan tipis yang melambungkannya di tempat yang sangat indah. Sementara waktu, indranya mati rasa akan apapun. Mabuk kenikmatan yang menguasai tubuhnya.

Aseng memanfaatkan momen itu untuk menyiapkan dirinya. Sepengalaman dirinya, Amei akan tak dapat melakukan apa-apa habis orgasme. Momen itu diambilnya dengan menempatkan dirinya di bukaan kaki mengangkang janda nikmat ini. Juniornya dioles-oleskan ke belahan indah becek itu untuk mendapatkan cairan basah yang akan memudahkan dirinya menembusinya. Tusukan percobaan dilakukannya berulang-ulang untuk mengetahui kesiapan vagina wanita hamil muda ini untuk menerima batang kemaluannya yang sudah tak sabar lagi bersarang di dalam sana sekali lagi, siang-siang begini.

Saat dinilainya Amei sudah siap menerimanya, ia mulai menusuk masuk. “Aahh… Baaang…” erang merintih panlok cantik itu. Tak begitu dalam. Hanya ditahan sebatas kepala saja.

“Lanjut, Meeei?” rayu Aseng dengan meremas-remas kedua toge itu ritmis. Ditahannya pinggangnya mendorong masuk. Berlagak menjadi pria gentleman sejati, padahal serigala yang berbahaya.

“Iyaa, bhaaang…”

Apapun jawaban dari Amei, Aseng tetap menekan maju. Memasukkan juniornya lebih dalam. Penisnya terasa mulai diurut-urut didalam liang peranakan yang belum pernah turun mesin itu. Aseng mulai menikmatinya sebagaimana Amei juga. Sodokan-sodokan yang pasti membawa sepasang pasangan tak sah ini menikmati indahnya seks di tengah masa berkabung ini. Rayuan maut Aseng berhasil membujuk janda yang baru ditinggal mati suaminya, mengangkang merelakan tubuhnya dijamah sedemikian rupa.

Hentakan-hentakan dilakukan Aseng sangat menikmati persetubuhannya ini. Ia merasa menang bisa menaklukkan perempuan ini sekali lagi. Melangkahi status dan keadaan yang sebenarnya sangat tidak pantas ini. Entah dimana hati dan perasaannya saat ini. Disaat ia seharusnya memberikan semangat dan hiburan setawar sedingin atas duka yang menimpa keluarga ini, malah ia memanfaatkannya untuk meniduri janda malang ini. Demi kenikmatan. Atas nama nafsu sahaja.

“Ahh ahh ahh ahhh…” erang Amei berkali-kali menikmati vaginanya disodok bertenaga oleh pria itu. Togenya tak pernah lepas dari remasan sang pria yang di mata dan angannya sangat perkasa itu. Pria yang telah berhasil menghamilinya, dengan sepengetahuan suaminya saat itu.

Keduanya benar-benar menikmati hubungan terlarang ini. Tubuh sang dewi cantik dibolak-balik sana sini untuk mendapatkan berbagai pose bercinta yang masing-masing pihak sukai. Menungging, WOT, menyamping diantaranya. Sang dewi cantik benar-benar puas ditandai dengan mendapat orgasme kembali. Aseng dengan suka cita menyemburkan spermanya sembarangan saja di rahim perempuan itu. Banjir kemaluan becek itu dibuatnya. Kelelahan dan terkapar tak banyak bisa berekspresi.

Berlagak peduli dan perhatian, ditutupinya tubuh telanjang lelah itu dengan selimut saat berpamitan dengan sebuah kecupan. “Jangan lupa bahagia…” ucapnya hangat.

Ditinggalkannya kediaman dimana Julio dan pernah pernah jatuh bangun dalam hubungannya, tanpa melihat ke belakang sedikitpun. Tepat pada waktunya saat kerabat yang seharusnya menemani Amei datang. Bukankah itu sangat beruntung sekali? Berhasil menyetubuhi janda Julio di siang bolong pada bulan Ramadhan ini.

—–oo0O0oo—–

Vivi

“Bang Aseng gak kerja?” tanya Vivi yang kaget menemukan pria itu nongol begitu saja di kampusnya. Ia baru saja selesai bimbingan skripsi pada dosen pembimbingnya di lantai dua ketika saat keluar dari pintu, pria itu berdiri menunggu di sana.

“Gak… Males…” jawabnya acuh berbalik dan memperhatikan pelataran luas di bawah sana yang banyak diseliweri muda-mudi yang sedang menuntut ilmu di kampus ini. Kacamata hitam yang dipakainya membuatnya jauh lebih muda dari umur seharusnya. Vivi mendekat dan ikut ke tepian balkon teras lantai dua gedung ini.

“Masih berkabung, ya?” Vivi berusaha mengakrabkan diri. Ia tahu pria ini masih berduka. Hanya saja dipendamnya rapat-rapat seakan bertingkah tangguh. “Apa kabar, bang? Dah lama kita gak ngobrol…” ia mencoba mengikuti arah pandang pria yang sebenarnya masih lekat di dalam hatinya ini. Hanya saja ia berusaha menjauh namun terasa sangat berat. Kacamata hitam itu membingungkan arah pandangnya karena tentunya akan sulit ditebak kemana matanya mengarah.

“Begini-begini aja… Vivi mungkin sibuk… Aku juga sibuk…” ada jeda kemudian. “Gimana kabar Cut Cahya, Masita, Riska dan Intan? Mereka baik-baik saja, kan?” tanya Aseng. Vivi agak mencelos hatinya. Jauh-jauh datang ke kampus ini, padahal rumah mereka cukup dekat, yang ditanyakan bukanlah kabar dirinya, malah kabar keempat Inong itu. Tapi disabarkannya hatinya.

“Sudah jauh lebih baik, bang… Mereka Vivi anggap sudah bisa mandiri… Pekerjaan rumah sudah mereka kuasai semuanya… Akhir-akhir ini mereka sedang magang di salonnya si Bens… Ternyata mereka lumayan bisa-loh… Jadi sedikit-sedikit mereka sudah mulai punya penghasilan dari sana…” papar Vivi mengenai keempat perempuan muda yang dititipkan Aseng di rumahnya.

“Begitu, yaa… Bagus kalo begitu… Terima kasih sebelumnya… Vivi sudah mau menampung mereka selama ini… Mereka pasti merepotkan… mungkin mengganggu… Mohon maaf juga… telah merepotkan Vivi selama ini…” ia tetap menatap entah kemana. Mungkin pada gerumbulan bunga di taman kecil sana, ato malah pada gerombolan mahasiswi modis yang berjalan berlenggak-lenggok menarik perhatian siapapun yang punya mata.

“Enggak-loh, bang… Vivi gak repot… Apalagi kami sesama anak yatim piatu begini… Senang kok bisa membantu mereka…”

“Makanya mereka akan aku pindahkan ke rumah tersendiri… Seperti yang Vivi bilang tadi… mereka sudah bisa mandiri dan bisa mengurus rumah… Bersama-sama mereka pasti akan bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan seperti selama bersama Vivi… Lagipula mereka harus benar-benar mandiri, kan?” potong Aseng panjang lebar yang tentu saja membuat Vivi terperangah.

“Bukannya itu terlalu cepat, bang?” protes Vivi. “Mereka baru beberapa bulan… Mereka tidak sesiap itu, bang…” Vivi bersikeras.

“Mereka itu tanggung jawabku, Vi… Mereka sudah siap…” untuk sekali ini Aseng menatap Vivi walau masih berkacamata hitam. Tapi tatapannya tegas dan mematikan karena tak ada ekspresi berlebih setelahnya. Menegaskan kalau ia benar-benar mantap akan keputusannya ini.

“Vivi-Vivi akan sering-sering mengunjungi mereka…” ujar Vivi tak kuasa menolaknya. Ia merasakan perubahan drastis Aseng. Dimana Aseng yang dulu ia kenal? Aseng yang pernah ia kejar-kejar untuk mendapatkan cintanya, mendapatkan hatinya. Yang terhalang oleh satu janji yang mematikan. Sebuah sumpah yang menghalanginya untuk mendapatkan cinta pria yang dikaguminya ini. Ia siap menjadi yang kedua apapun yang terjadi. Siap menerima konsekwensi terburuk sekalipun, konfrontasi dengan istri pertama Aseng. Tapi ia tak pernah mendapatkan itu semaksimal apapun tawaran yang telah ia persembahkan padanya. Ia bahkan merelakan tubuhnya, bahkan kalau perlu jiwanya.

“Tentu boleh…” ia kembali menatap ke bawah. “Datanglah sesukamu… Mereka pasti bakal senang…”

“Dengan syarat…” sergah Vivi memberanikan diri. Untuk itu, Aseng menoleh. Vivi berhasil mendapatkan perhatiannya. Aseng menggerakkan kepalanya, memberi tanda pada Vivi untuk meneruskan perihal syarat itu.

“Syaratnya?”

“….”

“Apa itu syaratnya?”

“Tiduri Vivi…” ungkapnya setelah tadi sempat ragu. Setelah menceploskan syarat berat itu, hatinya entah kenapa perih. Saat itu, ia dengan suka cita menyerahkan semuanya pada pria di depannya ini. Entah kenapa ia sekarang malah ragu. Padahal waktu itu ia yakin sekali.

“Vivi?” pria itu mengarahkan tubuhnya berhadapan dengannya dan membuka kacamata hitamnya. Pandangan matanya sangat jauh berbeda sekarang. Itu bukan Aseng yang Vivi kenal. Aseng yang Vivi kenal akan langsung menolak dengan mengingatkan perjanjian mati yang telah dibuatnya dengan perempuan yang kini menjadi istrinya. Bahwa tak ada perempuan lain di hatinya. Pandangan pria ini sekarang tak ada bedanya dengan seorang penjahat kambuhan yang mendapatkan rezeki nomplok. Rezeki yang malah disodorkan oleh seekor domba gemuk ke sarang serigala lapar. Mata predator…

Vivi meneguk ludah berharap bisa meralat kalimat terakhirnya itu.

“Aku boleh membawa Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan pindah setelah meniduri Vivi?” didiktenya versi panjang syarat dari Vivi pelan-pelan agar tak salah interpretasi kalimat pendek barusan. “Begitu?”

Berat Vivi mengangguk membenarkan.

“Bukan petting? Seks penetrasi, kan?” dipastikannya lebih detil. Vivi mengangguk lagi. Senyum Aseng lebar memamerkan gigi geliginya.

—–oo0O0oo—–

“Jadi ini rumah yang bakal jadi tempat tinggal mereka berempat… Mereka boleh tinggal di sini selama mereka mau… Tentunya aku akan membantu biaya kehidupan mereka sehari-hari… Percaya, deh… mereka berempat pasti bisa… Mereka anak-anak yang tangguh… Sama seperti Vivi juga…” kata Aseng membawa Vivi tur singkat rumah yang diperuntukkan bagi keempat Inong bongsor itu. Rumah kontrakan Suhendra yang diserahkan begitu saja untuk kerabat Aseng.

Rumah ini berada di kompleks perumahan tipe 64 dengan satu kamar standar. Kluster perumahan ini belum sepenuhnya dibangun dan didiami penduduk hingga masih lumayan sepi. Cocok bagi pengantin baru atau bagi keluarga yang menginginkan ketenangan. Jauh di dalam kompleks yang sepi dari lalu lalang kendaraan. Furniturnya sudah lengkap semua jadi yang pindah tinggal bawa koper dan langsung menempati saja.

“Sudah ada kursinya… dapur lengkap… kamar mandi… dan mereka bisa tidur bareng semua di sini… Apalagi kamarnya lumayan besar untuk mereka berempat…” kata Aseng setelah memeriksa kelengkapan rumah ini. Saat ini mereka ada di dalam kamar yang memang ukurannya relatif besar. Ranjang spring bed itu rasanya memang cukup menampung 3-4 orang sekaligus. Ada lemari pakaian dan meja rias sekalian. Sepertinya memang cukup memadai untuk keempatnya yang baru bisa mengurus rumah.

“Atau berlima…”

“Apa tadi?” Aseng beralih pada Vivi yang mendehemkan sesuatu yang tak jelas. Gadis cantik itu hanya menggeleng agar Aseng melupakannya saja. “Oh… Ya sudah… Inilah yang akan kuberikan pada mereka… Cukup, kan?”

“Cukup, bang…” jawab Vivi yang tak beranjak lebih jauh dari ambang pintu. Ia hanya berdiri disana, memperhatikan isi kamar dan segala furniturnya. Condong ke depan sedikit jika ia hendak melongok lebih ke dalam hingga ujung. Gadis itu tahu persis, di tempat inilah ia harus menyerahkan dirinya pada pria yang telah mengisi hatinya selama beberapa bulan ini. Sampai sekarang, iapun tak sepenuhnya paham kenapa ia bisa jatuh hati kepada pria beristri ini. Ia tahu persis keadaan keluarganya dan perangainya di luaran sana, bagaimana ia punya banyak sekali selingkuhan yang sampai hamil olehnya. Semuanya ia tahu karena sempat bisa melihat semua kejadian itu di depan matanya secara ghaib.

Yang menjadi misteri sampai sekarang adalah, bagaimana bisa ia menerima itu semua dan menyerahkan dirinya pada pria semacam itu? Bagaimana bisa? Padahal ia tau semua belang dan bobrok berdarah-darah pria ini, tapi kenapa ia sampai berharap padanya?

Berpuncak pada hari ini. Di satu rumah kosong. Kamar kosong. Di kompleks perumahan yang sepi. Ia akan menyerahkan kehormatannya. Kehormatan yang sudah berulang kali ditawarkannya pada pria itu di beberapa kesempatan tapi selalu ditolaknya dengan berbagai alasan. Hanya saja hari ini, mereka telah mencapai kata sepakat.

“Ayo kesini…” tepuk Aseng pada tepian ranjang disamping ia sedang duduk santai. “Aku akan memenuhi syaratmu, Vi…” ia melepaskan pakaian bagian atasnya. Memamerkan bagian dada dan perutnya yang kekar dan keras ditempa latihan berbagai bela diri.

Ini bukan pertama kali Vivi melihat tubuh Aseng. Mereka sudah beberapa kali melakukan ini hingga sampai telanjang bulat bersama. Ia tahu semua lekak-lekuk tubuh pria pujaannya ini sebagaimana sebaliknya walau sampai sekarang ia masih suci. Hanya sebatas petting yang paling jauh ia pernah lakukan bersama pria ini. Sampai segitunya ia menjaga kesuciannya, karena itu jugalah ia semakin jatuh hati padanya. Entah kenapa hari ini ia melakukan hal yang berbeda. Tak lagi menjaga.

“Vivi yang meminta syarat ini, ingat?” Aseng coba memecah keraguan gadis itu. “Dengan demikian perjanjian kita sebelumnya batal…” kata Aseng. Perjanjian sebelumnya yang dimaksud Aseng adalah mereka akan melakukan petting sebagai ganti ia menampung keempat inong itu di rumahnya. Sudah beberapa kali Vivi meminta petting itu dan gantinya adalah momen mendebarkan ini.

Vivi duduk dengan tegang disamping Aseng. Sebelumnya ia malah mendamba-dambakan momen ini. Momen ia menyerahkan segala-galanya kepada pria di sampingnya ini. Tetapi hati kecilnya menjerit saat ini. Ada yang mengganjal. Seperti ada kerikil yang mengganggu di dalam sepatunya. Rasa tak nyaman. Entah kenapa perasaannya gundah sekarang. Padahal seharusnya, di benaknya, ini adalah masa yang dinanti.

“Pasti Vivi tadi mikir kalo mereka berempat kuletakkan disini sebagai simpanan, kan?” ujar Aseng memandang ke dinding di hadapannya.

“Enggak, bang…”

“Enggak salah, kok… Memang kujadikan simpanan sebenarnya… Makanya harus jauh-jauh dari rumah biar gak ketauan orang rumah…” kata Aseng mengejutkan. Vivi terhenyak mendengar keterus terangan pahit itu. Hatinya terasa sakit. Keempat perempuan muda itu sudah dianggap adik sendiri oleh Vivi dan pria ini mengaku kalau akan menjadikan mereka berempat simpanannya di rumah ini. Terbayang kalau Aseng akan mempergunakan tubuh-tubuh perempuan itu sebagai pelampiasan nafsu birahinya semata. Sementara ia tak pernah ditawari hal semacam itu sebelumnya.

“Kaget, ya?” tangan Aseng dengan lancang merangkul bahu Vivi hingga bahu yang dekat tubuh pria itu merapat. Tubuh mereka menempel. Kaku tubuh Vivi sama sekali tak berubah. Tegang malah. “Mungkin Vivi udah tau ato sudah menebak kalo aku sudah meniduri mereka berempat… Vivi tau sendiri gimana-gimana aku terhadap cewek cantik… Menyimpan mereka di sini dan rajin mencekoki mereka dengan pil KB pasti akan sangat menyenangkan…” ujar pria itu menerawang, membayangkan berpesta pora dengan empat perempuan muda itu tiap ada kesempatan.

“Pil KB?” ulang Vivi.

“Ya… tentu… Vivi juga sebaiknya mulai minum ini karena aku suka ngecrot di dalam-loh… Tentu Vivi sudah tau itu…” sambungnya dan menyodorkan satu blister obat yang dikeluarkan dari kantung celananya. “Aseng ini sangat subur… Takutnya abis ini Vivi langsung hamil pulak…” dipaksanya Vivi menerima pil-pil itu. Bahkan sebutir pil pencegah kehamilan itu ia keluarkan dari blister-nya, mengarahkannya ke mulut. Vivi terpaksa menelannya bak menelan kerikil.

“Jangan terlalu tegang, Vi… Ini bukan kali pertama kita begini kan? Walo gak sampe masuk…” tangannya mulai meremas-remas bahu Vivi dengan ritmis. Ia merasa tak dapat mundur lagi. “Aku masih ingat semua lekuk tubuhmu…” rayu Aseng mengendusi bagian leher gadis perawan itu. Vivi menjengit merasakan nafas hangat menyentuh kulit leher dan telinganya. Dikecup-kecupnya kulit leher wangi itu. Vivi memejamkan matanya. “Sebagaimana Vivi juga sudah melihat seluruh tubuhku…”

Santai saja Aseng melepas beberapa buah kancing kemeja lengan panjang gadis itu yang menggidikkan bahunya dengan tak nyamannya. Pakaian semi formal yang dikenakannya sehabis kelar bimbingan skripsi dengan dosennya itu lepas semua bagian kancingnya hingga dua sisinya terpisah. Tangannya yang rapat yang masih menyatukan kedua sisi itu tak terbuka lebar. Vivi makin menekuk tubuhnya tak nyaman.

“Umph…” hilang semua pertahanan yang dari tadi dilakukan Vivi dengan aksi terakhir Aseng ini. Sebuah ciuman maut yang meluluh lantakkan semua keraguan yang tadi menggantung di benaknya. Dengan supelnya Aseng memagut bibir gadis itu langsung mendapatkan kedua bagian mulut terluar itu dalam penguasaannya. Untuk sesaat ia membelalak, lalu kemudian kabur oleh linangan air mata dan terpejam sama sekali. Teringat ia keindahan first kiss miliknya yang juga dilakukan oleh pria yang sama beberapa bulan lalu saat petting pertama mereka. First kiss yang walau hanya sekilas tapi masih tetap membekas hingga sekarang. Yang menjadi bahan bakar untuk nyala semangat hidupnya selama ini.

Ciuman kali ini lebih intens. Berupa ciuman penuh berjuluk French Kiss pertemuan dua mulut yang menempel erat. Karenanya Vivi dengan mudah meleleh menyerah melemaskan semua otot tubuhnya yang tadi tegang. Pagutan pria itu bergerak-gerak dinamis menyedot, mengais, memagut dengan ahlinya. Tak ada yang ada di dalam benaknya saat ini. Hilang semua intelejensia seorang mahasiswi cerdas yang sedang persiapan skripsi untuk kelulusannya. Isi kepalanya sama sekali kosong. Hilang semua logika. Hingga tak sadar kalau tangan Aseng lincah bergerak cepat.

Kemeja lengan panjang itu lolos dengan mudah, bra juga lepas. Bagian atas tubuhnya tak lagi berpakaian. Ia tak ingat apa-apa seperti digendam ketika dibaringkan ke atas ranjang dengan kaki masih menggantung di pinggiran ranjang. Pria itu tahu betul semua senjata yang dimilikinya untuk melumpuhkan gadis yang masih hijau ini. Ia ingat semua proses ngototnya gadis ini yang memohon-mohon untuk diterima masuk ke dalam hatinya. Gadis yang masih hijau dan pasrah yang bahkan memohon untuk dicium—dilumpuhkan dengan ciuman maut.

Ia pasrah aja ketika tubuh telanjang diseret ke tengah ranjang. Kok sudah telanjang aja? Itulah lihainya Aseng, selagi terus mencumbui mulut gadis itu, ia bisa melepas celana jeans yang tak begitu ketat itu tanpa kesulitan berarti beserta celana dalamnya. Walau tak ada bantuan sama sekali dari sang gadis yang tubuhnya lemas tak berdaya, semua pakaiannya sudah lepas. Bernafas berat dengan mulut berlumuran liur campuran keduanya, ia hanya menatap nanar takala pria itu melepaskan pakaian di depan tubuhnya yang sedang dikangkangi.

Aseng kemudian menggeluti tubuh gadis itu dengan ganas. Lehernya, telinganya, dadanya, payudaranya, perutnya, pinggulnya, pahanya, betisnya bahkan telapak kakinya tak lepas dari jilatan lidah lihainya. Semua dijilati dan dikecup dengan penuh nafsu. Gadis perawan ini hanya bisa mengerang-ngerang pasrah menikmati semua suguhan kenikmatan yang baru ini. Saat petting, ia tak pernah mendapat full service seperti barusan. Kemaluannya banjir becek saat ini karena semua rangsangan tadi.

“Hyaaahhh…” rintih Vivi ketika Aseng melanjutkan cumbuannya terkhusus pada bagian kemaluannya saja. Mulut Aseng memagut vaginanya seperti sedang menciumi mulutnya kembali. Terombang-ambing kepala sang dara oleh ledakan kenikmatan yang tiada tara oleh permainan mulut Aseng. Kelentitnya terkadang menjadi objek fokus jilatan dan hisapan, lain waktu adalah bibir tebal kemaluannya yang disedot-sedot, kemudian kulikan jari pada liang kelamin sempitnya. Tak berapa lama, gadis itu mendapatkan puncak kenikmatan yang tak dapat ditahannya lagi.

Meledak orgasme sang gadis perawan oleh permainan oral ganas dari Aseng. Meregang-regang seperti disembelih tubuh montok perawan itu dibuat Aseng. Menghapus dan membuang semua keraguan yang tadi sempat menghadang entah kemana. Dibiarkannya gadis itu mengatur nafasnya, menenangkan tubuhnya untuk kemudian dibantai lagi dengan kenikmatan senggama yang sesungguhnya. Karena saat ini pria itu sedang mengelus-elus junior kebanggaannya yang sedang mengacung tegang keras bak pentungan. Kepala junior itu merah tua dengan tonjolan urat-urat kasar di sekujur batang berkilatnya.

Vivi hanya bisa meneguk ludah dengan mata nanar berair, membayangkan benda keras pejal itu akan menusuk lubang sempit kemaluannya. Ia pernah memohon-mohon agar sang pria memasukkannya di beberapa kesempatan sebelumnya dan akhirnya momennya adalah hari ini. Ini hari yang menentukan semua penantian panjang itu. Ia tak ingat lagi kenapa tadi ia sempat ragu. Pikirannya sudah sangat dikuasai nafsu yang telah ditularkan dengan sukses oleh sang pria yang kini tersenyum lebar. Mendekat…

“Abang masukin sekarang, yaa…” bisik Aseng yang terlebih dahulu merapatkan tubuhnya untuk mengatakan ini. Ini bukan permisi atau peringatan. Ini hanya pemberitahuan. Dikecupnya bibirnya sekali, lalu pucuk-pucuk puting kedua dadanya. Junior itu sudah digesek-gesekkan sedari tadi ke perut sang gadis. Terasa tekstur keras dan gelitikan rambut kasar di pangkal selangkangannya bergesekan.

“Jangan diliat kalo gak kuat…” ketusnya ketika ujung junior itu ditusuk-tusuk menggaruk belahan basah kemaluan Vivi. Permukaan kemaluannya sudah lembab sehingga jembut jarang tetapi panjang itu mencuat karena dioles berulang-ulang. Vivi patuh dan memalingkan wajah ke kanan dan memejamkan mata erat merasakan benda kenyal di ujung penis itu mulai menyumpal bukaan jalur peranakannya. Liang itu hanya sekelumit lubang kecil. Belum pernah ada benda besar yang mampir atau keluar dari sana. Hanya sekedar cairan-cairan buang seperti pelumas dan darah haid semata. Tak ada yang lebih besar dari itu hingga tak perlu besar.

Aseng mulai mendesakkan juniornya ke liang sempit itu. Sang gadis meringis. Disosorkannya penisnya pelan-pelan ke lubang yang masih teramat sempit itu. Orgasme dan rangsangannya sebelumnya tak menjamin ia bisa lancar menjebol liang sempit sang dewi perawan ini. Tetapi sebagai pemain yang sudah malang melintang di banyak ranjang wanita, hal itu bukan hal yang sulit lagi mengkhawatirkannya. Ini hanya salah satu dari sekian banyak tantangan yang pernah dihadapinya. Tak lebih dari itu.

Kaki Vivi semakin dilebarkan, ia meludah ke jarinya dan membalurkannya ke permukaan kemaluan gadis yang sedang digagahinya ini. Sodok-sodok lagi, tarik seperlunya dan tambah ludah lagi hingga cairan itu semakin meresap. Kalau perlu ia akan merangsang sang gadis kembali dengan mencucup pucuk dadanya hingga punggungnya melengkung keenakan. Hingga mengutik-utik kembali kelentit yang mampu mengirimkan gelombang sinyal kejut yang menghentak. Junior Aseng makin tertancap dalam. Bak pecinta ulung ia tarik ulur kemaluannya dan akhirnya akan menghentak tepat pada waktunya.

“Jangan macam-macam, Meng!” sergahnya tiba-tiba. Mahluk asing yang hanya dinamai asal-asalan oleh Vivi agar mirip panggilan Aseng itu tiba-tiba saja muncul hendak mencegah Aseng dari menyakiti pemiliknya. Mahluk asing yang tak diketahui dari jenis apa ini hendak menggapai leher Aseng. Ia sudah menarik satu ujung bahu pria untuk segera menjauh dari sang gadis—mencegahnya untuk menembus selaput tipis itu.

Aseng sudah lebih dari antisipasi dengan menghunus mandau Panglima Burung miliknya yang diarahkan ke leher sang core. (Hanya kita-kita aja yang tau kalo mahluk itu jenisnya adalah core) Ameng juga tak bisa bertindak lebih jauh karena tuannya juga sudah dalam penguasaan penuh sang pria yang walau sedang bernafsu tinggi tapi tak menghilangkan kewaspadaannya. Mungkin kalau berniat, kepalanya sudah terpenggal dari tadi karena mengganggu kesenangannya.

“Vi… Si Ameng-mu mau mencegah kita…” Aseng mengadukan kelakuan core berkepala segitiga itu. “Kalo begini kita gak bisa lanjut-loh… Ini tinggal cuss aja… enak kita…” Aseng menahan junior-nya dari lebih menusuk, padahal tinggal sedikit lagi. Core itu juga tidak main-main mencegahnya. Ia bermaksud melindungi pemiliknya dari terluka oleh seorang durjana. Sebuah insting mendasar. Ameng mungkin lebih tahu sejatinya pria yang sedang menindih tuannya saat ini.

“Jangan, Meeeng… Teruuss, bang… Mmhh…” Vivi sudah tak memperdulikan apa-apa lagi. Tak dipikirkannya sebentar lagi waktu berbuka puasa akan tiba. Tak diingatnya rencananya untuk ngabuburit dengan beberapa temannya sambil membeli pengganan berbuka puasa. Tak diindahkannya kalau yang dilakukannya ini adalah perbuatan dosa. Ia tenggelam bersama Aseng.

“Breett..”

“Uurrhh…” Vivi hanya bisa mengembik kaget yang ditenangkan dengan pagutan mulut yang menyumpal rasa sakit perihnya tertembus benda tumpul pada kegadisan berharganya. Yang telah ia persembahkan pada pria yang telah dianggapnya paling pantas mendapatkan harta karunnya. Lidah Aseng bermain-main di dalam mulut Vivi, berusaha menenangkannya, merayunya dan menariknya kembali semakin tenggelam dalam nafsu birahi.

Ameng di lain pihak terlontar dari punggung Aseng turun hingga hampir ke dinding. Sebuah sayatan lebar terbentuk memanjang di sepanjang dadanya. Ia hanya bisa memandangi bekas luka yang muncul mendadak di dada kurusnya tanpa ekspresi yang dapat digambarkan sebagai apa karena wajahnya hanya sepasang mata dan hidung tanpa keberadaan mulut.

Pinggul Aseng tak hanya diam. Gerakan-gerakan kecil dilakukannya untuk semakin melonggarkan, membiasakan liang sempit ini akan batang durjananya. Titik-titik darah merah membekas di batang penisnya, pertanda segel kegadisan itu telah sukses ia renggut dengan perkasanya. Kemenangan besar hari ini menyusul kemenangan sebelumnya yang telah berhasil mengangkangi janda berkabung. Seorang perawan yang pasrah mengangkang mempersembahkan lapis tipis kegadisannya.

Dijilatinya bibir itu, lidah yang menjulur lalu dipagut kembali, dikulum dan dirayu. Pinggulnya bergerak-gerak mencangkul terus tak memberi ampun. Sodokan-sodokan ritmisnya berhasil memancing sang dara untuk mengeluarkan cairan pelumasnya untuk melicinkan jalur senggamanya. Gesekan kulit mengkilap dengan hiasan urat-urat kasar itu menggerus terus menerus lorong ber-fillia halus penuh gerinjal. Sang wanita yang tak lagi gadis ting ting itu semakin menikmati seks kelamin perdananya ini. Kemaluannya penuh disumpal batang pejal sang pejantan yang menghimpit tubuhnya.

Tangannya merangkul erat dan meremas-remas punggung sang pria dengan banyak ekspresi yang tak terucapkan. Dibetot-betotnya otot liat pria yang sedang bergerilya di atas tubuh berguncang-guncangnya. Pria itu semakin bertambah semangat memompa tubuh sang gadis. Memompa sambil mempermainkan kedua bukit kembar Vivi. Disedot-sedotnya seluruh permukaan payudara Vivi hingga meninggalkan bekas merah yang bertebaran acak. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya.

Bibir dan lidahnya terus melata di sekitar dada Vivi dan meninggalkan banyak penanda merah. Cap bahwa gadis cantik ini sudah disetubuhi dengan ganas oleh pria ini. Lidahnya mengais-ngais puting mencuat imutnya. Menggelinjang geli bertambah dengan sodokan yang semakin cepat bertenaga menggempur kemaluannya. Vivi semakin lebar membuka kakinya agar sang pejantan ini semakin mudah menggagahi tubuhnya.

Tak ada rasa sakit saat ini yang terasa. Hanya rasa nikmat yang meraja dirinya berkat berbagai rangsangan yang terus menerus diberikan Aseng, pemudar rasa perih yang harusnya terasa di perdana persetubuhan ini. Aseng dengan lihainya memanipulasi tubuh sang gadis hingga hanya merasakan kenikmatan saja, tak ada yang lain. Yang membuatnya semakin larut dan tenggelam dalam jerat birahi.

Gak lama kemudian, nafas Vivi kembali berat. Ia menekan suatu hasrat hingga wajah cantiknya memerah, urat di lehernya menonjol. Vaginanya mengepit batang kemaluan Aseng jadinya dengan sebuah ejanan. Keduanya mendengus keenakan karenanya. Yang satu karena mendapat orgasme, yang satu keenakan merasakan penisnya diremas-remas ritmis.

Aseng melepas junior-nya. Membersihkan cairan kental yang menempel di batang penisnya, bercampur noda darah perawan yang menerbitkan sedikit senyuman di ujung mulut. Dilapkannya semua itu ke sprei ranjang dan kembali mengarahkan penisnya kembali ke bukaan vagina Vivi yang merah. “Aaahh…” belum sempat pulih gadis itu dari rasa geli yang menguasai seluruh tubuhnya, kemaluannya ditusuk benda yang tadi telah merobek kegadisannya dan kembali dipacu lebih cepat dari sebelumnya.

Rasa nyeri, geli, pegal, enak semua bercampur menjadi satu. Apalagi Aseng kembali merangsang sekujur titik sensistif Vivi. Mulutnya kembali disumpal, bukit kembarnya diremas-remas, dan tentu saja liang kemaluannya terus disodok-sodok batang pejal yang menggila. Kemaluan Vivi memproduksi cairan pelumas dengan baik untuk mengimbangi gempuran cepat pejantan ini. “Cprot cprot cprot…” suaranya becek yang terdengar sangat mesum dan tendensius. Menggambarkan betapa cepat dan beceknya persenggamaan yang terjadi di rumah kosong yang bakal menjadi tempat tinggal keempat inong itu kelak. Pesta semacam apa yang sedang direncanakan Aseng dengan keempat perempuan muda bongsor itu?

“Aahh… Ahhh… Mmm…” tak banyak yang bisa dijeritkan Vivi saat Aseng terus menggagahinya. Mulutnya tak sempat banyak bersuara karena terus menerus disumpal mulut Aseng. Di satu sisi, ia senang karena sang pria mau mencumbu mulutnya sebanyak ini, di sisi lain ia ingin mengekspresikan apa yang sedang dirasa mendera tubuhnya. Perasaan baru ini butuh untuk diluapkan dengan bersuara dan tak banyak kesempatan yang diberikan padanya. Hanya ada rasa senang dan nikmat dari euforia semu surga dunia ini. Rasanya ia semakin terjebak dan tenggelam saja dalam nafsu.

“Herr… Eerrhh…” dengus Aseng yang sepertinya akan mencapai sesuatu.

“AAahhh… Auuhh… Baaanghhh… Eeennaakk banget-aahhh…” Vivi menahan kakinya sendiri agar lebih mengangkang. Aseng memompakan pantatnya lebih cepat. Tempat tidur ini berderak-derak suara pegasnya karena guncangan yang terjadi. Mendengus-dengus keduanya dalam tetesan keringat yang membasahi tubuh telanjang merekat penuh birahi.

Dan akhirnya Aseng menyemprotkan bibit-bibitnya yang terbukti subur itu ke rahim Vivi dengan semena-menanya. Ditekan-tekannya selangkangan gadis yang memeluk erat tubuhnya, dengan penisnya yang terbenam dalam di liang senggamanya. Cairan kental itu berdesir-desir memenuhi rahimnya, memberikan rasa hangat. Walau sudah mengkonsumsi pil pencegah kehamilan sebelumnya, sempatkah benda itu bekerja optimal? Sempatkah terlarut di dalam lambung dan memberikan substansi yang terdapat di dalamnya untuk mencegah sperma agresif Aseng membuahi sel telur yang mungkin menanti momen ini?

Yang jelas dua insan ini tak memperdulikan masalah itu?

Yang ada di benak keduanya adalah rasa puas. Kedua-duanya puas. Sang wanita puas telah mendapatkan apa yang selama ini terus dipintanya dari sang pria. Sedang sang pria puas telah mendapatkan kenikmatan dan kesucian sang gadis dengan relanya. Dicabutnya si junior hingga spermanya membludak keluar dari liang sempit becek itu. Ia berbaring di samping dan matanya membelalak!

Hanya dirinya yang dapat melihat kejadian mengejutkan ini, plus Ameng. Vivi sama sekali tak bisa apalagi matanya masih terpejam.

Dari kalung ghaib yang selalu bergantung di lehernya, yang berisi telur kecil peri Anaga itu keluar asap pekat berwarna hitam dengan sparkle-sparkle sinar putih, senada dengan warna telur kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih kecil. Apakah ini proses kelahiran peri Anaga itu? Aseng langsung terbangun dari golek-golek lemasnya abis ejakulasi dan menyongsongnya.

Di lain pihak, Ameng melindungi tubuh pemiliknya dengan menutupi bak sebuah tameng tubuh. Ia menggunakan tubuhnya untuk menutupi tubuh telanjang tuannya ini dari marabahaya yang mungkin disebabkan oleh kemunculan sosok lapar yang baru saja menetas dari telurnya.

“Kau peri Anaga?” tanya Aseng pada sosok peri bertanduk dan bersayap serba gelap itu. Peri tunggal yang bisa berubah wujud menjadi naga ini berwajah cukup manis tetapi sadis sekaligus. Matanya bersinar kekuningan seperti juga luapan energi yang ada di belahan dadanya yang merekah. Mengapa peri Anaga ini memiliki energi api sebegitu kuat di dalam tubuhnya? Tapi kita seharusnya lebih dahulu harus tahu, apa sebenarnya elemen utama peri Anaga?

 

“Hamba, baginda raja…” jawabnya.

“Kau menghambakan diri juga padaku? Entah raja seperti apa aku sekarang…”

“Baginda raja tetaplah junjungan bagi hamba…” jawabnya dengan cerdas.

“Indukmu… Berelemen petir hitam… Kenapa kau malah api?” tanya Aseng yang sepertinya juga penasaran seperti kita semua. Dengan lancangnya ia mengupas bagian dada menonjol peri yang menghambakan diri padanya. Peri Anaga itu meringis tetapi tidak mengeluarkan suara. Bagian dada sebelah yang dikupas itu penuh dengan gelora api yang sangat panas. Kulit berbintik-bintiknya seperti tak akan sanggup menahan itu semua. Dikembalikan lagi ke posisinya.

“Hamba lahir atas banyak faktor, baginda… Nafsu, kesedihan dan amarah… Amarahlah yang paling utama hingga diwujudkan dalam bentuk api amarah ini, baginda…” jelas sang peri Anaga. Aseng mengangguk-angguk paham. Dirinyalah yang telah menetaskan telur peri tunggal ini. Dari berbagai emosi terakhirnyalah peri ini terlahir. Nafsu saat menggauli berbagai macam peri dan wanita. Sedih yang teramat sangat karena kehilangan adik kandungnya dan ribuan peri muda keturunannya. Dan amarah akibat banyak hal; kesal akan tingkah Lord Purgatory, marah akan lemah dirinya kalah perang penentuan, marah akan nasibnya yang seakan dipermain-mainkan pihak lain. Marah karena tak berdaya. Murni marah.

“Begitu, ya… Baiklah… Kau jadi pengikutku sekarang… Kau sepertinya peri yang sangat kuat…” puji Aseng pada peri yang baru saja lahir ini.

“Kekuatan hamba sepenuhnya di tangan baginda raja semata…” jawabnya menghambakan diri. “Hanya saja kekuatan hamba masih harus dikumpulkan terlebih dahulu… Sebagaimana hamba harus mengerti diri hamba ini… Bagaimana tubuh ini bekerja… Bagaimana menggunakannya… Harapan hamba baginda bisa memakluminya…” Aseng hanya mengangguk-angguk membenarkan.

“Jadi apa yang harus kita lakukan pada kedua sejoli ini?” tanya peri Anaga muda mengenai Ameng dan Vivi yang dilihatnya sedang berhimpitan. Sepertinya peri Anaga itu berencana memamerkan sedikit kemampuan yang dimilikinya pada hari kelahirannya, agar baginda rajanya terkesan dengan dirinya. Aseng sedang mengumpulkan semua pakaiannya dan mengenakannya kembali. Diliriknya sebentar keadaan Vivi yang sedang dilindungi core-nya. Ia hanya menggeleng pelan.

“Biarkan saja mereka…” Aseng beranjak setelah menyelesaikan hajatnya. Beranjak meninggalkan kamar. “Lagipula berkat dia juga kau bisa menetas dari telur kecilmu itu… Kita pergi…” Aseng pergi dari rumah itu begitu saja dan meninggalkan Vivi masih di kamar. Lagipula mereka datang ke rumah itu menaiki kendaraan yang berbeda, jadi pastinya gadis itu bisa pulang sendiri. Bukan anak kecil suci lagi, begitu pikirnya.

——————————————————————–
Beberapa jam sebelumnya.

“Selamat atas kemenangan gemilang kita, maharaja…” ujar sang peri berambut ungu itu. Mereka berdua, kedua peri andalan Lord Purgatory sedang menghadap pada sang maharaja itu di depan tahta sederhananya yang sebenarnya merupakan sebuah meja kerja dengan beberapa tumpukan buku tebal, berkas-berkas foto kopian , jurnal, dan sebuah iMac G3 berwarna pink-putih untuknya sekedar browsing keliling dunia.

Ini adalah sebuah rumah kontrakan kecil yang dipilih Lord Purgatory secara seksama karena mempunyai koneksi internet memadai dan mudah untuk kemana-mana. Strategis. Ia bisa pergi ke terminal bus agar bisa berangkat ke Alas Purwo dengan mudah. Pergi ke perpustakaan kota untuk memperbaharui keanggotaannya atau meminjam-mengembalikan buku. Pergi ke bank untuk menyetor dan menarik uang cash lewat Anjungan Tunai Mandiri. Dan lebih esensial lagi membeli sebungkus pecel lele kegemarannya di salah satu angkringan di sudut gang yang ramai dilewati penduduk.

“Kau tak usah menjilat begitu, Citra…” ujar sang peri berambut kelabu itu. Sepertinya peri ini jarang sekali berbicara. Tapi sekalinya bicara nyelekit banget. Di belakang atasnya jam menunjukkan pukul 11:46 WIB.

“Ah… Dia bicara… Asweta sangat manis sekali kalau sudah bicara…” sahut sang peri rambut ungu yang ternyata diberi nama Citra. Citra yang berarti beraneka warna. “Walau sekali ngomong akan membuat sakit hati yang denger…” terus terang Citra mengenai Asweta. Peri berambut kelabu itu tak merespon ucapan barusan. Entah memang itu tujuan aslinya, membuat yang dengar omongannya akan sakit hati.

Keduanya lalu menepi karena sang Maharaja bangkit dari kursi di balik meja kerjanya, mengambil bungkusan pecel lele yang dibelinya tadi pagi dari atas meja, melemparkannya ke dalam tempat sampah plastik di sudut ruangan. Tempat sampah yang dipenuhi bungkusan pecel lele yang sama, yang belum dimakan sama sekali. Mengangkat tempat sampah itu sekalian dan membawanya keluar ruangan—keluar rumah.

“Kabare, mas Tori?” sapa seorang tukang becak yang melintas di depan rumahnya saat sang pria itu mengosongkan isi tempat sampah plastik itu ke tempat sampah yang lebih besar di depan rumah. Lord Purgatory hanya mengangguk ramah pada tukang becak itu. Ia sepertinya sangat mengenal lingkungannya dan akrab dengan banyak orang. Beberapa ibu tua yang melintas hendak ke masjid terdekat untuk melakukan sholat Zuhur berjamaah di masa bulan Ramadhan ini juga menyapanya. Hanya menyapa tak mengajak bareng karena mereka tahu, pria yang akrab dengan panggilan mas Tori ini bukan muslim, seorang penulis yang sedang menyendiri untuk menyelesaikan karyanya.

Pernah ada yang iseng nanya, buku karyanya apa aja, mas’e? Dengan lugas pria ini mengatakan kalau buku tulisannya dalam bahasa asing jadi tidak diterbitkan di Indonesia. Jadi bahkan di toko buku terbesar di kota Pasuruan inipun bukunya tidak bakal ada. Para penanya manggut-manggut paham.

Dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa melihat dengan jelas rumah masa kecil Bobi Putranto. Bahkan gerbang rumahnya yang bercat putih mentereng kala terbuka dapat menampilkan pintu utama rumah itu. Ia tau persis siapa saja penghuni rumah itu saat ini, isi rumah dan semua detail-detailnya seperti rekening listrik dan airnya, langganan koran dan sirkulasi pembuangan sampah.

Pria, yang sebenarnya bukan manusia ini terlalu banyak punya misteri.

Seperti, apa yang diinginkannya?

Saat ini ia mengelus-elus cincin besar bermata hijau mencolok ukurannya itu dengan banyak taburan batu-batu mulia berukuran kecil lain disekelilingnya selagi berjalan keluar rumah. Secara tak terlihat, kedua peri selalu mengikutinya. Setia menanti apapun yang akan diperintahkan sang maharaja. Untuk seorang yang memiliki sebutan maharaja yang tentunya punya banyak bawahan, raja diraja ini keterlaluan sederhananya. Bahkan kendaraan sesederhana sepeda saja ia tidak punya. Semua pergerakannya adalah berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan umum.

Lalu apa fungsi sebutan maharaja tersemat di namanya itu? Maharaja harusnya adalah sebutan bagi satu entitas yang menguasai banyak kerajaan sekaligus maupun membawahi beberapa raja lainnya sebagai raja top of the top. Ia sepertinya tak mempermasalahkan hal itu. Ia hanya melakukan apa yang ia suka dan anggap perlu.

Kakinya terus melangkah menuju satu tempat. Bukan ke penjual pecel lele kegemarannya di tempat biasa karena siang-siang di bulan Ramadhan ini tidak jualan, paling nanti sore menjelang berbuka. Melainkan menelusuri jalan-jalan yang berliku, yang merupakan pasar besi tua di utara kota Pasuruan, belok lagi ke utara memasuki pasar Gadingrejo, salah satu pasar besar di kota ini di jalan Irian Jaya. Di pasar ini ada penjual pecel lele lainnya yang juga menjadi langganannya. Disambut hangat sang penjual saat ia membeli sebungkus. Setelah bayar, ia berlalu, menenteng bungkusan itu terus ke utara.

Langkahnya terhenti di depan sebuah bangunan tua yang dinding pagarnya tinggi menjulang di tepian jalan buntu ini. Tepatnya di depan sebuah mural yang mulai terkikis akibat catnya terkelupas oleh waktu dan cuaca. Mungkin tidak memakai cat pelapis anti bocor yang memadai. Mural ini hanya coretan-coretan ngasal artis dadakan berupa bentuk cacat tokoh paduan Gareng dan Doraemon dalam satu warna hitam monoton. Lord Purgatory memperhatikan keadaan sekitarnya dan dinilainya aman untuk mengacungkan cincin Green Lantern itu ke arah mural. Mulutnya menggumamkan beberapa kalimat.

Sebuah lingkaran sihir berpendar kehijauan muncul di dinding mural itu. Ada banyak tulisan-tulisan asing dan garis-garis melintang yang muncul. Ditunggunya sebentar sampai semuanya menempati posisinya dan pria itu memasuki lingkaran cahaya itu. Sekonyong-konyong ia sudah memasuki sebuah lorong gelap dengan cahaya pendar di ujungnya. Ia melangkah menuju cahaya itu. Sepertinya ia sudah rutin melakukan ini semua hingga seperti sudah menjadi kebiasaan. Hingga tiba di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu dan susunan papan. Didorongnya pintu itu sekenanya hingga terbuka dan kemudian ia sudah sampai di tempat yang sama sekali berbeda.

Ia sampai di sebuah istana megah zaman dahulu yang berestetika tinggi di dalam dimensi ghaib di seputaran Alas Purwo yang angker. Sudut tenggara pulau Jawa yang secara normalnya saja dihindari masyarakat umum, konon lagi bersalut misteri berlapis-lapis yang melindungi rahasianya. Para abdi di dalam istana itu menyambutnya dengan sangat hormat junjungannya yang datang berkunjung. Ada banyak abdi dalem istana yang melayaninya, melakukan banyak hal agar sang maharaja ini merasa nyaman dan betah di tempatnya. Padahal, Lord Purgatory malah lebih suka berada di antara manusia. Di rumah kontrakan kecilnya di kota Pasuruan dekat dengan banyak manusia dan pecel lele kegemarannya.

Citra memberi aba-aba pada satu abdi dalem untuk membawakan beberapa benda. Masuklah empat sosok pria bertubuh besar dan kekar membawa sebuah benda yang kalau dicermati lebih teliti akan mirip dengan peti mati berwarna putih bersih. Ada beberapa buah salip penghias di dinding dan tutup peti mati tersebut. Kalau mau diingat-ingat lagi, benda ini adalah peti mati milik Bobi.

Apa? Lord Purgatory mengambil peti mati Bobi Putranto?

Pelan-pelan peti mati itu diletakkan di depan tahta yang sedang diduduki sang maharaja yang sedang malas-malasan itu. Keempat pria kekar pembawa peti mati itu lalu melepaskan semua paku sekrup yang menahan tutup peti lalu membukanya pelan-pelan juga.

“Bawa kemari mahluk itu…” sergah Asweta dengan suaranya yang terdengar manis ke arah abdi dalem lainnya yang banyak duduk bersimpuh di kanan dan kiri paseban agung istana kuno ini. Satu abdi menjura hormat, mundur dan pergi untuk mengambil mahluk yang dimaksudkan peri berambut kelabu itu.

“Maharaja… Sekarang kita akan melakukannya… Maharaja pasti akan suka ini…” kata Citra yang berdiri di samping Lord Purgatory. Mahluk bersosok pria itu sepertinya tak menggubrisnya. Ia hanya sedang mengendusi kantung plastik kresek yang sedari tadi dipegangnya sejak pasar Gadingrejo tadi. Diendusinya terus aroma pecel lele yang mungkin menggugah seleranya.

“Terasi ini masih baru jadi… Terasinya juga kurang manteb… Bukan dari Kanci (Desa Kanci, Cirebon)… Gak seenak buatan Yu Nanik di gang Tengah…” gumamnya lirih pada dirinya sendiri. “Nanti sore aku akan ke sana lagi sebelum kehabisan…” tak diperhatikannya dua prajurit menyeret sosok tubuh seorang pemuda yang umurnya masih sekitar 20-an menghadap mendekat. Pemuda itu dibuat duduk bertekuk lutut di depan sang maharaja yang masih asik dengan pecel lelenya.

“Maharaja… Ini adalah khorin orang yang maharaja maksud, bukan?” kata Citra mencoba menarik perhatian sang maharaja yang sedang asik dengan dunianya sendiri. “Maharaja…??” akhirnya Lord Purgatory melirik, mungkin karena terusik. Pandangan matanya langsung tertumbuk pada sosok yang dibuat terpaksa berlutut di hadapannya.

Ditatapnya sebentar sosok jin khorin yang sedang takluk setelah dibekuk oleh bawahannya. “Baunya tiba-tiba kek telek jaran…” ia menjatuhkan begitu saja bungkusan pecel lele yang hanya diendusi dari tadi. Di dalam kantung plastik kresek itu, bungkus daun pisang itu terburai berserakan hingga lele goreng krispi bercampur awut-awutan dengan butiran nasi, potongan kol, dua potong tempe goreng dan daun kemangi. Hanya saja sambel terasinya dibungkus plastik terpisah yang masih utuh.

“Kalian berhasil menangkapnya?” ia agak mencondongkan tubuhnya agar dapat dengan jelas melihat sosok pemuda yang di masa hidupnya bernama Bobi Putranto. Jin khorin adalah sosok jin yang secara default lahir begitu anak manusia lahir ke dunia ini. Tumbuh dan berkembang simultan dengan kembaran manusianya sehingga secara wujud bentuknya benar-benar mirip 100 persen. Jika manusia telah meninggalkan alam fana ini dan tiba-tiba ada yang kerasukan lalu mengaku-ngaku sebagai arwah yang telah meninggal tadi, dapat dipastikan itu adalah ulah nakal si jin khorin ini karena ia tahu semua seluk-beluk tentang manusia tersebut.

“… tentunya dengan susah payah, maharaja… Ia melawan…” jawab Citra yang merasa bangga atas pencapaiannya ini. Dari sekian banyak tugas yang diberikan maharaja-nya, ini mungkin yang tersulit. Hingga ia patut merasa bangga akan prestasinya yang satu ini. “Ia bersembunyi dan menyamar dengan sangat cermat di kandang musuh… Di daerah kekuasaan si Aseng…” lanjut peri berambut ungu itu.

“Disana?” Citra berhasil memantik rasa ingin tahu maharajanya yang air mukanya sedikit lebih berseri. Semenjak ia berhasil menghabisi kerajaan Mahkota Merah dengan ribuan peri muda berelemennya, tak ada lagi gairah berarti yang tertinggal selain kegemarannya mengendusi aroma pecel lele. “Pantesan aku sedikit lebih bersemangat saat memasuki daerah kekuasaan Menggala Aseng waktu itu… Ada jejak khorin ini di situ ternyata… Licik juga dia ini…” dipandanginya lekat-lekat wajah tampan pemuda yang merupakan gambaran terakhir Bobi Putranto sebelum meninggal dunia. Jin khorin itu tak mau kalah pamor, ditatapnya balik maharaja bernama Lord Purgatory itu dengan pandangan menantang.

“Aku tak akan memberikan kemenangan itu pada kalian semua… Aku tak akan merelakannya… Kau sudah melampaui takdir…” sekerat kata keluar dari jin khorin Bobi ini.

“Bah! Ha ha hahahahaha…” meledaklah tawa Lord Purgatory karena ia merasa sangat lucu mendengar kata-kata jin khorin yang tak tau diri dan nasibnya yang sudah di ujung tanduk. Maharaja yang dikelilingi sangat banyak bawahan, yang baru menang perang dengan gemilangnya menggilas kerajaan yang baru mulai menjulang itu, tidak akan diberikan kemenangan katanya? “Apa bisamu, khorin naif?” ia beralih pada Citra. “Ia menyamar sebagai apa di sana?”

—–oo0O0oo—–

Di kegelapan kerajaan Mahkota Merah. Di tengah kebingungan yang melanda sisa-sisa warga kerajaan yang tengah porak poranda ini, kehidupan harus terus berlanjut. Penerangan hanya didapatkan dari api-api obor yang secara konstan harus terus menyala sebagai suluh penerang. Peri-peri yang terbiasa berada di kondisi terang ini berkumpul menjadi satu di depan istana yang tinggal puing-puing. Sisa warga kerajaan yang tak ikut berperang maupun penyintas bergandengan tangan, untuk bertahan hidup di tempat yang keras ini.

Di kejauhan, gunung berapi terus menerus menyemburkan awan panas serta magma cairnya. Dentumannya yang keras menggetarkan bumi ghaib ini hingga tak memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapapun yang dapat merasakan dan mendengarnya. Kegiatan vulkanik tersebut secara tak langsung juga mengeringkan sungai yang biasanya mengalir deras. Yang tersisa hanyalah air laut yang juga selalu bergolak tak menentu. Berbagai jenis peri harus bersatu padu untuk bertahan hidup sebisanya, mengenyampingkan berbagai perbedaan dan perseteruan yang mungkin pernah terjadi.

Beberapa sosok penyintas peperangan, semuanya adalah peri Aruna, sedang menjalani pengobatan luka-luka paska pertempuran. Termasuk satu sosok yang belum sadarkan diri hingga sekarang—sang burung Enggang si Panglima Burung.

Bersambung

pelajar sma
Menikmati memek gadis cantik berjilbab pelajar sma
pacar horny
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 1
pijat erootis
Pijatan erotis ayu yang membuat terangsang
adik sepupu
Ngentot adik sepupu waktu dia tidur terlelap bagian satu
500 foto chika bandung ngentot dengan pacar memek di masukin kontol
gadis 16 tahun
Cerita hot keperawananku di renggut oleh anak geng motor
One by One
Foto Janda Toge Gede Siap Ngentot
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Wanita Malam
sma nakal
Darah Keperawanan Gadis Cantik Primadona Sekolahan
Istriku yang Soleha
toket kecil
Cerita ngentot teman SMA yang dulu ku idam idam kan
melayani Nafsu Bejat ipar
Melayani Nafsu Bejat Ketiga Ipar Ku Sendiri
anak ibu kost
Menjadi Guru Yang Baik Untuk Anak Ibu Kost Ku Yang Cantik
istri cantik
Cerita hot tukar pasangan dengan teman lama yang tak terlupakan
Berbuat mesum di warnet waktu mati lampu