Part #96 : Bingung. Sedih. Marah. Berang

Tak tau apa yang sedang apa di dalam kepalaku saat ini. Bingung. Sedih. Marah. Berang. Hendak meledak.

Ya Tuhan. Segininya cobaan yang Kau berikan padaku. Aku tau ini takdir dari-Mu. Tapi kenapa harus Selvi? Dia tidak tau apa-apa dalam pertikaianku dengan Lord Purgatory.

Dengan jurus Bayangan Bunga Bujur milik Iyon, kami sampe ke Surabaya. Hanya saja, bahkan aku sendiri tidak tau dimana rumah kontrakan Selvi dan suaminya di kota Pahlawan ini. Kami muncul begitu saja di salah satu ikon terkenal kota ini; Plaza Tunjungan. Entah kenapa Iyon membawa kami ke tempat ini. Ia cuma ingat plaza ini dari sekian banyak kunjungannya ke kota sebesar Surabaya. Dari sana, kami naik taksi menuju alamat yang diberikan ibuku lewat SMS. Ini ia dibantu salah satu tetangga yang membantu mengetikkan alamat tempat tinggal Selvi.

Di kota ini, matahari sudah lumayan tinggi dan mulai terik saat taksi berhenti di satu daerah bernama Krembangan. Rumah kontrakan itu masuk ke dalam gang lagi hingga kami harus berjalan kaki untuk mencapainya. Kami segera disuguhi keramaian para jiran tetangga yang guyub saling tolong menolong atas kemalangan yang menyergap dengan tiba-tiba salah satu warganya.

Aku buru-buru masuk dan menemukan ibuku duduk bersimpuh di depan jenazah adikku yang sudah terbujur kaku di atas kasur yang digelar di atas lantai ruang TV, ditutupi beberapa helai kain jarik. Aku langsung memeluknya yang disambutnya dengan deraian deras air mata dan tangis raungan. Berbagai penjelasan yang campur aduk diterangkan dari lidah tuanya. Tuturan yang bercampur tangisan pilu seorang ibu yang ditinggal mati anaknya terlebih dahulu. Seberapa hancur hati ibuku mendapati kenyataan pahit ini.

Tak lengkap rasanya kalo ibuku tak mengumpulkan semua anaknya. Tapi jarak Medan dan Surabaya itu terlalu jauh dan akan memakan biaya yang sangat banyak sekali. Jadi aku minta tolong pada Iyon untuk menjemput kak Dedek dengan kemampuannya. Tak usah diperdulikan nanti apa katanya, pokoknya aku mau ibuku merasa lebih tenang dengan kehadiran semua anak-anaknya di tempat duka ini.

Sembari menenangkan ibuku, aku memperhatikan jasad Selvi yang terbujur kaku dan dingin. Kupandangi wajahnya yang pucat. Ia agak kurusan semenjak terakhir kali aku bertemu dengannya saat pesta pernikahannya, liburan tiga tempat kami bersama ajo Mansur. Lewat penuturan ibuku, Selvi akhir-akhirnya ini memang sering sakit. Bolak-balik periksa ke klinik kesehatan, rumah sakit, dokter spesialis dengan berbagai diagnosa yang selalu berubah-ubah. Selvi selalu melarang mengabarkan ke kami yang ada di Medan tentang keadaannya dengan harapan seiring waktu kesehatannya akan membaik. Karena ini juga ia menolak pulang ke Medan saja saat ditawari istriku. Ia tak ingin merepotkan kami dengan kondisinya dan terus ikhtiar di Surabaya ini saja dengan ibuku yang selalu mendampinginya.

Tapi apa lacur. Nasi sudah menjadi bubur. Semua usahanya tak ada yang berbuah hasil. Kesehatannya semakin parah. Ditambah lagi, ini yang paling kusesalkan, ia sering berhalusinasi mendapat serangan-serangan ghaib berupa kunjungan mahluk-mahluk mengerikan. Di akhir-akhir hayatnya, ia menunjuk ke arah pintu akan munculnya seorang pria berwajah tirus dengan tangan kanan bercahaya hijau. Kepalanya membesar dan semakin membesar. Selvi yang lemah hanya bisa meracau menunjuk-nunjuk ke arah sosok itu.

Keparat kau, Lord Purgatory!

Kau memakai atribut raja Batara Kala-mu untuk memakan adikku! Adikku yang tentu saja tidak pernah diruwat. Hanya aku di keluarga ini yang pernah mendapat prosesi ruwatan dengan pagelaran wayang kulit lakon Murwakala. Siapa lagi kau incar? Kakakku lalu ibuku?! Apa taunya keluarga Minang seperti kami tentang ruwatan yang mengincar anak Sukerta? Tentunya tak ada adat seperti itu di keluarga kami.

Aku sendiri baru tau istilah Pancuran Kapit Sendang itu setelah Batara Kala pertama itu menyerang. Dan Lord Purgatory sendiri yang menjelaskan makna istilah itu sebagai tiga bersaudara, dua perempuan dan satu lelaki di tengah. Batara Kala pertama itu hendak memakanku waktu itu tetapi gagal karena aku sudah diruwat. Kemudian adikku yang diincar. Bangsaaatt!!

Mendidih rasanya kepalaku penuh dengan amarah dan dendam.

Aku tak tau lagi umpatan kasar seperti apa yang pantas kualamatkan padanya. Tubuhku panas. Entah karena gelora emosi ini ato gelegak api yang dihasilkan oleh rubi api di mahkotaku.

Akhirnya kak Dedek tiba juga di rumah ini berkat bantuan Iyon. Ia segera larut dalam kesedihan seperti juga aku dan ibuku. Diciuminya adik bungsunya sambil meraung-raung sedih. Aku hanya bisa mencoba menenangkannya. Aku menenangkan kedua perempuan keluargaku kandungku ini. Mataku panas dan basah sekaligus. Aku gak tau apa yang harus kulakukan. Jangan sampe kak Dedek juga diincar si keparat itu sebagai bagian dari Pancuran Kapit Sendang.

“Kita bawa Selvi pulang ke Medan, buu…” ujarku lirih. Aku tak perduli apapun lagi. Ibuku tentu akan keberatan karena masalah biaya transport yang pasti sangat besar, lagipula suami mendiang Selvi juga belum tiba untuk menemui jasad istrinya. Aku paham, saat ini yang paling berhak mengambil keputusan tentang fardhu kifayah jasad Selvi adalah suaminya. Hingga aku lebih baik berunding dengan sahabat-sahabatku yang setia mendampingi.

“Iya, Seng… Kau gak boleh egois begitu… Kau sudah menyerahkannya pada suaminya lewat akad nikah waktu itu, ingat?” kata Iyon. “Aku gak keberatan menjemputnya dimanapun dia ada sekarang ini… Lagi di laut mana dia?” kata Iyon lagi. Memang mereka sahabat-sahabat sejatiku. Iyon dan Kojek lalu kasak-kusuk untuk mencari keberadaan adik iparku itu lagi ada dimana. Sebagai kapten kapal kargo tentu tanggung jawabnya atas kapal yang dikendalikan tentu sangat besar. Ia sudah tau tentang istrinya yang tiba-tiba berpulang begini dan tentu ada proses perizinan yang harus dilewatinya. Apalagi proses perpindahannya dari dari kapal itu ke moda transportasi lain yang membawanya ke daratan juga bukan proses mudah.

Dari balik jendela, Iyon memberi tanda kalo ia sudah menemukan lokasi Dedi, adik iparku itu. Aku gak perlu tau apa metodenya menemukan lokasi pria itu. Sebentar saja Iyon sudah hilang dari pandangan dengan jurus ajaibnya itu. Tak lama ia sudah kembali lagi beserta lelaki dengan mata sembab basah yang sangat malang itu. Yang pertama kali disalaminya tentu saja aku yang menghadangnya di depan pintu, lalu dipeluknya aku kemudian bergerak cepat menuju istrinya.

——————————————————————–
“Sepertinya ini alasan utama Lord Purgatory lama beroperasi di seputaran Surabaya sini, Seng… Rumah lama dan makamnya Bobi ada di Pasuruan waktu itu… dan kemudian menyerang keluargamu di kota Surabaya sini secara langsung…” kata Iyon menghubung-hubungkan benang merah. “Dia pasti sudah memperkuat basisnya di daerah sini sejak lama… Buktinya, banyak juga pendukungnya, kan?” kami bertiga berbicara di belakang rumah kontrakan ini sementara di dalam, para tetangga masih melakukan takziah jenazah.

“Apalagi ia menjadi raja Batara Kala… Di riwayatnya, home base para raksasa Batara Kala itu ada disekitar pulau Nusakambangan, Cilacap… sesuai dengan hikayat pewayangannya…” lanjutnya.

“Itu masih di sepanjang Laut Selatan…” kataku.

“Nyi Ratu bahkan tidak mau berurusan dengan para Batara Kala ini…” langsung dijawab Iyon. Kojek mendesah panjang tanda kesal. Kami menatapnya.

“Apa yang nantik kita buat ini gak menimbulkan perang yang lebih besar dampaknya?” itu yang membuatnya kesal. Mungkin karena ada tercatut nama Nyi Ratu yang legendaris disana. Entitas ratu Laut Selatan itu bukan entitas kaleng-kaleng. Bahkan Nyi Sukma gak sebanding dengannya. “Karena waktu dulu kita bersinggungan dengan Nyi Sukma aja udah heboh kali… Banyak musuh kita abis itu, kan? Sekarang musuh malah bersembunyi di daerah Laut Selatan…”

“Tapi Cilacap itu masuk Jawa Tengah bukan?” tanyaku mengkonfrontir apa yang kuingat dan kutau. Bukannya cukup jauh pulau Nusakambangan dari Pasuruan?… Kalo memang Pasuruan tempat Lord Purgatory mulai bergerak… Hanya saja kurasa terlalu jauh dan lemah…”

“Sebaiknya kita tanya sama mantan bawahannya…” putus Iyon.

Yang kupanggil di hadapanku ada dua sosok. Yang pertama tentu saja Wingsati, peri Padma dan kedua adalah Udaka sang pimpinan para peri Udahani. Dua peri berbeda elemen itu hadir dengan ghaib. Hanya kami bertiga yang dapat melihat mereka. Gelagat kedua peri ini sangat bertolak belakang. Yang satu tenang-tenang saja dan yang satunya kelihatan gugup dan ketakutan.

“Kenapa kau begitu Udaka? Ada yang mengganggumu?” tanya Iyon. Peri Udahani yang sempat digasak Iyon dan Kojek itu malah makin ketakutan berada di tempat ini. Matanya jelalatan ke segala arah. Ia memeluk tubuhnya sendiri hingga dada montoknya tergencet kedua lengannya. Bahkan ia sampe menggigil hingga tentakel-tentakelnya bergetar.

“Dia ketakutan, baginda…” kata Wingsati menjawabkan pertanyaan kami. “Peri pembelot seperti kami harusnya ketakutan saat ini…” aku menggaris bawahi kata peri pembelot yang lantang diucapkan Wingsati untuk dirinya dan Udaka. Secara status memang mereka berdua adalah peri pembelot. Membelot dari barisan Maharaja Lord Purgatory dan berpindah ke sisiku–kerajaan Mahkota Merah. Kedua-duanya karena kuberi tempat yang layak di kerajaanku.

“Kenapa begitu Wingsati?”

“Kekuatan Maharaja Lord Purgatory semakin kuat di sini… Terlalu kuat bahkan, baginda raja…” jawabnya. Udaka juga mengangguk cepat membenarkan ucapan Wingsati tersebut. “Tapi hamba tidak gentar, baginda… Kekuatan baginda juga tidak kalah darinya… Apalagi baginda raja yang perkasa sudah mengumpulkan lengkap kelima permata peri dari pecahan cermin dewi kahyangan itu…” malah ia yang sangat yakin akan kekuatanku.

“Dimana pusat kekuatan mantan maharaja-mu itu? Tentunya kau masih bisa merasakannya…” tanya Iyon.

“Di ujung tenggara pulau ini tepatnya pusat kekuatan Maharaja Lord Purgatory…” jawab Wingsati tegas. Udaka kembali mengangguk-angguk cepat masih was-was dengan sekelilingnya. Wingsati hanya bisa memberitahu arahnya.

“Tenggara?” ulangku mencoba mereka-reka bentuk pulau Jawa dan mencari posisi ujung tenggara-nya. Kami ada di sisi timur pulau ini dan itu berarti…

“Alas Purwo…” desis Kojek.

Glek.

——————————————————————–
Alas Purwo itu adalah lokasi level tinggi tingkat keseremannya kalo di seputaran Jawa. Sesuai namanya yang Purwo, hutan ini dipercaya sebagai daerah yang pertama kali terbentuk di pulau Jawa hingga konon kabarnya semua mahluk ghaib dari seantero pulau Jawa ada di hutan angker ini. Hutan seluas ribuan hektar ini masuk daerah Banyuwangi yang tepat berada di sudut tenggara pulau. 40 persen hutannya berupa tanaman bambu dan sisanya merupakan hutan belantara dan padang savana. Ada beberapa gunung di hutan ini yang mengalirkan air sungai sepanjang tahun yang menjadikan hutan ini subur untuk ekosistem alam di sekitarnya.

Sebagai hutan angker, tempat ini kerap dijadikan tempat bersemadi untuk bermacam keperluan. Gua-gua gelap di hutan ini yang sering menjadi tempat lelaku berbagai tirakat keperluan. Gua-gua ini juga yang dipercaya sebagai tempat kerajaan-kerajaan ghaib itu menetapkan posisinya. Banyak kasus orang hilang dan tak pernah kembali setelah memasuki hutan ini. Pakem yang paling umum diberitau pada para pengunjung adalah, bila ada yang memanggil namamu, jangan buru-buru menoleh dan menjawab, karena itu mungkin panggilan dari mahluk-mahluk nakal penghuni hutan Alas Purwo ini.

“Jadi maumu… kita masuk ke Alas Purwo ini dan mencari si Lord Purgatory pukimak itu di sana? Gitu, Seng?” sergah Iyon. Mukanya cukup gusar. Ini memang langkah yang gegabah. Kuakui itu.

“Pikir lagi, Seng… Kita ini dah gak kek dulu lagi maen grasa-grusu kek gitu… Dulu waktu kita masih muda duluu… bisa-lah… Gak kao pikir lagi anak binik kao di rumah-hah?” ia menunjuk-nunjuk ke arah rumah nun jauh di Medan sana. “Gak kao pikirin itu mamakmu… Itu… Liat itu…” ia menunjuk pada kerumunan para jiran tetangga yang bertakziah. “Selvi aja belum dikubur… Gak usah cuma pake emosi aja… Kita udah ngelewati semua masa-masa itu, Seng… Masa-masa yang ribak sude (hajar semua) itu… Nama kelompok kita Ribak Sude… tapi kita gak maen hantam kromo gitu lagi, kan…”

“Tapi si pukimak itu memang gak ada ampun lagi, Yon… Aku gak tau lagi harus apa sama dia… Entah udah diapa-apainnya aja semua keluargaku… Pertama-tama aku digadohin (diganggu)-nya terus… Bisa-lah kutahan-tahan… Abis itu binikku juga sampe kek gitu… Ini! Ini adikku sampe meninggal dibuatnya… Cak-la kalo kau yang digituinnya… Kau cuma bus-busmu itu yang diancurinnya… Kojek cuma lembu-lembunya yang dijagalnya… Aku?!” aku sampe menunjuk-nunjuk keduanya dan terakhir menunjuk dadaku.

“Makanya kao jangan pake emosi duluu…” ditoyornya kepalaku dengan ujung jarinya. Kutepis tangannya gak senang diperlakukan begitu. “APAA?! Pukul… Pukul-lah, nah… Kukasih mukaku untuk kao pukul… Pukul… PUKUL!!” sergahnya mengangsurkan pipinya untuk kuhajar melihatku sudah mengepalkan tangan ditarik hendak menghantam mukanya. Teriakannya barusan menarik perhatian para warga yang sedang rame di rumah kontrakan ini. Kojek berbaik hati menutup pintu belakang di mana kami terlihat dengan jelas begini.

“Kalo klen berdua mau maen tumbuk-tumbukan… aku juga ikot… Ayo…” kata Kojek membuka bajunya hingga tubuh kurus hitamnya berkilauan tertimpa sinar matahari Surabaya terik di pagi ini. “Klen pikir cuma klen aja yang emosi?… Klen pikir aku gak emosi juga? Aku cuma agak ada cerita pulak udah berapa kali keluargaku diganggu kek kau, Seng… Gak usah sok yang paling menderita-lah sekarang ini… Sama kita bertiga… Cuma… kau aja yang suka pamer-pamer udah ngebuntingin binik orang sampe sebanyak itu… Sampe abis semua keberuntunganmu kao bilang…” ia berdiri tegak di depan pintu yang baru ditutupnya tadi dengan otot mengeras tanpa Nabirong. Ia serius.

“Itu semua salahmu sendiri, kan? Kau terpancing dengan umpan yang diberikan si pukimak Lord Purgatory itu… Binik orang yang cantik-cantik yang gak bisa kao hindari… Kao sendiri yang sibuk dengan mereka sampe kao gak tau keadaan adikmu sendiri kek gini… Apa gunanya kao jadi Menggala sakti?… Mandalo Rajo segala?… Raja peri dengan ribuan anak kalo adik kandungmu sendiri gak bisa kau lindungi-heh?” ujar Kojek yang telak menohok ulu hatiku. Aku terasa terhempas jatuh dari atas langit dan jatuh ke dalam comberan. Aku merasa sangat malu sekali.

Otot yang sedianya akan kuhadiahkan ke rahang Iyon mengendur kek agar-agar. Lemas. Aku duduk—terduduk lemas di kursi plastik ini lagi. Iyon juga melakukan hal yang sama. Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Gak jadi?… Duduk jugak-la aku…” Kojek menyusul kami. Ia sudah jauh dari kata tegang tadi.

“Sama-nya kita bertiga, Seng… Mungkin sekarang baru dari keluargamu dia ngambil tumbal… Entah abis itu ke keluarga kami berdua… Itu yang membuatku sangat setres kek gini…” kata Kojek lagi. Aku mengingat kata tumbal tadi dengan lemas. “Udah dibuatnya kita sibuk dengan banyak hal… Ada yang mirip-mirip dengan kasusmu sama binik-binik orang itu menimpaku, Seng… Gak bisa kutolak semua itu… Sampe lupa daratan aku dibuatnya… Amangoi… Banyak kali dosa yang kubuat kurasa… Takut aku entah siapa yang dibuatnya meninggal nanti…” kusut masai muka sobatku ini.

“Aku juga… Klen taulah kerjaanku sama si Buana kek mana… Sebentar ke kota sana… gak sampe dua jam ke kota ini… Ke luar negri situ… Mengunjungi cabang-cabang perusahaannya… Jauh dari anak binik… Ketemu banyak jenis orang… Perempuan juga apalagi… gak keitung banyaknya… Selanjutnya klen tau ceritanya kemana… Uang mudah… Makan enak… Perempuan banyak… Kerjaan kek gitu… Kurang enak gimana lagi?… Semua bisa kuraih… Apalagi abis investasimu itu, Seng… Udah besar kali kepalaku… Udah banyak rencana-rencana yang kubikin di sini…” ditunjuknya pelipisnya akan buncahan ide-ide brilian tentang dunia otomotif yang sangat dikuasainya. “Sampe mau buat mobil listrik rencananya aku kalo udah cukup duitnya…” ia mendesah menghembuskan nafas panjang. “Buyar semuanya…”

“Memang pukimak kali si anjeng Lord Purgatory itu… Entah kek mana nanti kita bilangnya sama orang rumah… Maa… Rumah ini bakal disita bank… Sementara rumah kita yang di Mabar belum selesai renovasinya… belum bisa ditempati juga… Kita ngontrak dulu-ya?” gimana rasa malunya aku mengatakan itu semua pada istriku. “Orang rumahku tentu tak akan keberatan dengan semua kondisi ini karna dulu kami pertama kali nikah-pun ngontrak rumah kecil-nya kami… tetapi gimana ya…?” keluh kesahku.

“Jadi… kek gimana-lah? Kita apain si pukimak Lord Purgatory itu? Kalo kita datang petentengan (sok jago) kek gitu ke Alas Purwo… itu namanya cari mati, kan? Kita buat rencana yang matang kalo klen setuju…” kata Kojek yang terdengar optimis walo dengan nada yang pesimis mengingat pamor dan reputasi Alas Purwo yang menggetarkan ginjal.

“Yaa… harus ada rencana…” setuju Iyon.

“Benar… Harus ada rencana…”

Kami bertiga lalu menoleh ke arah suara itu. Suara yang mengganggu kami. Dia berdiri tepat di depan pintu yang telah ditutup Kojek tadi. Ia bersandar dengan santainya di pintu itu tanpa khawatir apapun. Kami bertiga langsung melemparkan kursi-kursi plastik yang kami duduki dan bersiap untuk menyerangnya. Ya, dia Lord Purgatory sendiri yang muncul di depan kami.

“Di belakangku ada banyak orang, loh… Ada ibumu…” mengarah padaku. “Ada iparmu yang masih hidup… dan jenazah adikmu… Juga jiran tetangga yang berbaik hati datang berkunjung… Jangan lupa…” ia tetap bersandar dengan tenangnya. Aku sangat geram sekali dan pasti kedua sobatku juga sama. Tapi benar yang dikatakan mahluk keparat gak jelas juntrungannya ini. Kalo kami menyerangnya dan ia mengelak, orang-orang di dalam rumah pasti yang terkena dampaknya. Apalagi itu adalah ibuku diantaranya.

“Apa kau mau menyatukan suami dan istri itu untuk bersatu di alam baka? Beserta dengan ibumu juga?” ungkapnya lagi.

Tanganku mengepal erat dan terasa panas oleh bola api yang sewaktu-waktu akan membara. Begitu juga dengan Iyon dan Kojek yang sudah menyiapkan jurus terkuatnya untuk segera membinasakan sosok menyebalkan ini.

“Akan ada banyak kehilangan yang bisa kusebabkan kalo aku mau… Kalian tentu tau itu… Secepat apapun kalian kembali ke tempat orang-orang yang kalian sayang di rumah sana…” ia mengacungkan tangan kanannya. “Dengan jentikan jariku… antek-antekku yang mengawasi rumah kalian akan dengan mudah menghabisi anak dan istri yang kalian cintai… Seperti dijagalnya lembu-lembu itu…” ia mengarah pada Kojek dengan kasualnya. “Rusak seperti kendaraan-kendaraan itu…” kemudian beralih pada Iyon. “Dan tangisanmu barusan… Sedih sekali bukan…”

Kurang ajar!! Ia terus memprovokasi kami bertiga. Aku yang terbiasa melakukan itu, gak tahan mendengarnya. Kepalaku terasa mendidih lagi. Rahangku mengetat keras. Kepalan tanganku terasa sakit karena terlalu diperas hingga sendinya berderak-derak. Tapi ancamannya benar semua!

“Snap!”

TIDAK!!

Ia menjentikkan jarinya.

Mahluk ini benar-benar jahat. Pure evil, kataku. Terlalu banyak sandera yang dimilikinya dengan niat jahat terstrukturnya. Mata kami bertiga melotot melihat jentikan jarinya yang bertindak sebagai kode bagi antek-anteknya untuk menghabisi anak dan istri kami di rumah. Ini seperti buah simalakama yang sebenarnya. Dimakan mati emak, tak dimakan mati anak dan istriku.

“Maafkan kami…”

“Plop!” sebuah gelembung besar pecah tetapi kami tak lagi ada di belakang rumah kontrakan adikku, melainkan berada di lebatnya hutan belantara. Kami bertiga terjungkal jatuh di tanah yang tertutup daun-daun guguran pohon hutan. Kami segera tersadar ada di mana sekarang. Ini adalah hutan…

“Selamat datang di Alas Purwo… Hutan keramat yang ditakuti banyak pihak…” Lord Purgatory membentangkan tangannya dengan bangga mempersembahkan daerah ini. Apakah ini daerah kekuasaannya? Ia berputar-putar pelan menikmati pemandangan asri kehijauan dimana mata memandang. Di keadaan damai, mungkin ini pemandangan yang menyenangkan untuk bersantai. Tapi ini tetaplah Alas Purwo. Ini Alas Purwo yang sebenarnya karena keadaannya terang sesuai waktu yang berlaku sekarang.

“Snap! Snap!” ia menjentikkan dua tangannya yang masih membentang. Seketika alam berubah cepat lagi menjadi semacam alun-alun luas dengan bangunan istana model kraton kuno jaman dulu. Langit gelap pertanda ini adalah daerah kekuasaan Menggala aliran kegelapan. Ada dua buah pohon beringin raksasa kembar di sisi kiri kanan alun-alun ini. Lord Purgatory ada jauh di sana, di belakang barisan ribuan pasukan bersenjata tombak dan pedang yang menghadang kami bertiga. Berbaris rapi dengan gagahnya. Mereka ini bukanlah manusia, hanya jin yang menyaru berbentuk manusia pasukan perang zaman dahulu. Ada empat ekor gajah yang ukurannya sangat besar sekali. Gajah Asia tak sebesar itu, gajah Afrika juga tidak, lebih mirip ukuran mammoth yang dikendarai pawang-pawang bersenjata dan pasukan panah. Sekali lagi ini alam ghaib. Ratusan titik api obor menerangi keliling alun-alun ini memberi semburat jingga dan merah di mana-mana.

“Kalian mau ini menjadi perang penentuan?” tiba-tiba Lord Purgatory sudah ada beberapa langkah di depan kami. “Saat ini kalian sudah masuk di daerah kekuasanku…” ia berdiri santai dengan tangan di belakang. Muncul di belakangnya dua sosok peri berambut kelabu dan ungu.

Dengan percaya diri ia mengundang kami bertiga di daerah kekuasaannya. Daerah kekuasaan seperti yang dimiliki Menggala. Entah apa saja yang telah dilakukannya selama ini hingga bisa mencapai ini semua. Terlebih, dirinya mahluk hidup macam apa aja gak jelas. Bukan dari golongan jin ato manusia juga bukan hewan apalagi tumbuhan. Bagaimana ia bisa memiliki daerah kekuasaan seperti ini. Daerah kekuasaan yang berisi kerajaan seperti yang kupraktekkan?

“Jawabannya?” desaknya.

Sejenak kami bertiga lirik-lirikan. “Ya… Ini perang penentuan…” jawab Iyon mewakili trio Ribak Sude.

“Clap!” ia menepuk tangan dengan keras hingga terdengar sampe ke seluruh penjuru alun-alun. “OK… Ini akan seru… Perang terbuka… ato perwakilan saja?” tanyanya lagi. Perang terbuka tentu saja dengan menggunakan pasukan yang banyak seperti yang selama ini telah kusiapkan dengan jumlah ribuan pasukan peri. Perang perwakilan tentu saja pertarungan satu lawan satu. Tiga lawan tiga. Ia akan menggunakan dua peri itu sebagai bagian timnya?

“Kau mau menggunakan pasukan perimu, Seng?” tanya Iyon padaku. Aku hanya mengangguk. Untuk inilah aku bersusah payah membesarkan jumlah periku sampe sebanyak ini. Untuk inilah mereka telah berlatih perang hingga bersemangat tempur yang militan. Untuk inilah mereka melatih kemampuan perang hingga mencapai taraf prajurit tangguh siap perang.

“Perang terbuka…” jawab Iyon.

“Oh well… Perang terbuka jadinya… Kalian berdua bertugas di belakang seperti skenario yang sudah kita rencanakan sebelumnya…” ujar Lord Purgatory pada dua peri pendampingnya itu. Kedua peri itu lalu mundur ke belakang barisan pasukan bersenjata. Peri berambut kelabu itu sudah sering kudengar sebagai peri penyihir yang melakukan zombiefikasi pada peri-peri yang telah mereka taklukkan. Zombie yang sepertinya telah habis dibantai Adipawana kerajaan Istana Pelangi di perang dahsyat sebelumnya. Hanya saja peran peri berambut ungu itu yang belum diketahui. Ada juga peri berambut serupa sebagai warga biasa di kerajaan Istana Pelangi, tetapi tak kuketahu apa kemampuannya.

“Untuk pengingat saja… Sutan Mandalo Nasrul Chaniago… alias Aseng… Kalau kalian kalah… aku akan mengambil semua permata peri di mahkotamu itu… Jaga baik-baik…” ia berdiri tenang lagi walo berani-beraninya mengultimatumku seperti udah yakin kali akan memenangkan perang ini.

“Kau tunggu saja… Kau akan mati…” aku tunjuk langsung hidungnya. Si bangsat pukimak itu hanya tersenyum meremehkan.

“Kita akan lebarkan arena peperangan kita…” ujarnya lalu merentangkan tangannya kembali seperti mendorong sesuatu ke kiri dan kanan. Ajaib, alun-alun yang sudah luas ini semakin luas saja karenanya. Sekali lagi karena ini daerah ghaib. “Dengan begini kita bisa berperang dengan leluasa, bukan? All out tanpa ditahan-tahan…” Setelah itu, pasukannya melakukan susunan barisan ulang. Tiap barisan dibagi menjadi beberapa bagian lagi untuk mengisi ruang kosong yang baru saja diciptakan Maharaja-nya. Hingga walopun alun-alun telah diperlebar, tetap saja seluruh pasukan Lord Purgatory masih bisa mengisi ruangnya.

“Sudah-sudah… Kita mundur dulu menyiapkan pasukan perimu, Seng… Jek… Mundur…” kata Iyon menarik kami berdua yang gak sabaran untuk mengobrak-abrik pasukan songong di depan kami itu. Itu cuma nafsu aja karena gak mungkin kami menghancurkan pasukan sebanyak itu tanpa jumlah pasukan yang seimbang juga.

——————————————————————–
“Pasukan peri kita bagi empat sesuai jenis perinya… 444 peri Aruna di sisi sini…” tunjuk Iyon pada kotak yang digambarnya di tanah, sebelah kanan luar. “Yang terdepan pasukan berpedang dan pasukan panah di belakang…” pasukan itupun lalu dibagi dua sesuai kemampuan mereka. “Kita anggap selama kita tinggal ini, 407 telur peri Kencana itu sudah menetas dan sudah mulai berlatih… Terimakasih pada perbedaan waktu yang banyak kali antara daerah kekuasaanmu dan dunia lainnya… Kita tempatkan mereka di sebelah sini…” tunjuknya pada kotak di kiri luar. “Dibagi dua juga… karena saat perang di kerajaan Istana Pelangi, kuliat mereka jago memanah dan berpedang juga…”

“Nah… yang jadi pasukan utamanya adalah 701 peri Dawala yang semuanya murni pasukan berpedang… Mereka letaknya di ujung tombak… Disini…” tunjuk Iyon pada garis berbentuk segitiga yang ada di tengah depan. “Sementara 928 pasukan peri Asti di belakang mereka yang sebagian berpedang menjadi pasukan lapis kedua untuk membersihkan gelombang pertama peri Dawala… Sisa pasukan bertombaknya berjaga-jaga di belakang kalo lawan merubah taktik hingga mereka bisa menerobos maju membantu serangan…” Aku dan Kojek mengangguk-angguk paham.

“Motor semua serangan ini adalah kita bertiga… Ditambah masing-masing ratu tiap peri plus kelima peri kasta tinggi itu… Tempatkan keempat peri itu sesuai elemen kelompoknya untuk semakin memperkuat pasukan perinya… Kecuali tentu peri Awyati yang tak punya teman sama sekali… Ia akan ikut bersama kita… Kita hancurkan semua pasukan Lord Purgatory itu bersama-sama…” tutup Iyon dengan kepalan tangan mantap.

Bersama-sama!

Sesuai briefing yang dilakukan Iyon barusan, aku hanya perlu memanggil tiap-tiap pimpinan para peri; yaitu para ratunya. Empat ratu peri berelemen itu langsung muncul di hadapanku. Segera kujelaskan posisi-posisi mereka dalam formasi perang ini. Sesuai prediksi Iyon, semua telur peri Kencana sudah menetas semua dan telah mendapat pelatihan dengan yang cukup. 2480 pasukan peri ini pasti akan bisa menghancurkan pasukan maharaja Lord Purgatory dengan gemilang. Aku juga secara khusus memberi arahan kelima peri kasta tertinggi itu akan posisi mereka di perang terbuka ini. Mereka dengan cepat segera paham fungsi mereka.

Sisa pasukan awal kerajaan Istana Pelangi beserta warganya dan beberapa peri Aruna-ku tetap tinggal di kerajaan Mahkota Merah. Juga pengendali air dan pengawal ratu Nirada tidak ikut. Itung-itung berjaga-jaga di istana kerajaan. Trio kelompok petarung dan kelima anggota kelompok pemburu juga ada di barisan pasukan peri Aruna. Eka, Dwi dan Tri lebih pada mendampingi para keturunannya yang mengambil peran besar di perang menentukan ini.

“Terima kasih peri-periku. Ini perang penentuan. Bakti kalian pada kerajaan Mahkota Merah akan ditentukan saat ini. Kematian itu adalah hal yang pasti datang tapi kemenanganlah yang kita tuju… Kita akan menghancurkan angkara murka ini… Bagi peri dari tiga kerajaan… Peri Asti, peri Kencana, peri Dawala… Merekalah yang telah menghancurkan tanah air kalian dahulu… Menjadikan saudara-saudara kalian menjadi zombie… Merendahkan jasad-jasad mereka dengan noda yang memalukan… Kita basmi mereka semua… Siaaaappp??!!” kuacungkan pedang Paksapeti ke udara.

“SIAAAAAPPP!!!” jawab mereka serempak dengan acungan senjata di tangan mereka. Suara mereka membahana memenuhi langit gelap yang diterangi ratusan obor.

Barisan lalu membentuk dengan serempak sesuai arahan dari para pemimpin pasukan yang merupakan para ratu peri sendiri dibantu oleh satu peri kasta tinggi yang bisa disejajarkan posisi kapten pasukan. Pasukan peri Aruna dipimpin ratu rookie Pancaka dan Agni, pasukan peri Asti digawangi ratu Lawana dan Rasa, pasukan peri Dawala dimotori ratu Nirada dan Praba dan pasukan peri Kencana ada di tampuk ratu Kanaka dan Rukma. Awyati ada di depan bareng aku, Iyon dan Kojek. Ada dua sosok bersayap di mata tombak penyerang; Kojek yang bersayap putih dan Awayti yang bersayap hitam.

Aku memegang erat perisai quarsa di tangan kanan dan pedang Paksapeti di tangan kiri, bakiak Bulan Pencak di kedua kaki. Tenaga penuh untuk perang penentuan ini. Iyon mengulurkan cambuk terkuatnya yang berjuluk Kamarasuta, bergerak-gerak sendiri seperti ekor ular. Haus menghantam mangsa. Kojek sendiri sudah full body dengan teknik Nabirong dan dikombinasikan dengan Angka Silgang hingga sayap putih lebar malaikatnya mengembang lebar. Awyati melirik berkali-kali pada sayap putih Kojek yang kontras dengan tubuh hitamnya, sepenuhnya berbeda warna dengan sayapnya yang malah hitam.

“Kita mulai begitu mereka mulai…” kata Iyon yang menyabarkan kami semua. Padaku yang menggenggam erat-erat perisai dan pedang ini, pada Kojek yang tangannya sudah bersinar berkelip-kelip, pada Awyati yang berkali-kali mengepakkan sayapnya.

Terdengar genderang dipukul bertalu-talu di sana. Tombak terangkat di pasukan terdepan, ada ratusan batang menunjuk langit. Genderang berikutnya memberi tanda untuk pasukan bertombak itu untuk mulai bergerak. Terdengar derap langkah tegap dari seberang sana pertanda mereka mulai bergerak. Pasukan yang ada di sampingnya menyatukan barisan pada pasukan bertombak yang bergerak maju.

“Kasih mereka hujan…” instruksi Iyon padaku. Aku segera memberi tanda pada ratu Pancaka dan ratu Kanaka yang punya pasukan pemanah. Agni dan Rukma segera berlari ke belakang pasukannya untuk memberi perintah ‘hujan’.

Melambunglah ratusan anak panah ke atas langit gelap membentuk sudut lengkung yang indah dari dua sudut pasukan kami. Mengarah pada barisan panjang musuh yang berbaris rapi maju berderap. Karena ini kami menggunakan dua sayap pemanah untuk dapat menghajar tusukan pasukan musuh yang bermaksud bergerak maju dengan melubangi pertahanan mereka dari samping sebelum kami benar-benar berbenturan.

Desing anak panah turun menghujam ke arah bumi dari dua sayap kanan-kiri pasukan kerajaan Mahkota Merah. Mengarah ke samping pasukan musuh yang berbaris rapi. Terdengar genderang susulan, “Dank dank dank!” Dengan kompak dan rapi pasukan bertombak yang ada di depan menceraikan barisannya dan mundur ke belakang. Pasukan bertombak ini juga dilengkapi perisai lebar berbentuk oval dan tepat pada waktunya menutup pertahanan pasukan berpedang yang tak akan mungkin bisa bertahan dari hujanan ratusan anak panah.

Perisai lebar berbentuk oval itu diacungkan ke atas tepat momennya untuk menapis semua hujan anak panah itu. Berdenting-denting suara anak panah membentur perisai yang terbuat dari kayu itu. Beberapa ada yang menembus tertancap, sebagian besar hanya terpental, sebagian kecil ada yang menemui sasaran dan melukai pasukan lawan bahkan ada yang langsung membunuh. Lubang yang ditinggalkan prajurit yang tewas langsung ditambal oleh prajurit lainnya.

Barisan terdepan yang telah ditinggalkan prajurit bertombak itu merupakan prajurit berpedang yang dengan suara genderang kemudian berlari menerjang cepat. Kecepatan lari mereka sangat tidak wajar dan langsung terjawab begitu mereka merubah bentuk menjadi berbagai jenis siluman hewan hutan yang ganas. Ada bermacam hewan buas antara lain harimau, macan kumbang, macan tutul, srigala hingga beruang. Ini bagian kami berempat yang ada dibarisan paling depan, sisanya yang terlewat akan menjadi makanan pasukan ratu Nirada.

Kojek dan Awyati yang pertama kali berbenturan dengan siluman-siluman hewan ini berkat sayap yang cepat melesatkan tubuh mereka berdua. Beberapa sosok hewan buas itu langsung terpental ke sana kemari berkat kedahsyatan ilmu Angka Silgang Kojek dan kekuatan tingkat tertinggi peri Candrasa itu. Aku dan Iyon menyusul di belakang mereka. Yang pertama kali kuhajar tentu saja satu sosok harimau besar yang berani-beraninya bertingkah di depan silat Mandalo Rajo-ku. Kepalanya terpuntir ke sudut yang salah dan kuhempaskan ke arah srigala yang sedang melompat hingga keduanya terbanting.

Seekor srigala lainnya hendak melompat ke punggungku, mengincar punukku mendapat tusukan tembus hingga ke punggungnya dengan pedang Paksapeti ini lalu kuhantam kepalanya hingga pecah dengan perisai quarsa ini. Gempuran berat terasa hendak menghantam kepalaku dari seekor siluman beruang besar berwarna hitam. Kusambut gempuran tangan besarnya itu dengan satu sepakan penuh tenaga dilambari Gugur Glugur. Tangannya langsung putus oleh ledakan tendangan andalanku. Kepalanya lalu berlubang besar terbakar oleh panasnya semburan sinar thermal yang tak tanggung-tanggung menembus hingga mengenai dua siluman lain di belakangnya.

Aku melepaskan semua amarah, emosiku pada pertarungan di peperangan ini. Semua kekuatan yang kupunya kulepaskan tanpa ditahan-tahan lagi. Begitu juga dengan Iyon dan Kojek. Kami bertiga seperti berpesta pora membantai para siluman gelombang pertama bagian kami ini. Cambuk Kamarasuta Iyon berkali-kali menyabet putus bagian tubuh siluman hewan buas ini hingga berserakan. Terkadang ia juga mengendalikan satu-satu siluman ini untuk menyerang rekannya sendiri. Cambuknya berkelebat cepat menari-nari dengan lincahnya menyabet lawan siapapun. Darah dan jeritan sakit yang bisa terlihat dan terdengar jelas di mana-mana.

Kau menginginkan perang, darah yang kau dapat.

Kojek dan Awyati menghabisi siluman terakhir masing-masing. Pukulan sinar Kojek memusnahkan lawannya, sementara pukulan tapak tangan Awyati dengan mudah melubangi dan menggerogoti tubuh lawannya seperti karat hitam. Keduanya bekerja sama seperti malaikat kematian yang kompak.

Selesai menghabisi pasukan awal pasukan musuh yang ternyata adalah pasukan siluman hewan buas, ternyata pasukan musuh sudah menyebar kembali. Membentuk barisan melebar yang semakin bergerak mendekat. Dengan jarak segitu, tidak efektif lagi untuk menggunakan panah karena di barisan terdepan dilindungi oleh pasukan bertombak itu. Perisai mereka akan melindungi yang di belakangnya jika tembakan panah mengambil jarak pendek. Berderap-derap langkah pasukan yang menyebar luas yang kalo ditilik lebih teliti lagi akan mirip dengan capit. Capit yang bermaksud untuk menjepit kedua sayap pasukan kerajaan Mahkota Merah.

“Mundur…” instruksi Iyon. Ini karena kami harus memberi jalan pada pasukan yang memiliki spesialisasi khusus untuk maju melancarkan serangan.

Dari sela-sela pasukan berpedang yang ada di barisan paling depan, menyusup maju beberapa peri dari belakang. Tadinya mereka ada di barisan paling belakang, di belakang pasukan panah malah. Puluhan peri Aruna, peri Asti dan peri Kencana ada di barisan terdepan sedang menyiapkan sesuatu.

“Serang!” hampir berbarengan teriakan ketiga ratu itu memberikan instruksi begitu lawan sudah berada di jangkauan tembakan serangan elemen.

Para peri Aruna menembakkan semburan api berjuluk Pawaka dari beberapa bagian tubuh mereka. Dari bagian tinju tangan, dari hembusan mulut, dari pandangan mata dan sebagainya. Semburan api seperti flamethrower itu dengan sadis menghantam perisai-perisai yang digunakan prajurit bertombak terdepan itu. Perisai kayu itu tentu saja dengan mudah terbakar hangus. Membakar bahkan personil yang menggunakannya. Tak sedahsyat Adi Pawaka milikku tetapi ini sangat efektif menghabisi pertahanan musuh karena yang terbakar bisa menularkannya pada yang ada di dekatnya sekali sentuh.

Para peri Asti yang ada di posisi paling belakang ini, menyeruak dari samping barisan peri Dawala. Mereka masing-masing lalu melakukan pose Kamehameha itu. Dengan cepat lontaran cepat panah air Banatirta melesat cepat, menghantam dan bahkan menembus perisai-perisai kayu itu. Panah air ukurannya lebih besar dari panah biasa dan kekuatannya 4 kali lebih besar hingga dua kali hantaman saja perisai itu hancur. Tak hanya menghancurkan perisai, pengguna perisai juga tunggang langgang terkena hantaman. Berkali-kali peri Asti spesialis serangan elemen ini menembakkan Banatirta hingga benar-benar menyapu posisi bertahan lawan.

Para peri Kencana yang paling muda sekalipun tak mau ketinggalan. Gerakan luwes tangan seperti tarian mereka lakukan dan hasilnya gabungan angin kecil-kecil bergabung dan berpadu menjadi sebuah Pawana yang dahsyat. Berputar menakutkan membentuk angin puting beliung besar mengarah pada lawan. Mau berpedang ato bertombak ato berperisai sekalipun tak ada bedanya. Semuanya disedot, diputar-putar cepat lalu dilemparkan jauh entah kemana. Kerusakan besar yang terjadi hanya menyisakan sedikit prajurit musuh yang bisa bertahan. Aksi dari peri berelemen paling bontot lahir ini pulalah yang paling banyak menghabisi musuh karena hampir seluruh barisan pasukan yang ada dihabisi oleh angin puting beliung yang semakin jauh malah semakin besar. Menghisap semua pasukan musuh.

Setelah angin itu reda, yang tertinggal adalah kehancuran besar di pihak pasukan musuh. Ratusan tubuh prajurit terjun bebas dari langit setelah diterbangkan ke angkasa oleh gabungan serangan Pawana peri Kencana. Gelimpangan prajurit yang sudah tewas tumpuk menumpuk menjadi satu. Sebenarnya itu pemandangan yang mengerikan, tetapi di peperangan hal semacam ini harus dimaklumi karena tensi dan adrenalin naik berkali-kali lipat.

Sisa pasukan musuh yang tersisa, yang masih bertahan hidup mundur terseok-seok. Tapi sepertinya pihak Lord Purgatory tak gentar sedikitpun. Ia malah menyuruh kedua peri tadi maju ke hadapan, menyambut sisa-sisa prajurit yang terpukul mundur.

“Hegkkhh…” satu prajurit yang tak lagi bersenjata itu tiba-tiba terbelalak dengan mata melotot. Sepertinya ada yang mencekik jalan nafasnya. Dia tak sendiri. Prajurit-prajurit mundur lainnya juga mengalami hal yang sama dan kemudian ambruk tak bernyawa lagi. Peri berambut ungu itu sepertinya yang menjadi biang horor ini. Mundur adalah kematian bagi semua prajurit rendahan ini. Kedua peri itu terus maju melangkah. Hanya dengan tatapan matanya, peri berambut ungu itu menghabisi prajurit yang lari ketakutan melihat rekan-rekannya telah dibantai pihaknya sendiri dengan kejam.

Tapi tak ada yang bisa lolos dari pandangan mata menakutkan itu. Semua mati bergelimpangan.

Peri kedua—peri berambut kelabu itu lalu melakukan sesuatu hal lain. Ia menghembuskan semacam serbuk kemilau yang segera menyebar dengan cepat ke arah mayat prajurit-prajurit yang telah tewas baik oleh serangan pihak kami maupun oleh pihak mereka. Serbuk kemilau itu ditiupnya walo dengan cara imut ciuman jarak jauh, tetapi hasilnya sangat mengerikan…

Mayat-mayat prajurit itu bergerak lagi! Itu ternyata proses zombiefikasinya. Serbuk kemilau itu ternyata yang membuat mayat-mayat ini hidup kembali dan berubah liar. Beberapa siluman hewan buas tadi juga termasuk di antara yang bangkit kembali.

Tak semua mayat ini bisa menjadi zombie. Mayat yang bagian kepalanya sudah rusak ato hancur tidak bisa berubah menjadi zombie, tapi itu tak menghentikan kengerian yang terjadi saat ini. Serangan pada bagian kepala adalah sasaran utama yang harus kami fokuskan sekarang. Zombie-zombie itu mulai meradang maju. Sebagian masih memegang senjata, sebagian lagi hanya mengandalkan tubuh dan gigi, sebagian lagi susah payah bergerak.

“Pasukan panah maju!!” teriakku. Sayap kiri dan kanan merapatkan barisan pada bagian depan. “Panah api!” tunjukku pada pemanah dari peri Aruna. Dengan mudah para pemanah muda itu membakar ujung mata panah itu dan lalu menembakkannya ke arah musuh yang merangsek meradang. Ratusan zombie tak mengerti taktik perang itu tentu saja hanya tau maju dan maju saja demi mendapatkan sekerat dua kerat daging segar dari mangsa hidup di depannya. Pasukan panah dari peri Kencana juga sudah menembakkan anak-anak panahnya. Akurasi mereka sungguh jitu, sebagian besar tembakan panah tepat mengenai bagian kepala yang langsung membunuh zombie-zombie kelaparan ini.

Zombie yang terlalu maju segera mendapat tusukan tombak-tombak panjang peri Asti yang maju dari barisan belakang. Tak ada yang dapat mendekati pasukanku sama sekali. Panah api sebagian membakar zombie-zombie itu yang segera menyebar ke zombie lainnya yang mengakibatkan kebakaran beruntun. Medan perang semakin panas saja dengan kemenangan beruntun di pihak kami. Semua pasukan berjumlah besar Lord Purgatory sudah disapu bersih. Yang masih bertahan di barisan sana tinggal empat gajah itu yang sama sekali belum dipergunakan dari tadi. Pasti masih ada pasukan lain yang disiapkan musuh.

“Jaga di belakang!!” seru Iyon saat ia menyadari sesuatu. Aku terhenyak. Benar. Dari tadi kami hanya menyerang ke depan dengan merotasi bagian depan ke belakang dan sebaliknya. Musuh bisa menggedor dengan mudah dari belakang. Terdengar derap langkah cepat dari belakang sana. Ternyata saat melebarkan barisan pasukan di awal tadi, beberapa unit pasukannya memutar jalan untuk mengejutkan kami dari belakang. Pergerakan mereka tidak terlihat karena dilakukan saat kami sedang bertempur dengan banyak kemenangan tadi dan diselubungi gelapnya langit. Berarti Lord Purgatory sengaja melakukan ini semua, mengorbankan banyak pasukan tadi untuk ini? Biadab!

Dan yang lebih mengejutkan adalah jumlah pasukan yang menyerang dari belakang ini jumlahnya banyak sekali. Lebih banyak dari pasukan yang menyerang kami dari depan tadi. Dan dari kepulan debu tebal yang membumbung dari pergerakannya kami baru sadar kalo pasukan ini pasukan berkuda!

“Pasukan tombak menyebar di belakang!!” teriakku memberi instruksi agar tidak terlambat menutup pertahanan. Pasukan tombak yang memang posisi awalnya di belakang tetapi saat menyerang zombie-zombie tadi maju ke depan, buru-buru mundur lagi ke posisinya untuk meng-cover posisinya lagi. Tombak-tombak mereka diacungkan ke depan dan disandarkan di tanah untuk menghadang kuda-kuda yang dikendarai pasukan musuh. Di belakang tiap peri Asti bertombak itu sudah bersiap peri Dawala dengan pedang terhunus, siap menyambut musuh yang melintas menerobos.

“Hujann!!” seruku pada setiap personil pasukan bersenjatakan panah untuk menghentikan musuh dengan menebarkan maut dari senjata jarak jauh mereka. Berdesing-desing ratusan anak panah berterbangan ke arah pasukan berkuda yang semakin dekat. Beberapa pengendara kuda tumbang tetapi kuda mereka tetap berlari bersama derapan kuda yang masih ditunggangi.

“TAHANN!!” teriakku sekencang mungkin beberapa saat sebelum benturan mulai terjadi. Tombak-tombak itu bekerja dengan baik menancapkan ujung runcingnya pada tubuh kuda yang berusaha melewatinya. Beberapa ada yang bahkan sampe patah tapi berhasil membunuh kuda yang terjungkal jatuh beserta pengendaranya. Mereka langsung disambut sabetan pedang para prajurit peri berpedang hingga menjerit sekarat. Tetapi kuda-kuda lainnya terus menerjang hingga tak ada lagi tombak yang mampu menghadang mereka.

Barisan peri Asti dan Dawala yang bercampur menjadi satu berperang langsung dengan pasukan berkuda ini. Pasukan peri Aruna dan peri Kencana masih menjadi pengepung dan dibantu tembakan panah yang membidik satu persatu penunggang kuda agar segera turun dari kendaraannya. Bertarung dengan pengendara kuda akan sangat riskan dampaknya karena perbedaan ketinggian yang mencolok. Lawan dengan mudah menggerakkan tunggangannya dan membabat musuhnya dengan senjatanya yang kesulitan menjangkau karena kudanya juga bergerak dinamis membuat repot. Entah sudah berapa banyak pasukan periku yang menjadi korban serangan pasukan berkuda ini.

“RAAOOOHHH!!” itu suara empat gajah yang mulai bergerak. Berdentum-dentum suara langkahnya saat berlari dilecut paksa pawangnya untuk menyerang. Beberapa prajurit pemanah di atas gajah itu mulai menunjukkan tajinya. Beberapa peri mulai menjadi korbannya. Sebentar saja gajah-gajah sebesar mammoth itu sudah mengacak-acak medan pertempuran seperti menginjak-injak sekumpulan semut. Diperparah dengan keunggulan tembakan panah. Pasukan peri Aruna dan peri Kencana malah sudah mulai terlibat di dalamnya.

“Hajar kudanya dulu!!” perintahku untuk mengatasi pasukan berkuda yang terus merajalela dengan keunggulannya. Mendengar itu, peri Asti berpedang yang berkesempatan menyerang tunggangan lawan yang sedang sibuk menyabet-nyabetkan pedangnya di sisi sebelah, menebas salah satu kaki kuda itu hingga hewan gagah itu terjungkal jatuh otot tungkai nya terpotong. Jatuh jugalah sang pengendaranya yang segera mendapat balasan aksinya. Beberapa ujung pedang mampir ke tubuhnya sekaligus, mencabut nyawanya. Mendapat taktik begitu, para peri lain segera menirunya yang tentu saja diantisipasi para penunggang kuda itu dengan memacu kudanya menjauh dengan cepat, menerjang apapun yang ada di depannya. Walo begitu, masih saja kuda-kuda bisa dijatuhkan.

“Bagian kita gajah-gajah itu, Yon… Kojek!” teriakku yang langsung mengarah ke satu gajah terdekat denganku. “Awyati!!” panggilku dan menunjuk gajah bagiannya. Dengan menggunakan sayapnya, peri Candrasa kasta tertinggi itu terbang elegan ke arah gajah berukuran besar itu.

Prajurit berpanah di atas gajah itu segera membidikku. Tadinya ada sekitar enam pemanah di atas gajah plus satu pawangnya yang berpedang. Kini hanya ada tiga pemanah yang tersisa. Mungkin sudah dijatuhkan oleh peri pemanahku. Lesatan panah-panah segera mengarah padaku. Aku menghindarinya dengan bergerak tepat di depan gajah itu, yang tentu saja aku harus berhadapan dengan bahaya kekuatan terbesar, tenaga mentah gajah sebesar mammoth yang gak kira-kira. Pedang Paksapeti-ku berkelebat menebas kakinya.

Alamak! Kulitnya tebal kali, makjang. Hanya seperti tergores sedikit aja yang membuat mahluk raksasa ini meradang makin mengamuk lukanya bertambah setelah beberapa batang anak panah menancap di sekujur kulit tebalnya. Aku berguling mundur menjauh dari hentakan kakinya. Aku harus menggunakan jurus yang mumpuni untuk menghentikan mahlus sebesar ini. Jurus Pedang Utara… Waduh… Koleksi jurus Pedang Utara-ku sepertinya gak ada yang mampu menghancurkan kulit tebal ini. Tapi harus kucoba aja.

“Pedang Utara Menunjuk Langit…” desisku saat berjongkok di tanah tepat di depan gajah mammoth itu. Kedua tanganku yang menggenggam gagang pedang terangkat ke atas. Kuhembuskan nafas panjang dan kuhentakkan tebasan lurus ke depan. Kelebatan sinar hitam dari pamor pedang yang terbuat dari besi hitam ini menyambar cepat. Gajah keparat itu melihat serangan itu dan menggelengkan kepalanya hendak menghempaskannya dengan sabetan belalai masif-nya.

“Ctakk!!” sabetan Pedang Utara Menunjuk Langit mengenai sebelah gadingnya, memotongnya tapi tak sanggup menghentikan ayunan belalai itu.

“WRRROOHHHH!!”

Aku terhempas oleh hantaman massa otot gempal dibalut kulit tebal entah berapa senti itu. Rasanya bagaikan ditubruk sebuah truk kontainer benturannya. Tanganku yang bersilang di depan dada tak mampu meredam hentakan yang luar biasa kuat ini. Mencelat tubuhku terhantam serangan itu. Seekor kuda yang tak berpenunggang rubuh dihantam tubuhku. Beberapa peri membantuku berdiri saat kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengenyahkan rasa pusing yang bercokol di kepalaku. Saat ini aku merindukan pedang Selatan. Serangan destruktifnya selalu dapat diandalkan untuk menghajar musuh. Tapi mandau-ku masih rusak.

Tak ada waktu untuk menginginkan hal yang belum pasti. Gajah-gajah ini harus segera dihabisi dengan cara apapun. Panah-panah yang melesat dari prajurit di atas pelana itu masih saja menjadi momok yang mengganggu. Di sebelah sana, Kojek dan Iyon juga masih sibuk dengan gajah mammoth bagian mereka. Sementara Awyati malah sudah membereskan bagiannya yang mengakibatkan gajah sebesar itu gosong menghitam entah dengan cara apa. Kuat juga ternyata peri berambut hitam itu. Padahal pengalaman bertarungnya masih minim, sementara kami tiga bapack-bapack yang udah kenyang pengalaman aja kepayahan.

Tetiba pandanganku tertumbuk pada jalinan tali-tali yang menahan pelana di punggung gajah yang sedang berusaha menginjak-injak Iyon. Kenapa gak bagian itu saja yang kumanipulasi?

Kupompa panas dari rubi api agar memberiku panas agar kecepatanku meningkat laksana lokomotif. Kepulan uap panas berhembus dari bagian tubuhku. “Fyuuu…. Wuuff…” aku melesat cepat. Gajah mammoth itu berusaha menghantamku kembali dengan belalai tebalnya. Aku berkelit menghindarinya. Di kejauhan sana aku sudah melihat titik hitam yang terbang semakin mendekat. Aku percaya dengan kecepatannya untuk tiba tepat waktu di sini. “GUGUR GLUGUR!!”

Kubenturkan hantaman belalai berbahaya itu dengan kedua tapak kakiku yang berisi Gugur Glugur. Ledakan hebatnya sampe menggetarkan seluruh tubuh gajah itu tapi tak sampe menumbangkannya. Tapi dengan demikian aku terlontar mencelat menyongsong benda terbang yang semakin mendekat itu. Ia mengibaskan bagian kepalanya yang segera melontarkan isinya berputar cepat.

Di udara, dengan sigap aku menangkap gagang mandau Panglima Burung yang sudah pulih kembali ke bentuk awalnya di tangan kananku. Aku sudah menyimpan perisai quarsa dari mulai bergerak tadi, hingga kini di kedua tanganku sudah punya dua pedang Utara dan Selatan lengkap. “Makasih, Panglima Burung…” aku masih mengudara di ketinggian bak seekor burung dengan bebasnya meniru apa yang sedang dilakukan burung Enggang mistik dari Kalimantan itu, dengan dua bilah pedang kuat di tanganku.

Bangsat memang tiga pemanah di punggung gajah itu, mereka segera menghujaniku dengan tembakan anak panah mumpung aku berada di udara begini. Kupapras semua anak panah itu lalu menyiapkan serangan balik. “Pedang Utara Terbang ke Gunung!” kuputar tubuhku terlebih dahulu sembari membalik arah pegangan pedang Paksapeti di tangan kiriku. Lalu secepat kilat kubalikkan arah putaran dan menyabetkan pedang milik ratu peri Candrasa ini sekuat ototku mampu menahannya.

Sambaran pedang ini membabat ketiga pemanah pukimak yang dari tadi merepotkan di punggung gajah mammoth itu. Sang pawang pengendali itu luput karena ia menunduk tepat waktu menyelamatkan lehernya dari tertebas serangan Pedang Utara-ku. Ia membelokkan gajah bengkak itu ke arahku yang meluncur turun. Berdentum-dentum lagi suara langkah kaki beratnya mengganggu mengokohkan kuda-kuda. Aku tentu masih punya sisa kecepatan lokomotif panasku. “Whuusshh…”

Secepatnya aku berkelit menghindari hantaman kaki ato belalainya juga tusukan gadingnya yang tersisa. Aku menghindar berkelit masuk ke bawah perutnya dengan menebas semampunya ke kulitnya yang luar biasa tebal. Ia percaya diri sekali dengan ketangguhan kulitnya hingga ia hanya membelokkan tubuhnya kembali mengejarku. Aku hanya terlalu lincah untuk menjadi korban gencetan bebannya yang luar biasa berat. Hingga… penunggang gajah yang merupakan pawang gajah itu tak mampu mempertahankan posisinya lagi. Ia terjatuh dari posisinya yang sedang mengendarai gajah itu.

Aku telah memutus semua tali yang mengikatkan semua pelana dan keranjang di tubuh gajah itu.

Pelana serupa sadel beserta keranjang kayu dimana tadi ada beberapa pemanah beserta amunisinya jatuh tak pelak lagi ke tanah. Diperparah, hancur berkeping-keping diinjak sang gajah yang salah melangkah. Dengan cepat aku mencelat ke arah sang pawang dan menghabisinya dengan sabetan pedang walo ia berusaha mempertahankan dirinya hingga tak ada lagi yang mengendalikan gajah itu. Ia menjadi gajah liar saja layaknya tanpa pawang.

Dari gerakannya, ia masih mengenaliku sebagai musuh, gerakan belalai berbahayanya menandakan itu. Tetapi hewan sebesar ini tentunya lambat bergerak karena sebentar saja aku sudah ada di samping tubuhnya, mengangkat satu gading miliknya yang sudah sempat kupotong lalu menendangnya dengan kekuatan Gugur Glugur.

“BLLAAARRRHHHH!!” ledakan dahsyat jurus memakai bakiak Bulan Pencak pada pangkal gading berukuran raksasa ini menyebabkannya melesak cepat bak peluru. Gajah itu berupaya memperbaiki posisinya menghadapiku, tetapi terlambat. Gading runcing melengkung itu berputar dan menusuk seperti membor lehernya hingga tembus ke sisi lainnya.

Melengking seperti suara terompet sangkakala KW suara gajah itu mendapati lehernya ditembusi gading miliknya sendiri. Jatuh berdebum setara gempa benturan tubuh gajah itu menghantam bumi. Menyusul kemudian suara terompet melengking lainnya menandakan Iyon dan Kojek juga sudah menghabisi gajah mammoth bagiannya hingga lengkap empat gajah seukuran raksasa itu sudah kami bereskan. Aku terengah-engah lega aku sudah berhasil membereskan satu halangan dari pihak musuh. Dan ketika kusapukan pandanganku ke peperangan yang masih berlangsung…

Hatiku terenyuh.

Makjang… Banyak sekali peri mudaku yang telah menjadi korban. Hanya segelintir saja sosok-sosok peri berambut berwarna-warni itu yang masih bertahan dan berdiri tegak. Mayoritas sudah terkapar di tanah campur baur dengan gelimpangan musuh dan kudanya.

“Baginda… Laporan, baginda…” Eka merapat berusaha melaporkan situasi padaku dengan ngos-ngosan. Harusnya ratu Pancaka yang melapor padaku sebagai pimpinan tertinggi peri Aruna saat ini. Ia mengalami berbagai macam luka di tubuhnya. “Ratu Pancaka masih terus berusaha menahan musuh di sebelah sana, baginda…” tunjuknya ke arah sana. Terlihat pilar api yang sangat besar membumbung tinggi. Ratu Pancaka sampe harus mengeluarkan tenaga sebesar itu.

“Apakah Agni bersamanya?” tanyaku melirik ke tempat lain. Ada keanehan yang mengerikan yang kurasakan saat ini. Auranya seperti aura kekalahan yang sangat gelap. Gelombang air yang sangat tinggi berderu-deru, tiupan hembusan angin yang sangat luar biasa cepat. Semuanya berbahaya ditambah kilatan-kilatan sinar sambar menyambar seumpama petir. Suasananya jadi menakutkan.

“Ratu Pancaka sedang menahan Agni, baginda…” sahutnya. Tentu kaget aku mendengarnya. “Agni sepertinya membelot dan berkhianat baginda… Peri-peri kasta tertinggi itu kini ada di barisan musuh…” tuntas Eka yang mengarahkanku untuk menjauh karena lesakan api yang sangat besar menjalar di tanah hingga membuat parit-parit berapi. Belum lagi kerusakan pertarungan lain di sudut medan peperangan lain. Tak memberi kesempatan bagi korban-korban yang mungkin masih hidup untuk diobati ato malah diselamatkan. Tak ada yang sempat melakukannya. Korban bertambah banyak akibat efek samping pertarungan elemen yang mengerikan.

“Agni membelot?!” mataku rasanya melotot tak percaya.

“Rasa… Rukma… Praba juga, baginda…” katanya menatapku khawatir. Di sebelah sana aku melihat sayap hitam milik Awyati berkelebat cepat, sedang saling hantam dengan dua sahabatku; Iyon dan Kojek. “Awyati juga…” Lengkap kelima peri kasta tertinggi itu telah berganti pihak. Ada apa ini? Kenapa kelima peri kasta tertinggi tiap elemen keturunan Eka itu bisa dengan mudahnya berganti sisi?

Apa yang terjadi?!

“APA YANG TERJADI??!!”

“Kalian menyerang musuh tanpa mempelajari lawan terlebih dahulu… Itu kesalahan fatal…” peri berambut ungu itu maju dengan percaya diri tinggi. Ia mengacungkan tangannya dengan jari terbuka. Spontan itu juga Eka terpental jauh sekali hingga tak terlihat oleh mata lamurku. “Ha ha ha ha hahaha…” ia malah tertawa terbahak-bahak sangat senang telah berhasil membuatku bingung seperti ini.

“Ekaa?” aku tercekat mencari-cari peri Aruna pertama di kerajaanku. Ia tak terlihat dimana-mana. Seketika aku khawatir mengingat gerakan yang mirip dilakukannya saat membunuh prajurit-prajurit di pihaknya sendiri dengan gestur pandangan mata yang sama tadi. “Bangsaatt!!” aku merangsek maju hendak menebas tubuhnya dengan mandau Panglima Burung-ku.

Ia hanya mengacungkan tangannya ke arahku dan tubuhku tak bisa bergerak lebih jauh lagi. Sekeras apapun aku mencoba menggerakkan tubuhku, tak ada otot tubuhku yang mau menurut perintahku. Hanya mataku yang bisa bergerak. Bergerak nyalang memeriksa keadaan sekitar. Di belakangku terasa panas oleh gemuruh pilar api yang semakin besar dari pertarungan ratu Pancaka dan Agni. Di tempat lain ada gemuruh lain seperti deru air deras yang bergulung-gulung. Kalo ada unsur air, berarti itu pertarungan ratu Lawana melawan Rasa. Jauh di sana, berkilat-kilat cepat laksana blitz petir yang sambar menyambar adalah pertanda pertarungan ratu Nirada kontra Praba. Menutup itu semua, berhembus angin kencang bak badai mematikan akibat pertempuran hidup mati ratu Kanaka versus Rukma.

Aku hanya berdiri terdiam dengan pose hendak menebaskan mandau di tangan kananku takala keempat unsur alam itu menerpaku dengan berbagai dorongannya. Peri berambut ungu itu hanya tersenyum lebar membekukanku sedemikian rupa tak bisa berbuat banyak. Kurang ajar…. Aku hanya bisa mengumpat di dalam hati.

Menggenapi semuanya, sebuah hempasan gelap menerpa kami berdua. Peri laknat itu segera menyadarinya dan segera menghindar menjauh. Tubuhku bisa bergerak lagi. Tapi itu tak lama karena ada dua sosok tubuh yang menerjang tubuhku. Tepatnya menubruk diriku karena mereka juga sedang terdorong, terbanting dan terhempas.

“Aduuhh, maakk…” keluh Iyon menelungkup di belakangku. Kojek menyilangkan kaki di atas leherku. Aku nungging mencium tanah mengaduh kesakitan juga. Kedua pedangku entah dimana.

“Seeeng… Abis kita, Seng…” keluh Kojek yang membantuku duduk bertiga saat kami dikepung oleh beberapa sosok yang gegap gempita oleh berbagai elemen kuatnya. Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati berdiri tegak mengepung kami bertiga. Elemen murni milik mereka berkobar dan menggelegak di sekitar tubuh itu. Peri berambut ungu itu juga ada di depanku bersama peri berambut kelabu satunya.

Aku coba melirik ke arah luar, dari sela-sela tubuh peri pembelot ini. Masih ada beberapa sosok tubuh peri warga kerajaanku yang tertatih-tatih mencoba bangkit walo sulit. Ternyata masih ada yang bisa bertahan dari kengerian yang baru saja terjadi. Aku tak sempat bersedih sama sekali atas kekalahan telak ini. Musuh telah benar-benar mempecundangi kami. Keparat si Lord Purgatory itu!!

 

“Kita sukses besar, Maharaja…” ujar peri berambut ungu itu memberi jalan bagi sosok musuh utama dalam cerita hidupku ini. Lord Purgatory sendiri. Ia dan peri berambut kelabu itu minggir sedikit hingga sosok berwujud pria itu dapat berdiri tepat di depan kami dengan pongahnya. Ia terbukti sangat jenius dan cerdas hingga bisa meng-orkestra-i sebuah skenario besar hingga memenangkan perang akhir ini dengan gemilang. Ia mainkan semua kartu-kartu andalannya dengan sangat baik hingga kami yang benar-benar kurang persiapan ini bisa kalah telah hancur berantakan sedemikian rupa. Entah sudah sejak kapan ia merencanakan ini semua… Aku tak tau.

Ia hanya berdiri saja memandangi kami bertiga. Terutama aku tentunya.

“Perlu kau ketahui, raja Mahkota Merah… bahwa keempat ratu perimu sudah diserap oleh peri kasta tertinggi ini di dalam tubuhnya…” kata peri berambut ungu itu menatap keempat Agni, Rasa, Rukma dan Praba bergantian. Hanya Awyati yang tidak mendapat bagian karena ketiadaannya ratu peri Candrasa. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bahkan para ratu yang memiliki kekuatan setinggi itu saja bisa mereka taklukkan.

“Makanya tadi kukatakan kalian ceroboh menyerang musuh yang tak kalian kenal kemampuannya… Aku dengan kemampuanku ini bisa mengendalikan peri kasta tertinggi semauku… Jadi tak ada gunanya kau memiliki mereka karena dengan mudah bisa kubajak seperti ini… Ha ha ha hahahaha…” tawanya girang sekali.

“Dan sekarang waktunya mengambil semua permata peri ini, maharaja…” lanjutnya setelah menyelesaikan tawanya yang menyebalkan. Di situ aku bisa melihat ekspresi puas si Lord Purgatory yang menunduk untuk melihat permata-permata peri yang berada di mahkotaku. Kupegang erat-erat apapun yang dapat kuraih dari Iyon dan Kojek.

“Fyuupp!”

Sukurlah ternyata aku masih bisa meninggalkan tempat itu, daerah kekuasaan si Lord Purgatory dengan pindah memasuki daerah kekuasaanku sendiri.

“Tidak…”

Mencelos hatiku melihat kerajaanku saat ini. Bangunan istana yang awalnya berdiri megah dan kokoh terlihat hancur di sana-sini terbakar dengan kobaran api besar yang menyala-nyala. Menara setinggi itu tumbang hingga sampai ke batas hutan dan menghancurkan rumah pohon pesanggrahanku. Sebagian hutan juga sedang terbakar dengan hebatnya. Dapat kulihat si pengendali air itu sedang sibuk berusaha memadamkan kebakaran dengan menarik air laut ke sumber api. Habis semua jerih payah yang selama ini diusahakan para kelompok pembangun dan perajin begitu saja.

Siapa yang menyebabkan kehancuran ini?

Terlihat satu pelakunya. Ia terlihat sedang berlari mengejar-ngejar beberapa peri Aruna dari dalam hutan dengan menembakkan kobaran api dari tangannya yang coba mereka tepis mati-matian. Ternyata itu salah satu dari tiga peri Agni yang kami tahan di dungeon. Pengaruh si peri rambut ungu itu bisa menembus lapisan dimensi ini dan memerintahkan mereka untuk mengamuk di kerajaanku. Padahal aku yakin sedikit lagi bisa membujuk mereka untuk bergabung kembali di kerajaan Mahkota Merah. Semuanya sia-sia. Aku memang benar-benar gegabah.

Segera kutarik kembali siapapun yang masih bertahan hidup paska peperangan di daerah kekuasaan Lord Purgatory untuk pulang ke kerajaan Mahkota Merah. Kutarik paksa!

Hanya ada lima sosok tubuh yang berhasil pulang, itupun semua berambut merah yang artinya peri Aruna semua. Eka, Dwi, Tri, Saptha, Nawa, Dasa, Ekadasa dan Dwadasa-lah sosok tubuh peri yang berhasil pulang. Itu artinya semua peri-peri muda keempat matra habis tuntas sampe ke dasar. Tewas!

Setidaknya mereka masih hidup walo sepertinya Eka tak sadarkan diri. Tujuh peri Aruna lainnya masih berusaha bangkit walo kesakitan oleh luka-luka dan lelah juga.

“Seng… Kita harus menghentikan tiga peri Agni itu apapun caranya…” kata Iyon yang sebenarnya sudah babak belur akibat pertarungannya dengan Awyati sebelumnya.

“Kalok enggak… mangkin ancur tempatmu yang indah ini…” sambung Kojek berusaha membangkitkan kembali kekuatan Angka Silgang-nya. Susah payah ia mengeluarkan sayap putih malaikat itu di punggungnya.

“Awak tau klen berdua pasti capek kali… Tapi awak mintak tolong sekali lagi… ambil satu-satu peri Agni itu… Terima kasih dulu sebelumnya… Terima kasih klen mau repot-repot begini…” seruku sambil menggenggam tangan keduanya pertanda aku benar-benar serius. Sudah terlalu banyak aku merepotkan mereka berdua dan jadi babak belur karena ulahku. Entah bagaimana caranya aku membalas kebaikan dan keiklasan keduanya membantuku.

“Kek sama siapa aja kao buat kami…” jawab Kojek. Sementara Iyon hanya menatapku tajam penuh arti. Sepertinya banyak yang hendak disampaikannya tapi terkendala waktu. Dan akhirnya ia hanya mengangguk saja. Kami akhirnya berpencar untuk menghentikan tiga peri Agni yang sedang mengamuk menghancurkan kerajaan Mahkota Merah-ku. Iyon terlihat berlari ke arah hutan, Kojek terbang ke arah gunung berapi dan aku ke istana yang sedang terbakar hebat.

Balairung yang tadinya indah dengan berbagai ornamen hiasan rumit yang dibuat kelompok perajin hancur berantakan. Bahkan tahtaku juga hancur berantakan. Taman yang ada di belakang tahta rusak terbakar masih mengepulkan asap tebal. Beberapa bagian dinding terlihat runtuh dihancurkan lawan. Terdengar suara pertarungan di lantai dua dan aku bermaksud menyusul kesana dengan menaiki tangga sebelum kubah langit-langit balairung rubuh. Aku tepat waktu mundur menghindar hampir tertimbun reruntuhan bagian kubah yang hancur berantakan.

Terlihat dua peri berambut merah menuruni tangga dengan buru-buru. Dia adalah Trayodasa dan Sadasa. Dua peri dari kelompok perajin. Satu ketua dan satunya anggota paling bontot. Keduanya berlarian tunggang langgang menghindari kelebatan gumpalan besar api yang sedang mengincar bagian punggung mereka. Tangga yang berputar menjadi penyelamat mereka karena api itu membentur bagian dinding yang baru saja mereka lewati. Saat mencapai jarak aman, langsung aja keduanya melompat ke lantai dasar dan segera mengenaliku.

“ADIDAMU!” seruku menembakkan energi kebalikan dari yang telah ditembakkan dari tangan peri Agni yang wajahnya terlihat bengis sekali hendak membasmi peri Aruna-ku. Bola apinya segera berbenturan dengan tembakan air yang bersumber dari mustika safir biru. Terjadi ledakan akibat benturan dua elemen yang bertolak belakang; api dan air. “BDLAAMM!!”

“Keluar dari istana!” seruku pada keduanya. Keduanya menurut patuh.

Peri Agni itu melompat turun dengan ringannya setelah terlebih dahulu menembakkan semburan api dari tangan dan kakinya untuk menahan laju jatuhnya. Pandangan mata peri Agni ini sangat berbeda dari pertama kali aku bertarung di istana kuno gunung berapi danau Toba itu. Ia jauh lebih bengis dan tak pandang ampun. Dan yang pasti jauh lebih kuat.

Aku tak bisa menyesali kenapa kemaren tak kumusnahkan saja ketiga peri Agni ini yang telah menjadi bara di dalam sekam akhirnya seperti sekarang ini. Aku seperti menyimpan bom berbahaya di dungeon istanaku sendiri. Dan terbukti mereka malah memporak-porandakan istana kerajaan Mahkota Merah saat kami sedang berperang sengit di daerah kekuasaan Lord Purgatory. Peri berambut ungu itu benar-benar sosok yang mengerikan. Lord Purgatory benar-benar memilih tokoh yang tepat lagi sangat efisien untuk semua keperluannya.

Aku tak menyesal menyimpan mereka di dalam dungeon, karena keinginan awalku adalah membujuk mereka untuk bergabung kembali di kerajaan Mahkota Merah setelah kulepas choker rantai hitam itu. Yang salah adalah ketidak tahuan kami akan kemampuan peri berambut ungu itu.

“RraaaAAAHHH!!” aku dan peri Agni itu adu pukul berapi di tengah puing reruntuhan balairung istana. Baku pukul dan tangkisan yang sangat panas karena melibatkan panas api yang luar biasa membakar. Hanya karena memiliki mantel rubah hitam-lah aku bisa tahan suhu yang sangat ekstrim panas ini. Apiku bersumber dari rubi api yang terus menyuplai api panas beratus-ratus derajat celcius.

“Blam blam blam…” hentakan panas meledak-ledak berulang. Kami berkelahi mengitari balairung ini. Sesekali runtuhan dinding batu rubuh di berbagai sudut menambah parah hancurnya istana yang pernah indah ini. Sayang umurnya tak lama.

“Mandalo Rajo…” kuhembuskan nafas panjang dan membiarkan cakar-cakar itu muncul di buku jari tangan kakiku. Rasa pedihnya kuabaikan begitu limpahan energi lini yang deras mengisi seluruh sel-sel tubuhku. Apa jadinya kalo harimau terbakar. Tidak akan menjadi harimau panggang. Tentunya akan menjadi harimau api…

“Rajo nan di ateh… Puak takambang…”
“Maniti jalan ka luhak sabaleh… Parigi bapanuah kiambang…”
“Babelok arah ka rimbo Rao… Dapek ruso nan balang tigo…”

“Jan hati dunsanak ka ibo… Paturuikkan hati nan sansaro juo…”
“Lapeh tali nan dipacikkan… Usah dituruikkan walau apo nan disesokan…”
“Rajo di rimbo. Datuak di ulakan… Ambo baibo… Dunsanak kabatinggakan…”

Aku bersumpah mendengar suara saluang (suling khas Minangkabau) mendayu-dayu dengan iramanya yang sedih saat aku mendengungkan tiap bait pantun itu. Pantun yang kalo dirunut satu-satu isinya memang bernada sedih dari baris pertama sampe keenam ini. Saluang mendayu-dayu membawakan nada sedih yang menyakitkan hatiku saat ini. Bagaimana tidak? Dengan cepat aku harus berpisah dengan adikku. Adikku kandung ini!

Kenapa takdir harus begini rupa, maaak? Kenapa harus Selvi yang menjadi korbannya? Kenapa harus Selvi yang menjadi korban tak bersalahnya? Dia gak tau apa-apa tentang kiprah abangnya yang berengsek ini! Dia gak tau apa-apa.

Tau apa dia tentang kiprahku selama ini sebagai Menggala? Tau apa dia kerjaanku selama ini sejak remaja menggeluti dunia ghaib dengan segala intriknya? Tau apa dia tentang dendam Lord Purgatory perihal hasrat tak sampe si Bobi pada kakak iparnya? Tau apa dia tentang semua itu?

Aku dengan Selvi tak dekat. Kami tak dekat. Padahal umur kami hanya terpaut setahun saja. Istilah orang-orang Mabar sini namanya kesundulan. Aku yang masih bayi umur empat bulan, ibuku sudah hamil lagi dengan Selvi di dalam perutnya. Mungkin dari ibuku bakat sangat subur ini berasal. Sebagai anak lelaki satu-satunya di keluargaku, aku lebih banyak bermain di luar. Bermain dengan teman-temanku, lalu saat masa dewasa mulai sibuk dengan dunia kerja. Hanya sekedarnya aja aku berinteraksi dengan keluarga. Mulai membaik setelah aku menikah dan punya anak sendiri karena mulai mengerti apa itu indahnya keluarga.

Aku melupakan banyak hal yang penting Selvi sampe-sampe ia terlambat menikah begini. Ia menikah di usia yang tak lagi muda. Harusnya itu menjadi tanggung jawabku sebagai wali pengganti ayah. Banyak hal yang tertinggal dan terlupakan.

Air mataku menguap dengan mudah di antara suhu panas ini saat tubuh peri Agni itu kusobek-sobek. Jeritannya tak lagi kuperdulikan. Jasad peri Agni terbelah entah menjadi berapa bagian saat kutinggalkan di dalam puing balairung yang terbakar.

Untuk apa aku punya semua ini semua? Istana yang besar megah dengan ribuan peri cantik di dalamnya. Untuk apa aku menjadi seorang Menggala dengan segala kemampuan ajaib yang kupunya? Untuk apa punya Mandalo Rajo yang membuatku bisa membunuh apapun yang kumau… tapi tak bisa melindungi keluargaku sendiri? Adikku sendiri. Darah dagingku sendiri. Ia berbagi darah yang sama denganku.

Untuk apa ini semua?

“SEEENGG!!” teriak beberapa suara sekaligus saat aku telah berada di luar puing bangunan istana yang masih terbakar. Itu suara Iyon dan Kojek. Mereka sepertinya juga sudah menghabisi peri Agni jatah keduanya. Ada sesuatu di atas sana. Sesuatu yang sangat besar sekali. Aku sampe harus mendongak untuk melihatnya karena pengaruh silau terang yang ada di luar sini sebagai konsekwensi sisi terang yang kupilih sebagai Menggala.

“Itu Lord Purgatory?” gumamku. Kenapa ukuran kepalanya sangat besar sekali? Ia seperti menyentuh puncak langit dengan ketinggiannya itu.

“SEEENGG!! HENTIKAN DIAAAA!! DIA JADI BATARAA KALAAAA!!” suara Iyon seperti mendekat. Tentu saja ia Batara Kala. Ia adalah raja dari semua raksasa-raksasa pemakan anak Sukerta itu. “… YANG SESUNGGUHNYAAA!!”

Batara Kala yang sesungguhnya?

Mulutnya terbuka menganga lebar. Apa yang hendak digigitnya di atas sana? Apa yang hendak dimakannya? Tak puaskah dirinya telah membunuh adikku? Tak puaskah ia dengan kematian ribuan peri muda cantikku? Apa yang hendak dimakannya?

Begitu mulutnya mengatup, semua sudah terlambat. Tak ada yang bisa kulakukan. Seperti switch stop kontak lampu jiwaku yang juga ditekan ke arah off.

Gelap gulita.

——————————————————————–
POV Narator:

Setelah sekian lama monolog Nasrul alias Aseng sepanjang cerita ini, akhirnya narator muncul lagi. Waktu itu sempat narator muncul saat pertarungan trio Ribak Sude ini ketika melawan Oppung Datu dengan berbagai begu ganjangnya.

Kita tak bisa menghubungi benak Aseng lagi setelah kejadian barusan. Kejadian takala Batara Kala sesuai kodratnya memakan matahari yang menjadi penerang daerah kekuasaan pria malang ini. Daerah kekuasaan Menggala Aseng yang biasanya terang, yang merepresentasikan keberpihakannya pada sisi terang, sisi yang mendukung kebaikan dan kebenaran. Kini menjadi gelap gulita.

Gelap gulita tak ada sinar lagi. Hasta la vista, bye-bye.

Dan pertanyaannya, apakah kini Aseng berpindah ke sisi kegelapan? Menggala jahat? Pria jahat?

Hikayat aslinya, Batara Kala memakan matahari saat gerhana matahari berlangsung hingga siang hari mendadak menjadi gelap karena sinar terangnya dihalangi oleh sosok bulan. Pada kepercayaan masyarakat zaman dahulu, masyarakat wajib melakukan kebisingan, keributan dengan membunyikan bunyi-bunyian seperti kentongan, alu dan lesung dan apapun agar Batara Kala kaget dan melepaskan matahari hingga hari kembali terang.

Tetapi terang yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung datang. Bukan karena tak ada yang membunyikan bunyi-bunyian bising untuk mengagetkan sang Batara Kala, tapi karena sepertinya Batara Kala benar-benar telah menelan matahari yang menerangi tempat ini. Kali ini Batara Kala benar-benar berhasil menelan matahari.

“Baginda raja… Hamba tak pernah meninggalkan tempat ini…” tukas satu sosok peri berambut hitam. Sosok itu kita kenal sebagai Cayarini. Calon ratu Candrasa yang sempat dikira melarikan diri, membelot dan segala macam tuduhan lainnya. Ternyata ia tak pernah meninggalkan daerah kekuasaan Aseng sama sekali. Ia selalu ada di dalam kerajaan. Mungkin bersembunyi di dalam bayangan gelap bersama telur-telurnya.

Cayarini

Aseng hanya menatap peri Candrasa itu tanpa emosi apa-apa. Padahal biasanya ia sangat merindukan keberadaan peri itu.

“Situasi gelap gulita inilah kondisi yang paling ideal untuk telur-telur hamba bertumbuh, baginda…” imbuhnya mendekat. Dekat merapat. Ia mengeluskan tangan palsu yang terbuat dari besi hitam itu di pipi Aseng. “Baginda raja telah menyediakannya untuk hamba yang hina ini…” Tangannya terus menjalar ke atas hingga alis. “Keturunan hamba akan memenuhi tempat ini…” jarinya menyentuh mahkota yang bertengger di jidat Aseng.

“Untuk harga yang pantas diperjuangkan…” Tiba-tiba ia mencengkram sisi kiri mahkota itu dan melakukan sesuatu. Tangannya bergetar untuk beberapa lama dan tak dinyana dan tak diduga berturut-turut kelima permata peri itu berjatuhan lepas dari mahkota yang selama ini ditempelinya. Opal pelangi, bidara bulan, safir biru, rubi api dan akhirnya onyx hitam jatuh ke tanah.

Who-hoo… Kelima permata peri itu lepas? Ini kejutan besar. Sangat besar…

Apa ini karena kemampuan peri Candrasa itu untuk memanipulasi besi hitam yang menjadi domain peri yang selalu berada dalam kegelapan ini? Sepertinya cuma itu alasan yang masuk akal. Apalagi katanya, mahkota itu tidak bisa dilepas sembarangan dari kepala Aseng. Jadi melonggarkan katupan yang menahan permata-permata itu adalah jalan yang paling masuk akal. Benar juga, sih.

“Apa yang kau lakukan Cayarini?” tanya pria yang pandangan matanya seperti kosong itu tak perduli. Ia hanya berdiri menatap peri berambut hitam itu mengutip kelima permata peri yang sangat berharga karena merupakan perlambang kekuasaan kepemimpinan atas peri-peri sesuai warna elemennya. Kini diraup menjadi satu oleh satu peri yang seharusnya tidak berhak. Apalagi kekuatan kelima permata itu sangatlah dahsyat karena merupakan pencetus terciptanya lima jenis peri berelemen di masa lalu.

“Baginda raja tak lagi membutuhkan permata-permata ini…” jawab Cayarini telah berdiri kembali. Tanpa melirik sedikitpun, ia menyerahkan kelima permata itu pada satu peri berambut kelabu yang entah darimana asalnya sudah ada di samping Cayarini. “Kerajaan ini tak lagi membutuhkan kelima permata itu…” lanjutnya menatap dengan ekspresi aneh pada manusia yang telah memberinya tempat di kerajaan ini, memberikannya hak akan ruang bawah tanah yang nyaman baginya dan keturunannya kelak. Peri berambut kelabu itu pergi dengan cepat, balik ke tuannya.

Pria itu-pun sepertinya tidak terlalu perduli. Ia malah mendongak ke langit, pada sumber terang yang sebelumnya ada di sana. Yang sekarang sudah tak ada lagi—telah ditelan oleh raja raksasa Batara Kala itu. Hangat dari mantel rubah hitam itu masih ada tetapi hanya sekedar panas saja tanpa menghasilkan terang seperti yang dilakukan matahari sebenarnya. Apalagi mantel itu berwarna hitam pekat yang sekedar menyalurkan panas matahari dari dunia nyata ke daerah kekuasaan Menggala pria itu.

Praktis sumber cahaya adalah sisa-sisa kebakaran yang masih berkobar di istana dan hutan. Bagi para peri yang masih bertahan hidup di kerajaan ini, kehilangan cahaya secara drastis seperti sekarang tentu sangat mengejutkan. Biasaya terang sekarang gelap gulita. Mereka berkumpul berpencar-pencar membentuk kelompok kecil. Tiap kelompok memegang satu obor yang menjadi sumber cahaya mereka. Daerah kekuasaan ini sekarang terasa menakutkan dan tak kondusif untuk ditinggali.

“Yaa… Aku tak membutuhkan lagi semua itu…” ujar Aseng berlalu dan menghilang di dalam bayangan gelap. Entah bersama Cayarini atau sendiri.

Tak lama sosok dua pria datang berlari-lari kebingungan tiba di tempat yang tadinya ada kehadiran Aseng-nya. Cahaya api yang membakar istana adalah pedoman mereka menuju kemari. Tentu saja mereka berdua dalam keadaan bingung yang luar biasa. Bagaimana mungkin cahaya terang yang biasanya ada di daerah kekuasaan teman mereka bisa hilang begitu saja dimakan.

“Kemana dia? Tadi barusan di sini, kan?” tanya pria bernama Iyon itu. Ia tolah-toleh segala arah siapa tau dapat menemukan keberadaan sahabat yang dimaksudkannya.

“Tadi disini… Jadi gimana ini? Betulnya si Aseng jadi Menggala kegelapan jadinya?” khawatir Kojek tak habis pikir dengan kejadian ini. Apalagi mereka bertiga yang dikenal sebagai Ribak Sude sudah terkenal sejak dulu sebagai tiga Menggala yang kokoh berkiprah di sisi terang. Kerap berkonfrontasi dengan sisi kegelapan yang sering membuat ulah dan keributan. Apa jadinya kalo salah satu anggotanya malah berpindah ke sisi kejahatan?

“Gak tau pulak aku, Jek… Apa ini salah satu tujuan utama si Lord Purgatory itu? Banyak kali agenda si pukimak anjeng itu… Benar-benar mau ngidupin si Bobi lagi ato enggak-nya dia?” Iyon juga bingung dan mengelap mukanya yang berkeringat lalu mengibaskannya. “Yang satu lagi bikin aku khawatir, Jek… Aseng kan Menggala Suba kita berdua… saling terkait gitu… Apa enggak kita nanti tertular masuk ke kegelapan juga?” ungkap Iyon yang tentu pantas menjadikannya khawatir begitu. Secara tidak rela berpindah sisi seperti itu akan mengerikan sekali. Beda kalau memang ia sengaja dan rela berpindah sisi.

“Amangoi… Iya jugak… Takut aku, Yon…” kagetnya menyadari kemungkinan itu. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk keluar saja dari daerah kekuasaan Aseng yang sedang tak jelas ini dengan cara mereka sendiri.

Bersambung

dukun cantik
Ceritaku waktu ritual dengan dukun sakti yang cantik dan montok
Foto Cewek Cina Cantik Putih Telanjang Memek Merangsang
Foto Telanjang Gadis Bilyard Diatas Meja
Di perkosa
Gadis Montok Yang Di Perkosa Tuju Preman Terminal
di ajakin ngentot pembantu
Di ajakin ngentot pembantu waktu aku tidur di kamar
cantik
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 2
gadis bandung
Nonton film panas dengan laras rekan kerja ku yang pengertian
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
500 foto chika bandung bugil merangsang pengen di entot
Pembantu Tetangga Minta Di Ajarin ML Bagian Kedua
istri teman sexy
Istri Temanku Yang Aduhai
Dosen Baru Yang Cantik
Cewek horny
Menikmati cumbuan cowok yang baru ku kenal waktu lembur
buah terlarang
Buah terlarang
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
gadis binal
Calon Pengantin Wanita Yang Berselingkuh Ayah Mertua Di Saat Resepsi Pernikahan