Part #95 : Mau berapa lama kita disini?
“Mau berapa lama kita disini?” tanyaku pada Iyon dan Kojek yang sedang leyeh-leyeh ngaso sambil memandangi deburan ombak kecil di pantai. Kursi pantaiku dipakai mereka berdua empet-empetan. Sementara aku pemiliknya gak kebagian tempat dan terpaksa harus puas duduk beralaskan tikar.
“Sampek bosan… Ya kan, Jek?” kata Iyon minta afirmasi pada pria berkulit gelap yang berbagi kursi pantai dengannya.
“Sampek gempooooor…” setujunya mengacungkan tinju ke depan. Lalu ia mengelus-elus selangkangannya yang hanya ditutupi boxer kek anak pantai beneran. Padahal ini karena mereka barusan menggasak beberapa anak peri Udahani yang berbentuk duyung itu. Berdua kedua sobatku itu, bahu membahu menyetubuhi entah berapa peri Udahani itu, aku gak mau nanya. Tapi yang pasti mereka sangat puas—untuk ronde itu. Karena nantinya pasti akan ada ronde-ronde berikutnya.
“Klen ini-laa… Mereka itu lagi bertugas menjaga telur berisi adek-adeknya… Masak klen kentot juga kek mamaknya?” kesalku. “Enggak dimarahi si Udaka itu klen berdua maen disitu?” tanyaku lagi membayangkan hotnya gangbang yang dilakukan Iyon dan Kojek. Aku hanya tau kalo mereka melakukan itu di lubang air terjun dimana sarang peri Udahani itu berada jauh di tengah laut.
“Mana mungkin marah dia… Sebenarnya-pun dia pengen gabung tapinya badan si Udaka itu masih lemes abis bertelur… Jadinya dia cuma nonton aja… Enak kali-lah pokoknya… Nyesel kau gak ikut tadi, Seng…” kata Iyon juga mengelus-elus selangkangannya. Celana panjang miliknya masih lembab basah seperti juga boxer si Kojek. Basah-basahan abis di sarang peri duyung itu.
“Gak nyesal-lah dia… Tiap ari-pun dia bisa ngembat peri-perinya di surga ini, Yon… Kita aja yang terlambat datang… Itupun karena setres mikirin utang yang bertumpuk…” sambar si Kojek malah menelusupkan tangannya langsung masuk ke dalam celana boxer-nya, mengelus langsung.
“Mana ada, yaa? Gak tiap peri lewat di depanku kukentot gitu aja… Bagos-bagos kau ngomong…”
“Buktinya banyak kali gini perimu kek gini… Dulu cuma 19 peri rambut merah-nya, kan? Sekarang liat… ribuan… Apa enggak tiap menit tiap detik kau kentot trus betelor?” ceplas-ceplos begini kami tiap kali ketemu. Terdengar kasar dan penuh emosi tapi tenang ini bukan bertengkar. Biasa aja-nya.
“Kalok klen berdua iya-lah… Akyu gak kek gitchuu…” ngelesku kek lekong. “Ambek gacok (andalan/bos/pimpinan)-nya aja… Dhuarr… Telornya ada ratusan… dua ratusan, tiga ratusan, empat ratusan… Mangkanya bisa jadi ribuan kek gini periku sekarang…” jelasku secara umum aja. Gak kujelaskan teknik paling mutakhirku yang tak perlu teknik pemaksaan ala si Cayarini itu lagi. Sekali embat, aku bisa mengatur jumlah telur yang kubutuhkan dengan teknik produksi telur yang asoy geboy paling amboy…
Keduanya cuma bisa manyun.
“Jadi abis klen entot anak si Udaka itu… ada yang bertelor-lah abis itu?” tanyaku. Keduanya menggeleng. “Baahh… Ha ha ha haha… Pejantan tanggung… Bah ha hahaha…” ejekku. “Bisanya cuma ngecrot-ngecrot aja… Croot croot croot… Siap—gak ada hasil apa-apa… Belajar klen sama baginda raja Aseng Chaniago ini yang sudah kesohor dari gunung sana sampe ujung laut sana… Sekali ngecrot langsung menghasilkan anak… Sudah terbukti…” aku koar-koar aja seenak udel pada kedua sobatku ini yang berujung ribut sampe kekeh-kekeh ketawa rame.
Canda kami terhenti saat Kojek memberi kode gerakan kepala kalo ada yang datang menghampiri. Si peri Wanadri itu. Sepertinya ia diutus ratunya. “Ada yang hendak ratu Kanaka bicarakan denganku?” Peri Wanadri itu hanya mengangguk dan menunggu sampe aku benar-benar bangkit. Sepertinya ratu kerajaan Istana Pelangi itu menunggu di balairung istanaku untuk audiensi resmi antar dua kerajaan.
“Setauku… peri Wanadri itu peri pecinta damai… Tapi kau sepertinya mahir berpedang…” pungkasku mengenai pedang yang dibawanya. Ia juga ada di barisan paling depan saat bertempur di kerajaan Istana Pelangi waktu.
“Itu tidak salah… Kami memang pecinta damai… Tapi kedamaian juga harus tetap dipertahankan bukan?” jawabnya retoris. Benar yang dikatakannya. Regresi pihak lain yang hendak merusak kedamaian juga membutuhkan counter. Pedang adalah pilihannya.
“Tapi hanya kau yang kulihat berada di barisan prajurit yang bertempur… Apakah peri Wanadri lain tidak seperti dirimu?” cecarku terus setelah mendapat angin jawabannya sebelumnya. Dia masih bisa diajak ngobrol, mumpung belum ketemu ratunya yang sepertinya menghalangi tulus cinta kami. *Hoeks.
“Konsekwensi…” jawabnya gantung.
“Konsekwensi?” ulangku. “Karena….?”
“Komunitas peri Wanadri ukurannya tidak besar… Kami hanya bisa bertahan di daerah yang lingkungannya subur atau menyusutkan jumlah dengan berpencar… Jumlah yang ikut bersamaku sebagai pelindung hanya dua belas peri Wanadri untuk mencari sumber daya hutan yang subur terhenti di kerajaan Istana Pelangi… Ratu Kanaka menerima kami dan memberi makanan yang kami butuhkan… Untuk itu aku sebagai pelindung… harus menukarnya dengan tenaga yang kumiliki…” jelasnya sembari kami jalan menuju istana. Aku sengaja jalan pelan-pelan agar obrolan kami bisa panjang.
“… Dan dari selusin peri Wanadri yang menetap di Istana Pelangi… hanya enam yang bertahan hidup… Sisanya menjadi korban perang…” lanjutnya dengan nada getir walo suaranya datar khas sosok yang kokoh jiwanya.
“Jika ratu Kanaka mau merelakan kalian… sudikah kalian menetap di sini saja?… Kurasa hutan itu lebih dari cukup untuk kalian berenam…” usulku tetapi tanpa tuntutan sedikitpun. Walo aku merasa ini sangat mendesak. Apa yang bisa kutawarkan bagi ratu yang angkuh itu dengan kebanggaannya dengan kekuatan dan bekas istananya itu? Aku lebih baik tidak mengumbar perlunya diriku akan hadir peri Wanadri untuk memberi makan peri-peri muda yang mendiami kerajaan Mahkota Merah ini.
Peri Wanadri itu diam saja, tak menolak atopun menerima.
——————————————————————–
“Bagaimana dengan tawaranku yang waktu itu, ratu Kanaka?” tanyaku padanya yang duduk dengan anggunnya di depanku. Di sebelah kiri balairung, ratu Nirada, ratu Lawana duduk juga dengan manis dan anggun. Ada tiga ratu yang kini berada di dalam balairung luasku. Andai ratu peri Aruna keturunan Eka segera menetas, akan semakin lengkap penghuni tempat ini. Ia sudah cukup beristirahat menurutnya, hingga sekarang kami bisa bertatap muka dalam pembicaraan yang formal ini.
Andai saja Cayarini masih ada di sini…
“Terima kasih sebelumnya baginda raja Mahkota Merah sudah menyambut kami dengan baik di kerajaan ini… Sungguh tempat yang menyenangkan dan bagus sekali… Pelayanan para bawahan baginda raja juga sangat memuaskan… Saya merasa sangat terbantu… Mewakili seluruh kerajaan Istana Pelangi saya menghaturkan ribuan terima kasih atas bantuan baginda raja memindahkan dan menyelamatkan fisik bangunan istana kerajaan kami yang letaknya tak jauh dari sini…” liriknya ke luar istana dimana istana terbang itu teronggok tak berdaya.
“Atas tawaran baginda raja yang sudah disampaikan sebelumnya… dan kembali tawarkan… dengan berat hati harus saya pertimbangkan…”
Yes! Yes! Hatiku melonjak bahagia dan senang sekali.
“… dengan beberapa catatan penting…” sebentar. Tunggu sebentar, Seng. Dengar dulu catatannya apa. Jangan senang dulu.
Aku mengangguk agar ia meneruskan mengenai catatan yang menjadi prasyaratnya.
“Disini… saya melihat ada dua ratu kerajaan peri lain di balairung yang megah ini… Sepengetahuan saya… mereka bergabung dan menjadi bagian kerajaan yang baginda raja pimpin… Saya tegas tidak mau seperti mereka berdua… Baginda raja Mahkota jangan berharap kami mau bergabung di dalam kerajaan Mahkota Merah ini seperti mereka berdua…” katanya tegas seperti biasanya. Seimut dan secantik itu tapi omongannya sangat berisi.
“Itu semua keputusan anda… ratu Kanaka… Tak ada yang memaksa untuk kerajaan Istana Pelangi bergabung pada Mahkota Merah… Semua kerajaan punya yurisdiksi dan kebijakannya sendiri-sendiri…” jawabku.
“Izin berbicara, baginda raja…” tukas ratu Nirada. Aku mempersilahkannya. “Saya ingin meluruskan sesuatu… Kerajaan Bukit Putih sampai saat ini masih ada ditandai dengan masih hidupnya diriku sebagai ratu yang sah… Diri saya yang saat ini menghambakan diri di kerajaan Mahkota Merah masih terus berharap suatu saat nanti kerajaan Bukit Putih akan kembali berdiri… seperti di masa lalu… Kami berdua—dengan ratu Lawana dari kerajaan Laut Biru sering berdiskusi masalah ini dan punya pemikiran yang serupa…”
“Saat ini… kerajaan kami berdua sudah porak poranda… Anda ratu Kanaka juga harus realistis dan mengakui itu… Sehingga kita bertiga ada di posisi yang sama… plus kerajaan Gua Kresna yang saat ini absen… hingga menggenapkan empat kerajaan peri besar yang pernah ada—hancur lebur… karena ulah Lord Purgatory…” ia jeda sebentar. “Anda sebaiknya mengakui hal itu… karena kami berdua plus peri Candrasa juga melakukan hal yang sama… melarikan diri dari kerajaan yang sudah hancur…” liriknya ke arah puing istana terbang di luar sana yang terlihat jelas lewat jendela.
“Dari lima kerajaan peri yang berasal dari pecahan cermin dewi kahyangan yang ada… hanya kerajaan Mahkota Merah yang masih bertahan sampai sekarang… Dahulu kita tak pernah menganggap kerajaan Mahkota Merah sebelah mata karena jumlah penghuninya yang sangat sedikit… Tetapi di tangan baginda raja sekarang… sepertinya kerajaan kecil yang sekarang besar inilah yang bisa menjadi penyelamat kita semua…” ucapan ratu Nirada sangat mengejutkan tetapi aku senang mendengarnya. Perbuatanku selama ini tak sia-sia ternyata.
“Ampun baginda…” ratu Nirada beserta ratu Lawana membungkuk dalam karena masalah keinginan mereka untuk membangkitkan kembali kerajaan mereka kelak, suatu hari nanti.
“Itu pendapat kalian berdua… Saya harus menghormatinya… Di satu sisi itu benar… Secara realistis apa yang ratu Nirada katakan itu benar… Saat ini hanya kerajaan Mahkota Merah yang kuat sekarang… Kerajaan kita bertiga sudah tak punya apa-apa lagi sekarang… Bahkan pasukan Istana Pelangi hanya tersisa 50 peri Kencana saja sekarang… Sungguh kehilangan yang sangat besar…” katanya. Tiba-tiba aku teringat tentang telur-telurnya yang disimpan di sayap kiri istana, yang sudah ikut hancur, hasil dari pembuahan menggunakan kantung gerabah bakar kecil milik Udaka.
“Jadi kesimpulannya… saya setuju untuk bekerja sama untuk sementara waktu ini dengan kerajaan Mahkota Merah… Apalagi saya harus memperbaiki fisik bangunan istana yang rusak parah itu…” ungkapnya. Ini inti yang ingin sekali kudengar dari tadi walo hanya sementara. “… dan mengembalikan populasi jumlah peri Kencana untuk memperkuat pasukan kerajaan Istana Pelangi lagi ke depannya…”
“Apakah… ratu Kanaka berencana untuk mengambil kembali kantung gerabah bakar itu lagi dari tangan Udaka?” tanyaku menyinggung pertikaian mereka sebelumnya. Aku meringankan kata mencuri dengan mengambil kembali. “Ratu pasti sudah mendengar kalau Udaka sudah bertelur lagi dengan menggunakan kantung kecil itu… Kantung gerabah itu sudah terisi bibit kembali….” tentu saja itu semua berkat Iyon dan Kojek.
Ekspresi yang kutangkap dari ratu peri Kencana cantik ini adalah akting terkejutnya. Padahal aku tau persis ia pasti sudah tau itu dari opal pelangi yang melekat di gagang tongkat yang tak pernah lepas dari tangannya. Ia menoleh ke arah puing istananya dan mengelus-elus tongkatnya lagi. Tetapi kali ini ada ekspresi terkejut yang tulus kali ini.
“Udaka dan anak-anaknya kini merupakan warga Mahkota Merah… Sebaiknya anda tidak usah meneruskan metode itu lagi…”
“Opal pelangi?!” sergahnya dan mengacungkan tongkat itu sejajar dengan arah pandangnya. “Opal pelangi hilang!” aku juga ikut kaget mendengar dan melihat langsung apa yang menyebabkannya kaget bukan main. Permata itu tak ada di pangkal tongkat milik ratu Udaka seperti biasanya. Padahal ia selalu memegangnya. Bagaimana bisa hilang begitu saja? Ada yang mencurinya? Di kerajaanku? Daerah kekuasaanku?
Pandangan matanya tajam menatapku dan ia langsung berdiri menunjuk ke arahku. Tapi tak lama ia mengkoreksi gesturnya dengan melambaikan tangannya pertanda tidak ato salah. Sekarang ratu yang lumayan sombong dan tinggi hati itu malah bersujud merendahkan diri kepadaku. Kenapa dia? Kulit terbuka ratu dibalut berbagai aksesoris pembungkus tubuhnya adalah hal yang menonjol saat ini. Apalagi menunduk seperti menungging begitu, bokong terbukanya yang menonjol maksimal.
Ratu Nirada dan ratu Lawana yang duduk di sisi kiri balairung ini menunjuk-nunjuk bagian jidatnya sendiri seolah memberitau kepadaku untuk memeriksa jidatku sendiri. Pergaulan kami selama ini membuat mereka berdua agak lebih berani berlaku seperti itu. Yang pertama tersentuh olehku tentu saja satu tanduk yang tumbuh di sisi kiri jidatku, tepat di atas permata onyx hitam itu. Kutelusuri lagi dan aku segera menemukannya, sebuah batu baru yang posisinya ada di bawah batu rubi api. Opal pelangi berpindah ke mahkotaku??
Dan ini terjadi lagi. Batu-batu permata ini kembali memilihku… seperti sebelum-sebelumnya.
“Ampuni hamba atas semua tingkah laku dan tindak tanduk hamba selama ini, baginda raja… Hamba siap menerima hukuman apapun dari baginda raja yang kini menguasai semua bagian batu permata cermin dewi kahyangan… Sebagai perwakilan surga di atas dunia ini…” katanya tetap menyembahku dengan sangat dalam. Sampe nungging-nungging begitu. Satu sisi itu menyenangkan mata, sisi lain berseberangan dengan prinsipku. Soalnya kalo nungging gitu cuma boleh saat ku-doggy. He hehehehe.
“GRROOOOOOHHHHH!!!”
Terasa getaran hebat yang mengikuti suara ledakan yang terdengar santer di seluruh penjuru kerajaanku. Apa ini? Apakah ada serangan dari musuh? Apakah ini yang dimaksudkan si Iyon itu? Bahwa serangan Menggala masih akan memungkinkan memasuki daerah kekuasaanku.
Ratu Kanaka terlihat kebingungan melihatku, ratu Nirada dan ratu Lawana tergopoh-gopoh keluar balairung istana untuk melihat langsung apa yang sedang terjadi di luar sana. Ia akhirnya juga mengekor, lebih pada khawatir pada warga kerajaannya yang juga ada di luar sana.
Baru saja sampe di ambang pintu, segera mendapat jawaban apa muasal suara ledakan beserta getaran hebat ini. Bangunan istana terasa bergetar, terbersit kekhawatiran kalo istana bisa runtuh. Ledakan itu adalah meledaknya puncak gunung berapi di kejauhan sana. Asap tebal abu-abu mengepul sangat tebal disertai semburan pijaran magma yang membuat gunung berapi itu kaya warna. Getaran gempa vulkanik ini juga menyebabkan riak besar di air laut. Jangan sampe terjadi tsunami abis ini.
“Ahh!!…” teriak ratu Kanaka panik. Ia memang patut panik, karena puing istana kerajaan miliknya berada paling dekat dengan gunung meletus itu. Benar saja, dari kepulan asap tebalnya meluncur lontaran seperti batu besar yang berpijar membawa magma cair. Sudut lontarannya mengarah ke arah kami semuanya. Sepertinya bebatuan itu adalah bagian dari puncak gunung yang pecah dan terlempar terlontar jauh. Dan arahnya tepat ke arah bangunan istana kerajaan Istana Pelangi.
Tak ada yang sempat kami lakukan untuk mencegahnya karena itu semua terjadi dengan sangat cepatnya. Bebatuan besar itu tanpa ampun menghantam bangunan yang sudah ringsek itu semakin ringsek saja. Semakin parah hancur yang terjadi atas banguna istana itu. Aku terlambat mengantisipasi keadaan karena ratu Kanaka menerjang maju begitu saja ke arah istananya. Sial! Tentu aja ia khawatir tentang warga kerajaannya yang masih tertinggal di dalam istana itu karena ke istanaku ia hanya ditemani tiga bawahan terpercayanya saja. Yang saat ini berlari cepat bersama sang ratu menuju istana yang hancur semakin parah saja dengan hujan bebatuan besar.
Tidak di tempatku…
Tentu semua ini ada di bawah tanggung jawabku. Gunung api yang meletus itu ada di daerah kekuasaanku. Gunung api itu juga aku yang menciptakannya dengan rubi api ini. Dan entah apa sebabnya gunung api itu meletus dengan dahsyatnya. Padahal di dasar gunung itu ada enam butir telur peri Aruna dari keturunan Eka dan 107 butir telur lainnya milik Astha. Ini juga kerugianku.
Dengan kecepatan lokomotif panasku, kususul kecepatan bergerak bak angin ratu Kanaka dan dua peri Kencana-nya. Sementara peri Wanadri itu mengejar semampunya. Sebuah batu besar yang terlalu dekat dengan kami kutebas hancur berkeping-keping dengan pedang Paksapeti lalu terus menerobos maju. Menjelang mencapai reruntuhan hancur istana kerajaan Istana Pelangi, sesosok yang segera kukenali sebagai Astha menghadang kami. Ia bermaksud menghentikan kami dari mendekat lebih jauh ke pusat bencana.
“Baginda rajaaa!! Jangan maju lebih jauh lagi… Berbahaya!… Ratu Kanaka… semua warga anda selamat… Mereka sudah dievakuasi ke tempat yang aman… Kebetulan tadi mereka semua sedang bermain di tepi pantai saat letusan terjadi… Tolong pertimbangkan keselamatan anda sendiri lebih dahulu… Nyawa yang lebih utama…” tahan Astha sembari memberi pertimbangan akan keselamatan yang lebih utama. Mendengar itu, ratu Kanaka berhenti dan sepertinya lebih pasrah aja istananya hancur lebih parah lagi tak berbentuk. Ia masih mau diberi pengertian yang masuk akal.
Tapi sesuatu seperti memberitauku bahwa ini belum berakhir. Aku mendongak dan melihat beberapa lontaran benda baru melesat cepat membawa serta debu tebal seperti asap roket yang membentuk jalur luncurannya. Kami bersiap-siap akan kemungkinan yang terburuk tetapi berikutnya hal yang mencengangkan terjadi. Satu yang terdepan berkelebat cepat, mendarat tepat di hadapanku beberapa tindak langkah. Sesosok tubuh berambut merah dengan pesona yang mengagumkan muncul di hadapanku. Aku segera tau kalo ini adalah ratu peri Aruna yang selama ini kunanti-nantikan. Ratu peri Aruna sejati yang dapat disejajarkan dengan ratu Nirada, ratu Lawana bahkan ratu Kanaka.
Ratu peri Aruna yang selama ini absen memimpin para peri berambut merah…
“Salam baginda raja… hamba menghadap untuk pertama kalinya…” sapanya dengan luar biasa. Baru saja terlahir dari menetasnya telurnya tetapi sudah tau adab dan tata krama begini. Benar-benar kualitas ratu yang sesungguhnya.
“Kau ratu peri Aruna?”
“Benar, baginda raja… Hamba ratu peri Aruna…” jawabnya dengan posisi bersujud belum tau kebiasaan yang sedang kucoba sematkan bagi semua warga kerajaanku.
“Bagus… Kau kuberi nama Pancaka… Yang artinya api pembakar…” ujarku menyentuh kepalanya. Energi lini yang teramat besar kulepaskan pada dirinya menambah kekuatannya menjadi berlipat ganda. Ia tersentak tetapi sekuat tenaga menahannya. “Bangkitlah… Berdiri yang tegak…” Ratu peri Aruna yang baru saja mendapat nama Pancaka itu perlahan-lahan bangkit dan berdiri memandangi semua yang menyertaiku. Sepertinya ini belum berakhir…
Lima lontaran yang sama meluncur cepat dari arah gunung ke arah kerumunan kami. Mendarat tepat di belakang Pancaka. Lima sosok tubuh wanita muda seksi telanjang yang segera menarik perhatianku. Mereka ini pasti dari lima telur istimewa yang menyertai ratu Pancaka. Tapi apa hal yang istimewa dari mereka berlima ini? Karena secara identitas saja mereka belum jelas berasal dari peri jenis mana karena secara kasat mata rambut panjang mereka tak berwarna jelas. Seperti gelombang pelangi yang bergradasi dari merah, biru, kuning, putih dan hitam. Hanya saja yang seragam dari mereka berlima adalah hadirnya tanduk di kepala mereka semua. Mengingatkan akan bentuk kasta tertinggi peri Aruna; peri Agni yang juga bertanduk.
“Mereka ini apa?” tanyaku berbisik pada Astha yang bisa kutanyai saat ini.
“Tidak tau, baginda… Hamba tidak tau mereka ini peri apa?” jawab Astha yang juga berbisik untuk menjaga wibawaku di depan ratu Kanaka dan lainnya karena kurang wawasan. Dan sekonyong-konyong muncul blitz kilatan api yang menyambar dan saking cepatnya muncul tubuh Eka menggantikannya. Baru tau ia punya kemampuan itu. Buru-buru peri Aruna bernomor urut satu itu menunduk hormat padaku.
“Maafkan keterlambatan hamba, baginda raja… Baginda sudah bertemu ratu peri Aruna yang baru…” aku hanya cukup mengangguk membenarkan. “Dan lima lainnya yang sedikit berbeda ini baginda…” lanjutnya menatap satu persatu keturunannya yang belum jelas jati dirinya ini. “Hamba juga tidak tau alasannya keturunan hamba ini seperti ini… Hanya saja yang paling mungkin adalah mereka membutuhkan identitas yang hanya baginda raja saja yang bisa berikan, baginda… Ditandai dengan masih simpang siurnya warna rambut peri-peri yang harusnya adalah kasta tertinggi peri berelemen, baginda…” jelas Eka yang bagiku masih jauh dari kata jelas.
“Maksud si cantik ini, Seng… Cobak kau kasihkan elemen yang kira-kira cocok untuk masing-masing peri bertanduk ini… Entah kau kasih elemen api semua… Ato masing-masing satu… Pas lima ini dengan jumlah elemenmu… Kan dah lengkap batu permatamu…” kata Iyon yang bersama Kojek ternyata ikut menyusul ke tempat ini. Ia langsung menyadari aku sudah memiliki opal pelangi ratu Kanaka di mahkotaku.
“Benar, baginda… Itu maksud hamba…” kata Eka yang berterimakasih pada Iyon yang sudah mempermudah penjelasannya. “Sebelumnya… hamba mau memberitau Astha… kalau telur-telurnya juga sudah menetas…” ia memberi tanda pada Astha sebagai induk dari keturunannya yang sudah menetas di kaki gunung sana. Terburu-buru ia segera beranjak ke gunung membawa serta beberapa peri Aruna muda untuk membantunya. Tapi aku masih mencoba mencerna tentang kasta tertinggi peri berelemen ini. Mereka berasal dari peri Aruna yang berelemen api, tapi bagaimana mungkin mereka tak berelemen jelas gini? Harusnya kan telur peri Aruna menghasilkan peri Aruna juga setelah dibuahi. Ini kenapa khusus untuk yang lima ini harus diberikan elemen terlebih dahulu? Pada Pancaka tidak. Ia langsung berelemen api, berambut merah. Ini masalahnya di Eka sebagai induk mereka? Atokah aku yang membuahi telur mereka?
Ah… Pusing. Coba aja-la kalo gitu.
Yang ini tanduknya mirip dengan tanduk tiga peri Agni yang masih menjadi tawanan di dungeon. Sebaiknya kuberikan elemen api padanya kalo gitu. Kusentuh rubi api di puncak mahkotaku, kutekan sebentar dan ada percikan api yang menjalar ketika kujangkaukan tanganku ke arah kepala peri kasta tertinggi pertama itu. Tanganku menempel di keningnya dan secara ajaib, warna rambutnya berubah menjalar menjadi merah seperti seharusnya peri berelemen api. Dia menjadi peri Agni.
Peri itu melonjak tinggi dengan jejak api di bekas kakinya. Ia memperagakan beberapa jurus api yang meluap-luap lebih dahsyat dari yang bisa dilakukan peri Aruna. Padahal ia baru saja terlahir. Ia sepertinya sangat senang dan bebas melepaskan semua energi yang selama ini terkungkung di dalam cangkang kecil itu. Kubiarkan ia merayakan kelahirannya hingga hanya jejak apinya yang terlihat dari tempat ini.
Selanjutnya adalah giliran elemen air. Sebaiknya kulakukan menurut urutan saja setelah tadi dimulai dari elemen api. Jari tanganku menggapai ke balik mahkota, di belakang posisi rubi api untuk menyentuh mustika safir biru. Semburan air yang kemudian terjadi. Semburan air kencang yang seperti ingin menggapai langit dan ketika jari tanganku kulepas dari safir biru, air itu meliuk-liuk mengikuti gerakan tanganku. Meliuk-liuk seperti ular dan kuarahkan saja pada peri bertanduk kedua itu.
Terkena terpaan air dari mustika safir biru, memberi perubahan padanya. Rambutnya berubah biru muda dan yang lebih kentara jelas terlihat adalah tanduknya yang semakin panjang saja lengkungannya. Tak mau ketinggalan dengan apa yang telah dipraktekkan si peri Agni tadi, ia meloncat tinggi dengan bantuan semburan air yang berasal dari sekujur tubuhnya.
“Itu… itu peri Rasa… peri Asti tertinggi…” gumam ratu Lawana melihat peri khusus bertanduk itu berubah menjadi peri Rasa yang merupakan kasta tertinggi di kalangan peri Asti. Bersama-sama kami melihat bagaimana peri Rasa itu menceburkan dirinya ke dalam air laut lalu muncul dan berlarian di atas ombak sembari melakukan berbagai jurus-jurus level tinggi elemen air. Sama kek peri Agni tadi, baru lahir langsung bisa kali ngelakuin semua jurus-jurus level tinggi itu. Jurus Banatirta-nya aja lebih dahsyat dari yang bisa kulakukan.
“Akankah baginda raja menjadikan peri ketiga ini sebagai peri Rukma?” tanya ratu Kanaka mengenai urutan yang ia segera pahami. Kasta tertinggi peri Kencana namanya peri Rukma yang artinya juga emas. Buru-buru aku menatap peri ketiga yang menunggu gilirannya. Kenapa-kenapanya nanti saja dipikirkan. Status mereka berlima harus segera jelas dahulu.
Segera aku menyentuh permata peri paling gres di mahkota untuk mengaktifkan pemberian elemen untuknya. Terasa pusaran angin mulai bertiup. Hembusannya cepat menerpa tubuh peri bertanduk ketiga itu. Rambutnya langsung berkibar-kibar ke belakang dan tangan terbentang menerima semua curahan energi murni elemen angin dari opal pelangi langsung. Rambutnya secara pasti berubah menjadi warna pirang dari pangkal ke ujung.
“Peri Rukma…” gumam ratu Kanaka memastikan sosok yang sudah berubah itu bergantian menatapku dan peri Rukma itu. Ekspresinya kali ini tulus kaget. Sampe segitunya ia kaget. Apa ia sendiri belum pernah bertemu peri Rukma sebelumnya? Padahal ia sendiri ratu peri berelemen angin. Peri muda itu menatap kedua tangannya yang mengeluarkan angin yang berputar-putar yang bisa dikendalikannya dengan mudah. Dari kedua kakinya juga ia memunculkan angin juga yang mengangkatnya melayang lalu terbang dengan bebasnya. Ia melesat ke sana-kemari. Meriah sekali kerajaanku saat ini. Di kejauhan sana ada derakan api yang membahana dari peri Agni. Di tengah laut ada permainan ombak dari peri Rasa yang sedang bersenang-senang bermain air. Di angkasa hembusan angin deru berderu dari peri Rukma yang juga menikmati kemunculan kekuatannya.
“Kau pasti juga ingin segera melihat bagaimana kasta tertinggi peri elemen cahaya, ratu Nirada?” aku beralih padanya. Ia hanya tersenyum membenarkan. Senyummu manis sekali, ratu Nirada. Ah… Teringat ekspresi lain dirimu saat kugenjot…
“Peri Praba, baginda raja… Namanya peri Praba…” jawabnya lanjut senyum manis tadi. Praba… Sinar cahaya. Segera kusentuh batu bidara bulan yang ada di sebelah kanan mahkotaku. Cercah cahaya terang menyeruak menyilaukan menerpa peri kasta tertinggi keempat itu bak lampu sorot ratusan watt. Rambutnya mengambil warna putih berkilauan dengan tanduk hitam kontras. Kemunculannya membuat tingkat lumens kecerahan tempat ini yang selalu terang, meningkat lebih benderang lagi. Peri Praba itu menembakkan sesuatu ke langit dari tangannya, seperti sebuah tembakan flare yang kerap digunakan untuk menandakan keadaan bahaya. Hanya saja sinar itu tetap bertahan di atas sana bak menjadi matahari kedua di samping matahari hitam dari mantel rubah hitamku.
“Wah… Mau pamer ternyata…” komentarku tentang matahari terang itu. “Boleh-laa…” Tetapi kembali pikiran, andai Cayarini masih ada disini muncul lagi, ia pasti akan gembira melihat kasta tertinggi peri Candrasa akan muncul di hadapannya. Tapi aku harus segera menyelesaikan ini, melengkapi semua peri kasta tertinggi dari lima peri bertanduk yang muncul dihadapanku. Yang pertama kali tersentuh tentu saja tanduk misterius itu, lalu jariku bersentuhan dengan onyx hitam. Terasa ada sesuatu yang mendorong jariku yang ternyata merupakan sinar hitam yang mendesak keluar dan melesat menuju peri bertanduk terakhir, kelima.
Begitu sinar itu mengenai dirinya, perubahan segera terjadi. Rambut yang tadinya beragam warna itu menjadi hitam legam sepenuhnya. Tanduk yang tadinya ada di kepalanya malah menghilang dan berganti menjadi sayap hitam yang sangat lebar. Tidak seperti sayap milik peri Anaga yang terbuat dari membran kulit, sayap peri kasta tertinggi Candrasa ini terbuat dari bulu-bulu unggas hitam. Seperti sayap burung.
Ia tak melakukan apa-apa untuk memamerkan kekuatan dirinya. Ia hanya memandang berkeliling dan yang ditatapnya terakhir adalah matahari buatan yang diciptakan peri Praba. Beberapa lama ia menatap bola cahaya itu lalu segera menyadari bahwa yang menciptakan bola cahaya itu sedang memandangi dirinya balik dengan sengit. Dua elemen yang saling tolak belakang tetapi saling membutuhkan. Sinar selalu menciptakan bayangan di jangkauan terjauhnya. Sinar selalu menerangi kegelapan. Begitu juga gelap yang membutuhkan terang sebagai pembanding, tidak ada terang kalo tak tau apa itu kegelapan. Ketiadaan cahaya akan selalu ditempati gelap. Karena sejatinya tak ada kondisi gelap, yang ada hanyalah kondisi kurangnya cahaya. Mutualisme itu yang sebenarnya eksis. Apakah aku menciptakan persaingan antar dua peri kasta tertinggi ini? Seharusnya memang mereka bersaudara karena berasal dari satu induk.
Tak berapa lama, kelima peri kasta tertinggi itu berkumpul kembali, lebih tepatnya tiga peri yang tadi pergi wara-wiri memamerkan kekuatan dahsyatnya. Berkumpul kembali di depanku.
“Kalian berlima lahir di kerajaan Mahkota Merah… dari peri Aruna yang juga merupakan warga kerajaan Mahkota Merah… Aku sebagai raja kerajaan Mahkota Merah sendiri yang membuahi telur-telur kalian… Tak ada keraguan kalo kalian warga kerajaan ini apapun elemen yang kalian miliki… Apalagi kalian bersaudara tentunya… karena berasal dari induk yang sama…” aku menegaskan kalimat terakhir ini khusus untuk dua peri sinar dan kegelapan ini. Aku belum tau nama peri kegelapan itu.
“Walopun secara kekuatan… kekuatan kalian lebih tinggi dari peri-peri dibawahmu… Tetapi secara urutan… kalian hitungannya masih peri muda… Hormati peri-peri pendahulu kalian… Jangan congkak… Jangan sombong… Saling bekerjasamalah… Paham?” tatapku pada mereka berlima. Kelimanya punya potensi kehancuran yang sama besarnya. Mereka masih sangat muda dan akan sangat mudah untuk terhanyut dan tersesat. Kelimanya dengan kaku hanya mengangguk untuk menjawabku. Mereka berlima pasti masih bingung dengan keadaan dan kondisi ini. Disorientasi tempat dan situasi seperti: aku siapa, aku ada dimana, apa tujuan hadir diriku, apa manfaat hidupku, apa yang sedang terjadi.
Mungkin juga bertanya-tanya dalam hati, siapa orang yang sedang ngebacot di depanku ini?
“Sebagai penanda diri kalian… Aku sebagai raja kerajaan Mahkota Merah ini akan menganugrahi kalian nama… Nama yang sesuai dengan jenis peri kalian saja agar mudah diingat… Karena itu namamu adalah Agni… Kau adalah Rasa… Kau adalah Rukma… dan kau Praba…” aku berhenti di peri keempat karena aku sama sekali tak tau jenis kasta tertinggi peri Candrasa ini.
“Aku peri Awyati…” peri berambut dan bersayap hitam itu memberitau sendiri namanya.
“Namamu Awyati kalo begitu…”
——————————————————————–
Kenapa aku disini? Ugh… Badanku lemes kali rasanya. Rasanya malas sekali menggerakkan badan. Cuma sanggup berguling ke samping di ranjang kerajaanku yang luas dan lebar ini. Ruang kerajaan luas ini kosong hanya berisi diriku sendiri. Aku hanya bisa merenung.
Yang terakhir kulakukan adalah memberi nama. Nama untuk lima peri kasta tertinggi tiap elemennya. Abis itu aku gak ingat apa-apa lagi. Kimbek… Aku ngeblak kehabisan energi. Black out begitu aja kek pemadaman listrik bergilir. Kalo dipikir-pikir sudah banyak sekali energiku yang keluar hari ini berupa akumulasi berbagai macam kejadian. Banyak sekali bahkan sampe aku lupa seberapa banyaknya. Seabreg-abreg pastinya.
Aku menghabiskan berminggu-minggu menetap di kerajaanku karena melarikan diri paska kematian Julio. Keluar-keluar langsung mengurusi masalah Tiwi dan keluarganya, kelar sebentar musibah datang bertubi-tubi. Galonku dibakar, bus-bus Iyon disabotase, dan ternak lembu Kojek dijagal. Lalu peperangan ini dimulai, Lord Purgatory memimpin sendiri pasukannya menyerbu kerajaan Istana Pelangi yang berakhir dengan bangunan fisik istana kerajaan itu kubawa mengungsi kemari. Lahirnya ratu peri Aruna yang kuberi nama Pancaka menyusul kelima peri kasta tertinggi itu.
Tentu aja semua energiku abis kek gini. Ngasih nama Pancaka yang merupakan ratu peri Aruna aja udah sangat besar. Ditambah lagi lima peri tingkat tinggi itu. Terkuraslah semua energiku yang kukira tak terbatas waktu menamai 19 peri Aruna berturut-turut mentang-mentang mendapat suplai dari matahari.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Melarikan diri terus begini juga gak akan menyelesaikan masalah… “Tok tok tok… Tok tok tok…” ada yang mengunjungiku. “Masuk…” Yang masuk melalui pintu itu ternyata adalah ratu Kanaka dan peri Wanadri itu.
“Baginda raja…” sapa mereka berdua.
“Ratu Kanaka… peri Wanadri yang tak bernama… Pembicaraan kita belum selesai…” aku balas menyapa mereka. Aku duduk di sandaran ranjang karena seharusnya ini masih masa istirahatku. “Apakah kalian ingin meneruskan pembicaraan tadi?”
“Ampun, baginda raja… Sedikit banyak hamba sudah mempelajari tata krama yang berlaku di kerajaan Mahkota Merah ini… Hanya cukup menunduk begini saja bukan, baginda?” katanya. Aku mengangguk-angguk membenarkan. “Pertama-tama hamba ingin menghaturkan ribuan terima kasih karena telah menyelamatkan warga kerajaan hamba yang masih tersisa saat gunung berapi itu meletus dan menghancurkan puing bangunan istana kerajaan Istana Pelangi… Kalau tidak ada kesigapan para peri Aruna itu… tentunya mereka semua akan mati dengan cara yang sangat tragis…”
“Itu sudah tugas kami sebagai tuan rumah yang baik… Apalagi bencana itu terjadi di daerah kekuasaanku…” kataku. “Mengenai perbaikan istanamu… kelompok pembangun peri Aruna pasti akan bisa membantu perbaikan istanamu… Kembali utuh seperti semula…”
“Kami akan menetap di istana Mahkota Merah saja, baginda… Tentunya ada tempat untuk kami di dalam istana ini…” ratu Kanaka berhenti berbicara untuk beberapa saat seperti ragu. Aku tunggu saja sampe ia mengutarakan maksud utamanya mendatangiku begini walo harus ditemani peri Wanadri itu. “Hamba juga sudah bercengkrama dengan ratu-ratu yang sudah terlebih dahulu berada di kerajaan Mahkota Merah… sekalian untuk mendidik ratu Pancaka yang masih kosong pengetahuannya tentang dunia keras ini, baginda…”
“Dan…”
“Dan… hamba mendapat pengetahuan penting kalau baginda raja yang perkasa…” ia berhenti lagi dan meneguk ludah. “… telah membuahi ratusan telur milik ratu Lawana dan ratu Nirada… dan peri-peri lainnya hingga ribuan jumlahnya… Walaupun mereka tak menyimpan telur sebutirpun di dalam tubuhnya… baginda raja bisa membuat mereka bertelur dan membuahinya…”
“Lalu…”
“Hamba mendengar darinya…” ditariknya peri Wanadri yang tadi di belakangnya itu merapat hingga berdiri di sampingnya. “… kalau baginda menginginkan dirinya dan kaumnya untuk mengurus hutan yang ada di belakang istana ini… Hamba akan dengan rela hati menyerahkan kaum peri Wanadri kepada penguasaan baginda raja Mahkota Merah…”
“Demi…”
“Demi… sebagai pembuktian penyerahan diri hamba kepada baginda raja dan kerajaan Mahkota Merah…” jawabnya berputar-putar. “Dan… dengan demikian hamba bisa membuktikan kalau hamba benar-benar berbakti pada baginda raja…”
“Katakan saja kau ingin aku memberimu telur-telur yang banyak, ratu Kanaka… Hanya ada kita bertiga disini… Kalo kau malu pada peri Wanadri itu… kau boleh menyuruhnya keluar…” aku lalu menggerakkan tanganku memberi kode pada peri berambut hijau itu untuk keluar dari ruangan ini. Peri Wanadri itu tak berkata apa-apa dan patuh keluar. “Nah… Hanya ada kita berdua di tempat ini… Katakan saja dengan terus terang maumu, ratu Kanaka…”
Ia hanya terdiam. Entah harga dirinya terusik ato mungkin tersinggung.
“Kapan terakhir kali kau tidur dengan pejantan, ratu Kanaka? Sebelum kau memakai metode kantung gerabah kering curian dari Udaka itu? Maaf atas keterus terangan ini… karena terus terang aja… melihat bodi semokmu saat ini… aku benar-benar tak tahan…” kusingkap selimut yang menutup bagian kakiku di posisi duduk ini. Aseng junior mengacung dengan lancangnya, sedang kukocok-kocok perlahan. Urat-urat kasar tercetak jelas di bagian batangnya yang berkilat tegang maksimal. Mata indahnya membelalak.
“Ratu Nirada… ratu Lawana… dan peri-peri lainnya bertelur hingga ratusan langsung menggunakan kejantananku ini, ratu Kanaka… Ini sudah sering sekali memberi bukti nyata… Bukan hanya isapan jempol… Mau berapa telur untuk menggantikan semua telur-telurmu yang sudah dirusak si Lord Purgatory biadab itu? Dua ratus? Tiga ratus? Seribu mungkin… Ini alat ampuhnya…” tunjukku pada Aseng junior yang ngatjeng keras. “Hanya aku yang bisa melakukannya… Tak ada keraguan…” kataku makin sange sendiri membayangkan ratu Kanaka langsung mengiyakan ini semua dan melompat bergumul ganas denganku, adu kelamin yang sangat panas hingga menghasilkan banyak telur peri Kencana.
“Tidak usah berputar-putar bilang kau mau berbakti untuk kerajaan Mahkota Merah-lah… Pembuktian diri-lah… Kau hanya ingin mengembalikan jumlah wargamu, kan? Mendekatlah kemari kalo itu benar…” aku memanggilnya mendekat. Tak perlu banyak argumen dengannya.
“Tapi… hamba seharusnya membuktikan diri dahulu, baginda…”
“Gak perlu, ratu Kanaka… Kemari kataku…” intonasiku masih rendah. Kalo ia masih banyak alasan, intonasi akan naik dua oktaf.
“Pembuktian niat tulus hamba akan menjadi…”
“GAK PERLU KATAKU! KEMARI!” beneran naik dua oktaf intonasiku hingga ia bergidik kaget. Tanpa banyak alasan lagi ia bergerak maju. Tetek besarnya berguncang-guncang indah kala ia bergerak tergesa-gesa begitu. Mataku nyalang menjilati sekujur tubuhnya dari jarak sedekat ini dengan jelasnya. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas pori-pori kulitnya yang meremang karena sensasi penyerahan dirinya yang dramatis. Berpindahnya opal pelangi tanpa bisa ia cegah sama sekali membuatnya tak punya banyak pilihan. Pilihan realistis yang diambilnya adalah menyerahkan dirinya tanpa syarat apapun.
Gerakan teteknya saat ia menarik nafas saat gugup. Tarikan nafas panjang karena untuk beberapa saat ia menahan nafas hingga perlu tarikan nafas yang lebih banyak hingga dadanya tertarik deras. Indah sekali, besar, montok dengan puting besar menonjol. Aksesoris yang melekat di tubuhnya yang terdiri dari banyak batu mulia bersusun indah tak mampu menutupi tubuhnya yang tak berpakaian sesuai kaidah manusia modern. Tentu karena ia bukan manusia, konsep kesopanan dan adab berpakaian juga berbeda nilainya. Itu bahkan merupakan keuntungan buatku, buat mataku. Indah sekali.
Kutarik tangan kirinya hingga ia lebih membungkuk ke arahku. Ia hampir menjerit karenanya. Kini ia tak berani menatap mataku secara langsung setelah barusan kubentak kek tadi. Tapi ganti pusat pandangannya beralih ke Aseng junior yang tak berkurang tegangnya. “Tak tau apa yang kau rencanakan, ratu Kanaka… tapi saat ini kau milikku di kamar kerajaan ini… Nih…” kuarahkan tangannya tadi untuk menggenggam Aseng junior. Tangannya yang halus segera memegang batang penisku. “Jenis sepertimu ini harus diperlakukan dengan tegas dan keras…” Kutarik juga bagian leher kanannya hingga ia benar-benar masuk dalam kekuasaanku sama sekali. Tubuhnya luruh seluruhnya ke pelukan tubuhku.
“Umphh… ummbb… mmphh…” mulutnya langsung kupagut, tangannya tetap kutahan menggenggam Aseng junior erat, belakang lehernya kutekan rekat ke arah kepalaku. Bibirku langsung mengais-ngais mulutnya, menuntut dan mendesak hingga ia gelagapan. Aseng juga bisa maen seperti ini. Biar tau kau, ratu Kanaka. Tujuannya untuk meruntuhkan keangkuhan dan kepongahan yang selama ini menjadi pakaian sehari-harimu sebagai ratu penguasa kerajaan Istana Pelangi. “Ummhh… Mm…” lidahku menyeruak masuk dan menari-nari bersama miliknya yang mencoba menghindar.
Tangannya yang sedang menggenggam Aseng junior kuremas-remaskan hingga ia secara tak langsung sedang meremas penisku. Lama kelamaan, gerakannya menjadi alami tanpa tuntunan dariku sama sekali. Aku hanya sekedar memegang tangannya, menahannya tetap disitu. Remasan tangannya semakin enak ditingkahi kocokan pelan juga. Permainan mulutku juga semakin mudah, ratu Kanaka membuka mulutnya lebih fleksibel hingga aku memainkan bibirnya dengan lebih mudah. Aroma khas miliknya mulai menguar mewarnai birahi yang mulai terpantik.
Peganganku pada lehernya, membuat manuverku lebih mudah karena saat kutarik tubuhnya rebah, ia sama sekali protes. Lebih menikmati sekarang. Tanganku yang menuntun tangan kirinya di Aseng junior sudah lebih bebas merdeka yang kugunakan untuk mengelus-elus tubuhnya sekarang. Entah yang dipakainya di sekujur tubuhnya termasuk pakaian apa tidak karena bagian-bagian vital tubuhnya masih terlihat jelas seperti sepasang payudara dan sebagian besar kulit mulusnya. Rantai yang rame di bagian lehernya, pelindung lengan dan tangan penuh tertutup juga berbagai aksesoris batu mulia berbagai ukuran yang banyak bertabur di sekujur tubuhnya.
“Aahhh…” gelinjang kaget pinggulnya saat tanganku menelusup masuk dan langsung menemukan gundukan empuk yang agak tersembunyi di selangkangannya. Gundul tak berambut sama sekali. Pantatnya sedikit terangkat karenanya apalagi mulutku berpindah menemukan kenikmatan lain di payudaranya yang terbuka lebar. Gelonggongan daging empuk kenyal di dadanya kini menjadi bulan-bulananku beserta jari tanganku yang lincah menari-nari merangsang vagina perinya. Basah dan becek mengeluarkan aroma khas yang sangat memabukkan; aroma jerus sitrus.
Lidahku mencucup-cucup pentilnya yang besar dengan rakus. Ratu Kanaka mengerang-ngerang sembari menggelengkan kepalanya kanan kiri. Ia sangat menggairahkan walopun sudah sangat senior. Buktinya ia sudah teratur menelurkan banyak telur untuk kelangsungan kerajaannya walo dengan cara yang tak biasa. Memainkan pentil seukuran ini sangat mudah dan nikmat. Mulut dan lidahku bak menemukan mainan baru yang sangat menyenangkan. Mudah sekali membuat suara seksi ratu Kanaka keluar dengan mengutilisasi bagian tubuh mudah terangsang ini. Keras dan kenyal sekaligus, enak buat diutik-utik dengan ujung lidah maupun disedot kuat-kuat.
Ratu Kanaka memeluk kepalaku dan menekannya agar lebih sering memainkan dadanya. Sementara ia juga sudah melebarkan kakinya agar jariku lebih rajin merangsang kemaluannya yang becek dengan aroma sitrus yang segar. Jariku memainkan kacang itilnya dengan gerakan bervariasi. Kulik-kulik berputar ato sesekali menyentil. Lalu saat jempolku yang mengambil alih memainkan kacang itilnya, jari telunjukku menyeruak masuk setelah terlebih dahulu bermain-main di permukaan lubang liang kawinnya.
Punggungnya melengkung saat jariku masuk dalam dan mulai mengocok perlahan. Mulutku berpindah ke mulutnya lagi dan kali ini menyambut dengan ciuman yang sangat bersemangat. Lidahnya bahkan memaksa masuk ke dalam mulutku, membalas pagutanku dengan lebih binal kini. Payudaranya kuremas-remas, vaginanya kucoblos, mulut kami bersilaturahmi, kugesek-gesekkan Aseng junior ke pangkal pahanya. Terasa daging empuk halus nan kenyal membentur kepala Aseng junior yang botak sangat nikmat. Ratu Kanaka menjangkaukan tangannya dan menemukan Aseng junior. Diremas-remasnya bagian kepala penisku sambil terus menikmati mulutku. Tak segan ia menelan ludah yang kukeluarkan banyak untuknya. Dihirupnya semua dengan patuh.
Jariku bertambah satu untuk mengocok liang kawinnya. Seluruh buku jariku sudah masuk kandas dan bergerak semakin cepat saja. Seirama dengan itu, ia juga makin cepat meremas-remas kepala Aseng junior, membuatnya semakin menggila ingin segera memasuki sarang baru. Lidahku dihisap-hisapnya lalu bergerak bergelombang berputar kemudian mengulum bibirku bergantian atas bawah. Jariku bergerak makin cepat merojok liang kawinnya yang beraroma segar sitrus becek.
Dibekap erat tubuhku saat ia menekankan perutnya yang menegang. Jariku seperti dijepit di dalam mulut seekor hewan buas kala ia orgasme perdana. Ia hanya memelukku dengan mulut menempel. Hembusan nafas berat cepatnya menerpa hidungku. Cenut-cenut dua jariku seperti disedot-sedot otot kuat kelaminnya. Pasti akan sedap sekali kalo Aseng junior yang disedot-sedot di dalamnya. Itu tugas utamanya. Tak lama ia mengendurkan bekapan kedua tangannya dan hanya berbaring pasrah lebih karena lemas.
Kupandangi wajah cantik imutnya itu yang juga menatapku balik dengan ekspresi puas yang tak terperi. Kuelus-elus pipinya lalu turun ke lehernya. Berusaha melepaskan aksesoris rumit yang dikenakannya. Ia membantuku dengan membalik tubuhnya untuk menemukan kait penyatuan aksesoris leher itu. Lalu pelindung kedua tangannya dan berbagai benda lain yang menempel di seluruh tubuhnya berupa banyak batu-batuan berharga bermacam jenis. Kalo di dunia nyata, entah akan berapa harga semua batu-batu berharga ini di pasaran. Banyak yang merupakan batu langka dengan karat besar tak ternilai. Sepatunya kulepas tetapi stoking putihnya kubiarkan tetap terpasang. Ia sangat seksi di kondisi ini sekarang. Ia telanjang bulat dengan aksesoris minim, hanya hiasan kepala dan stoking yang tersisa di tubuh montoknya.
Ratu Kanaka berbaring pasrah dengan tangan membentang dan siku tertekuk sehingga jari-jarinya mendekati telinganya. Aroma segar sitrus itu semakin kentara saja dengan mengucur derasnya cairan vaginanya dari liang kawinnya, siap untuk dibuahi. Tubuhku yang tadinya lelah bukan main, mendadak kembali fit memandangi tubuh telanjang seksi ini. Kuelus-elus bagian paha dalamnya yang sedikit terbuka dengan aku di antaranya, siap menjajah.
“Di dalam tubuhmu… ada berapa butir telur saat ini, ratu Kanaka?” tanyaku terus mengelus-elus. Aseng junior yang sedang ditatapnya dengan nanar menjadi semakin tegang saja dengan pengharapan tinggi. Ujung jempolku bahkan menyentuh bibir kemaluannya sesekali tiap elusan.
“Tidak ada, bagindaaa… Harap baginda yang memberikannya pada hambaaa… Seperti yang mereka katakaaan…” katanya tetap berpose pasrah dan malah makin melebarkan kakinya mengangkang, memudahkanku memasukinya bentar lagi.
“Ahh… Kau sudah mengerjakan semua PR-mu kalo begitu… Kau sudah mengumpulkan semua informasi dari mereka semua… Dan perlu berapakah butir telurkah dirimu, ratu Kanaka cantik?” tanyaku. Jempolku kini benar-benar mengelus-elus bibir vaginanya yang basah oleh orgasme sebelumnya. Aroma sitrus makin kuat tiap tarikan dan hembusan nafasnya. Cairan itu mengucur deras, antisipasi memudahkan jalan kawinnya dimasuki Aseng junior-ku.
“Itu semua kebijakan baginda sajaahh… Hamba ikut apapun yang baginda raja berikaannhh… Hmm…” desahnya karena aku melebarkan bibir vaginanya hingga aku bisa melihat bagian dalam kemaluannya dengan jelas. Cairan itu keluar dari lubang sempit liang kawinnya. Padahal sudah sering mengeluarkan telur untuk keberlangsungan populasi kerajaannya, tapi masih segini sempit. Sebanding dengan peri yang baru saja menikmati seks.
“Kalo begitu kau harus sabar… dan tahan… Karena prosesnya lebih lama kalo kau meminta yang banyak… Semakin lama semakin banyak telur yang akan kau hasilkan… Perlu kau ketahui…” aku makin mendekat hingga ngacungnya Aseng junior mendekat dan menyentuh belahan kemaluannya. “Tetap dirimulah yang menghasilkan telur-telur ini… Aku hanya memperbanyaknya dengan cepat dengan teknik ini… Mungkin kau akan bosan ato mungkin menikmatinya…” Bagian kepala Aseng junior kugesek-gesekkan ke belahan basah itu hingga ia ikut kuyup. Ujungnya bahkan menggores-gores kacang itilnya hingga sesekali ratu Kanaka bergidik.
Ia sepertinya tak perduli apapun karena sudah kugoda sedemikian rupa. Pastinya kenikmatan orgasme sekali belum cukup untuknya apalagi sepertinya ia punya target di kepalanya tetapi ia masih enggan ato segan memberitau jumlah angkanya. Pastinya banyak. Kalo bisa melebihi apa yang pernah ia miliki. Agendanya aku paham dan aku hanya memanfaatkan itu semua demi diriku sendiri juga.
“Harus tahan, yaaa…” dengan itu kusorongkan Aseng junior menyeruak masuk liang kawin becek itu hingga tergelincir masuk dengan mudahnya. Biar masuk dengan mudah, tetapi Aseng junior segera disergap oleh sensasi menggigit yang sangat ketat di dalam rongga jalan kawinnya. Serasa dihisap semakin dalam panjang Aseng junior yang tak terlalu panjang ini. Seperti ada ribuan jari yang menekan dan menggelitik permukaan mengeras batang penisku. Tak lama, aku sudah mentok memasuki dirinya.
“Jyaaahhh…” erangnya merintih sembari menjambak rambutnya sendiri. Ia mengangkat kakinya lebih lebar hingga perutku bertemu dengan selangkangannya. Licin, basah dan hangat plus aroma segar sitrus di sekitarku yang sudah meracuni seluruh panca indraku. Seluruh kamar ini juga sudah penuh diselimuti aroma sitrus perpaduan manis dan asam yang pas. Aku meremas pangkal pahanya merasakan nikmat sensasi pertemuan kelamin kami untuk pertama kalinya.
Kutarik sampe terlepas sama sekali Aseng junior dan sebelum ia protes, kutusuk kandas kembali. Kembali ia mengerang merintih keenakan menjambak rambut sisi kepalanya tanpa sadar. Kenikmatan sudah menyengatnya. Mulutnya meracaukan sudah lama sekali ia tak merasakan ini. Ini kali ia merasakannya lagi setelah terlalu lama. Ia terlalu lama menggantungkan diri pada kantung gerabah bakar curian itu hingga tak memerlukan pejantan untuk membuahinya. Ketepatan isi bibit habis saat aku menyambangi kerajaannya. Alhasil Aseng junior yang mengisi tugas itu plus kenikmatan yang tiada tara.
Kucabut-tusuk-cabut-tusuk beberapa kali hingga mengerang-ngerang keenakan dengan merdunya hingga menjadi rutin hingga payudara montoknya berguncang-guncang. Tak lagi kucabut karena aku sudah memulai teknik pembentukan telur itu. Goyangan pendek-pendek yang kalo dipikir-pikir mirip dengan genjotan andalanku saat memuaskan para binor. Gocekan 2-1-ku. Hanya saja ini gocekan 1-1, pendek-pendek dalam yang bertujuan menggerus ujung terdalam dimana posisi seperti-rahim itu berada. Tempat seharusnya telur-telur itu berada.
Sodokan pendek-pendekku lalu mulai terasa monoton karena ia tak lagi mendesah keenakan. Pun ia tak lagi menjambak, rambutnya aman tak tersentuh. Jarinya tetap berada dekat dengan telinganya dan matanya terbuka berkerjab-kerjab menatapku yang bekerja. Bekerja menyodok pendek-pendek terhadap kemaluannya yang dijejali Aseng junior-ku. Mulutnya agak terbuka. Sepertinya mau protes…
“Mulai terasa?” tanyaku sebelum ia mulai bertanya. Aku sudah melakukan teknik ini pada beberapa peri jadi aku pede ini juga akan berhasil padanya. Buktinya Astha, Cayarini, ratu Nirada, ratu Lawana mendapatkan telur baru dalam jumlah yang signifikan dalam prosesnya. Ia berkedip-kedip. Matanya yang indah agak sayu itu seperti mencoba merasakan, memindai tubuhnya sendiri. Ia pasti tau bila ada perubahan sekecil apapun di tubuhnya dirangsang kenikmatan begini.
“Bagindaa… Ada telur yang terbentuk bagindaa… Satuu… duaa… tigaaa… Bertambah terus bagindaa… Hemmhh… Uuhh…” rintihnya. Mulutnya melengkungkan senyum yang semakin lebar saja. Ia menyebutkan jumlah telur yang bertambah dan kian bertambah saja dipicu oleh genjotan pendek-pendek dalamku terhadap kemaluannya. Aseng junior kelelep dalam sekali di liang kawin hangat sempit yang sedemikian rupa. Ratu Kanaka semakin mengangkangkan kakinya lebar-lebar. Pasrah kugenjot tubuhnya pelan-pelan dengan teknik temuan ini. Teteknya yang berguncang-guncang jadi bahan hiburanku untuk mempertahankan ereksi membosankan ini. Enaknya memang kurang nampol karena hanya genjotan pendek-pendek tanpa variasi apapun. Ini semua demi jumlah telur yang terus bertambah dan bertambah terus.
Hiburanku dengan tetek montok kenyalnya sebagai mainanku berhasil menjaga ereksiku. Apalagi ekpresi keenakan ratu Kanaka dengan wajah cantik yang terlihat imut itu juga banyak menolong. Aku menyabar-nyabarkan diri dan si Aseng junior dengan janji kalo sudah tercapai jumlah yang cukup, ia boleh menggasak ratu peri Kencana ini sesukanya. Ngecrot sebanyak-banyaknya dan kalo perlu berulang-ulang sampe berapa ronde.
“Uuhh… Banyak, bagindaa… Berikan yang banyaaak, bagindaaa…. Nikmat sekali, bagindaaahh…” peri Kencana berstatus ratu ini makin blingsatan. Jalan kawinnya terus dilumasi cairan licin beraroma sitrus itu untuk melancarkan gerakan monoton menggenjot pendek ini. Puting susunya memerah karena dari tadi kucubit dan kupilin-pilin gemas. Kenyal teteknya juga kuremas-remas seperti hendak kuremukkan tetapi selalu balik lagi ke bentuk indahnya berkat bentuk memorinya.
Ratu Kanaka sudah mencapai angka 200-an saat ini dan aku teringat ronde. Peri Kencana ini sepertinya sangat rakus walo sudah mencapai angka sebanyak itu. Ia tetap memberiku semangat dengan suaranya, mimik seksi mukanya, geliat tubuhnya, dan rasa nikmat yang nanggung ini. Aku udah ngerasa gantung kali dari tadi. Sebaiknya aku menyelesaikan ini dulu dan nanti kutambah lagi di ronde berikutnya. Siapa yang mau protes. Dia protes? Coba aja kalo berani, kugenjot sampe termehek-mehek nanti.
“Aaahhhss…” rintih ratu Kanaka saat kucabut Aseng junior lepas sama sekali dari liang kawinnya. Dan saat ia hendak bertanya ada apa, kakinya langsung kurapatkan satu sama lain menyamping. Pinggulnya yang lebar membulat indah menjadi tumpuan peganganku dan Aseng junior kembali kuarahkan. Ini posisi favoritku kalo pengen ngecrot yang super nikmat. Sampe merinding-rinding tubuhku jadinya kalo ejakulasi di posisi ini. Vaginanya lebih mengatup menggigit menyamping begini. “Aaahmm…” ia hanya bisa mengerang keenakan saja jadinya.
Tubuh kami kembali menyatu dan perutku membentur-bentur bokongnya. Kali ini kocokan yang kulakukan panjang-panjang tentunya. dengan begini kami berdua bisa merasakan nikmat syahdu bersenggama dengan utuh. Gesekan kelamin kami lebih terasa sekarang. Kuremas sebelah pinggulnya dan menahan kakinya agar tetap menekuk menyamping begini. “Plok plok plok plok…” suara tepukan tubuh kami bertemu.
Batang Aseng junior menjadi sangat becek jadinya. Ia menarik keluar sejumlah besar cairan licin itu hingga berbusa putih di sekitar permukaan vaginanya juga di pangkal penisku. Titik-titik putih juga ada di jembutku. Genjotanku semakin cepat saja karena terasa geli-geli enak itu. 200-an telur akan kubuahi dahulu saat ini dan kalo masih ada kesempatan, akan kulanjut lagi di ronde selanjutnya.
Kuremas-remas tetek berguncangnya dan ratu peri Kencana itu semakin mengerang-ngerang merintih keenakan. Sodokanku semakin cepat saja hingga bersuara bising. Rasanya nikmat sekali. Aku gak mau menahan-nahannya sama sekali. Kalo mau ngecrot, ngecrot aja sekarang. Ternyata ratu Kanaka malah duluan yang mengejang keenakan mendapat orgasmenya. Tak kuperdulikan, aku terus genjot hingga tubuh montoknya bergetar-getar dan hanya bisa menjerit lemah karena kenikmatan geli yang menggetarkan jiwa itu tak berhenti mendera tubuhnya. Aku juga butuh kenikmatan ini! Aku butuh…
“Crrooottt… Crooottt… Crooottt…” telur-telur peri Kencana yang sudah berhasil kubantu bentuk di tubuh ratu Kanaka kubuahi. Peri cantik berambut pirang indah itu melengkungkan tubuhnya merasakan semburan bibit hangatku membanjiri bentuk rahim berisi ratusan telur itu. Kembali ia merasakan kenikmatan itu datang kembali bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Berkejat-kejat menggelinjang tubuh montok bertetek besar dengan aksesoris seadaanya itu merasakan telur-telur miliknya dibuahi pria kalangan manusia yang bertindak sebagai junjungan barunya.
Kenikmatan yang tiada tara. Rasa enak itu menjalar di tulang belakangku, membuat lututku lemas dan kepalaku plong. Rasa stres akibat banyaknya— terlalu banyak masalah di dunia nyata semoga bisa dinetralkan demi kenikmatan menggumuli peri secantik ratu Kanaka ini. Kuremas-remas apapun yang dapat kuraih dari tubuh montoknya. Tetapi terasa desakan yang menekan dari dalam tubuh ratu Kanaka. Ah iya… Tentu telur-telur yang telah kubuahi ini akan berusaha keluar ke alam bebas.
Cabut Aseng junior, hanya ada bercak sperma yang sedikit sekali tersisa menempel di batang kemaluanku. Terasa hembusan angin yang berasal dari tubuh ratu Kanaka. Terutama dari liang kawin sempitnya. Anginnya bertambah kencang hingga kain pelapis ranjangku ini berkibar-kibar. Tubuh ratu Kanaka lalu mengambang kek kerasukan di pilem Poltergeist. Kakinya membentang lebar. Hembusan angin semakin cepat. Bahkan aku bisa mendengar desau suara hembusannya. Untung saja, tak banyak benda yang ada di kamar kerajaan ini karena aku tak butuh banyak dan jarang dipakai juga hingga tidak banyak yang bisa berantakan akibat angin ini.
“Plung…” satu telur keluar dari vagina ratu Kanaka. Itu telur pertama. Telur berwarna kuning gading itu meluncur keluar dan dengan ajaib mengapung seperti terbang. Ini pasti karena elemen angin yang dimiliki jenisnya. “Plung…” telur kedua menyusul dan lagi disusul yang berikutnya. Tiap keluarnya telur-telur itu dari liang sempit yang kemudian melebar sementara itu, tubuh ratu Kanaka melonjak bergetar karenanya. Telur-telur yang sudah keluar seperti berkumpul berkejaran. Teringat akan telur peri Dawala yang juga bergerak sendiri untuk menuju tempat tertinggi demi mendapatkan sinar yang optimal di puncak menara.
Telur-telur berikutnya masih keluar dari ratu Kanaka. Tetapi yang menjadi perhatianku adalah telur-telur itu juga seperti sedang mencari jalan sendiri hingga menemukan jalan keluar dari jendela yang terbuka di kanan-kiri kamar kerajaan ini. Telur-telur itu terbang keluar melalui jendela sebelah kanan. Melesat seperti burung-burung bebas yang menemukan jalan keluar. Aku hanya bisa memandangi kumpulan benda-benda bulat itu terbang tinggi bak kawanan burung kecil yang hendak imigrasi ke daerah jauh.
Telur lain yang baru keluarpun ikut menyusul rekan-rekannya yang sudah melanglang buana. Tinggi dan bebas. Para peri di luar sana juga mulai menyadari fenomena itu. Sepertinya dipicu oleh peri Kencana yang menyadarinya duluan. Banyak yang menunjuk-nunjuk langit dengan riang gembira seperti melihat tontonan yang mengasikkan. Para peri berambut pirang itu pasti senang bukan buatan melihat telur junior-junior mereka sedang terbang bebas di tempat yang relatif aman ini. Memang menyenangkan melihat mereka senang. Apalagi lucu juga melihat telur yang baru keluar dari induknya begitu terbang dengan lincahnya di angkasa.
Ratu Kanaka terus saja menguras semua telur yang ada di perutnya, yang sudah kubuahi untuk keluar semuanya tanpa sisa. Aku jadi sange lagi melihat tubuh telanjang seksinya itu terus mengeluarkan muatannya seperti tak putus-putus. Lagi dan lagi telur berwarna kuning gading itu tak mampu melonggarkan liang kawin sempit ratu peri Kencana itu sama sekali. Kugasak lagi-lah kau ratu.
——————————————————————–
“Lagi baginda?” tanya lemas si ratu Kanaka. Setelah semua telur di ronde pertama tadi habis keluar, ia mendarat lagi dari kondisi mengambang di udaranya. Langsung tubuhnya kubalik menungging di tepian ranjang. Tubuhnya berbaring lemas di atas tilam sedang kakinya menjuntai tak berdaya di pinggiran. Ranjang tinggi ini pas sekali untukku melakukan ronde kedua ini.
Aku belum puas mengerjaimu, ratu Kanaka.
Setelah membersihkan permukaan vaginanya dari aroma spermaku sendiri dengan pelapis ranjang seadanya, kuendus dan ternyata tak ada aroma spermaku sedikitpun. Hanya ada aroma sitrus melulu. Mulutku langsung mencaplok vagina harus sitrus itu. Membuat ratu Kanaka hanya bisa melenguh lemah. Mulut dan lidahku bermain-main nakal dan brutal di belahan bokongnya. Kujilat-jilat semua benda indah itu dan bahkan kugigit bokongnya meninggalkan bekas merah.
Lidahku bahkan kutusukkan mengentoti liang kawinnya membuatnya mendesah. Sampe lubang anusnya juga kupermainkan berani. Hanya saja aku bukan pemuja lubang tinja. Dari dulu sampe sekarang aku baru nyoba anal sekali dan berani kukatakan aku gak terlalu suka. Yaitu menganal si Amei waktu itu. Kuremas-remas bongkah bulat bokong ratu Kanaka dan yang bisa dilakukannya hanya menggerutu tak jelas.
“Kalo kau tetap melayani baginda rajamu ini dengan baik… aku akan memberikan 200-an telur lagi untukmu, ratu Kanaka…” bisikku di telinganya sembari menempelkan Aseng junior yang sudah ngatjeng kembali ke belahan pantatnya. Tubuhku kupepet rapat ke tubuhnya agak ke pinggir. Kuelus-elus punggungnya. Ratu Kanaka meneguk ludah walo matanya masih nanar berat menatapku. Tetapi sebagai jawaban, ia mengangkat bokongnya hingga menekan Aseng junior yang menempel.
“Hamba pasrah, baginda raja… Lakukan sesuka bagindaa… Pasraahhh…ahh…” kucengkram bokongnya dengan jari kuat-kuat, melebarkan belahan bokongnya. Aseng junior memuncak hingga menyentuh lubang anusnya. Kuturunkan ke bawah dan segera terjepit menyelip di belahan vaginanya. Sekali tekan sederhana langsung menelusup tergelincir masuk ke liang kawinnya. “Aaahhh…. Bagindaaaahhhh…”
“Sleeerrppp…” Aseng junior mentok sampe ke ujung. Perutku langsung menemui belahan bokongnya.
Ratu Kanaka yang menungging pasrah lemas dibantu bentuk tepian ranjang, hanya bisa merintih-rintih terus liang kawinnya terus kugasak di ronde kedua ini. Padahal ia baru saja mengeluarkan telur yang lumayan banyak. Telur-telur yang saat ini sedang terbang berkejaran di luar sana bak sekawanan burung. “Ahh ahh ahh ahh ahh…” suara pasrahnya saat kugenjot. Liang kawinnya masih terasa sempit aja terus hingga rasanya sangat luar biasa nikmat.
Gesekan yang terjadi saat liang kawin licinnya mengatup erat dan mengepit Aseng junior tanpa henti. Bokong montoknya menjadi mainanku yang tak akan bosan digerayangi. Buat diremas-remas, ditepuk-tepuk, apalagi untuk meredam hentakan tubuhku yang menggenjot vaginanya. Berkali-kali kerekahkan bongkah bokongnya buat melebarkan tampilan apa yang sedang menjepit Aseng junior-ku. Pemandangannya sangat menggairahkan. Bibir vaginanya menghimpit penisku hingga tertekan gepeng. Apalagi pemandangan lubang anusnya yang bersih. Berkilat-kilat batang Aseng junior oleh cairan licin beraroma sitrus yang tak henti melubrikasi.
Jangan ngecrot dulu… Aku belum memberinya telur-telur yang tadi kujanjikan. Kucabut Aseng junior lepas sama sekali. Kubersihkan residu cairan beraroma sitrus yang mengumpul di pangkal batang Aseng junior juga di sekitar vaginanya. Ratu Kanaka tetap berbaring telungkup di atas ranjang dengan kaki menggantung di tepian ranjang. Vagina menganga becek dan kaki terbuka. Kuarahkan mulutku kembali untuk mengoral kemaluan yang sangat lezat ini. Rintihan ratu peri Kencana itu mengalun keenakan. Kubalikkan tubuhnya untuk proses produksi telur kembali.
“Kita ulangi lagi ya, ratu Kanaka…” ujarku dan memasukkan kembali Aseng junior ke sarang eksploitasinya. Sorong sampe mentok dan mulai genjot pelan-pelan. Menumbuk posisi-rahimnya dengan gerakan konstan yang bisa dikatakan monoton sekali. Tetapi itu kuncinya monoton. Monoton karena proses prokreasi itu selalu monoton. Sesimpel bertemunya sperma dan telur yang membuahi. Sodok-sodok terus dengan pemandangan indah casing ratu Kanaka yang yahud. Teteknya bergoyang-goyang sedap sekali di genjotan pelanku ini. Genjotan pelan yang seolah menggerus isi tubuhnya, serpih gerusan itu dikumpulkan dan membentuk sebutir telur, dua dan tiga hingga seterusnya.
Kembali rutinitas yang sama lagi, proses pembentukan telur terjadi dan 200 telur terbentuk sesuai dengan yang sudah kujanjikan. Hingga total sudah 407 telur yang sudah kubuahi dan sedang berterbangan di luar sana. Batch kedua ini langsung bergabung dengan saudara-saudaranya di kloter pertama tadi. Ratu Kanaka terkapar tak berdaya setelah kelelahan mengeluarkan 400-an telur hampir berurutan dengan jeda waktu yang sangat nikmat.
——————————————————————–
“Seng… Kita harus balik…” sergah Iyon yang muncul di depan pintu kamar kerajaanku begitu kubuka bertepatan waktunya.
“Ke dunia nyata?” tanyaku. Aku baru saja mengancingkan celanaku dan menarik restleting. Ratu Kanakan masih berbaring di belakang sana. Pingsan kemungkinan besar. Lalu baju kupakai. “Ada apa? Ada yang gawat?”
“Gawat kali, Seng… Kecolongan lagi kita…” jawabnya. Kojek tak berkata apa-apa di belakang Iyon. Ini pasti gawat.
“Apanya yang gawat?”
“Pokoknya kita keluar dulu dari tempatmu ini biar lebih jelas…” kata Iyon. Agar ia tak lagi bertele-tele langsung saja kubawa mereka keluar dari daerah kekuasaanku ini ke tempat terakhir tubuh fisik kami berada di teras rumah Kojek di daerah Porsea. Tepat di waktu terakhir di masa Subuh menyapa bumi. Balik lagi ke dunia nyata, kami hanya saling pandang-pandangan. Tentu aku bertanya masalah gawat apa gerangan.
“Trrriiitt triiittt triiiitt…” teleponku berdering dan segera aku membaca nama penelponnya. Ini nomor adikku, Selvi yang sedang ada di Surabaya. Dari tadi ternyata ada puluhan kali miss call darinya.
“Halo?” aku buru-buru menjawabnya. Tapi aku melihat wajah tegang Iyon dan Kojek yang menatapku. Aku gak bisa mendengar dengan jelas suara dari loudspeaker HP-ku yang kulupa masih dalam keadaan rusak setelah bertarung di rumah Tiwi sebelumnya. Hanya suara tak jelas patah-patah. Iyon berinisiatif mematikan HP-nya dan meminta aku memindahkan kartu SIM milikku ke HP-nya saja agar bisa menerima telepon dengan lebih jelas.
“Seeenng…” terperanjat aku mendengarnya setelah nomorku aktif di HP Iyon. Ini suara ibuku. Ia yang menggunakan HP milik Selvi. Aku masih melihat wajah tegang Iyon dan Kojek. Sepertinya mereka sengaja begini agar aku mendengarnya langsung dari sumber pertama. “Selvi meninggaaaal, Seeeng…”
Bersambung