Part #94 : Ratu Kanaka
Kericuhan saat pasukan pemanah masuk kembali ke dalam istana, kami manfaatkan untuk menelusup masuk juga. Benar saja, sepanjang perjalanan, kami tak menemukan satupun warga kerajaan ini di luar istana. Yang artinya semuanya harus masuk ke dalam sebelum serangan angin tornado dimulai. Kami berusaha meringkuk bersama-sama bak tiga peri Kencana bersaudara yang miskin padahal sebenarnya sebal sekali harus begini.
Kami terpaksa bertingkah begini karena gerak-gerak kami gak ada feminim-feminimnya sama sekali. Hanya tiga bapak-bapak dari kaum manusia yang berusaha menyamar menjadi peri Kencana imut dengan rambut pirang tiruan yang terbuat dari rambut jagung muda. Dengan meringkuk belagak ketakutan begini, setidaknya kami bisa menghilangkan keberadaan kami dari banyaknya warga kerajaan lain yang jauh sekali bedanya dengan kami. Bayangkan aja aku yang bertubuh berisi begini, Iyon yang kumisan, dan kulit hitam Kojek. Dimana letak cantik dan imut peri Kencana-nya?
Astha-lah yang mengaburkan keanehan penyamaran kami ini. Ia bertindak sebagai buffer penyeimbang anomali kami bertiga. Rambut pirangnya sempurna dengan bentuk tubuh miliknya. Ia sudah persis terlihat seperti Kencana alami. Ia bercakap-cakap dengan kami untuk mengaburkan bentuk kami yang gak karuan.
Ternyata benar, ada berbagai warna rambut peri di kerajaan ini. Aku melihat ada yang berambut hijau, orange, ungu, pink dan yang mayoritas adalah warna pirang keemasannya. Kerajaan Istana Pelangi benar-benar menerima peri jenis lain disini. Ini bisa jadi contoh yang baik bagi keberagaman.
Berada di balik dinding tebal istana membuat kami tak bisa benar-benar bisa menyaksikan proses terjadinya angin tornado yang diperuntukkan untuk menyapu bersih lawan yang menyerbu di luar kerajaan. Aku desak Astha untuk mencari tempat agar kami bisa melihatnya. Dari tepian dinding, kami melipir pelan-pelan masuk semakin jauh ke dalam istana dan akhirnya mendekati sebuah jendela. Dari sini aku bisa melihat dua buah menara pedang transparan itu. Ini tempat yang paling sempurna untuk menyaksikan kedahsyatan angin topan buatan ini. Astha menunjuk-nunjuk ke arah kincir angin yang banyak tersebar di dekat pagar tembok terluar. Putaran kincirnya terasa semakin cepat aja.
“Jadi angin yang ditangkap kincir-kincir angin itu diperbesar oleh kelima menara transparan itu… Tornado hanya akan ada di luar pagar kerajaan hingga di bagian dalam sini akan tetap aman tak terkena bahaya…” jelas Astha. Benar saja, kepulan debu pasir mulai terbentuk bersamaan angin kencang yang berhembus di luar pagar, dibalik menara transparan itu. Semakin lama semakin kencang dan berbahaya. Aku jadi bersukur ada di balik dinding istana karena bila ada di luar sana pasti akan terkena hembusan angin kencang juga. Tubuh lawan pasti akan terbang melayang mengangkasa, terlempar jauh lalu jatuh kembali ke bumi dengan fatalnya.
Belum lagi hentakan menyedot menghisap angin yang menarik tubuh. Entah berapa bar tekanan yang terjadi pusaran angin tornado super besar ini. Tubuh para zombie itu terlihat tercabik-cabik dikoyak angin kencang. Satu dua raksasa Batara Kala seukuran itu juga tak ada bedanya, ikut terangkat tercabik-cabik habis musnah menemui sang pencipta. Suara teriakan para zombie, Batara Kala dan suara-suara mahluk lainnya terdengar menyayat hati bersama suara deru angin tornado yang berhembus sangat kencang. Berderu-deru bagaikan auman puluhan ekor singa sekaligus silih berganti. Auman yang mendendangkan suara kematian tingkat tinggi. Tingkat tinggi secara harafiah karena tubuh akan diangkat ke angkasa, dicabik-cabik sekaligus lalu terlempar keluar dan jatuh entah dimana dengan tubuh hancur terhempas. Terrain kontur tanah di sekitar kerajaan Istana Pelangi yang gersang berbukit batu yang akan menerima tubuh-tubuh yang melayang jatuh sehabis dihempaskan angin tornado raksasa itu. Kematian yang menyakitkan.
Tak hanya kami yang menyaksikan proses terjadinya angin tornado raksasa ini. Para warga kerajaan lain juga banyak yang mengintip dari jendela ini dan jendela-jendela lainnya. Rata-rata bergumam kagum akan kedahsyatan kekuatan yang dipraktekkan sang pemimpin kerajaan yang sangat mereka hormati ini. Mereka seakan tak begitu khawatir dan takut akan serangan yang terjadi di luar sana. Seakan sangat percaya diri akan kekuatan pemimpin mereka dalam menghadapi semua masalah-masalah yang menghadang kerajaan ini. Sebegitu besarnya percaya diri ini menular ke warganya. Itulah yang kutangkap dari suara-suara pujian dari para penonton jendela ini.
Dari gerakan dan tindak tanduk penonton jendela, aku bisa mengira-ngira kemana arah pandangan mereka. Ke arah satu titik sentral yang dijaga sedemikian ketatnya oleh ring penjagaan berlapis-lapis seperti yang pernah diungkapkan Astha saat ia menyusup waktu itu. Setidaknya aku melihat ada dua lapis penjaga yang berkeliling mengitari semacam tahta yang diduduki oleh satu peri Kencana yang nauzubilah cantiknya. Aku yang segini rabunnya aja bisa mengira-ngira segimana cantiknya itu ratu pemimpin kerajaan Istana Pelangi.
“… ratu Kanaka yang sedang dalam keadaan begitu saja bisa mengusir semua musuh-musuh kita… Yang sudah berani-berani mencoba mengusik ketenangan kerajaan kita yang sangat kuat ini… Biar tau rasa mereka semua…” kata satu warga kerajaan Istana Pelangi cantik berambut pirang ini pada rekannya sesama peri Kencana.
Keadaan begitu saja bisa mengusir musuh?
Kenapa rupanya ratu itu? Memang keknya lagi duduk malas-malasan gitu. Apa kalo lagi serius bisa dihadapinya semua pasukan Lord Purgatory dengan sebatang lidi aja? Gila kali otakmu, Seng. Tapi tadi gitu kata peri ini tadi… Segala ucapan mamak-mamak lagi bergosip aja kau tanggapi. Gak manusia gak peri sama aja tingkahnya. Ber-ghibah aja kerjaannya.
“Eh… Jadi benar begitu… ratu Kanaka menyimpan banyak bibit di tubuhnya… hingga bisa menyesuaikan kebutuhan penambahan prajurit kita yang mungkin gugur saat perang tadi?” tanya sang rekan ber-ghibah lumayan rempong.
“Benar, dong… Kamu juga kan lahir dari sang ratu… gak lama setelah aku… Ratu tak perlu ada pejantan macam-macam lagi… Telur yang dihasilkannya sudah langsung terbuahi dari bibit yang disimpannya… Liat tuh…” tunjuknya ke arah ratu Kanaka yang duduk gelisah yang tadinya kukira sedang malas-malasan. Ia sepertinya akan bertelur!
Aku melirik pada Astha yang mengangguk membenarkan. Ratu Kanaka akan bertelur di atas tahtanya, di depan khalayak rame begini. Aku langsung menyikut Kojek dan Iyon yang ada di dekatku. Mereka ternyata udah melotot dari tadi karena mata mereka masih lebih normal daripada aku. Duduk bersandar di tahta berkilauan itu, ratu Kanaka membuka sedikit kakinya. Aksesoris yang dipakainya sedikit berkibar-kibar oleh tiupan angin dan ia sedikit mengejan. Satu peri kencana yang bersiap-siap berjongkok di depannya langsung menangkap-menampung sebuah telur segenggaman tangan berwarna kuning gading. Peri itu langsung cepat-cepat pergi dengan telur itu ke dalam istana.
Ng… Segitu aja? Gak ada telur lain? Cuma satu?
“Kau liat tadi?” bisik Kojek ke Iyon. Iyon cuma mengangguk-angguk dengan senyum lebar. Mereka pasti sangat kagum dengan proses bertelur peri Kencana ini hingga terpesona begitu. Aku b aja karena udah sering kali ngeliatnya jadi kek hapal.
“Tempeknya keliatan sebentar, cuyy…” Gubrak! Kimak! Rupanya itu yang mereka perhatikan ternyata. Kelebatan sekilas kemaluan ratu Kanaka saat mengeluarkan sebutir telur tadi. Kain yang dipakainya memang tersingkap sebentar saat proses telur itu keluar tadi karena hembusan angin sesuai elemen para peri Kencana ini. Aku gak liat jelas karena masalah penglihatanku ini. Mereka berdua sangat menikmatinya ternyata.
“Kimak klen dua, yaa… Saat-saat begini sempat-sempatnya ngeliatin tempek peri cantik…” makiku pelan yang membuat mereka berdua cengengesan tak malu. Malah alis dinaik-naikkan dengan bibir maju belagak nyium dengan gerakan menyodok-nyodok mesum ke arah bokong montok dua peri Kencana yang dari tadi ber-ghibah di depan kami.
“Ada tamu yang tak diundang masuk ke dalam istana!!” tiba-tiba terdengar suara melengking dari lingkar pelindung sang ratu. Kontan kami kaget mendengarnya karena kami memang tak pernah diundang masuk. Kami memang penyusup. Kami ketauan!!
Dengan cepat beberapa prajurit langsung bergerak mencari entitas yang dimaksud dengan tamu yang tak diundang itu. Warga kerajaan yang benar-benar warga kerajaan Istana Pelangi tentu saja bergerombol menurut jenisnya dan aman tak diperiksa. Prajurit bertombak ini bergerak cepat ringkas dan terampil melakukan pemeriksaan dan bentar-bentar lagi akan sampe ke tempat kami. Aku lirik-lirikan dengan Iyon-Kojek dan Astha harus gimana kalo kami ketauan. Aku mengkode mereka untuk langsung melawan kalo kami sampe tertangkap. Mereka semua mengangguk paham. Sekalian aja bikin ribut di kerajaan ini.
“AAAAHHHHhhhhh!” terdengar suara melengking tinggi dari tempat lain. Kelompok prajurit bertombak yang sedianya akan memeriksa kami berbalik arah melihat ke arah teriakan melengking itu. Itu dari arah tahta dimana sang ratu duduk. Ratu Kanaka diserang! Kepanikan segera terjadi dengan riuhnya. Padahal ratu sudah dikawal sedemikian ketatnya. Gimana caranya musuh masih bisa menyergap sang ratu? Tahta langsung dikepung dari semua sudut dan penjuru berlapis-lapis.
Tapi dengan begitu, keuntungan bagi kami yang selamat gak ketauan. Ternyata ada pihak lain yang juga sedang menyusup ke dalam istana ini. Dari pihak Lord Purgatory-kah?
“Lepaskan ratu Kanaka!!” teriak satu peri yang sepertinya memegang jabatan puncak di kalangan prajurit kerajaan. Ia menghunuskan pedangnya dengan berang. Mungkin juga malu tak dapat melindungi junjungannya dengan baik hingga bisa ditangkap pihak musuh. Aku tau perasaannya. Dirinya dipecundangi tepat di depan mata dan seluruh warga kerajaan. Dan targetnya tak tanggung-tanggung, langsung pemuncak kerajaan!
“Demi apaa~~? Hmm~~?” sahut sang durjana. Sosok ini bisa dibilang merupakan kebalikan dari peri Padma yang berkulit merah seluruhnya. Sosok ini seluruhnya berwarna biru. Baik rambutnya, tangannya, badannya semuanya. Kakinya berupa tentakel-tentakel panjang menopang tubuhnya berdiri tegak. Itu fitur yang paling menonjol dari tubuhnya selain tentu saja gumpalan dadanya yang lumayan besar membusung. Dengan tentakel-tentakel seperti gurita itu ia membelit, menangkap dan memerangkap tubuh ratu Kanaka di kekepannya.
“Aahhh…” jerit lirih ratu Kanaka yang merintih kesakitan oleh belitan tentakel itu. Tentu heboh jadinya karena sang ratu kerajaan Istana Pelangi ini berhasil ditangkap oleh musuh yang tiba-tiba sudah membelitkan banyak tentakel fleksibel itu disekujur tubuh ratu Kanaka. Para prajurit berpedang, bertombak dan panah bingung bagaimana cara menyelamatkan ratu mereka dari tangkapan mahluk yang sekujur tubuhnya berwarna biru itu.
“Itu peri Udahani, baginda…” bisik Astha memberiku informasi penting ini. “Mereka biasanya selalu berseberangan dengan peri Asti karena masalah perbatasan wilayah… Wilayah mereka biasanya ada di lautan yang sangat dalam… Samudra habitat mereka…” tambahnya. Entah apa permasalahannya hingga peri Udahani ini menyerang kerajaan Istana Pelangi? Tetapi kalo dicari gampangnya, ia pasti suruhan ato bawahan Lord Purgatory.
“Oop-mak… Agresif kali tentakelnya… Langsung nyarik tempat enak dia…” kata Iyon yang melihat dengan jelas pergerakan tentakel peri Udahani itu. Aku tak tau maksudnya tempat enak kemana tapi demi melihat mulutnya yang menganga bertahap aku kemudian paham. Tentu belitan tentakel itu menyasar beberapa titik erotis antara lain: payudara montok dan lembah lembab di antara kaki. Ahhss… Enak itu.
Pimpinan tertinggi peri Kencana itu menggelinjang-gelinjang tak rela tubuh montok dan terhormatnya diraba-raba dengan lancang oleh anggota tubuh kotor berlendir lengket dari peri Udahani yang tak dikenal ini. Ia menjerit-jerit yang semakin membuat panik para prajurit setianya. Dekapan tubuh peri itu semakin mengancam dengan pelukan erat. Peri Udahani dengan tanpa rasa takut sedikitpun seperti meremehkan para prajurit yang mengepungnya. Mereka semakin berang dengan mimik mengejek peri bertubuh biru itu.
“Jangan lakukan ini!! Jangaan…” teriak ratu Kanaka yang merasakan jamahan tentakel itu semakin kurang ajar saja. Menelusup masuk ke dalam belahan kemaluannya yang tersibak terbuka. Pelan-pelan kami semakin mendekat ke lingkar terluar para prajurit yang mengepung skenario penyekapan ini. Para warga lain sudah digiring menjauh dari tengah istana menuju bagian lainnya—sebelah kanan dan kiri istana.
“Aku hanya mau mengambil milik kami kembali~~… Kau tak berhak memakainya untuk terus memperbanyak warga kerajaanmu sementara kami habis dan semakin habis sajaa~~…” di jarak begini, aku bisa melihat sebuah tentakelnya yang sudah menelusup masuk dengan lancangnya ke dalam liang kawin ratu Kanaka dan terus merogoh masuk. Mengakibatkan sang ratu cantik berambut pirang itu blingsatan geli-geli nikmat merasakan tekstur panjang, licin dan liat tentakel itu menggerus bagian dalam vaginanya sampe ke jangkauan terdalamnya.
“Aaaakkhhh… Uuhhhhmm…” ini malah sudah mirip perkosaan jadinya. Dimana korban yang awalnya menolak malah berubah menikmati. Perut bagian bawah ratu Kanaka agak menggembung karena ujung tentakel itu bercokol di sana dan melakukan sesuatu. Peri Udahani itu hendak mengambil kembali milik mereka? Benda itu ada di dalam perut ratu Kanaka? Ratu Kanaka menggelinjang-gelinjang gak karuan merasakan tentakel itu mengacak-acak isi kemaluannya. Mungkin rasanya antara nikmat, mual dan sakit bercampur menjadi satu.
“Cemmana kalo pidong (burung)-ku yang masuk situ, ya?” bisik ngelantur si Kojek mengelap mukanya tanpa sadar membayangkan kalo miliknyalah yang sedang mengobok-obok kemaluan ratu peri Kencana itu.
“Pasti enak kali-la, Jek… Akupun mau jugak…” bisik Iyon juga melakukan hal yang serupa dengan Kojek. Baluap-baluap… Sama! Aku juga memikirkan hal yang persis sama dengan kedua sobatku itu. Aseng junior udah menggeliat, kebayang kalo dia yang menelusup masuk ke liang kawin yang keknya nikmat kali itu, mengocok-ngocok liang sempit itu lalu ngecrot di dalamnya. Ahh… Pasti nikmat kali.
“Cruuusshh…” tentakel itu keluar dan menarik sesuatu dengan membelitkan ujungnya, memegang sesuatu di sana. Ratu Kanaka menggelinjang berkejat-kejat seperti kesurupan yang berupa orgasme terpaksa yang dialaminya akibat bergerak cepatnya tentakel itu barusan. Tubuh montoknya menggelepar dengan spektakuler didekapan peri Udahani berkulit biru keseluruhan itu.
“Akhirnya kudapatkan kembali benda berharga ini~~… Khi khi khi khi khi~~…” ujar peri Udahani itu memperhatikan benda berbentuk kantung kecil yang terbuat dari gerabah bakar dengan seutas tali berwarna biru dan hitam. “Dengan ini aku bisa mengembalikan jumlah peri Udahani yang semakin berkurang dari waktu ke waktu… Kau… kalian semua sudah dengan kurang ajarnya mencuri benda ini dari kerajaan kami… Aku dengan bantuan maharaja berhasil merebut kembali benda ini dengan gemilang!! Khi khi khi khi khi~~…” ia tertawa sangat gembira.
Fix. Mahluk ini bawahan Lord Purgatory.
“Kurang ajar!!” tiba-tiba dia menjadi berang bukan kepalang setelah tadi sempat senang. Belitan tentakelnya semakin erat menjepit ratu Kanaka. Ia mengarahkan muka cantik ratu itu tepat kehadapannya. Mereka beradu jidat. “Kau sudah menguras habis isi kantung bibit ini, Kanaka!! Dasar kurang ajar!!” teriaknya tepat di depan muka ratu Kanaka yang kurang ajarnya masih sempat tersenyum. Senyum menang.
“Kau takkan kuberi kesempatan untuk menambah kembali jumlah bawahanmu, Udaka… Shi shi shi shi shi shiii… Liat siapa yang paling licik…” senyum kemenangan ratu Kanaka makin berkembang lebar membuat peri Udahani ini semakin berang. Jadi dari tadi itu semua hanya acting? Kimbek… Bahkan ekspresi keenakannya terlihat sangat natural tadi.
“Bedebah kau, Kanaka!! Aku mengutukmu! Aku mengutukmu agar kau juga tak bisa menambah jumlah wargamu selama-lamanya!! Agar kau merasakan derita yang selama ini kurasakan!! Bedebah kau, KANAKAAA~~!!” jerit peri berkulit biru itu semakin histeris dalam amarah. Tentakel miliknya berayun-ayun kesegala arah menghantam, menghajar apapun yang terkena sabetannya. Sandaran tahta yang paling dekat dengan mereka hancur berkeping-keping terkena sabetan tentakel berkali-kali.
“Terserah kau mau bilang apa, Udaka… Wargaku sudah cukup banyak… Aku tau kau bakalan datang dan aku sudah menguras semua bibit sebelumnya untuk memancingmu muncul… Tak disangka kau begitu bodoh dan benar-benar datang… Tinggal berapa jumlah peri Udahani yang kau miliki? Tinggal 12? 13? Dan semakin berkurang, kan? Shi shi shi shi shi shiii…” ternyata ratu Kanaka ini cukup berani dan penuh perhitungan. Ia sudah memperkirakan kalo lawan lamanya ini bakal menunjukkan tampangnya dan ia berhasil mempecundanginya dengan telak. Tapi taukah dirinya kalo ada pihak lain yang juga menyusup ke kerajaannya ini?
“Kau tak bisa menggunakan bibit yang ada di dalam kantung ini untuk membuahi telur-telurmu… Tak kan BISAAA!!” ejek ratu Kanaka yang dibalas dengan telak oleh pemimpin peri Udahani yang ternyata bernama Udaka ini. Berupa hunjaman ujung tentakel-tentakel itu ke bagian perutnya. Mendapat beberapa serangan cepat semacam itu sekaligus tentunya sangat menyakitkan.
“Jeb! Jeb! Jeb! Jeb!”
Ratu Kanaka terperangah dengan mulut terbuka. Mulutnya terbuka dengan ludah menyembur sangking sakit rasa yang menyengat bagian perutnya. Geram Udaka menyerang bagian lemah lawannya lalu dilanjutkan dengan menyiapkan satu tentakel khusus yang ujungnya lebih tumpul cenderung bulat. Makjang… Itu udah kek kontol betulan. Apa yang akan dilakukannya dengan ujung tentakel itu?
Bagi yang fetish dengan genre tentakel, ini pasti pemandangan yang menyenangkan. Beberapa tentakel fleksibel menggerayangi tubuh montok peri cantik berambut pirang. Meremas-remas payudara montoknya, melibat tangan dan kaki hingga terikat tak berdaya dan puncaknya ditusukkannya tentakel tumpul berbentuk penis ini ke kemaluan sang korban. Ratu Kanaka menjerit bukan buatan tetapi mulutnya segera disumpal tentakel lain. Lendir dan cairan kental segera membahana dari kedua peri ini; peri Kencana dan peri Udahani. Mereka berdua sepertinya birahi bersamaan karena aktifitas aneh ini.
Para prajurit tak ada yang berani mendekat dan mencegah pemimpin mereka dilecehkan sedemikian rupa oleh musuh karena ratu Kanaka masih dalam bahaya besar dari belitan tentakel-tentakel berbahaya itu. Satu tentakel khusus itu bergerak keluar masuk di dalam liang kawin ratu Kanaka. Aku jadi membayangkan lagi kalo Aseng junior yang keluar masuk di sana. Pasti asoy geboy kali-bah…
“Bibit subur~~!!” tiba-tiba peri Udahani itu memalingkan wajahnya ke arah kami dengan tolehan cepat menghentak. Mampooss!! Kami ketauan. Kami berempat ketauan!
Entah bagaimana ia menghidu aroma bibit subur dari kami bertiga. Apakah dari cairan precum yang menitik di ujung Aseng junior-ku? Aku yakin Iyon dan Kojek juga mengalami hal yang sama. Sange sampe menitikkan precum di ujung junior masing-masing. Kimak! Hidungnya tajam kali kek anjing pelacak. Pelacak kontol ngaceng!
Dengan tentakel lain miliknya yang bebas untuk bergerak, ia bergerak dengan cepat tak memperdulikan banyak prajurit peri Kencana yang mengepungnya. Para prajurit itu bergerak luwes memberi jalan karena pemimpin mereka masih di tangan musuh. Sekejap kedua pemimpin peri itu sudah ada di dekat kami dan dengan matanya yang haus ia segera mengenali kami bertiga sebagai pejantan subur.
“Seeng~~ Ketauan kita…” kata Iyon yang berdiri di samping kanannku. Suaranya keluar dengan gerak mulut minimal kek ventriloquist.
“Mukaknya sange kali, woy… Abis maniku diocop (sedot)-nya, nih…” tiru Kojek di sebelah kiriku dengan tingkah yang sama. Apa aku yang mereka suruh jadi boneka Susan-nya. Awak ini anak baik-baik, woy.
“Baginda… kita buka samaran?” bisik Astha yang ada di belakangku. Sepertinya ia tak rela aku jatuh ke tangan peri-peri ini.
“Wah-waah… Ada penyusup lain ternyata…” sempat-sempatnya ratu Kanaka yang sedang kepayahan kek gitu mengeluarkan komentar sarkas demikian. Tangannya yang pasrah dari tadi mulai mengepal. Kedua tangannya mengepal erat lalu terbuka… Ini masih bagian dari acting-nya ternyata.
“Fyuuuuurrrrhhh…”
Dari kedua tapak tangannya keluar angin kencang berputar-putar seperti ada kipas angin yang melekat di tangannya. Memanfaatkan kelengahan Udaka yang mengendurkan belitan tentakelnya di tubuh montok ratu Kanaka, hembusan angin kencang itu mendorong peri bertubuh biru itu tertiup jauh dari posisi awalnya. “Whooaaaaahhh…” Ratu Kanaka sudah terbebas dari bekapan Udaka. Dan yang pertama kali dilakukannya adalah mengusap-usap bagian dadanya yang telah dengan kurang ajarnya digrepe-grepe peri Udahani itu kemudian hinggap ke kemaluan montoknya. Ia mengelap cairan kental di bagian itu hingga bersih. Mata kami bertiga melotot melihat pamer yang sebenarnya tak pantas itu dengan berbagai komentar bersukur di dalam hati. Bersukur diberi kesempatan melihat pemandangan indah seperti itu.
“Saya mendengar kata bagindaa~~ tadi… Tangkapan apa yang kita dapat sekarang?” ia melakukan semacam kode dengan gerakan tangan hingga para prajurit bertombak itu membagi kekuatan dan mengepung kami berempat dengan todongan senjata. Sebuah benda dengan cepat melayang dan ditangkapnya, sebuah tongkat dengan sebuah permata opal beragam warna. Opal pelangi! Permata peri terakhir!
“Siapakah kaliaaan~~ ini? Dari pihak Lord Purgatory-kah? Tidak… Peri duyung mesum barusan baru bawahan maharaja gadungan itu… Tentunya kalian akan bekerjasama kalo dari pihak Lord Purgatory juga… Ahh… Tentu saja… Mahkota Merah…” ia mengambil kesimpulan yang sangat cerdas.
“KANAAKAAAA!!” peri duyung yang dijuluki ratu Kanaka itu terlihat melompat menerjang dengan belitan tentakelnya. Ia sepertinya sangat berang telah dihembus menjauh dengan serangan tiba-tiba tadi. Tentakelnya saling jalin menjadi semacam tombak dengan ujung runcing.
“Waduuh… Duyung binal satu ini belum kapok ternyata… Apta Antari…” hanya dengan sebelah tangan yang memegang tongkat berpermata opal pelangi itu, ia mengeluarkan sebuah jurus. Dari opal itu langsung menembakkan angin terkonsentrasi ke arah Udaka. Belitan tentakel saling jalin itu membuka hingga ia terlihat seperti payung yang sedang terkembang. Waah… Dibalik tentakel-tentakel yang berjumlah banyak itu ternyata tersembunyi bagian vital mahluk Tuhan yang paling disuka mata lelaki. Ada vagina merekah yang tembem dan terlihat sangat lezat bak harta karun dari laut dalam yang tak pernah terlihat selama ribuan tahun lamanya.
“Alamak! Sedap nian tuuh…” kata Iyon mengelap ences dari mulutnya.
“Enak tuh, Yoon… Tambul sadarion…” setuju Kojek.
“Sadar klen, wey… Gawat kita, nih…” ujarku coba mengingatkan mereka situasi kami saat ini. Sementara peri Udahani itu terlempar jauh masuk melesat ke dalam sebuah lorong sempit yang ada tepat di belakang tahta dan suara berdebum keras terdengar di ujung sana. Dahsyat benar jurus Apta Antari barusan.
“Yaa~~… Sadarlah kalian!” seru ratu Kanaka yang tetap berdiri di hadapan kami. Dari satu tapak tangannya, ia mengeluarkan angin kencang yang meniup semua penyamaran yang kami kenakan. Jadi wig primitif dari rambut jagung muda itu lepas beserta kain-kain rombeng itu dari tubuh kami. “Oh… Wow… Ada tiga pria manusia dan satu peri Aruna di sini… Anda pasti baginda raja itu… Dengan empat permata peri yang sudah anda kumpulkan…” senyum lebar ratu Kanaka mengembang bak dibubuhi baking soda. Tapi aku sangat waspada dengan mimik wajahnya karena dia ini tipe perempuan licik yang sanggup melakukan apa saja demi tujuannya dengan poker face acting yahudnya.
“Yang inipun mantap juga, Jek… Kau mau yang ini ato yang cumi-cumi tadi?” kata Iyon masih aja berselera untuk bermantap-mantap ria. Padahal ia sudah tau sendiri bagaimana kekuatan pemimpin peri Kencana ini tadi.
“Itu tadi keknya sotong-la, Yon… Yang manapun jadi-la, Yon… Pokoknya aku mau cuci baut aja disini… Setres kepalaku… Apapun jadilah!” jawabnya sama sablengnya dengan Iyon. Memang enak sama peri-peri ini, kuakui itu, tapi liat-liat sikon, dong. Sikontol kalo mau lengkap. Situasi, kondisi dan toleransi. Toleransi buat Astha yang menyertai kami.
“Woy… Itu tadi ikan tongkol, paok! Liat-liat situasi-la… Ini ratu kerajaannya…” ingatku pada mereka.
“Anda jauh lebih bijaksana tentunya dari dua rekan anda ini, baginda raja kerajaan Mahkota Merah~~…” ia melirik pada tanduk di sebelah kiri mahkotaku. “… yang mulai tumbuh tanduk di kepalanya…” ia menatapku langsung sekarang. “Apa kiranya yang menyebabkan anda bersusah payah memasuki kerajaan kami ini… Apakah tindak lanjut dari kunjungan bawahanmu itu beberapa waktu lalu?” liriknya pada Astha di belakang. Walo berhadapan langsung dengan musuh, ia tetap tak menghilangkan courtesy kebangsawanan yang disandangnya. Penyusupan Astha waktu itu ternyata tak luput dari sepengetahuan dirinya. Sungguh pemimpin yang cakap. Tak salah ia menjadi pemimpin.
Apakah benar ia menganggap kerajaan Mahkota Merah sebagai musuh?
“Dua peri Dawala yang anda kirim ke kerajaan kami waktu itu saat ini sudah bergabung dengan kerajaan Mahkota Merah… Ternyata dia adalah ratu Nirada dan pengawalnya… Dia dan ratu Lawana dari kerajaan Laut Biru sudah bergabung juga hingga saat ini kerajaan Mahkota Merah adalah gabungan tiga kerajaan peri berelemen yang bersatu ratu Kanaka… Kedatangan delegasi kami kali ini adalah mengajukan penawaran pada anda ratu Kanaka untuk turut bergabung di persatuan ini untuk bersama-sama menghadapi lawan… karena musuh yang kita hadapi adalah musuh yang sama, ratu Kanaka…” kataku berusaha lugas dan tegas sekaligus agar terkesan mendalam di benak pihak seberang.
“Begitu, yaa~~? Bagaimana dengan onyx hitam di tanduk anda itu~~?” tanyanya melirik sekali lagi seperti gusar melihat tandukku.
“Hal itu sedang saya usahakan, ratu Kanaka… Masih ada kendala…”
“Bukan karena satu-satunya peri Candrasa itu membelot?” ia mengungkapkan fakta yang menyesakkan itu. Ia tau banyak hal. Darimana ia tau hal itu. Apakah ia punya mata-mata di kerajaanku? Dan juga di pihak Lord Purgatory juga. “Dengan membawa ratusan telur peri Candrasa yang sangat berhargaaa~~~ Hmm?” ia mengelus-elus permata opal pelangi itu dengan seksama dengan berjalan mondar-mandir.
Kimak! Dia tau itu juga. Dia tau aku sudah diperdaya mentah-mentah.
“Anda tau?…” ia berhenti dengan muka songong tapi untungnya tetap cantik. “… ia sempat mampir kemari dan menawarkan diri untuk berlindung disini… Menawarkan kesetiaan peri Candrasa yang seharusnya patut dipertanyakan karena mahfum kalau ada beragam peri berambut berwarna di sini… Tapi saya tak menerima peri penghianat disini… Sekali berkhianat pasti akan mengulangi berkhianat lagi…” ia berhenti dan mengelus-elus permata opal pelangi itu agar lebih kinclong.
“Saya menolak tawarannya… Tentu saja…” ia menolak tawaran Cayarini.
“Bagaimana dengan tawaran saya tadi?” desakku.
“Apa untungnya?” jawabnya cepat. “Apa untungnya buat Istana Pelangi? Tanpa bantuan pihak luar… kami bisa memukul mundur pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar dari total pasukan dan warga kerajaan kami ini… Anda tentu menyaksikan tadi dari jendela sebelah sana itu… Betapa perkasanya Adipawana Istana Pelangi… Angin tornado yang sungguh perkasa meluluh lantakkan pasukan musuh seperti gerombolan semut saja laiknya… Gabungan tiga kerajaan kalian mungkin akan berhasil mengalahkan mereka… Katakanlah setelah berperang selama berhari-hari… Dengan korban jiwa yang sangat banyak… Silahkan saja… Tetapi kami tetap dengan cara kami…”
“Dan jawabannya?”
“Saya harus menolak baginda raja Mahkota Merah… Maafkan terus terang saya ini… Cara bertahan hidup kita sama sekali berbeda…”
“Ratu Kanakaaa…” satu peri datang mendekat dengan tergopoh-gopoh. Yang menarik perhatianku adalah warna rambutnya yang hijau. Ini berarti contoh peri Wanadri itu, peri hutan yang bisa menjadi jawaban pengolahan hutan yang bersinergi dengan pengolahan makanan para peri mudaku. Ia sama sekali tak memperdulikan keberadaan kami. “Gelombang kedua musuh kembali menyerang… Kali ini mereka mengandalkan pasukan raksasa, ratu Kanaka!”
Mukanya ketat untuk sepersekian detik dan kembali tenang. Kemudian hanya fokus mengusap-usap permata opal pelangi kinclong itu. “Sarpadalu…” desisnya. Dari terjemahan kata yang digumamkannya tadi itu artinya ular yang sangat besar… Raksasa seperti yang dilaporkan peri Wanadri barusan. Gila si Lord Purgatory! Bahkan ia punya pasukan ular raksasa. Setelah kehilangan satu peri Anaga, ia masih punya pasukan reptil lain yang lebih menakutkan. Apalagi ini namanya pasukan. Pasti ada lebih dari sekedar satu ular raksasa saja, banyak!
“… dan tambahan Batara Kala yang lebih besar…” desisnya lagi. Apakah ia menggunakan opal pelangi itu seperti bola kristal untuk menerawang? Oo… Karena itu ia sangat banyak pengetahuan. Entah bagaimana caranya, opal pelangi itu dapat menunjukkan padanya informasi krusial yang dibutuhkannya. “Bahkan rajanya juga ada…”
Whaddepak! Raja Batara Kala?!
“Siapkan Adipawana tingkat kedua dan ketiga sebagai jaga-jaga…” perintahnya pada peri Wanadri itu yang segera dijawab dengan anggukan dalam dan langsung balik badan berlalu yang diikuti beberapa peri lain di lapisan peri prajurit. “Kalian pasti mau melihat apa itu Adipawana tingkat kedua?” katanya mundur dan berusaha duduk di tahtanya yang sudah dibersihkan dari kerusakannya. Kami bergeser ke jendela kembali masih dengan kepungan pasukan bertombak yang selalu siap sedia.
Lima menara transparan berbentuk pedang itu mulai bergerak. Awalnya terlihat sangat berat tetapi ada mekanisme semacam rantai ato semacamnya yang saling terhubung menyebabkan lima menara raksasa itu bergerak semakin cepat dan lancar. Bila yang pertama tadi adalah angin yang diamplifikasi dari berbagai kincir angin di sekitar tembok, tingkat kedua menciptakan angin tornadonya sendiri dengan berputar cepat dengan kerajaan Istana Pelangi sebagai porosnya.
Tak ada debu tebal kali ini karena lingkungan di sekitarnya sudah bersih berkat tornado tingkat pertama tadi. Serangan tingkat dua ini merupakan sayatan tornado murni yang hanya mengandalkan angin saja. Tapi karena sedemikian cepat dan dahsyatnya, ini jauh lebih luar biasa! Adipawana secara harafiah berarti angin yang sangat besar ato kata lain; tornado. Ini sangat luar biasa.
“Tahan!!… Ini Sarpadalu pertama…” samar-samar dari balik sabetan cepat menara transparan pedang itu terlihat sosok ular besar dari tipe ular piton sepanjang puluhan meter dan diameter sebesar drum minyak, melompat ganas ke arah istana. Pasti akan ada kerusakan parah dari istana kerajaan ini karena hantaman ular itu. Aku menoleh ke arah ratu Kanaka. Ia memegangi tongkat berpermata opal pelangi itu dan menancapkan bagian bawahnya pada semacam lubang yang ada di depan tahtanya. Ia sendiri yang mengendalikan Adipawana itu dengan opal pelangi perkasa itu.
“Clap clap clap clap!” ular piton itu terpotong-potong seperti sosis aja layaknya dari kepala sampe ekor dan terbang melayang tak tau rimbanya. Tapi pihak musuh tak mundur karenanya. Dua ular piton sejenis maju serentak beserta satu raksasa Batara Kala yang bersenjatakan kapak yang luar biasa besar ukurannya. Kapak itu mengayun deras.
“Wraatthh…” secara mengagumkan kapak itu terlempar dari tangan raksasa bertubuh merah seram itu. Terlontar jauh entah kemana tau. Berang, raksasa Batara Kala bermaksud menggunakan pukulan tangannya yang berukuran besar. Ukuran Batara Kala ini jauh lebih besar dari yang pernah kuhadapi dua kali. Tingginya setidaknya 10 meter lebih dan jauh lebih menakutkan. Apakah ini raja Batara Kala yang tadi disebutkan ratu Kanaka? Bogem besar raksasanya terhenti di tengah jalan sebelum membentur angin kencang itu. Ia terus menekankan tangannya, ngotot ingin terus mendesakkan bogemnya untuk melakukan kerusakan.
Ratu Kanaka mencengkram opal pelangi itu lebih erat dan alhasil, berturut-turut kulit, daging, otot dan tulang-tulang tangan raksasa itu tercabik-cabik dengan sangat mengerikan. Daging dan darahnya menyiprat ke mukanya sendiri di tengah suara jerit kesakitannya. Dua ular raksasa yang menyertai serangannya tadi juga sama nasib dengan dirinya, terpotong-potong bak sosis. Ratu Kanaka tersenyum puas. Tapi senyumnya tak lama karena satu raksasa Batara Kala yang lebih besar dan terlihat lebih barbar maju. Entah ini rajanya ato siapanya, tapi melihat ekspresi ratu Kanaka barusan, sepertinya lawannya ini lebih serius.
Ukuran yang besar dari raksasa sebelumnya ini membuatnya jelas terlihat bahkan dari kejauhan. Dengan kekuatan dan ukuran tubuhnya ia dengan mudah merontokkan bukit batu yang ada di jangkauannya. Bongkahan batu yang awalnya adalah bagian besar dari bukit batu diacungkannya dengan mudah bak anak STM yang akan melemparkan batu pada lawan tawurnya. Dan semakin parah, ada satu lagi raksasa Batara Kala lain seukuran dirinya yang melakukan hal yang serupa dari sisi lain.
“Fyyuuuurrr…. BLAAAMMM!!”
Istana besar terasa bergetar hebat karena hantaman. Hantaman pertama yang paling kuat dan yang kedua kurang tapi cukup lumayan. Kami bisa tetap berdiri tegak karena berpegangan pada kisi-kisi teralis jendela dimana kami sedang menonton pertarungan ini. Para prajurit yang mengepung kami tercerai berai berantakan tapi berusaha berdiri kembali dan memperbaiki posisi sebaik mungkin.
“Laporan kerusakan?!” seru ratu Kanaka.
Berlari masuk satu peri dari luar istana yang kemudian laporannya di-estafetkan untuk dilaporkan pada pemimpin tertinggi mereka. “Pondasi timur rusak parah, ratu… Berlubang dan air selokan banjir keluar dari sana… Pondasi barat juga rusak ringan sampai menengah…” lapor sang prajurit. Ratu Kanaka terlihat gusar dan menggeram kesal.
“Persiapkan diri kalian semua!! Kita akan langsung ke tingkat empat Adipawana!!” seru ratu cantik yang sangat berwibawa dengan segala keputusannya. Tingkat empat? Sedahsyat apa serangan Adipawana ini hingga langsung melompat ke tingkat empat. Ini pasti berat baginya untuk mengambil langkah ini. Tapi aku melihat cengir nakal di sudut bibirnya. Ia sempat melirikku seolah berkata, ‘Saksikan kekuatan kerajaanku!’
Ratu Kanaka memutar tongkat permata opal pelangi itu seperti sebuah persneling gigi mobil ke posisi tertentu yang lumayan rumit. Ini tingkat empat yang dilompatinya. Semua yang hadir di tempat ini segera menyingkir dan mencari pegangan untuk keselamatan. Berarti ini akan jadi sangat gila! Aku meniru mempererat peganganku pada teralis jendela beserta sobat Ribak Sude-ku dan Astha yang panik.
Dua raksasa Batara Kala itu mengulangi melempar batu sebesar bukit itu lagi dan kali ini targetnya bukan lagi pondasi. Kedua batu melambung tinggi, tinggi sekali. Gawat! Tornado itu mempunyai mata. Mata tornado itu adalah bagian tengah yang tenang aman tanpa angin sama sekali, yang merupakan bagian tengah istana ini sendiri. Dua raksasa Batara Kala itu benar-benar tepat melakukan serangannya. Bila dua batu segede bukit itu jatuh ke bangunan istana ini, seberapa parah kerusakannya.
“Bersiap~~!!”
Dua batu berbenturan di angkasa. Terdengar dari suara derak berderaknya. Tepat di atas istana melewati tornado yang sangat besar ini.
“Bergerak!!”
Lima menara transparan berbentuk pedang yang dari berputar cepat menghadap ke atas kini berganti sudut. Dari vertikal awalnya, kini horizontal!! Pedang berukuran besar itu kini semakin cepat dan menimbulkan daya angkat yang magis. Terasa berderak-derak seperti ada yang patah dan rusak. Ratu Kanaka tak memperdulikan itu semua. Ato malah itu yang sengaja dilakukannya.
BANGSAAATT!!
Istana sebesar ini kini terbang melayang bak sebuah helikopter berkat putaran baling-baling lima pedang transparan itu. Dua buah batu sebesar bukit itu jatuh tepat di atas bekas tadi duduknya kerajaan Istana Pelangi, menghancurkan dinding darurat sekeliling istana. Istana Pelangi kini terbang dengan bebasnya. Pukisekkk!! Keren kali istana peri Kencana ini. Mereka benar-benar peri elemen angin yang perkasa! Suara berderak tadi adalah lepasnya semua pondasi istana kerajaan yang melekat di dasar bukit itu. Apalagi tadi memang sudah rusak akibat serangan batu pertama.
“Banakencana!!” Apa itu! Panah emas!
Beberapa buah panah emas berukuran lumayan besar sekitar 2 meteran, memang benar-benar ditembakkan dari bagian bawah istana. Sepertinya itu fungsi asli gorong-gorong air drainase di bawah tadi, tempat penyimpanan bilah-bilah Banakencana ini. Lawan boleh punya raksasa, tetapi mereka tak gentar melawannya dan punya counter yang tepat bagi mereka.
Kedandapan (kewalahan) kedua raksasa Batara Kala itu menerima serangan Banakencana itu bertubi-tubi bak ditembakkan dari aircraft modern dengan artileri sebesar harpun. Padahal hanya memanfaatkan daya lontar hentakan angin yang bergerak sangat cepat ini. Para peri Kencana ini benar-benar memikirkan dengan serius pertahanan mereka. Istana terbang ini meliuk-liuk dengan lincahnya. Mengangkasa terus menerus menembakkan Banakencana-nya. Usahanya berhasil dan leher serta dada satu Batara Kala tertancap panah emas itu.
“Huek…”
“Aa… Kau, Jek… Pakek muntah pulak kau-pun?”
“Pening palaku, Yoon dipusing-pusingkannya kek gini… Hueekk… Kau iyalah… segala macam kendaraan sampe helikopter-pun bisa…”
“Wooy… Sabar, wooy…” kataku yang juga kewalahan berpegangan pada teralis jendela ini. Bisa-bisanya ratu Kanaka itu duduk dengan anteng di tahta tanpa sandaran dengan manuver berkelit-kelit begini. Curigaku ada seat belt yang sedang dipakeknya di tahta itu. Sementara para prajurit peri Kencana yang tak kuat berpegangan, juga terombang-ambing, terbanting-banting, tunggang langgang. Ini kondisi perang, sis. Semongko!
“Shi shi shi shi shi shiii~~… Rasakan itu!” senang ratu Kanaka berhasil menjatuhkan Batara Kala kedua dengan tembakan Banakencana-nya. Ia bermaksud melakukan putaran selanjutnya untuk segera membersihkan sisa pasukan musuh yang mungkin masih tersisa. Apalagi ia sudah mengeluarkan pamungkas kerajaannya. Sekalian aja dituntaskan. Keknya stok panah emas itu ada banyak sekali di arsenal-nya di gorong-gorong bawah sana.
“GRAAONNKK!!”
Tiba-tiba ada hentakan yang mendadak terjadi. Getaran putaran pedang transparan itu sekarang seperti terganggu saat ini. Dan mimpi buruk itu benar-benar nyata adanya. Dari ketinggian ini, aku bisa melihat sosok raksasa lainnya berdiri dengan pongahnya. Ternyata itu raja raksasa Batara Kala-nya. Ukurannya hampir sama dengan dua raksasa pelempar bukit tadi tapi sosoknya sama sekali berbeda.
Dia Lord Purgatory sendiri.
Dengan santai ia mengutip patahan pedang transparan itu dari mulutnya. Ia menggigit putus salah satu bilah baling-baling pedang transparan itu! SADIS! Ia mengacungkan tangan kanannya ke hadapan. Aku bisa melihat cincin Green Lantern itu ikut membesar raksasa seperti sosoknya.
“AWASS!!” teriakku panik! Tembakan sebesar itu pasti akan fatal pada istana terbang ini.
“BOOMM!!”
Ratu Kanaka membanting tongkatnya ke samping kanan berusaha menghindar. Tapi tak ayal terasa getaran yang sangat kuat menghentak-mengguncang di istana terbang ini. Asap mengepul tebal dari sisi kiri bangunan istana yang hancur menganga. Langit terang terlihat jelas dengan kumpulan awan tebal di kejauhan. Tembakan Lord Purgatory menghancurkan sisi kiri istana hingga separah itu. Untungnya tidak mengenai baling-baling lainnya hingga kami masih tetap bisa airborne. Untuk sementara ini.
“BREENGGSEEEKKKK!!!” maki ratu Kanaka. Semanis dan cantik dia ternyata juga bisa bermulut kotor. Tapi itu karena marahnya dirinya. Pasti ada banyak korban jiwa yang jatuh karena serangan barusan. Tapi ia lekas eling dan ingat tak boleh gegabah. “Mundurrr!!” ia mengarahkan istana terbang ini menjauh dari medan pertempuran. Meninggalkan musuh yang berusaha mengejar tapi tak mampu.
“Baginda… Kenapa kita tetap disini? Ini bukan perang kita…” bisik Astha yang tetap setia menyertaiku.
“Tidak bisa Astha… Aku tak bisa… Ini bagian dari tanggung jawabku… Bukan karena aku raja kerajaan Mahkota Merah… Kau liat tadi si Lord Purgatory itu… Dia tanggung jawabku…” balasku. Ia menatapku tak mengerti.
“KANAKAAA SUNDAAALLL!! Aku belum selesai denganmu!!” masalah belum sepenuhnya berakhir. Peri Udahani itu ternyata masih berkeliaran bebas di istana terbang ini. Para prajurit yang kepayahan di sekitar kami dengan dedikasi tinggi bangkit lagi dan menghadang musuh yang hendak mencelakai pemimpin mereka yang masih sibuk mengendalikan istana terbang ini.
Lorong di belakang tahta penuh dengan tentakel menggurita dirinya yang melekatkan diri pada dinding istana yang terus bergetar tak menentu. Tapi ia tetap ngotot ingin membalaskan dendamnya pada ratu Kanaka yang masih repot. Dengan mudah ia mengenyahkan para prajurit yang menghadangnya dengan sabetan banyak tentakelnya. Berhamburan tubuh peri Kencana bersenjata itu. Tembakan-tembakan panah juga ditepiskannya dengan gampang.
“Si pelacur Udaka itu…” geram ratu Kanaka.
Ratu Kanaka terpecah perhatiannya bingung harus bagaimana. Aku merasakan tepukan di bahuku. Dua kali. Dua sobat Ribak Sude-ku tak lagi berpegangan pada teralis jendela. Iyon mengeluarkan dua buah cambuk rantai sekaligus. Cambuk yang sudah diberinya penanda perintah. Sementara Kojek melesat dengan sayap malaikat jurus Angka Silgang-nya. Dengan mudah ia menubruk peri duyung gurita itu hingga terjungkang jatuh mencium lantai. Licin lendir tubuhnya mengurangi benturan yang terjadi hingga memanfaatkan banyak tentakel miliknya untuk menyerang balik. Dan untuk itu Iyon perlu menggunakan dua cambuk rantai sekaligus. Cambuk rantai biasa digunakannya untuk menangkap ato menahan sesuatu. Tentakel-tentakel itu dibaginya menjadi dua bagian. Dibelit dan diikat dengan erat menjadi dua bagian yang terpisah hingga peri Udahani yang bodi bawahnya mirip gurita dengan banyak tentakel itu kini seperti punya sepasang kaki saja, layaknya mahluk bipedal.
Tubuh yang sudah diringkus kedua sobatku itu langsung diseret terbang oleh Kojek balik lagi ke lorong panjang asal kemunculannya. Iyon berlari mengejar bermaksud menyusul karena peri Udahani itu membawa dua cambuk rantai miliknya yang membelit tentakel.
“Bagus kalian mau menahan si pelacur itu dulu… Istana Pelangi kini dalam keadaan gawat… Aku harus membawanya sejauh mungkin untuk melakukan pendaratan darurat…” kata ratu Kanaka terarah padaku walo tak sekilaspun melirik. Hanya tetap fokus menatap arah terbang terseok-seok istana terbang ini.
“Ada yang bisa kubantu?” tawarku sebaik mungkin ada yang bisa kulakukan untuk mempermudah tugasnya. Tapi aku gak tau apa-apa soal terbang. Ini mungkin pertanyaan bodoh. Aku hanya beban saat ini baginya. Dua sobat Ribak Sude-ku mungkin lebih jelas fungsinya dalam menyingkirkan musuh yang mengganggunya mempiloti istana terbang ini.
“Pastikan teman-temanmu mengisi kantung bibit pelacur itu agar ia sedikit lebih tenang…” ia melirikku sekilas dengan senyum anehnya itu lagi dan kembali pada tugasnya menjadi pilot. Apa maksudnya? “Salahku sih… dahulu sekali aku mencuri kantung gerabah berisi bibit-bibitnya itu untuk membuahi telur yang menjadi bakal pertambahan jumlah warga kerajaanku… Tadi aku memakai bibit terakhirnya untuk membuahi telur terakhirku… Pasti ia sangat murka sekali mendapati kantung gerabah itu kosong melompong…” jelasnya tanpa kutanya sama sekali. Ia berusaha tenang walo keadaan sekacau ini. Guncangan hebat masih terus terjadi karena putaran tak seimbang hilangnya satu bilah pedang transparan yang bertindak sebagai baling-baling.
Susah payah satu prajurit yang tak memiliki senjata itu merangkak mendekat. Sepertinya ia hendak melapor. “Lapor ratu…”
“Kerusakan parah di sebelah kiri istana memanjang hingga belakang istana… Semua sayap kiri istana musnah, ratu Kanaka…” lapor prajurit yang walo dalam keadaan terluka itu tetap berusaha melaporkan keadaan. Mendengar itu, muka ratu Kanaka mengetat gusar bukan main.
“Tempat penyimpanan telur?!!” sergahnya menoleh cepat lalu berbalik lagi ke depan.
“Hancur paduka ratu… Semua telur di dalam tempat penyimpanan hancur bersama tempat penyimpanannya… Beserta warga yang juga mengungsi di sayap kiri istana…” lapornya yang tiba-tiba membuatku terenyuh. Besar sekali korban jiwa dan infrastruktur yang dialami kerajaan Istana Pelangi di perang ini. Semua warga kerajaan yang mengungsi di dalam istana dan kebetulan ditempatkan di sayap kiri istana ikut menjadi korban tembakan dahsyat Lord Purgatory yang bertindak sebagai raja Batara Kala tadi.
“BANGSAAATTT!!!” makin murka ratu Kanaka. Ia meremas batu permata opal pelangi itu seolah akan meremukkannya saja. Ia hampir menangis. Ini benar-benar tragedi. Tubuhnya bergetar hebat tapi lebih hebat lagi ketegaran hatinya untuk tetap mengendalikan istana terbang ini—untuk mengurangi korban jiwa dari jatuh lebih banyak. Bisa dipastikan kalo ia kurang jauh membawa istana ini terbang, musuh akan menemukan mereka. Ato masalah lain kalo istana terbang ini jatuh sebelum mendarat, kerusakan parah ada di warganya juga.
“Aku turut berduka, ratu Kanaka… Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sedihmu… Tapi bersama-sama kita bisa membalas perbuatan Lord Purgatory itu…”
“Jangan ambil kesempatan dalam dukaku, wahai raja Mahkota Merah… Aku masih sanggup meratakan mereka semua tanpa bantuanmu…” ia berusaha menenangkan dirinya walo air mata sudah menetes deras di pipinya. Ia tetap tegar dan terus konsentrasi mengendalikan istana terbang sebesar dan seberat ini.
“Maaf…” aku langsung berlalu darinya dan menyusul arah kepergian Iyon dan Kojek dengan peri Udahani yang mereka ringkus tadi. Astha juga ikut mendampingiku. Agak sulit bergerak di tempat yang terbang bergetar-getar hebat ini. Kehancuran demi kehancuran terus terjadi di sisi kiri kerajaan yang mengalami kerusakan parah. Aku memang berusaha memanfaatkan rasa dukanya demi efek sentimental. Tapi aku gagal karena keteguhan hati ato malah keras kepalanya masih lebih kental dibalut emosi.
Lorong sempit ini agak licin karena lendir yang berasal dari tubuh peri samudra berkulit biru mirip gurita dengan banyak tentakel itu. Apakah mereka lanjut bertarung mengeroyok pimpinan peri Udahani itu ato menurut pada prediksi ratu Kanaka untuk mengisi kantung gerabah bibit pembuahannya agar berisi kembali. Itu mereka… Sepertinya pertarungan yang terjadi beda dari yang kubayangkan. Pertarungan…
“Coy-coy! Gila klen berdua, yaa? Lagi gawat kek gini bisa-bisanya klen entoti peri desperate butuh dibuahi kek dia… Ck ck ck… Memang-la klen ini…” aku berhenti tepat pada waktunya sebelum Astha dapat melihat tiga tubuh yang saling gumul itu. Aku menghadang agar ketua kelompok pemburu-ku ini tak melihat pemandangan tak senonoh Iyon, Kojek dan peri bernama Udaka itu saling memacu nafsu di lorong sempit ini. Lorong sempit ini mempunyai banyak persimpangan yang menuju ke tempat-tempat lain. Kalo ke kiri menuju sayap kiri istana yang hancur lebur.
Aku membelokkan Astha ke kanan. Dengan berpegangan di dinding lorong sempit agar bisa berjalan dengan leluasa menelusuri istana yang terus saja bergetar hebat. Ini kesempatan emas untuk berkeliaran di dalam istana kerajaan ini tanpa ditodong senjata prajurit yang tentunya terasa menyebalkan. Astha sepertinya masih penasaran akan apa yang sedang dilakukan dua sobatku itu terhadap peri Udahani itu.
“Astha? Ada apa? Kau tak perlu mengotori mata dan pikiranmu dengan melihat apa yang sedang mereka lakukan di sana… Apalagi kau sudah pernah merasakannya sendiri, kan?” kuhentikan ia di tengah jalan saat ia menoleh ke belakang terus berulang-ulang. Kupepet tubuhnya dan kudesak ke dinding. Kukecup pipinya sekali karena kami hanya berdua saja di lorong sempit yang bergetar ini.
“Mereka melakukan… itu?” tatapnya tepat di mataku. “Benarkah, baginda?” Aku hanya perlu menjawabnya dengan anggukan. Ia malah tersenyum malu mengingat apa yang sudah pernah kuperbuat pada tubuh indahnya yang menghasilkan banyak sekali telur yang kubuahi.
“Apa kabar telur-telurmu? Kenapa kau tak menjaganya seperti Eka dan lain-lain?… Heh?” desakku mengecup ringan pipinya lagi.
“Mm… Baginda raja yang paling utama di kerajaan… Tak ada yang yang paling berharga melainkan baginda raja… Bahkan telur-telur keturunan hambapun bisa hamba tinggalkan untuk kehormatan menyertai baginda ini… memastikan baginda raja aman dan selamat… Itu yang hamba rasakan, baginda… Tentu saja bila baginda tidak berkenan… hamba bisa…”
“Tidak… Makasih dulu atas perhatianmu… Setiap langkahku selalu dalam bahaya kalo kau tau, Astha… Sebaliknya… aku sebagai raja… aku malah menganggap kalianlah yang paling berharga… Tak ada detik hidupku tanpa memikirkan bagaimana caranya agar kalian tetap sejahtera tanpa kekurangan apapun… Kalian selalu aman… dan selamat… Itu tugas utamaku… Jangan lupa itu… Ingat, yaa… Kalian yang paling berharga…” kataku rapat sekali dengan wajahnya. Sekilas aku mencium aroma birahinya lagi yang berupa wangi mawar itu.
“Bagindaa…”
“Astha… Sebaiknya jangan… Kita dalam misi yang sangat penting saat ini…” cegahku agar ia tak birahi dulu. Peri Aruna satu ini keknya sangean gitu. Diromantisin dikit aja langsung becek pengen dicoblos. “… Yaitu menemukan peri Wanadri… Hanya di kerajaan Istana Pelangi ini yang ada peri jenis itu… Aww… Aduhh!” Kami berdua terkaget, guncangan hebat terjadi lagi lebih kuat hingga pijakan terasa miring. Kami terjajar mundur balik lagi ke lorong awal tadi.
“Bagindaa…” Astha tercekat dan menutup mulutnya. Kami terduduk setelah jatuh dan menyaksikan bagaimana Kojek sedang menggasak vagina tembem peri Udahani yang pasrah-pasrah aja dicekoki kontol panjang hitam berurat kasar sobatku ini. Tentakelnya yang diikat menjadi dua bagian oleh cambuk rantai Iyon bertindak sebagai pengganti kaki. Iyon sendiri sendiri sedang merem melek menikmati kemaluannya disedot-sedot rakus peri binal bertubuh biru itu. Ia seperti sedang mengentoti mulut Udaka dengan gencarnya. Mulut peri itu penuh dengan kemaluan tegang Menggala bersenjata cambuk itu.
Dari lendir lengket di sekitar vagina peri samudra dalam itu, setidaknya sudah ada dari keduanya yang sudah ngecrot sekali sejak mulai. Tangan Kojek yang bebas meremas-remas payudara yang ukurannya super jumbo itu. Kojek gemas sekali mendapat susu sebesar itu dan meremasnya dengan kasar berulang-ulang. Pelacur, seperti yang disebut ratu Kanaka itu tak keberatan sama sekali teteknya dikasarin seperti itu. Sebaliknya ia meraung-raung merintih keenakan mendapat berbagai serangan nikmat sekaligus. Tubuhnya menggelinjang bahagia ada dua pejantan sekaligus sedang membuahi dirinya. Entah ada berapa jumlah telur yang sedang menumpuk di dalam dirinya.
“Ahh… Balik lagi kau, Seng… Enak kali maen sama peri kek gini-bah… Gak pernah ngajak-ngajak pun kau…” kata Kojek masih terus menggerakkan pinggulnya maju mundur teratur di kemaluan Udaka. Peri biru itu menyambut tiap genjotan penis di kemaluannya dengan hentakan ke depan hingga batang panjang hitam itu terbenam lebih dalam.
“Kan gak mungkin kukasih warga kerajaanku sama klen berdua yang barbar kek gini… Abislah peri-peri cantikku nantik…” alasan ngeles. Mereka hamba-hambaku, tapi aku merasa aku harus melindungi mereka semua. Melindungi dalam artian juga melindungi mereka dari colekan pria-pria mesum seperti dua sobatku ini. Mungkin egois… tapi itulah aku.
“Iyalah… Kau makanlah semua itu sendiri… Tapi jangan sampek kau minta jatah juga sama yang ini, yaaa? Tau dirinya kami…” sindirnya terus. Mereka berdua tentu paham sekali tabiatku ini. Iyon cuma huh-hah-huh aja menikmati penisnya terus disepong peri berkulit biru itu.
“Ya udah jangan lama-lama… Tempat ini gak aman… Bentar-bentar lagi jatuh istana ini mendarat darurat…” peringatku sembari membantu Astha untuk berdiri, yang melotot-melotot melihat satu peri dihajar dua pria sekaligus. “Udah-udah… Gak usah diliatin terus… Nanti kau jadi pengeeen~~…” bisikku padanya, mendorongnya memasuki lorong yang sudah sempat kami masuki kembali. Getaran-getaran kerusakan istana terbang ini tetap terasa dan rasanya makin parah aja.
Kami tiba di sayap kanan istana ini yang terasa sangat luas seperti pelataran yang memungkinkan banyak peri untuk berkumpul bersama-sama. Beberapa prajurit bertombak yang berjaga disini segera waspada begitu melihat kami berdua. Mereka sepertinya dalam masa bersedih karena saudara ato teman mereka yang kebetulan berada di sayap kiri telah menjadi korban kejamnya perang ini. Aku mengangkat tangan yang diikuti Astha pertanda kami tak akan berbuat yang macam-macam di tempat ini.
“GRROOOOOGGHHHH….”
Getaran hebat mengguncang kembali. Ini lebih kuat dari guncangan sebelumnya. Banyak diantara peri-peri kencana dan peri lainnya terjatuh dan memilih lebih baik tetap duduk berjongkok di lantai saja daripada terkena getaran kuat ini. Aku dan Astha juga ikut duduk di lantai saja tapi para prajurit itu tetap bersiaga dengan tombak mereka. Kami masih dianggap sebagai musuh berbahaya.
Setidaknya aku melihat ada 5-6 peri berambut berwarna hijau diantara banyak beragam warna rambut. Peri berambut pirang yang mayoritas di antara banyak peri ini. Berarti peri Wanadri yang ada di sini plus yang tadi berinteraksi dengan ratu Kanaka tadi adalah sisa-sisa peri berambut hijau yang sangat kubutuhkan. Sepertinya, ia termasuk andalan pemimpin kerajaan ini. Cukup dengan apa yang kuliat di tempat ini, aku mengajak Astha cabut dan kembali ke tempat ratu Istana Pelangi ini berada, masih sibuk mengendalikan istana terbang ini.
“Apa yang terjadi, ratu Kanaka? Istana ini tak bisa bertahan lagi??” tanyaku. Ia masih sibuk dengan tugas pentingnya hingga mengenyampingkan kalo aku juga pihak yang bisa berbahaya. Walo belum ada bahaya yang kutimbulkan sedikitpun.
“Musuh tak mau melepaskan kami sedikitpun… Mereka terus mengejar… dan istana ini tak dapat bertahan lebih lama lagi…” tak diliriknya diriku sedikitpun. Terus fokus mengendalikan tongkat batu opal pelanginya. Di depan sana terlihat beberapa ekor burung berwarna hitam. Dari bentuknya sepertinya gagak dan ukurannya besar-besar. Gak tau itu memang gagak raksasa ato Lord Purgatory menemukan cara meraksasakan burung-burung itu. Serangan dari burung-burung laknat itu ternyata yang dari terus terasa. Paruh runcing besar, cakar dan kepakan sayapnya perlahan-lahan makin memperparah kerusakan istana terbang yang sudah compang-camping ini.
Tanpa banyak tanya, karena aku juga penumpang di istana terbang malang ini. Sedikit kontribusi dariku tentunya tak masalah, aku keluar dan berdiri di pelataran depan istana. Beberapa prajurit berjaga dan melakukan serangan balasan yang sepertinya tak banyak artinya dengan senjata mereka. Kebakaran yang terjadi di atas dinding istana memberiku ide untuk melakukan Adi pawaka. Kutarik nafas panjang, menghirup udara panas beserta api yang segera masuk ke dalam perutku, meninggalkan sisa bekas gosong terbakar tanpa titik api sedikitpun. Para prajurit itu melotot melihat apa yang kulakukan.
Baling-baling adipawana tingkat keempat istana terbang ini anginnya berhembus ke bawah, menimbulkan daya angkat untuk menerbangkan istana ini sehingga api yang nanti kusemburkan pada burung-burung gagak itu tak akan terganggu kencangnya perputaran angin.
“ADI PAWAKAA!!” serangan semburan apiku menyembur kencang bak flamethrower yang menjadi andalan pasukan sekutu pada Perang Dunia kedua melawan pasukan Nippon. Membakar bunker dan lorong parit musuh, membakar prajurit-prajurit yang bersembunyi di dalamnya untuk kemudian ditembaki saat panik keluar dari persembunyian. Begitu juga saat ini, walo jauh jarak terbang burung gagak itu, semburan api dengan imbuhan kata Adi ini dapat mencapai sasaran. Bulu-bulu hitam burung raksasa itu terbakar hingga mereka memilih menyingkir untuk menyelamatkan diri. Aku berhasil membakar dan menyingkirkan keempat burung gagak raksasa itu.
Tetapi masalah hanya bertambah parah saja…
Karena aku melihat Lord Purgatory dalam bentuk raja raksasa Batara Kala-nya melompat melambung dengan mulut menganga terbuka. Dengan cara yang sama ia sudah menggigit putus satu bilah pedang transparan itu. Berapa ketinggian yang sudah dicapai istana terbang ini? Kenapa raksasa menyebalkan itu bisa melompat sampe setinggi ini? Apakah ia terbang?!
“HARRPPP!!”
Guncangan hebat kembali terjadi. Ratu Kanaka sudah berhasil menstabilkan istana terbang saat kehilangan satu bilah baling-balingnya dengan susah payah dan konsentrasi tinggi. Rasanya akan mustahil kalo kehilangan satu bilah lagi. Mulut besar bergigi seperti manusia, hanya saja dalam ukuran raksasa menggigit bilah pedang itu seperti permen lolipop saja. Cressh…
Setelah menggigit satu bilah pedang transparan itu putus, Lord Purgatory pukimak itu tak meneruskan serangannya. Bahkan jejaknya tak terlihat lagi. Padahal tadi aku yakin ia terbang bukan melompat yang sangat tinggi sekali. Istana terbang ini kehilangan namanya, ini sekarang bernama istana jatuh.
“Waaaaa!!!”
Suara ratusan vokal feminim terdengar nyaring dari segala penjuru istana jatuh ini. Putaran Adipawana dari tiga bilah pedang transparan itu sudah tak berguna lagi untuk menerbangkan istana yang tadinya sangat luar biasa ini. Kini kupak-kapik oleh kerusakan parah dan pastinya akan hancur berkeping-keping begitu menghantam bumi dengan kecepatan ini.
“Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Mau tak mau aku harus melakukan ini! Aku tak perlu meminta persetujuan ratu Kanaka ato siapapun. Semua yang ada di atas istana jatuh ini…
“Jeeek! Toloooongin, Jeeek!!” Istana jatuh ini sudah semakin deras akan menghujam bumi untuk hancur berkeping-keping.
Tepat pada waktunya, Kojek mendarat di daratan terlebih dahulu mengubah dirinya menjadi sangat besar dengan teknik Nabalga-nya. Sangat besar, mungkin lebih besar dari raja Batara Kala tadi, hingga bisa menangkap istana jatuh ini dengan kedua tangannya dengan selamat, dengan segala kekurangan dan kehancurannya. Debu berterbangan tebal penuh tekanan saat itu terjadi. Ia clingak-clinguk memperhatikan sekitarnya untuk beberapa lama lalu meletakkan dengan hati-hati apa yang tersisa dari istana ini ke tanah berpasir.
“Mauliate do, Jek…” teriakku melambaikan tangan menarik perhatiannya saat bentuk Nabalga-nya mengacungkan jempolnya padaku.
Berderak-derak suara patah dan hancurnya puing-puing istana kerajaan Istana Pelangi ini di pelataran luas yang seperti tak bertepi ini. Beberapa prajurit bertombak peri Kencana berusaha bangkit dan menatap keluar. Peri Wanadri kepercayaan ratu Kanaka itu juga ada di antara para prajurit itu. Aku menunggu mereka semua untuk berkumpul di bagian depan halaman istana yang hancur berantakan ini. Hanya ada tiga buah pedang transparan transformasi menara pencetus Adipawana tingkat empat yang mampu menerbangkan istana sebesar ini. Itupun juga dalam keadaan yang menggenaskan juga.
Ratu Kanaka disertai beberapa prajurit penjaganya serta warga kerajaan ini muncul keluar dari dalam istana. Para warga itu yang tadi ada di sayap kanan istana. Yang pertama mereka rasakan adalah hembusan angin lembut yang beraroma asin dari air laut yang membentang luas dihadapan. Lalu hangat matahari aneh berwarna hitam di atas sana. Hitam tetapi memancarkan rasa hangat sinar matahari.
Tentu ada banyak pertanyaan di dalam kepala tiap individu itu. Ada dimana ini? Dimana kita? Tempat apa ini? Dimana musuh? Sudah amankah kita?
“Selamat datang di kerajaan Mahkota Merah… para penghuni kerajaan Istana Pelangi… Maaf kelancanganku, ratu Kanaka… Demi menyelamatkan kita semua… aku terpaksa membawa kerajaan Istana Pelangi kemari… Musuh tak akan bisa masuk kemari tanpa seizinku…” kataku membentangkan tangan memperkenalkan tempat yang permai ini beserta alasanku melakukan ini semua.
“Gunung berapi untuk peri berelemen api… Laut seluas ini untuk peri berelemen air… Cahaya yang tak pernah hilang untuk peri berelemen cahaya… Gua lembab di bawah tanah untuk peri berelemen kegelapan… Dan… angin yang berhembus lembut ini untuk kalian para peri berelemen angin… Bukankah ini tempat yang bagus untuk ditinggali?” promosiku kek sales properti membeberkan semua aspek positif tempat ini bagi pembeli potensial.
“Tempat ini bukanlah dimensi yang sebelumnya…?” sadar ratu Kanaka setelah mengamati lebih seksama.
“Karena itulah ini tempat yang aman, ratu Kanaka… Sebagai seorang Menggala… aku punya daerah kekuasaan di dimensi tersendiri… Beda dari dimensi manapun… Yang bisa masuk dan keluar dari sini haruslah sepengetahuan diriku… Karena itu tadi… ini daerah kekuasaanku… Aturannya aku yang tentukan… Musuh kita bersama tak akan bisa sembarangan masuk kemari…” jelasku panjang lebar.
Ratu Kanaka membelalak. Aku menunjuk ke satu arah. Diantara hutan dan lautan…
“Itu adalah istana Mahkota Merah yang baru… Kalau kalian berkenan, silahkan berkunjung kesana…” tunjukku pada bangunan batu dengan satu menara tinggi yang keseluruhan dindingnya berwarna merah menyala terkena paparan sinar terang. Juga pada barisan yang berlari-lari serentak bergerak mengepung istana ringsek ini dari beberapa jenis peri yang bersenjata lengkap. Jumlahnya ada ribuan personil. Sungguh tak sebanding jika dipertentangkan dengan pasukan kerajaan Istana Pelangi yang tersisa. Peri berambut merah dipimpin Dwi dan Tri, peri berambut biru dipimpin langsung oleh ratu Lawana dan si pengendali air, peri berambut putih juga dipimpin ratu Nirada dan pengawal setianya.
Aku mengangkat tangan tanda mereka untuk at ease, istirahat di tempat. Semua senjata dipegang dalam posisi disamping tubuh. Posisi berbaris rapi tanda non agresif, non kombatan. “Maafkan pasukan Mahkota Merah-ku, ratu Kanaka… Mereka hanya sedang menyambut tamu…” kataku agar para warga kerajaan Istana Pelangi tidak ketakutan dan merasa ditawan di kerajaanku ini. “Kalau sang ratu berkenan… akan kami sambut dengan tangan terbuka di istana kami… Silahkan…”
Ratu Kanaka hanya diam berdiri di tempatnya. Semua warganya bergerombol di belakangnya, para prajuritnya berbaris rapi di kanan dan kirinya. Pasti banyak yang sedang dipertimbangkannya. Ia pasti sudah tau banyak hal tetapi pengetahuannya tak dapat menembus tempat ini. Ia tak tau kalo perkembangan kerajaanku dengan segini banyak prajuritnya yang sudah mencapai ribuan personil. Terdiri dari tiga matra jenis peri yang berbeda; Aruna, Asti dan Dawala. Opal pelangi yang menjadi andalannya seperti bola kristal sihir itu tak dapat memberinya informasi tempat ini hingga ia menyamarkan kebingungan dan kebimbangannya dengan diam. Biarkan ia berfikir sebentar.
“Bagaimana… ratu Kanaka?” desakku sehalus mungkin karena sudah diam sekian lama. Debur ombak dan desau angin yang hanya terdengar sedari tadi. “Istana Mahkota Merah hanya sejarak berjalan kaki dari sini…”
“Baiklah… Tapi hanya aku dan tiga pengawal yang ikut menyertaiku…” katanya seperti mengambil keputusan sulit. Setidaknya bila terjadi apa-apa pada dirinya, warganya yang lain masih punya kesempatan untuk membela diri juga melarikan diri. Padahal mau lari kemana mereka di tempat ini? Tapi aku harus menyetujuinya karena sebenarnya aku tak berencana melakukan sesuatu yang jahat pada mereka. Yang kulakukan ini tulus. Aku kan orang baik-baik…
Aku menawarkan tanganku agar ratu Kanaka bisa turun dengan mudah dari atas ketinggian istana yang rusak parah itu. Ketiga pengawalnya yang terdiri dari dua peri Kencana dan satu peri Wanadri itu yang memilihkan jalan yang sebenarnya bebatuan rusak pembentuk pondasi bangunan istana. Ratu Kanaka sebenarnya bisa saja melakukannya dengan mudah, tetapi status ratunya melarangnya melakukan gerakan yang memalukan, harus tetap anggun dan elegan. Setelah bersusah payah, akhirnya ia menjejakkan kaki juga di tanah berpasir kerajaanku; kerajaan Mahkota Merah.
Ribuan pasukanku memberi jalan dengan membelah barisan menjadi dua bagian. Keren sekali dan sangat membanggakan melihat kesigapan pasukan gabungan tiga matra peri berelemen ini dengan segala jenis senjata andalan mereka. Ratu Kanaka berusaha tegar dan berjalan dengan elegan membelah pasukanku yang jumlahnya jauh lebih banyak berkali-kali lipat bahkan dari gabungan prajurit dan warga dijadikan satu. Tapi masih ada kebanggaan yang harus dijunjung tinggi dirinya sebagai ratu pemimpin tertinggi kerajaan Istana Pelangi yang sudah berantakan begini.
“Semua peri-peri sekarang bertempat tinggal di dalam istana yang besar itu, ratu Kanaka… Kelompok pembangun kami terus sibuk menambah bangunan baru untuk penambahan peri-peri yang baru saja menetas…” jelasku menjelaskan secara umum menunjuk bagian belakang istana yang merupakan jejeran puluhan ruangan kamar yang terdiri dari dua tingkat. Pandangan mata ratu Kanaka terpaku pada kilauan cahaya terang di puncak menara.
“Nah… cahaya terang di puncak menara itu adalah telur-telur yang baru saja dihasilkan ratu Nirada… Mereka berputar-putar perlahan mengelilingi puncak menara… Mereka gelombang kedua telur peri Dawala yang akan menetas di kerajaan ini… Jumlahnya ada… 438 butir kalau saya tidak salah ingat…” aku melirik pada ratu Nirada yang mengekor di belakang kami. Ia mengangguk membenarkan. “Benar… 438 butir telur peri Dawala…” Aku kemudian menunjuk pada pusaran air di tengah laut yang kelihatan jelas dari tempat kami berjalan ini. “Di pusaran air itu ada 541 telur milik ratu Lawana… Juga sama-sama gelombang kedua telur peri Asti yang akan menetas di kerajaan ini…” pamerku akan jumlah warga kerajaanku.
“Di kaki gunung berapi di belakang sana juga ada 113 telur peri Aruna… Tidak kelihatan dari sini karena terlalu jauh…” tunjukku ke belakang pada menjulangnya gunung berapi yang semakin tinggi saja tiap waktunya. Terdiri dari 107 telur milik Astha dan 6 butir telur milik Eka. Aku tak melihat peri nomor satu Aruna itu dari tadi. Ia masih setia menjaga telur-telurnya yang sekarang berada di dasar kawah gunung.
Dari tadi, aku tak melihat ekspresi apapun di wajah ratu Kanaka saat aku membangga-banggakan jumlah warga dan telur peri yang ada di kerajaan ini. Entah ia membungkam ekspresinya ato ia memang tak perduli. Tapi tadi, saat tau kalo telur-telur miliknya yang tersimpan di sayap kiri istana terbangnya hancur, ia sangat sedih dan bahkan menangis. Gak tau juga tapinya apa yang sedang ada di dalam benak peri cantik montok satu ini. Tapi enggak manusia enggak peri, bentuk perempuan ini sangat pandai menyembunyikan masalah.
“Disini ada hutan juga?” tolehnya ke arah belakang istana akan rimbunnya hutan yang semakin luas di sana. Hutan yang sangat kubanggakan sebagai seorang Menggala. Peri Wanadri itu juga dari tadi sudah memperhatikan hutanku. Aku bisa melihat ketertarikannya atas belantara mini di tanah yang seperti gersang ini.
“Benar… hutan ini setiap saatnya bertambah luas saja dari waktu ke waktu… Hanya saja kami belum menemukan pengurus yang tepat untuk keaneka ragaman hayati hutan yang permai ini… Masih mencari dan terus mencari…” kataku sambil terus melirik ke peri Wanadri cantik itu, menyindirnya. Berharap ia paham kode yang kukirimkan khusus untuknya.
“Sebaiknya raja Mahkota Merah harus mencari di tempat lain saja… Barang berharga tidak untuk dipertukarkan dengan cuma-cuma…” kata ratu Kanaka yang paham aku hendak membajak bawahan andalannya ini, paham akan kode keras yang kudendangkan. Ia terus melangkah dengan anggunnya ke arah istana dengan tetap memegangi tongkat berpermata opal pelangi itu. Ketauan, ya?
Kami sampe juga di depan pintu masuk istana merahku. Ia berhenti sejenak dan memindai dari ujung ke ujung akan seluruh detil hasil kerja keras kelompok pembangunku yang terus bekerja tanpa lelah menghasilkan ini semua. Sadar kalo istana kerajaan Mahkota lebih mewah, lebih megah dan lebih besar dari miliknya yang sudah hancur berantakan, mau tak mau ia harus mengutarakannya. “Sungguh istana milik baginda raja Mahkota Merah sangat memukau mata…” hanya itu saja.
Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya. Tapi aku tak berharap lebih.
——————————————————————–
“Berapa ronde sama ikan tongkol itu klen?” tanyaku pada kedua sobat Ribak Sude-ku.
“Ah… Berapa, ya? Gak ingat…” jawab Iyon yang bersama-sama kami mengaso di rumah pohon pesanggrahanku, pohon beringin.
“Iyaa… Ntah berapa kali mancut ke tempeknya… Dia itungannya peri apa duyung-nya?” tanya Kojek yang mengelus-elus kontolnya yang puas abis-abisan menggarap peri Udahani tadi bareng Iyon. Padahal itungannya peri itu musuh bagi pihak kami.
“Kalo ratu Kanaka tadi bilangnya peri duyung… Mungkin memang duyung-lah dia…” jawabku teringat perkataan pemimpin peri Kencana yang saat ini sedang beristirahat di dalam istana. Para peri Aruna-ku sedang mengurusnya agar diperlakukan senyaman mungkin. “Cuma agak serem aja duyung kakinya tentakel monster kek gitu…”
“Rasaku memang duyung-la dia itu… Ingat kau pilem Little Mermaid itu… Musuhnya si Ariel itu kan duyung yang kakinya cumi-cumi juga…” ingat Iyon.
“Apa? Little Mermaid? Ntah pilem apa-lah yang tonton, Yoon-Yoon?” kataku betul-betul tak tau apa yang dibicarakan. “Ariel peterporn mungkin…”
“Nampak kali kau gak pernah nonton bareng anakmu… Asik kerjaaaaaaaaaaa aja kau… sampek botak palamu…” ejek Iyon.
“Ursula… Duyung gembrot kek gajah bengkak musuhnya si Ariel itu namanya Ursula, Yon…” kata Kojek. Aku cuma bisa bengong mendengar ocehan keduanya mengenai tokoh kartun fantasi itu. “Tapi dia itu sotong, Yon… bukan cumi-cumi…” Lalu keduanya berdebat tentang perbedaan cumi-cumi dan sotong. Padahal seafood yang punya tentakel identik kek gitu adalah spesies gurita.
“Dimanalah kau letak si-Ursula itu sekarang, Yon?” tanyaku. Walo bagaimanapun, peri Udahani bernama Udaka itu anak buahnya si Lord Purgatory. Melepasnya disini bisa membocorkan lokasi kerajaanku. Tunggu…
“Tadinya mau kulepas di laut di sana itu… Tapi karena karena dia bawahannya si Lord Purgatory itu… gak jadilah… Gawat nanti posisi daerah kekuasaanmu ini ada musuh yang menyusup… Dikibusi (bocorkan/mengadu)-nya pulak nanti lokasi kerajaanmu ini ke Maharaja-nya itu…” kata Iyon yang ternyata sudah mengeluarkan peri bertubuh biru itu.
“Ada berapa telurnya yang klen berhasil buahi?” tanyaku asal aja karena sebenarnya aku memikirkan hal lain.
“Mm… Ada 12 ato 13 gitu… Berapa, Jek?” Iyon gak begitu yakin dengan perbuatannya.
“Waktu terakhir kukentot… Katanya 7 butir… Terus waktu giliranmu, Yon… ada 5… Ya pas-nya 12-lah…” kata Kojek berbangga karena pada bagiannya lebih banyak menghasilkan telur yang dibuahi dibanding Iyon pada peri yang haus pejantan yang membuahi telur-telurnya. Peri malang itu tak dapat berharap pada Maharaja-nya yang bahkan bukan mahluk hidup jelas yang seharusnya bisa membantunya melakukan reproduksi. Lord Purgatory sepertinya tak memperdulikan hal itu. Ia bahkan enteng saja membunuh peri-peri itu untuk dijadikan zombie.
“Kalo Cayarini benar-benar balik ke Lord Purgatory… kerajaanku dalam masalah besar… Dia bisa membawa Lord Purgatory masuk kemari…” gumamku sendiri. Kedua sobatku menatapku. “Aku gak bisa memutus hubungan perhambaan kami begitu saja karena aku sudah membuahi begitu banyak telur miliknya… Ternyata untuk itu ia terus menyimpan telur-telurnya di dalam tubuhnya hingga akhir… Untuk menjaga hubungan tuan dan hamba ini tetap ada…” simpulku sendiri. Hubunganku selama ini pada semua peri-peri warga kerajaan Mahkota Merah adalah hubungan raja dan warganya. Tuan dan hambanya. Pemilik dan budaknya. Aku memilih tuan dan hambanya dengan segala batas-batas yang kutetapkan sendiri.
Batas-batas yang kutetapkan antara lain para hamba tidak menyembah tuannya secara berlebihan, cukup menunduk saja untuk penghormatan. Aku hanya menggauli peri-peri yang kuhendaki saja dan itu sebatas untuk tujuan penambahan jumlah warga kerajaan saja. Selebihnya biasa aja, tidak ada yang terlalu berlebihan karena aku sering ngobrol-ngobrol sekenanya dengan peri-peri muda itu saat sedang latihan, ikut menjaga telur-telur yang sedang dalam proses pematangan, ikut latihan perang dan menjadi wasit sesekali. Ini gaya raja yang santai dan kurasa cukup membumi.
“Kau yakin peri rambut hitam itu benar-benar ke Lord Purgatory?” tanya Iyon.
“Ia sempat ke ratu Kanaka tadi dan ditolak mentah-mentah karena dianggap penghianat… Kemana lagi ia harus pergi kecuali balik ke Lord Purgatory?” sergahku.
“Ratu Kanaka tidak bilang peri rambut hitam itu ke Lord Purgatory… Itu cuma asumsimu aja, Seng… Apa kau gak paham apa alasannya melarikan diri dari kerajaanmu yang kau anggap sangat aman ini? Hanya kau yang menganggap tempat ini sangat aman dan kau berhasil meyakinkan warga perimu kalo tempat ini aman… Di satu sisi itu bagus… kau membuat warga kerajaanmu merasa aman damai tak terganggu disini… Tapi kau jangan lupa… kerajaanmu ini berdiri diatas daerah kekuasaan Menggala-mu yang bisa sewaktu-waktu dimasuki musuh sesama Menggala…” papar Iyon membuka isi kepalaku.
“Kau bisa dengan mudah masuk ke daerah kekuasaan Menggala lain karena selalu ada jalan masuk bagi saluran pertarungan langsung antar Menggala, kan?” bukanya lagi. Benar. Aku bisa masuk ke daerah kekuasaan Menggala lain dan bertarung di sana. Tanpa harus ada penghianat, tempat ini akan selalu ada dalam bahaya selama aku tetap berstatus Menggala.
“Jadi apa-lah kira-kira alasan peri rambut hitam itu keluar dari kerajaan si Aseng ini?” tanya Kojek.
“Nomer satu tentunya keselamatan… Bagaimanapun juga dia punya insting orang tua yang mengharapkan yang terbaik bagi keturunannya… Sengaja dia kan nahan-nahan gak ngeluarin telurnya… Dibawa-bawanya terus di dunia luar sana… mencari tempat yang benar-benar aman… yang tak tersentuh dengan perang yang bakalan terjadi ini… Itu insting orang tua…” kata Iyon memaparkan prediksi alasan Cayarini keluar dari kerajaan Mahkota Merah.
“Nomor dua?” seru Kojek penasaran.
“Nomer dua… Gak ada nomer duanya, Jek… Kecap itu ngakunya semua nomer satu… Gak akan ada yang mau jadi nomer dua…” ngeles Iyon cenderung bercanda garing.
“Kimak kau… Jadi tadi ngapain tadi kau pake nomor-nomor satu segala kalo gak ada nomor duanya…” kesal Kojek.
“Udahlah… Jadi gini-gini aja kita, nih?” tanyaku. Kami bertiga di dunia nyata di luar sana ada dalam masalah pelik yang sama. Sama-sama kami melarikan diri begini dan bersantai di pesanggrahan rumah pohonku yang teduh.
“Ngiyup (neduh) dulu-lah kita disini, Seng… Pusing kali kepalaku kalo harus mikirin bus-bus itu… Sama-nya klen berdua kek aku, kan? Pusing juga kepala klen… Apalagi kau, Seng…” kata Iyon yang berusaha merilekskan semua tubuh dan pikirannya yang ruwet.
“Sama, Yoon… Ganti lembu… abis semua dibante semua sama setan-setan panako biang (pencuri anjing) itu… Kau yang banyak tumpur (habis) bandar… kami pulak yang terus ngerepotin kau, Seng…” sama dengan Kojek juga seirama dengan ucapan Iyon tadi.
“Setidaknya kita masih pijet enak kek gini, kan? Enak kan, weeey?” kataku berusaha gak ambil pusing. Santai di teduhan pohon beringin sementara tubuh dimanjakan oleh elusan-elusan tangan lembut trio kelompok penghibur yang memijat tubuh kami bertiga. Pijat tubuh dari tiga peri Aruna ini semakin melenakan di antara obrolan ngalur ngidul kami.
——————————————————————–
“Tapi tadi kau bilang sudah kau keluarkan, Yon?” kataku lumayan kesal.
“Ya udahlah… Kau pikir aku bodoh kali gak bisa menyingkirkan peri kek gitu aja jauh-jauh… Ini yang kubilang tadi kalo kerajaanmu ini gak benar-benar aman dari penyusup…” jawab Iyon juga kesal karena aku menuduhnya salah prosedur dalam mengeluarkan peri Udahani itu dari daerah kekuasaanku. Salah satu peri Asti tergopoh-gopoh melapor kepadaku kalo terlihat ada kegiatan yang mencurigakan jauh di lepas pantai, beberapa kilometer jauhnya dari lokasi para peri Asti menjaga telur-telur gelombang kedua mereka. Kami langsung tau kalo itu adalah peri Udahani yang tadi sempat ia dan Kojek gauli.
“Apa gara-gara apa yang kita janjiin padanya itu, Yon?” tukas Kojek yang duduk paling belakang di perahu peri Asti ini. Satu-satunya kendaraan air yang ada di sekitar sini. Perahu yang dulu menjadi alat melarikan diri ratu Lawana dan beberapa bawahannya dari kejaran zombie di kerajaan Laut Biru. Kami bertiga gak terlalu becus kordinasi mendayung dalam keadaan begini panik. Untung saja ada empat peri Asti muda yang menarik dan mendorong perahu ini agar melaju cepat di atas laut yang mulai mempunyai ombak ini.
“Apa yang klen janjikan sama dia?” sambarku cepat sembari terus berusaha mendayung. Mahluk ghaib kek dia gak bisa dijanjikan angin-angin surga.
“Kami bilang kalo dia kami entot dia harus keluar dari Lord Purgatory…” kata Kojek lugu-lugu pukimak gitu.
“Bah?!” aku cuma bisa melotot mendengar syarat kacangan kek gitu. “Cuma kalian ngentoti aja dia mau keluar?!” aku gak abis pikir.
“Paok, ya?” cengir Kojek. Aku gak bisa melihat muka si Iyon karena ia masih belagak mendayung di depan sana.
“Klen berdua-la yang paok… Kok ngasih janji kek gitu?” gerutuku. Apa jadinya kalo peri Udahani itu bertelur di sini? Di kerajaanku. Apalagi jenisnya kata Astha selalu bentrok wilayah dengan peri Asti. Memang bentuk si Udaka itu jauh dari bentuk imut peri Asti yang sudah mantap berada di kerajaanku. Kalo disuruh milih, aku tentu lebih milih peri Asti-la. Walo peri Udahani juga gak jelek-jelek kali sebenarnya.
“Buktinya dia benar-benar kemari lagi, kan… Dia pasti sedang berusaha nelor di sana…” kata Iyon tetap mendayung perahu ini. Perahu melaju cepat berkat tarikan dan dorongan empat peri Asti, tetapi aku semakin gak sabar untuk mencapai tempat peri Udahani itu berada.
“Kau lagi, Yon-Yon… Ini urusannya bisa gak karu-karuan jadinya… Masalah Cayarini belum selesai… masuk lagi peri yang jelas-jelas anak buah Lord Purgatory…” mendadak pijatan Saptadasa tadi dan tubuh montoknya jadi menguap tak ada gunanya lagi sekarang.
“Kasian kami Seng… Udah lama kali gak dibuahi telurnya katanya…” alasan Iyon yang mungkin gak berani noleh ke belakang.
“Sama aja kek kau… Dah lama kau kan gak maen!” ejekku. Dia tertawa-tawa di depan sana. Apa lagi yang bisa kukatakan padanya. Aku gak bisa marah-marah yang lebih lagi pada kedua sobatku ini. Mereka punya pendapat, penilaian dan masalah sendiri-sendiri. Untuk Iyon, aku dan Kojek tau masalah mendasarnya. Kalo penilaian mereka, peri Udahani ini pantas diberi kesempatan, apa yang bisa kulakukan lagi?
“Sama aja kau! Kontolmu aja yang kau besar-besarin…” semprotku pada Kojek di belakang yang sedang cekikikan.
“Heleh… Kaupun sama juga…” balasnya.
Tak begitu lama, kami sampe di tempat dimaksud para peri Asti, lokasi kegiatan mencurigakan yang merupakan tempat peri Udahani bernama Udaka itu bertelur. Laut dalam itu seperti mempunyai lubang di tengah-tengahnya hingga air tersedot masuk menciptakan permukaan air yang berbeda sendiri dari biasanya. Seharusnya ketinggian air laut akan sama dimanapun dan dijadikan acuan ketinggian standar. Tetapi lubang aneh itu menciptakan anomali aneh ini.
Air laut seperti tersedot jatuh ke dalam lubang hingga kami kesulitan menjaga perahu ini dari memasuki lubang itu juga. Empat peri Asti berenang susah payah menjaga perahu dari terperosok masuk.
“Si Udaka gak keliatan… Mungkin ada di bawah sana…” kata Iyon tanpa pikir panjang langsung nyemplung aja ke dalam air yang berputar-putar. Segera ia muncul lagi ke permukaan tetapi arus membawa tubuhnya terseret ke dalam lubang itu. Tetapi ia sepertinya ia sengaja melakukan itu terlihat lambaian tangannya yang bukan minta tolong tapi lebih ke minta kami mengikutinya. Kimbek si Iyon ini… Kojek gak mikir panjang dan ikut nyemplung juga ke dalam air laut dan segera terseret arus juga, berputar berkeliling pusaran. Aku gak ada pilihan lain kecuali ikut masuk. Lagipula kalo ada apa-apa, aku bisa menolong mereka secara aku punya mustika safir biru di mahkotaku.
Setelah terseret berputar-putar di arus yang memasuki lubang itu dan menuruni semacam air terjun akibat lubang yang tercipta di tanah, aku sampe di dasar lubang. Sampe dalam keadaan terduduk di tepi genangan air yang tenang di dasar lubang. Tinggi air terjun ini sekitar 5-6 meteran dan diameternya sekitar 12 meter dari ujung ke ujung, tergenang air seluruhnya. Puncak pusaran air terlihat berkabut oleh titik-titik air di atas sana. Iyon dan Aseng sudah tiba duluan di tempat ini dan saat ini ada di tengah area. Kususul mereka mengarungi air genangan ini yang setinggi betis, sepertinya mereka telah menemukan si Udaka.
“Kalian datang juga…” ujar peri duyung gurita itu berbaring mengapung di genangan air laut ini dengan lemas. Apakah ia baru saja menelurkan telur-telur perinya?
“Janji adalah hutang… Hutang harus dibayar… Kau benar-benar lepas dari Lord Purgatory itu?” tanya Iyon seperti serius. Padahal kujamin matanya terpaku pada sepasang tetek besar yang mengapung itu.
“Bukankah ini bukti yang kuat? Aku sudah sampai di sini… dan menelurkan semua telur-telurku yang paling berharga…” jawabnya.
“Kau permisi dulu sama raja kerajaan ini… Gak bisa sembarangan aja kau maen masuk-masuk sukak atimu…” Kojek memperingatkan peri Udahani itu agar berlaku sepantasnya. “Nah… Ini dia… Permisi dulu kau sama rajanya… Datang langsung dia ini…” lanjutnya setelah menyadari aku sudah merapat.
“Anda raja kerajaan Mahkota Merah? Maafkan kelancangan hamba yang telah semena-mena masuk tanpa diundang, baginda raja… Hamba pantas dihukum seberat-beratnya karena ini… Ini hamba lakukan dengan terpaksa demi keberlangsungan peri Udahani di masa depan…” ujarnya berusaha keras untuk bangkit dari posisi mengapung mengambang lemas begitu. Iyon dan Kojek memegangi kedua lengannya agar Udaka bisa bangun dan menyambutku dengan posisi yang lebih pantas. Aku mencegah mereka.
“Sudah gak usah bangun… Tetap berbaring aja… Aku tau kau masih lelah habis mengeluarkan semua telur-telurmu… Aku hanya mau tau apa janjimu pada kedua sobatku ini…” kataku gak sampe hati. Walo gimana-gimana, aku ini seorang pria yang gampang luluh melihat perjuangan berat seorang wanita yang berjuang untuk melahirkan—dalam hal ini bertelur, demi keturunannya. “Soal keberadaanmu disini bisa kita rundingkan kalo kau benar-benar melepaskan diri dari Lord Purgatory…”
“Ham-hamba berjanji pada mereka berdua untuk tidak menautkan diri lagi pada nama Lord Purgatory selama-lamanya jika mereka mau mengisi kantung gerabah ini untuk bibit pembuahan telur-telur hamba selanjutnya… Sebagaimana mereka berdua menepati ucapan… sedemikian juga hamba menepati janji… Hamba tidak lagi bernaung dibawah nama Lord Purgatory… Itulah janji hamba, baginda…” ucapnya. Wajah birunya yang tadi saat pertarungan sangat menyeramkan, kali ini sangat jauh berbeda.
“Demi apa itu semua, Udaka?”
“Demi keberlangsungan peri Udahani… demi peri-peri duyung muda yang selanjutnya mendiami dasar lautan luas…” jawabnya yang kunilai tulus.
“Baiklah… Kau kuizinkan tinggal di kerajaan Mahkota Merah…” putusku. Wajahnya berubah sumringah bahagia lalu berubah sedih lagi.
“Keturunan hamba, baginda raja?”
“Tentu aja beserta semua keturunanmu… Ngomong-ngomong… dimana semua telur-telurmu itu?” aku langsung melayangkan pandangan berkeliling mencari telur-telur yang telah dikeluarkannya. Lagipula ada andil Iyon dan Kojek di sana.
“Mereka ada di sana, baginda raja… Anak-anakku yang menjaga mereka…” tunjuk Udaka pada dinding air terjun yang tumpah dari atas sana. Benar saja, dengan malu-malu sosok-sosok peri duyung Udahani itu bermunculan menampakkan diri. Iyon dan Kojek terpesona dengan penampilan 12 peri Udahani yang satupun tak ada yang sama dengan pemimpinnya, Udaka. Berbagai warna ada yang dianut 12 peri Udahani yang diakui anak oleh Udaka. Mayoritas adalah yang bagian tubuh bawahnya merupakan tubuh belakang ikan, ada juga yang berupa belut Morray yang berekor panjang, penyu, bahkan lobster dan manta. 12 telur dijaga oleh 12 kakak. Sungguh pas.
“Maak… Mantap-mantap kali…” bisik Kojek kembali ngiler melihat keindahan tubuh anak-anak Udaka yang masing-masing memegang sebutir telur. Tidak seperti telur peri Asti yang cangkangnya transparan, telur peri Udahani bercangkang keras dan berwarna biru gelap.
“Kenapa? Kau mau entot juga anak-anaknya?” godaku memancing antara keduanya.
“Boleh, Seng?”
“Kalo mereka mau, yaaa… Naah… Klen rasain sendiri, kaaan? Cemana aku gak gemes ngeliat peri-peri seksi kek gini ada disekitarku tiap hari… Baru sebentar klen di sini… udah mau klen entot semua peri Udahani ini…” ejekku yang membuat mereka cuma bisa cengengesan setuju gak bisa bantah.
Bersambung