Part #93 : Istana Diserang
“Jumpa lagi bola api keparat… Banaspati geni…” sapaku pada Banaspati berelemen api berkobar-kobar itu. Kepala kakek tua yang rambutnya terbakar api itu menatapku tajam dan mulut menyeringai dan lidah menjulur panjang.
“Kau lagi…” balasnya gusar karena pekerjaannya terganggu. Api di sekujur kepalanya berderakan suara api yang berkobar. Tapi tanpa tedeng aling-aling ia menembakkan bola apinya dua kali berturut-turut. “Fwaar Fwaar!!”
Tembakannya sangat cepat dan beruntun yang pastinya akan sulit diantisipasi. Tapi tidak dengan kemampuanku yang sekarang, dengan kecepatan yang kumiliki, dua buah bola api itu kutangkap begitu saja dengan satu tangan hingga dua buah batu apung itu berdesis-desis di genggaman tanganku. Kemarin dulu aku harus menyiapkan kapur sirih untuk menetralkan panas batu apung ini. Sekarang, aku hanya perlu meremas keduanya hingga menjadi serpihan pasir lembut.
“Fwiiissss…” asap mengepul dari tapak tanganku bekas hancurnya dua buah bola api tembakan si Banaspati geni. Mata kakek tua itu melotot melihat pamer kekuatanku itu dan mulutnya menganga lebar. Tapi sepertinya ia tak terlalu terkesan dan kembali menembakkan bola apinya berkali-kali dan kali ini berupa bombardir selagi ia bergerak mengitariku. Bak ditembaki oleh sepasukan musuh yang berbaris di hadapanku efek tembakan bola api itu.
“Blam blam blam blam!” dengan membalas menggunakan pukulan tangan berapi kulakuan pukulan beruntun juga terhadap bombardir tembakan bola api. Tanganku kubalut dengan bola api juga hingga api berlaga dengan api. Batu apung yang menjadi materi utama bola api Banaspati itu hancur begitu saja terkena pukulanku, mengakibatkan semua serangannya gagal total. Sentuhan akhir, ia bermaksud menabrakkan dirinya dengan memutar kepalanya terlebih dahulu.
Kutarik kaki kanan ke belakang, agak menunduk menyiapkan isi perutku dan menyemburkannya begitu saja jurus Adi Pawaka kembali. Semburan api yang besar bergulung-gulung menerpa Banaspati geni itu. Api ini adalah api yang tadi kuhisap dari kebakaran rumah Tiwi dan kukembalikan padanya berupa semburan terkonsentrasi. Banaspati geni itu terhenti di tempat dan berputar cepat. Elemen api yang serupa berputar-putar dan cenderung saling menyerap menyebabkan sebuah pilar api yang membumbung tinggi. Tabir yang menutupi tempat ini akan menutupi pertarungan kami ini sehingga aku berani all out. Kukuras semua api yang tadi kuhisap sampe kandas karena memang tak baik menyimpannya berlama-lama. Tadi kuhisap karena memang kusimpan sebentar untuk kulepaskan pada musuh apapun yang pertama kuhadapi. Ternyata Banaspati geni pelakunya.
Habis semua, aku menyentak ke hadapan dengan tarikan tangan siap dihentakkan. “BDAAAMM!!” tinjuku menyeruak masuk menghantam muka kakek tua pembentuk Banaspati geni karena ia berputar di tempat kehilangan momentum lajunya. Alhasil, ia terlontar dan menghantam dinding rumah hingga melubanginya. Aku menambah kerusakan parah rumah yang sudah hancur lebur begini. Dinding itu retak kemudian rubuh memanjang.
Yang kemudian menjadi tujuanku adalah menemukan Tiwi. Tadi ia mengatakannya saat di telepon tadi ia berada di dalam kamar. Masihkah ia di dalam kamar sementara rumahnya terbakar hebat seperti ini? Dan kalo memang masih di kamar, yang mana kamarnya? Situasi rumah ini memang sudah lebih kondusif sekarang tak ada kobaran api karena sudah kuhisap dan kubalikkan pada penyebab semua kebakaran ini, si Banaspati geni yang sudah kubogem tadi.
Desiran cepat terasa di belakangku yang mau tak membuatku mengelak ke samping. Instingku mengatakan ini musuh yang lain, bukan si Banaspati geni. Benar saja! Ini tembakan air yang sangat cepat. Setara dengan tembakan panah air Banatirta-ku. Tak lain dan tak bukan si Banaspati banyu!
Ia muncul dari bagian samping rumah yang dipenuhi lumpur. Ukuran bola airnya tidak terlalu besar tetapi ia sedang menyerap air dari onggokan genangan lumpur yang lembab. Tembakan airnya menerpa ruang kosong. Tempat ini masih terasa panas sisa kebakaran tadi dan ia tak berani mendekat memasuki ruang bekas terbakar. Dan sepertinya ia memancingku untuk memasuki daerah yang menguntungkannya. Enak aja. Tak sudi!
Aku tak terpancing dan mengejarnya ke area berlumpur lembab. Pasti Banaspati banyu itu yang sudah menghantam sisi rumah itu dengan banjir bandang lumpur itu. Ia sedang mengumpulkan kembali airnya yang berharga. Panas bekas kebakaran di tempat ini segera menguapkan air yang tadi ditembakkannya.
“BRRAAAKKK!!” tembok hangus di depan sana tiba-tiba saja berlubang dihantam sesuatu yang menerpanya dan langsung menyasar padaku. Belum selesai si Banaspati banyu yang ragu-ragu memasuki area panas ini, yang satu ini langsung aja merangsek menyerbu—Banaspati lindu. Berputar cepat dan langsung saja menembakkan batuan kerikilnya. Aku jumpalitan menghindar sambil terus mengawasi keberadaan lawan. Sekarang babak kedua pertarunganku melawan trio Banaspati ini setelah dulu masih di bawah kekuasaan Vivi.
Saat itu belum ada hasil akhir. Ini penentuannya karena ketiga setan ini tidak boleh dibiarkan terus eksis.
Tembakan batu kerikil itu berdesingan cepat menyasarku dan salahku kembali ke sudut ini saat Banaspati berkepala kakek terbakar itu muncul dari balik dinding yang ambrol. Tak ada pilihan selain melontarkan diriku ke samping kembali ke arah daerah Banaspati banyu berada. Ia dengan cerdik memanfaatkan lumpur itu dan membalutku dengan tanah becek itu serupa ombak yang bergulung cepat.
Rasanya ditelan lumpur pekat jauh lebih mengerikan dari pada tenggelam di air dalam. Gerakan terbatas karena massa tanah yang bergerak cepat. Tubuhku membentur beberapa benda keras yang ada di puing rumah ini. Banaspati banyu memutar-mutarkan gelombang lumpur ini ke segala arah yang tak kuketahui lagi karena aku benar-benar tenggelam di dalamnya. “Aww! Aduuhh!! Kimaakk!” aku terus mengumpat-umpat oleh rasa sakit akibat benturan. Belum lagi nafas yang semakin menipis.
Semakin parah lagi dengan guncangan hebat yang tiba-tiba terjadi. Rasanya seperti di masukkan di dalam toples kaca berisi selai kacang lalu dikocok-kocok. Ini setara gempa! Ini pasti kerjaan si Banaspati lindu itu karena alas kakiku sudah terlepas entah kemana. Kepala dan perutku serasa diaduk-aduk isinya padahal dalam keadaan kosong karena bentar-bentar lagi jadwal sahur. Apalagi isi kepalaku. Otakku seperti dibentur-benturkan ke tempurung kepalaku.
Aku harus meminimalkan gerakan. Tenangkan tubuh. Tenangkan jiwa. Tenangkan pikiran. Semua pasti ada jalannya… Bergelung.
Aku membentuk pose fetus. Pose bayi yang meringkuk di dalam kandungan ibu. Pose kala tidur meringkuk saat kedinginan. Pose dasar manusia. Seketika damai. Aku tak merasakan guncangan pun seretan lumpur laknat itu. Ini karena aku menyelimuti seluruh tubuhku dengan balutan mantel rubah hitam lebar itu. Elemen apinya tak ada kaitannya dengan perlindungannya ini, lebih pada memutus hubunganku dengan dunia luar karena mantel ini juga berfungsi sebagai matahari, pemberi kehangatan di daerah kekuasaanku.
Bentukku pasti seperti kepompong saat ini, bergelung meringkuk di dalam mantel rubah hitam berbulu tebal ini. Tapi tak selamanya aku bisa terus begini. Aku masih harus membasmi ketiga Banaspati itu.
“Hyaaa!!” aku melakukan gerakan menghentak tiba-tiba dengan balutan mantel rubah hitam ini. Ada kilau menyilaukan yang memancar dariku, tepatnya dari arah kepalaku dimana batu bidara bulan itu berada. Sinar putih menyilaukannya segera menyebar luas. Sebagai sumber cahaya, aku tentu tidak ikut silau. Terpapar cahaya, dibaliknya pasti akan terbentuk bayangan. Bayangannya membesar semakin jauh permukaan yang terkena. Si Banaspati banyu yang terkena bayangan perisai quarsa di tangan kananku.
Waktunya untuk pedang Paksapeti di tangan kiri ini untuk melakukan debutnya.
“Pedang Utara Menari Bayangan…” kusentakkan pedang peri Candrasa ini ke depan. Aku sudah meminta tips pada pengawal ratu Nirada akan cara menggunakan pedang Paksapeti ini. Semakin besar bayangan yang bisa didapatkannya semakin besar tenaga yang dapat dihasilkannya. Semakin panjang bayangan yang didapatkannya semakin panjang jangkauan yang dapat dicapainya dan seterusnya seterusnya.
Bayangan Paksapeti berkelebat bagaikan seekor ular yang menari-nari cepat. Meliuk-liuk dan akhirnya menusuk, menancap, memantek si Banaspati banyu di tempatnya berada. Aku tepat menusuknya di tengah jidat tengkorak putih bersalut balutan air walo dari kejauhan begini berkat kilasan cahaya yang menerangi barusan. Air yang tadinya meliputi seluruh kepala tengkorak itu berbentuk gumpalan bola air, luruh. Lapisan tipis membran-nya juga sobek. Banaspati banyu tak bergerak lagi. Jatuh begitu saja dan aku beralih ke yang lain.
Kombo cahaya dan bayangan ini sangat efektif sekali. Bantuan kilau cahaya aku mendapatkan bayangan sesuai yang kuinginkan. Satu jatuh dua menyusul.
Tembakan menyebalkan bebatuan dari Banaspati lindu itu kutangkis dengan perisai kecil ini. Bunyi nyaring benturannya lumayan mengesalkan karena ia selalu bergerak dinamis. Tau kalo ia bakal kuincar dengan jurus baruku ini. Sesekali semburan api yang dilakukan Banaspati geni menyambar-nyambar tetapi tak kuperdulikan karena mantel rubah hitam yang kupakai melindungi tubuhku dengan sempurna hingga ia frustasi sendiri.
“Aduuhhh…” aku terjatuh lagi karena guncangan gempa yang terjadi lagi. Ia masih memanfaatkan kondisiku yang tak beralas kaki ini. Aku berguling-guling di lantai kotor bercampur lumpur karena gempa 10 skala Richter itu. Aku kembali kacau dan Banaspati lindu memanfaatkan keunggulannya itu. Saat aku bergulingan tak berdaya di lantai, ia mengumpulkan arsenal persenjataannya. Bebatuan, bata, semen keras bahkan pasir dikumpulkannya untuk dijatuhkannya ke atas tubuhku.
Gimana rasanya ditiban sebuah rumah? Pernah ngerasain? Benda sebesar itu yang kini sedang bergulung-gulung di atasku dan bentar-bentar lagi luruh ke sekujur tubuhku. Muka nenek-nenek yang diselimuti pasir dan kerikil Banaspati lindu itu menyeringai licik sudah berhasil mendesakku sedemikian rupa. Ia mengambang di depan material rumah dengan pongahnya menatapku yang sedang lintang pukang kepayahan dihantam gempa.
Aku menjulurkan lidah. Kepalaku terasa sejuk didinginkan oleh sejumlah besar air yang mengalir dari mustika safir biru. “Tapi bo’ong…”
“ADIDAMU!!” secara harfiah Damu berarti air pencuci. Air yang digunakan untuk mencuci, membersihkan semua yang kotor-kotor. Sejumlah besar air dengan deras menyembur kencang bagai disemprotkan dari selang pemadam kebakaran. Air ini sumbernya berasal dari air milik Banaspati banyu yang sudah kumusnahkan dan kusimpan di kisi-kisi rambut halus mantel rubah hitam, plus air yang tentunya berasal dari safir biru sendiri.
Semburan air ini super kencang hingga mampu merontokkan batu, tanah dan pasir pembentuk tubuh Banaspati lindu berkepala nenek tua itu. Wajahnya rusak parah compang-camping rompal dagingnya kaget mendapat semprotan secepat itu tepat di mukanya. Air terus menyembur merontokkan bola matanya, isi kepalanya dan terakhir semua tulang belulang pembentuk tengkoraknya.
Aku bangkit dari kepura-puraanku terkena jurus lindu/gempa Banaspati lindu itu. Mantel rubah hitam masih tetap melindungiku bahkan menjadi alas kakiku hingga aku tak terafeksi gempa si nenek bangsat itu. Ia sangat percaya diri menggunakan kekuatannya itu pun juga percaya acting-ku yang berpura-pura menderita terkena guncangan gempa. Jurus yang sama tak akan mempan padaku dua kali, nek.
“… Dan kau yang tersisa!” tunjukku pada Banaspati geni itu. Aku harus sedikit melupakan Tiwi dulu apalagi kebakaran yang mengancam dirinya sudah berakhir dari tadi walo aku tak tau keberadaan dirinya saat ini entah dimana. Aku harus menyingkirkan semua ancamannya terlebih dahulu baru bisa membantu permasalahannya. Entah apa sebab keluarganya diganggu dan disatroni tiga Banaspati bersamaan. Tapi itu nanti saja sehabis kuselesaikan Banaspati terakhir ini.
“Tuan kami sekarang lebih kuat…” kata kakek tua itu dengan suara serak paraunya.
“Tentu saja… Siapapun dia…” jawabku melirik pada kerusakan parah rumah yang sudah hancur lebur begini. Kalo kurusak lebih parah tentu tidak akan ada bedanya pasti. “Aku juga seorang raja kalo kau mau tau… Serbu!” dengan kibasan tangan perintah diberikan.
Ia langsung terbelalak pada keributan yang tiba-tiba menyeruak dari sebelah kanan dan kirinya. Sejumlah peri berambut merah muncul entah dari mana dan langsung menghajar tubuh berapinya tanpa banyak perintah lagi. Ia menjadi bulan-bulanan test drive pedang yang baru saja mereka dapatkan dari kelompok perajin. Hanya peri Aruna muda yang sudah memiliki pedang besi yang kupanggil kemari untuk mengeroyok Banaspati yang membanggakan tuan barunya.
Peri-peri Aruna muda haus pengalaman ini dengan gemas menghajar bola api itu tanpa sungkan takut terbakar. Puluhan sabetan pedang sudah mampir ke tubuh tuanya hingga api miliknya meredup drastis. Sungguh tak terperi rasa sakit yang didapatkannya. Itu yang kau dapatkan kalo kau membanggakan tuanmu. Kau liat, hanya segelintir prajurit berpedangku sudah membuatmu sekarat begitu. “Masih bertahan? Berikutnya…”
Berpuluh-puluh hujan panah api kemudian menghajar tubuhnya. Serangan bak hujan itu terbang melambung membentuk trajektori melengkung dari belakangku. Sepertinya para peri Aruna muda pemanah itu berada di halaman untuk memamerkan hasil latihan mereka. Hasilnya sungguh menggenaskan bagi Banaspati geni itu. Kepalanya udah mirip rambutan dengan banyak rambut tegang yang berupa anak panah yang menancap. Bergetar-getar sebentar lalu diam meninggalkan sisa bara api saja.
Bagus… Kalo aku menggunakan lawan seperti ini sebagai media latihan para prajurit periku, mereka bisa langsung merasakan menyerang lawan yang asli bukan lagi hanya target dummy. Seharusnya dari tadi aku melakukan ini dari dua Banaspati sebelumnya. Trio Banaspati ini memang sudah lama menaruh dendam padaku dan aku juga memang penasaran pada mereka. Kebetulan sekali bertemu di sini. Tapi kenapa menarget rumah Tiwi? Aku harus segera menemukannya!
Para peri Aruna muda itu sudah kembali lagi ke kerajaan dan aku mencari-cari di bangunan porak poranda yang kebanyakan dalam bentuk arang hangus. Dari bentuk rumah ini, aku bisa memperkirakan ada berapa jumlah kamar yang ada di tempat ini. Ada 4 kamar totalnya dan aku harus memeriksa semua kamar-kamar ini. Kudobrak satu per satu pintu kamar itu tapi kebanyakan ada dalam kondisi yang sama dengan keadaan rumah yang terbakar. Aku menyadari masih ada musuh lain di sini karena tabir pengabur keberadaan rumah ini masih ada, belum menghilang. Apakah semua penghuni rumah ini termasuk Tiwi juga sudah menjadi korban? Ini pintu kamar terakhir. Semoga Tiwi ada disini…
“BRAAK!” tendanganku melepas kunci yang menyatukan pintu ke kusen. Keadaan tempat ini yang paling mendingan dibandingkan kamar-kamar sebelumnya. Pintu yang baru kurusak terganjal sesuatu di balik sana hingga aku berusaha mengintip isi dalam kamar yang terlihat gelap karena putusnya aliran listrik. Tak terlihat apa-apa. Aku yakin bagian dalam kamar ini tak terkena kebakaran tadi hingga mereka membarikade diri di dalam kamar ini sebagai tempat yang paling aman.
Dari celah bagian bawah pintu yang renggang aku menelusup masuk. Seketika itu juga mencium bau anyir yang tak biasa. Ini seperti bau bangkai yang sangat busuk terlantar berhari-hari dirubung belatung. Moga-moga saja Tiwi dan keluarganya benar-benar ada di sini.
FYAAARR!
Tiba-tiba saja tempat ini menjadi sangat terang benderang oleh cahaya. Pintu yang tadi kudobrak kembali utuh dan hanya jendela di sana yang menampilkan langit malam yang kelam. Ini kamar perempuan yang sangat chic dan trendy. Aku segera faham kalo aku sudah dibawa masuk ke dalam daerah kekuasaan seseorang ato sesuatu, entah siapa karena kamar ini seperti tidak punya konsep ruang yang baku panjang, lebar dan tingginya. Saat kucoba untuk melihat satu sudut ruangan, sudut itu jauhnya belasan meter jaraknya. Apalagi saat kucoba melihat langit-langit ruangan, masak belasan meter juga tingginya?
“TIWI?!” teriakku begitu saja mencoba menarik perhatian siapapun yang ada di ruangan daerah kekuasaan ini. Ini jelas milik entitas gelap karena walopun kamar ini terang tapi di luar sana gelap gulita terlihat dari jendela yang ada di dinding. Aku sampe harus berlari-lari di kamar yang jadi luar biasa luas ini. Kamar yang harusnya paling berukuran 4×4 meter saja, jadi memuai ajaib begini sebab campur tangan ghaib.
Pandanganku terpaku pada ceceran darah yang menjadi jejak mengarah ke balik meja itu. Pikiranku langsung parno telah terjadi sesuatu yang sangat buruk. Dan benar-benar menjadi kenyataan saat aku menemukan potongan kaki! Ya benar, potongan kaki manusia.
Aku mengumpat yang kemudian kuralat menjadi istigfar. Hal yang sangat jarang kulakukan. Ini potongan kaki manusia setengah paha sampe betis dan kaki yang masih utuh. Dari bentuk dan rambut yang tumbuh di permukaannya, aku yakin ini kaki seorang laki-laki dan sudah berumur lanjut. Aku gak mau membuat asumsi macam-macam dulu karena ada terlalu banyak darah yang berceceran disini yang mengarah lagi ke arah sana. Harus berfikir positif lebih baiknya.
Dimensi kamar yang bisa melar sesukanya ini membuatku cukup bingung. Saat ini aku seperti sedang berlari-lari di dalam sebuah gudang luas nan kosong aja. Hanya ada beberapa furnitur berserakan yang tadinya merupakan furnitur asli isi kamar Tiwi. Seperti saat ini… Ada potongan kaki lainnya yang sepertinya pasangan potongan kaki pertama yang pertama kali kutemukan. Yang ini potongan kaki kiri. Hanya saja lebih dekat ke lutut yang hancur seperti telah dikunyah-kunyah pemangsanya terlebih dahulu.
Aku berteriak-teriak lagi memanggil Tiwi ato siapapun yang bisa mendengar suaraku. Suaraku tak bergema di ruangan yang ukurannya sedemikian ajaib luas ini. Aku tak terlalu memikirkan masalah dimensi ini karena kekuasaan pemiliknya bisa berwujud apa saja seperti daerah kekuasaanku yang bisa kusulap menjadi pusat kerajaan ghaib. Tak ada balasan sedikitpun, baik dari Tiwi ato keluarganya ato malah bangsat pemilik tempat laknat ini. “TIWI!! TIWII!! DIMANA KAUU?!!” teriakku terus menerus menyusuri tempat luas ini.
“HRUMM… CARI SIAPA KAU, MANUSIA-UHM??” suara besar menggelegar itu terdengar dari belakangku. Kenapa gak keliatan tadi? Aku otomatis menoleh. Alamak! Raksasa Batara Kala lagi?
Raksasa itu duduk jongkok meringkuk dengan tubuh besarnya seperti sedang mengunyah-ngunyah sesuatu dengan lahapnya. Mulutnya berdarah-darah bekas dari luka mangsa yang sedang dikonsumsinya. Matanya yang besar melotot, rambut hitam gimbalnya dan yang pasti kulit kemerahan seluruh tubuhnya sudah membuatnya sangat menyeramkan. Apalagi tubuh gempal gemuknya yang penuh otot.
“Apa yang kau lakukan pada penghuni rumah ini?” tanyaku langsung terus terang. Terus terang aku takut kalo yang sedang dimakannya itu adalah kerabat Tiwi dan lebih parah lagi kalo itu Tiwi sendiri.
“HRUMM? PENGHUNI RUMAH INI ADALAH MAKANANKU-UHM… KAU MAU, MANUSIA-UHM?” jawabnya lalu mengeluarkan apa yang dari tadi tengah asik dikunyahnya dengan gigi besar bertaringnya. Berupa bentuk hancur yang tadinya berupa bagian badan manusia lengkap dengan kepala, yang tentu saja berdarah-darah. Aku mengernyitkan dahi akan horor di depan mataku. Raksasa Batara Kala ini memakan manusia secara langsung?! Biadab!
Benar-benar biadab!!
“… DAN YANG TERLEZAT-UHM…” ia mengacungkan sebuah benda kecil yang masih berupa gumpalan kecil tak berdaya. “TENTU SAJA INI-UHMM… JANIN MUDA MANUSIA YANG SANGAT MANISSSS-UHHMM…” langkahku terhenti begitu aku semakin dekat dengan raksasa biadab itu. Aku melihat gelimpangan beberapa tubuh di depan raksasa itu. Aku segera mengenali tubuh Tiwi di antaranya.
Bedebah Batara Kala ini. Ia dengan teganya mengambil janin yang ada di dalam perut Tiwi dan bermaksud menjadikannya sebagai makanan. Kepalaku terasa mendidih. Kurang ajar si Lord Purgatory ini. Ia mengirim Batara Kala ini ke rumah Tiwi untuk melakukan hal sekejam ini pada keluarga yang tak tau apa-apa ini.
“APA MAUMU, BATARA KALAAA?!! MEREKA TAK BERSALAH PADAMUUU!! PANGGIL KEMARII LORD PURGATORY-MU ITUUU!! SURUH MENGHADAPIKU SECARA LANGSUUNGG!!” teriakku membabi-buta hingga suaraku serak.
“HRUMM?? MAUKU APA?? HYUU HYUU HYUU… BAGAIMANA KALAU KAU MENYERAHKAN SEMUA ANAK-ANAK LEZATMU ITU PADAKUU?? MAU-UHM??” ia memaparkan niat aslinya. Aku bagaikan masuk ke dalam zona menakutkan yang paling horor dalam hidupku mendengarkan kata-katanya itu. Anak-anakku katanya?
Tanpa banyak pikir lagi aku sudah melesat menggunakan kecepatan lokomotif panasku hendak segera menebas raksasa jahat pemakan manusia ini hingga habis tercincang-cincang.
“HRUUMM…”
Aku berhenti tepat di depannya begitu ia mengacungkan janin merah yang masih sangat kecil itu untuk melindungi dirinya. Ia menjadikan janin Tiwi sebagai sandera. Ia tertawa-tawa begitu aku urung melakukan niat amarah awalku. Aku langsung mengendur ciut. Walo bagaimanapun, aku ini seorang ayah. Walo itu bukan anakku. Tapi aku tau bagaimana sedihnya kalo ada yang menyakiti keturunanku. Seperti tadi ia mengancam akan memakan semua anak-anakku. Anak-anak dari istriku dan anak-anak dari binor yang sudah kuhamili; yang berjumlah belasan itu.
“HYUU HYUU HYUU HYUUUU-HU… KENAPA BERHENTI, MANUSIAAA-UHM??” ia terus menyodorkan janin merah yang masih sangat muda itu ke arahku. Aku bisa melihat detak-detak tubuhnya pertanda janin itu masih hidup. Kepalaku tiba-tiba pusing memikirkannya. Bagaimana cara menyelamatkan janin yang sudah dikeluarkan secara paksa dari tubuh ibunya? Bayi lemah itu masih hidup tapi gimana caranya?
“HRUM… KAU PASTI MAU MENYELAMATKAN JANIN MUDA INI-UHM? REBUT DARI TANGANKU KALAU BISA-UHM…” katanya pongah.
Aku tentu tak bisa percaya begitu saja pada omongannya selama ia masih menjadikan janin itu sebagai sandera yang sangat rentan. Apa jaminannya aku bisa percaya pada omongannya? Dia akan selalu menjadikan janin itu sebagai tameng pelindungnya dari seranganku nanti.
“REBUUUT JANIN INI-UHMMM!!” sebelah tangan raksasa Batara Kala itu menghujam deras ke arahku. Aku tak mau mati konyol, melompat menghindar. Alhasil lantai itu berlubang bekas bogem keras berukuran besar raksasa itu. Kepulan debu tebal membumbung tinggi dari bekas lubang itu. Aku menjauh, tepatnya ke arah gelimpangan tubuh kaum kerabat Tiwi. Ada empat sosok tubuh yang kutemukan. Tiwi dan suaminya juga dua adiknya. Aku tak menemukan kedua orang tuanya.
Tekanan yang sangat berat segera terasa yang membuatku segera menjauh tak mau membuat keluarga malang ini tambah runyam harus terkena bogem raksasa yang nyasar. Benar saja, sebuah pukulan menyambar dari tangan Batara Kala itu lagi. Aku tak bisa memikirkan dua orang yang hilang dulu. Fokus ke empat orang yang jelas-jelas ada di dekatku aja plus janin muda yang disandera raksasa pukimak itu. Aku memanggil bakiak Bulan Pencak dan langsung mengarahkan dua kakiku ke arah bogem raksasanya.
“GDEGGGGAAAAAAMMMMM!!!” suara keras memekakkan telinga terdengar berasal dari benturan pukulan berukuran raksasa itu dengan salah satu jurus pamungkas terkuatku. Aku menjauh seaman mungkin dari membahayakan Tiwi dan keluarganya yang tersisa.
Pertarunganku sebelumnya dengan Batara Kala di kehadiran perdana Lord Purgatory, aku menghancurkan raksasa itu dengan tembakan sinar thermal yang membakar habis tubuhnya. Batara Kala kali ini ukurannya lebih besar dari yang pertama tapi aku yakin kalo sinar thermal-ku pasti mampu menembus tubuh berkulit tebalnya ini. Bisa dipastikan kalo Batara Kala ini adalah rekan dari raksasa sebelumnya dan entah ada berapa Batara Kala lagi yang tunduk di bawah kekuasaan Lord Purgatory.
Namun, bila aku menyerangnya terlalu frontal, ia juga pasti akan memanfaatkan janin Tiwi sebagai tamengnya. Apalagi ia pasti sudah diperingatkan akan kekuatanku yang telah pernah mengganyang rekan sesama Batara Kala-nya. Aku harus memakai taktik khusus yang memanfaatkan banyak SDP kalo begini ceritanya.
Memasukkanku ke dalam daerah kekuasaannya tentu keunggulan ada di pihaknya, tapi itu bisa kubalik. Aku bisa memanggil beberapa sosok untuk melakukan serangan mematikan tetapi senyap. Bak kunoichi yang muncul dari kepulan asap, empat peri Aruna berambut merah muncul dan langsung melakukan tugasnya masing-masing.
Nawa yang menggunakan semacam knuckle di kedua tinjunya merangsek maju dan khusus mengincar bagian mata raksasa Batara Kala itu. Pukulannya membabi buta menghajar mata dengan pukulan setara hentakan senapan mesin yang cepat. Dasa dengan tombak dan rantai yang ada di tubuhnya secara khusus melumpuhkan tangan kanannya yang menjadikan janin muda itu sebagai sandera. Dilibatnya sebagian besar tangan kanan lawan lalu dengan bantuan rekannya dijatuhkan hingga mencium tanah. Ekadasa yang bersenjatakan pedang mirip katana, fokus menyerang titik-titik mematikan raksasa itu seperti leher, jantung, lambung, dan kemaluan. Dan istimewanya, dengan teknik miliknya kulit tebal Batara Kala bisa ditembus. Dawadasa yang bekerja sama dengan Dasa untuk menjatuhkan raksasa keparat ini dengan pedang merah besarnya. Ia menghajar bagian kaki beberapa kali hingga rasa sakit dan keseimbangan tak lagi dapat dipertahankannya.
“GDEEGHAAAMMMMHHhhh…” tubuh raksasa gempal itu jatuh berdebam di atas lantai dengan bising dan getaran kuat.
Aku buru-buru menyambar sebelum raksasa keparat ini melakukan sesuatu yang buruk pada janin merah Tiwi. Dibantu Ekadasa untuk mencungkil cengkraman jarinya pada janin lemah itu. Hati-hati aku memegangi janin yang teksturnya masih sangat lunak mirip gelonggongan daging kenyal.
“Habisi dia!” perintahku pada keempat anggota kelompok pemburu minus ketuanya. “… di tempat lain…” tambahku. Mereka berempat lalu menyeret raksasa Batara Kala itu menjauh beramai-ramai. Kalo masalah kesetiaan, aku bisa mengandalkan para peri Aruna-ku. Raksasa itu menjerit-jerit ditarik paksa sedemikian rupa menjauh dari raja mereka dan korban-korbannya.
“Tiwi… Tiwi… Bangun…” aku mengguncang-guncang tubuhnya agar perempuan itu bangun. Aku belum pernah melihatnya tanpa jilbab lagi seperti saat ini. Padahal saat interview dan awal mulai kerja ia tak memakai hijab begini. Demi mengetahui banyak perempuan yang berhijab di kantor kami, ia mulai memakainya, makanya ia sempat kujuluki si mendadak hijaber. Tentu saja karena ia berada di rumah, tempatnya yang aman, bersama suaminya pula. Rambut tebalnya terurai berantakan seperti juga dengan pakaian yang dikenakannya.
Apa yang harus kulakukan dengan janin merah yang masih sangat prematur ini? Detak jantungnya semakin lama semakin lemah. Aku tau ini bukan dunia nyata dan janin yang kupegang dengan hati-hati ini juga adalah tubuh jiwa janin yang secara ragawi masih ada di tubuh ibunya; Tiwi. Tapi bagaimana cara mengembalikannya ke dalam rahim Tiwi?
Aku sering dengar tentang janin ato bayi yang dicuri, tiba-tiba hilang dari kandungan ibunya. Bahkan aku kenal dua—tidak—empat orang yang menjadi contoh kejadian itu. Ibunya menjadi stres bahkan divonis gila oleh dokter karena kejadian yang berulang kali terjadi padanya. Walo akhirnya bertemu kembali saat anak-anaknya itu sudah besar dan dewasa. Aku tak mau Tiwi mengalami kejadian serupa itu juga. Sebisa mungkin aku harus mencegah tragedi seperti itu terjadi lagi.
“Tiwi… Bangun, Tiwi… Ini demi anakmu, Tiwi…” aku berusaha terus membangunkannya. Aku tak berusaha membangunkan yang lain karena waktu yang sangat kritis hanyalah masalah Tiwi dan janinnya. Yang lainnya sudah terbebas dari bahaya karena mereka tak terancam giliran akan dimakan oleh Batara Kala tadi yang sedang di’rame-rame-kan para peri Aruna-ku. Di kejauhan sana, tubuh raksasanya menjadi target latihan para peri muda dari beberapa kalangan. Target pedang, tombak, panah, juga semburan api dan panah air. Para peri senior mengawasi.
“Uhmm…” akhirnya ada tanda-tanda ia mulai sadar. Aku terus menepuk-nepuk pipinya. “Tolohhnngg…” suaranya lemah masih ingat akan ucapan terakhirnya sebelum akhirnya pingsan dan diseret ke alam ghaib begini. “Anaakku… Maass… Baapak… Jangan makan bapaakk…” suara lemahnya.
“Tiwi… PERTIWI!!” panggilku lebih keras dan itu berhasil membuatnya membuka mata. Matanya langsung membelalak menatapku.
“Bang ASEEENG!!” ia sontak bangkit, duduk dan memelukku erat. Aku gelagapan dipeluk begini dong sama binik orang. Lakiknya aja ada disamping kami walo dalam keadaan pingsan begitu. Ada adik-adiknya juga. “Ada raksasa memakan bapakku, baaang…” ia lalu merenggangkan pelukannya dan melihat ke samping. “Ibuukk!!… Ibuuk dimana?” jeritnya tak menemukan sosok ibunya di dekat kerabatnya yang lain. “Huuu huuu huuu… Ibuk juga dimakan raksasa… Huuu huuu huuuu…” betap hancur hatiku mendengar ratapan Tiwi yang langsung kehilangan ayah dan ibunya sekaligus karena durjana bernama Batara Kala yang sedang dibante abis-abisan itu.
“Anakku!!” ia lalu beralih kepada perutnya. Seolah kesedihannya sebelumnya tak lebih berarti dari kehilangan yang satu ini. Ini tentu insting keibuannya mendominasi. “Anakku juga dimakan…”
“Sstt… Tenang, Tiwi… Ini anakmu… Anakmu selamat…” aku langsung menyodorkan janin merah yang masih berbentuk ganjil itu padanya walo detak jantung mungilnya semakin lama semakin lemah. Mata besarnya membelalak kaget melihat janin merah yang masih berusia hitungan bulan itu ada di tangkupan tanganku. Berkedut-kedut dengan tali plasenta yang bergulung-gulung.
“Baaahng… Ini anak~~ku??” tanyanya pilu. Matanya antara sedih, bahagia dan entah apa lagi. “Dia masih hidup, bang~~?”
“Yaa… Ini anakmu, Wi… Abang mengambilnya sebelum dimakan raksasa itu…” jawabku seperlunya aja walo tentu masih bingung gimana cara menyelamatkannya. Aku takut tak lama lagi ia akan keguguran karena tubuh jiwa janin merah itu udah sekian lama lepas dari induknya. Pemikiranku, setidaknya Tiwi akan memegangnya dulu, merasakan detak jantung darah dagingnya ini dulu. Selebihnya kuserahkan pada takdir. Biar Yang Maha Kuasa yang menentukan kelanjutan jalan hidup janin malang itu.
“Anakku~~ Kau cantik, sayaaang…” Tiwi menimang janin merah di tangannya dengan penuh kasih sayang. Didekapnya dekat ke dadanya agar ia dapat melihatnya lebih dekat dan jelas. Air matanya yang deras mengalir tapi tak ada tangisan lagi. Ia tak mau suara tangisnya membuat anaknya sedih. Ia hanya menyuarakan suara menenangkan anaknya yang tentu sangat ia cintai. Tak ada ibu yang tak mencintai anaknya. Bahkan hewan yang tak berakal budipun, berinsting menyayangi anaknya. Rela berkorban nyawa apapun yang mungkin membahayakan keturunannya.
“Degup jantungmu semakin teratur, sayaang~~… Sehat ya, naaak?” bisik Tiwi pada janinnya.
Di sebelah sana. Batara Kala itu masih menjadi target latihan dari ratusan bahkan ribuan peri warga kerajaan Mahkota Merah. Tubuhnya yang besar bak paus terdampar itu berulang-ulang mendapat serangan dari berbagai unit prajurit yang melakukan gelombang serangan kolektif. Merasakan langsung menghantam musuh hidup walo tak dapat menyerang balik.
“Letakkan janin itu ke perutmu lagi, Tiwi…” kataku sebenarnya coba-coba aja. Ini alam ghaib. Janin yang dipegangnya juga bersifat ghaib se-ghaib sifat nyawa yang diberikan Yang Maha Kuasa pada tiap insan-Nya. Janin itu tempat semestinya berada di rahim ibunya sebagaimana yang telah digariskan Ilahi. Seharusnya dikembalikan ke tempat awalnya. “Kembalikan ke tempatnya… Coba…” bisikku mencoba menyamakan persepsi dengan ucapan berbisiknya.
“Masuk lagi ya, sayaaang~~… Nanti kita ketemu lagi pada waktunya…” Tiwi segera setuju. Dikecupnya janin merah sekali penuh cinta lalu diarahkan ke perutnya kembali. Dengan gerakan menekan yang lembut, sinar lembut terang melingkupi janin merah itu lalu menghilang di perut Tiwi. “Aaahh…” Aku hanya bisa memandangi wajahnya yang kali ini terlihat lebih tenang sembari memegangi perutnya dengan gerakan mengelus-elus lembut. “Semoga kau selamat sampai masanya, sayaaang…”
Sudah sampe situ, Tiwi pingsan tak sadarkan diri lagi. Nge-geblak jatuh lagi di samping tubuh suaminya.
Kimak memang Batara Kala satu ini! Dia sudah sempat memakan kedua orang tua Tiwi. Potongan kaki yang tadi kutemukan adalah sisa-sisa tubuh mereka yang berceceran saat ia memakan korban-korbannya. Entah sudah berapa banyak manusia dalam kriteria Sukerta yang sudah dimakannya untuk mengisi perutnya yang selalu lapar. Jin-jin brengsek semacam ini mencari kambing hitam atas nama Batara Kala dan berlindung dibaliknya demi nafsu angkaranya sendiri.
Raksasa itu masih mengalami penyiksaan yang sangat pedih. Ia masih belum mati. Darah kental menggenang di mana-mana. Aku meminjam satu tombak dari peri Asti yang berbaris paling depan menunggu perintah. Tombaknya berlumuran darah. Para peri senior memerintahkan semua prajurit peri muda untuk membuka jalan begitu aku terlihat aku berlari ke arah Batara Kala itu dengan tombak terhunus.
“HRRYYYAAAA!!!” aku melompat tinggi dengan sontekan bakiak Bulan Pencak, tombakk kupegang dengan kedua tangan terangkat ke atas. Aku meluncur deras ke arah perut buncitnya. Teriakanku membahana di tempat ini. “YYAAAAAA!!!” Dengan tombak sederhana ini memang tak mungkin menjebol perut berkulit badaknya karena itu aku mengincar luka yang sudah ada di perutnya. Sepertinya ini luka tusukan pedang katana Ekadasa sebelumnya yang diperlebar oleh serangan peri-peri muda kemudian.
Lesakan sekuat tenagaku berhasil menusuk masuk ke dalam perutnya, memperbesar luka itu bertambah parah. Menembus masuk hingga ke dalam jeroan laknat raksasa pemakan anak-anak manusia Sukerta dalam berbagai kriterianya. Manusia yang belum diruwat yang diincarnya. Darah kental bercipratan kemana-mana. Beberapa tetes mengenai mukaku. Raksasa Batara Kala itu menggigil kesakitan dengan rintihan lemah karena sudah terlalu banyak menerima serangan prajurit peri mudaku.
“Uuhhkk…” erang merintih payahnya kembali kala kurobek lukanya itu memanjang. Aku gak akan tanggung-tanggung pada durjana pemakan manusia satu ini. Sebelum kau menghilang, kau harus mengembalikan jasad jiwa orang tua Tiwi yang sudah sempat kau makan! Tak perduli walo itu dalam potongan kecil-kecil sekalipun. Perut buncit Batara Kala robek lebar dan isi perutnya terburai keluar berupa usus, lambung, hati dan lain-lainnya. Semua isi jeroannya tumpah ruah bersama lemak menjijikkan serta macam-macam segala isinya.
Kau tak akan mati dengan mudah. Kau akan mati setelah merasakan sakit yang luar biasa!
Dengan cakar Mandalo Rajo, aku merobek-robek isi lambungnya dan bau busuk segera tercium pekat. Potongan-potongan tubuh manusia segera bergelimpangan keluar dari lambung yang sudah tak berbentuk utuh ini lagi. Darah, lemak dan cairan busuk bercampur baur menjadi satu tak kuperdulikan. Kutarik keluar potongan-potongan tubuh itu dan kulempar menumpuk menjadi satu. Tubuh raksasa yang termutilasi itu menggigil tak berdaya. Aku mendekati dadanya.
“Bagindaaa…”
Ada suara yang memanggilku. Aku tak memperdulikannya. Aku menyobek kulit tebal dan daging bagian dada kirinya. Segera aku menemukan kungkungan tulang iga yang melindungi organ berdenyut lemah yang memompakan darah yang semakin terkuras habis…
“Bagindaaa…”
Aku lagi-lagi tak memperdulikan suara yang memanggilku. Itu pasti suara salah satu periku. Mataku nyalang penuh amarah menatap jantung yang berdegup lemah itu. Kau yang tak pernah memperdulikan hidup dan degup jantung para mangsamu, haruskah aku memperdulikan hidupmu, wahai Batara Kala bangsat?!
“Crapptt!!” tanganku menyeruak masuk di antara dua tulang iga yang melindungi jantungnya. Langsung mencengkram benda merah tua berdenyut lemah itu. Kuku cakar harimau Mandalo Rajo-ku mencabiknya berdarah… dan kutarik kembali dengan cepat! Mencerabutnya dari tubuh yang selama ini ditopangnya. Seluruh tubuh Batara Kala terhenyak. Matanya melotot menatapku bak menatap malaikat pencabut nyawa yang sudah lancang mengakhiri hidupnya. Mulutnya tak sanggup mengatakan apapun lagi. Seperti air mancur darah menyembur dari dadanya yang tak berjantung lagi. Kusobek dua jantung itu dan kubuang sembarangan.
“Baginda…” itu suara ratu Nirada. Ia berdiri di depan pasukan peri muda Dawala yang dipimpinnya langsung saat melakukan pertempuran tadi. Aku hanya bisa menatapnya. “Jangan diteruskan, baginda… Nanti… Nanti kerajaan Mahkota Merah baginda… akan gelap…”
Degh!
Aku melihat sepasang tanganku yang berlumuran darah kental sang Batara Kala. Darah kentalnya merah gelap penuh dengan angkara murka. Sontak aku menarik cawet penutup selangkangan raksasa itu sebelum ia mulai menghilang. Cawet lebar yang terbuat dari lembaran kulit ini kugunakan untuk membersihkan darah durjana kotor itu. Tangan, kaki, leher dan mukaku kubersihkan sebisanya. Kulemparkan cawet berlumuran darah itu kembali ke jasad menggunung tinggi, yang perlahan pudar dan menghilang.
Kegelapan. Itu hal terakhir yang harus kuhindari. Masuk ke kegelapan itu artinya aku berpindah sisi menjadi Menggala golongan kegelapan. Segala keindahan dan kemudahan yang sekarang ada di daerah kekuasaanku berkat terang lingkungannya akan berubah menjadi gelap gulita yang membosankan kalo aku berpindah sisi. Apa kata dunia kalo anggota Ribak Sude ini berpindah haluan ke sisi gelap?
“Kenapa kalian mundur?” tanyaku agak tersinggung ketika aku maju selangkah, semua barisan pasukan di hadapanku mengambil satu langkah mundur.
Ratu Nirada meneguk ludah takut-takut. “Apakah ini masih… baginda raja kami yang biasanya?” tanya ratu peri Dawala itu takut-takut. Pertanyaan macam apa ini? Tentu aku yang biasanya. Masih yang dulu. Tak ada yang berubah.
“Apa maksudmu, ratu Nirada tentu aku…” aku lalu menyadari arah pandangan tatapan mata indahnya. Ia tidak fokus memandang mukaku, melainkan agak ke atas. Tepatnya mahkota yang kukenakan. Memang ada sesuatu yang terasa mengganjal. Segera kuraba karena aku gak bisa melihatnya langsung. “Apa ini?”
Tanganku menelusuri bagian kiri mahkota yang memang terasa tak seimbang ini. Muncul sebuah benda menjorok ke atas, melengkung sejengkal dengan ujung runcing seperti tanduk di lokasi dimana seharusnya batu onyx hitam itu berada. Kimbek… Ada tanduk tumbuh di mahkotaku. Dah kek lembu cacat aku jadinya.
“Kalian semuanya… kembali ke kerajaan!” perintahku. Dengan sigap mereka semua menunduk hormat dan langsung menghilang dari hadapanku. Aku sebenarnya bingung dengan kondisi ini jadi jalan terbaik adalah menyelesaikan masalah ini dahulu lalu aku balik lagi ke kerajaanku dan bertanya pada mereka tentang tanduk ini. Masalah Tiwi ini sudah selesai walo harus dengan cara tragis.
——————————————————————–
Mengeluarkan tubuh jiwa Tiwi, suaminya dan kedua adiknya dari daerah kekuasaan Batara Kala yang sudah kubasmi itu dari pintu masuk itu kembali. Di dunia nyata mereka berempat juga masih tak sadarkan diri. Pastinya nanti semua pengalaman mistis tadi akan seperti mimpi buruk saja kiranya. Tapi mimpi buruk yang menjadi nyata karena kedua orang tua Tiwi benar-benar telah tewas di dalam rumah ini. Secara jasmaniah, tubuh mereka utuh tetapi secara rohaniah, jiwa mereka sudah dikoyak-koyak oleh laknat Batara Kala itu.
Perlahan tabir yang menyelimuti rumah ini menghilang dan aku bisa melihat rumah-rumah tetangga muncul di kanan kiriku. Dari luar rumah yang dalam keadaan porak poranda ini juga pasti akan mulai terlihat juga. Dari mesjid-mesjid terdekat terdengar lantunan ayat-ayat suci menjelang membangunkan warga untuk sahur. Beberapa anak muda remaja mesjid juga berkeliling mengetuk rumah-rumah warga, mengingatkan untuk bangun dan bersahur.
Tentu saja mereka heboh melihat rumah keluarga Tiwi hancur berantakan seperti ini dengan sangat tiba-tiba. Tak lama tempat ini sudah rame sekali oleh jiran tetangga. Aku yang dalam keadaan berantakan begini tentunya gak bisa terlalu banyak terlibat karena pasti akan membingungkan warga. Apalagi jawabanku nantinya pasti gak akan masuk akal seperti menyalahkan mereka yang tak tau kalo tetangga mereka mengalami musibah mengerikan seperti ini. Lebih baik menyingkir…
Aku membersihkan badan dan pakaianku yang masih bernoda lumpur di dekat mobilku yang kuparkir di depan gang. Di kantung celanaku penuh lumpur. Ah… Sialan. Rusak gak ya HP-ku setelah bergulung-gulung hanyut dalam lumpur kek tadi? Eh… Untungnya idup. Buktinya ada panggilan bisa masuk begini.
“Ya… Alo, Ndra? Ada apa jam segini nelpon?” tanyaku begitu tau siapa yang menghubungiku. Tumben kali nelpon hampir dinihari kek gini.
“Paakk… krsskk.. ksrrsskk…seng…” kimbek ada gangguan jadinya kan HP-ku. Kek mana pulak, tadi kelelep lumpur pekat kek gitu. Jadi gak jelas gini suara si Suhendra.
“Aaa… Ulangi, Ndra… Agak konslet HP awak, nih… Pelan-pelan aja ngomongnya…”
“Garrs… loonn… krrskk… krrkskk…” mau rasanya kubanting HP ini terus kuganti baru aja. Tapi dimana pula ada toko jual henpon dini hari kek gini. Kusuruh dia pelan-pelan mengulangi kata-katanya barusan. Entahpun suaraku di sana gangguan kek gini juga ternyata. Tapi hubungan telepon langsung putus dan tak lama ada pesan chat masuk. Dari si Hendra.
Hendra: GALON KEBAKARAN PAK!!
Alamakjang!
Langsung aku gaspol melempar HP pukimak itu ke kursi belakang dan kuhidupkan mesin. Putar arah dan seperti kesetanan memacu Jazz gress ini menelusuri Marelan balik ke arah pusat kota kembali. Dengan satu tujuan SPBU milikku!!
Entah berapa menit total waktu yang kutempuh hingga sampe ke tempat ini. Pokoknya aku udah nyampe aja. Macet di depan SPBU karena ada banyak kendaraan pemadam yang berderet-deret berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat asap hitam tebal mengepul membumbung tinggi ke langit yang jadi berwarna kemerahan terang. Padahal ini seharusnya masih gelap. Sangking besarnya api yang berkobar besar menerangi malam.
Pemadam kebakaran melakukan tugasnya secara sistematis. Api berusaha dilokalisir agar tak menyebar luas dengan cara mendinginkan sumber api yang berupa bahan bakar yang merupakan produk utama SPBU ini. Walo aku pemilik tempat ini, toh aku juga gak boleh dekat-dekat karena situasinya memang sangat berbahaya. Tempat ini terasa sangat panas tapi itu tak menggangguku. Yang menggangguku adalah gimana nanti nasib para karyawanku yang menggantungkan hidupnya dari bekerja di tempat ini? Juga orang-orang lain yang membuka usaha di lokasi SPBU ini?
Pukimak kali memang si Lord Purgatory ini. Aku gak henti-hentinya mengutuk mahluk tak jelas itu. Apa sih mau kau, KONTOLLL!!
Tak disangka, ada seseorang yang tiba-tiba merangkulku. Hampir aku menghajarnya sebelum ia segera kukenali.
“Seng… Kalem, Seng…”
“Kau, Yon?” desahku yang segera mengenalinya. Mukanya pun terlihat suntuk kali. Ia segera menyeretku menjauh ke tepian jalan yang lebih sepi dari orang-orang yang menonton kejadian kebakaran ini. Padahal ini tempat yang berbahaya seharusnya. Warga Indonesia yang suka tontonan seru.
“Ada apa, Yon? Abis kali awak nih, Yon… Terbakar semua galonku…” kesahku padanya. Ia sepertinya tak terlalu terkesan dengan gelisahku karena ia sendiripun dalam masalah keknya. “Ada apa, Yon?”
“Kubawaklah kau ke tempat Kojek aja, ya… Disana kita lebih baik ngumpul…” katanya gak mau menatapku. Ia menghindari kontak mata denganku dan berlindung di kegelapan bayangan malam.
“Tapi ini… awak mau madamin api ini dulu, Yon… Biar gak terlalu parah kali…” kataku. Aku baru teringat kemampuanku menghisap api kebakaran yang tadi melahap rumah Tiwi barusan hingga padam. Ini… hanya puluhan kali lipat lebih dahsyat dari kebakaran tadi. Bisa enggak, ya? Aku jadi ragu sendiri. Ini isinya bensin dan solar semua. Apa jadinya isi perutku jika menghisap api berbahan bakar petrol?
“Gak akan ada bedanya kalo kau padamin sekarang ato enggak, Seng… Hasilnya sama aja… Lord Purgatory anjeng itu udah kelewatan kali…” Iyon terlihat menahan amarahnya dengan menggeretakkan giginya. Wajah tampannya jadi terlihat mengerikan diterangi kelebatan jingga-merah api yang sampe kemari. Lord Purgatory juga mengusiknya lagi. Berarti Kojek juga.
“Ayok… Ayok…” aku menyerah dan ikut rencana awalnya.
——————————————————————–
Aku menatap ratusan ekor binatang ternak itu terbujur kaku dengan luka-luka menganga di perutnya. Isi perutnya dikeluarkan secara sadis terburai-burai. Tergeletak secara acak di padang penggembalaan milik perusahaan yang didirikan Kojek atas investasi dari danaku. Ini jelas-jelas perbuatan sabotase. Sabotase yang sangat bersih dan licin. Tak ada jejak pelaku pembantaian sedikitpun. Darah hewan ternak yang sedianya untuk pedaging ini bahkan tak ada yang tertumpah. Kering dan licin.
Jagal mana yang bisa melakukan pekerjaan serapi, serumit dan sesempurna ini dari kalangan manusia? Tentunya ini bukan pekerjaan manusia. Kami bertiga tau itu tapi kami tentu tak bisa mengatakan itu pada pihak lain. Tapi bagaimana cara Kojek menjelaskan pada karyawannya yang ketakutan? Penjaga malam yang menyaksikan bagaimana hewan-hewan ini meregang nyawa meraung-raung panik dengan isi perut terburai tanpa darah setetespun yang tertumpah.
Kepalaku kosong melompong rasanya. Seperti Kojek juga yang berdiri tak berbaju di dinginnya dini hari ini. Ia pasti dibangunkan penjaga malam dan langsung memeriksa semua inventaris ternak berharganya. Mendapati semua jerih payahnya dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Tangannya terkepal berkali-kali. Berkali-kali juga ia meremas kain celana di sisi pahanya.
Ia lalu jatuh berjongkok di lututnya dan menyatukan tangannya. Itu yang terbaik. Ia berdoa. Aku bahkan tak sampe berpikir kesana. Aku hanya bisa mengumpat dan mencaci maki. Lupa… Lupa kalo masih ada Yang Maha Kuasa di atas sana. Lupa kalo rencana Yang Maha Adil itu lebih sempurna dari rencana kita yang fana ini.
Tapi aku mengingat perih cerita Iyon yang juga berusaha tegar. Lima bus yang sudah dibelinya, sudah direvitalisasi, sudah dimodernisasi, sudah dire-karoseri, dan sudah mulai beroperasi—secara menggenaskan mengalami kecelakaan di lima tempat berbeda. Dua masuk jurang di daerah Kabanjahe dan Daolu, satu diterabas kereta di daerah Bengkel, satu terbakar di jalan tol Belmera di dekat pintu keluar Tanjung Morawa, dan yang terakhir mengalami tabrakan beruntun di Jalinsum kontra 4 bus lainnya.
Ia sudah berbicara langsung dengan kelima kendaraan malang itu dengan kutukan istimewanya. Kendaraan-kendaraan itupun tak tau apa yang telah menyebabkan mereka menjadi begini. Terlepas dari human error dan kesalahan teknis juga infrastruktur. Para kendaraan ini seperti tak tau apa yang telah menimpa mereka. Begitu kira-kira hasil komunikasi dua arah Iyon dan kendaraan-kendaraan itu. Aku gak heran kemampuan Iyon di bidang ini tetapi ini jelas juga sabotase. Sabotase ghaib lagi.
Berapa banyak kerugian yang harus ditanggung Iyon. Disamping kerusakan, korban luka-luka, korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, ganti rugi dan lain-lain sebagainya.
Sampe-sampe aku gak selera sahur lagi…
——————————————————————–
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanyaku pelan. Mega mulai memerah di ufuk Timur. Matahari mulai terbit yang pertanda sudah mulai masuk Subuh, gak boleh makan-minum lagi. Dari tadi aku hanya menyesap seteguk kopi yang mulai dingin.
“Terus terang yang paling rugi di sini itu kau, Seng…” kata Iyon habis mendesah panjang merasa bersalah. Memang itu aku. “Kami yang minjam surat tanahmu untuk invest usaha kami ini… Dah gitu… galonmu juga abis…” imbuhnya. “Aku sama Kojek udah pasti bakal nunggak pinjaman ke bank dan ujung-ujungnya agunannya nanti bakal dilelang karena gagal bayar… Darimana lagi kita bisa dapat duit sebanyak ini?” katanya masih suram. Semua yang dikatakannya benar. Untuk dua sobatku ini aku menjadi investor tunggal dengan mengagunkan surat tanah dan bangunan yang kudapatkan dari ajo Mansur. Tanah kosong luas di daerah Stabat dan tanah beserta bangunannya di kompleks XX. Dengan terbakarnya galonku, lengkap sudah semua hartaku habis. Mana renovasi rumahku di Mabar belum selesai. Apes kali-ah…
Ini betul-betul abis luck milikku sampe terkikis kandas kering kerontang gak bisa diperas sama sekali. Sampe teman-temanku juga ikut ketiban sial. Moga-moga gak nular aja ke mereka.
“Mauliate, Seng… Sudah ngasih kesempatan ke kami untuk usaha ini… Besar harapan kita untuk bidang usaha ini, Seng… Besar sekali… Ternyata Debata berkehendak lain… Kita hanya bisa pasrah, kan?” kata Kojek berusaha tegar. Dia juga udah habis-habisan. Ia juga sudah mencurahkan semua upaya dan daya untuk peternakannya ini. Ia sudah menjual semua ternak sebelumnya untuk modal awal usahanya ditambah suntikan dana dari invest-ku.
“Kita kembali ke dasar lagi…” kataku pendek.
“Ya…” setuju Iyon dan Kojek bersamaan. Kami sama-sama orang yang tak berharta awalnya. Dari yang gak berpunya kembali tak berada.
“Tapi kalo kupikir-pikir… kimak kali si Lord Purgatory borjong ini lama-lama… Dimaen-maenkannya idup kita kek gini… Dibiarkannya kita menikmati sedikit hidup yang agak lumayan… Trus dibantenya kita kek gini… Kan kimak namanya itu… Ntah hapa maunya sama kita bertiga ini? Kalo rencananya mau diidopinnya lagi si Bobi pake permata-permata peri ini… kenapa harus bertele-tele kek gini?” kesalku bersungut-sungut. Kedua sobatku itu menatapku dalam-dalam setuju.
“Kenapa gak ditantangnya aja kerajaanku perang terbuka? Dam! Dam! Abis perkara… Menang dia ato awak yang menang… Banyak kali cengkunek (trik)-nya pake ini pake itu…”
“Gak puasa kau?” peringat Kojek.
“Emosi awak, Jek… Lelah kali awak diginiin terus…” kembali aku bersungut-sungut. “Ato enggak… aku aja yang nantang perang ke dia… Sama aja-nya, tuh…” putusku. “Haa… ada apa?” tanyaku atas munculnya sosok yang sesuai namanya sebagai peri fajar merah; peri Aruna, di pagi yang baru menyemburatkan fajar merah di ufuk sana.
“Lapor, baginda… Ada hal yang sangat penting…”
“Laporkan saja, Astha… Mereka ini teman-temanku…” ketua kelompok pemburu ini yang langsung laporan. Padahal ia seharusnya masih harus menjaga telur-telur keturunannya. Apakah mereka sudah menetas hingga ia bisa meninggalkan mereka?
“Baik, baginda… Pasukan gabungan musuh sejumlah 3000 lebih pasukan sudah mendekati istana kerajaan Istana Pelangi… Musuh mengepung kerajaan itu dan menutup akses keluar masuk kerajaan itu… Laporan selesai…” ujarnya lugas dengan menunduk.
“3000 lebih?” ulangku. Kimak memang si Lord Purgatory ini. Pasukannya jadi jauh lebih besar dari milikku. “Rincikan jumlah 3000 lebih itu, Astha…”
“Siap… 2000 berupa zombie dari berbagai jenis peri selebihnya merupakan mahluk ghaib dari berbagai jenis, baginda…” papar Astha. Waduh… 2000 zombie sekarang. Ini pasti tambahan dari zombie peri Asti yang kemarin sempat mengejar-ngejar kami plus mahluk ghaib dari berbagai jenis. Pasti ada banyak mahluk ghaib dari golongan hitam yang tergabung disana. Pocong-pocongan, kuntilanak, genderuwo, Banaspati, raksasa segala jenis dan rupa, bermacam siluman dan lain sebagainya.
Iyon dan Kojek menatapku lekat dengan mulut terkatup menunggu momen untuk diberi kesempatan bicara.
“Ikut?” tanyaku pendek saja.
Keduanya mengangguk yakin. Pasti mereka berdua juga sudah muak dengan keadaan ini. Muak dipermainkan dan dipecundangi.
“Ada satu lagi, baginda…”
“Apa itu?” kataku saat aku bersiap membawa Iyon dan Kojek masuk ke kerajaan Mahkota Merah-ku. Astha seperti ragu-ragu akan menyampaikan ini.
“Cayarini menghilang…”
——————————————————————–
Seperti yang sudah diucapkan Eka saat itu, ia izin tak bisa ikut barisan pasukan kerajaan karena ingin berkonsentrasi penuh pada telur-telur miliknya. Berbeda dengan Astha yang berdedikasi tinggi, rela meninggalkan telur-telurnya yang belum menetas demi mendampingiku ke medan perang.
Rombongan kami ini belum bisa disebut pasukan karena masih berupa tim kecil yang bermaksud meninjau terlebih dahulu. Seluruh pasukanku akan dengan mudah digelar kalo aku membutuhkannya sebab semuanya ada di dalam diriku. Bahkan seluruh isi istana Mahkota Merah dapat kuhamparkan di padang luas membentang di hadapanku ini. Kami hanya berdiri di tebing sebuah bukit beberapa jauh jaraknya dari penampakan kerajaan Istana Pelangi kini dalam keadaan tertutup siaga perang.
Kerajaan itu berada di atas bukit kecil dan di puncak bukit berdiri Istana Pelangi yang sejatinya berbentuk indah sesuai namanya. Tapi saat ini ada barikade berat berupa dinding tinggi tebal menyelubungi tembok terluar istana untuk menahan musuh yang akan menyerang. Ada lima menara tinggi di sudut tembok yang terbuat dari semacam kristal bening bertekstur solarisasi yang membuat tempat ini mendapat namanya sebagai Istana Pelangi karena keindahan kemilaunya saat tertimpa kilau matahari. Menara itu tinggi menjulang sekitar 20-25 meter dan ujung lancip runcing hingga terlihat seperti lima buah pedang raksasa transparan di tengah tanah luas ini. Tempat itu dan sekitarnya selalu bermandikan cahaya yang kemilau berkat lima menara itu. Apalagi angin yang berhembus tanpa henti, memutar kincir angin di sekitar dinding. Pusat kekuatan peri Kencana.
Astha menunjuk kejauhan dimana pasukan musuh berasal yang kini ada berserak di sekitar di luar dinding tebal kerajaan peri Kencana itu. Dari kejauhan begini, kami bisa dengan mudah melihat pasukan Lord Purgatory yang mengepung kerajaan Istana Pelangi. Para zombie yang selalu kelaparan itu tentu saja tak bisa dikendalikan dan langsung saja bergerombol ingin memasuki kerajaan. Tembok tinggi dan kokoh tentu tidak mudah untuk dipanjat dan ditaklukkan para zombie yang minus akal. Mereka menjadi bulan-bulanan para pemanah yang membidik bagian kepala untuk segera melumpuhkannya. Hanya saja dari gerakan tak teratur zombie yang hanya digerakkan insting lapar, anak panah kadang melesat mengenai bahu, punggung ato dada yang tak sanggup menumbangkannya dengan cepat.
Di belakang barisan para zombie yang berusaha menyebarkan wabahnya, ada berbagai jenis pasukan—lebih tepatnya gerombolan yang terdiri berbagai mahluk ghaib yang mengerikan. Yang terlihat sangat jelas tentunya adalah jenis raksasa beragam ukuran. Biasanya gerombolan mahluk ghaib ini jarang sekali mau bekerja sama sampe rame seperti ini. Ini keajaiban kalo kubilang. Mungkin karena faktor Lord Purgatory yang memang misterius dan kuat, mereka mau mengenyampingkan ego mereka dan mau bergerombol bersama begini.
Yang paling jelas terlihat adalah beberapa raksasa Batara yang lumayan sibuk di sekitar kumpulan zombie itu. Seperti tau kalo mereka sekutu, zombie tak mau menyerang Batara Kala malah raksasa itu berbaik hati memberi tumpangan untuk masuk dengan mudah ke balik dinding tinggi benteng Istana Pelangi. Raksasa itu dengan mudah melemparkan sosok-sosok peri yang telah berubah menjadi zombie itu melalui puncak tembok. Walo di dalam sana, para zombie yang berhasil masuk akan langsung dibante, setidaknya itu akan merepotkan pertahanan dan memberikan efek horor yang menakutkan karena kecepatan penularan penyakit zombie itu mudah sekali menjangkiti mahluk lain.
Para zombie terdepan saling panjat tubuh rekannya yang sudah mati menumpuk di depan dinding, menjadi batu pijakan agar bisa naik setingkat lebih tinggi. Mereka bukannya sengaja melakukan itu karena pikiran dan intelejensia mahluk ini sangat rendah. Hanya apapun yang ada didepannya akan menjadi alat, diterjang dan diterpa dengan brutal. Apapun yang hidup akan menjadi mangsanya. Tapi entah bagaimana mereka mengkoordinasikan mereka ini tak menyerang mahluk ghaib lain yang sebarisan?
“Sampe berapa lama kita akan menonton aja?” tanya Kojek yang sebenarnya tak sabar lagi. Berlama-lama di daerah asing luas begini mungkin membuatnya merasa tak nyaman. Kami berdiri di atas perbukitan yang jauh sekali dari lokasi bukit gersang dimana kerajaan Istana Pelangi itu berdiri. Parit luas ini agaknya dulu adalah aliran sungai deras dan dalam yang kini sudah mengering. Di dalam aliran sungai kering inilah pasukan Lord Purgatory bergerak mengepung kerajaan Istana Pelangi. Pasukan musuh ini datang dari balik delta berbentuk bukit tinggi dimana kerajaan Istana Pelangi berdiri.
“Kita liat kondisi dulu, Jek… Sepertinya kerajaan itu bisa menangani pasukan lawan dengan baik… Koordinasi antar pasukan mereka cukup baik dan pertahanan mereka juga cukup lumayan solid. Apalagi mereka memang sudah bersiap-siap sejak kapan tau akan jadi target diserang begini…” kata Iyon yang kusetujui.
“Kalo kita ikut campur dan menyerang dari belakang juga kurang bijaksana… Karena belum ada perjanjian apa-apa antara kerajaanku dan kerajaan Istana Pelangi… Bisa-bisa mereka mengira kita hanya memanfaatkan situasi untuk ikut menyerang mereka dan makin memperkeruh suasana…” ujarku memberikan alasan utama kali ini kami hanya menonton dulu. Beberapa puluh titik api yang segera kukenali sebagai Banaspati geni melontarkan kepala berapinya menghantam dinding kokoh Istana Pelangi. Sepertinya mereka berhasil melakukan kerusakan yang cukup signifikan berupa jebol berlubangnya dinding itu di sana-sini. Pasukan Istana Pelangi kemudian terlihat dengan cepat berusaha menutupi lubang-lubang agar tak dimanfaatkan musuh. Agak aneh melihat mereka dengan cepat melakukan perbaikan itu.
Jenis Banaspati lain juga ikut terlihat dan sileweran kesana kemari turut serta menyerang. Banaspati banyu dan Banaspati lindu melakukan serangan khas mereka untuk melakukan kerusakan pada dinding agar para zombie bisa masuk ke balik dinding istana. Tujuan perang pasukan Lord Purgatory ini cukup sederhana, mereka mengedepankan pasukan zombie yang sulit mati tetapi tidak berharga di barisan terdepan. Kerusakan parah yang dengan cepat mereka sebabkan lewat teror horor yang menakutkan menjadi alasan utamanya. Siapapun termasuk peri takut tertular zombifikasi ini. Bila para zombie yang jumlahnya paling banyak berhasil merangsek masuk, urusannya akan menjadi lebih mudah.
Beberapa mahluk ghaib yang punya kemampuan terbang, membawa zombie mengangkasa lalu menjatuhkannya ke dalam perimeter pertahanan kerajaan Istana Pelangi. Mereka dari kalangan kuntilanak yang ada banyak sekali di barisan belakang. Diambilnya satu zombie dari barisan paling belakang dan dibawa terbang lalu dijatuhkan. Metode ini tentu saja tak luput dari counter pihak Istana Pelangi, kuntilanak ato zombie yang terbang itu menjadi target tembakan panah yang kunilai lumayan jago. Andai pasukan panahku sehebat itu bidikannya nanti, bukan mengandalkan hujan anak panah saja.
Ternyata kekuatan tempur para peri Kencana berambut pirang ini juga tidak main-main. Panah mereka bisa menembus kulit tebal para raksasa Batara Kala seperti kulit badak itu. Kemampuan lesakan panahnya mungkin setara dengan jurus tusukan penembus Ekadasa. Dan rata-rata pemanah mereka punya kemampuan itu. Tiap tembakan anak panahnya begitu terukur dan tepat sasaran.
“Apa kita gak langsung aja ke pimpinan puncaknya? Kita langsung hajar aja si Lord Purgatory ini… Kita selesaikan semuanya disini untuk selamanya… Kesal kali aku…” kata Kojek mengetatkan rahangnya.
“Menemukannya di antara pasukannya tidak susah… Astha pasti akan dengan mudah menemukannya… Tapi ya itu… dia pasti dikelilingi sama pengawal-pengawal terkuatnya… Entah ada berapa mereka… Dan kalo sekarang ini… kita hanya akan disuruh menghadapi para pengawalnya itu aja… Ingat dia juga punya gelar Maharaja sekarang… pengikutnya pasti loyal-loyal… Dan sudah pasti kita akan kerepotan…” aku melirik pada Astha yang menatapku. Aku tau apa maksudnya. “Cayarini juga pasti ada di sana…”
“Itu peri yang menyusup di kerajaanmu itu?” tangkap Iyon. Aku hanya bisa menghela nafas menyesal kenapa aku bisa kecolongan begini. Dia pergi setelah telur-telur miliknya dibuahi. Entah apa misi utamanya? Sekedar memata-mataiku hingga detil, ato sekedar mencari pejantan?
“Ya… Tak ada yang hilang saat ia pergi… Hanya saja… rasanya aku menyayangkan keputusannya… setelah sebegitu besar kepercayaan yang telah kuberikan padanya…” kataku memang sangat menyayangkan kejadian ini. Aku gak malu bisa kecolongan karena spionase di dunia manapun tetaplah subur. Mau di dunia nyata, mau di dunia ghaib. Tak ada bedanya.
“Jadi…?” desak Iyon.
“Aku lebih cenderung masuk ke kerajaan yang sedang diserang ini aja…” tunjukku ke arah kerajaan Istana Pelangi yang tetap kokoh berdiri walo diserang bertubi-tubi. “Di tengah kekacauan ini, lebih baik kita mencari kesempatan baik dengan mereka…” lanjutku menatap Iyon dan Kojek bergantian.
“Kerajaan Istana Pelangi sekarang ditutup total, baginda… Jalan yang dulu hamba gunakan-pun sekarang tak berguna lagi…” kata Astha memberanikan diri memberi pendapat.
“Zombie-zombie itu bisa masuk ke dalam dengan mudah dari udara…” kata Kojek menatap pertempuran itu.
“Itu artinya tak ada pelindung yang mencegah B3-ku masuk ke sana…” kata Iyon menyadari rencanaku dengan menggosok-gosok tapak tangannya tak sabar lagi. Itu maksudku. Bila tak ada pelindung ilmu sejenis milik Iyon ini, ilmu yang dengan instan mengantarkan penggunanya ke tempat yang dituju, kami akan dengan mudah melenggang masuk ke kerajaan itu.
“Tapi kita perlu penyamaran… Apalagi mahkota bertandukku ini akan sangat menonjol sekali…” aku beralih pada Astha untuk meminta saran menyamar darinya. Dia tentu lihai sekali dalam urusan itu. Ia bisa masuk ke kerajaan Laut Biru dan kerajaan Istana Pelangi berturut-turut. Ia mengangguk menyanggupi permintaanku.
——————————————————————–
“Apakah ini tempat yang pantas, baginda?” tanya Astha takut-takut. “Da~~n… apakah penyamaran baginda tidak keterlaluan?” ia melirik pada berbagai aksesoris yang kugunakan untuk menyamar dalam rangka menyusup masuk ke kerajaan Istana Pelangi. Ia takut aku gak terima diarahkan untuk memasuki tempat ini.
“Gak pa-pa, Astha… Jangan khawatir kek gitu… Cup-cup…” kataku malah mengecup kedua pipinya bergantian untuk membuatnya lebih tenang. Alhasil ketua kelompok pemburu itu malah memerah pipinya. Peri manis janganlah dicium sayang, kalau dicium marahlah rajanya. Wkakakak.
Saat ini kami sedang menyamar sebaik-baiknya dengan berusaha terlihat seperti peri Kencana yang berambut pirang. Rambut pirang didapat dari menggunakan rambut muda jagung. Rambut kami bertiga yang pendek-pendek dengan mudah ditutupi tumpukan rambut jagung itu berlapis-lapis tapi alhasil kami jadi kek orang-orangan sawah yang bertetek sumpalan beberapa buah-buahan. Lalu baju rombeng panjang yang mencoba mengiaskan kami sebagai warga kelas bawah di kerajaan ini. Tempat kami muncul setelah menggunakan jurus Bayangan Bunga Bujur Iyon yang dengan memasukkan kami dengan mulus disini, adalah gorong-gorong lebar yang ada di bawah tanah kerajaan Istana Pelangi. Dari tempat inilah Astha keluar dan masuk kerajaan ini. Karena inilah Astha merasa khawatir aku berada di tempat yang kotor ini.
Tapi yang namanya-pun gorong-gorong untuk pembuangan air, tempat ini relatif lumayan bersih dan teratur. Gak ada bau-bau aneh yang mengesankan kalo ini tempat yang kotor. Heran aku juga gak pernah tau bagaimana para peri buang air. Dan aku juga tak pernah menemukan toilet, kakus ato lubang tinja di kerajaanku. Di istanaku juga tak ada benda seperti itu. Heran juga. Jadi kesan kumuh yang tertangkap hanyalah karena lembab kurang cahaya dan tak tersentuh kegiatan pembersihan yang sangat lama. Sawang laba-laba tebal yang banyak menghiasi tempat ini dan itu kuanggap biasa.
Astha lalu mengarahkan kami menelusuri gorong-gorong ini. Di belakang sana harusnya ada lubang dimana dulu dia keluar-masuk tetapi sudah tertutup tembok darurat perang sekarang. Susunan kerajaan ini sangatlah teratur dan apik. Dari atap gorong-gorong ada bias cahaya yang merupakan lubang aliran air hujan di jalanan hingga kerajaan yang berada di tempat terbuka ini gak akan kebanjiran kala diterpa hujan deras. Lalu ada banyak lubang di dinding yang mengalirkan air bekas ke sistem drainase, agaknya ini saluran dari bangunan-bangunan di atas sana. Tempat ini cukup modern. Entah siapa yang merancangnya dan itu sangatlah cerdas.
Lalu kami menaiki tangga yang mengarah ke permukaan. Terlihat ada pintu yang tertutup rapat di sana. Di sini aku baru menyadari betapa kuatnya kerajaan ini melihat mekanisme penguncian ini. Pintu kayu kokoh ini telah dikunci dari luar dengan semacam mekanisme putar yang rumit dengan berbagai roda gigi rumit saling taut satu sama lain. Sepertinya darurat perang mengaktifkan mekanisme pengamanan ini hingga memastikan semua aman dari susupan musuh ato pihak yang tak berkepentingan. Dari luar dilarang masuk. Kalo sudah diluar jangan harap bisa masuk.
Ia hanya bisa bersungut-sungut buntu. “Maaf baginda… Pintu ini biasanya mudah dibuka… Tapi kali ini terkunci…” kecewa Astha. Iyon menyeruak mengambil tempatnya dan mencoba mengintip dari celah papan pintu yang kokoh. Harusnya dengan mudah kami dobrak, tapi itu akan menarik pasukan yang sedang sibuk berperang di luar sana.
“Diluar cukup sepi… Bisalah sekali lagi kita B3 ke balik pintu ini…” kata Iyon bersiap-siap kembali menggunakan jurus andalannya itu. Asalkan ia tau harus menuju kemana lewat visual, itu sudah cukup baginya. Astha kebingungan tapi tetap menyentuh punggungku untuk ikut bersama sobatku berpindah tempat menggunakan jurus Bayangan Bunga Bujur sekali lagi. Dengan cepat-instan kami sudah ada di balik pintu dengan selamat. Tapi kami cepat-cepat bergerak menjauh tak perlu celingak-celinguk mencurigakan karena ada se-regu pasukan bersenjatakan tombak berlari-lari kecil melewati tempat ini.
Kami tentu berusaha mengintip penampilan peri Kencana ini. Ini pertama kalinya kami melihat sosok peri Kencana secara langsung. Rambut pirang mereka yang segera menjadi highlight utama. Mengambil semua perhatian. Kulit putih mereka menjadi lebih kinclong akibatnya. Para prajurit bertombak ini tak memakai pakaian melainkan sejenis seragam jirah yang seperti terbuat dari bahan emas. Dalam kondisi berlari-lari kecil begitu, masih terlihat juga guncangan dada mereka di balik jirah yang mayoritas melindungi bagian dada dan perut. Pasukan itu berbelok di sebelah sana ke arah dinding terluar dan langsung berteriak-teriak pada barisan ratusan pemanah yang sedang memanah barisan zombie di bawah sana.
“MUNDUR!! MUNDUR!! MUNDURRR!! ANGIN AKAN MENERJANG!!”
Begitu teriak para pasukan bertombak ini pada pasukan panah. Pasukan yang baru tiba ini lanjut berlari berkeliling untuk menyampaikan perintah mundur ini. Kenapa para pemanah diperintah mundur? Apakah mereka akan menyerah? Ato akan ada serangan dengan metode lain? Ratusan pasukan berpanah yang tadinya berbaris di tepian dinding segera mundur membentuk barisan rapi, berlari kecil balik ke dalam istana dimana semua warga kerajaan ini berlindung mengungsi.
“Kenapa mereka?” tanya Iyon bertanya pada Astha. Astha hanya perlu menunjuk pada salah satu menara transparan berbentuk pedang itu sebagai jawabannya.
“Kita harus menjauh dari dekat menara itu, baginda… Ini senjata terkuat kerajaan Istana Pelangi… Mereka akan menciptakan badai untuk mengusir musuh menggunakan kelima menara itu, baginda… Angin tornado!” seru berbisik Astha.
“Alamak!”
Bersambung