Part #92 : Cayarini
Kutindih tubuh Cayarini yang menggelinjang liar. Kami berdua masih memakai bawahan. Ia dengan celana dalam minim itu dan aku celana pendek selutut tanpa sempak. Aseng junior udah mengacung keras tetapi masih berbungkus. Lidahku bermain-main di sekitar payudara menggodanya yang tak tertutup bra mungilnya lagi. Gemas aku mempermainkan putingnya bergantian kanan kiri.
“Aaahhh… Auuhh…. Ssshhh…” desah desis Cayarini menikmati perlakuanku pada bagian dada menggodanya yang berukuran lumayan besar peningkatannya dari sebelum mempunyai pakaian. Remas-remas-kenyot kuulangi lagi dan lagi tanpa bosan. Sruput-sruput rakus mulutku membuat payudaranya becek basah oleh ludahku, berputar-putar, menguas, mengoles, membasahi, menikmati.
Sementara itu kakinya mengembang terbuka didesak tubuhku yang semi menghimpitnya. Perutku bisa merasakan lembab bagian selangkangannya yang semakin menguarkan aroma pinus itu lebih banyak. Tanganku bergerilya, melata dari samping dadanya, pinggang, paha dan berakhir di antara kakinya. Kuelus-elus permukaan basah celana dalam mungil itu yang menyebabkan gerakan Cayarini makin liar saja. Pantatnya terangkat berulang-ulang dengan kepala ikut terombang-ambing merintih menikmati rasa gatal dan geli nikmat yang menggoda silih berganti.
Pasrah saja ia saat tali tipis itu kutarik melewati kakinya hingga cawat mungil itu meninggalkan kedua kakinya yang naik lurus ke atas. Kutahan kedua kakinya yang berpaha gempal, betis bernas dan kuat. Lidahku melata di betisnya, menyebabkan peri Candrasa itu merintih-rintih kegelian. Kakinya bergoyang-goyang. Hanya dengan satu tangan, kupegang kedua pergelangan kakinya bersilang tetap terangkat sementara aku berkarya melukis betisnya dengan tinta ludahku.
Tanganku yang satunya menclok di belahan indah di antara pangkal kakinya. Mengelus-elus daging lembut setumpuk yang begitu menggairahkan. Jempolku menyeruak membelah dan terhenti oleh tonjolan kecil yang pasti kacang itilnya yang menegang. Kugosok-gosok pusat semesta kenikmatan itu pelan-pelan membuat sebuah gerakan tornado kaki Cayarini berputar-putar kegelian dengan erangan merintih melolong.
“OOoooouuoohhh…”
Pangkal jempolku serasa basah karena disemprot cairan sedikit kental akibat orgasme tiba-tibanya hanya karena dikobel jari begini. Ia hanya lemas pasrah kakinya diangkat sedemikian rupa. Kuturunkan sedikit hingga lututnya berpisah dan kakinya membuka dan aku bisa melihat wajahnya yang kacau, gundukan payudara menggodanya, perutnya yang kembang-kempis tak karuan dan tumpukan kemaluan yang menggairahkan—merah merekah basah dengan aroma pinus segar.
Gosok-gosok jempolku tak berhenti, hanya lebih perlahan lalu berganti pada melebarkan vaginanya. Lubang sempit yang terlepit dibalik bibir kecil minoranya mengintip imut, basah becek oleh cairan yang beraroma asam segar pinus. Mulutku beralih dari betis ke arah pahanya yang semakin melebar dan akhirnya kulepas terpisah. Aku lebih menikmati paha kanannya. “Nyam-nyam-nyammm…” lidahku menari-nari kembali menjilat-jilat pahanya yang gempal, menyedot-nyedot hingga sang peri merintih tak tahan.
“Ahhh… Bagindaaa… Baginda! Ahhh… Auuhhh…” erang rintihannya memenuhi ruangan kerajaanku ini. Rakus kujilati paha kanannya sementara jari-jariku juga sibuk bekerja mempreteli kemaluannya. Jari tengahku sudah menusuk-nusuk masuk liang kawin sempitnya yang menggigit erat. Basah dan panas liangnya kusodok terus memancingnya agar terus merasakan kenikmatan ini. Lidahku semakin turun dan tiba di pangkal. Ujung lidahku tiba di lipatan antara pangkal paha dan awal bibir luar vaginanya. Teksturnya lembut seperti seharusnya, basah aroma pinus tentunya.
“Ssrruuutt…” mulutku langsung tergelincir dan mencaplok vagina menggairahkan itu dan merangkumnya dalam satu cakupan mulut. Semua vaginanya masuk ke bukaan mulutku yang rakus memakan semuanya. Lidahku langsung mengarah dan menerobos masuk ke liang kawinnya sementara hisapan kulakukan dengan mencucup. Kacang itilnyaa mengerucut tertarik dan menyebabkan lonjakan meledak dari seperi Candrasa yang sudah tak karuan lagi keadaannya. Meliuk-liuk tubuhnya menikmati permainanku.
“Bagindaaahhh… Baa-bagindaaahh… Jyaahhh… Gggaahh… Uuhhh… Auuhhhh… Ohhkk…”
Tak terperi lagi apa yang sedang dirasakannya saat ledakan-ledakan kecil itu berdampak besar bagi tubuhnya. Tanpa malu-malu apalagi ragu mengepit kepala seorang raja dengan kakinya yang gempal. Berkelojotan tubuhnya seperti ayam sakaratul maut. Meliuk menyamping, bokong menjulang terangkat, dan vagina mengucurkan sekresi cairan jus asam aroma pinus yang banyak. Membanjiri ranjang kerajaanku, menggenang.
Lemas, lunglai kakinya terbentang lebar tanpa merasakan apa-apa kecuali deburan kencang after taste yang masih berputar-putar di dalam tubuh. Perut dan dadanya naik turun untuk bernafas. Kubiarkan ia ngaso sejenak sementara aku menyiapkan diri sendiri. Kusempatkan menjenguk sebentar ke bawah ranjang untuk melihat Astha. Ia masih membekap mukanya dengan kaos milikku dan tangan menutup kedua telinganya. Kakinya masih rapat mengapit. Nafasnya masih kembang-kempis seperti tadi.
Celana pendek selututku, kalo mau kau ambil—ambil aja.
Merayap di atas tubuh Cayarini yang mulai pulih tetapi matanya masih berkabut oleh birahi. Apalagi orgasme dahsyat barusan masih melumpuhkan beberapa logikanya. Kuciumi pipinya, bibirnya kupagut sebentar, bibirnya kutarik-tarik lalu lidahku menyeruak masuk. Ia pasrah aja. Lalu bergeser ke arah payudara menggodanya dan mencucup putingnya. Cayarini menggeliat. Entah karena enak dari payudaranya ato dari benda keras pejal yang menggesek pinggiran vaginanya.
Tanganku mengarahkan Aseng junior mencari sasaran tembaknya. Kuoles-oleskan obat mujarab untuk membuahi telur-telur peri di dalam tubuhnya. Matanya membelalak terbuka sekarang menyadari apa yang berikutnya akan terjadi. Ia bersiap-siap menerimaku dengan mengangkat kakinya tetapi kutepiskan usahanya itu agar tetap terbuka selebar mungkin. Ini demi dirinya juga. Kutatap matanya sambil terus mempermainkan putingnya dengan mulutku. Aseng junior sudah berada di posisinya.
“Uhh…”
Dorong pelan-pelan tanpa ditarik. Meluncur masuk memanfaatkan licin cairan harum pinus itu. Cayarini memejamkan matanya dan menggigit daging dalam pipinya. “Blossshhh…” seluruh batang Aseng junior bercokol masuk dan itu rasanya penuh sekali memenuhi liang kawinnya. Mulutnya ganti membuka dan mata juga terbuka.
Tak ada suara keluar dari mulutnya.
Entah shock ato pingsan? Liur mengalir dari dalam mulutnya. Liur kental. Terasa gerenyam-gerenyam memijat di dalam liang kawin Cayarini yang menandakan kalo peri Candrasa ini masih hidup dan sadar. Kupagut mulutnya dan menyedot-nyedot liurnya. Wajah cantiknya kujilat-jilat hingga matanya berkerjab-kerjab. “Uhhh…” ia mulai membalas permainan mulutku. Aseng junior masih berdiam diri di dalam liang sempit menggigitnya. Ia masih berleha-leha di dalam kehangatan liang basah barunya.
“Bagindaa…” erang manja Cayarini memelukkan tangannya di leherku. “Akhh…” keluhnya saat Aseng junior kutarik sedikit lalu kutusukkan masuk kembali. “Enaak, bagin~~dahhh~~AAhhh…” kuulangi lagi tusukan pendek. Hingga beberapa kali dalam keadaan tubuh rapat begini. Walo rapat, kami tak memperdulikan ganjalan benda yang bertindak sebagai kalung menggantung di leherku. Telur peri Anaga mungil itu masih menjadi kalung. Tergencet diantara belahan dada Cayarini.
Kugenjot-genjot tubuh montoknya kini dengan kecepatan rendah. Merasakan sempit basah liang kawinnya sembari mengecup pipi, bibir dan dagunya. Cayarini memejamkan mata meresapi persetubuhan yang bertujuan membuahi 99 butir telurnya. Ia pasrah aja bibirnya kupagut, kukulum dan kugigit. “Cplok cplok cplok cplok…” suara becek Aseng junior yang keluar masuk pendek-pendek. Kantong pelerku berkali-kali membentur pangkal pahanya karena jarak yang kuambil belum banyak.
Waktuku masih sangat banyak. Mungkin kesabaran Astha yang sedang terancam di bawah kolong sana. Ia menutup kedua telinganya agar tak mendengar persetubuhan liar kami ini dan menutup matanya dengan kaosku. Remas-remas dan pilin-pilin puting payudaranya kutambahkan pada rangsangan tubuh Cayarini. Jarak tetap kupertahankan hanya saja tempo ditambah lebih cepat satu gigi. Itu membuatnya mengaduh lebih sering dengan kepala geleng-geleng.
“Ahhh… Ahhnn… Auhhhsss…. Ahhh… Mmm…”
“Ehnaakk? Enaakhh, gaaakhh?” tanyaku dengan bibir kami saling bersentuhan di antara guncangan tubuhnya. Putingnya bergesekan di dadaku dan kalung telur peri Anaga tergencet. Untung ada keranjang kokoh yang melindunginya.
“En~~enaaakhh… Enaaakh… Enak, bagindaaahh… Oouuhh…” jawabnya susah payah. Tangan palsu terbuat dari besi hitamnya terasa mengusap-usap punggungku. Tempo yang semakin cepat kulakukan bertambah cepat lagi dengan jarak kocokan yang semakin panjang. Kutarik sampe setengah batang Aseng junior keluar masuk. Cayarini makin meradang parah. Gelengan kepalanya makin berantakan. Liur dari mulutnya makin deras mengalir seperti mata air. Juga terasa becek aliran jus pinus itu dari liang kawin vaginanya. Aroma segar pinus semakin mengharumkan ruangan kerajaanku ini.
Makin mabuk aku akan kenikmatan ini. Aku seperti gak perduli lagi akan jumlah telur Cayarini yang baru mencapai 99 butir saja. Persetan dengan jumlahnya yang nanggung itu. Aku mau kenikmatan aja. Itu juga yang dirasakan peri Candrasa tunggal ini. Kami mabuk dengan kenikmatan seksual saja. Tak ada hal lain yang lebih penting daripada kenikmatan ini. Harus dipuaskan! Harus dituntaskan!
“Akkkhhh!!” tubuh Cayarini berkejat-kejat mengejang. Bokongnya terangkat hingga selangkangan kami rapat berhimpitan. Aku seperti membentur sisi terdalam liang kawinnya dan membentur beberapa butiran benda keras di dalam rongga dalamnya. Apakah itu para telur yang tersimpan di dalam zenith misterius seumpama rahim yang misterius itu?
Cayarini mengerang tertahan bergetar-getar untuk beberapa saat dan kemudian diam dengan nafas tersengal-sengal. “Ahhh ahhh ahhh…” suara tarikan nafasnya berat dengan mata masih berkabut dengan kepuasan penuh orgasme barusan. Kakinya mengangkang lebar dengan kelamin kami masih saling terhubung erat. Tangannya terbentang pasrah akan kuapakan saja. “Uuhh…” pelan-pelan Aseng junior kugerakkan lagi keluar masuk. Rasanya makin basah, becek tapi tak kurang sempitnya. Tetap menggigit seperti awal tadi.
“Bagindaaahh… aahh… Su-sudah… sudahh bertambaaahh… tiga buuutir-aahhh lagiiihh… uhh…” erangnya menahan nafas untuk berucap.
“Nambahh… tigaa?” jawabku disela-sela genjotanku pelan-pelan.
“Hee-emmhh… Uhh… Uuhhh… Euuhh… Satu laaggii… bertambaaahhh… aahhh…” erangnya bergerak-gerak menggemaskan. Kok bisa ya bertambah seenaknya begitu. Berarti sekarang sudah 103 butir telur di tubuhnya—mungkin di perutnya. Apa ada kaitannya dengan gerakan menggenjotku ini. Gesekan-gesekan kelamin kami merangsang penambahan jumlah telur di dalam perutnya. Sejauh ini gerakan yang kulakukan pelan-pelan dan stabil begini saja sejak terakhir ia orgasme tadi. Tidak grasak-grusuk dan itu yang sangat dinikmati Cayarini dan aku juga menikmatinya.
Bagaimana kalo aku terus mempertahankan tempo ini, akankah ada penambahan lagi?
“Oouuhh… ouuhh… aahh… Baginndaahh… Ini nikmat sekaali… emhhh… Bertambah lagi… ahhh… Laggiihh…” erangnya sambil memegangi perutnya. Aseng junior sudah makin bersalut cairan beraroma pinus encer ini. Aroma segar yang membuat nafasku lancar dan semangat berkobar. Ia berulang-ulang menyebutkan penambahan telur miliknya. Kalo tau begini caranya, udah dari kemaren-kemaren aja kugasak si Cayarini ini.
“Kkennapaa… kenaapa tidak dari awall sajaahh-uuhh… Kenapa baruu sekarrraangghh…” ia juga ternyata sama menyesalnya. Seharusnya ia sudah menikmati ini dari awal. Banyak sekali hal yang tak diketahui tentang peri-peri ini. Bentar lagi entah apa lagi yang bakalan terungkap. Entah-entah ternyata rupanya peri Candrasa ini adalah keturunan manusia pulak hingga harus mengeram 9 bulan. Mampus aja. Apalagi kalo-kalo ternyata rupanya peri Candrasa ini transgender. Entah hapa-hapa aja kao! Paok.
Genjot-genjot gigi pelan begini lama-lama membosankan pulak jadinya. Tapi dengan begini, penambahan jumlah telurnya makin meningkat cepat. Sudah ada penambahan 50+ telur. Aku hanya harus terus bertahan dan bersabar mempertahankan kecepatan ini. Aseng junior sebenarnya udah pengen cepat-cepat aja tancap gas yang membuatnya segera muntah—huek-huek. Dan itu pasti akan sangat asooooi kali rasanya. Permukaan ranjangku sudah basah oleh banyaknya cairan jus aroma pinus dari kemaluan Cayarini yang tumpah menyebar. Aroma kamar ini juga semerbak oleh aroma segar itu.
Cayarini mendesah-desah berbagai irama dan tonasi. Semenjak tadi ia sudah orgasme lagi dua kali lagi. Aku harus mencabut Aseng junior dan menyeka batangnya untuk mengurangi cairan jus pinus itu. Permukaan ranjangku jadi korban untuk membersihkannya lagi. Kutusuk masuk dan genjot perlahan lagi…
“Apakah… bagindaahhh… mau hinggaa duaa ratusss? Uuhh… Ahhh…” tanya Cayarini yang sepertinya tau rencanaku ini karena penambahan telur rutin dan stabil terjadi. Aku jadi tau persis tempo seperti apa yang dibutuhkan tubuh Cayarini untuk mengeluarkan telurnya secara cepat. Aku mengangguk membenarkan. Mukaku pasti sudah merah padam menahankan birahi pengen segera ngecrot.
“Sudah dua ratus dua butir, bagindaaahh… Aaahh… Ahk…” ungkapnya dengan lidah melet-melet berliur dan mata berkabut.
“Benarkah?!” girangku. 202… Cayarini mengangguk sambil memegangi perutnya yang penuh dengan telur-telur peri Candrasa berharga walo terlihat masih rata aja. Cantik, berambut hitam, bentuk paling dekat dengan manusia yang seutuhnya—seperti dirinya. Dengan begini, aku bisa menggasaknya sesukaku sekarang. Kubalik tubuh montoknya yang berbaring telentang menjadi telungkup lalu menungging. Pasrah ia kubolak-balik begini. Kemudian kusodok kembali.
“Ouuhh…” rintihnya panjang seiring Aseng junior menusuk masuk menancap dalam hingga mentok dan… Segera kugasak cepat. “Ah ah ah ah ah…” Berguncang-guncang tubuh Cayarini yang kupegang dibagian pinggangnya penuh vitalitas. Hentakan-hentakan penuh rasa kangen setelah tadi cukup bersabar dengan tempo monoton demi jumlah telur yang ditargetkan. Aseng junior melesak keluar masuk dengan riangnya di dalam liang kawin becek licin ini. Telur mungil peri Anaga juga ikut berguncang-guncang di dadaku.
Hentakan demi hentakan bertemunya perutku dan belahan bokong montok kenyal Cayarini membuat suara tepuk erotis yang melodius di kondisi dramatis ini. Cayarini menjerit merintih melenguh keenakan disertai gerutuan puji dariku akan kenikmatan yang kurasakan. “Plok plok plok plok…” menghentak, menuntut pelampiasan, mengejar, mengharap kenikmatan.
Tak ada lisan yang keluar dari mulutnya selain erang dan rintihan. Ia hanya bisa pasrah saja kugenjot terus menerus di posisi doggie ini dengan kecepatan suka-suka hatiku aja. Balas dendam kecepatan pelan yang cukup monoton tadi, yang harusnya kusyukuri bisa menambah jumlah telur miliknya secara signifikan sesuai target. Sekarang sudah mencapai 200-an yang diinginkan di awal. Genjotan Aseng junior makin kerasa enak. Aku sendiri juga mengerang-ngerang. Mengaduh-ngaduh tak dapat menahan lebih lama lagi…
“Aahh… Ahhh.. Cayaa… Cayaa… Cayariniiii… Uhk…” kulesakkan Aseng junior sedalam-dalamnya. Ini untuk membuahi semua telur-telur matang di dalam tubuhmu, Cayarini. Terimalah semua bibit suburku. Yang telah terbukti menghamili belasan binor dan membuahi telur rekan-rekan perimu hingga menghasilkan ratusan telur peri muda yang sudah belajar berperang.
“Croott crrooott croott…”
“Aaakkhhh…” kami berdua sama-sama menikmati puncak kenikmatan bersetubuh ini berbarengan. Kejat-kejat tubuhnya menerima curahan cairan kental menyemprot dariku. Aku menikmati plong dan luar biasanya rasa yang menyelimuti sekujur tubuhku saat ejakulasi.
Rasanya super enak sekali. Emmh… Rasanya gak rela ini segera berakhir cepat-cepat. Kalo bisa dilanjut lagi dan lagi aja. Tapi, telur-telur ini biasanya akan langsung keluar setelah selesai dibuahi. Ogah-ogahan aku mencabut Aseng junior dari vagina legit sempit Cayarini. Ada sedikit sperma kental yang mengalir keluar, sedikit aja. Sebisa mungkin aku mundur dan turun dari ranjang meninggalkan tubuh telanjangnya yang masih menelentang dengan kaki terbuka lebar dan kepala mendongak abis diencrotin deras barusan.
Aku menunggu kejadian berikutnya. Kejadian keluarnya telur-telur berjumlah dua ratusan itu dari kemaluan Cayarini. Dari keadaan saat ini, aku berkesempatan menyaksikannya dari jarak dekat. Pasti kejadiannya akan sangat fenomenal sekali ratusan telur itu keluar satu per satu dari liang sempit yang baru saja ditusuk-tusuk Aseng junior-ku.
Ayo… Ayo… Keluarlah. Keluarlah telur-telur yang imut. Aku sudah membuahi kalian tadi. Sekarang giliran kalian yang keluar dan menyapa dunia ini.
Tapi tak kunjung terjadi apa-apa. Aku hanya menyaksikan dada dan perut Cayarini yang masih kembang-kempis menarik nafas berat. Permukaan kemaluannya yang terkembang membuka dengan cairan beraroma pinus yang mulai mengering. Berkali-kali aku beralih menatap wajahnya. Ia masih memejamkan mata seperti tertidur dengan nafas masih sedikit berat. Aku terus menunggu. Menunggu di tepian ranjang, bertumpu pada kasur dengan kaki berlutut di lantai. Tetap menunggu kejadian yang sudah berkali-kali kusaksikan. Kenapa kali ini berbeda?
“Cayarini… kenapa telur-telurmu gak keluar-keluar? Ada masalah?” tanyaku tentu aja heran. Heran kali-pun.
“Hhumm… Baginda… menunggu telur-telur hamba ini keluar?” jawabnya setelah mengerjab-ngerjabkan matanya plus malu-malu udah menelantarkan aku sedemikian lama, membuatku menunggu. Ia mengatupkan kakinya yang terbentang, terkangkang lalu diluruskan. Tangannya menutup permukaan kemaluannya seolah sedang menekan bagian perutnya. Tangannya yang lain berada di belahan dadanya, mungkin hendak menutupnya juga tapi tak bisa.
“Ya… Biasanya… telur-telur itu langsung keluar setelah selesai kubuahi… Aku gak melakukan kesalahan, kan?” tanyaku yang benar-benar heran bin bingung. Pada peri Padma, peri Dawala, peri Aruna, peri Asti caranya sama—keluar setelah dibuahi.
“Mmm… Seharusnya begitu, baginda… Tetapi hamba lebih memilih menyimpan telur-telur ini di tubuh hamba saja dulu untuk sementara… Kami peri Candrasa sangat terbiasa dengan kegelapan… Keluar di tempat yang terang benderang seperti ini… sepertinya mereka akan rusak, baginda…” jelas Cayarini. Masuk akal, sih. Peri-peri sebelumnya tak ada masalah dengan terangnya dunia dan berbeda dengan mereka, peri Candrasa preferensinya kegelapan minim cahaya. Di dalam sana seharusnya tetap gelap dan sesuai dengan habitat asli mereka. Mungkin…
“Eh?”
“Mmm… Sebaiknya hamba… kembali ke ruangan bawah tanah kami saja, baginda… Mungkin disana mereka—telur-telur ini mau keluar… Kondisi gelap di sana lebih memadai bagi kami…” katanya mengutip celana dalamnya yang menggantung di tepi ranjang. Ia mengusap-ngusap sisa lembab jus aroma pinusnya yang mencemari ranjangku dengan pandangan malu dan serba salah. Ia mau cepat-cepat pergi dari kamarku ini.
Aku setuju dengannya. Dia harus segera keluar dan aku tak ingin menahannya.
Di dekat pintu ia berhenti demi melihatku yang tetap berlutut di tepi ranjang seperti tadi. Ia pasti bertanya-tanya, kenapa baginda raja berlutut seperti itu? Ia mengendus udara sebentar lalu menutup pintu rapat.
Cemana aku gak terus berlutut kek gini kalo ada satu mulut yang sedang nyepongi si Aseng junior dengan lahapnya. Sosok yang berada di bawah ranjang dengan tujuan awal sekedar ngumpet, merubah rencananya dan malah memasukkan si kontol junior ini ke dalam mulut rakusnya. Basah dan hangat terasa nyaman sekali menyedot-nyedot, menjilat-jilat dan mempermainkan Aseng junior. Abis bersenang-senang hingga ngecrot di liang kawin Cayarini barusan, disambung disepong Astha.
Kutarik tubuhnya keluar dari kolong ranjang hingga ia merangkak menungging menjauhi bawah ranjang yang lumayan sempit itu. Ia tak sedetikpun melepas Aseng junior dari kekuasaan mulutnya. Seperti kerbau yang dicocok hidung, Astha ikut kemauanku. Liur beraroma mawarnya mulai tercium wangi. Sepertinya pemimpin kelompok pemburu ini dalam masa birahi juga. Entah salah siapa ini. Salahku membiarkannya ngumpet di bawah kolong. Salahnya kenapa harus ngumpet di sana. Salah Cayarini kenapa menawarkan mematangkan telurnya. Salah si kontol Aseng junior yang suka lobang enak. Yang betol cuma Upin-Ipin. Tol-betol-betol.
Elus-elus rambut Astha yang sedang getolnya menikmati kepala Aseng junior disedot-sedotnya. Lidahnya berkali-kali menjilati lubang kecil di ujung kepala penisku. Ia sudah membersihkan semua sisa persetubuhan dari spermaku dan sisa jus aroma pinus Cayarini. Dengan kedua lututnya ia menopang tubuhnya dan kedua tangannya memijat dan mengocok Aseng junior.
“Astha… Apakah kau sedang birahi juga?” tanyaku terus mengelus-elus rambutnya semesra mungkin. Matanya menatap sayu padaku. Mulutnya yang mungil tak sanggup menelan batang Aseng junior yang mengembang kembali setelah dirangsangnya sedemikian rupa. Hanya bagian kepala gundul Aseng junior yang sanggup dipermainkannya. “Keluarkan lidahmu seperti ini… Hllee… Naaah…” alhasil kusumpal mulutnya lebih dalam dan ia gelagapan.
“Mbb…” batang Aseng junior melesak lebih dalam karena ruang sempit yang tadi berisi lidah tebalnya, sekarang lebih longgar hingga memungkinkan dimasuki lebih banyak muatan lagi. Matanya melotot dan tangannya mencengkram pangkal pahaku. Kupompa pelan-pelan mulutnya.
“Ahhhh… Enaknya, Asthaaa… Uuhh…” kuentoti mulut peri Aruna ini yang terperangkap dalam nafsu birahinya sendiri yang tanpa sadar telah mematangkan telur miliknya. Pompaan pelan-pelan sangat terasa menggesek bibirnya dan permukaan lidahnya. Rasanya kek ngentoti vagina sempit aja. Remasan mencengkramnya pada pahaku lebih melonggar dan ia lebih rileks sekarang karena ia mulai menikmati ini.
Dari aku bergerak memompa mulutnya, sampe sekarang Astha yang mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat, rasanya sudah alang kepalang nikmatnya. Dari bertumpu di lutut dan ia menungging, aku kemudian berdiri dan ia bertongkat lutut, sepongan basah becek berdecak-decaknya terus lanjut. Astha makin piawai memanjakan Aseng junior-ku. Kupuji-puji kepintaran dan kedahsyatan permainan oralnya hingga aku duduk di tepian ranjang, beringsut naik, hingga tiba di tengah ranjang yang masih lembab oleh pertempuran sebelumnya. Astha terus mengikutiku seolah Aseng junior terpancang erat di mulutnya.
Memancing pemburu ke tengah ranjang itu sangat berbahaya. Bisa saja ia menyerangku dengan cepat lewat insting berburunya yang kental. Prinsip kelompok pemburu yang lebih mementingkan hasil akhir apapun caranya bisa sangat dahsyat dan tak terduga kontemplasi usahanya. Sebisa mungkin aku harus menetralkan dulu insting berburunya. Saat ini Aseng junior adalah hasil buruannya. Harus dijauhkan, setidaknya dialihkan.
Ia yang membenamkan mukanya di selangkanganku, tergila-gila akan hasil buruannya yang ditemukannya bergantung menggemaskan di depan matanya paska ngecrot pada Cayarini tadi, harus dilepas dengan rela ketika tanganku menarik kepalanya. Membelokkannya pada buruan baru yang lebih tinggi nilainya. “Muucchh….” kupagut mulutnya yang basah oleh liurnya sedari tadi. “Muaahh… sllhhk…” kuluman basah menggunakan lidah yang berbelit-belit kuajarkan padanya. Ia cepat belajar dan mengembangkan sendiri tekniknya.
Dengan cepat ia menguasai tubuhku dan menindihku. Ia menindih tubuh rajanya sendiri dan ia tak perduli. Ia sangat menyukainya. Astha lebih agresif dari peri manapun saat ini. Tidak Eka, Dwi dan Tri. Tanganku yang gerayangan hendak menyentuh payudara padat yang terbungkus pakaian ketat merah ini ditepisnya dan diletakkannya di samping tubuhku, dengan pesan: Jangan sentuh sembarangan! Ini kejutan tapi aku tak keberatan. Aku buka pria gila hormat kek gitu.
Terus dipagut dan dilumatnya mulutku dengan becek dan basah. Lidah berbelit-belit bak dua ular saling tarung hidup mati. Aku menopangkan kedua tanganku di bawah kepala, menjadi bantal. Aku harus diam aja menikmati apapun yang ditawarkannya. Membiarkannya berkarya dan bekerja. Membiarkan perempuan kuat melakukan apa yang dia mau kadang lebih menggetarkan jiwa. Banyak kejutan menegangkan yang bisa didapat.
Ia menguasai mulutku terus sampe lama seperti telah menguasai Aseng junior sekian lama tadi. Ia menikmatinya sepuas mungkin sampe satu tangannya menggapai turun, mencari-cari benda kekuasaannya tadi. Ia segera menemukan Aseng junior lagi dan langsung meremas-remasnya dengan rasa gemas. Bibirku bahkan digigitinya berkali-kali selagi meremas-remas gemas. “Huuhhh… huuhhh… huuhh…” hembusan nafasnya berat tetapi akan berujung kemanakah tindakannya ini? Akan berakhir pada persetubuhan? Itu kemungkinan terbesar saat ini mengingat birahi yang menguasai kami berdua saat ini. Ato ada kemungkinan lain?
Dari tadi, ia sama sekali tak melanjutkan kemanapun seperti melepaskan pakaian merah ketat miliknya yang telah meng-upgrade tubuhnya sedemikian rupa menjadi montok semok begini. Seperti biasa aku gak banyak pikir ketika menghadiahkan pakaian pada mereka saat itu. Kalo kurasa cocok, kuserahkan tanpa memikirkan implikasinya belakangan. Tetapi pakaian miliknya ini sepertinya cocok dengan spesialisasi pekerjaannya sebagai pemburu. Ia bisa bergerak dengan ringkas, cepat dan efisien dengan pakaian model begini—ketat dan seksi.
“Uuhh… uhh…” aku merasakan rasa frustasi di suara lenguhannya. Aseng junior makin meradang diremas-remasnya terus.
“Kenapa, Astha? Lalu apa? Kau tak mau meneruskannya?” seperti ada keraguan di matanya. Ia menggigit bibir bawahnya menahan diri tapi ludah terteguk dalam dari gerakan batang tenggorok lehernya. “Telur-telurmu tentu hendak dibuahi, kan?”
“Tidak ada telur… bagindaa…” bisiknya menjawabku yang membuat kedua alisku terangkat untuk beberapa saat. Tidak ada telur yang matang tapi ia menjadi se-sange ini? Ini benar-benar baru. Ini berita baru. Sebelumnya, ini tidak pernah kejadian. Selalunya birahi memuncak bersamaan dengan masa matangnya telur di dalam tubuh peri tersebut. Baru kali ini aku menemukan peri yang birahi tanpa adanya telur yang matang butuh dibuahi.
“Tidak ada?” ulangku. OK… “Kalo begitu apa kau tak berniat untuk bersenang-senang saja?” usulku dengan menyelipkan untaian rambut dahinya ke sebelah telinga. Sedekat ini dengannya, merasakan hembusan nafasnya yang berani, ia sangat cantik sekali.
“Bersenang-senang?” tentu ia mempertanyakan usulku ini. Hanya ada beberapa organisme di dunia ini yang melakukan seks atas dasar bersenang-senang. Bukan semata tujuan reproduksi aktif. Semuanya adalah jenis mamalia dan manusia salah satunya. Seks sebagai rekreasi dan hiburan untuk bersenang-senang. Entah karena majunya pikiran ato karena mundurnya. Setidaknya rasa nikmat menjerat dengan efek yang sama.
“Ya… Kau tentunya tau arti bersenang-senang, kan?” tanyaku mengelus pipinya. “Kau pastinya sudah sering keluar masuk dunia manusia disamping daerah ghaib lainnya dan melihat bagaimana manusia bersenang-senang…” lanjutku. Dari matanya aku tau ia paham apa yang kumaksudkan. Peri Aruna yang bisa mudah menyusup masuk ke kerajaan peri lain ini tentunya juga sering masuk ke alam manusia.
“Baginda raja… mau hamba bersenang-senang seperti manusia?”
“Lihatlah tubuhmu sekarang… Penuh birahi walopun tak ada telur yang matang… Tak salah kalo kau perlu bersenang-senang… Jangan bilang kalo kau tak pantas untuk melakukan ini dengan rajamu…” kataku membelai-belai pipi dan rambutnya. Aroma mawar dari tubuhnya terus menguat seolah setuju dengan apa yang kuucapkan.
“Kalau itu yang baginda inginkan… hamba akan bersenang-senang dengan baginda…” jawabnya lalu mendekatkan wajahnya lagi untuk memagut mulutku kembali. Ahh… Menyenangkan sekali. Peri pemburu ini setuju untuk bersenang-senang denganku. Dengannya aku bisa bebas melakukan apa saja. Tidak seperti dengan peri Asti pengendali air yang sama sekali belum menghambakan diri padaku. Sampe sekarang aku masih memakai dalil suci itu sebagai landasan hukumku dalam memperlakukan mereka secara intim begini.
“Buka pakaianmu…” bisikku diantara gempuran bersemangat bibir dan lidahnya.
Tetap mempermainkan mulutku, tangannya lincah mempreteli pakaian kebanggaannya hingga ia sama sekali bugil di atas tubuhku. Bersentuhan langsung dengan kulitnya tanpa batasan lagi, rasanya sangat nyaman dan menyenangkan. Apalagi dada montoknya gencet menggembung lekat di dadaku. Kakinya menaut di samping pinggangku dan terasa titik basah kemaluannya menggesek-gesek Aseng junior. Satu-satunya penghalang adalah kalung telur peri Anaga ini yang kusampirkan ke samping agar tak mengganggu.
Binal Astha makin menjadi-jadi. Ia mempermainkan puting mungil dadaku dengan nakalnya. Lidahnya menari-nari meratakan ludah beraroma mawarnya bulat-bulat di sekitar putingku lalu disedotnya kuat-kuat hingga aku meringis geli. Entah dimana ia mempelajari ini. Tangannya tak lupa menggelitik bagian tubuhku yang lain dengan elusan-elusan meraba. Dijilatinya juga ketiakku yang membuatku merinding dan Aseng junior menegang keras. Aku menggelinjang dengan rintihan bersuara keras agar ia tau aku sangat berterimakasih akan sentuhannya.
Sebentar kemudian, ia sudah sampe kembali di Aseng junior. Tak lama ia memainkannya karena lalu ia minta izin. “Bagindaaa… hamba masukkan, ya?” Astha lalu mengingsutkan tubuhnya yang menduduki kaki, maju. Digesek-gesekkannya kepala gundul kenyal Aseng junior ke belahan kemaluannya. Mulutnya menganga tiap kali desiran sejumlah cairan kental beraroma mawar itu membasahi kepala Aseng junior. Ia sudah sangat becek di sana. Kemaluannya sudah sangat siap menelan penisku.
Pas di posisi, ia menurunkan tubuhnya hingga Aseng junior pelan-pelan tenggelam dalam liang kenikmatan yang gelap, basah dan dalam. “Mmhh…” rintihnya seakan tak sanggup meneruskan. Harus berterimakasih pada gaya gravitasi berat tubuhnya yang seakan kehilangan tenaga dan kendali untuk menahan melainkan terjerembab ke dalam ladang kenikmatan yang terbentang luas. Aseng junior masuk keseluruhannya. Tenggelam yang ditingkahi mulut menganga Astha. Aseng junior tercekik dengan indahnya di dalam liang kawin sempit ini. “Aaakkhh…” otomatis Astha menopangkan tangannya di perutku, berusaha agar kedalaman dirinya tak semakin digerus kenikmatan.
Kepala Aseng junior menyundul sesuatu yang lembut di rongga perut Astha. Tungkai kuat Astha menjepit mencengkram pinggangku. Ada rasa berdesir-desir memijat yang terasa meremas batang Aseng junior secara ritmis. Takut-takut ia berusaha menggerakkan tubuhnya juga tangannya yang menekan perutku. Jari-jarinya mengembang tak kuasa menyentuhku, hanya tapak tangan yang bertumpu. Kuremas-remas paha padatnya sebagai rangsangan lalu bergerak menyusuri pinggul, pinggang dan bermuara di payudaranya yang terjepit menggembung. “Aahhhh…” rintihnya.
Jariku menemukan putingnya yang keras karena sedemikian terangsangnya. Kucubit, kupilin dan kutarik-tarik dengan gemas. Ia tak kunjung melakukan gerakan apapun walopun di dalam sana, remasan ritmisnya tetap terjadi. Aku harus memancingnya dengan menggerakkan pinggulku. “Sruut sruut sruutt…” pelan-pelan tubuh bawahku melakukan pompaan kecil yang menyebabkan kulit di batang Aseng junior bergeser-geser berbentuk genjotan minimal.
“Aaahhh…” Cuma segitu aja ia sudah merintih keenakan. Tanganku segera mampir ke bagian ketiaknya dan mengangkat tubuhnya agar melakukan gerakan lebih banyak. “Akkhh…” erangnya lebih keras. Matanya terpejam. Sekarang kocokan lebih banyak terjadi. Saat tubuhnya agak terangkat dengan bantuan tanganku, pantatku kuhenyakkan ke bawah terhadap kasur dan ketika bertemu kuhentakkan ke atas ke arah kemaluannya yang menggigit. “Srruutt sruutt sruutt…” Astha kembali merintih-rintih keenaka berulang-ulang dengan semakin terasa guncangan mengocok memompa yang terjadi.
Tau sangat enak, Astha mulai menggerakkan tubuhhnya sendiri naik turun terhadap Aseng junior-ku. Jarak bebas Aseng junior yang terlepas dari kemaluannya semakin panjang saja yang menyebabkan tusukan-tusukan yang terjadi makin cepat dan bertenaga. Astha yang kuat semakin menikmati kesenangan barunya ini dengan staminanya. Seperi pemburu sekuat dirinya tentunya tak akan kalah di bidang stamina dengan peri lainnya. Dalam pertarungan ia unggul, dalam taktik ia jempolan dan di ranjang ia mumpuni.
Astha tak lagi bertumpu di perutku. Ia memegangi bokongnya sendiri yang membuat hentakan pertemuan kelamin kami semakin kuat dan bertenaga. “Bruuft bruuft brufft…” suara pertemuan kelamin kami sangat seksi sekali ditingkahi rintihan-rintihan senang dirinya yang semakin menikmati gesekan kelamin. “Mmm mmhh.. mmhh…” Pemandangan indah yang kusaksikan adalah guncangan-guncangan membal payudaranya naik turun sesuai gerakannya. Aroma mawar semakin kuat dari cairan pelumasnya yang melancarkan persetubuhan bersenang-senang kami ini.
“Ooouukkhh…” tiba-tiba ia berhenti dan condong ke depan menekan dadaku. Diremasnya dadaku yang berhiaskan kalung telur mungil itu. Sepertinya orgasme, terlihat dari geliat mengejang tubuhnya. Apalagi desir-desir meremas liang kawinnya yang semakin basah aja. Aku bangkit dan menyongsong dirinya yang barusan mencapai puncak kenikmatannya itu. Mulutnya yang terbuka menjadi incaranku. Lidahku menyusup masuk dan menyeruput liur beraroma mawar lezat itu. Pasrah saja ia kupagut dan payudaranya kupermainkan. Sesekali masih berkejat dirinya, sisa kenikmatan itu.
Lututnya yang mungkin lemas, kupaksakan kembali untuk kembali bekerja dengan kuangkat tubuhnya lewat ketiaknya. Untuk kembali bergerak memompa kelamin kami. Ia patuh dan kembali bergerak sembari masih saling kulum mulut dan lidah. Suara-suara seksinya terdengar saat kami adu mulut, menikmati dengan sangat pergumulan bersenang-senang kami ini. Kupastikan ia sudah tak mengindahkan kecurigaannya pada Cayarini yang disampaikannya sebelum peri Candrasa itu permisi masuk ke kamar ini dan mematangkan telur-telur peri miliknya.
“Terus, Asthaa… Yaahh… Goyang terusss… Enak, kaaan?” rayuku mengecup-ngecup bibirnya yang terus mengerang merintih keenakan. Tubuhnya terus memompa naik turun, mengocok Aseng junior menggunakan liang kawin beceknya. “Yaahh… Terusss… Goyangkan teruss… Kita bersenang-senang teruss… Mmm…” aku terus menyuarakan penyemangat untuknya terus bergoyang mengguncangkan tubuhnya. Ditambah dengan remasan-remasan nakal pada gantungan bergoyang payudaranya. Becek pertemuan kelamin kami semakin lancar licin aja dengan lelehan cairan pelumas baru.
Mata Astha kembali berkabut oleh birahi pekat. Ia tak pikir panjang terus menghentak-hentakkan tubuhnya naik turun memompa Aseng junior menggunakan liang kawin sempitnya. Tangannya sesekali meremas bahuku ato menjambak rambutku saat rasa geli dan nikmat itu menyengat kesadarannya. Tak perduli lagi ia kalo raja yang dihormatinya yang sedang dijambaknya. Aku tak perduli juga. Pokoknya kami berbagi rasa nikmat ini berdua saja di atas ranjang ini dengan panasnya.
Stamina Astha memang patut diacungi jempol. Sudah tiga kali ia mencapai orgasmenya seperti tadi. Saat badai itu datang, ia menggerus-geruskan kemaluannya di pangkal selangkanganku dan menciumi mulutku dengan ganas. Gesekannya seolah ingin melumat hingga Aseng junior tercerabut dari dasarnya akibat gerakan liar memutarnya yang sangat yahud. Seperti sekarang ia seakan akan mengunyah Aseng junior sembari memagut mulutku. Tangannya melingkar dan memeluk kepalaku. Payudaranya digesek dan ditekan ke arah dadaku. Seluruhnya larut dalam gejolak basah berkeringat panas yang semakin membuat kami bersemangat.
Entah kenapa ini menjadi semakin luar biasa nikmat. Dengan Cayarini di ronde sebelumnya, aku tak merasa begini. Entah karena Astha yang terlalu hot hingga mempengaruhiku atokah aku semakin panas yang menular pada peri Aruna pemburu ini. Sedari tadi, kelamin kami belum berpisah sedikitpun. Tetap terbenam masuk di dalam liang kawin Astha. Aseng junior pasti sangat bahagia sekali di dalam sana. Apalagi ia sudah menyebabkan peri Aruna ini orgasme tiga kali walo sedemikian ganas gocekannya.
“Aahh ahh ahh… Mmhh…” erang Astha yang kuganti posisinya. Ia kurebahkan menelentang di atas ranjang tanpa memisahkan kelamin kami sama sekali. Aku terpukau akan persatuan Aseng junior dan vaginanya yang basah berkilauan becek. Kedutan kemaluan tak berambut itu sangat memabukkan hingga aku tak rela lepas sama sekali. Peluh mengalir deras dari tubuh kami berdua semakin membuat panas dan gairah memuncak ingin selalu dipuaskan. Kaki Astha mengangkang lebar akibat tekanan pinggangku dan kumulai bergerak.
Pelan-pelan awalnya gerakan yang kulakukan dalam menyetubuhi peri Aruna nomor 8 ini. Kocokan pelan-pelan yang hampir mirip dengan gerakanku saat memproduksi telur milik Cayarini tadi. Ahh… Nikmatnya tubuh peri Aruna ketua kelompok pemburu ini. Walo tak ada telur yang harus kubuahi, ia dengan pasrah dan rela kugagahi begini dan ia sama menikmatinya seperti diriku. Apakah dengan gerakan begini, aku bisa memberinya telur-telur itu juga? Apa tadi yang terjadi? Kenapa telur Cayarini bisa bertambah dengan pesat begitu?
“Ouhh… ouuhh… ouuhh… Bagindaaahh… bagindaa… Yaahh… Yahhh… Truss… truusss begituuhh… Uhh… Mmhhh…” erangan rintihan Astha makin panas aja. Ia menggerak-gerakkan pinggangnya menyambut genjotan pelan-pelanku yang kemudian berubah gencar menghentak akibat mendengar respon kenikmatannya. Ia semakin menggila dengan hentakan menyambut hingga selangkangan kami bertubrukan yang membuat hentakan Aseng junior semakin tajam menusuk masuk. Empuk kenyal selangkangannya bertemu selangkanganku yang berambut lebat bersuara keras becek.
“Splok splok splok splok…”
Kami sama-sama mencari pegangan mencengkram. Aku meremas-remas payudaranya sementara Astha meremas tanganku yang mengarah ke dadanya. Gempuran Aseng junior semakin cepat dan panas. Liur meleleh dari sudut mulutnya begitupun juga dari sela-sela liang kemaluannya yang gencar kutumbuki tancapan batang kemaluanku. Liar dan lancar aku memompa tubuh berguncang-guncangnya. Payudaranya jadi kemerahan hangat karena kuremas-remas kuat. Ia tak keberatan dan perduli karena rasa nikmatnya masih mengalahkan segala-galanya.
“Akhh…” keluhku bersamaan gemetar tubuhnya yang melengkung menggetarkan pertemuan kelaminku. Aseng junior serasa diperas-peras seluruh isinya kala memuntahkan apapun yang tersisa setelah ronde pembuahan bersama Cayarini tadi. Masih cukup banyak bibit sperma yang kumiliki dan itu semuanya berpindah ke dalam sanubari serupa rahim Astha yang menurut pengakuannya tadi, tak ada telur sebutirpun.
“Croott croott croott…”
Kusodok dan tarik berulang-ulang di liang sempit menggigitnya untuk meyakinkan bahwa semua keluar terkuras untuk peri Aruna menggairahkan dan berstamina kuat ini. Kalo aku harus menggaji para peri ini, bolehkah aku menyetor sperma aja buat mereka? Atokah perlu semacam reward? Hadiah? Bila berprestasi bagus akan mendapatkan sperma nikmatku. Sama-sama enak. Aku enak bisa ngecrot. Mereka mendapat sperma suburku.
“Ahhh…” keluhnya saat Aseng junior tercerabut dan aku berguling ke samping tubuhnya. Tubuh kami masih menempel mesra sebenarnya. Aseng junior masih menempel di pinggir pahanya karena aku berbaring menyamping dan menciumi bagian lehernya yang basah berkeringat beraroma mawar. Unik sekali bau para peri ini. Bukan bau asem gak menyenangkan yang tercium saat mereka berkeringat begini melainkan wangi mawar. Siapa yang bisa jauh-jauh darinya kalo baunya seenak ini. Tanganku gerayangan dari dada dan berakhir di perut.
Kuusap-usap perutnya, menunjukkan kalo aku bukan raja brengsek yang cuma mau enaknya aja. Aku bermaksud memanjakannya sebentar, pertanda kalo aku juga berterimakasih atas suguhan seks yang luar biasa tadi. Kami sama-sama sangat menikmatinya…
“… satu, baginda…” katanya saat aku menciumi lehernya.
“Ya, Astha? Apa itu?” tak begitu jelas karena aku masih asik mencumbu lehernya. Berharap ia akan terangsang lagi dan meminta ronde selanjutnya. “Satu kali lagi, ya?” kusuarakan apa yang kumau. Satu ronde lagi, he hehehe…
“Baginda sudah membuahi satu telur hamba, bagindaa…” sahutnya menggidikkan bahunya malu-malu.
“Loh? Ada satu telur?” aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah kakinya yang masih mengangkang. Benar ada sebutir telur bercangkang warna abu-abu seukuran bola tenis tergeletak begitu saja di atas ranjang di dekat vaginanya. Sepertinya benda itu baru saja keluar. Aku langsung memungutnya. Ini telur peri Aruna pertama yang kusentuh.
“Maaf… Ranjang baginda jadi terbakar begitu…” lanjutnya masih berbaring lemas dan merasa bersalah karena bekas tempat mendarat telurnya itu membuat area bakar di atas ranjang kapukku berbentuk melingkar. Aku menggeleng tak mempermasalahkan itu dan memegang telur berharga ini di tanganku. Memang terasa panas tetapi aku tak terluka memegangnya. Tentu saja karena aku memiliki rubi api di mahkotaku.
Kusetubuhi peri yang sedang tak birahi dan di akhir ia memproduksi satu telur yang matang. Ini sangat luar biasa sekali. Sebelumnya aku menyetubuhi peri Candrasa yang berstatus calon ratu dan ia melipat gandakan jumlah telurnya dari 99 ke 202 butir hanya dalam satu sesi entotan. Apa bisa kusambangi juga peri-peri indukan lain untuk menambah jumlah telurnya?
Tiba-tiba aku mendapat ide cemerlang. Astha memandangiku dengan pandangan kosong karena masih kelelahan.
——————————————————————–
“Bagindaaa… Hamba baru aja bertelur…” rengeknya tak berani frontal protes kala aku mengangkangi kakinya yang terbuka lagi dengan Aseng junior yang bersiap mencoblos ulang dirinya.
“Nikmati ajaaa… Kau tentunya enggak capek… Dwi dan Tri bertelur sampe ratusan… sementara kau cuma satu… Ayolah…” kataku makin merapatkan tubuh kami berdua. Aseng junior yang bergoyang antusias ingin masuk kembali sudah basah ujungnya oleh pre-cum. Mata Astha nanar menatap wajahku dan kemaluanku bergantian. Sebutir telurnya itu kuletakkan di atas lantai batu agar tak merusak kamar ini.
Kemaluannya agak kering jadi aku harus merangsangnya kembali. Kugesek-gesekkan kepala Aseng junior dan ternyata di dalamnya masih cukup lembab. Gesekan kelamin memberikan rasa enak yang membuat nagih. Astha juga meringis karenanya. Aku mengulurkan tangan ke arah mulutnya dan ia bingung aku mau apa. “Berikan ludahmu… Yang banyak…” pintaku. Patuh ia meneteskan sejumlah banyak ludah beraroma mawar itu ke jari-jari tanganku. Kugosok-gosokkan basah ludah itu ke permukaan vaginanya hingga becek kembali hingga menggelinjang geli.
“Emmpphh…” erangnya tertahan saat Aseng junior kembali menembus tubuhnya dan meluncur masuk dalam. Aku juga mengerang keenakan saat batang kemaluanku amblas masuk hingga ke pangkal. Kali kedua bersetubuh dengan Astha ini, rasanya lebih hangat dan istimewa. Astha langsung mendekap tubuhku lebih intim. Kakinya dibuka selebar mungkin menampung diriku senyamannya. Dan mulai kugenjot kembali.
Genjotan ini kulakukan seakurat mungkin dengan apa yang sudah membuat Cayarini mendapatkan telur dua kali lipat jumlah awal telurnya hingga mencapai 202 butir. Kalo ini juga berhasil pada Astha, pede kukatakan aku menemukan formula paling mutakhir untuk mendapatkan jumlah telur matang siap dibuahi sebanyak-banyaknya bahkan dari peri yang sama. Sekali dayung dua tujuan tercapai. Aku bisa mengentoti peri-peri cantik ini dan jumlah para periku akan bertambah drastis. Genjotan pelan dan syahdu. Genjotan yang kalo dipikir-pikir dan dirasa-rasa lumayan enak juga sebenarnya. Tak ada rasa terburu-buru, rasa nikmat gesekannya maksimal, lebih personal, intim dan pastinya tepat guna.
“Ahh…” erang Astha. Ia memejamkan mata dan sedikit mendongak menikmati genjotan lambat dan penuh perasaan ini. Aku menciumi lehernya dari posisi MOT dengan punggung sedikit melengkung, Aseng junior menusuk dalam dan sodokan pendek. Kakinya menggantung mengangkang, bergoyang-goyang seirama genjotan pelanku.
“Clok clok clok clok…” becek basah dari ludahnya yang kubalur ditambah cairan yang mulai mengucur menambah lancar genjotan yang kulakukan. “Slok slok slok slok…” semakin basah saja dengan kucuran cairan tambahan lagi yang membuat genjotanku semakin dan semakin mudah dilakukan. “Shlook shlook shlook shlokk…” Astha mulai gelisah terlihat menggigit bibir atasnya dan mata terpejam erat. Kening berkerut. Berkali-kali ia mendesis-desis kek ular. Ia hendak mengatakan sesuatu. Ada sesuatu yang hendak disampaikannya. Tetapi terlalu sayang untuk melakukannya, biarkan saja dan nikmati mungkin itu yang dipikirkannya.
“AAAAAaaaaahhh…” jeritnya panjang mirip lolongan. Suaranya menggema di ruangan kerajaan yang dinding-dindingnya mayoritas terbuat dari batu. Efek stone chamber-nya membuat akustik menggema tajam. Untung ada jendela-jendela besar sebagai sumber sirkulasi udara yang mengeluarkan ekses berlebih polusi melengking tadi. Kuhentikan sama sekali begitu getaran tubuhnya bergetar akibat orgasmenya barusan. Beberapa saat sebelumnya, seluruh tubuhnya melengkung ekspresif. Membuatku membenamkan mukaku di payudara montoknya saja tanda setuju.
Habis itu ia terkulai lemas selemas-lemasnya tak berdaya.
Matanya berkabut nanar dan mulut penuh liur aroma mawar. Mulutnya bergerak-gerak dengan racauan tak jelas. Paru dan serak serupa garukan kuku di permukaan kasar. Aku tersenyum menang menunggu pengakuan sekaligus laporan kemajuan rencanaku.
“Hussh… sssstt…” cegahku melihatnya kasihan. Bagaimanapun, ia tetap warga kerajaanku yang berharga. “Maaf kalo telah membuatmu jadi bahan percobaan begini, Astha… Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Haah hashh… hassh… Telur-te-teluuur hambaa… muncul… bertambah… tumbuh lagi, bagindaaa…” ucapnya terbata-bata dengan suara masih serak. Nafasnya tersengal-sengal padahal aku mulai menggenjot lagi pelan-pelan pendek tapi ia tak sadar. “Ba-banyaakk…”
“Seberapa banyak?”
Ia langsung meraba bagian perutnya. Mencoba merasakan jumlah telur yang terbit dan berkembang di dalam sana. “Banyak… Ada banyak, bagindaaa… Ada 27 butir…” Mendengar itu aku tersenyum lebar. Rencanaku berbuah hasil yang gemilang. “Akkhh… Mmm… Bertambah lagi… Uuhh…” ia menegakkan kepalanya demi melihat apa yang sedang kulakukan. Ia lalu sadar kalo payudaranya berguncang-guncang pelan pertanda aku sedang menggenjotnya lagi. Pengaruh orgasme sebelumnya mengaburkan rasa nikmat genjotanku sekarang. “Aaahh… bagindaa…” ia menepuk lenganku atas apa yang sedang kukerjakan. Lalu berubah menjadi remasan.
“Kau merasakan gerakanku ini, Astha?” kataku terus memperagakan teknik mutakhir yang kutemukan ini. “Berkatmu aku menemukan cara untuk memperbanyak jumlah telur di tubuh kalian… Tadi kulakukan sebentar gerakan seperti ini… menghasilkan satu butir telurmu… Dan saat ini kulakukan lebih lama… jauh lebih banyak hasilnya… Dan terus bertambah, kan?” ungkapku terus menjaga tempo genjotan pendek-pendek pelan itu. Gelitik geli ini sangat memabukkan sebenarnya. Rasa enak dan nikmat yang bercampur menjadi satu membuat candu di seluruh tubuh yang terpengaruh getah kenikmatannya.
Bayangkan kalo aku melakukan ini di peri berstatus ratu yang mampun menghasilkan 200++ butir telur seperti Tri, ratu Nirada dan ratu Lawana. Setidaknya aku bisa menghasilkan dua kali lipat banyaknya. Aku tau sehabis ini aku harus pergi kemana.
Kusilangkan tangan Astha di atas perutnya hingga tekanan tubuhnya terhadap cengkraman pada Aseng junior semakin ketat. Ia menggelengkan kepalanya kanan-kiri dan merintih-rintih. Ia berhenti pada suatu bilangan angka. Gerakan menggenjotku mencapai titik jenuh…
“Uuhh…”
Kulepaskan silangan tangan Astha dan membebaskannya mengekspresikan rasa nikmat itu sebagaimana aku merayakan puncak itu juga. Menggelepar-gelepar seperti tersengat listrik. Sementara aku melesakkan dalam-dalam bibit suburku untuk segera membuahinya, bergetar-getar lututnya. Gelenyar-gelenyar geli itu merambat di sekujur syarafku, mengirim sinyal sukses.
106 angka terakhir yang disebutkan Astha sebelum kuganti tempo genjotan pelan ke lebih cepat. Gak tahan juga aku menggenjot peri Aruna pemburu ini dan berhenti di angka 106. Luar biasa kali-ah hingga di ronde kedua ini bareng dirinya aku ngecrot dengan nikmatnya.
Tapi ini belum berhenti. Astha masih harus mengeluarkan ke 106 butir telur itu dulu. Daripada-daripada, aku membopong tubuhnya turun dari atas ranjang kapuk ke atas lantai. Mungkin terlihat gak beradab kali abis dientot malah dicampakkan baring di lantai. Telurnya nanti terbakar, bos. Gak mau kan seluruh kamar ini jadi kebakaran karena bego.
——————————————————————–
“Bagindaa… Bagindaaahhh… Ah ahh ahh…” erangnya tak kuasa menolak diriku yang langsung menggasak dirinya begitu Aseng junior mendapatkan jalan masuk menembus sarangnya lagi. “La-lagiihh, bagindaahhh uhhh…?” tentu ia pantas kaget kuperlakukan begini. Apalagi aku masih terus penasaran dengan tubuhnya.
“Yaah… Dimana semua telur-telurmu? Belum pada keluar?” tanyaku terus menggenjot.
“Hamba simmmphaan… hamba simpan di dalam tubuh hambahhh-ahh… sajaah, bagindaahh… uhhm…” jawabnya.
Kupepet tubuhnya di dinding dingin ini, kusibak celana dalam mininya dan Aseng junior melesak masuk walo agak kering. Sebelah kakinya otomatis diangkat untuk memudahkan akses masukku. Hanya sebuah obor yang menerangi ruangan luas kosong ini. Aku menemukannya sedang tak melakukan apapun hingga dengan mudah aku menyergapnya di ruangan gelap gulita ini. Dari sekian banyak ruangan di tempat ini, aku menemukannya di ruangan yang paling kecil yang memang diperuntukkan untuk dirinya yang berstatus lebih spesial; calon ratu.
Cayarini mendesah-desah kusodok penuh tenaga seperti ini. Perutnya yang penuh dengan 202 butir telur telah dibuahi itu tak terlalu kukhawatirkan. Alam pasti dengan sempurna menjaganya dengan caranya sendiri. Kini aku berencana untuk semakin melipat gandakan jumlah telur itu dengan teknik yang tak sengaja kutemukan ini.
Teknik baru kok ngentoti peri supaya beranak pinak, Seng-Seng? Jurus baru yang ko pelajari. Belajar menggunakan permata-permata peri itu lebih mendingan. Biasakan memakai pedang Paksapeti itu. Juga perisai quarsa itu. Ngentot aja terus kau banyak-banyakin…
Diamlah muncong kau itu. Sibok kalipun kurasa. Ini perang, boss… Perlu banyak prajurit. Perlu banyak SDP (Sumber Daya Peri). Semakin banyak semakin bagus, kan? Kalok bisa, hanya karena melihat jumlah pasukan kerajaan Mahkota Merah yang sangat banyak, kerajaan Istana Pelangi akan ciut nyalinya dan menyerah kalah saja. Mengibarkan bendera putih tanda takluk. Dan langkah berikutnya membasmi pasukan zombie Lord Purgatory sampe kandas beserta maharaja kurang ajarnya itu.
Kau kira aku ngapain lama-lama di daerah kekuasaanku ini sampe berminggu-minggu kek gini untuk apa? Disamping memperbanyak jumlah pasukan, aku juga lebih banyak paham akan kondisi real saat ini.
Tak lama, kelamin Cayarini sudah mengucurkan cairan pelumas beraroma pinusnya yang segar kembali. Hidungku menangkap memori segar aroma pinus ini dan mengasosiasikannya dengan situasi yang menyenangkan dan nikmat vagina Cayarini. Aseng junior menggenjot semakin cepat saja dan peri Candrasa ini mengerang meraung-raung keenakan kugenjot dari belakang begini. Perutku berbenturan dengan bulat montok bokongnya berkali-kali, menepuk-nepuk nyaring. “Plok plok plok plok…”
Ahh… Tujuan utamaku kan harus melipat gandakan telur di dalam perutnya. Bukan cuma sekedar goyang-goyang ngecrot aja. Ada aturannya sekarang, boy. Mata lamurku langsung tertumbuk pada kasur yang diletakkan begitu saja di atas lantai dingin walo gelap menyergap semuanya. Hanya temaram obor redup sebagai penerang. Disana sepertinya biasa Cayarini beristirahat setelah lelah dengan aktifitasnya. Kutarik tubuhnya kesana.
Di atas kasur kapuk jatah dirinya, Cayarini kugagahi lagi dengan teknik genjotan pelan-pelan menghanyutkan yang tidak sengaja kutemukan ketika pertama menyetubuhi dirinya sebelumnya. Genjotan pelan-pelan ini seolah menggerus serpih-serpih energi dirinya, mengumpulkannya menjadi satu bentuk calon kehidupan baru berbentuk telur peri. Sudah kupastikan dengan mencobanya pada Astha dan berhasil gilang gemilang. Sekarang kucoba lagi pada calon ratu peri Candrasa ini agar kembali mendapatkan telur yang lebih banyak lagi.
Cayarini mendesis-desis keenakan menikmati genjotan pelan-pelanku dengan kaki mengangkang pasrah lebar. Dibiarkannya aku menghibur diri dengan meremas-memilin puting payudara menggodanya sementara ia geleng-geleng kepala menggigit bibir yang basah oleh liur beraroma pinus. Vaginanya semakin becek dan genjotan pelan-pelanku semakin lancar saja bak piston mesin memutar torsi.
“Bagaimana… apakah ada yang berbeda?” tanyaku disela-sela genjotan pelanku. Becek pergesekan kelamin kami menimbulkan suara yang binal dan nakal sekali. Suara kelamin bertemu dan memacu nafsu.
“Padahal hamba sudah mematangkan 202 telur hamba, bagindaaah… Kenapa baginda melakukan ini lagi? Uuhh…”
“Coba rasakan… hh… apakah ada yang berbedaa?” genjotku pelan. Muka kami berdua berhadapan sangat dekat. Kalung telur peri Anaga bergantungan dan menyentuh dadanya.
“Bertambah!” serunya kaget sendiri. “Telur hamba bertambah, bagindaa… Bagaimana mungkin?” mukanya heran bukan buatan mendapati telur-telur di dalam tubuhnya bertambah setelah sebelumnya sudah mencapai angka 202 dan sudah selesai dibuahi. “Apakah baginda membuat tubuh hamba memproduksi telur-telur ini lagi?… Lagi dan lagiiihh… Aahhh… Uhmm…”
“Yaahh… Bukankah itu menyenangkan… Kita bisa menikmati pembuahan ini sekaligus menambah jumlah peri prajurit kerajaan Mahkota Merah sekali sabet… Apalagi ini sangat nikmaaatt… Kau setuju, kaaan?” kecupku berkali-kali pada bibirnya. Aseng junior digenjot pelan-pelan secara terukur dan sadar untuk melakukan teknik ini dengan akurasi tinggi. Kalo dipikir-pikir akan menyebalkan. Digenjot cepat akan lebih nikmat dan dijamin pasti akan lebih cepat ngecrot. Tapi kesabaran dan determinasi yang sangat berperan sekarang. Aku harus memanfaatkan waktuku sebaik mungkin.
Selesai dengan ini semua, aku sudah harus keluar dari tempat ini sesegera mungkin.
Apalah daya Cayarini di depan baginda raja junjungannya. Ia pasrah saja mengikut apa yang kumau, apa yang menurutku terbaik baginya, apa yang harus dilakukannya. Ia hanya bisa pasrah mengangkang dan membiarkan aku menggenjoti liang kawinnya, melampiaskan hajatku. Dan dalam prosesnya, telur-telur peri Candrasa miliknya bertambah lagi dan lagi. Secara periodik ia menyebutkan angka yang terus update. Hingga hasil akhirnya mencapai angka 506 butir telur.
Kuakhiri dengan semburan semprotan sperma yang luar biasa memuaskan karena sudah ditahan mati-matian dari tadi. Ini lebih banyak dari telur yang dihasilkan ratu Lawana. Kelak kerajaan Mahkota Merah akan dipenuhi oleh begitu banyak peri-peri beraneka warna rambut. Merah, Putih, Biru dan Hitam. Ejakulasiku kali ini sangatlah memuaskan karena ada harapan yang sangat tinggi disana.
Kurengkuh tubuh Cayarini erat-erat dan ia membalasnya dengan rengkuhan erat juga. Aseng junior kuperas habis-habisan untuknya. Kelak aku akan melakukannya lagi pada peri indukan yang lain. Sementara ini, aku harus beristirahat dulu di tempat yang dingin ini. Dipelukan Cayarini yang montok.
——————————————————————–
Sesuai niat awalku, aku benar-benar melakukannya. Yang pertama kusambangi adalah ratu Nirada. Ratu cantik bertubuh seksi menawan peri Dawala itu awalnya tak mengira aku ingin menemuinya di kamar kosong yang biasa ditempatinya bersama keturunannya. Dikiranya aku hendak berbincang biasa saja padahal aku mengincar tubuh montoknya lagi. Kulucuti pakaian mirip lingerie berwarna putih itu dengan berbagai bujuk rayu.
Ia hendak protes karena merasa tak mempunyai telur lagi untuk dibuahi. Ia beralasan perlu waktu yang sangat lama untuknya mulai menghasilkan telur peri Dawala lagi. Tapi genjotan pelan Aseng junior yang mulai memproduksi telur-telur peri yang kumaksud membungkam protesnya. Pelan-pelan bertambah tapi bergerak pasti.
Aroma kayu manis khas birahi peri Dawala mengiringi erangan merintih keenakannya. Dua ronde ia kugasak dengan sekali masa istirahat di antaranya. Total ratu Nirada kini memiliki 438 telur peri Dawala baru siap dibuahi di dalam tubuhnya. Walo masih lemas akibat orgasme berulang-ulang untuk mencapai jumlah spektakuler itu, saat dibuahi ia berusaha tetap melayaniku dengan baik. Telur peri Dawala berjumlah banyak itu keluar lagi dan langsung terbang melayang mencari tempat yang nyaman untuk pengeramannya. Kembali menara istana setinggi 15 meter itu menjadi tempat para telur berputar-putar. Telur peri Dawala tidak merepotkan karena bisa mencari jalannya sendiri.
Di luar sana tentu jadi heboh kerena ada telur baru yang berputar-putar di puncak menara bak lampu mercusuar. Sementara indukannya terbaring lemas di ruangan ini dengan kaki mengangkang lebar. Lelah mengeluarkan telur sebanyak itu tanpa rencana.
Egoiskah diriku? Tentu. Seorang raja punya hak absolut yang bagi orang biasa itu disebut egois. Bagi raja itu adalah kewenangan mutlak yang tak dapat dibantah siapapun.
Aseng junior terkulai layu, menciut berkerut, lelah juga. Masih ada beberapa peri lain yang harus kubuahi lagi sesuai rencanaku. Tunggu saatnya karena ini saatnya aku istirahat lagi. Capek euy.
——————————————————————–
Setelah sekian lama berkelana di alam ghaib yang merupakan daerah kekuasaan Menggala-ku yang disulap menjadi kerajaan ghaib Mahkota Merah yang berisi ribuan peri, aku balik lagi di alam nyata.
Masih dalam keadaan memeluk istriku yang tidur dengan damainya malam ini. Tanganku masih melingkar di perut ratanya, mengusap-ngusap hampir tak ingat ini posisi terakhirku di dunia nyata. Berdua saja dengan istriku. Masih malam yang sama setelah kematian Julio yang mengguncang hatiku. Hatiku ikut hancur bersama Amei. Amei kehilangan suaminya karena tak teguh pendirian menjaga perjanjian kami untuk tidak membocorkannya pada pihak lain.
Julio menceritakan isi perjanjian kami bertiga (aku, Amei dan Julio) pada perempuan 3R itu (Cherni, Neneng dan Aisa). Hukuman berat didapatkan Julio dalam bentuk kematian. Ini hukuman terberat. Aku hanya bisa meneguk ludah menyesalkannya. Jangan sampe aku juga terkena hukuman seperti itu karena ingkar janji.
Anakku masih kecil-kecil…
Peri-ku juga masih butuh kepemimpinanku…
“Ehh…” kaget aku dengan suara deringan telepon yang tiba-tiba menyalak di hening malam begini. Suaranya seakan mengisi ruangan kamarku ini. Cepat-cepat kupungut gadget itu demi mengetahui siapa yang begitu mendesaknya hingga harus menelepon di tengah malam begini. Juga untuk membungkamnya dengan cepat.
“Tiwi?” gumamku membaca namanya di layar HP-ku. Ngapain ni anak nelepon malam-malam? “Ya halo? Ada apa, Wi?”
“Hiks… hikss… Bhaang… tolongin Tiwiii, bhaanngg… hiks… hikss…” suaranya parau kebanyakan menangis dan ingus hingga tak jelas intonasinya.
“Kau kenapa, Wi? Kau kenapa?” cepat-cepat aku turun dari ranjang dan menjauh dari istriku agar tak mengganggu tidurnya. Aku keluar kamar dan menjawab teleponnya di lorong menghadap jendela besar dengan warna langit malam yang gelap. Sepertinya ia ada dalam masalah.
“Tolongiiin Tiwii, bhaaangg… huu huu hu huu huhuu…” hanya tangisan yang jelas kudengar. Intinya ia hanya minta tolong. Ada kejadian apa sampe aku yang jauh darinya begini yang dihubungi? Bukannya keluarga terdekatnya ato mungkin tetangga.
“Tenang Tiwi… Ngomong yang jelas… Ada siapa lagi disana? Biar dia yang ngomong…” kataku minta dialihkan saja pada orang lain.
“Gak aadaa oraang lhainn di sini, baanghh… Takuuut, baang… Tolongiiin…” katanya jauh diseberang sana, terimakasih pada teknologi telepon seluler. Kalo ditanya-tanya yang lain pasti dia bakal tambah bingung dan panik. Ia pasti ada dalam situasi ruwet yang membuatnya jadi begini dan malah nelepon aku tengah malam. Sebelumnya boro-boro dia pernah neleponku di luar jam kerja.
“Tiwi sekarang posisi dimana? Biar awak kesana sekarang juga…” kataku secepatnya. Suara-suara di background-nya semakin aneh dengan suara-suara berisik mirip distorsi. Distorsi yang menyebalkan karena aku pernah mengidapnya saat jurus-jurus Mandalo Rajo-ku masih mentah dan itu sumpah sangat mengganggu.
“Di rumah, baahhng… Di kamaar… Cephaat, baangg…” jawabnya lalu suaranya tenggelam dalam distorsi lagi. Kemudian terdengar teriakan. Tapi itu bukan suaranya. Suara laki-laki yang menjerit-jerit seperti kesetanan. Apa itu? Sepertinya sangat gawat.
Cepat-cepat aku meninggalkan rumah. Tengah malam harus buru-buru tentu aja aku lebih memilih naik mobil dari pada motor. Lagipula jarak kompleks perumahan XXX di jalan Cemara ini lumayan jauh kalo harus ke Marelan Pasar V dimana rumah Tiwi berada. Hanya saja karena ini tengah malam, lalu lintas lebih lengang dari biasanya.
Jazz ini kupacu secepat mungkin meninggalkan kompleks ini melewati pos security, meluncur di jalan Cemara menuju Pulo Brayan mengarah ke Helvetia dan tancap gas ke Marelan Pasar V. Aku hanya pernah sekitar 2-3 kali ke rumah Tiwi dan terakhir kali saat pesta pernikahannya. Seharusnya ia dalam kondisi hamil saat ini. Ini yang membuatku bertanya-tanya, kenapa dari sekian banyak orang aku yang dimintainya tolong tengah malam begini.
Di jalan, kembali ia menelponku dan keadaan sepertinya bertambah kacau. Berisik distorsi itu kembali terdengar santer mengganggu. Jeritan-jeritan lelaki di belakangnya juga terdengar sangat jelas. Aku hanya mendengar ocehannya dan tetap konsentrasi di jalan karena mobil hatchback ini kupacu hingga 110 km/jam sangking kalutnya harus segera sampe ke sana secepatnya.
Kurang lebih 15 menit aku tiba. Mobil kuparkir di pinggir jalan saja karena ada portal yang melintang di depan gang menuju rumahnya. Aku bergegas mencari-cari rumahnya seingat memoriku. Gang inipun sepi. Seharusnya para tetangga sekitar rumah Tiwi bisa mendengar keributan yang terjadi di dalam rumah itu karena demikian berisik teriakan-teriakan lelaki di latar belakang teleponnya. Tapi para tetangga tak ada yang keluar seperti biasanya normal warga +62 yang kepo abis akan keramaian.
Adem ayem.
Harusnya rumahnya ada disebelah sini, kan? Kenapa tidak ada rumah yang kelihatan? Hanya tanah kosong melompong tanpa bangunan apapun… Aku yakin sekali posisi rumahnya ada tepat di hadapanku ini.
Tadi jelas-jelas Tiwi bilang dia ada di rumah, di kamarnya. Apa dia punya rumah yang lain dan rumah yang disini sudah dihancurkan? Renovasi mungkin… Sudah dijual… Ada beberapa kemungkinan. Tapi kalo sudah dibongkar untuk renovasi ato alasan apapun, harusnya akan masih ada bekasnya. Ini berupa tanah kosong yang ditumbuhi rumput tinggi dan gulma berupa perdu dan ilalang seperti sudah lama terbengkalai tak terurus.
Kembali teleponku kuangkat karena lagi-lagi Tiwi menelepon. “Halo? Rumahmu yang di pasar V ini kan, Wi?”
“Iyaaa, baanghh… Cepat!!” teriaknya disana yang sepertinya bertambah kacau. Distorsi dan suara-suara teriakan itu makin berisik dan pastinya menakutkan baginya. Tapi masalahnya aku tak bisa menemukan rumahnya. Gang ini adem ayem kerto raharjo tak ada keributan apapun di malam yang hening ini. Hanya ada suara mesin kendaraan di kejauhan yang melintas di jalan raya. Aku mendengarkan suara-suara di sambungan telepon itu dan menyocokkannya dengan keadaan sekitar.
Ini pasti urusannya ghaib. Gak ada yang lain…
Ada banyak cara aku bisa menguak tabir yang menutup pandanganku. Ada cara bakiak, pedang, api, dan air. Opsi terakhir yang kulakukan dengan mengambil kuda-kuda dengan menarik kedua tangan ke samping mengumpulkan energi air yang dimampatkan padat mengeras seperti panah. Pose Banatirta. Semburan air memancar dari berbagai sudut tubuhku untuk mendinginkan efek jurus ini.
“Banatirta!” seruku tertahan dan melontarkan kedua tanganku ke depan dan tembakan air itu melesat cepat. Seiring juga semburan air mendinginkan tubuh. Tembakan panah air itu menerpa sebuah medan energi transparan dan menembusnya sehingga lamat-lamat aku melihat gelombang mirip riak kain gorden penutup jendela yang disibakkan angin.
Ada tabir ternyata yang digelar menutupi rumah ini. Tabirnya sangat kuat dan menutupi pandangan orang-orang di luarnya dengan mengganti persepsi pandang juga sehingga tak terlihat kenyataan di dalamnya, berganti dengan imaji lain. Itu tujuan utamanya. Untuk menutupi kejahatan yang sedang terjadi di dalam sana. Bekas tembakan Banatirta-ku tak berbekas lagi, kembali menutup erat memperbaiki diri. Sejenak aku bisa mendengar suara berisik saat ada bukaan kecil yang terjadi saat bekas tembakan panah air melubangi tabir itu. Memang ada sesuatu yang gawat sedang terjadi di dalam sana.
Tabir yang sangat kuat hingga memberikan persepsi yang berbeda bagi yang ada di luarnya. Mungkin jiran tetangga keluarga ini pun dibungkam segala panca indranya bahkan ingatannya tentang rumah ini dan segala penghuninya. Bisa dipastikan bahwa si penggelar tabir ini bukan entitas yang kaleng-kaleng. Ini kelas berat punya tingkatannya.
Kelas berat harus dihadapi dengan artileri berat juga.
Kepalaku terasa hangat, kemudian panas. Berasal dari rubi api yang memberiku energi panas. Aku juga menghimpun panas matahari yang dikandung mantel rubah hitam. Tanganku, kedua tanganku membentuk dua bola api besar sekaligus. Ini akan menjadi sebuah tembakan sinar thermal yang super besar. Ini kali pertama aku melakukannya di luar sesi latihan. Dan ini sangat dahsyat!
“ADI PAWAKA!!” seruku lalu menembakkan sinar thermal panas itu dari mulutku. Api yang ada di kepala dan kedua tanganku ikut bergabung hingga semburan sinar itu menjadi semburan api yang bergelora seperti pelontar api yang luar biasa besar. Aku akan membakar tabir yang menyembunyikan rumah Tiwi ini dengan jurus ini.
“WRRUUUUUHHHHH!!!” semburan panas beratus-ratus derajat celsius itu membakar permukaan tabir yang tadi sempat kulubangi dengan Banatirta. Seperti ada permukaan plastik ato kaca tipis yang meleleh berlubang karena semburan dahsyat ini. Kalo ini kulakukan dalam keadaanku yang sangat prima, aku yakin bisa menghancurkan semua tabir ini sampe ludes. Sementara ini, aku hanya ingin masuk saja!
“Hup!”
Aku sudah ada di dalam halaman rumah ini dan aku langsung kaget bukan kepalang. Rumah orang tua Tiwi yang seingatku berdiri di atas lahan ini sudah tak karuan bentuknya. Bagian depannya ambruk, bagian samping ringsek rusak parah tertutup timbunan lumpur dan bagian dalamnya sedang dalam keadaan terbakar dengan api berkobar menyala-nyala. Dimana semua orangnya? Setidaknya ada kedua orang tua Tiwi, dua adiknya, Tiwi sendiri beserta suaminya.
Aku sempat bertanya padanya dimana mereka akan tinggal setelah menikah dan dijawabnya akan tetap tinggal di rumah orang tuanya sementara ini. Mereka harus menabung dulu untuk membeli rumah dengan sistem KPR. Sementara ini akan menabung untuk DP-nya. Setidaknya ada enam orang di dalam rumah ini dan dimana mereka semuanya dalam kondisi kacau balau seperti ini. Yang paling mengkhawatirkan tentunya adalah si jago merah yang sedang melalap isi bagian dalam rumah.
Melihat kasus ini, aku jadi teringat kejadian yang menimpa orang tua Vivi dan Surya–partner trisam Julio dan Amei yang dilahap Banaspati geni. Para tetangga sama sekali tak tau terjadinya kebakaran itu hingga semua sudah sangat terlambat. Apakah ini kerjaan Banaspati lagi? Kerusakan di runtuh ambruknya bagian depan rumah, timbunan lumpur. Apakah Banaspati banyu dan lindu juga ikut serta?
Api? Aku tak perlu takut lagi dengan yang namanya api. Karena aku adalah raja dari peri berelemen api. Bahkan permata sumber kekuatan para peri api kini tersemat di mahkotaku berupa rubi api. Aku langsung merangsek maju melalui material rumah yang sudah hancur. Menerobos kerusakan parah yang terjadi di bagian depan rumah. Menepis bila ada yang kira-kira membahayakanku. Timbunan bata, kayu-kayu balok, atap seng yang berhimpitan lalu berhadapan dengan bagian rumah yang sedang terbakar berkobar menyala. Gemeretak kayu yang sedang dijilati lidah api menjadi arang dengan cepatnya.
Kukosongkan udara dari perut dengan menghembuskannya pelan-pelan dari hidung dan mulut berkali-kali dengan tarikan nafas pendek. Keningku terasa hangat tanda rubi api aktif. Lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya dengan kuat. “Syuuuutttt…” Udara panas yang ada didepanku tersedot beserta dengan energi panas berbentuk api berkobar-kobar menyala marak membakar bagian dalam rumah yang porak poranda ini. “… yuuuuttttt…” lagi dan lagi energi panas itu memasuki tubuhku akibat kusedot. Perutku terasa sangat hangat sekarang walo begitu banyak api memasuki tubuhku.
Kini yang tertinggal hanyalah asap sisa terbakar saja yang mengepul tebal di bagian langit-langit bangunan yang hangus menjadi arang gosong. Asap itu lalu membumbung tinggi terbang ke langit. Beberapa benda gosong berjatuhan berupa arang dan pecah. Aku menghembuskan nafas pertanda caraku menghisap semua api tadi sudah selesai. Mengkonsumsi api begini kupelajari dari peri Padma. Mereka yang memakan magma bahkan sadis lagi caranya karena batuan cair itu dijadikan makanan yang menjadi konsumsi sehari-hari mereka. Pertama kali nyoba perutku panas dan akhirnya kembung. Sekarang lebih mendingan.
“Fiuhh…” hembusan berakhir.
Ekor mataku menangkap gerakan gusar di sudut ruangan yang mungkin merupakan ruang keluarga. Dari gerakannya yang menggelinding, aku segera tau benda apa, tepatnya mahluk apa itu yang segera bergerak ke arahku dengan gusar dan berang.
“Jumpa lagi bola api keparat… Banaspati geni…”
Bersambung