Part #76 : Jadi Obat Nyamuk

“Kok keknya awak jadi obat nyamuk, ya? He hehe…” kekehku setelah tak sengaja melihat kemesraan kedua perempuan ini. Kedekatan kaum perempuan tak bisa pulak disamakan dengan kedekatan, keakraban kaum pria. Lumrah aja ngeliat dua perempuan sahabatan saling bergandengan tangan kala berjalan-jalan, kan? Cobak klen tengok kalo dua laki-laki bergandengan tangan, pasti dah dicap hombreng. Jatuh-jatuhnya dua orang pemabuk yang sama-sama takut nyungsep terjerembab masuk paret abis dari pakter tuak.

“Ish… Abang… Nih… Mau juga?” Cherni menyodorkan sepotong dim sum padaku dan kusambut sambil mesem-mesem. “Enak, kan?”

“Enak… Buat sendiri?” tanyaku sambil ngunyah-ngunyah. Aku memang belum sempat makan malam tadi karena keburu bercinta dulu sore-sore, cuddling sebentar ngebicarain Lisa dan Tiara lalu menyusul interogasi Tiara. Lumayan buat ngeganjal perut.

“Iya, dunks…” jawabnya mencocol dim sum baru untuk disuapkan pada Neneng lagi.

“Kenapa gak buka bengkel aja? Malah kerja di pabrik…” candaku lalu menyomot satu lagi setelah menyesap seteguk cola.

“Garing…”

“Kalian pacaran aja… Trus kumpul meong kek di sini… Dari pada di rumah sendiri-sendiri kesepian…” ucapku nyeplos aja habis menyaksikan kemesraan keduanya lagi suap-suapan dim sum. Cherni merengut tetapi Neneng hanya menatapku datar.

“Tapi ada benernya juga-loh, Neng… Neneng di rumah sendirian… Aisa juga sendirian… Kenapa, li kita gak ngumpul aja di sini bareng-bareng? Kita jadi gak selalu kesepian begini tiap harinya…” setuju Cherni walopun terdengar naif dan kekanakan. Raut wajah Neneng berubah begitu mendengar nama Aisa. “Setuju, gak?” menyederhanakan semuanya. Wadu-duh… Aku malah memberinya ide cemerlang ini.

“……………….” Neneng bungkam.

“Neneng maunya cuma kalian berdua aja, Cher…” tebakku. Samar-samar aku bisa meraba kemana ini berujung. Kecemburuan. Neneng hanya mau Cherni untuk dirinya sendiri. Kalo kuingat-ingat, Neneng yang paling getol melindungi Cherni dari godaan Julio syaiton waktu di cafe saat itu. Apakah itu juga perasaan aslinya selama ini? Sehingga karena kesamaan nasib mereka bertiga, ia berniat menyingkirkan Aisa. Kalo itu benar, itu sangat kejam.

“Kenapa cuma berdua kalau bisa bertiga… Rumah ini bisa bertambah ramai kalau semakin banyak penghuninya… Bukannya begitu, Neng…” kata Cherni dengan naifnya. Apa ia tak tau perasaan Neneng terhadapnya? Apakah Aisa juga punya perasaan yang sama? Setidaknya itu yang dianggap Neneng sehingga ia merasa perlu menyingkirkannya. “Kita bisa masak bareng-bareng… Makan bareng… Bobo bareng… Bukankah itu akan menyenangkan, li?”

“Ng… Baiknya kalian ngomongin lebih… banyak lagi… Bertiga kalo bisa… Awak pulang aja kalo gitu…” kataku yang merasa hanya sebagai kambing congek aja. Levelnya gak lebih jelek dari obat nyamuk.

“Bang Aseng di sini aja dulu…” sergah Neneng malah gak mau aku beranjak dari tempat. Aku membeku. Lalu duduk lagi. Apa aku disuruh jadi wasit, ya? Cherni menatap Neneng dan aku bergantian. Sepertinya ia baru menyadari ada sesuatu yang tengah terjadi di sini. Ia meletakkan sumpit miliknya dan berpikir.

“Ada apa ini? Sepertinya ada sesuatu yang serius yang kalian sembunyikan dariku…” ia menatap Neneng lebih lama dan hanya melirikku sebentar.

“Kita sama-sama senasib ya kan, Cher… Kita bertiga bahkan… bareng dengan Aisa… Tidak beruntung di pernikahan kita… Punya suami malah seperti gak punya suami aja… Entah dimana mereka sekarang saat ini…” kata Neneng. Aku tak tau, haruskah aku ada di posisi ini? Tapi Neneng mencegahku pergi tadi. Amankah menganggap kalo ia ingin aku mendengar semua pembicaraan ini? “Sama-sama senasib membuat kita dekat seperti ini… Curhat-curhatan… nongkrong bareng… nonton bareng… makan bareng… Kadang kita bergantian nginep di rumah masing-masing… Tak memungkiri kalo kita merasa nyaman…”

Ada jeda untuk beberapa lama bagi Neneng untuk menguatkan hatinya untuk berani menyampaikan ini.

“Neneng harus berani menyampaikan… kalo Neneng sayang dengan Cherni… Suka dengan Cherni… Merasa nyaman dekat dengan Cherni…” akhirnya keluar juga pernyataan ini. Perasaan yang lama dipendam hingga membuat dirinya nekat mencelakakan Aisa yang dianggapnya mengganggu perasaannya ini. Aneh juga rasanya menyaksikan acara penyampaian rasa suka orang lain begini. Ada deg-degannya juga. Padahal aku gak ada urusan sama sekali bakalan diterima ato ditolak. Karena biasanya kejadian seperti ini dilakukan secara private, tertutup tanpa campur tangan pihak lain. Paling meriah kalo ada EO yang mengatur bagian seremoninya. Tapi tetap harus private. Lah ini acara penembakannya malah dari cewek ke cewek juga. Seaneh apa situasiku?

“Neneng sayang sama Cherni?” matanya lekat menatap Neneng. Alamak… Kenapa aku harus ada di sini. Kepalaku cenat-cenut jadinya. “Tapi Cherni sayangnya sama Aisa…”

JGEERR!!

Aku bak merasakan ada palu Mjolnir punya si Thor mendarat tepat di antara kami bertiga. Suaranya menggelegar menyebabkan kerusakan parah sampe kupingku terasa berdenging. Mata Neneng membelalak. Seolah membenarkan aksinya sebelum ini, menyingkirkan perempuan bernama Aisa itu karena merebut perempuan yang menarik hatinya. Alisnya berkerut-kerut oleh kecewa, marah dan dendam. Aku harus bersiap-siap kalo Neneng nekat melakukan sesuatu hal yang berbahaya pada Aisa yang masih istirahat lemas di salah satu kamar di rumah ini. Tangannya mengepal.

“… dan perlu Neneng tau juga… Cherni udah pernah membahas ini dengan Aisa… Itu tidak bisa terjadi karena Aisa ternyata sayangnya pada Neneng…”

Loh?

Krik krik krik krik…

Apa ini? What’s goin on aya naon? Otakku tiba-tiba jundet oleh benang kusut. Neneng suka Cherni, lalu Cherni suka Aisa dan kemudian Aisa suka Neneng. Mendadak aku terbayang lambang Recycle, Reduce dan Reuse itu. Lambang tiga buah panah saling terhubung itu. Jelek kalo kukatakan itu lingkaran setan karena hubungan mereka berputar-putar di tempat. Itu bukannya jelek tapi malah menguntungkan. Mereka bertiga terhubung satu sama lain. Hubungan saling menyukai, saling nyaman dan saling perduli.

“Aisa?” tetiba Neneng bangkit dari duduknya dan langsung akan keluar dari ruang makan ini. Menuju dimana Aisa istirahat tentunya. Tetiba lagi ia berhenti karena ternyata Aisa ada di sana, bersandar di dinding yang merupakan ambang ruang makan ini. Ia terlihat masih lemah tetapi memaksakan senyum yang indah. “Aisaa…” rengek Neneng dan langsung menyongsong si ito-ito itu. Aisa dengan senang hati menerima pelukan Neneng yang memang disayanginya. Cherni juga lalu bergabung dipelukan penuh keharuan dan kasih sayang itu.

Kimaaaak. Ngeliat tiga perempuan rangkul-rangkulan kek gini, cium-ciuman pipi kek gini, aku malah teringat dengan kasusku sendiri di rumah. Ada hubungan yang mirip-mirip gilaknya kek yang sedang kusaksikan ini. Istriku, Lisa dan Tiara. Hanya saja mereka bertiga tidak melakukan saling 3R (recycle, reduce dan reuse) itu. Lisa dan Tiara hanya menyukai istriku sampe taraf tergila-gila. Hanya mirip saja di jumlah peserta hubungan gilaknya aja.

Neneng menangis tersedu-sedu karena merasa sangat bersalah karena telah melakukan satu hal yang sangat keji pada seseorang yang malah sangat menyayanginya. Ia menangis dan terus ditenangkan Cherni dan Aisa. Aku menggeleng padanya, aku tidak akan cerita apa-apa. Aku tidak akan buka mulut apa yang sudah kau lakukan, Neng. Aku gak akan cerita ke siapa-siapa kalo kau sudah melakukan hal keji itu. Berbaikanlah dengan dirimu sendiri dan jangan pernah ulangi lagi kesalahan itu sampe kapanpun. Jangan pernah membiarkan dirimu jatuh dalam lubang yang sama. Jangan pernah masuk dalam kepedihan. Hiburlah diri kalian dalam kebersamaan ini, seberapa anehpun hubungan yang kalian pilih ini. Hiburlah jiwa kalian yang terluka akibat para pria yang tak bertanggung jawab dan bila masanya tiba, bukalah hati itu kembali untuk hal yang sejati.

——————————————————————–
“Jadi keluargamu berantakan gara-gara ibu mertuamu selalu ikut campur?” simpulku akan masalah rumah tangga yang kini merundung Neneng. Tipikal sih. Sering dengar malah. Ibu yang merasa sudah berjuang habis-habisan untuk anak lelakinya dan tak bisa move on membiarkannya hidup mandiri dengan keluarganya, pasangan hidupnya. Sang ibu merasa kalo ia yang paling berhak atas hidup anaknya karena ia yang sudah melahirkan, membesarkan, membimbing hingga sukses seperti sekarang. Istri sang anak dianggap sebagai saingan yang harus dijutekin tiap hari karena merasa tak pernah benar di matanya. Malas mengurus suami, malas mengurus rumah, malas masak, malas bangun pagi. Ada aja hal salah yang dilakukan sang mantu.

Neneng yang juga bekerja dianggap sang mertua tak terampil mengurus suami karena kadang makannya tak teratur, bajunya tak dicuci, tak disetrika. Padahal menurutnya, ia sudah berusaha membagi waktunya antara pekerjaan dan mengurus rumah tangganya. Tapi itu tadi, ada saja hal yang salah di mata sang mertua yang sok sempurna. Membanding-bandingkan Neneng dengan dirinya waktu baru menikah dulu. Alhasil suami istri sering bertengkar dan cekcok mulut tiap harinya akibat ikut campur dan mulut usil sang mertua. Belakangan Neneng malah berkonfrontasi dengan mertua akibat masalah yang itu-itu lagi.

“Kami jadi renggang semenjak ia pulang ke rumah ibunya dan gak pernah mengunjungiku lagi sampai sekarang…” pungkasnya mengakhiri kisah pernikahannya yang tak indah.

“Makanya kalo klen punya anak… biarkan dia menjadi pribadi yang mandiri dan pande mengambil sikap… Orang tua memang yang utama tapi gak segitunya kalee…” ujarku malah jadi sewot sendiri memberi sedikit wejangan sebagai senior yang udah punya anak.

“Apalah abang ni? Kami bertiga belom ada yang punya anak, bang…” jawab si ito. “Nanti kalo kami udah punya anak abang baru bisa bilangin kami kayak gitu…” mulutnya lalu bergerak-gerak gak jelas, ngedumel.

“Kan kubilang kalo klen punya…”

“Jadi cemana masalah si Neneng ini? Apalah kata bang Aseng?” tanya Aisa.

“Kalo dua mamak-anak itu payah-lah kalok mau dirubah… Yang satu jembutnya udah beruban… Yang satu lagi jembutnya nyangkut di jembut mamaknya… Jadi orang ini berdua istilahnya gandeng jembut… Udah subahat kerennya… Pening klen kan dengar bahasaku? Cuma nunggu mamaknya mati mungkin lakikmu itu baru nyadar kalo mamaknya itu nggak Highlander (serial TV, klan MacCleod) … Nggak immortal yang gak mati-mati… Mau berapa lama dia nyiumin ketek mamaknya trus…” kataku yang makin malam makin berkabut otakku.

“Mamaknya kawin muda, bang… 14 tahun dia nikahnya… Jadi beda lakikku sama mamaknya ya cuma 14 tahun itu… Kuracun aja ya, bang?” usul Neneng yang lebih keren lagi.

“Aa… Kalo kau sabar, tungguin sampe mamaknya mati… Kalo kau gak sabar, racun aja! Cocok itu… Janganlah… Nangis nanti Aisa chayank-mu yang unch unch ini ngeliat Neneng dipenjara… Udaaah… Tinggalin ajalah laki-laki kek gitu… Masih banyak lagi homo-homo nganggur di luar sana…” kataku sebenarnya eneg juga dengar kasus kek gini. Solusinya gak pernah ada. Tapi mendengar nasehatku yang nyeleneh, bisa juga membuat mereka bertiga tertawa-tawa.

“Nah kalo masalah si Aisa abang mungkin agak heran nanti dengarnya… Cemmana masalahmu sama suamimu…” pinta Cherni.

“Ahh… Gak pantaslah kuceritain sama abang ini… Buka aib aja…” tolak Aisa. Si ito Aisa ini nama aslinya Marisa boru Siahaan. Cuma karena dari kecil ia sulit merapalkan namanya dengan jelas karena lidah cadel anak kecil, ia menyebut dirinya sendiri sebagai Aisa dan terbawa terus sampe segede ini.

“Kita saling sharing aja, say… Nanti Cherni juga sharing masalah Cherni… Abis itu bang Aseng… kalo ada uneg-uneg yang pengen dikeluarkan… Yang ingin didengarkan…” kata Cherni memberi ide ini. Udah kek sesi terapi psikologi pulak jadinya kurasa. “Selama ini kita sharing-nya sesama kita aja… Mungkin ada perspektif baru dari bang Aseng…”

“Ya-ya… Cocok tuh… Ceritain, Aisa… Neneng tadi barusan cerita… Ayolah…” desak Neneng dengan menyikut-nyikut perempuan yang demen pada dirinya itu.

“Iya-lah…” akhirnya ia luluh dan berdehem-dehem membersihkan tenggorokannya. “Demikianlah… ceritanya…”

“Huuhh…” sorak Cherni dan Neneng bersamaan karena candaan garing si ito satu ini. Mereka tertawa terbahak-bahak di ruang makan ini. Suasana sudah lebih hangat sekarang. Lebih cair.

“Aisa ini kan asli mojang Batak Toba nih, bang…” ia malah cenderung bercanda lagi. “… gerejanya juga pasti punya Batak Toba…” sebutnya akan nama singkatan gerejanya yang kurasa di seluruh Indonesia ada cabangnya karena orang Batak ada dimana-mana. “Nah… Suamiku itu orang Nias, bang… Beda gerejanya sama Aisa, kan ya? Waktu kami masih pacaran dulu… mau kok dia pindah ke gereja kami… Tapi sampai sekarang… gak pindah-pindah dia, bang…” ia menceritakannya pendek saja karena aku udah paham esensinya. Aku gak kaget mendengarnya.

“Jadi klen renggang gara-gara beda gereja?” simpulku. Aisa mengangguk. “Padahal udah banyak sinamot (seserahan) yang dikasihkan lakikmu, kan?” ia mengangguk lagi.

“Trus gimana, bang? Apalah yang bisa abang wejangkan sama Aisa yang masih junior ini?” tanyanya dengan logat Batak yang dibuat-buat medhok. “Jangan pulak abang suruh kami pindah agama…”

“Bah! Gak pulak awak se-SARA itu, ito-ito… Klen buat gereja baru kalok banyak duit klen berdua… Ada duit klen banyak?” tanyaku ikut bercanda dengannya. “Ini yang serius… Awak pernah punya pengalaman kek gini juga sama kawan… Beda gereja juga orang itu dua lakik binik… Intinya harus ada yang ngalah… Pasti dikasihlah kalo salah satu dari klen ada yang pindah dari gereja itu… Ngertilah sintua (tetua gereja Batak) klen kalo masalah kek gini… Masih sama-sama nyembah Tuhan yang sama-nya klen, kan?… Contohnya kawanku itu… yang perempuan yang pindah ke gereja lakiknya… Aman-aman aja sampe sekarang… Banyak anaknya… Rajin dua-duanya pergi ke gereja sama-sama…” ujarku mencontohkan kenalanku.

“Masalahnya, bang… dua-duanya orang ini gak ada yang mau ngalah… Masing-masing berkeras pada pilihannya sendiri…” imbuh Cherni yang sepertinya tau persis watak Aisa.

“Kalo kek gitu mana bisa kemana-mana klen berdua… Cuma ngalah aja kuncinya… Entah lakikmu ato kau, ito… Karena kita semua disini nasehatin Aisa… ya Aisa-la yang ngalah… Awak yakin di klen (Kristen), istri juga harus tunduk dan patuh pada suami, kan? Universal itu… Sama di agama manapun…” kataku pada kesimpulan yang mutakhir terparipurna. Eh… Ini kok bisa aku gak keblinger lagi?

“Nanti-lah itu, bang… Dia entah dimanapun Aisa udah gak tau lagi…” ketus Aisa ogah-ogahan. Aku beralih ke Cherni, mungkin dia tau kenapa.

“Terakhir dari status fesbuk-nya… lakiknya lagi di festival Rio… bareng-bareng banci…” bisik Cherni menutupi mulutnya dari pandangan Aisa. Aku hampir tergelak, hanya sanggup memegangi perut yang tiba-tiba kram. Di festival meriah itu dan di segmen para transgender? Wow! Ngebayangin lelaki yang sudah disulap cantik dengan bulu-bulu unggas berwarna-warni meriah membentuk rupa artistik nan rupawan. Brrr…

Cherni tertawa dengan menutup mulut melihatku membayangkan lakik si Aisa yang astajim luar biasa mempesona. Cepat-cepat aku menyetip gambaran merusak fantasi itu. Gak mau pulak aku pindah haluan menjadi pecinta lubang tinja. Enak melihat mahluk cantik bernama Cherni, panlok yang janji akan menceritakan masalah keluarganya. Aku menunjuk padanya.

“Sekarang giliranmu, Cher… Ceritalah… Siapa tau ada yang bisa awak bantu… Tapi gak janji pulak… Dua kawanmu ini contohnya… Aneh-aneh dan berat pulak masalah mereka…” kataku.

“Ya-ya… Cherni ceritain, deh… Kami itu sedang LDR-an sekarang ini… Dia lagi kerja di Jerman yang setahun cuma dapat cuti setengah bulan… Sekian…” kisahnya dan tau-tau udah selesai aja ceritanya. Padahal aku berencana menghabiskan segelas cola yang baru kutuang dengan mendengar kisahnya yang pasti seru.

“Kimbek… Kirain ceritanya bakalan seru… Cuma segitu aja-nya?” kesalku. Mereka bertiga tertawa cekikikan.

“Ya… Tapi dia udah kek bang Toyib yang lima kali Imlek, lima kali Cap Go Meh gak pulang-pulang ke Indonesia…” weleh… Udah kek lagu dangdut itu. “Janjinya dulu dia bakal menumpuk cutinya empat tahun jadi bisa liburan selama dua bulan… Cherni sabar-sabarin empat tahun… Ini udah lima tahun gak pulang-pulang… Walang rasa dia udah ikut Neo-Nazi ato apa gitu di sana… Lima tahun, li gak pulang-pulang?” kisahnya ternyata cukup tragis.

“Cherni pun lucu… Susul aja kesana kenapa? Gaji banyak… beli tiket ke Jerman kecil-la…” kataku. Heran juga, empat tahun sabar menunggu. Gak pernah dijamah, dikobel apa lagi.

“Walang takut naik pesawat, li…”

“Udah pigi mati ajalah kau…” sambarku tepok jidat.

“Dah kusuruh dia buat SIM Internasional, bang… Jalan dari Malaysia… trus trus… ngikutin jalur sutra Marcopolo… Sampek-nya tuh ke Jerman… Setidaknya dia bisa nyampe ke tanah leluhurnya… Hi hi hihihihi…” kata si Aisa yang nampak kali bercandanya. Kira-kira aja jalan darat ke Eropa perlu waktu berapa lama?

“Ini serius nanya, nih… Tapi masih kontak-kontakan, kan? Telepon… SMS… Video call? Apalah gitu?” tanyaku. Ia menggeleng untuk langsung menjawabku. “Udahlah… Buang aja lakikmu ke laut kalo kek gitu ceritanya…” Ini yang paling parah dari mereka bertiga dan sudah jelas mereka cocok satu sama lain. Masing-masing bisa saling menyayangi satu sama lain setelah disakiti sedemikian parah oleh hubungan yang tak sehat. Hubungan yang toxic. Hubungan yang merusak.

Akankah hubungan baru mereka ini akan menjadi toxic juga? Karena perasaan mereka tak saling timbal balas. Tak ada rasa balasan dari sisi yang mereka sukai. Hanya rasa satu sisi saja. Setidaknya ada rasa penyeimbang dari sisi yang lainnya. Semoga aja mereka menemukan kebahagiaan yang mereka cari selama ini.

“Isshh… Bang Aseng kayak gitu kali sama Cherni… Apa gak ada nasehat-nasehat apa gitu?” katanya kurang puas dengan pendapatku.

“Buanglah sampah pada tempatnya… Buanglah mantan pada tempatnya juga… Itu nasehat awak untukmu, Cher… Kajol klen betiga semuanya… Kagak jolas… Ada yang satu gara-gara mertua… Yang satunya gara-gara jadi banci… Yang satunya lagi gara-gara gak berani naek pesawat… Random kali masalah klen ya, kan? Awak juga butuh nasehat nih… Dengerin ya?… Gimana kalo ada dua perempuan yang cantik-cantik… seksi-seksi suka sama binikku? Dua-dua perempuan itu tidur bareng sama kami… Apa yang harus kulakukan? Apa coba?” tanyaku antara bosan sama pening.

“Cewek yang satu sukaaaa kali sama binikku sampe pernah dia bilang mau minta cere sama lakiknya supaya bisa aku nikahi… pake masuk Islam segala… agar bisa selalu dekat dengan binikku… Cewek ini anak bos di tempat awak kerja… Dikasih pulak tinggal sekamar dengan kami… Cewek yang satu lagi udah beberapa bulan ini kerja sebagai baby sitter anak-anakku… Selama ini dia sudah mengawasi binikku pake kamera pemantau bayi… Dua-duanya udah menggerepe-gerepe binikku…” aku memperbaiki posisi dudukku.

“Cobak? Apa-la yang bisa klen nasehatkan untuk awak cobak?” kataku. Mereka bertiga pandang-pandangan takjub kalo orang bisa menghadapi masalah serumit itu.

“Itu masalahnya beneran, bang?” tanya Neneng.

“Ngarang, li…” ujar Cherni.

“Coba liat foto binik abang…” pinta Aisa.

Saat aku hendak merogoh saku celanaku untuk mengambil HP, aku teringat kalo Lisa kemarin mulai tergila-gila dengan binikku gara-gara ngeliat foto di HP-ku. Aku jadi ragu. “Enggak-la, Sa… Anak bos itu mulai suka sama binikku yaa… gara-gara abis liat foto yang awak pamerin… Nanti kau suka pulak…” kataku urung ngeluarin HP.

“Ihh… Enggak-loh, bang… Aisa kan udah ada Neneng… Masa suka sama binik abang juga?” elaknya menepis khawatirku. Yang lainnya juga jadi penasaran dan pengen tau binikku gimana penampilan dan penampakannya. Demi tau apa yang bisa mereka nasehatkan untukku, kutunjukkan fotonya.

Mereka bertiga seperti terpana melihat tampilan orang rumahku yang mereka pelototi di layar HP-ku. Seperti ada percikan kembang api tahun baru di atas kepala mereka bertiga saat menatap rakus foto binikku. Satu foto mereka liatin sampe lama lalu beralih ke foto berikutnya dan berikutnya lagi.

“Hooi-hoi!” seruku merampas HP-ku kembali ke tanganku dari penguasaan mereka. “Itulah yang tadi kutakutkan… Kek udah mau klen jilat layar HP-ku tadi kutengok…” kukantungi lagi gadget-ku itu dalam-dalam di saku celana.

“Yakin, li itu istri bang Aseng?” desak Cherni.

“Seksi kali, bah…” komen si Aisa.

“Itu beneran, bang?” tanya Neneng.

“Gak! Aku nemu di botot (rongsok)!!” kesel jadinya. Kenapa perempuan-perempuan bermasalah macam mereka ini cenderung untuk tertarik dengan binikku ya? Ya Tuhan. Besar kali dosaku…

——————————————————————–
Capek dan lelah ketawa-ketiwi bareng tiga binor ngenes yang bermasalah dengan masing-masing lakiknya, aku permisi pulang. Mereka bertiga sudah pada dewasa. Sudah lebih dari bisa untuk bertanggung jawab atas apapun yang mereka putuskan untuk masa depan mereka sendiri. Kalo mereka putuskan untuk meninggalkan para suami mereka ya monggo. Kalo mau ngumpul barengan bertiga saling mencintai ya monggo juga.

Sedan Camry Lisa sudah ada di dalam basement dan mesinnya sudah dingin. Yang artinya sudah berjam-jam lalu ia sampe seperti terakhir kali dikabarkannya. Apa ya hasil pembicaraan mereka? Interogasi istriku atas Tiara dan Lisa.

Loh? Dikunci? Ini dikunci dari dalam. Aku coba berkali-kali mencoba memutar kenob pintu tapi tak bisa berputar, konon lagi terbuka. Aku gak pernah punya kunci untuk pintu kamarku ini. Whaddepak! Aku gak bisa masuk ke kamarku sendiri!

Apa mereka lagi di kamar bertiga, ya?

Membayangkan yang enggak-enggak membuatku tiba-tiba deg-degan. Apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar? Berdiskusi? Ngobrol? Main ular tangga? Apa arisan? Kalo cuma itu gak perlu sampe ngunci pintu segala ya, kan? Gimana kalo mereka… Ah… Aku jadi semakin excited. Gimana? Gimana caranya aku bisa melihat keadaan di dalam kamar. Aku gak punya kemampuan mengendalikan mahluk asing seperti Ameng si Vivi. Ato malah Merogo Sukmo Lisa. Kalo aku punya kemampuan semacam itu, aku bisa dengan mudah mengetahui kejadian di dalam sana.

Ngintip dari jendela! Malam-malam begini gordennya sudah ditutup. Itu akan jadi usaha sia-sia. Saat-saat begini aku jadi kepengen masang CCTV di rumah ini. Monitor bayi milik Tiara! Aku meletakkannya kembali di box bayi Salwa tadi saat sebelum Tiara datang ke kamar ini. Aku harus menemukan layar monitor pemantaunya. Benda itu hanya satu biji. Tadi sore ia tidak membawa benda itu. Benda sebesar HP itu pasti ada di kamar Salwa ato Rio, tempat ia tidur akhir-akhir ini.

Buru-buru aku menuju kamar anak-anakku. Kuperiksa kamar Rio pertama kali. Rio sedang tidur dengan damainya di atas ranjangnya. Mataku liar memindai seputaran kamar anak sulungku ini demi menemukan benda itu. Sampe aku yakin kalo benda yang kucari ini tak ada di sini, aku berpindah ke kamar Salwa di sebelah. Pandanganku langsung tertumbuk pada benda itu di atas kasur lipat di bawah box bayi Salwa. Bayiku juga tidur dengan damai di tempatnya. Kunyalakan monitor pemantau ini dan memilih beberapa channel yang tersedia. Ada 6 channel. Channel pertama adalah kamar ini, kamar Salwa. Channel kedua adalah kamar Rio. Channel ketiga adalah ruang bermain bersama Rio dan Salwa. Channel keempat adalah kolam renang rendah. Channel kelima adalah kamar kami lewat box bayi Salwa yang tertinggal. Ini dia…

Channel kelima!

Layarnya kecil cuma 4 inchi tapi lumayan daripada tak ada sama sekali. Gambarnya pun harus menggunakan mode night vision karena lampu kamarku dibuat sangat temaram dengan dimmer. Sekali lagi dari pada tidak ada sama sekali.

Benar… Ada tiga sosok perempuan di atas ranjang. Tak satupun dari mereka yang berpakaian. Semuanya dalam keadaan menempel satu sama lainnya. Tepatnya dua sosok merubungi satu sosok yang berambut pendek seleher berdada jumbo besar menggunung. Itu sudah pasti binikku kalo ditilik dari rambutnya karena satu lagi yang bertetek jumbo berambut panjang, tak lain tak bukan adalah Lisa. Apa yang Lisa lakukan pada binikku? Panlok binor itu sedang mendekatkan wajahnya ke bagian dada orang rumahku. Tentu saja ia sedang mengenyot-ngenyot susu fenomenal binikku dengan rakusnya. Tangannya yang bebas meremas yang sebelahnya.

Dimana Tiara? Baby sitter itu sedang rebah menelungkup di depan kaki istriku. Ngapain? Tentu saja sedang mempermainkan vagina lezatnya, dong. Kaki kanan dan kirnya mengayun-ayunku menikmati momen ini. Tangannya mengelus-elus pangkal paha binikku dan sesekali menciumi hingga kakinya bergerak kegelian. Istriku duduk tegak berusaha tegar mendapat dua serangan Lisa dan Tiara. Mereka seolah mengeroyok istriku yang tak berdaya menerima serangan kedua perempuan yang sedang tergila-gila pada dirinya.

Aku mendekatkan telingaku untuk mendengar suara yang tertangkap oleh baby monitor ini karena jarak sumber suaranya cukup jauh. Yang terdengar olehku samar-samar adalah suara desahan merintih istriku. Hanya suaranya saja yang terdengar karena kedua perempuan lainnya sedang asik melakukan kegiatan stimulasi dengan mulut mereka, membuat mereka tak dapat mengeluarkan suara.

“Aaahh…” erangnya cukup akrab di telingaku. Itu suaranya kalo sudah mendapatkan puncak kenikmatannya, orgasme. Bertepatan dengan itu aku sudah ada di depan pintu kamarku lagi. Kubuka paksa pintu ini hingga terjajar masuk melewati ambang pintu ini. Jarak pintu dan ranjang ada sekitar 4 meteran, mereka sama sekali tak menyadari kehadiranku karena kerusakan yang kusebabkan hanya minimal saja di pintu itu, suara bahkan tak ada.

“Siapa diantara klen yang mengunci pintu?” tunjukku ke arah pintu yang sudah terbuka. Yang kelabakan akan tubuh telanjangnya tentu saja hanya Tiara. Sementara Lisa dan istriku tidak bereaksi sama sekali. Aku paham istriku, tetapi Lisa tidak bermain dengan baik. Harusnya ia juga berlagak panik seolah tak pernah ada kejadian apa-apa sebelumnya antara kami. Setidaknya sandiwara begitu. Tiara memunggungiku saat memakai kembali semua pakaiannya.

Situasinya saat ini udah kek hotel esek-esek yang kenak grebek satpol PP. Ada beberapa sosok orang tak berbaju yang sedang sibuk memakai pakaiannya kembali. Aku sebagai pihak penggerebekan berusaha mencari keterangan. Lisa dan istriku hanya menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Lisa berwajah datar sementara istriku aku tak mengerti ekspresinya. Antara mau tertawa, tersenyum ato apa.

“Lisa yang ngunci, bang…” jawab Lisa. Berarti dia yang terakhir masuk ke kamar ini. Pulang kerja, ia langsung kemari. Pakaian kerjanya yang tadi berserakan di lantai nyampur dengan pakaian istriku.

“Apa yang kalian berdua lakukan sama istriku? Awak sampe harus merusak pintu untuk masuk kemari… setelah ngeliat ini…” tunjukku pada monitor pengawas bayi milik Tiara ini. “Kirain ada apa di dalam sini… rupanya klen lagi beginian…” aku gak abis pikir hanya bisa garuk-garuk kepala yang mendadak amat gatal akibat pusing.

“Mama yang nyuruh mereka berdua, paa…” ia mengambil semua tanggung jawab.

 

“Mama? Tunggu bentar… Pake dulu semua baju klen berdua… Mama sama Lisa… Pake baju… Biar kututup dulu pintunya biar gak ada yang masuk…” aku balik ke arah pintu yang tak bisa ditutup rapat lagi karena bagian tonjolan lidah penguncinya sudah kubuat patah. “Ada-ada ajapun…” bisikku sendiri. Aku menutup pintu ini menggunakan ganjal sepatuku sendiri, memberi mereka sedikit waktu untuk membagi porsi kesalahan. Istriku tau, aku tak mungkin marah padanya hingga ia mengambil bagian paling besar dalam skandal aneh ini.

Aku berdiri di depan mereka bertiga setelah lampu lebih kusetel lebih terang. Istriku dan Lisa masih di atas ranjang sementara Tiara berdiri di dekat mereka. Kucoba memandangi mereka bertiga bergantian. Hanya Tiara yang tak berani menatapku balik.

“Ini ada apa, sih? Kenapa klen bertiga malah maen lesbi-lesbian? Tadi kutinggal pergi kuliah mama masih nanyain Tiara apa yang sudah dilakukannya selama ini? Nambah Lisa pulang kenapa jadi kek gini?” aku tepok jidat lalu mengusap mukaku sampe dagu. Kalo bisa lepas, lepas mukaku.

“Mbak yang nyuruh, bang… Tanyain Tiara, deh…” kata Lisa.

“Iya, bang… Kakak yang nyuruh…” akur Tiara dengan Lisa.

“Mama yang nyuruh mereka berdua… untuk gini-giniin mama? Bukannya papa udah nyuruh mama untuk tegas sama Lisa?… Kenapa malah jadi gini?” aku tambah pusing aja. Ini seperti sudah bukan istriku lagi. Gak pernah ia seaneh ini. Sebentar aja kutinggal kuliah, sudah banyak perubahan drastis pada dirinya dan itu terjadi karena keberadaan dua perempuan yang notabene s.u.k.a. pada dirinya ini.

Istriku mengangguk-angguk dengan yakin.

Dua perempuan ini penyebab istriku berubah? Benarkah itu? Perubahan itu bukan berasal dari dirinya sendiri?

“Mama juga suka dengan mereka berdua? Sudah gak suka lagi sama papa? Glek…” aku mulai khawatir akan orientasi dirinya—meneguk ludah khawatir.

“Yaa… Masihlah… Masih cinta kali sama papa… Tapi mereka berdua kasian kan, paa…” jawabnya enteng. “Mereka pada kesepian… Gak ada yang sayang… Tiara putus dari pacarnya, jomblo… Lisa juga mau ditinggal lakiknya balik ke Australi… Lagipula mama sama sekali gak selingkuh dari papa, kan? Papa tau semua apa yang mama kerjakan… Papa tau mama begini sama mereka berdua…” ia mencoba menawarkan rasa bingungku.

“Gak selingkuh gimana, ma? Begini ini gak selingkuh? Karena terang-terangan? Karena sama perempuan?” tanyaku tentu aja bingung. Dari mana ia mendapat pembenaran itu. Aku bukan manusia yang suci-suci kali karena udah selingkuh sana selingkuh sini di belakangnya. Apakah ini balasan yang kudapatkan karena tingkahku? Istriku malah membalasku dengan cara ini? Apakah dia tau tingkah polahku selama ini?

“Enggak dong, paa… Selingkuh itu kalo mama sama laki-laki… Sembunyi-sembunyi… Itu yang namanya selingkuh… Ini namanya mana selingkuh… Sama perempuan juga pula… Kami hanya bersenang-senang…” jawabnya masih enteng dengan wajah ceria-ceria aja.

“Mama yang bersenang-senang… Mereka berdua ini nggak! Mereka beneran suka sama mama… Mereka sungguh-sungguh… Mereka ini pake perasaan…” kataku mencoba mengingatkannya. Aku melirik pada Lisa dan Tiara juga bolak balik menatap istriku dan aku. Sepertinya juga mereka bingung akan apa yang sudah terjadi. Mereka bingung? Bukankah ini yang mereka harapkan? Bisa sebegitu dekat dengan istriku yang menjadi idaman mereka, bahkan sampe menyentuh intim tadi.

“Tentu… Kami bersenang-senang… Lisa… Tiara… Kemarilah…” panggilnya. Kedua perempuan itu dengan patuh mendekat padanya. Tanpa ragu istriku memagut bibir Lisa dan mengulumnya untuk beberapa lama. Lisa terlihat sangat menghayati cumbuan perempuan idamannya itu. Tanpa ragu ia membalas cumbuan mulut istriku. Bahkan ia membiarkan tangan istriku meremas-remas tetek jumbo-nya. Dengan kecupan terakhir, ia beralih pada Tiara dan melakukan hal yang sama. Aku secara langsung melihat bagaimana istriku mencumbui dua perempuan cantik di depan mataku tanpa ada keraguan sedikitpun. Tangannya juga lancang meremas-remas payudara Tiara yang masih terbungkus pakaiannya.

Aku kaget melihat yang setauku Tiara adalah gadis yang manis, sederhana, sopan dan rajin bekerja bisa menjadi sebinal ini di tangan istriku. Aku gak pernah sedikitpun membayangkan Tiara dalam posisi ini. Sedikitpun gak pernah karena ia sudah bekerja sedemikian baiknya mengasuh anak-anakku. Apakah ini diri aslinya yang selama ini tersembunyi? Apakah istriku yang membangkitkan sisi itu? Bibir Tiara lumat oleh mulut istriku yang buas dengan keahliannya bercinta. Itu memang caranya berciuman. Aku tau persis itu karena ia selalu menggunakan cara itu kala bersilat lidah denganku. Tetapi mengapa ia melakukannya dengan entengnya dengan perempuan lain? Melakukannya seolah itu adalah hal yang lumrah…

Tiara menjamahkan tangannya juga pada payudara istriku yang sekarang berukuran jumbo dan terhanyut dalam kekenyalan menyenangkannya. Lisa juga tetap aktif mengelus-elus tubuh istriku untuk mencumbunya. Selesai bersilat lidah dengan panasnya bersama Tiara, istriku beralih ke bagian leher jenjang mulusnya. Lidahnya nakal menjilat dan mengecupi leher gadis muda baby sitter itu dengan rakusnya. Tiara mengerang-ngerang keenakan.

Apa yang sudah terjadi? Apa yang terjadi ini? Kenapa ini jadi begini? Aku seperti melihat gambaran diriku sendiri di istriku. Itu semua adalah teknik-teknikku dalam menguasai perempuan. Istriku meniru semua caraku. Kala ia melakukan itu semua padaku, itu lumrah saja dalam sesi percintaan kami. Tapi kali ini ia menerapkannya pada perempuan lain. Tangannya dengan telaten melepaskan pakaian Lisa kembali. Bagian atas tubuh anak pak Asui itu sekarang sudah telanjang. Tetek jumbo-nya bergandulan dengan bebas.

Ia kemudian mengalihkan perhatiannya setelah mencumbui Tiara ke Lisa. Diciumnya bibir binor itu sekilas, menyurut ke leher dan akhirnya mencaplok tetek jumbo-nya. Lisa tentu aja kegelian campur nikmat payudara kenyalnya dicumbu oleh perempuan yang ia sukai. Inilah yang ia harap-harapkan. Rintihan mengerangnya membahana di kamar ini.

“Maa… Hentikan, maa…” suaraku menjadi parau menyaksikan ini. “Hentikan… Stop! Stop… Jangan menghukumku seperti ini, maa… Hentikan, sudah!!” jeritku tak tahan lagi menyaksikan ini semua.

“Papaa… Tidak ada yang menghukum papa… Kenapa papa harus dihukum… Papa gak salah apa-apa… Kami hanya bersenang-senang… Mama gak selingkuh, kok… Bukannya papa suka mama seperti ini? Seseksi ini… Humm…” ia kembali mendaratkan mulutnya di tetek jumbo Lisa. Pentilnya dicucup-cucup sampe bersuara berdecit sangking semangatnya menyedot. Lisa mengerang bukan buatan. Tangan istriku yang lain menelusup masuk ke celana dalam Tiara melewati gaun kerja baby sitter-nya, menemukan surga basah di baliknya.

“Sudah, hentikan, maa… Tidak perlu seperti ini… Mama tidak boleh seperti ini pada mereka…” aku memintanya berhenti. Berulang-ulang bahkan memohon agar ia berhenti. Aku tak mau menggunakan kekerasan. Aku berpantang menggunakan kekerasan pada istriku sendiri, seperti menarik paksa mereka agar terpisah. “Papa mohon berhenti, maa… Ini tidak benar… Mama tidak boleh melakukan ini… Ini tidak benarrr… Papa mohon berhenti…” ia menepis tanganku yang berusaha menarik wajahnya dari tetek jumbo Lisa yang sedang dinikmatinya.

Lidahnya menyentil-nyentil dengan lugasnya mempermainkan puting mengeras Lisa bergantian kanan kiri. Tangannya lincah mengobok-obok kemaluan Tiara yang celana dalamnya sudah melorot di lutut gadis itu. Ketiga perempuan dewasa yang sudah larut dalam nafsu jadi begini tak perdulian. Tak memperdulikan apapun dan itu dipimpin oleh istriku yang menjadi objek kegilaan dua perempuan di pernikahanku ini. Mereka ini orang luar. Aku yang paling berhak atas istriku. Jiwa dan raganya.

“MAMA! BERHENTI!” teriakku lantang agar segera menyadarkannya dari kesalahannya ini. Ini hal yang gak benar untuk dilakukan. Aku tidak setuju. Aku tidak ridho dengan ini semua. “BERHENTI!!” teriakku lagi.

Berhasil ia menghentikan kegilaan ini. Ia berhenti memainkan tetek jumbo Lisa dan mengobel kemaluan Tiara…

“Ehh..” ia menarik tubuhku hingga menubruk tubuhnya. Ia beralih mencumbui mulutku. Ada aroma Lisa dan Tiara yang kuat di mulutnya. Lidahnya bermain-main menerobos mulutku. Liar dan lugas ia mencumbu mulutku. Tangannya mengalung di leherku dengan eratnya. Kakinya juga mengapit pinggangku dengan ketat. Aku gak bisa lepas dari pelukannya tanpa menggunakan tenaga yang meronta. Dan itu sudah menjadi kekerasan.

Ia menikmati mulutku dengan seksama seperti tadi sore. Ia menggunakan cara yang sama seperti mengajakku bercinta tadi sore. Tapi aku tidak menginginkan ini. Ia memaksaku!

Tak sekalipun ia melepaskan mulutku. Kala aku berdalih menjauh, ia menarik mengarahkan mukaku ke arah mukanya lagi dan langsung menyerobot mulutku, mencumbui terus. Berusaha menaikkan birahiku. Lidahnya terus merangsangku, bermain-main dengan mulutku. Dengan kakinya, ia menjejal-jejalkan perutku ke arah selangkangannya. Hei… Apa ini? Dia tidak pernah segini agresif.

“Kita bersenang-senang, paa…” bisiknya beberapa detik mengucapkan itu lalu memagut mulutku kembali.

“Mambb… Mamhh…” aku tak sempat mengatakan satu kata yang jelas sekalipun akibat paksaannya. Sempat tangan kirinya lepas dari memeluk leherku tapi itu untuk menarik Lisa agar ikut larut dalam pergulatan kami. Lisa dengan patuhnya menggunakan mulutnya untuk menjilati telingaku. Dan sumpah itu geli sekali lalu menjadi enak.

Saat aku merasakan geli-geli enak jilatan Lisa di kupingku, ada sepasang tangan yang berusaha melepaskan legging ketat yang dipakai orang rumahku. Dari arah gerakannya, aku yakin pelakunya adalah Tiara. Kemudian setelah itu, aku yang berikutnya kehilangan celana. Aseng junior-ku yang… kurang ajarnya mau menegang, sukses gilang gemilang bisa dipepetkan ke arah selangkangan istriku. Dan seolah sudah tau stasiun resminya, dimana ia bisa keluar masuk dengan bebas—Aseng junior menusuk masuk dengan bahagianya.

“Aahhhh…” kami berdua mengerang keenakan bersama.

“Papaaah… Enak, pahh…” rintih istriku merasakan kemaluanku membelah dirinya.

Kupeluk erat dirinya merasakan juga kenikmatan yang sangat memabukkan ini. Tetapi ini semua sangat berbahaya, begitu instingku berkata saat kesadaranku sudah terambil alih. Aku sadar sesadar-sadarnya kalo kami berdua sudah tidak ada di tempat yang sama, di dalam kamar di atas ranjang. Melainkan sebuah tempat yang sama sekali berbeda.

“Pantek! (Pantat!)” umpatku pelan begitu menyadari aku sudah berada di dalam kamar Basri. Kamar ini adalah tempat aku pernah sempat bersiteru dengan si kuntilanak merah bernama Mutee itu. Salah satu dari Burong Tujoh itu.

“Paahh… Kita ada dimana ini?” tanya istriku karena ia tiba-tiba merasa tidak nyaman berbaring di atas lantai, setelah barusan kutindih di atas ranjang empuk kami. Tempat ini telah berganti gelap temaram. Bahkan lebih gelap dari kamar kami sebelumnya. Aku mencerabut Aseng junior dari stasiun-nya dengan perasaan kentang. Situasi yang seharusnya ena-ena berubah drastis menjadi genting begini.

Kenapa genting? Kami berdua sama-sama tak bercelana. Hanya baju yang terpasang di tubuh dengan bagian bawah sama sekali polos. Aku sebenarnya anti kali kalo harus berantem telanjang kek gini. Aku merasa sangat insecure karenanya. Disamping lawan bisa dengan mudah menarget alat vitalku, pergerakan menggandulnya sering mengganggu. Istriku mepet merapat merasa bingung dan ketakutan akan perubahan ini. Apalagi ia tak menemukan Lisa dan Tiara yang hilang bak ditelan bumi saja. Bagaimanapun mereka berdua sudah saling berbagi kenikmatan walo seaneh apapun proses kejadiannya maupun alasannya.

Tetapi dengan begini, aku sedikit menemukan titik terang kalo sumber masalahnya adalah istriku sendiri!

Kenapa? Karena dia yang ada disini saat ini. Bukan Lisa dan juga bukan Tiara. Istriku sendirilah sumber masalah semua kekacauan ini.

“MUTEEE! KELUAR KAU, MUTEEE!! AKU TAU KAU DALANG INI SEMUA, MUTEEE!! KELUAARRR!!” teriakku memanggil namanya. Ruangan ini serasa menggelegar akibat suara teriakanku yang membahana. Pasti ia sedang bersembunyi di satu tempat di ruangan yang kali ini menjadi daerah kekuasaannya. Tempat ini tidak besar apa lagi luas. Hanya seukuran kamar 4×4 meter saja, tanpa furniture sebuahpun karena pernah menjadi tempat tinggal Basri saat terganggu jiwanya. Hanya sebuah kamar kosong dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat, gelap mencekam.

“Siapa Mutee, pah? Apa ini semua, pah? Kita ada dimana, pah?” tanyanya berturut-turut.

“Ini yang papa ceritain tentang pertarungan Menggala itu, ma… Mama ada di dalamnya sekarang… Mutee itu kuntilanak merah yang pernah papa ceritain waktu itu loh… Hantu di Aceh itu…” jawabku seringkas mungkin. Ia sudah kuceritakan dari awal kami menikah tentang dunia lain tersembunyiku ini. Kalo aku kerap melakukan latihan dan pertarungan di tempat-tempat seperti ini sebagai seorang pendekar Menggala. Pilihannya kalo bukan aku yang mengundang lawan, aku yang diundang masuk ke daerah semacam ini.

Mata belo’nya melotot mendengar penjelasanku. Ia sudah sering dengar aku bercerita tapi memilih cuek karena merasa gak berkepentingan di dalam dunia asingku itu. Tak dinyana, tak diduga, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak—ia sekarang masuk ke dalamnya!

“Mama gak mau, paa… Mama gak mau ada disini… Mama mau keluar!! Sekarang juga!” mukanya terlihat panik. Dia bukan perempuan yang seberani itu. Dia tak setangguh itu. Ada hal-hal yang secara wajar ditakutinya dan salah satunya tentu masalah yang ghaib-ghaib seperti ini. “Ini papa pasti lagi ada masalah sama hantu-hantu itu, kan?” tebaknya dengan muka horor bercampur cemas luar biasa. “Keluarkan mama sekarang juga!!”

“Kita bisa keluar begitu aja, maa… Papa gak tau jalan keluarnya…” jawabku masih jelalatan mencari lawan.

“Itu pintunya… Kita bisa keluar dari sana…” tunjuknya ke arah pintu yang secara normal adalah jalan keluar masuk ruangan ini.

“Itu bukan jalannya… Percaya sama papa itu bukan jalan keluarnya…” jawabku. Aku bukan pemain baru di dunia perseteruan para Menggala. Hanya pelaku pemula yang percaya sebuah pintu adalah sebuah pintu. Seringnya benda semacam itu malah adalah jebakan yang mematikan yang sengaja disiapkan lawan yang lengah. Apalagi lawan selicik dan selicin ini. Entah apa di baliknya ato kemana pintu itu mengarah. “Jangan pernah menganggap hal yang sama di luar sana dengan di dalam sini…”

“Jadi kita gimana nih, paaa? Apa kita dikurung disini? Mana kunti-nya?” ia masih mepet padaku memegangi lenganku erat-erat.

“Apa kabar, cantik?” sapa satu suara. Kami berdua terkesiap mencari-cari asal suara itu. Walo gelap begini, mata sudah lumayan terbiasa oleh kegelapan dan bisa membedakan bentuk-bentuk. Suara barusan sangat dekat tetapi kami tak dapat memperkirakan posisinya di mana.

“Suaranya dari mana, pah?” tanyanya. Aku juga ingin menanyakan hal yang serupa karena kami tak dapat mendapati sosok yang barusan menyapa itu. Suaranya suara perempuan dan aku sangat yakin itu bukan suara Mutee.

“Papa gak tau, maa…” menggeleng tanda tak paham.

“Aku dekat dengan kalian…” ia memberi petunjuk keberadaannya. Dekat…

Aku bahkan mengecek lantai, siapa tau pemilik suara itu lagi lesehan di sana. “Dimana kau?”

“Sangat dekat sekali…” tunjuknya. Aku memang sama sekali gak ngerti dimana dirinya.

“Ini suara hantu itu, paah?… PLAAKK!!” tiba-tiba pipi kiriku terasa pedas oleh sengatan tamparan yang penuh dengan emosi. Panas pipiku jadinya terkena tamparan itu. Aku belum pernah sama sekali melakukan kekerasan pada istri dan anak-anakku. Belum pernah memukulnya sekalipun. Keras Aseng junior saja yang pernah melukai dirinya. Dan ini, ia menamparku dengan sangat kerasnya…

“Maah?” kagetku memegangi pipiku yang panas.

“Tangan mama… Tangan mama bergerak sendiri, paah…” ia tak kurang kaget. “PLAAAKK!!” sebuah tamparan menggunakan tangannya yang lain sukses mendarat lagi di pipiku. Aww… Panas! Kenapa sakit kali tamparannya. Aku sudah sering kena bogem lawan di muka, tapi belum pernah ada yang terasa sesakit ini.

“Bergerak sendiri?” heranku. Sialan! Hantu itu ada di dalam tubuh istriku dan mengendalikan tubuhnya. Berarti tingkahnya selama ini karena pengaruh mahluk ghaib yang bersemayam di dalam tubuhnya?

“BOUUFFTT!!” sebuah pukulan yang sangat telak sekali menghantam dadaku. Aku sampai terlempar melayang ke arah dinding dan membenturnya. Punggung dan belakang kepalaku sampe membentur dinding sangking gak siapnya aku menerima serangan mendadak dari istriku sendiri. Aku jatuh terduduk dengan dada, punggung dan belakang kepala kesakitan. Istriku berdiri di sana dengan tangan menjulur habis menghajarku barusan. Itu bukan dirinya.

Ada mahluk ghaib yang menguasai dirinya saat ini.

Sejauh ini… Ini lawan yang terberat yang pernah kuhadapi.

Bersambung

tante sange
Antara kegelisahan dan kenikmatan yang telah di berikan tante april
korban dukun cabul
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian satu
Foto Ayane Sakurai artis JAV ngewe sampai banjir
Cerita Dewasa Mandi Bareng Dengan Bibiku Yang Cantik
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
istri teman sexy
Nikmatya Tubuh Sexy Istri Temanku
500 foto chika bandung pakai baju sexy keliatan memek nya
tetangga cantik
Nikmatya Memperkosa Gadis Lugu Tetanggaku
pembantu genit
Mbak Tri pembantu tetangga yang genit dan binal
Ngentot baby sitter
Mbak Marni, Baby Sitter Yang Merawatku Dari Kecil
janda bohay
Berpacaran dengan janda montok yang sudah punya tiga anak
kakak ipar sexy
Lina, Kakak Ipar Yang Paling Mengerti Aku
sedarah
Bercinta Dengan Tante Dan Ibu Kandungku
bercinta dengan ttm
Sabrina, TTM Ku Tersayang
ngenot mantan pacar
Cerita sexs hubungan ku dengan mantan pacar adik ku
sma sange minta di entot
Menikmati Keperkasaan Penis Guru Ganteng