Part #75 : Bertemu Amei

“Alo, mang? Ada apa?” ini kontraktor renovasi rumahku nelpon. Bla bla bla…

Fiuuh… Ada-ada aja masalah yang datang silih berganti. Masak kontraktor masih ngerepotin yang punya rumah juga sih? Segala masalah gak dapat pasokan semen dan pasir harus kutangani sendiri. Ada segitu banyak panglong (toko material) di Medan sini, masa gak ada yang mau nerima bon darinya? Kontraktor apa sih dia?

Aku scroll-scroll kontakku mencari kenalan yang berkenaan dengan bahan-bahan bangunan yang bisa kumintai tolong. Eh… Amei biniknya Julio punya panglong, kan? Bisa-la minta tolong sama dia.

“Halo, Mei…” sapaku setelah teleponku berdering beberapa kali. Sore-sore begini apa masih buka panglongnya.

“Halo, bang Aseng… Kok bisa pas gini waktunya? Barusan tadi Amei mau ngirim pesan untuk abang… Ada apa, bang?” jawabnya disana riang mendapat telepon dariku. Keknya lagi bahagia tuh panlok binor si Julio ini.

“Mau mesan semen sama pasir, Mei…”

“Loh? Bukannya itu tugas kontraktor abang, ya? Kok yang punya rumah yang mesan?” herannya tentu. Aku tentu pernah cerita pada pasutri itu kalo aku sedang merenovasi rumahku yang di Mabar. Pernah juga Amei menawarkan bahan material bangunan saat kami bertemu dalam sesi 3S kami, tapi kutolak karena aku menyerahkan semua urusan itu pada sang kontraktor.

“Itulah peningnya, Mei… Katanya gak ada panglong yang mau diutangin lagi sama dia…” balasku agak segan karena secara gak langsung aku mau ngebon ke panglong miliknya.

“Ya udah… Tapi abang datang kemari aja… ke panglong Amei… Ada yang mau Amei bicarain juga… Bisa?” terimanya. Yes! Amei bersedia menyediakan bahan material buat renovasi rumahku. Kenapa gak dari kemaren-kemaren aja aku ngebon di panglongnya. Tapi apa yang mau dibicarakannya?

“Oh… Buka sampe jam berapa, Mei? Udah sore begini…”

“Udah mau tutup sih… Tapi Amei tungguin sampe abang datang, deh…” jawabnya. Kami menyudahi hubungan telepon itu setelah saling mengucapkan selamat sore. Sore-sore menyambangi panglong binor itu yang dalam keadaan tutup. Ia menunggu sampe aku datang. Bakalan enak-enak, nih. Lumayan buat ngelepas stres setelah menghadapi masalah si Lisa, Tiara dan istriku.

“Iya-iya… Tau… Lisa yang lembur, deh…” katanya masih fokus dengan pekerjaannya. Matanya menatap bergantian layar kompie dan tumpukan data di atas meja tanpa melirikku sama sekali. “Abang pulang aja duluan… Lisa selesaikan sampe abis ini semua laporan…” Ini mungkin karena ia merasa bersalah sudah semena-mena menggunakan tubuh istriku sebagai fantasi sablengnya. Mungkin juga pengalih perhatiannya agar tak terlalu membayangkan yang tidak-tidak dengan istriku. Saat ia pulang lembur, ia pasti kelelahan dan capek. Ujung-ujung tidur lelap tanpa merecoki si mbak cantiknya.

“Semangat ya yang lembur…” aku meninggalkannya sendiri di office ini. Biasanya jam-jam segini hanya ada aku dan kak Sandra. Tapi sore ini hanya ada Lisa sendirian. Kantor ini sangat sepi. Aku melongok ke arah cubicle kami. Ia bekerja dengan tekun dan rajin. Akhirnya aku balik lagi kepadanya.

“Kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanyanya heran. Tak kujawab melainkan mengecup ubun-ubunnya setelah memegangi dagu.

“Semangat!” aku kabur lagi diiringi pandangan melongo Lisa.

——————————————————————–
Kuparkirkan mobilku di depan panglong Amei. Rolling door-nya udah ditutup rapat tapi gerbang sampingnya yang menuju gudang bahan-bahan materialnya masih terbuka sedikit. Mobil Amei juga ada di dalam gudang. Aku masuk ke dalam lewat gerbang itu. Ternyata ada satu pintu lagi untuk mengakses bagian dalam panglong.

“Sore, Mei…” sapaku yang menemukannya sedang menghitung pembukuannya dengan sebuah kalkulator. Wajahnya langsung sumringah mendapati aku sudah sampai di tempatnya.

Amei

Amei

“Bang Aseeeng…” sontak ia meninggalkan pekerjaannya dan bangkit dari duduknya untuk menjelang padaku. Tanpa sungkan ia memeluk dan mencium pipiku senang sekali melihat keberadaanku. Karena memang tak ada orang di ruangan ini, kubiarkan saja pelukannya. Apalagi aku bisa merasakan desakan toge Amei yang menekan dadaku dengan kenyal. Tinggi tubuh Amei yang lumayan tak membuatnya susah untuk menjangkau mulutku.

“Aman, nih?” mataku jelalatan kanan-kiri menilai situasi. Tempat seperti ini biasanya ada banyak orang di luar. Apalagi para pekerja panglongnya belum pada pulang semua. Masih ada beberapa orang yang kulihat berkeliaran tadi di luar. Kalo mulai gelap, bahkan ada penjaga malamnya segala.

“Cups… Aman kok, bang… Tapi biar bang Aseng lebih tenang… kita kemari…” ia menarik tanganku ke arah belakang. Ada sebuah kamar yang segera ia tutup rapat. Tidak terlalu besar. Mungkin hanya sekedar tempat ia beristirahat di kala menjalankan usaha toko materialnya ini. Ada sebuah ranjang sederhana dari kayu dan pendingin udara setengah PK. Diarahkannya aku ke ranjang duduk berdampingan dengan rapat. Ini jauh lebih baik.

“Amei seneng banget abang mau datang kemari sore-sore begini… Seneeeng banget…” ia memeluk perutku lebih erat lagi dan menekankan wajahnya di leherku. Ia memang sangat ceria dan berseri-seri lebih dari biasanya. Panlok cantik seksi yang hanya memakai kaos you can see dan celana jeans selutut ini mengeluarkan aura bahagia. Apakah hanya gara-gara aku bertandang kemari?

“Wah-wah… Keknya baru tembus obyekan proyek besar nih…” tebakku menyisipkan rambut yang berserakan ke lipatan telinganya. “Senangnya senang kali…”

“Ta-raaa!” ia menyodorkan sebuah benda yang segera kutangkap sebagai sebuah test pack kehamilan yang banyak dijual bebas di apotik. Mataku langsung memindai ke ujung tempat penanda indikatornya berada. Dua garis pink. Positif. “Amei hamil…” matanya yang menyipit segaris karena tekanan senyumnya yang lebar memamerkan gigi geligi rapi putih bersih.

“Selamat ya, Amei… Akhirnya Amei hamil juga…” aku mengambil test pack itu dan memperhatikan dua garis pink itu lekat-lekat. Kupeluk balas tubuhnya erat-erat. Kuciumi keningnya mengekspresikan betapa aku juga sangat berbahagia untuknya. Ia lalu mendongakkan wajahnya dan menyerobot mulutku hingga kami berciuman jadinya. Saling pagut mulut kami untuk beberapa lama. Aku dapat merasakan deburan jantungnya lewat togenya yang melekat erat dempet di dadaku.

Amei meremas-remas punggungku dengan gemas meningkahi remasan-remasan tanganku yang menjamah toge dadanya. Lalu aku mengelus-elus perutnya. Amei merenggangkan pelukan kami untuk meleluasakan aku menyentuh perutnya. Ia memberi jarak yang seluas-luasnya padaku. Kusingkap kaos tanpa lengannya itu dan mengarahkan wajahku ke perutnya.

“Aahh…” erangnya saat kukecup perutnya. Aku bahkan menarik tepian jeans-nya agar perutnya semakin lebar terlihat. Aku menciumi bagian perut di bawah pusarnya. Kulit putihnya meremang bangga, aku menciumi hasil karyaku yang kini mulai bersemayam di dalam perutnya.

“Semoga sehat selalu… Cepat besar dan menjadi kebanggan mama Amei yang cantik…” bisikku sebagai doa untuk sang jabang bayi. Amei tersenyum lebar tetapi mengusap cepat titik air mata bahagia dari sudut matanya. Kusongsong lagi mulutnya dan ia mengalungkan tangannya ke leherku. Kukecup matanya agar tak lagi menangis. Kebahagiaan yang harusnya di depan matanya mulai kini selanjutnya.

“Walau kita sudah buat perjanjian… kita sama-sama tau ini anak siapa, bang… Amei akan menjaganya baik-baik… Amei sudah janji, kan?” lirihnya di sela permainan bibir kami. Kukecup hidungnya berterima kasih sudah ingat perjanjian kami. Julio sableng itu tak percaya diri untuk menghamili istrinya sendiri dan memilih untuk pake kondom saat menggauli kemaluan istrinya. Malah selalunya ejakulasi di mulut. Mengingkari kodrat yang diberikan yang Maha Kuasa. Memberikan kesempatan itu malah padaku yang berhasil menghamili istrinya setelah beberapa kali sesi threesome.

“Bagus…” pendek saja komentarku dan mengelus dagunya.

“Amei bahkan belum memberitahu Julio tentang ini. Amei rasa bang Aseng yang harus tau terlebih dahulu…” Amei lalu meloloskan kaos tanpa lengan itu, berturut-turut dengan bra-nya, celana jeans selutut lalu terakhir celana dalamnya. Kemudian direbahkannya tubuhnya di ranjang ini dengan senyaman mungkin. Ia mempersembahkan tubuhnya lagi padaku dengan melebarkan kakinya. Jawabanku tentu saja dengan cara menelanjangi diri sendiri juga dan lalu larut di dalam pelukan erat dirinya.

Kugenjot binor cantik dengan tubuh aduhai ini selembut mungkin. Sepanjang kugauli tubuh indahnya, tak pernah lepas pagutan mulut kami saling memberi kenikmatan. Amei merintih-rintih mengerang sepanjang ronde. Tubuh kami melekat erat saling memuaskan. Erangan-erangan Amei sangat seksi membuatku sangat-sangat terangsang. Apalagi insting purbaku mengatakan kalo perempuan yang sedang kugeluti ini adalah wanita sempurna yang sedang hamil hasil perbuatanku sendiri. Ia tak punya masalah apapun untuk hamil dan itu sudah kubuktikan.

Berkejat-kejat tubuhnya kala mendapatkan puncak kenikmatan itu lagi dan lagi. Kaki dan tangannya mengait di tubuhku, menekan saat buncahan kenikmatan itu menyergap tubuhnya dengan manis. Ia mengulum-ngulum bibirku merasakan sisa serpih kenikmatan itu meresap ke sekujur tubuhnya. Batang kejantananku tak henti-henti menggelar kenikmatan terus. Berulang-ulang memompa kenikmatan bagi kami berdua. Amei pasrah saja diapakan olehku. Pasrah saat dibolak-balik menggenjotnya dari belakang. Digasak menyamping yang akhirnya membuatku menyemburkan cairan kental suburku, membasahi liang kawinnya yang sudah berhasil kubuahi.

Kupeluk tubuh sintalnya dari belakang sambil mencumbui lehernya. Togenya juga kuremas-remas lembut membuatnya bergidik geli dan tertawa cekikikan. Amei menjangkau ke belakang dan mengoles-oleskan Aseng junior ke belahan bokong montoknya. Kuhembuskan nafas hangat yang makin membuatnya bergidik geli gak tahan dan berbalik untuk mencaplok mulutku lagi. Lagi dan lagi kami saling cumbu mulut. Lidah kami saling berbelit bergelut bergulat memadu nafsu. Kembali togenya kuremas dan kupilin membuatnya merintih mengerang.

Aseng junior siap untuk ronde berikutnya dan kugasak tubuh indahnya.

——————————————————————–
Saat sampe rumah menjelang Maghrib, mobil Lisa belum terlihat pertanda ia masih belum selesai lembur. Saat kutelpon, benar saja dia masih di kantor menyelesaikan tugasnya. Cukup berdedikasi dan bertanggung jawab. Saat kutanya apakah sudah makan, apakah capek—ia hanya tertawa-tawa kecil saja, tak menjawab eksplisit. Ia hanya mengatakan akan pulang ke rumahku kalo pekerjaannya sudah selesai.

Begitu pintu basement tertutup rapat, aku sudah disambut orang rumahku. Di kejauhan terdengan azan Maghrib. Ia sepertinya mencari-cari keberadaan Lisa yang tak kelihatan. Mungkin ia bertanya-tanya, satu kerjaan kok pulangnya gak bareng?

 

“Cari siapa, ma?” tanyaku. “Cari Lisa, ya?”

“Iyaa… Kok dia belum pulang… Papa suruh lembur, ya?” ia terlihat khawatir.

“Paling-paling bentar lagi pulang… Papa mau mandi dulu… makan, abis itu berangkat kuliah lagi…” kataku sedikit berlari-lari kecil menaiki tangga agar gak didesaknya lebih jauh. Apalagi bau tubuhku udah campur aduk. Bau keringat sama bau pepek.

“Aneh gak sih, paa… kalo mama mimpi kek gitu sama Lisa? Apa gara-gara kejadian tadi malam itu, ya? Mama gak nyalahin papa sih kalo masuk sebentar ke Lisa… Kan mama yang ngasih dia izin tidur bareng kita… Tapi itu mama beneran kaget kali waktu kejadian itu… Enak gak, sih? Tapi beneran mama gak ada bibit-bibit lesbi-loh… Tapi tetek mama malah ada merah-merahnya gitu kek ada yang nyupang… Papa aja gak pernah nyupang…” ia nyerocos ngalor ngidul mengikuti aku dari belakang.

Aku berhenti dan ia menubrukku. Tentu saja bemper jumbo-nya yang membenturku. “Mama ada suka sama si Lisa, gak? Cewek nembak cewek juga kok diladeni, maa… Diizinin bobo bareng kita lagi… Kan jadi bingung kita waktu mau maen seks-nya… Kek gak bebas gitu… Nunggu dia tidur eh taunya dia cuma pura-pura tidur… Apa mama mau dia minta ikutan?” kataku berjalan bersamanya. Eh udah kukasih tau kan kalo menuju kamar utama yang merupakan kamar kami itu jauh, harus nyegat angkot dulu. Gak sampe-sampe perasaan dari tadi.

“Ishh… Amit-amit… Papa kali yang suka… Ada dua cewek jumbo di kasurnya…” baliknya gak mau kalah.

“Lahh… Dia kemarin itu minta dikawinin abis minta cere sama lakiknya gimana? Papa kan gak bisa… Papa sudah ada janji sama mama… Kecuali mama mau papa merevisi perjanjian kita… Eiitt… Saya sudah tauu… Mama gak akan mungkin mau…” potongku sebelum ia protes. Ia bungkam. “Mama yang harus tegas sama Lisa, maa… Lisa itu keknya cinta berat sama mama… Sampe-sampe dia mendapat kemampuan mengirimkan khayalannya ke mama lewat mimpi…”

“Hah?” mukanya shock sekali mendengar penuturanku. Aku mengangguk-angguk menegaskan apa yang baru saja kuucapkan. Itu benar.

“Beneran dia bisa, maa…” kataku jujur padanya.

“Kemampuan yang bisa mengirimkan hayalannya ke mimpi mama? Jadi mimpi itu beneran? Perbuatan Lisa? Serem, ih?” ia malah takut.

“Naah… Mama maunya gimana? Mama suka gak maen lesbi-lesbian kek gitu… Keknya mama suka, deh… Buktinya sampe basah kecret-kecret gitu…” godaku meraba gundukan selangkangannya yang dibungkus legging ketat. “Dijilat-jilat Lisa… Dikenyot-kenyot Lisa… Dicupang Lisa…” aku tambah meremas sebelah payudara jumbo-nya. “Dikobel-kobel Lisa… Ditusuk-tusuk Lisa… Saling adu tempek sama Lisa… Enaknyaaa…” aku semakin menggodanya dengan grepe-grepean intens di bagian tubuh vital sensualnya.

“Ihh… paa… Beneran basah jadinya, nih… Tanggung jawab!” ia mendelik. Mana kamar kami masih jauh lagi. Harus mendaki lembah menuruni gunung. Kebalik, woy!

“Kaboor!!” aku langsung ngibrit lari menuju kamar kami. Ia mengejarku. Karena tubuhnya jauh lebih prima sekarang, ia tak kesulitan mengejarku. Hanya saja gelayutan payudara jumbo-nya yang sedikit mengganggu pergerakannya.

——————————————————————–
“Hash hash hash…” nafasnya ngos-ngosan setelah kugenjot sekian lama dan membuatnya orgasme beberapa kali. Dada jumbo-nya memang sangat luar biasa penaik birahi yang luar biasa menggairahkan. Nafsuku selalu meluap-meluap melihat bentuk kenyal dan elastis penghias dadanya. Kebanggaan kaum Hawa ini memang aset yang sangat berharga. Aku beruntung memilikinya sendiri di kamarku.

“Masih enakan sama papa…” akunya. Diremas-remasnya sendiri dadanya. “Sentuhan papa masih lebih baik darinya…” ia menjepit puting gemuk yang masih akan dinikmati Salwa untuk setahun ke depan. Anakku disapih setelah dua tahun. “Apalagi ini…” ia menyekik Aseng junior yang manggut-manggut mengantuk abis kerja keras. Bukan hanya padanya, ia sudah bekerja pada Lisa dan Amei hari ini. “Lisa tidak punya ini untuk menyenangkan mama… Dia tidak bisa mengalahkan papa-laaah pokoknya…” pungkasnya.

“Gimana kalo ada dua yang nyerang mama sekaligus? Lisa sama satu perempuan lain… Apakah penilaiannya akan berbeda? Mungkin akan jauh lebih enak… ato malah jonk?” tanyaku yang membuatnya bingung aku ngomongin apa.

“Apa, sih?”

“Tiara? Kamu ngeliat ini, kan?” aku tiba-tiba mengacungkan sebuah baby monitor ke hadapan kami berdua. Istriku yang berbaring di lenganku kaget melihat benda elektronik sejenis CCTV versi mini pemantau kegiatan bayi ini kuarahkan ke kami. “Tiara kamu kemari, deh… Trus ngaku apa yang sudah kau perbuat pada kakakmu ini selama ia tidur siang…”

Baby Monitor

Baby Monitor

“Papa apa-apaan, sih?” ia berusaha menjangkau baby monitor itu. Merasa risih dan jengah akan adanya kamera pengawas yang sedianya untuk memantau kegiatan anak-anak kami. “Itu nyala, ya?” tanya orang rumahku baru sadar.

“Bukan papa yang ngeletak ini, maa… Ini semua kerjaan Tiara… Tiara kamu kemari sekarang…” aku dadah-dadah di depan bagian kameranya. Istriku masih terus berusaha merampas baby monitor itu dari tanganku. “Jadi selama ini… Tiara selain memantau Salwa di dalam box… dia juga memantau kita… Lebih tepatnya kamu, maa… Bahkan saat Salwa sudah enggak bobok di situ… ia tetap meletakkan alat ini di box Salwa… Mengganti batrenya secara teratur… Di tempatnya… ia mengawasi mama terus… Ternyata dia gak ada bedanya sama Lisa…” jelasku kemudian menyerahkan baby monitor yang dalam keadaan menyala itu kepadanya. Ia menatapku dan baby monitor itu bergantian dengan pandangan tak percaya.

“Tiara juga suka dengan mama…”

——————————————————————–
Kubukakan pintu setelah kami memakai pakaian lagi. Tiara mengetuk pintu dan berdiri gemetar di sana. Kupersilahkan ia untuk masuk. Ia tak asing dengan bagian dalam kamar kami karena ia sudah sering masuk untuk mengurus Salwa yang awal-awalnya masih tidur di sini. Istriku kusuruh tetap duduk di tepian ranjang hingga aku menggiring Tiara untuk mendekat.

Sebelum bicara, istriku memandangi Tiara dengan ekspresi takjub tak percaya juga. Sementara gadis itu hanya menunduk. Entah takut, malu ato apa. Ia hanya menunduk dalam.

“Benar Tiara memperhatikan kakak selama ini?” tanya istriku dengan pilihan kata yang tidak tendensius. Istriku bukan orang bodoh. Ia tentu paham cara menempatkan dirinya. Pertanyaan ini akan mudah dijawab tetapi tentunya akan mengalir rentetan pertanyaan berikutnya kalo coba-coba bohong.

“Benar, kak…” jawabnya pendek dengan suara lirih.

“Untuk apa?” datar.

“Iseng, kak…”

“Untuk apa?” desaknya tak mendapat jawaban yang memuaskan.

“……………….”

“Untuk apa?” ulangnya lagi dengan tambahan penekanan di ujung kalimat.

“……………….” Tiara tetap bungkam tak mau menjawab apa-apa.

“Tiara memperhatikan kakak ato bang Aseng?” ia mengganti soal.

“Kakak…” lirih lagi jawabannya.

“Bagus… Tiara cukup bertanggung jawab dengan datang kemari begitu dipanggil lewat ini… Itu saja sudah membuktikan kalo Tiara memata-matai kami berdua setiap waktu… Tiara menonton waktu kami tadi bercinta, kan?” logisnya tepat. Kalo di kantor polisi, dia sudah bisa kena pasal kriminal.

Ia hanya mengangguk.

“Kenapa?” datar lagi.

“……………….” kembali bungkam.

“Karena Tiara suka sama kakak?” sergah istriku. Sedetik awal kukira ia akan menerjang Tiara tetapi ia hanya meraih kedua bahu gadis itu saat tangannya terulur. Ia kini berdiri di hadapan Tiara. Nafas gadis yang berprofesi sebagai baby sitter itu terengah-engah kaget mendapat perlakuan yang tiba-tiba begitu. Aku tau perangainya dan aku sendiri kaget ia melakukan aksi itu barusan.

Tiara

Tiara

Tiara yang kami kenal adalah gadis manis dan penurut. Ia mengerjakan tugasnya dengan baik dalam mengurus anak-anak kami. Bergantian dengan istriku mengurus Rio dan Salwa. Ia dekat dan akrab dengan kedua anakku juga jadi teman ngobrol istriku selama ini. Ia selama ini sopan dan mencoba selalu menjaga jarak denganku tetapi seperti teman bagi istriku. Itulah kenapa istriku heran…

“Kakak perempuan normal, Tiara… Kakak cintanya cuma sama bang Aseng ini aja…” tunjuknya ke hidungku.

“Tapi-tapi kenapa kakak mau sama Lisa?” keluar juga counter, pembelaan dirinya.

“Siapa bilang kakak mau sama Lisa?”

“Tiara liat… tadi malam kakak tidur bertiga disini… Kakak, bang Aseng dan Lisa… Lisa menyentuh kakak… Tiara liat semua, kak…” jawabnya. Istriku sontak beralih padaku minta konfirmasi. Aku mengangguk-angguk.

“Kebo…” bisikku dengan menutupi mulutku dengan tangan ke arah sisi Tiara. Istriku mengernyit keki.

“Lisa aja yang suka sama kakak… Kakak biasa-biasa aja, tuh… Kenapa? Tiara mau tidur bareng juga disini?” tawarnya.

“Ck… Jangan gitulah, maa… Tah hapa-hapa aja… Masak Tiara juga mau tidur di sini? Papa tidur dimana? Yang ada dua cewek ini grepe-grepe mama tiap malam tros… Mama mana tau karena molor kek kebo…” potongku membantah. Eh? Udah jam berapa ini? Aku kan harus berangkat kuliah! Alamat terlambat nih…

“Maaa… Papa mau berangkat kuliah…” tanpa menunggu jawaban darinya, aku mengumpulkan peralatan kuliahku. “Tadi siang menjelang sore waktu mama tidur siang… yang mimpi basah itu… Tiara juga masuk ke kamar ini dan grepe-grepe mama… jilat-jilat mama sampe ke situ-situnya…” seruku nunjuk ke arah selangkangan istriku, matanya melotot kaget menutup payudara jumbo dan selangkangannya, di sela-sela aku memastikan kalo semua diktat kuliahku untuk malam ini sudah lengkap. Wajah istriku seperti habis melihat setan, terperangah kaget gitu dengan mulut terbuka. Tapi ia masih bisa salim sebelum kukecup keningnya untuk pamit berangkat.

“Da-dah, maa…” aku keluar kamar. Lalu balik lagi untuk teriak, “Jangan semua-semua dimasukin kamar, maa!!” lalu cabut. Aku udah kebanyakan absen jadi gak bijaksana kalo malam ini bolos kuliah lagi. Istriku seharusnya sudah cukup untuk mengatasi masalah ini. Aku terpaksa membiarkannya memutuskan problem yang sangat erat mengenai dirinya ini. Tapi mengingat caranya memutuskan masalah Lisa, cukup mengkhawatirkan juga.

“Kimbek-kimbek… Mana sempat lagi ngisi bensin kalo minyaknya cuma tinggal segini…” kataku ngomong sendiri ketika hendak men-starter Supra X 125-ku. Indikatornya bahan bakarnya udah hampir menyentuh area merah. “Mana harus buru-buru lagi… Terpaksalah…” aku jadinya terpaksa beralih ke Pajero untuk berangkat kuliah.

“Alo? Apa cerita, Lis? Udah siap lemburnya?” jawabku disela nyetir mobil untuk ke kampus. Aku menjawab telepon ini pake speaker phone biar aman. Hashtag safety drive.

“Udah, bang… Ini udah mau nyampe rumah abang… Abang lagi di jalan mau ngampus?” tanyanya sedang nyetir Camry-nya.

“Iya… Eh… kalo Lisa berani… cepat pulang… Tiara lagi disidang mbak-mu itu… Bisa-bisa Lisa juga kena sidang… Berani gak?” tantangku.

“Beneran, bang? Wuihhh… Serem gak si mbak-nya?”

“Karena bukan awak yang lagi disidang yaaa… biasa-biasa aja… Gak tau kalo Lisa yang lagi diinterogasi…” kataku malah berusaha menakut-nakuti Lisa. Apa nanti ceritanya kalo orang rumahku menyidang kedua perempuan pemuja dirinya itu bersamaan? Rebutan istriku sampe cakar-cakaran ato malah jadi threesome FFF mereka.

“Ishh… Lisa langsung pulang-lah kalau begitu… Bye…” ia langsung mematikan sambungan telepon dan aku terus nyetir. Tak lama aku sampe juga dengan selamat di kampus dengan mobil segede gaban gini untuk menembus kemacetan kota Medan malam begini.

“Cieee… Naik mobil sekarang nih, bang?” sapa salah seorang teman sekelasku. “Rentalnya belum dibalikin?” sambungnya lagi. Aku hanya tersenyum menjawab nyinyirnya. Ia biasanya hanya memandangku sebelah mata. Yang biasanya cuma naik motor ke kampus. Ia mengaktifkan alarm Jazz-nya dengan senyum lebar dan menenteng semua peralatan mahal yang kira-kira kreditannya habis dalam jangka waktu 5 tahun itu. Ia bahkan tak menungguku untuk ke kelas bareng-bareng.

Aku yang terakhir masuk kelas ketika dosen Ekonomi Mikro yang jumlah SKS-nya 3 memulai kuliahnya malam ini. Seperti biasa, aku duduk paling belakang, di belakang gerombolan pak Ferdi dan teman sekantornya. Mencatat dan menyimak apa yang disampai oleh dosen pengampu mata kuliah ini. Sudah sekian lama kami kuliah dan kabarnya minggu depan bakalan ada mid-test. Ujian tengah semester. Mudah-mudahan aku bisa melalui semua ini dengan baik sampe akhirnya nanti.

“Ehh… Kenapa? Apa kamu baik-baik saja?” tanya seseorang yang duduk paling depan. Seorang wanita yang permisi untuk ke toilet mendadak sempoyongan sebelum mencapai pintu. Ia sepertinya mengalami sakit kepala dan tak dapat mengendalikan tubuhnya sama sekali. Beberapa orang berniat membantu dan BRAKK!! Dia jatuh begitu saja.

Langsung heboh ya, kan? Apalagi perempuan itu kejang-kejang di depan kelas. Jeritannya bercampur baur dengan teriakan ketakutan dan ocehan para mahasiswa lain yang gak bisa nolongin tapi cuma bisa komen tak membangun. Cuma bacot aja.

“Kenapa?” tanyaku karena pandanganku terhalang oleh yang bergerak berdiri di depanku.

“Ito Aisa…” ujar pak Ferdi yang bergerak untuk melihat keadaan salah satu rekan kerjanya. Julio sudah duluan maju bareng si Neneng. Sementara si Cherni ketakutan sendiri di tempat duduknya. Kenapa si ito itu? Lalu kudengar suara-suara yang mengatakan kalo perempuan itu kesurupan. Waduuuh… Kesurupan?

Beberapa orang memegangi tubuh Aisa, kedua tangan, kedua kakinya dan kepalanya agar tidak meronta-ronta yang malah bisa melukai dirinya sendiri. “Mbaak… mbaak… Sadar, mbak…” seru seorang pemuda yang memegangi kepalanya. Mulutnya komat-kamit, sepertinya sedang membaca ayat suci. Dipijat-pijatnya pelipis si ito Aisa ini.

Julio yang mendapati aku ikut menjenguk keadaan teman nongkrong kami ini langsung menatapku tanpa kata-kata. Tapi aku paham apa maunya. Ia minta tolong padaku tapi tak mau membocorkan kemampuanku. Aku mengangguk kecil setuju dan langsung mengerahkan energi Lini ke bagian mataku untuk melihat gangguan apa yang sedang menyerang Aisa ini. Pandangan ini bukan X-Ray ato penglihatan tembus pandang yang bisa melewati semua bahan tekstilnya hingga bisa ngeliat menembus semua pakaiannya. Gak semesum itu aku. Aku hanya mencari entitas ghaib yang menyebabkannya kesurupan seperti ini.

Seperti biasa, ada kiriman dari pihak yang tak senang dan menghubungi dukun ato orang pintar. Ada satu mahluk ghaib golongan kuntilanak bersemayam di dalam tubuh Aisa, mengambil alih kendali tubuhnya. Tenaganya kuat dan semakin lama semakin merepotkan pria-pria yang memegangi anggota tubuhnya agar tidak meronta. Sebenarnya kuntilanak ini hanya setan kecil golongan rendah yang tak perlu ditakuti karena ia hanya mengandalkan perasaan negatif para korbannya. Seperti kesedihan, kemarahan, ketidak adilan dan tak percaya diri. Yang kuperhatikan agak lama adalah adanya tali ghaib menjulur dari bagian ubun-ubun Aisa. Tali ini terbuat dari sejenis kain berwarna putih dibaluri warna merah darah yang blontang blonteng dengan warna dasarnya.

Tali ini menjulur panjang menuju keluar kelas dan aku mengikuti benda itu kemana berujung. Sia-sia mengusir si kunti itu kalo sumber asalnya tidak diatasi. Ini yang sedang kutelusuri. Panjang tali ini mengulur sampe jauh dan mengarah ke sebuah toilet yang ada di sudut jejeran beberapa kelas ini. Tali ghaib ini mengarah masuk ke dalam toilet dengan tulisan ladies dengan gambar perempuan botak memakai rok. Seharusnya tak ada orang di tempat ini karena masih dalam masa perkuliahan. Tali itu mengarah ke sebuah bilik toilet yang tengah, ada tiga buah bilik di ruangan ini. Ya iyalah, klen pikir perempuan kencing berdiri hingga perlu jejeran urinoir kek di toilet cowok. Dua pintu bilik di kanan kirinya renggang yang menandakan kosong. Tetapi yang di tengah ini tertutup rapat. Tali ghaib ini melewati bagian bawah pintu, masuk ke dalam.

Ada orang di dalam toilet cewek ini ketika kucoba dorong dan tak bergerak. Salah! Harusnya ditarik, seperti pintu bilik di kanan kirinya. Bisa dibuka…

“HAAEEHH!!” teriak seorang perempuan di dalam sana yang sedang duduk di atas toilet. Alamak ada orangnya! Gak dikunci pulak pintunya.

“Sori-sori…” aku langsung kabur keluar toilet ladies ini dan berhenti begitu teringat kalo tali ghaib itu mengarah ke perempuan yang ada di dalam bilik itu. Perempuan itu hanya duduk saja tanpa melakukan aktifitas yang selayaknya dilakukan di dalam toilet. Celana panjangnya tidak diturunkan untuk melakukan kegiatan toilet itu. Makan bakso misalnya.

“Ngapain sih masuk toilet ce…”

“Apa yang sudah kau lakukan sama Aisa?” potongku langsung tembak pada pokok permasalahannya. Mukanya langsung berubah pucat, belangnya ketahuan. “Orang-orang sedang berusaha menyadarkan si ito… kau malah lari kemari?” perempuan itu tercekat ketahuan apa yang sudah dilakukannya. Aku mengulurkan tanganku meminta benda yang dipakainya untuk mencelakai ito Aisa.

“Kemarikan boneka itu…” kataku datar tapi tegas. Aku ingat ia memegang boneka kecil saat duduk di toilet tadi. Tali ghaib ini terhubung ke boneka yang kumaksud.

Ia memandangku balik seolah menantang tak mau memberikan boneka itu.

“Tidak perlu berbuat sejauh ini kalo ada permasalahan… Semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin… Apalagi sangat tidak bijaksana menggunakan hal begini untuk teman sendiri…” kataku tetap bersikeras meminta benda itu dengan tangan terulur.

“Gak usah ikut campur!”

“Serahkan boneka santet itu ato awak ambil dengan paksa…” ancamku masih mengulurkan tangan.

“Gak bakalan…”

“Begitu…” dengan ringan aku meraih tali ghaib yang bisa memanjang sesukanya dari ubun-ubun Aisa ke boneka yang ada di pengirim santet ini. Lalu kutarik dengan betotan kuat. Benda jahat itu melompat keluar dari bagian belakang tubuhnya, yang sedang ia sembunyikan dan segera berpindah tangan padaku.

“Bonekanya…”

“Awak gak tau apa masalahmu dengan ito Aisa… tapi sori… boneka ini harus dihancurkan! RRIPPP!!” Kubelah dua dengan cara menarik bagian kaki boneka yang terbuat dari kain putih berisi kapas, hingga boneka yang digunakan untuk menyantet ini tercerai berai berantakan. Kubanting ke tanah hingga ada genangan darah hitam terciprat bercampur dengan potongan helai-helai rambut dan beberapa ekor belatung yang melata menjijikkan.

“AAAAAAaaahhhhhHHHH!!!” Kain kafan bekas dan kapas pembungkus mayat itu terbakar bersamaan dengan jeritan melengking dari kelas kami. Mukanya shock sekali mendengar suara itu. Ada hembusan angin kencang yang segera kuantisipasi. Jadi posisi kelas kami, dimana sedang terjadi peristiwa kesurupan miss kunti itu ada di belakang perempuan pelaku santet ini. Kuntilanak iseng itu melayang terbang dengan anggunnya, tentu saja mengarah dengan mesranya ke arah miss pelaku santet. Sepertinya mereka akan melakukan cipika-cipiki salam rindu melepas kangen dengan tangan terbuka lebar ala Jack dan Rose nyarik angin di pilem Titanic.

Miss pelaku santet dapat melihat dengan jelas gerakan miss kunti yang akan segera temu kangen, reuni kelas dukun dengannya. Hembusan angin kencang itu membuat rambut panjangnya berkibaran seperti iklan sampo di TV swasta. Alih-alih berkibar rapi, peniru wannabe malah mendapat rambut yang berantakan. Miss pelaku santet yang kini balik menjerit histeris, wajah cantik tirus glowing bolong-bolong mempesona miss kunti terpampang jelas di depan matanya. “WAAAAHHHHH!!!”

Back fire!

Kucekik leher miss kunti untuk sedikit bersabar, tenang miss… alam kalian berbeda. Kudahului gerakan miss kunti dengan menangkap bagian lehernya. Kupepet tubuhnya, diseret ke dinding terdekat. Ia meronta-ronta ingin tetap temu kangen dengan miss pelaku santet. Tangannya menggapai-gapai, memanggil-manggil rindu bak bocah yang manggil tukang odong-odong yang diusir mamaknya.

“Ini yang kau dapat kalo bermain-main santet… SPLLOORCCHH!!” Miss kunti buyar dengan kepala hancur berantakan. Aku menggunakan tapak tanganku menamplok muka seramnya seperti namplok nyamuk yang hinggap di dinding. Hap! Hap! Lalu ditangkap. Tentunya tanganku harus dilambari dengan energi Lini terlebih dahulu, kalo enggak bisa-bisa disalim miss kunti jadinya. Jangan ditiru ya, gaes. Ini bukan tutorial membasmi miss kunti. Ini tutorial menamplok miss kunti.

Yang tertinggal di dinding adalah sebuah bayangan hitam agak pudar dengan bekas gambar tanganku… Sering kau lakukan bila kau marah… Menutupi marahmu… *kok malah nyannyi. Paok!

“Kun… kunn…” ia menunjuk-nunjuk bekas hancurnya miss kunti di dinding. Aku masih mengibas-ngibaskan tanganku yang baru saja kupakai untuk membasmi jin itu.

“Kuntul? Burung kuntul…?” kuraih tangannya dan kubantu ia berdiri lagi setelah sempat jatuh terduduk karena shock barusan. Ia masih menunjuk-nunjuk ke arah hancurnya miss kunti dengan mata nyalang. “Sebaiknya kau minta maaf ke ito Aisa… Tenang aja… Neneng aku temani, kok…” pungkasku.

——————————————————————–
Perkuliahan jadi dibatalkan malam ini akibat insiden kesurupan ito Aisa dan kami dipersilahkan pulang. Perempuan itu dibawa pulang oleh Julio dan Cherni. Pak Ferdi dan aku mengikuti dari belakang dengan mobil masing-masing. Neneng duduk disampingku. Tetapi sepanjang perjalanan pulang, perempuan itu bungkam tak berkata apa-apa.

“Gak ada orang di rumahnya…” gumamku saat melihat Cherni tergopoh-gopoh membuka sendiri gerbang rumah yang kami datangi ini. Ia kesusahan mendorong gerbang berat ini untuk membiarkan mobil Julio masuk. Daerah ini banyak warga keturunan Hokkien yang bermukim. Tempat usaha panglong milik istri Julio, Amei bahkan dekat-dekat sini juga. Apa ini rumah ito Aisa?

“Itu rumah Cherni…” jawab Neneng. Sepanjang perjalanan, baru kali ini bersuara. Oo… Ternyata rumah Cherni, toh. Pantesan. Tapi kenapa malah dibawa kemari, bukannya dibawa pulang ke rumahnya sendiri? Belum sempat aku menanyakan itu, “… rumah Aisa-pun sama sepinya seperti ini…” ia menjawab pertanyaan yang akan kutanyakan itu. “… seperti juga rumahku…”

“Oo…” suaraku lalu memposisikan mobilku di depan pagar saja karena dua mobil sudah memenuhi halaman rumah itu, hingga milikku tak muat di dalam sana. Pak Ferdi membantu Julio membopong Aisa yang masih lemah ke dalam rumah. Aku menyusul mereka diikuti Neneng yang malas-malasan ato malah malu. Tiga perempuan ini hidup sendirian di rumah mereka masing-masing. Entah kebetulan ato gimana mereka ada dalam lingkar pertemanan yang sama. Kalo Cherni aku sempat dengar kalo ia ada masalah dengan suaminya yang gak jelas ketika ledek-ledekan dengan Julio waktu itu. Entah dengan kedua perempuan ini.

Mereka semua mengurus Aisa dalam diam. Perempuan itu diletakkan di salah satu kamar dan dibiarkan beristirahat karena tubuhnya masih sangat lemas. Percayalah, abis dirasuki oleh mahluk halus untuk pertama kali adalah pengalaman yang tak menyenangkan. Tubuh jadi terasa gak karuan dan pokoknya gak enaklah rasanya. Merekapun sepertinya paham hal ini dan membiarkan Aisa istirahat tanpa gangguan.

“Apa yang merasuki si ito, bang?” bisik Julio saat duduk berdekatan denganku. Ia berusaha agar tak didengar yang lainnya.

“Kunti… Udah beres, kok…” jawabku berbisik juga. “Eh… Selamat, ya…” bisikku lagi. Ini tentu tentang istrinya, Amei yang sudah positif hamil. Baru kali ini aku sempat ngobrol dengannya.

“Selamat apa, bang?” bingungnya. Waduh? Amei belum memberitahu dirinya ternyata. Apa menunggu sampe ia pulang kuliah ini baru akan disampaikan berupa surprise gitu? Takut pulak aku menjadi spoiler kejutan Amei. Duh… Amei gak pake koordinasi pulak nih.

“Maksudnya… Si ito untung selamat… karena kunti-nya cukup berbahaya…” jawabku ngeles yang cukup maksa. Untungnya Julio gak ngeh maksudku. Wah… Benar juga… Amei pastinya harus menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar bahagia itu pada suaminya. Apakah ia sudah mengikuti saranku waktu itu untuk sering-sering melakukan seks dengan suaminya tanpa kondom. Ini orang kurang percaya diri bisa menghamili istrinya sehingga saat ngeseks intra vagina dengan istrinya sendiri malah pake pengaman. Kan paok namanya. Itu lokasi paling enak untuk membuang tai macan, malah make kondom. Apa ia sudah sering mempraktekkan itu pada pacar-pacarnya dan tak satupun yang pernah hamil hingga ia sampe pada kesimpulan ini?

“Untunglah, bang… Aku tadi ketakutan juga… Tenaganya kuat banget… Gak mungkin perempuan tenaganya sekuat itu… Lima-enam orang yang megangi dia, bang…” kenangnya saat kejadian di kelas tadi. “Kancing bajuku ini sampe copot dua, nih…” tunjuknya pada kemeja bagian atasnya.

“Neneng tadi sama siapa, li?” tanya Cherni di depan pintu dimana Aisa istirahat. Cherni tadi barusan dari pintu depan untuk melihat situasi halaman rumahnya yang dipenuhi mobil.

“Sama bang Aseng…” jawabnya pendek saja.

“Kereta bang Aseng gak keliatan… Abang parkir dimana, li? Masukin ke teras aja…” tanyanya beralih padaku khawatir kalo motorku bakalan hilang. Ia sekarang berdiri tepat di depanku, menanyakan keberadaan motorku.

“Mobil bang Aseng yang Pajero yang diluar itu-loh, Cher…” malah Julio yang menjawabkan pertanyaan nyonya rumah ini. Julio menunjuk-nunjuk arah dimana mobilku parkir. “Aman kok di situ… Aku kan sering parkir di situ kalo kemari…” ia menaik-naikkan alisnya penuh arti. Canda sih.

“Ishh…” ia mengabaikan candaan dewasa Julio dan mengangguk-angguk paham kemudian berlalu. Mereka berlima sudah lama saling mengenal hingga mereka bersikap biasa aja di dalam rumah Cherni ini. Tadi kulihat, Julio dan pak Ferdi santai aja seliweran di dalam rumah ini. Julio lancang membuka tutup lemari esnya dan mengambil minuman dingin.

“Biasanya kesurupan gitu… ada yang ngirim atau memang nempel gitu aja, bang?” bisik Julio lagi. Berisik juga lama-lama ini orang. Padahal diliatnya aku lagi ngetik sesuatu di HP-ku. Aku lagi kirim-kiriman pesan dengan biniknya, menanyakan apakah dia belum memberitahu suaminya tentang kabar kehamilannya. Amei balas akan memberitahukannya begitu Julio pulang. Aku memberitahukannya kalo kami sudah pulang kuliah lebih cepat karena ada sedikit masalah, lebih baik Julio dipanggil pulang aja daripada ngerecoki disini.

“Macam-macam, Julio sebabnya… Tuh jawab dulu yang nelpon itu… Mungkin penting…” kataku mengetahui ia merasa terganggu dengan getaran HP di saku celananya. Dikeluarkannya dan segera mengangkatnya begitu tau siapa yang nelpon. Julio permisi padaku untuk menjawab telpon itu dan ia keluar dari rumah masih dengan berbisik-bisik.

Julio keluar dan digantikan oleh pak Ferdi yang juga sedang menelpon. Ia sepertinya berbicara dengan sangat serius dengan menjawab pendek-pendek. Ada anggukan-anggukan juga lalu diakhiri dengan senyum lebar. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sangat senang. Kemudian mengetikkan sesuatu setelah memilah-milih kontak di HP-nya. “Cheer… Cherni… O-Cherni…” ia memanggil panlok satu yang segera keluar tergopoh-gopoh dari bagian dalam rumah membawa sebotol besar cola.

“Apa, pak?”

“Saya pulang duluan, ya… Ada sesuatu di rumah yang sangat penting… Si ito-nya titip di sini aja dulu, ya? Kalo belum sehat gak usah masuk aja dulu besok… Cherni jagain juga boleh, deh…” kata pak Ferdi memberi instruksi ini.

“Neneng juga gak masuk besok… Kebetulan besok cuti… Jadi Neneng di sini juga…” sambung Neneng yang nimbrung obrolan mereka.

“O-ya bagus kalo begitu…” kata pak Ferdi sambil memasukkan HP miliknya ke saku celananya lalu beralih padaku. Ia mendekat seperti akan membisikkan sesuatu padaku. Aku beringsut mundur untuk mendekatkan telingaku padanya. Mungkin hal yang penting sehingga harus berbisik begini. “Mayu-chan hamiru…” bisiknya mengejutkan.

Mayumi hamil… Wah ha ha hahahaha…

Pak Ferdi masih tersenyum lebar padaku. Lelaki sakit itu senang sekali istri siri ekpatriat Jepang-nya bisa hamil oleh pria lain. Dan pria lain itu adalah aku sendiri. Entah kegembiraan macam apa yang sekarang merajai jiwanya saat ini yang telah secara sadar menyerahkan tubuh istrinya untuk dijamah pria lain. Dirinya yang tak mungkin menghamili Mayu akibat telah menjalani prosedur vasektomi bertahun-tahun lalu dan memberiku ekslusivitas untuk melakukan kehormatan itu.

Ia menyodorkan tangannya padaku untuk berjabat tangan. Aku tak tau untuk apa jabat tangan ini. Tetapi dari gerak mulutnya yang tanpa suara, terbaca kalimat ‘Terima kasih, pak Aseng’. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Apalah ya rasanya ada di posisi pak Ferdi saat ini? Ketika perempuan yang ia cintai hamil oleh pria lain dan gilanya ia merestuinya.

“Cher… Pak Ferdi… Aku pulang duluan… Amei nyuruh pulang cepat, nih… Mungkin kami mau bulan madu lagi, nih… Yu-huuu…” seperti badai Julio masuk dan nyerocos. “Bang Aseng… Awak pulang duluan ya, bang… Keknya ada yang penting nih…” Julio meniru gayaku ngomong. Ia merasa perlu bicara khusus denganku dan aku tau kenapa-kenapanya.

“Loh? Kok pada pulang semua jadinya?… Cherni udah nyiapin makanan loh ini…” kecewa si cantik Cherni masih memegangi botol cola besar yang tinggal setengah itu. Ia berganti pandangan pada pak Ferdi dan Julio lalu padaku.

“Kan masih ada bang Aseng… Neneng… Pak Ferdi pulang juga?” kata Julio. Apa mau dikata? Dan begitu saja mereka berdua pulang karena panggilan dari rumah yang sama persis. Bahkan penyebab kasusnya juga sangat-sangat sama persis—istri-istri mereka hamil olehku. Wakakakakak. Paok!

Setelah mobil pak Ferdi dan Julio keluar dari halaman, aku memindahkan mobilku menggantikan mereka, atas saran Cherni juga karena khawatir disenggol orang karena jalan di depan rumahnya tidak terlalu lebar. Kututup juga pagar agar lebih aman. Keadaan rumah jadi sepi karena ketiadaan pak Ferdi dan Julio. Terlebih Julio karena ia yang kerap menyebabkan keramaian dan kehebohan.

Makanan banyak yang dimaksud Cherni tadi sebenarnya hanyalah beberapa porsi dim sum yang dipanaskannya kembali. Kami menikmati makanan itu bertiga, aku, Cherni dan Neneng dalam diam. Aku diam lebih karena bingung harus bagaimana menyikapi Neneng yang jelas-jelas telah menyantet temannya sendiri. Aku tak bisa menyebutnya sebagai sahabat karena sahabat tak akan mungkin melakukan ini. Tapi aku sama sekali tak tau motifnya jadi aku gak bisa pulak berburuk sangka.

“Yang ini yang paling enak… Aak…” Cherni menyuapi Neneng sebuah dim sum isian udang yang sudah dicocol saus menggunakan sebuah sumpit. Neneng menyambutnya dengan riang. “Amm… Enak, kan?” tanyanya melihat Neneng mengunyah makanan itu dengan doyan. Jarinya lalu membersihkan sisi bibir Neneng yang ada sisa sausnya. “Iiss… Belepotan jadinya…” Sisa yang berpindah ke jarinya malah dijilat lagi.

“Ini enak juga-loh… Gurita apa cumi sih ini?” balas Neneng yang bermaksud menyuapi Cherni juga dengan sebuah dim sum lain.

Wa-lang (saya) gak mau yang itu, li… Yang ini aja…” tunjuknya pada wadah bulat yang terbuat dari bambu yang berisi kumpulan dim sum lain. “Yang ini isi daging kepiting… Bang Aseng kok cuma ngeliatin aja? Gak suka dim sum, ya?” sadarnya karena aku cuma melongo melihat kemesraan mereka seperti ngeliat orang pacaran.

“Kok keknya awak jadi obat nyamuk, ya? He hehe…”

Bersambung

pembantu perawan
Cerita sex gara gara melihat daster bibi yang tersingkap
istri cantik
Cerita hot tukar pasangan dengan teman lama yang tak terlupakan
anak angkat nyusu pada ibu angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian satu
Abg Berenang Bugil di Kolam Renang Umum
toge cantik
Pacarku Tega Menjual Tubuh Ku
pembantu semok
Pembantu semok yang bikin goyah kesetiaan pada istri
Foto memek cewek amoy yang cantik suka ngangkang
Berbuat mesum di warnet waktu mati lampu
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
adik tiri
Cerita Ml dengan adik tiri yang sampai sekarang masih ku lakukan
500 foto chika bandung saat masih perawan pertama kali jalan sama pacar
ibu dosen sexy
Bu Dosen Yang Suka Ngentot
Foto bugil ayam kampus cewek kuliahan tubuh sexy
Foto Porno Jepang Ngentot Pengunjung Mall Sampai Crot
Foto bugil pengantin baru yang sexy pakai CD transparan
bu guru cantik
Cerita sex terbaru merenggut keperawanan ibu guru cantik