Part #77 : Mulai Kasar

Biasanya, permasalahan rumah tangga itu ada banyak macamnya. Salah satunya adalah masalah KDRT; Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jamaknya yang terjadi adalah sang suami main ringan tangan memukul sang istri. Penyebab KDRT ada berbagai juga, dari masalah ekonomi, kecemburuan, kesenjangan, alkohol dan lain-lain.

Mutee

 

Di rumah tanggaku, semoga itu jauh-jauh dari keluargaku. Aku sama sekali gak pernah sekalipun berlaku kasar, apalagi sampe main fisik seperti memukul, menampar, menjambak dan berbagai prilaku bar-bar lainnya. Paling-paling kekerasan yang kulakukan adalah kerasnya Aseng junior saat menusuk miss-V istriku. Kalo gak keras gak bisa pulak kami buat anak ya, kan?

Tapi saat ini, istriku yang melakukan kekerasan itu pada diriku. Berulang kali ia menampar dan menonjok tubuhku. Tenaga yang dikeluarkannya bukan maen, kuat kali-heh… Kepalaku berdenyut-denyut, pipiku panas seperti terbakar, dadaku sakit terkena bogem, apalagi bagian tubuh lain yang terkena tendangannya.

Aku hanya bisa melakukan double cover untuk melindungi kepalaku dari serangan brutalnya saat terpuruk di sudut ruangan. Kupilih sudut ini hingga ia tak bisa menyerangku dengan leluasa akibat halangan sudut dinding. Dus, serangannya berupa pukulan straight diselingi uppercut dan tendangan push kick yang membabi buta. Tubuhku sudah sakit-sakit semua rasanya. Linu-linu dan pegal di semua bagian. Kepalaku pusing bukan buatan. Gak pernah aku terjebak dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Bisa melawan tapi tak mungkin kulakukan karena yang sedang bal-bal sama istriku sendiri.

Bisa-bisa aja kubalas semua serangan ini tapi gak mungkin kan aku mukul istri yang sangat kucintai. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Dipukuli dan ditendang berulang-ulang begini gak kunjung membuatku mendapat ide cara mengatasinya. Malah otakku tambah mampet oleh rasa sakit yang merundung sekujur tubuh ini. Rasa-rasanya ini adalah pembalasan secara gak langsung istriku atas semua kecurangan-kecurangan yang sudah kulakukan di belakangnya. Semua perselingkuhanku yang bahkan lebih jauh sampe menghasilkan janin-janin di rahim belasan binor yang meminta bantuanku untuk segera hamil.

Inikah harganya? Inikah balasannya? Inikah hukumannya?

Kunikmati saja semua hajaran berkekuatan yang tak mungkin berasal murni dari istriku. Sekuat, semaksimal apapun, kekuatannya gak akan bisa mencapai ini. Ini setara dengan pukulan dan tendangan seorang pendekar mumpuni pilih tanding yang sudah berlatih puluhan tahun untuk dapat mengerahkan tenaga konstan di tiap serangannya.

Jadi selama beberapa hari ini, setiap tindakannya yang aneh karena pengaruh mahluk ghaib ini. Tindakannya sering tidak sesuai dengan kepribadiannya dan kata-katanya. Apa yang dilakukannya sering tidak konsisten dan cenderung merugikan. Membiarkan Lisa tinggal di kamar kami, mengabaikan keberadaan Lisa saat kami bercinta, menggampangkan kejadian saat aku gak sengaja ‘mencelup’ Lisa sekali, dan banyak kejadian-kejadian lainnya yang akhirnya berujung di saat ini. Karena pengaruh mahluk ghaib yang bercokol di dalam dirinya.

Salahku juga yang terlambat menyadarinya. Biasanya aku dengan mudah menyadari kehadiran mereka dan kali aku gagal. Aku kecolongan kali ini. Aku sama sekali gak menyangka kalo istriku akan diserang mahluk ghaib ini karena terlalu percaya diri telah menyiapkan berbagai macam pagar ghaib untuk melindunginya di dalam rumah. Kalo di luar? Amankah dia? Kemungkinan besar ia mendapatkan serangan ini saat berada di luar rumah. Mahluk ini punya kemampuan luar biasa dan unik yang bisa menghilangkan aura ghaib-nya sama sekali hingga bahkan aku tak dapat mendeteksinya. Ini pasti mahluk tingkat tinggi.

Kedua tinju tangannya sampe berdarah-darah, pecah akibat mengantam muka dan tanganku. Begitu juga mukaku sendiri. Bengap-bengap berdarah sampe gak dapat kurasakan karena mulai kebas akibat repetisi serangan yang beruntun tanpa henti.

“Paaa… Lawan, paa… Jangan biarkan mama terus begini… Hiks… Lawan, paa…” isak istriku terus menerus sepanjang gerakannya. Aku gak mengindahkan permintaannya sama sekali. Aku terus bertahan. Ia terus memohon agar aku melawan semua serangannya. “Lawan, paa… Mama rela, paah… Lawan, paa…”

Aku menggeleng-geleng tak sanggup menjawabnya. Aku hanya bisa menahankan semua rasa sakit ini. Tapi ini gak bakal cukup sebagai salvation-ku. Kalo terus begini, aku bisa mati. Apa nasib istriku yang masih ada di alam ini setelah kematianku? Apakah ia akan terus dirasuki mahluk ghaib licik ini? Mahluk licik ini tau persis kelemahanku dengan menyandera istriku. Ia tau persis kalo aku tak akan membalas semua serangan yang dilakukannya lewat istriku.

Serangan-serangan yang bertubi-tubi datang padaku ini… Apakah ini puncaknya? Akankah aku takluk setelah sang pembisik itu sampe pada kesimpulan yang paripurna ini. Inikah akhir hidupku? Setelah sekian banyak percobaan serangan yang ditujukan padaku, dari yang menyasar orang di sekitarku, langsung padaku dan sekarang balik lagi ke orang terdekatku; istriku.

Inikah kesimpulan paling mutakhir yang dianggapnya paling efektif untuk menghabisiku?

“Kau membuatnya jadi begitu mudah, Aseng…” seru suara perempuan itu lagi. Suara itu keluar dari tubuh istriku. Aku mendengarnya sayup-sayup dari dengingan kupingku yang sakit dan panas akibat kebanyakan dihajar. “Ini semua jadi kurang seru… Aku mengharapkan perlawanan darimu… Setidaknya ada drama di sini… Tapi nol besar!” Sebuah tendangan push kick bertenaga besar menembus double cover-ku dan mendarat sukses di mukaku.

“Kuhh…” pandangan mataku mulai gelap. Instingku meronta dan aku melompat menerjang. Menangkap tubuhnya hingga kami berdua jatuh terjengkang. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku memeluk tubuhnya—mengecup keningnya. “… bye…”

——————————————————————–
Saat bangun, setelah sekian lama tak sadarkan diri, ada beberapa sosok tambahan yang tertangkap netra kaburku ada di dalam kamar ini. Kukira aku sudah mati tapi tidak. Aku masih hidup ternyata. Pandangan mataku buram walo beberapa kali kucoba mengerjab-ngerjabkannya. Mungkin karena sisa-sisa darah mengering yang mengalir di pelipis dan dahiku. Rasa sakitnya masih terasa pedih, ditambah rasa menebal di beberapa bagian mukaku akibat pembengkakan. Penglihatan buram ini apalagi lebih mengganggu ini. Terakhir kali mataku rabun seperti ini adalah saat SMA dulu karena saat itu aku sempat memakai kaca mata minus sejak kelas satu SMP. Dan sudah sembuh. Kenapa ini kambuh lagi?

Tapi dari sosok yang terlihat dari rabun ini, aku bisa mengenali sosok tubuh istriku berkat potongan rambutnya dan ukuran payudara jumbo-nya. Sosok kedua adalah Lisa, dari tetek jumbo dan rambut panjangnya. Sosok ketiga adalah Tiara. Kenapa kedua perempuan itu juga masuk ke dalam tempat ini? Mahluk ghaib itu menarik mereka berdua juga?

“… jadi waktu Tiara minta cuti 9 hari itu untuk menikah?” tanya suara istriku.

Tiara

Tiara

“Iya, kak… Maaf Tiara gak bilang-bilang alasannya… Rencananya abis cuti itu Tiara akan mengundurkan diri jadi baby sitter di sini dan fokus ke keluarga aja… Tetapi karena masalah ini… Tiara jadi lanjut kerja trus…” jawab sosok Tiara.

“Masalah apa? Apa Tiara gagal menikah?” tebak sosok Lisa. Mereka bertiga duduk bersimpuh saling berhadapan membentuk segitiga karena ketiadaan furniture apapun di ruangan mistis ini.

“Iya, kak Lisa… Tiara gagal menikah… Hiks…” suara Tiara mulai berat. Aku yang masih dalam keadaan sekarat begini berusaha tetap diam, menyembuhkan semua lukaku dengan menenangkan diri dan mendengarkan cerita gadis yang katanya telah gagal menikah itu. Waktu itu semua persiapan telah matang. Malam sebelum resepsi pernikahan keluarga pihak pria datang untuk melangsungkan akad nikah. Rumah sudah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan yang meriah dengan jejeran tenda dan hiasan-hiasan khas pernikahan. Sebuah panggung tempat pengantin esok bersanding pun telah berdiri megah di depan jejeran kursi-kursi plastik tempat para tetamu. Kibot (keyboard, orgen tunggal, musik hiburan) berhenti sebentar saat para tetamu pihak lelaki datang hendak mengantarkan seserahan sekaligus melangsungkan akad nikah. Saat ramah tamah terjadi antar dua keluarga terjadi, tiba-tiba terjadi bisik-bisik yang tak mengenakkan. Seorang kerabat dekat yang baru balik dari toilet berbisik pada orang tua calon suaminya. Muka beliau mendadak kaget dan tegang!

Secara sepihak pria itu membatalkan akad nikah anak lelakinya dan menyuruh semua rombongannya untuk pulang segera dengan membawa kembali semua seserahan yang belum sempat dipindah tangankan tanpa memberitahu apa yang menjadi keberatan dirinya.

Heboh tentunya karena jiran tetangga Tiara juga ikut menyaksikan semua hal tersebut. Betapa malunya keluarga dan tentunya Tiara sendiri. Lobi-lobi dilakukan dengan berbagai cara komunikasi karena semua persiapan ini tentunya tidak dilakukan dengan biaya dan waktu yang sedikit. Ternyata eh ternyata, kejadiannya adalah karena tak sengaja kerabat dekat pihak lelaki yang numpang make toilet itu mendengar selentingan cerita tentang asal muasal kejadian hadirnya Tiara ke dunia fana ini adalah akibat hasil perkosaan seorang pria durjana. Ibu Tiara yang hamil akibat diperkosa pria tak dikenal lalu dinikahkan dengan pria yang kemudian menjadi ayahnya. Mulut ember sang whistle blower ini adalah salah satu budhe Tiara yang memang terkenal mulutnya susah direm. Dengan merasa gak bersalahnya ia mengungkap aib itu di dapur saat keramaian begitu dan naasnya terdengar oleh keluarga calon besan. Tak mau mempunyai mantu dari nasab yang tak jelas hasil perkosaan, ayah pacar Tiara memutuskan sepihak kalo pernikahan ini dibatalkan.

Betapa hancurnya perasaan Tiara, pernikahannya yang sudah di depan mata musnah begitu saja dengan memalukan. Ia ribut besar dengan pacarnya lewat telepon. Tapi apa daya sang pria karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan berbeda tetapi juga menyatukan dua keluarga. Tiara yang kalap mata, yang masih memakai kebaya akad nikahnya naik ke atas kursi dan berniat menggantung diri karena frustasi berat. Sebuah tali disiapkannya untuk menjerat lehernya, untuk mengakhiri hidupnya.

Begitu lehernya terjerat dan mulai menggantung, tali itupun putus. Gagallah upaya bunuh diri pertamanya itu. Ia mengganti tali dengan sarung yang pastinya mustahil putus. Sarung itupun sobek. Padahal itu sarung yang baru dibuka dari bungkusnya. Kenapa mendadak lapuk. Kalut dua kali percobaan bunuh dirinya gagal, ia mengganti metode. Sebuah cutter akan digunakan untuk menyayat nadi pergelangan tangannya, cutter hancur berantakan terpecah-pecah begitu hendak disayatkan. Tiara yang masih dalam keadaan kalut mencoba metode lain—racun serangga. Ditenggaknya sebotol obat nyamuk cair itu dengan nekat, semua isi perutnya keluar tanpa bisa dicegah. Semua metode bunuh dirinya gagal!

Pintu kamarnya didobrak karena terdengar suara-suara aneh dari dalam kamar. Menghentikan semua rangkaian percobaan bunuh dirinya yang selalu gagal secara ajaib dan musykil. Ia selalu didampingi seseorang kemudia dan tak dibiarkan sendirian karena khawatir akan mencoba bunuh diri lagi. Ribut-ribut lain ada di luar kamarnya karena terjadi perdebatan hebat yang berlangsung di luar sana. Ternyata eh ternyata lagi, suami dari budhe ember-nya itulah sebenarnya yang telah memperkosa ibu Tiara hingga hamil. Kakek Tiara lalu mencarikan lelaki yang mau menikah dengan ibunya walo dalam keadaan berbadan dua. Sang budhe yang gelap mata mengetahui kebejatan suaminya, lari ke jalan raya dan tertabrak sebuah mobil box yang melintas, tewas. (*kek sinetron TV ikan terbang, ya?)

Jadilah 9 hari masa cuti panjang Tiara hanya mendekam di kamarnya dengan pengawasan ketat. Bayang-bayang pernikahan indah pupus sudah dari benaknya dengan tragis. Tak ada bulan madu. Tak ada manisnya mereguk madu cinta. Hanya ada pahit kenyataan. Ditambah misteri kenapa percobaan bunuh diri berkali-kali dirinya selalu gatot alias gagal total. Tali dan sarung putuslah, cutter patah berkeping-keping, minum bayg*n dimuntahin. Tiara curiga kalo dia nekat menabrakkan diri ke kendaraan yang melaju seperti yang terjadi pada budhe-nya, kendaraan itu akan sukses berhenti untuk ngerem.

Awal niat Tiara menggunakan baby monitor untuk mengawasi kami hanya sebagai referensi dirinya untuk menghadapi malam pertama dirinya dengan sang suami. Tapi semuanya buyar dengan kejadian yang tak disangka-sangka ini. Dinilai sudah tidak akan melakukan percobaan bunuh diri lagi, ia dilepas keluarganya untuk kembali bekerja. Mungkin dengan demikian pikirannya akan lebih segar jauh dari lokasi tragedi menyedihkannya ini.

Lanjut mengawasi kami lewat baby monitor, membangkitkan perasaan aneh di diri Tiara. Ia malah lebih tertarik pada istriku lebih dari sebelum-sebelumnya. Mengetahui kebiasaan tidur siang istriku, ia coba-coba mendekat. Awalnya cuma raba-raba saja. Ketagihan dengan rasa dan sensasinya, ia meningkatkan intensitas dan kualitas sentuhannya hingga sampe taraf mencumbu bagian tubuh vital secara erotis. Tiara sangat menikmati itu semua. Ia sampaikan itu semua dengan lugas, jujur, dan terbuka di depan istriku dan Lisa.

Tiba-tiba istriku beringsut bergerak disusul Tiara yang berdiri. Lisa plonga plongo gak ngerti dua orang itu ngapain. Istriku bersandarkan dua lututnya dengan kepala menunduk. “Lord Purgatory…” sapa suara yang keluar dari mulutnya suara perempuan mahluk ghaib itu lagi. Tiara mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk kepala istriku seolah memberi selamat pada budaknya, ia telah melakukan tugas dengan baik. Uluran tangannya kemudian dicium istriku seakan sangat bangga diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut. Seolah benda itu adalah sesuatu harta yang paling berharga dan mulia di dunia. Dari posisi dan kondisi mataku sekarang aku tak bisa melihat dengan jelas benda apa yang sedang diciumnya itu.

Sekonyong-konyong sosok Tiara menoleh padaku. Ia sadar kalo aku masih hidup dan menyaksikan peristiwa penting ini. Wajahnya memang wajah Tiara, tetapi auranya sangat berbeda dan berbahaya.

“Tuut… TUUKK!!” hembusan angin kencang menyambar tubuh istriku dan Lisa sementara aku menerjang tubuh Tiara tanpa ampun. Sepersekian detik, aura itu menghilang dari tubuh gadis bernasib malang itu sebelum sempat kuterjang. Kami berempat bergulingan di tempat yang baru. Tempat yang sama sekali berbeda dengan wujud kamar Basri secara ghaib. Tempat ini lebih menguntungkan bagiku karena ini adalah daerah kekuasaanku!

Burung Enggang si Panglima Burung menyeret mereka berdua ke alam ini mewakiliku. Berguling-guling tubuh ketiga perempuan itu di hamparan rumput halus ini, semoga tak terluka. Bersamaan dengan itu, Panglima Burung lebih jauh menyeret keluar mahluk ghaib yang merasuki tubuh istriku lalu melemparnya ke seberang sungai kecil yang mengelilingi area hutan kecilku.

“Siapa kau dan apa hubunganmu dengan Mutee?” tanyaku di tepian sungai kecil berair jernih ini. Hanya ada satu musuh yang kuhadapi kali ini. Entitas yang merasuki Tiara menghilang begitu saja sebelum sempat kuseret masuk ke daerah kekuasaanku ini hingga yang tersisa adalah satu yang telah dengan lancang merasuki istriku dan membuatku babak belur begini. Kuraup air jernih dari aliran sungan kecil ini untuk membasuh luka-luka bengkak di mukaku. Rasanya segar dan menyejukkan. Tapi mataku yang mengabur tak lepas dari sosoknya.

“Hi hi hihihihihi… Kamu berhasil melepasku… Hihihihi…” jeritnya kek lagi kesenangan begitu. Padahal ini karena tipenya yang berupa kuntilanak. Hanya saja ini kuntilanak tingkat tinggi. Tingkat tertinggi mungkin karena predikatnya ada di kasta ratu para neng kunti. Kuntilanak berbusana hitam. “Hi hi hihihihi… Kamu tentu tau aku siapa…” ujarnya yang menegaskan siapa dirinya.

Kuntilanak biasanya berpakaian putih-putih dan sangat jelas kelihatan kalo nongol di malam hari untuk menakut-nakutin orang. Seperti kuntilanak yang sudah kuhancurkan kepalanya, yang sudah digunakan Neneng untuk menyantet Aisa belum lama tadi di dekat toilet kampus. Sangat berbeda dengan ratunya ini yang berpakaian gelap yang malah mengaburkan keberadaan eksistensinya saat beraksi. Predikat superior ratunya dengan jelas membuatku paham kenapa ia dengan mudah mengaburkan keberadaannya selama ini hingga aku tak dapat mendeteksi hadirnya.

“Mutee tak mengirimkan kuota energi murni yang dikumpulkannya dari manusia lagi?” tebakku.

“Nah itu kamu tau, Aseng… Hi hi hihihihihi…” ia berdiri tegak sekarang dengan lambaian pakaian hitam yang membungkus tubuhnya. Ternyata Mutee bertindak sebagai double agent dalam kelompok Burong Tujoh versi Teuku Amareuk itu. Mutee punya pimpinan lain disamping sang Teuku. “Sebagai salah satu supplier energi murni terbaikku… Mutee sangat memuaskan… Ia selalu mengirimkan energi murni yang selalu lezat tiap harinya… Lalu supply-nya terhenti… Jejaknya terhenti oleh energi murni milikmu sebagai yang terakhir… Itu sangat tidak menyenangkan kalau aku harus makan energi murni yang receh-receh saja…” ia menjilati kesepuluh ujung jarinya. Wajah binal pucatnya terlihat sangat kesal. “Dan penyebabnya tentu saja dirimu, Aseng… Sangat tidak elegan kalau saya sebagai ratu membiarkan ini semua lewat tanpa balasan…”

“Siapa Lord Purgatory-mu itu?” potongku gak sabar menunggu dia mengoceh terus.

“Akh-ah… Hi hi hihihihihihi… Itu ada dalam ranah rahasia dalam rahasia terbesar di dunia ini… Kamu tentu tau apa jawabanku kalau kamu menanyakan itu…” jawabnya masih berupaya binal yang saat ini sangat memuakkan bagiku.

“Kau lebih baik mati daripada membocorkannya?” tebakku. Itu semacam kode etik tak tertulis di kalangan para iblis.

“Eleh-eleh… Nah kamu tau jawabannya… Apa kamu tak tergoda untuk mencobanya? Mencoba kedahsyatan dan nikmatnya bergumul bersamaku… Bukankah kamu sangat menikmati saat bersama Mutee hingga istrimu mendapat imbas permanennya hingga sekarang… Berapa kali? Enam atau tujuh kali? Kalau tidak salah saya merasakan tujuh kali energi murnimu kucicipi…” ia tau kejadian itu semua. “Dapat saya pastikan… diriku yang seorang ratu akan memberimu kenikmatan yang jauh lebiiiih dahsyat dari bawahanku itu!” bersamaan dengan itu menyingkap pakaian hitam-hitam yang dipakainya.

Pakaian ratu kuntilanak sangat berbeda kualitas dan levelnya dibanding dengan para kroconya. Pada level terendah mungkin sobek-sobek dan rombeng dan juga kotor karena kerja lapangan yang kasar dan keras. Pakaian merah milik Mutee agak mendingan lebih rapi tak ada sobekan. Tapi milik ratu ini lebih elegan dan berkilauan. Ada taburan permata dan batu mulia lainnya disekujur busananya. Apalagi tiara kecil di atas kepalanya. Ada sebuah permata berwarna merah berukuran besar yang pasti harganya sangat mahal di mahkota kecil itu.

Itu soal pakaian, lain lagi soal tubuhnya. Beuh! Super duper seksi, booook! Semua fitur maksimal seorang perempuan ada di tubuhnya. Teteknya, kulit mulusnya, pinggang dan pinggulnya, paha jenjangnya, bokongnya apalagi, dan pastinya vaginanya.

“Bagaimana? Tertarik tidak?” ia mengerling-ngerlingkan matanya dengan seksi. Ia jauh lebih seksi setelah memamerkan tubuhnya secara utuh. “Penawaranku ini terbatas… hanya sampai hitungan ketiga…”

“Untuk apa menerima tawaranmu kalo ujung-ujungnya awak mati…” jawabku tegas menolak.

“Salah… Kamu akan kekal abadi menjadi budakku dan bisa menikmati tubuhku sepuas-puasnya… Tidakkah kamu membayangkan itu?” ia memeluk dirinya sendiri seolah sedang bercumbu denganku. “… kita berdua tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tak akan berakhir… Kekal sampai akhir zaman… Selama-lamanya… Mereguk madu-madu asmara ini berdua saja… Ahhh… Indahnya…” rayunya sambil meremas-remas payudara super jumbo-nya yang sangat menggoda mata tiap lelaki. Kalo aku gak pake pikir panjang tentu saja aku sudah menerima tawarannya itu. Tetapi aku yang tau persis konsekuensi semua tawaran menggiurkan itu yang harus dibayar dengan kemerdekaan juga, pass deh… Lebih baik enggak.

“Awak harus jawab no…”

“A-aaa~~… Jawabannya enggak banget…” ia menghentak-hentakkan kakinya belagak imut-manja. Alhasil payudara jumbo miliknya berguncangan dengan brutalnya. Lebih baik dikasi nama Tobrut ini ratu kuntilanak alias Toge brutal. Itu nama yang cocok. “Aseng gak asik, ih… Padahal saya sudah membayangkan bersenang-senang denganmu sampai akhir zaman… Aku pengen membuktikan apa yang dirasakan Mutee waktu itu… Dia bersenang-senang denganmu… Saya bisa merasakannya…”

“Awak keburu membinasakannya…” potongku lagi. “Begitupun juga kau, Tobrut…” lirihku menggenggam gagang mandau Panglima Burung erat-erat.

Ia juga langsung bersiaga dan menutupi seluruh tubuhnya yang tadi sengaja dieksposnya padaku kini terlindungi pakaian hitam titel ratunya. Tangannya membentang dengan kuku-kuku tajam. Aku merapalkan satu pagar pembatas dan menggores tanah di seberang aliran sungai yang menahan sang ratu kuntilanak yang kusebut sebagai Tobrut ini agar tak bisa menyeberang ke area hutan kecilku. Area hutan kecilku sebagai daerah aman dimana tubuh jiwa istriku, Lisa dan Tiara berada.

Aku langsung melompat menerjang ke arahnya bersenjatakan mandau dan bakiak andalanku ke seberang sungai kecil. Area terpisah dari hutan kecil terlindungku. Dan yang pertama kali kulakukan adalah satu jurus pamungkas milikku sebagai salam pembuka. “GUGUR GLUGUR!” Tobrut menyilangkang tangannya yang terlindungi pakaian hitamnya untuk memblok Gugur Glugur-ku. “BOOOMM!!” terjadi ledakan keras. Aku melompat mundur, bersalto untuk mengurangi impact hantaman itu terhadap tubuhku sendiri. Tobrut juga tersurut mundur tetapi ia berhasil menyeimbangkan tubuhnya.

Ternyata Tobrut bukan ratu kaleng-kaleng. Tak sia-sia ia berpredikat sebagai ratu para kuntilanak yang dapat menahan serangan sedahsyat Gugur Glugur-ku. Kutenggarai, itu semua berkat pakaian hitam spesialnya ini. Pakaian khusus yang hanya dimiliki para ratu golongan kuntilanak yang berkekuatan dahsyat sebagai perlindungan dan pesonanya.

“Hi hi hihihihi… Seranganmu sangat dahsyat, Aseng… Perkenalanmu lumayan juga… Kita lihat mampukah kau menahan ini?” sebuah sinar blitz dari mulutnya sekejap kemudian menembakkan sinar thermal berkecepatan tinggi ke arahku. “SWUUZZ!” Kelabakan aku melompat menghindari tembakan sinar mirip laser panas itu. Itu kategorinya sudah ilmu sihir tingkat tinggi. Jarang sekali aku melihat kawan atopun lawan memakai jurus seperti ini. Untunglah pagar pelindung yang kurapalkan bisa melindungi garis yang sudah kubuat di depan sungai kecil ini. Sebuah dinding cahaya muncul transparan dan menapis semua serangan laser itu.

“Hi hi hihihihi… Dahsyat, kan? Katakan kalau kamu terkejut mendapat serangan seperti itu…” desaknya.

“Yaa… Aku terkejut… Jantungku hampir copot karenanya… Untung dinding pelindungku bisa menahannya… Kalo tidak hutan kecil kebanggaan di belakangku ini bisa hancur kau buat…” kataku jujur padanya.

“Hebaat… Kamu mau mengatakannya dengan jujur… Dan karenanya kau kuhadiahi dua anak buahku yang sama berbahayanya di kelas Mutee…” dari lubang kain lengannya meluncur dua mahluk kuntilanak merah. Koreksi hanya rambut mereka yang berwarna merah karena keduanya tidak memakai pakaian sama sekali. Rambut panjang berwarna merah keduanyalah yang bertindak laksana baju yang hanya sekedar menutupi payudara menonjol itu. Yang satu rambut panjang tergerai dan yang satunya mengikat rambutnya dijalin dengan rapi. Jadi aku bisa melihat payudara yang tersingkap dengan puting merah di kulit putih pucat mereka. Juga jembut samar berwarna merah di selangkangan kedua kuntilanak bawahan sang ratu Tobrut ini.

Tanpa tedeng aling-aling, keduanya langsung menyerangku bersamaan bak dua orang ninja yang bergerak cepat bahu membahu membantai musuh. Di sini kemampuan silat harimau Mandalo Rajo-ku yang biasa bergerak cepat sangat berguna. Tendangan, pukulan dan cakaran keduanya silih berganti mengancamku. Aku berusaha menangkis semua serangan itu dan berusaha keras juga agar tidak terpengaruh oleh pemandangan indah yang mereka tawarkan dari tubuh telanjang mereka berdua. Jadi serangan mereka sebisa mungkin kutangkis dengan menggunakan sisi tajam mandau Panglima Burung dan kalo tak memungkinkan menggunakan bakiak Bulan Pencak.

Beradunya kuku tajam dan runcing kedua kuntilanak merah terkadang memercikkan api kala bersinggungan dengan mandau-ku. Gerakan ilmu silat kedua kuntilanak berbeda aliran tetapi bisa saling melengkapi satu sama lain. Yang berambut merah terurai lebih sering menggunakan aliran silat yang cenderung menyerang bagian bawah tubuh, mengincar keseimbangan kaki. Yang berambut merah dikuncir sering menyerang bagian dada dan kepala lewat cakar dan pukulannya. Sesekali ia mereka berdua juga berniat memerangkapku dengan teknik kuncian lalu disambung dengan serangan mematikan ke titik vital yang dengan gemilang bisa kuelakkan.

Saat dijepit oleh dua serangan sekaligus, sambaran serangan tembakan laser thermal terpancar lagi. Tunggang langgang aku mengelakkannya dengan menjatuhkan diri ke belakang. Kedua kuntilanak merah itu tau betul serangan ratu mereka dan dapat mengantisipasi serangan mendadak itu dari mengenai mereka dengan menyingkir pada waktunya. Mereka sengaja menghalangiku secara visual dari posisi ratu mereka yang bersiap menembakkan sinar thermal itu.

“Wahh… wahh… Licik…” gumamku kesal sembari menancapkan mandau Panglima Burung di tanah. Tapi dengan begini aku jadi tau pola serangan mereka. Tembakan laser thermal itu juga tidak bisa ditembakkan semaunya. Ada jeda waktu untuk sang ratu Tobrut untuk nge-charge sinar thermal itu untuk terisi kembali. Saat aku mengingat-ingat jarak waktunya agar tidak kecolongan lagi akan serangan mematikan itu, sebuah tendangan roundhouse mengincar kepalaku yang kuelakkan dengan bertumpu pada mandau yang kutusukkan ke tanah sekaligus menahan sapuan kaki si kuntilanak merah berambut terurai.

Terkadang pemandangan indah tak bisa terelak dari pandangan netraku misalnya karena tendangan roundhouse yang memutar lebar tinggi yang tak pelak menampakkan bagian kemaluan si kuntilanak yang tak tau malu berbugil ria mematuhi perintah ratunya dalam menyerangku. Aku tau dasar-dasar ilmu bela diri yang digunakan kedua kuntilanak merah ini, terutama yang selalu mengincar bagian bawah tubuh karena sebagian besar inti serangan Mandalo Rajo juga menyasar bagian bawah lawan. Bila pondasi lawan sudah bisa ditaklukkan, bagian atas tubuhnya akan lebih mudah ditundukkan.

Aku melungsurkan tubuhku bahkan lebih rendah dari kuntilanak merah berambut terurai dan merapal satu bait pantun pertama, “Rajo nan di ateh… Puak takambang…” (Raja yang di atas. Kampung tersebar) Kakiku yang tak lagi memakai bakiak Bulan Pencak, segera membentur lututnya yang sedang menumpukan tubuhnya saat berusaha mengincar pinggangku. Terkena benturan itu, ia terjengkang ke depan yang kemudian disambut oleh siku yang kuangkat mengarah ke lehernya. Telak mengenai bagian antara rahang dan lehernya hingga ia berguling ke samping.

“Maniti jalan ka luhak sabaleh… Parigi bapanuah kiambang…” (Meniti jalan ke dusun sebelas. Parigi penuh dengan kiambang/eceng gondok) Satu lawan yang berguling kesakitan ke arah rekannya yang fokus menyerang bagian atas tak kulepaskan begitu saja. Sedapatnya, apa yang dapat kuraih—kucengkram kuat dengan tanganku yang bebas lalu kulemparkan tubuhnya. Aku telah mencengkram sebuah benda lunak kenyal ternyata. Badan kuntilanak berambut merah terurai itu membentur temannya. Keduanya berjibaku karena saling berbenturan. Tak selesai sampe situ seranganku tentu…

“Hyaaa!! Hyaaa!!” dua kali tebasan kulakukan dengan cepat menyusul tubuh keduanya yang bergulingan di tanah. Lalu aku langsung melompat menjauh!

“SWUUZZ!!” sinar laser thermal itu melesat cepat kembali dari mulut si ratu Tobrut. Tapi aku sudah terlanjur paham ritme serangannya dan menghindar pada waktunya dan serangan mematikan itu malah telak mengenai kepala si kuntilanak merah berambut terurai itu. Tebasanku sebelumnya berhasil melukai tangannya, membuatnya menjauh akibat kesakitan ke arah yang malah berujung ke kematiannya sendiri di tangan sang ratu. Kuntilanak rambut merah satunya hanya bisa melotot melihat rekannya tumbang dengan kepala berlubang terbakar, tembus dari satu sisi ke sisi lainnya akibat dahsyatnya tembakan laser thermal ratu junjungannya.

Tubuhnya berkelojotan sebentar lalu diam dan menghilang musnah. Si kuntilanak satunya hanya terpotong salah satu kunciran rambutnya. Kukutip potongan rambut itu dan menunjukkannya pada kuntilanak itu. “Itu serangan ratumu sendiri… Jangan-jangan nasibmu sama nanti dengan temanmu itu…” provokasiku untuk memancing emosinya. Tubuh kuntilanak merah berkuncir itu bergetar oleh luapan amarah. Tangannya mengepal berang.

“Kau membunuh saudaraku!! Saudaraku yang sama-sama berjuang denganku mencapai tahap ini… Rasakan pembalasanku!!” ia mengamuk dan menerjang dengan tangan-tangan terkepal keras. Ia pasti akan mengerahkan seluruh tenaga maksimalnya.

Aku menyambutnya dengan merapal bait ketiga, “Babelok arah ka rimbo Rao… Dapek ruso nan balang tigo…” (Berbelok jalan ke rimba Rao. Dapat rusa yang belang tiga). Lincah aku menghadapi serangan brutal yang memang terasa meningkat taraf tenaganya karena dimotori tambahan amarah di dalamnya. Tenaga berlebihnya itu aku tepis dan selalu kubelokkan ke arah yang tak semestinya hingga tak pernah berhasil menyentuhku sebagai mana konsep dasar silat harimau untu membelokkan serangan lawan bukan menangkisnya hingga tenaga lawan bisa dipakai untuk menyerang dirinya sendiri.

Pukulan terarah cepat bertenaga full ini kusambut dengan menangkap tinjunya lalu membelokkan bogem itu ke arah putaran sikunya, membuat dirinya deras mengarah padaku yang kusambut dengan sikutan kuat mengarah ke tulang pipinya. “BRAAK!!” kepalanya limbung terjajar mundur. Belum selesai, belakang lututnya kutekan dengan lututku hingga tubuhnya yang masih limbung kuhajar lagi dengan sapuan sikut tangan satunya yang kali ini menyasar bagian tengkuknya. “BUUGG!!” semua seranganku berupa serangan mematikan. Minimal menyebabkan kerusakan parah. Kuntilanak berambut merah dikucir ini terjengkang muka terlebih dahulu mencium tanah.

Aku meloncat lagi menjauh tak perlu tau akan posisi si ratu Tobrut itu dimana. “WUUUZZ!!” laser thermal itu menembak kencang kembali dibalik diriku yang bersalto dan mengambil kuda-kuda rendah kembali dengan tangan terbentang.

Silat harimau efektif untuk pertarungan close combat tetapi tak berguna melawan musuh yang menggunakan senjata jarak jauh seperti yang diperagakan si ratu Tobrut. Kuntilanak merah itu masih bisa bergerak setelah mendapatkan dua kali serangan fatalku dan itu artinya ada dua lawan yang harus kuhadapi sekaligus. Si merah kuciran itu mengurut-urut tengkuknya yang terasa sangat sakit dengan muka meringis karena terasa derakan yang mengkhawatirkan saat kuhajar belakang lehernya itu.

Kali ini lawan yang kuhadapi tersisa dua saja. Satu ratu kuntilanak berpakaian hitam dan satunya kuntilanak bugil berambut merah dikuncir. Apakah anak buah sang ratu ini akan tetap menyerang taktik yang sama, membuatku sibuk lalu serangan laser thermal ratunya merangsek masuk untuk membunuhku. Mataku masih kabur tetapi kedua kuntilanak ini berdiri di antara diriku. Yang terdekat denganku adalah si kuntilanak merah berambut kuncir dengan tinju mengepal, masih penasaran. Ia berganti-ganti arah kuda-kuda terdepan. Kadang kanan, kadang kiri.

“HeeyaaAAA!!” sang kunti merah memulai serangan. Ia melepaskan pukulan jab kanan kiri bertubi-tubi yang bergerak cepat seperti bayangan kabur. Untung aku menguasai Mandalo Rajo yang terbiasa bergerak cepat hingga aku bisa mengetahui esensi serangannya untuk dielakkan dengan memainkan kelenturan leher dan dinamis pergerakan foot work yang lincah. Aku harus segera menghabis kuntilanak merah yang tersisa satu ini lalu menghadapi sang ratunya yang paling liat untuk dikalahkan.

“Babelok arah ka rimbo Rao… Dapek ruso nan balang tigo…” (Berbelok jalan ke rimba Rao. Dapat rusa yang belang tiga) Kuulangi pantun bait ketiga ini untuk mendapatkan momentumnya kembali karena tiap kata di bait pantun ini punya makna yang berimbas pada serangan. Pembahasan jurus bahkan tidak serumit membahas pengertian tiap kata apalagi berupa kalimat lengkap. Walo berhari-hari di sana, pembahasan banyak mengenai padanan kata saja. Seperti kata ‘babelok’ yang artinya berbelok. Arti yang harus kutuangkan di gerakanku adalah untuk bergerak luwes dan dilanjutkan oleh kata berikutnya yang berbunyi ‘arah’? yang bisa kuartikan sebagai arah yang benar. Serangan terbaik adalah perlindungan yang paling hebat. Arah bergerak bebas tidak dapat ditebak lawan karena adalah hasil kalkulasi yang dinamis, yang bergantung akan reaksi lawan juga. Bergantung bagaimana lawan bereaksi akan gerakanku sebelumnya.

Pukulan jab kuntilanak itu kuelakkan dengan bergerak ke sampingnya, tangan mengalung ke arah lehernya dan kaki mengait ke arah perutnya hingga berat tubuhku menjatuhkan kuntilanak yang tak berpakaian ini. Take down yang kulakukan sukses menghempaskannya tanpa bisa ia cegah. ‘ka rimbo Rao’. Rimba ato hutan Rao adalah daerah yang merupakan perbatasan antara Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Akulturasi masyarakat Minang dan suku Mandailing sangat kental hingga percampuran budaya sangat terasa. Hutan di daerah Rao juga masih sangat terjaga kelestariannya hingga keberadaan harimau di daerah ini bukan cuma hisapan jempol. Makanya hutan daerah Rao inipun masih dimasukkan di dalam bait pantun jurus tingkat tinggi silat harimau Mandalo Rajo. Mungkin Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh pernah ato punya sejarah di rimba itu hingga mencantumkan daerah itu di bait pantunnya.

Dan serangan yang kulakukan menilik kata ‘ka rimbo Rao’ adalah serangan brutal yang menjadi interpretasi awalku saat diberitahu isi bait pantun ini. Itu berupa pukulan bertubi-tubi setara ‘Ground and Pound’ di seni bela diri modern. Tinju bogem dan lesakan siku yang keras silih berganti menyasar kepala sang kuntilnak yang tanpa ampun wajah cantik pucatnya menerima hujanan serangan itu. Tapi gak bisa lama-lama karena tembakan laser thermal sang ratu Tobrut masih mengancam dan membuatku harus cepat berkelit. Laser panas itu membakar tanah kosong yang sudah kujauhi. Sang kuntilanak merah makin kepayahan mendapat berbagai serangan brutalku. Ia bangkit dengan gontai.

Sementara itu aku meneruskan isi bait pantun berikutnya, menyasar pada sang ratu pemimpinnya. Sang ratu Tobrut. Berlari cepat walo tanpa lambaran energi Mandalo Rajo sejati, dengan percaya diri aku menerjang ke arah sang ratu yang dari tadi kubiarkan bebas menyerang dari kejauhan. Ia masih dalam masa nge-charge energi laser thermal itu untuk beberapa detik kemudian dan itu cukup bagiku untuk bermain-main dengannya.

‘Dapek ruso’ (Dapat rusa). Secara harfiah, ini memang rusa yang sebenarnya. Apalagi casing yang tobrut begini. Ia kaget aku dengan mudah mencapai daerah bertahannya walo ia sudah berusaha menjauh. Yang pertama kuincar adalah pusat keseimbangannya, kaki. Ia dengan mudah dijatuhkan dengan sapuan kaki karena terkejut dan tak menyiapkan kuda-kuda pertahanannya. Padahal seharusnya, ratu setara dirinya akan sangat cakap menggunakan teknik bela diri.

Begitu jatuh berdebum, dengan teknik Drop Elbow, kuhajar bagian dadanya dengan runtuhan siku. “BOUGGH!!” telak sekali dari suara benturan yang terjadi. Ia mengeluh kesakitan. ‘nan balang tigo’ (yang belang tiga), tak sampe di situ saja karena rangkaian serangan bersambung pada cengkramanku bagian dua sisi kerah pakaian hitamnya. Kutarik kuat hingga tubuhnya terangkat dan dengan kaki kanan kutendang perutnya. “DFFTTT!!” Ratu kuntilanak berpakaian hitam itu melayang jauh lalu jatuh bergulingan meringis kesakitan.

“Kurang ajar!! AAHHhhh—” ia meradang dan membuka mulutnya lebar-lebar hendak menembakkan laser thermal itu lagi dari mulutnya. Tapi serangan itu tak kunjung melesat dari bagian mulutnya. Padahal aku udah repot-repot harus berjumpalitan menjauh dari arah serangannya. Ia bingung sendiri dan menatap ke arah jidatnya. Ia lalu meraba bagian dahinya yang tak mengenakan tiara kecil itu lagi.

“Mencari ini?” tanyaku melambai-lambaikan tiara dengan permata merah besar berkilauan yang pasti harganya akan sangat mahal.

“Kembalikan mahkotaku!” berangnya tambah meradang karena aku sudah lancang mengambil barang berharganya. Aku merampas benda itu dari kepalanya sesaat setelah melakukan Drop Elbow tadi. “KEMBALIKAN MAHKOTAKU!!” hilang sudah semua paras cantiknya karena amarah memuncaknya. Ia tak mampu lagi mempertahankan bias genit yang selama ini dipertontonkannya padaku begitu aku mengambil tiara ini.

Waktu charging laser thermal-nya sudah lewat sedari tadi dan ia tak bisa memproyeksikan semua energi tadi…

“WUUZZZ!!” lesakan energi laser pendek-pendek memancar dari sekujur pakaian hitamnya itu. Jumlahnya ada sangat banyak sekali dan terpancar tak beraturan dari tubuhnya dan itu jelas sangat berbahaya. Aku buru-buru nyungsep ke tanah untuk menyelamatkan diri. Untungnya semua hentakan laser itu semuanya mengarah ke atas hingga aku aman tak satupun yang bisa mengancamku, saat kuintip. Sang ratu Tobrut tak berani bergerak ketika itu semua terjadi, hal yang kuherankan.

Lalu saat kutoleh ke atas, ternyata energi mirip laser pendek-pendek itu berbalik arah kembali ke sang ratu Tobrut. Apa yang terjadi? Tunggang langgang kuntilanak kasta tertinggi itu lari menjauh dari tempatnya semula begitu sekumpulan energi thermal itu melesat cepat pada dirinya. Apakah gak memakai tiara ini ia gak bisa memfokuskan serangan laser thermal itu hingga berbalik arah padanya? Energi thermal itu menjadi liar dan balik kembali ke asalnya.

Apakah ia mengumpulkan tenaga panas itu dari pakaian hitam dengan banyak batuan mulianya itu? Lalu memfokuskan tembakan laser thermal itu menggunakan tiara ini.

“Ratuuu!!” teriak khawatir si kuntilanak merah bawahan yang melihat pimpinannya dikejar-kejar oleh energi senjata andalannya sendiri. Bak dikejar rombongan lebah pembunuh sang ratu lari tunggang langgang dengan susah payah. Apalagi goncangan tetek super jumbo-nya tentu memberatkan gerakannya. Sepertinya ia mendapat ide dengan berlari ke arah si kuntilanak merah. Apakah ia bermaksud menjadikan bawahannya itu sebagai tameng untuk menyelamatkan diri? Licik sekali setan satu ini!

Si kuntilanak berpakaian hitam itu berlindung di belakang tubuh kuntilanak merah tak berpakaian itu, tetapi berondongan energi thermal itu sudah menghilang beberapa saat sebelum menghujani tubuh sang bawahan berambut merah dikuncir itu. Bukan karena kehabisan energi ato kadaluarsa. Lebih pada karena aku memakai tiara ini di kepalaku sendiri. Energi thermal itu berpindah kepadaku. Terasa tubuhku hangat dan rasanya aku bisa menembakkan laser thermal itu dari mulutku yang terasa penuh saat ini.

Ratu kuntilanak hitam celingukan karena ia tak kunjung mendapati bawahannya hangus terbakar bolong-bolong oleh serangan banyak laser thermal itu. Begitu juga dengan kuntilanak merah itu. Ia memegangi beberapa bagian tubuhnya yang masih utuh tak ada yang berlubang. Mungkin ia sudah pasrah akan musnah menjadi tameng sang pemimpinnya. Hanya luka-luka akibat seranganku sebelumnya yang ada, yang masih terasa sakitnya.

“Kenapa? Bingung, ya?” tanyaku yang meloncat cepat dan duduk di atas dada tobrut sang ratu, memegangi jidat dan dagu lancipnya hingga mulutnya menganga lebar tambah kaget. “WRAAARRHHH!!” kubuka mulutku lebar-lebar dan terpancarlah sinar thermal itu tepat memasuki mulut sang ratu durjana itu. Pancaran laser thermal kukuras hingga habis memasuki tubuh kuntilanak superior itu lalu melompat, melenting menjauh.

“Heergghkk!!” kaget tercekat sang ratu sambil memegangi lehernya. Matanya mendelik melotot merasakan horor yang tak pernah dibayangkannya. Padahal ia sendiri adalah pencipta horor tersendiri bagi khalayak banyak. “Buuurpp!!” pada bagian perutnya melonjak suatu jendolan mendadak lalu menyusul lonjakan sejenis di bagian punggungnya.

“Ratu…?” si kuntilanak merah ketakutan dan mengambil langkah mundur.

Si ratu Tobrut makin panik dengan melonjaknya beberapa hentakan lain dari dalam tubuhnya. Bahkan dari kedua dadanya juga melonjak. Bak sebuah gerakan sebuah virus dengan banyak tentakel tubuh sang ratu kuntilanak hitam itu sekarang. “AAAAAAAAAAHHHHHHH!” teriaknya panik ketika satu persatu tangan dan kakinya terhisap masuk ke dalam pakaian hitam yang bergejolak bergerinjal menonjol itu hingga yang tersisa adalah onggokan pakaian menyisakan bagian kepalanya yang masih menyembul keluar dari pakaian kebesaran keratuannya.

“Budak-kuuu!! Tolong aku!! Toolongg!!” ia mengharapkan pertolongan dari bawahan yang dipanggilnya budak. Ia bahkan tak memiliki tangan untuk menggapai padanya. Hanya pandangan mata memelas minta bantuan dengan cara yang salah. Tapi apalah daya, itu sudah menjadi kebiasaannya. Dan tak lama, tanpa mampu menggerakkan kuntilanak merah budaknya untuk dapat menolong, kalaulah memang ia bisa ditolong—sisa tubuhnya yang berupa kepala beserta rambut panjangnya terhisap masuk. “Sruuup~~!”

Sang kuntilanak merah sebagai bawahan hanya bisa menatap pasrah tak dapat berbuat banyak untuk menolong sang junjungan yang tak dapat tertolong lagi. Satu-satunya eksistensi ratu Tobrut yang berupa kepala itu terhisap masuk akibat lesakan energi thermal yang tak terkendali itu. Tangannya mengacung hendak menggapai. Bergerak-gerak tak berguna, tak berpengharapan.

Pakaian kebesaran ratu itu sama sekali diam tak bergerak lagi walo ada kepulan asap berbau gosong. Aku juga tak menyangka akhirnya akan jadi begini. Karena kalopun aku bisa mengalahkan sang ratu kuntilanak itu, akan memakan waktu yang lebih lama dengan terlebih dahulu membinasakan bawahannya, lalu beratus-ratus jurus kemudian untuk mengadu ilmu dengan sang ratu-nya. Tetapi dia sudah musnah… Dengan cara yang tak kusangka akan berhasil sempurna. Menggunakan tenaganya sendiri. Laser thermal yang sangat ampuh dan berbahaya ini.

“Nah… Ratumu sudah musnah… Mau kita lanjutkan pertarungannya?” tanyaku menyiapkan kuda-kuda Mandalo Rajo-ku tepat di hadapannya. Tanganku lebar dengan kaki rendah di tanah.

“Baginda adalah pimpinan hamba yang baru…” kuntilanak berambut merah dikuncir itu tanpa dinyana malah bersujud hampir rata dengan tanah. Hanya tekukakn kakinya yang membuat bokongnya sedikit mencuat ke atas. “Hormat pada raja!” tangannya menjura dengan kening rapat mencium tanah berpasir.

Apa-apaan ini? Apa gara-gara aku memakai tiara kepunyaan ratunya, ya?

“Kenapa kau memanggilku sebagai raja? Apa gara-gara awak pake mahkota ini?” tanyaku tentu aja pengen tau. “Bukannya kita tadi barusan begadoh, ya? Tekak-tekak ‘Hormat pada raja!’ Cam apa kali kau buat awak…” protesku pastinya. Pertarungan kami harusnya bisa lebih seru setelah tak ada pengganggu lainnya. Hanya pertarungan satu lawan satu sekarang.

“Ya, baginda raja… Siapapun yang mengambil alih mahkota permata merah dengan cara membunuh pemimpin sebelumnya akan menjadi pemimpin baru dari kerajaan Mahkota Merah dari pesisir pantai selat Malaka… Baginda-lah sekarang sebagai pemimpin kerajaan kita…” jawab si kuntilanak merah berambut kuncir itu hanya mengintipkan wajahnya sedikit saat menjelaskan.

“Kerajaan Mahkota Merah? Wei-wei… Tunggu dulu… Selow kau… Siapa yang mau jadi raja kerajaan kuntilanak klen? Kau pikir mau aku jadi raja para kuntilanak merah? Enggak! Enggak sudi aku, tau!” tentu aja menolak mentah-mentah pentasbihan jijay bajay itu. Jadi raja kuntilanak merah. Ogah!

“Mau tidak mau… baginda raja sudah memakai mahkota itu di kepala baginda… Suka tidak suka… baginda raja sudah bergelar raja kerajaan Mahkota Merah pesisir pantai selat Malaka… Rela tidak rela… baginda raja adalah raja bagi kami…” jelasnya lagi masih menunduk dengan takjim. Aku hanya bisa tepok jidat gak abis pikir. Sedetik kemudian mau kulepas, mau kubanting aja tiara kecil penghias kepala ini tetapi tak ada lagi tiara kecil itu dan berganti dengan mahkota logam lain yang melekat erat di keningku. Permata besar berwarna merah itu tetap ada di bagian tengahnya. Kimak… Bentuknya berubah sesuai pemakainya. Dan lagi, aku gak bisa melepasnya dari kepalaku. Sepertinya merekat erat di kepalaku.

“Kimak-kimak!” makiku malah uring-uringan mendapat masalah yang gak disangka-sangka kek gini. Kami di Ribak Sude punya prinsip tegas yang gak akan dekat-dekat dengan mahluk ghaib hingga mengambil mereka sebagai mahluk Menggala Suba. Sebagai gantinya kami malah mengambil teman-teman sendiri sebagai mahluk Suba kami. Jadi mahluk Menggala Suba-ku adalah Iyon dan Kojek. Begitu-pun mereka berdua. Dengan begitu kami bisa saling memanggil bila diperlukan seperti yang selama ini sudah kami praktekkan. Kami bisa saling membantu dan prinsip kami terjaga dengan tidak bergantung dengan mahluk ghaib yang kerap dipergunakan para pendekar Menggala lain.

Sejauh ini, aku hanya mentolerir burung Enggang si Panglima Burung untuk sementara bersamaku sampe ia dapat tempat di keturunan Vony kelak, anak perempuan terakhir. Aku bahkan menolak tawarannya untuk menjadi mahluk Menggala Suba-ku, sekuat apapun dirinya, sebaik apapun dirinya. Lah… ini aku malah jadi raja dari kelompok kuntilanak merah? Seabsurd apa situasi ini? Seorang manusia jadi raja di kelompok kuntilanak…

“Apa tidak ada caranya… biar awak batal menjadi raja di kelompok kalian ini?” tanyaku pengen tau tentunya.

“Ketentuannya hanya satu, baginda… Harus ada yang mengambil mahkota itu dari kepala baginda raja… Siapapun dia…” jelasnya masih tetap menunduk menjura. Sesekali aku mengintip pada ujung belahan bokongnya yang menungging di belakang sana. Pinggang sempit dan pinggul lebarnya sangat bagus di pos… Fokus, Seng!

“Kalo misalnya… awak berikan padamu gimana?” tanyaku berandai-andai.

“Baginda tidak bisa membukanya untuk menyerahkannya pada yang lain, baginda… Selain dengan cara satu-satunya itu… belum pernah ada pergantian pemimpin dengan cara lain…” jawabnya. Benar juga. Aku gak bisa melepas mahkota ini dari kepalaku dengan sengaja, gimana aku mau menyerahkannya pada pihak lain.

“Udah berapa kali rupanya klen ganti pemimpin selama ini? Banyak, ya?” kepoku.

“Sudah enam kali termasuk dengan baginda raja…” jawabnya lugas masih menjura rata di tanah.

“Cak kau bangun berdiri aja-la… Payah kali ngomong denganmu kalo kau bersujud kek gitu… Iya bangun… Bangun… berdiri… Cam apa kali awak kau bikinpun? Bangun kubilang!” dengan intonasi terakhir baru kuntilanak rambut merah berkuncir ini baru mau bangkit dari posisi bersujud menjuranya. Tiba-tiba aku harus menghadapi tubuh telanjangnya yang tak tertutup pakaian sehelaipun. Pandanganku gak mau lepas dari bagian payudara mengkal miliknya yang bergandulan indah di dadanya. Selama bertarung tadi aku gak sempat memperhatikan keindahan tubuhnya sefokus ini, cuy.

“Aa… Amm… Ada berapa-ada berapa jumlah warga kerajaan Mahkota Merah ini?” hanya itu pertanyaan yang bisa nyantel di kepalaku saat ini karena keganggu sama visual indah di depanku ini. Kalo jumlahnya ada ribuan ato malah jutaan, masak aku harus memimpin jutaan kuntilanak merah sejenis ini?

“Kerajaan Mahkota Merah hanya berisi sedikit jenis hamba, baginda raja… Jumlahnya kami hanya ada 19 yang tersebar di sepanjang pesisir pantai selat Malaka… Kitalah yang mendiami tempat-tempat strategis di sepanjang pesisir…” jawabnya sangat informatif.

“Berarti udah kurang satu-la kalo gitu… Temanmu yang tadi udah musnah tadi termasuk yang 19 itu?” tanyaku teringat satu kuntilanak yang telah musnah terkena tembakan laser thermal ratu sebelumnya.

“Itu sudah hamba kurangi, baginda raja… Sekarang hanya ada 19 dari kami yang tersisa…” jawabnya pasti.

“Oo… Cuma 19 kuntilanak merah sudah bisa dianggap kerajaan ya?” aku jadi teringat harus melakukan audisi untuk mencari pengganti kehilangan satu anggota yang sudah musnah. Bagaimanapun, apapun alasannya, aku raja mereka sekarang. “Ng… Sori soal rambutmu itu…” tunjukku pada satu kuncir rambutnya yang sudah kupotong saat bertarung tadi. Kuncir sebelah kanannya sekarang hanyalah uraian rambut merah. Ia punya tiga kunciran rambut panjang di kepalanya. Aku menunjukkan kunciran rambut merah itu yang sempat kukantongi. Tadinya akan kusimpan sebagai alat analisa.

Kuulurkan potongan kunciran rambut itu ke arah potongan rambutnya. Ia menatap wajah dan tanganku yang terulur dengan kikuk. Gugup lebih tepatnya. Tak ada pandangan bengis lagi padaku seperti saat bertarung tadi. Hanya rasa inferior bawahan yang tampak pada dirinya. Potongan kunciran rambut itu dengan ajaib menyatukan diri dan pulih kembali menjadi kunciran panjang. Aku cukup kaget awalnya dan ia mengelus-elus rambut berharganya dengan senang rambutnya pulih kembali. Mungkin ini identitas unik mereka sebagai kuntilanak merah.

“Apa kalian gak pernah pake baju?… Si Mutee teman kalian itu pake baju merah…” kataku beranjak ke arah tumpukan pakaian hitam bekas si ratu Tobrut itu. Ternyata pakaian berupa mantel ini cukup berat juga bobotnya. Kainnya ternyata cukup halus dan dihiasi batuan-batuan mulia kecil. Aku hanya mengenali beberapa jenis batu seperti permata, safir, mirah delima, mutiara, giok. Selebihnya aku gak ngerti jenis batunya. Di bagian dalamnya juga ada bebatuan itu, terutama di bagian punggung dan ukurannya lebih besar. “Apakah agar kalian bisa bergerak bebas?” aku sudah ada di depannya lagi sambil memegangi pakaian hitam ini.

“Mutee bukan bagian dari kerajaan Mahkota Merah… Dia hanya kaki tangan ratu sebelumnya jauh sebelum menjadi ratu di kerajaan ini… Kuntilanak merah itu memang sangat dekat dengan ratu karena sesama kuntilanak dan sering berkunjung… tapi dia bukan bagian dari kami… Jangan samakan kami dengan kuntilanak merah binal itu…” jawabnya terkesan gak suka dengan penyebutan nama si Mutee.

“Loh? Bukannya kalian kuntilanak merah juga? Jadi kalian ini apa?” bingungku. Penampilan mereka sama. Sama-sama merah. Cuma si Mutee pake baju merah dan dia rambutnya yang merah.

“Bukan baginda raja… Kami mambang laut… danyang penunggu pantai… peri berambut merah…” jawabnya saat aku berusaha menutupi bahunya dengan pakaian hitam eks sang ratu yang udah koit. Bukan kuntilanak merah? Mambang laut? Danyang pantai? Peri merah? Benar juga. Kuntilanak merah itu hanya pakaiannya aja yang merah. Seperti Mutee di kelompok Burong Tujoh adalah kuntilanak yang berpakaian merah tetapi rambutnya tetap hitam legam. Tetapi mahluk ghaib di hadapanku ini rambutnya yang berwarna merah dan tak berpakaian. Itu yang membedakan jenis mereka.

Ia segera tersadar kala aku akan membungkus tubuh telanjangnya dengan satu-satunya pakaian yang bisa kupakaikan padanya. Padahal aku sendiri dari tadi bertarung hanya pake baju tanpa celana hingga Aseng junior gondal gandul tak terkendali. “Baginda!! Jangan baginda!!” ia sontak kaget dan menjatuhkan dirinya lagi bersujud di tanah. Baju ini gagal kupakaikan ke tubuh telanjangnya. Aku tulus melakukan ini-loh.

“Hamba tidak pantas untuk mengenakan pakaian, baginda raja… Hanya baginda raja atau ratu saja yang pantas memakai pakaian… Maaf saya tidak pantas, baginda…” ia malah balik lagi ke posisi yang tadi.

“A-ah… Aku hanya mau menutupi tubuhmu… Eh… Siapa namamu? Dari tadi awak gak tau namamu…” baru nyadar.

“Hamba tidak punya nama, baginda raja… Kami semua tidak punya nama… Kehormatan yang sangat besar untuk mempunyai nama…” jawabnya masih menunduk sangat rendah. Yang aneh-aneh aja mambang laut ini? Gak boleh pake baju-la, gak punya nama-la. Abis itu apalagi yang gak boleh? Gak boleh pipis sembarangan?

“Berdiri…” kataku memberinya perintah. Intonasiku yang lebih tegas membuatnya patuh padaku dan langsung berdiri tegak tetapi kepala menunduk. “Buka kuciran rambutmu ini…” perintahku memberi instruksi aneh. Tapi ia tak bertanya dan melakukannya dengan patuh. Rambut merahnya yang biasa dikucir panjang ternyata cukup tebal. “Begini… Liat, ya?” aku menjulurkan rambut panjang di depan payudara montok menonjolnya di dua sisi. Lalu dari belakang aku mengambil rambut secukupnya lalu mengikat bagian dadanya hingga ia seakan memiliki bra yang terbuat dari rambut tebal panjangnya sendiri. Dahinya berkerut-kerut bingung apa yang sudah kulakukan pada tubuhnya. Serasa jadi designer fashion, aku juga menyulap rambut panjang lainnya dari belakang belahan bokongnya menjadi celana dalam dengan sistem ikat-ikat juga. “Nah… Gini kan agak sehat mataku ngeliatnya… Enak sih ngeliatnya telanjang terus… Tapi takutnya junior-ku naek mulu…” gumamku sendiri mengagumi karya brilianku dengan rambut panjang merahnya.

“Terima kasih, baginda raja…” ia menunduk lagi yang langsung kucegah.

“Awak mau nanya… Siapa si Lord Purgatory yang sempat diajak bicara sama ratu sebelumnya?” aku baru teringat ini. Siapa tau sebagai bawahanku dia mau menjawab setelah ratunya menolak mengungkapkan sebagai bagian dari kode etiknya.

“Lord Purgatory adalah yang telah memberi nama pada ratu sebelum baginda raja… Dia datang dan pergi dengan bebas di kerajaan Mahkota Merah, baginda raja… Selebihnya hamba tidak tahu banyak…” jawabnya berusaha sebaik-baiknya dalam menjawab pertanyaanku ini.

“Siapa nama ratu tadi itu?” tanyaku sambil memperhatikan pakaian hitam yang pernah dipakainya ini. Tak ada sisa sedikitpun residu dirinya di pakaian ini. Laser thermal tadi habis-habisan membakar dirinya hingga gak bersisa.

“Nama pemberian Lord Purgatory padanya adalah Fatima, baginda raja…” jawabnya patuh.

“Fatima katamu?” kagetku akan nama pemberian itu. Dia mengangguk yakin dengan pasti. “Lalu ratu itu sering mencium tangan si Lord Purgatory… Apakah ada cincin di jari tangannya? Di sini…” aku mencontohkan posisi cincin itu di jari tengah tangan kananku. Ia kembali mengangguk. “Cincinnya besar… lonjong… satu mata cincin besar berwarna hijau dan taburan yang lebih kecil disekelilingnya?” tanyaku tiba-tiba sesak nafas. Ia kembali mengangguk.

Kenapa Putra bisa muncul kembali? Dengan nama Lord Purgatory?

Bersambung

ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita
Foto Janda Toge Gede Siap Ngentot
Foto bugil memek berbulu full HD
Foto Hot Sex Kilat Mahasiswi di Kost
pacar alim dan lugu
Cerita ngajakin ML pacar yang alim dan lugu
Foto Cewek Nakal Bugil Pamer Memek Mulus
Janda hot telanjang
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Dua
pembantu sexy
Mendapatkan Kesempatan Untuk Menikmati Tubuh Pembantuku
tante sange
Antara kegelisahan dan kenikmatan yang telah di berikan tante april
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
Foto bugil gadis berjilbab yang alim toge masih perawan
foto tante cantik telanjang
Foto tante girang cantik putih mulus lagi bugil
Bercinta Dengan Mama Tiri & Kakak Tiri Sendiri
Pembantu cantik
Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Dua
Cerita dewasa ngentot di toilet
Bercinta Dengan Anak Pak RT