Part #64 : Petualangan Sexs Liar Ku
Adibah pulang dari rumah Justin dengan perasaan gondok. Obrolan terakhir mereka tidak berjalan baik. Pria itu justru mencoba membujuk dirinya agar mau menerima Randy sebagai menantunya.
Wanita itu beranggapan bahwa Randy sengaja meminta bantuan kepada Justin untuk hal itu dan semua yang dilakukan Justin sebelumnya semata-mata untuk memuluskan rencana mereka berdua.
“Memangnya dengan rayuan bisa membuat ku berubah pikiran! Aku tau akal bulus mu. Dengan memanfaatkan Justin yang sedang dekat dengan ku, kamu minta dia untuk mempengaruhi ku! Tidak! Tidak semudah itu!” ucap Adibah dalam hati.
Rasa kecewa timbul di dalam hati Adibah mengetahui Justin mendekati dirinya karena ada maksud terselubung. Dia yakin sekali meskipun itu hanya kesimpulan yang dia buat sendiri.
“Bodoh sekali aku ini! Kenapa aku sempat percaya dengan mulut playboy cap kadal macam Justin! Dia melakukan semua itu hanya untuk menarik simpati ku. Ya! Mana mungkin dia benar-benar mencintai wanita tua seperti ku. Mulut manisnya pasti sudah berhasil menipu banyak wanita di luar sana, tapi jangan harap dengan ku,” lanjutnya lagi.
Adibah masuk ke rumah langsung mengunci dirinya di dalam kamar. Sejenak dia menangisi kisah cintanya yang layu sebelum berkembang. Dalam hati dia bertekad untuk melupakan pria yang beberapa waktu lalu mengisi pikirannya setiap saat.
Tiba-tiba ada telepon masuk dari ponselnya. Dia menatap nama yang tertera di sana. Ternyata yang menelpon adalah kiai Jamal.
Adibah gelisah entah kenapa mendapatkan telepon itu. Beberapa malam terakhir dia bermimpi diberi petunjuk untuk segera mengakhiri perjodohan ini. Namun keteguhan hatinya memaksa untuk tetap melanjutkan rencananya semula.
“Assalamualaikum,” sapa Adibah.
“Waalaikumusalam, bagaimana jawaban Annisa mengenai rencana saya untuk mengkhitbahnya?”
Sejenak Adibah terdiam untuk memikirkan jawaban yang harus ia katakan. Dua sisi hatinya saling berperang. Di satu sisi menyuruhnya untuk menunda pertunangan itu di sisi lain menyuruhnya agar langsung mengiyakan permintaan kiai Jamal.
“Adibah!”
“E…ehh…i…iya. Annisa bersedia untuk menerima khitbah dari kiai.”
Adibah langsung menutup mulutnya sendiri yang secara spontan menjawab pertanyaan kiai Jamal.
“Apa kamu yakin Annisa menyetujui rencana saya?”
Kiai Jamal sendiri tidak langsung percaya dengan perkataan Adibah mengingat sikap calon istrinya yang selalu menjaga jarak ketika mereka bertemu.
“I…iya yakin, Ki!”
Tidak ada pilihan lain bagi Adibah untuk menjawabnya. Kalau dia bilang sebaliknya, maka kiai Jamal pasti akan marah dan menganggap dirinya telah mempermainkan lelaki itu.
“Bagus, kalau begitu tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.”
“M…memangnya kapan rencana kiai mau mengkhitbah Annisa?” tanya Adibah.
“Tiga hari dari sekarang, tepatnya hari Jumat depan. Itu hari baik untuk melangsungkan pertunangan.”
Mata Adibah melotot serta mulutnya dibungkam oleh tangannya sendiri. Tiga hari lagi dan Annisa sama sekali tidak mengetahui rencana itu.
“Baik Ki, saya akan kondisikan.”
“Terima kasih Adibah. Saya harap Annisa tampil cantik di hari tersebut. Kalau begitu saya akan tutup teleponnya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam,” jawab Adibah kemudian menutup teleponnya.
Adibah tampak meremas ponsel yang ada digenggamnya itu. Yah, tiga hari lagi dan Annisa sama sekali tidak mengetahuinya. Kalau dirinya sampai tahu sekarang kemungkinan Annisa akan melakukan sesuatu untuk membatalkannya. Jadi Adibah memilih untuk memberitahu di saat hari H.
Dua hari menjelang hari H
Siang itu Annisa tengah duduk di tribun penonton di sebuah stadion basket milik tim GB untuk mendukung Randy. Dia sudah tidak takut lagi karena sikap ibundanya kemarin yang sudah luluh.
Hari itu ada pertandingan profesional antara GB vs PJ dengan tim GB sebagai tuan rumah. Di hari itu juga Randy melakukan debut pertamanya di liga nasional.
Randy langsung menunjukkan skillnya di atas lapangan. Para penonton bersorak ketika melihat rising starnya mencetak angka demi angka. Annisa tersenyum penuh bangga melihat setiap aksi dari kekasihnya itu.
Pertandingan pun berakhir untuk kemenangan GB dengan skor 88-79. Selesai pertandingan, Randy menghampiri Annisa bersama Justin.
“Hay kamu yang namanya Annisa ya? Kenalin aku calon papa mu,” ucap Justin sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
Annisa hanya mengerutkan dahinya mendengar pernyataan ngawur dari lelaki itu. Dia kemudian memutar pandangannya ke arah Randy.
“Ehemmm…” Lelaki itu hanya berdehem.
“Nama ku Justin. Salam kenal ya!”
“Annisa,” ujar Annisa sambil menangkupkan tangannya tanpa ada kontak fisik.
Melihat tangannya menganggur, Justin menariknya kembali.
“Kalo gitu gue cabut dulu ya sama cewek gue.”
“Gak kumpul dulu? Tadi coach bilang suruh kumpul. Lagian ini debut pertama lu, harusnya kita kasih perayaan kecil-kecilan.”
“Gue gak bisa, sibuk! Nanti titip salam aja sama anak yang lain.”
Setelah itu Annisa dan Randy pergi dari stadion basket. Mereka mengarahkan tujuannya ke sebuah restoran yang tidak begitu ramai.
“Kamu mainnya bagus tadi.”
Randy mengarahkan pandangannya ke bibir Annisa yang tersenyum.
“Makasih,” jawab Randy singkat.
“Kenapa kamu gak ikut mereka aja? Ini katanya debut pertama kamu ya?”
“Malas ahh, kan ada kamu. Lagian mereka pasti party sama cewek-cewek mereka. Emang kamu mau kalo aku party bareng cewek-cewek itu?”
“Ehh…jangan! Aku gak mau, gak rela.”
Annisa menggenggam punggung tangan Randy yang terletak di meja. Namun sejurus kemudian dia kembali menarik tangannya.
“Nah itu makanya aku gak mau. Ya udah mending sekarang kita makan dulu. Kayaknya anak kita udah laper,” ucap Randy seraya mengelus perut Annisa yang sedikit mengembang.
“Malu ahh Ran!”
Perempuan itu memindahkan tangan nakal Randy kembali ke tempatnya. Tapi mendengar kata ‘anak kita’ membuat hati Annisa berbunga-bunga. Dia berharap sebentar lagi ibunya akan merestui hubungan antara dia dan Randy.
Meski pikirannya sempat terusik dengan kedatangan kiai Jamal beberapa hari yang lalu, namun kenyataannya ibunya tidak mengatakan apapun. Mungkin mereka hanya membahas masalah pesantren saja. Pikirnya.
Annisa makan dengan lahap sampai-sampai dia menambah porsi untuk yang kedua dan ketiga. Randy sampai melongo melihat nafsu makan kekasihnya yang begitu banyak.
Randy kemudian mencubit lengan atas Annisa yang lebih tebal dari biasanya hingga si empunya memekik kesakitan.
“Aduh Ran! Kenapa dicubit?” protes Annisa.
“Kamu jadi makin chubby deh. Pipi mu jadi tembem gini.”
Giliran pipi Annisa yang menjadi korban kejahilan tangan Randy. Annisa mendengus kesal lalu menepisnya.
“Ihh…bilang aja aku gemukan!”
Annisa tampak merajuk lalu menggembungkan kedua pipinya dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.
“Gak papa gemuk yang penting aku cinta,” jawab Randy sambil tertawa kecil.
Annisa tidak menggubris lalu melanjutkan makannya.
Secara kasat mata bentuk tubuh Annisa memang berubah drastis. Dia yang dulunya kurus dengan pipi yang tirus kini menjadi lebih berisi dengan kadar lemak yang meningkat beberapa persen.
Tidak terkecuali dengan payudaranya. Saat pertama kali Randy memegang buah dada itu ukurannya cukup kecil, bisa dibilang yang terkecil dibanding perempuan-perempuan yang pernah bersamanya. Sebelas dua belas dengan milik Ririn pada masanya. Namun kini payudara Annisa mengembang menjadi lebih besar.
“Kenapa liatin aku terus?” tanya Annisa tiba-tiba membuyarkan lamunan Randy.
Perempuan itu sontak menutupi area dadanya dengan tangannya sendiri karena sedari tadi Randy menatap benda itu tanpa henti.
“Ehh..***k papa kok. Mau disuapin?”
Annisa menggeleng cepat.
“Makan sendiri aja,” balas Annisa kembali melanjutkan makannya.
Setelah itu Annisa dan Randy melanjutkan jalan-jalannya. Mereka sempat membeli es krim di penjual kaki lima. Sudah dipastikan Randy hanya kebagian mangkuk kerupuknya saja sedangkan semua es krim sudah berpindah ke perut Annisa.
Satu hari menjelang hari H
Annisa tengah dibuat bingung dengan suasana rumahnya yang terlihat sibuk. Beberapa orang sedang membersihkan dan membereskan perabotan untuk dipindahkan ke belakang. Digelarnya sebuah permadani yang sangat besar hingga menutupi hampir seluruh lantai rumahnya.
“Teh Aisyah! Ini mau ada apa ya? Kok barang-barang pada dipindahin ke belakang?” tanya Annisa dengan ekspresi heran.
Aisyah yang ditanya seperti itu kebingungan untuk menjawab. Dia sudah diperintahkan oleh Adibah untuk tidak menceritakan mengenai rencana lamaran itu tapi dia tidak diberitahu untuk menjawab seperti apa bila ditanya oleh Annisa.
“E…anu…katanya mau ada arisan PKK.”
“Arisan PKK?” ujar Annisa memastikan.
Aisyah mengangguk dengan gugup. Dalam hati dia merasa bersalah kepada Annisa karena tidak bisa berkata jujur tentang sesuatu yang seharusnya diketahui oleh perempuan itu.
Tak mau berpikiran terlalu negatif, Annisa lalu berpamitan untuk berangkat kuliah. Di kampus perasaan hatinya mendadak tidak enak. Hatinya gundah gulana entah mengapa. Di kelas dia lebih sering melamun dari pada memperhatikan mata kuliah yang sedang diajarkan.
“Annisa!” panggil seorang teman yang berada tepat di sampingnya bernama Indah.
“Ehh…iya?”
“Kamu paham gak yang barusan Bu Umi jelasin?”
“Yang mana?”
“Yang ini!” tunjuk Indah ke arah binder yang tertulis beberapa rumus.
Annisa memperhatikan tulisan-tulisan yang temannya buat. Namun tiba-tiba tulisan bertinta hitam itu berubah menjadi wajah kiai Jamal.
“Astaghfirullah!” sebut Annisa sambil mengelus-elus dadanya.
“Kenapa?” tanya Indah khawatir karena wajah Annisa yang mendadak pucat.
“Gak papa. Maaf aku gak tau jawabannya Ndah.”
Annisa menggeleng keras. Dia kemudian meminta ijin kepada dosennya untuk pergi ke kamar kecil. Di sana Annisa membasuh muka agar lebih segar. Dia heran kenapa tiba-tiba jadi memikirkan kiai Jamal?
Setelah wajahnya kembali segar Annisa kemudian keluar dari toilet. Dia terkejut karena ada orang yang menunggunya di luar.
“Annisa, kamu kenapa? Aku perhatiin dari tadi bengong terus?”
Orang itu bernama Arif. Ternyata dia diam-diam mengikuti Annisa keluar kelas karena cemas akan kondisi orang yang dia sukai itu.
“Aku gak papa Arif, cuma kecapean aja,” jawab Annisa agak malas.
Suasana hatinya sedang tidak baik, ditambah Arif yang terlalu ikut campur urusan orang lain yang semakin membuatnya jengkel.
Annisa kemudian kembali ke kelas meninggalkan Arif. Hari itu dia lalui tanpa ada satupun ilmu yang masuk ke dalam otaknya.
Saat pulang, Annisa kembali di jemput oleh Randy. Dia mengadu tentang suasana hatinya yang kacau. Randy memutuskan untuk mengajak Annisa jalan-jalan agar suasana hatinya membaik.
Annisa terlihat senang menghabiskan waktu bersama seseorang yang dia cintai. Dia yakin kalau mereka dapat melewati badai yang menerpa dan bahagia di waktu yang tepat.
Hari H
Matahari telah pergi meninggalkan senja. Annisa yang baru saja pulang dari menunaikan ibadah Maghrib di masjid heran melihat ruang tamunya sudah berjejer hidangan yang cukup banyak.
Padahal saat dia pergi tadi hidangan itu belum ada di situ. Dia pun menanyakan kepada Aisyah yang sedang meletakkan piring yang ditumpuk di bagian tengah. Wanita itu tampak mengenakan pakaian yang rapi persis seperti akan pergi ke acara hajatan.
“Teh ini ada acara apa sih? Kok banyak makanan begini?”
“Emm…sebaiknya non Annisa tanya langsung sama teh Adibah. Beliau sedang nunggu di kamar non.”
Annisa mengernyitkan dahinya masih tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan masih menggunakan mukena, Annisa lalu pergi menemui ibundanya untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat masuk ke dalam kamar Adibah, dia melihat ibunya sudah berpakaian rapi dengan gamis berwarna coklat dan hijab berwarna krem.
“Bunda, mau ada acara apa sih? Kok semuanya pada rapi terus banyak makanan di luar?” tanya Annisa dengan tingkat penasaran yang maksimal.
Adibah memutar bola matanya ke arah Annisa seraya tersenyum. Dia bangkit menghampiri anaknya yang masih dalam mode heran. Adibah lalu memegang kedua bahu Annisa.
“Annisa, kamu belum siap-siap? Bunda udah pilihkan baju yang cocok buat kamu.”
Bukannya menjawab pertanyaan Annisa, Adibah justru menyuruhnya untuk bersiap-siap. Hal itu semakin membuat rasa penasaran meledak.
“Bunda, jawab pertanyaan Nisa! Sebenarnya ada apa ini?!” seru Annisa dengan penuh tuntutan.
Adibah menghembuskan nafas dalam. Dia ragu untuk memberitahu Annisa mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dia tahu itu akan membuatnya syok berat, tapi dia tidak punya pilihan lain selain mengatakannya.
Dalam hati Adibah berjanji ini akan jadi yang terakhir kalinya dia membuat anaknya menangis. Setelah Annisa dikhitbah oleh kiai Jamal, maka dirinya dianggap sudah siap untuk menjadi istri lelaki itu. Secara otomatis mereka sudah terikat dan pihak perempuan diharamkan untuk menerima pinangan dari lelaki lain.
Dengan meneguhkan hatinya, Adibah kemudian berbicara dengan tenang.
“Annisa, sebentar lagi kiai Jamal akan datang ke sini. Beliau datang dengan maksud untuk mengkhitbah kamu.”
“A…apa…!!!?”
Bersambung