Part #65 : Petualangan Sexs Liar Ku

Note : part ini mengandung adegan NTR. Untuk pembaca yang anti NTR boleh skip part ini demi kenyaman bersama.

‘Semua akan indah pada waktunya’, tampaknya tidak berlaku untuk wanita malang bernama Annisa.

•••​

“Annisa, sebentar lagi kiai Jamal akan datang ke sini. Beliau datang dengan maksud untuk mengkhitbah kamu,” ucap Adibah dengan hati-hati.

“A…apa…!!!?”

Bagaikan tersambar petir di siang bolong Annisa amat sangat terkejut mendengar jawaban dari ibundanya itu.

“Bu…bunda bercanda kan? Gak! Gak mungkin bunda. Bunda gak sejahat itu sama Nisa. Nisa tau itu.”

Hati Adibah terasa nyeri. Dia merasa menjadi ibu yang jahat. Apa yang tidak diyakini oleh Annisa memang benar sebuah kenyataan. Ya, dia memang ibu yang jahat, tapi itu semua demi kebaikan anaknya.

“Itu semua benar Nisa. Maaf bunda gak kasih tau kamu dari awal karena bunda takut kamu menolak.”

Dada Annisa sesak menahan tangis. Lidahnya kelu tidak dapat bergerak walau hanya untuk menyanggah kata-kata Adibah. Tampaknya dunia akan runtuh saat itu juga bagi Annisa.

“Malam ini?! Dan bunda gak ngomong apa-apa sama Nisa?! Kenapa bunda?! Hiksss…”

Annisa menghapus air mata yang gagal ia bendung. Sungguh dia tidak menyangka ibundanya tega melakukan hal itu.

“Pokoknya Annisa gak mau, bunda!” lanjut Annisa dengan nada setengah membentak.

Adibah lalu menggenggam pergelangan tangan Annisa dan menariknya hingga mendekat.

“Annisa, kiai Jamal sudah akan ke sini, mungkin beliau dan para rombongan sudah di perjalanan. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk membatalkan.”

“Kan bunda yang ngerencanain. Kenapa bukan bunda aja yang nikah sama kakek tua itu!”

Adibah membulatkan matanya mendengar Annisa berkata demikian.

“Hussh…jaga bicara kamu! Dia itu guru almarhum ayah mu, tau?”

“Gak mau! Arkhhh!” pekik Annisa ketika genggaman tangan Adibah di pergelangan tangannya semakin menguat.

“Annisa! Apa kamu mau jadi anak pembangkang, hah?! Bunda sudah pernah gagal mendidik satu anak. Apa kamu mau jadi penerus kakak laki-laki mu?!”

Annisa melihat kristal bening menggenang di bola mata ibundanya. Apakah dengan menolak perjodohan ini, dia bisa disebut anak durhaka? Kenapa? Dia hanya ingin bahagia. Apa itu salah?

“Seandainya kamu gak melakukan perbuatan hina itu sampai hamil, bunda juga gak akan melakukan ini. Apa kamu gak sadar tentang hal itu?”

Annisa terdiam tidak menjawab. Dia lelah berdebat dengan Adibah. Jika ibunya kalah berdebat pasti ujung-ujungnya membahas tentang kesalahan dirinya di masa lalu.

“Sekarang kamu masuk ke kamar, dandan yang cantik, basuh muka mu jangan sampai keliatan kamu habis nangis,” perintah Adibah seraya memberikan pakaian yang akan dikenakan oleh Annisa.

Dengan langkah gontai Annisa keluar dari kamar Adibah dan masuk ke kamarnya sendiri. Dilemparkannya pakaian yang tadi diberikan Adibah ke sembarang tempat lalu Annisa menghempaskan tubuhnya sendiri di atas kasur.

Dia kembali menangis meratapi nasibnya yang begitu memilukan. Pikirannya langsung mengarah kepada Randy. Ya, hanya dia yang bisa menolongnya saat itu. Kalau ibunya bisa berbuat nekat maka dia juga bisa melakukannya.

Annisa kemudian duduk sambil menggulir ponselnya mencari kontak bernama ‘pujaan hati’. Dia mencoba menghubungi Randy tapi tidak ada sahutan darinya.

Beberapa kali dia coba tapi hasilnya kembali nihil. Annisa kemudian membanting hpnya frustasi. Dia menenggelamkan wajahnya di kedua lutut.

Dia sudah berkeras hati untuk pergi meninggalkan acara itu. Annisa menemukan ide untuk kabur. Dengan tanpa persiapan Annisa mengganti mukena yang dipakainya dengan baju biasa.

Setelah itu dia memesan taksi online. Annisa pun keluar melalui jendela kamarnya secara diam-diam. Dia memilih jalan yang sepi sembari berlari keluar kompleks pesantren.

Untung saja saat dia melewati gerbang, taksi yang ia pesan sudah sampai di titik jemput. Annisa langsung pergi ke tempat tujuannya.

Sesampainya di sana sejenak wanita itu memandang bangunan yang menjulang tinggi.

“Randy aku datang,” ucapnya bermonolog.

Annisa kemudian masuk ke dalam gedung itu. Ya, itu adalah gedung apartemen yang Randy tinggali. Dia pun naik ke lantai tiga belas dimana Randy berada.

Setelah sampai Annisa lalu memencet bel dan berharap kalau orang yang dicarinya ada di dalam.

Senyum terukir di bibir Annisa kala pintu itu bergerak masuk ke dalam dan perlahan menampilkan seisi ruangan yang sudah lama tidak ia sambangi.

Tapi senyum di bibirnya seketika sirna saat melihat seorang yang sangat familiar membukakan pintu itu untuk dirinya.

“K…kak Icha?!” tunjuk Annisa sembari membulatkan matanya dan menahan nafas.

Tidak! Bukan menahan nafas, tapi lebih tepatnya paru-paru miliknya mendadak kesulitan untuk menghirup oksigen. Kepalanya tiba-tiba terasa nyeri melihat sosok yang dia rindukan tapi tidak ia harapkan dalam posisi itu.

“A…Annisa?! K…kamu ada di sini?!”

Entah lah kenapa kata itu yang keluar dari mulut Icha. Harusnya itu adalah pertanyaan yang dilontarkannya oleh Annisa kepada dirinya. Dia tidak bisa berpikir jernih karena terlampau kaget. Dirinya sudah tertangkap basah dan tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada Annisa.

Begitu pun Annisa, dia tidak bisa menggerakkan lidahnya seolah tulang tumbuh di dalam sana. Dia tidak dapat berucap meskipun itu hanya kata ‘mengapa’ atau ‘bagaimana bisa’.

Tak berselang lama, dalang dibalik semua masalah itu muncul dari belakang. Sosok pria tampan dan tinggi itu baru pulang dari rumah Justin, sahabatnya.

Langkah Randy terhenti di belakang perempuan yang sedang mencarinya. Mata Icha dan Randy bertemu membuat Annisa pun membalikkan badannya.

Wanita itu menatap Randy nanar. Harusnya saat itu dia memeluk pria itu lalu mengadu tentang hal yang menimpanya. Namun apa yang baru saja terjadi menahan dirinya untuk tidak melakukan itu.

“Randy,” sebut Annisa dengan lemas.

Dia tidak punya daya lagi untuk memanggil nama kekasihnya.

“Aku bisa jelasin.”

Annisa menahan dada bidang Randy yang hendak mendekatinya. Dia mundur satu langkah dari pria itu.

“Ada apa ini sebenarnya?! Ke…kenapa kak Icha ada di apartemen mu?!” ungkap Annisa dengan sisa-sisa tenaga yang ia kumpulkan sendiri.

Sejenak Randy memejamkan mata lalu menghembuskan nafas dalam. Tidak ada lagi cara menyembunyikan kenyataan selain berkata jujur. Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi dia tidak punya pilihan lain.

“Icha ada di sini karena aku yang menolongnya. Aku membantu dia karena kasihan melihat dia di jalanan setelah pergi dari rumah orang tua mu.”

“Kenapa kamu begitu peduli dengan kak Icha?” tanya Annisa sembari meremas baju di bagian dadanya.

Dia sudah menyiapkan hatinya untuk menerima kenyataan yang mungkin akan menghancurkan hatinya. Di belakang Annisa, Icha menggigit bibirnya sambil menggelengkan kepala kepada Randy. Namun pria itu sudah memantapkan hati untuk jujur.

“Karena dia membawa anak ku.”

Deggg…

Seketika tubuh Annisa melemas mendengar ucapan Randy. Dia nyaris roboh kalau saja saraf di kakinya tidak berfungsi seperti dadanya yang mati rasa.

“M…maksud kamu?”

Annisa masih mencoba berharap bahwa apa yang dipikirkannya salah. Meskipun kemungkinan itu hanya nol koma satu persen.

Sampai akhirnya Randy mengucapkan kata yang tidak bisa terelakkan lagi.

“Aira adalah anak kandung ku.”

Jederrr…!!!

Seketika Annisa menunduk menutupi setengah wajahnya dengan telapak tangan.

Kenyataan itu lebih menyakitkan dari yang dia pikirkan. Awalnya dia mengira mereka hanya berselingkuh, tapi nyatanya hubungan mereka sudah terjalin jauh sebelum Annisa mengenal pria itu.

Annisa kemudian menghapus air mata yang lolos dan menatap Randy. Dia mencoba tegar walaupun di dalam sana sangatlah rapuh.

“Apa salah ku?!” ucap Annisa lirih.

Wanita itu menoleh ke arah belakang.

“Kak, apa salah ku?! Kenapa kalian mengkhianati ku?!”

“Ini lebih sakit dari yang aku kira. Kalian dua orang yang paling aku percayai, tapi kalian mengkhianati ku!”

“Annisa, ini gak seperti yang kamu pikirkan. Randy belum menjelaskan semuanya. Ini salah paham!” sergah Icha.

“Apa maksudnya salah paham?! Randy jelas-jelas bilang kalo Aira itu anak kandung dia. Berarti selama ini kak Icha udah menipu ku dan keluarga ku!”

“Annisa, ayo kita masuk ke dalam dulu. Biar aku jelasin semuanya,” ajak Randy kepada Annisa.

“Gak perlu! Aku udah gak percaya lagi sama kamu!”

Annisa mendorong Randy kemudian berlari dengan cepat dari tempat itu.

“Randy! Kenapa kamu diem aja?! Kejar Annisa!” suruh Icha dengan nada tinggi.

Tanpa menjawab Icha, Randy berlari mengejar Annisa. Namun saat Annisa masuk ke dalam lift, pintu lift itu sudah terlanjur tertutup.

Tak menyerah, Randy berlari menuruni tangga darurat yang panjangnya tiga belas lantai. Saat sampai di lobby, pria itu dengan cepat menahan tangan Annisa sambil ngos-ngosan.

“Lepasin aku Ran!” pekik Annisa.

Wanita itu mencoba melepaskan genggaman tangan Randy.

“Dengerin dulu, aku belum selesai ngomong.”

Setelah tangan Annisa terlepas, dia langsung melayangkan sebuah tamparan ke arah pipi Randy.

Plakkk…!!!

Annisa meremas tangannya sendiri yang panas karena telah menampar Randy. Dia menatap penuh amarah kepada pria itu.

“Gak ada yang perlu dijelasin lagi Ran. Aku gak mau kenal lagi sama kamu!”

Annisa berbalik hendak melangkahkan kakinya keluar gedung tapi kembali dicegat oleh Randy.

“Tunggu!”

Wanita itu menoleh sedikit.

“Apa kamu deketin aku karena ingin kembali bersama kak Icha?”

Randy diam saja tak menjawab. Percuma saja menyanggah kata-kata Annisa saat itu. Di posisinya Randy secara tersirat tidak diperkenankan untuk berbicara.

“Baik! Kamu bebas sekarang. Tinggalin aku dan kembalilah bersama kak Icha. Maaf kalau selama ini aku hanya jadi penghalang hubungan kalian.”

Setelah menyelesaikan kata-katanya, Annisa pergi meninggalkan Randy yang mematung diri di sana.

Ada rasa tidak rela ketika melihat kekasihnya pergi. Tapi mau menghalangi pun percuma. Annisa sedang dalam situasi yang tidak baik. Randy akan mencoba menemuinya besok saja.

Lelaki itu kemudian kembali ke dalam apartemennya. Saat masuk Randy terkejut melihat Icha sedang membereskan pakaiannya.

“Kamu ngapain Icha?!” tegur Randy.

Icha pun mendekati Randy dengan bola mata membulat.

“Kenapa kamu masih di sini?! Annisa mana?!”

“Dia udah pulang.”

Mulut Icha melongo mendengar jawaban singkat Randy.

“Kenapa gak ditahan?!”

“Percuma, dia gak akan mau dengerin aku sekarang.”

Icha menghela nafas dalam.

“Ini semua salah ku. Sejak awal seharusnya aku gak pernah ada di sini. Aku yang terlalu nyaman sampai lupa kalau di sini aku hanya sementara. Aku mau pergi aja dari sini.”

“Tunggu! Kamu mau kemana?”

“Aku mau pergi! Mau cari kontrakan.”

“Malam ini?! Apa kamu gila?! Kamu gak mikirin Aira. Memangnya semudah itu nyari rumah kontrakan?! Jangan gegabah!”

Randy menahan kedua bahu Icha, kemudian memeluknya sambil memandang anaknya yang masih tertidur lelap.

“Oke. Kalo kamu gak mau tinggal di sini lagi, kita cari rumah kontrakan tapi gak malam ini.”

Icha hanya mengangguk pelan. Dia menjatuhkan tas yang akan dibawanya pergi dari apartemen Randy. Tiba-tiba Aira menangis. Secara naluriah Icha mengeluarkan payudaranya karena anaknya yang mencari puting susu untuk disedot.

Setelah itu Randy merebahkan tubuhnya di samping anaknya sembari menutupi matanya dengan punggung tangan.

Randy merenung. Bukankah ini yang diharapkannya? Bukankah ini adalah misinya dari awal? Dia berhasil menghancurkan keluarga Reza.

Reza berpisah dengan istrinya. Ibunya telah berhasil ia jadikan budak seks. Keluarga kakak Reza juga diambang kehancuran serta Randy berhasil menidurinya. Randy juga berhasil memerawani adik perempuannya hingga hamil.

Seharusnya Randy senang. Tapi kenapa dengan Annisa dia merasa sangat bersalah. Randy seperti seekor predator yang jatuh cinta kepada hewan buruannya sendiri.

Saat itu juga Randy baru sadar kalau dirinya telah jatuh terlalu dalam dengan rasa cintanya terhadap Annisa. Rasa yang timbul berawal dari benci berubah menjadi cinta.

Ia pejamkan mata hingga terlelap. Di mimpinya dia melihat Annisa yang tengah dimangsa seekor buaya. Anehnya dia tidak berteriak ataupun meminta tolong. Annisa hanya tersenyum sambil melambaikan tangan pada Randy sebelum benar-benar menghilang di dalam mulut buaya itu. Seketika Randy terjaga kemudian bangkit lalu bergegas memakai jaket kulit miliknya tanpa pikir panjang.

“Ran, mau kemana?” tanya Icha yang masih berbaring di tempat tidur.

“Mau nemui Annisa. Perasaan ku gak enak.”

Saat Randy sampai di daun pintu, Icha kembali memanggil.

“Ran!” Randy menoleh sesaat.

“Semoga berhasil!”

Pria itu tersenyum lalu mengacungkan jempolnya. Setelah itu Randy bergegas pergi ke rumah Annisa.

•••​

POV Annisa

Aku berjalan tak tentu arah. Mata ku perih setelah menangis cukup lama. Dada ku sakit luar biasa mengingat penghianatan yang dilakukan oleh Randy dan kak Icha. Mereka adalah dua orang yang paling aku percayai.

Bagaimana bisa mereka melakukan semua itu?

“Ya Tuhan. Apakah ini karma yang harus aku terima karena telah lebih mencintai ciptaannya daripada sang pencipta?”

“Randy. Kamu adalah cinta pertama ku. Tapi kamu juga yang sudah menorehkan luka paling dalam yang pernah aku rasakan.”

Mungkin memang benar. Aku sudah berbuat durhaka terhadap ibu ku sendiri. Aku telah membangkang, aku seharusnya menuruti semua keinginan ibu ku. Mungkin itulah yang terbaik untuk hidup ku.

Tak lama kemudian aku kembali menaiki taksi online yang sudah aku pesan sebelumnya. Aku berniat untuk pulang. Aku berjanji akan menuruti semua permintaan bunda untuk menebus semua kesalahan ku, termasuk menikah dengan kiai Jamal.

Mungkin memang aku ditakdirkan untuk berjodoh dengan beliau. Jadi sekuat apapun aku menentang, semua pasti akan kembali ke jalurnya.

Di dalam mobil aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang sudah dan akan terjadi. Walau hati ku masih berkata tidak untuk menikah dengan kiai Jamal tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus ikhlas.

Sesampainya di kompleks pesantren, aku berjalan melewati jalan yang sebelumnya aku lalui saat kabur dari rumah.

Suasana di rumah ku cukup ramai. Mungkin kiai Jamal dan para rombongannya sudah datang. Aku lewat pintu belakang. Di sana aku melihat seorang wanita yang sedang mondar-mandir di samping rumah ku. Dia adalah ibu ku.

“Bunda!” panggil ku lirih.

Mendengar aku memanggilnya, bunda langsung memutar kepalanya ke arah ku.

“Annisa! Kamu dari mana saja, nak?!”

Bunda lalu memeluk ku erat dan mengusap belakang kepala ku. Ku sandarkan kepala ku di dadanya yang terasa nyaman.

“Alhamdulillah kamu sudah kembali. Bunda benar-benar takut tadi.”

“Maaf bunda,” ucap ku penuh penyesalan.

“Apa kamu mau melanjutkan khitbah ini?” tanya bunda yang sepertinya itu adalah sebuah pilihan.

Kalau sebelumnya mungkin aku dengan tegas akan menggelengkan kepala, tapi untuk sekarang aku malah menganggukkan kepala ku. Aku hanya tidak ingin mengecewakan ibu ku untuk yang kesekian kalinya.

Cukup. Biarkan aku tidak bahagia seumur hidup kalau itu mampu menebus semua dosa-dosa ku.

Bunda kemudian tersenyum bahagia lalu kembali memeluk ku dan mengecup puncak kepala ku.

“Ya sudah. Sekarang kamu ganti baju dan dandan yang cantik. Kiai Jamal sudah menunggu beserta keluarga besarnya.”

Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan. Bunda lalu menuntun ku masuk ke dalam kamar. Di sana aku berganti pakaian dengan yang bunda pilihkan. Aku riat wajah ku dengan tipis hanya sekedar untuk menyamarkan bekas lelehan air mata ku.

Bunda berdiri di belakang punggung ku sembari menyentuh kedua bahu ku. Ia menarik sudut bibirnya melihat pantulan diri ku dari cermin.

“Kamu cantik sekali Annisa,” ujar ibu ku memuji.

Aku juga merasakan hal demikian. Sayangnya aku tidak berdandan untuk seseorang yang aku cintai. Tapi tidak apalah, lagipula dia sebentar lagi akan menjadi suami ku. Bukan malam ini tapi dalam waktu dekat.

Setelah selesai kami berdua keluar menuju ruang tamu yang sudah ramai dengan keluarga besar kiai Jamal.

Ku lihat semua orang terpaku pada ku ketika aku datang. Aku menunduk malu. Aku terus mengatupkan bibir ku rapat untuk sedikit menghapus lipstik yang ku pakai. Sepertinya aku mengoleskan terlalu tebal.

Momen ini seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi perempuan yang mengalaminya. Tapi itu tidak berlaku dengan ku. Hati ku terus menerus menolaknya.

Sesaat ku lihat seorang pria yang mungkin beberapa tahun lebih tua dari ku sedang memangku seorang anak. Ya, dia adalah cucu dari kiai Jamal, yang mana bila aku menikah dengannya maka dia akan jadi cucu ku juga. Cucu yang bahkan lebih tua dari ku. Aku tersenyum miris membayangkan hal itu.

Beberapa pujian langsung aku terima dari para tamu yang hadir dengan diselingi candaan yang riuh. Aku sama sekali tidak senang. Yang aku lakukan hanya tersenyum dan menurunkan kepala ku sejenak.

Setelah itu acara dibuka dengan membaca doa yang dipimpin oleh anak laki-laki dari kiai Jamal yang seumuran dengan bunda. Kiai Jamal sendiri memakai jubah warna putih. Jambangnya lebat sekali dengan rambut warna putih yang lebih dominan. Dia terus menatap ku tanpa henti.

Kemudian acara berlanjut dengan menyampaikan maksud dan tujuan kiai Jamal terhadap ku.

“Selamat malam Bapak dan Ibu serta segenap keluarga yang kami hormati. Terima kasih kami ucapkan telah berkenan menerima kami sekeluarga dengan baik. Perkenankanlah saya untuk menyampaikan tutur kata untuk secara resmi menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami ini,” ucap perwakilan dari kiai Jamal.

“Pada hari ini, kami hadir di tengah-tengah keluarga Ibu Adibah, tiada lain dalam rangka bersilaturahmi agar saling mengenal satu sama lain dengan lebih dekat. Selanjutnya, kami juga ingin menyampaikan maksud dari ayah kami yang sudah cukup lama mengenal putri Ibu Adibah. Maka dari itu, izinkan kami mewakili hj. Jamaludin untuk menyampaikan niat baik yang tulus untuk melamar putri Ibu sebagai wujud keseriusan kami.”

“Baik. Saya terima lamaran hj. Jamaludin terhadap anak saya yang bernama Annisa Nasywa Shafira. Semoga niat baik ini dapat berlanjut ke jenjang selanjutnya.”

“Amin,” ucap seluruh tamu yang hadir pada acara itu.

Plong. Hati ku merasa lolos dari tubuh ku. Bukan karena lega, tapi karena aku berpikir sudah tidak ada lagi yang bisa aku harapkan. Aku sudah sah dikhitbah oleh kiai Jamal. Itu artinya aku sebentar lagi akan menjadi istrinya.

Acara berlanjut dengan penyerahan hantaran dan makan-makan. Sejenak aku tatap lelaki yang sebentar lagi menjadi suami ku. Rasanya masih sulit untuk menerima dia di dalam hati ku, tapi aku yakin suatu saat pasti aku bisa. Ini hanya persoalan waktu.

Aku langsung pamit masuk ke dalam kamar ku. Aku tak mengikuti sisa acara sampai selesai. Ku ganti pakaian ku dengan baju biasa dan rok sebatas mata kaki.

Kemudian aku baringkan tubuh ku di atas ranjang yang empuk. Pikiran ku justru kembali mengingat kisah indah ku bersama Randy. Meskipun hubungan kami belum terbilang lama namun kenangannya membekas hingga sulit hilang.

Ini semuanya salah. Aku tidak seharusnya memikirkan laki-laki lain selain calon suami ku. Aku menggelengkan kepala cepat.

Saat itu juga aku dengan suara kenop pintu terbuka. Ketika aku memalingkan wajahnya ku ke arah sumber suara, aku terkejut karena yang masuk ke dalam kamar ternyata kiai Jamal. Dia kemudian menutup pintunya dan menatap ku.

Aku bangkit dari berbaring dengan rasa takut. Wajahnya tampak menyiratkan suatu hal yang negatif. Dia berjalan mendekati ku sambil terbungkuk karena usianya.

“Ki, kenapa Ki Jamal ada di sini? Kita belum muhrim Ki!” sergah Annisa dengan ketakutan.

“Jangan panggil Ki lagi Annisa. Saya ini suami kamu, panggil saya mas. Dan sekarang kamu sudah halal untuk saya.”

Mata ku membulat sempurna mendengar ucapan kiai Jamal barusan. Apa maksudnya sudah halal? Bukankah kita belum resmi menikah dan baru menjalani proses khitbah.

“Bagaimana mungkin kita sudah halal Ki?! Kita belum melaksanakan ijab qobul.”

Kiai Jamal menyeringai menampakkan giginya yang kuning dan mengeluarkan bau tak sedap.

“Asal kamu tau Annisa. Barusan setelah kamu masuk ke dalam kamar ini, saya melakukan ijab qobul dan disaksikan oleh para saksi. Jadi kita sudah sah,” ucap kiai Jamal.

Emosi ku meluap. Bagaimana bisa ijab qobul dilaksanakan tanpa sepengetahuan mempelai wanita?

“Mana bisa seperti itu Ki?! Saya gak tau tentang acara itu. Ijab qobulnya tidak sah!” seru ku tidak terima dengan kelakuannya yang semena-mena.

“Annisa, kalo kamu belajar agama lebih dalam, seharusnya kamu tau kalau akad nikah tetap sah meskipun tanpa dihadiri oleh mempelai wanita.” jawab kiai Jamal sambil terkekeh.

“Sudah, sekarang saya mau menagih hak saya sebagai suami kamu.”

Dia kembali mendekati ku. Aku yang ketakutan terus mundur hingga punggung ku membentur tembok dan tidak dapat kemana-mana lagi. Aku yang tidak kehabisan akal lalu berteriak.

“Bunda…!!!” panggil ku kepada ibu ku sendiri.

Kiai Jamal malah tertawa mendengar aku memanggil ibu ku.

“Percuma saja Annisa. Ibu mu bahkan yang merestui saya untuk mencampuri mu malam ini.”

Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki tua itu. Tidak mungkin bunda membiarkan aku digauli oleh orang yang belum menjadi muhrim.

Perlahan dia menyentuh ujung kuku ku, lalu bergerak ke punggung tangan ku yang polos. Jantung ku nyari copot saat wajahnya mengendus-endus bagian leher ku yang tertutup jilbab.

Sebenarnya tinggi kiai Jamal sedikit di atas ku. Namun karena punggungnya yang bungkuk membuat dia kesulitan mensejajarkan wajahnya di depan wajah ku.

Aku mencium bau yang amat tidak sedap dari dalam mulutnya. Apakah dia tidak pernah gosok gigi? Pikir ku.

Kiai Jamal terus menghirup aroma tubuh ku. Ia tempelkan hidungnya di ceruk leher ku. Aku hanya bisa menahan nafas agar bau mulutnya tidak masuk ke dalam hidung ku.

Sekarang ia tempelkan kemaluannya yang setengah menegang di permukaan rok yang aku kenakan. Aku dapat merasakan benda itu menekan paha ku.

“Ouhhh…Annisa, mas sudah memiliki rasa cinta kepada mu sejak kamu masih SD dan sekarang akhirnya mas bisa memiliki mu sepenuhnya.”

Apa? Sejak SD? Bukannya dulu bunda pernah bilang kalau kiai Jamal menyukai ku sejak SMP? Oh aku tahu. Kiai Jamal memang sudah menyukai ku sejak SD, tapi baru mengungkapkan niatnya kepada bunda untuk mempersunting ku saat diri ku memasuki jenjang SMP.

Itu berarti dia memiliki penyimpangan seks. Dia pedofil?! Kiai Jamal tampaknya paham apa yang aku pikirkan.

“Mas bukan pedofil. Ini yang dimanakan cinta sejati. Tiga belas tahun mas menunggu kesempatan ini akhirnya terlaksana juga. Mari kita satukan hati dan tubuh kita agar kelak dapat memperoleh keturunan yang Soleh dan Solehah.”

Ketika kata itu selesai diucapkan, kiai Jamal menarik jilbab ku dengan kasar hingga terlepas.

“Awww…!!!” pekik ku kesakitan.

Melihat ku tanpa penutup kepala lagi membuat kiai Jamal terpana.

“Istri ku cantik sekali.”

Dengan sekali sentakan, kiai Jamal menarik tengkuk ku hingga kedua bibir kami saling menempel. Aku pun gelagapan mencoba melepaskan tautan di antara bibir kami.

Aku merasa mual. Baunya benar-benar membuat ku ingin muntah. Ku hempaskan kiai Jamal ke ranjang ku dengan sekali dorongan. Saat dia lengan aku berlari menuju pintu.

Namun saat aku memutar gagang pintu itu, aku tak bisa menariknya. Kuncinya tidak ada, itu berarti pintu itu terkunci dari luar. Sial! Siapa yang melakukan itu.

Saat aku tengah panik, tiba-tiba kiai Jamal memeluk ku dari belakang dan menarik ku serta melemparkan ku di atas ranjang ku sendiri.

“Awhhh…!!!” Aku menggigit bibir bawah ku dengan salah satu mata ku terpejam.

Aku tidak menyangka kiai Jamal yang sudah berumur tujuh puluh tahun mampu melakukan itu pada ku.

“Kamu tidak akan bisa lari Annisa. Lakukan saja tugas mu kepada suami.”

Kiai Jamal merangkak di atas tubuh ku. Aku beringsut mundur ke belakang. Namun semua itu sia-sia. Kiai Jamal berhasil menangkap ku dengan mudah.

Tangan ku ditahannya di samping kepala ku sembari menghujani wajah ku dengan ciuman buas. Kembali bibir ku dipagutnya. Kini lidahnya menyeruak masuk ke dalam mulut ku.

Aneh. Rasanya pahit, pahit sekali. Ditambah dengan bau busuk yang tak kunjung hilang. Aku tak tahan lagi. Akhirnya isi dalam perut ku pun keluar juga.

“Hoekkk…!!!”

Untung saja aku berhasil mengarahkan muntahan itu ke samping ranjang. Setelah itu dia kembali melakukannya dan beberapa saat kemudian aku kembali muntah hingga aku lemas. Aku menyeka bibir ku dengan punggung tangan.

Ku biarkan kiai Jamal menyingkap rok ku ke atas dan menurunkan celana dalam ku ke bawah sampai terlepas. Aku tidak punya tenaga lagi untuk melawan. Aku pasrah.

Tak berselang lama kepala kiai Jamal sudah menghilang di balik rok ku. Saat itu posisi ku seperti wanita yang tengah melahirkan.

“Achhh…!!!” desah ku saat kulit area kemaluan ku disapu oleh benda lunak dan basah.

Air mata ku kembali lolos untuk kesekian kalinya pada hari itu. Mungkin sebentar lagi kelenjar air mata ku akan mengering.

Kehormatan ku yang baru ku serahkan kepada satu orang pria bernama Randy kini tengah dijamah oleh lelaki yang lebih pantas aku panggil kakek.

Ku remas sprei ranjang ketika dua jari kiai Jamal masuk ke dalam inti tubuh ku dan merangsang g-spot milik ku.

Rasanya benar-benar geli. Aku tak akan mengatakan itu nikmat karena aku sama sekali tidak menginginkannya.

Semakin lama gesekan antara dinding vagina ku dan jari jemari kiai Jamal semakin menggila. Aku terguncang ke atas dan bawah.

Ku pandangi pintu kamar ku yang masih tertutup. Aku julurkan tangan ku untuk meraih kenop pintu yang bahkan jaraknya lebih dari lima meter.

“Bunda, tolong Nisa bunda,” ucap ku lirih berharap sebuah keajaiban datang untuk menolong ku dari posisi tersebut.

Hingga tanpa sadar aku mencapai pelepasan ku. Ku angkat tinggi-tinggi pinggul ku dan…

Serrr…serrr…serrr…serrr…

Tubuh ku bergetar hebat dengan sisa-sisa tenaga ku. Aku tutupi wajah ku dengan telapak tangan. Aku malu! Ini bukan kehendak ku. Ini adalah respon dari tubuh ku yang terus dirangsang tanpa henti.

Hal itu wajar bukan? Meskipun dalam hati diri ku tidak menginginkannya tapi tubuh ku masih wanita normal yang akan merespon bila mendapat sentuhan lelaki.

Setelah intensitas mereda, kiai Jamal lalu mengeluarkan tongkat saktinya yang sudah menegang sempurna. Aku langsung memalingkan wajah ku tidak ingin melihat bentuknya sama sekali.

Sejenak dia mainkan batang miliknya untuk melebarkan bibir vagina ku di bawah sana. Aku hanya memejamkan mata dan menggigit bibir bawah ku. Ingin rasanya saat itu aku pingsan dan ketika terbangun, semua sudah berakhir.

Sejenak ku tarik nafas ku dalam-dalam dan menahannya di paru-paru saat merasakan bibir vagina ku mulai terbelah oleh kejantanan milik kiai Jamal.

Sudah ku pasrahkan semuanya. Meskipun berat aku mencoba menerima pejantan yang usianya lebih dari tiga kali umur ku.

Hingga hitungan detik kemudian…

Jlebbb…

“Achhh…!!!”

Kiai Jamal jatuh menimpa perut ku hingga aku merasakan seolah ada yang putus di dalam sana. Kepalanya berada di samping kepala ku. Di balik punggung pria tua itu samar-samar aku melihat seseorang berdiri.

Bersambung

Perselingkuhan Yang Hingga Kini Masih Berlanjut
cewek sange ngentot
Bercinta Dengan Cowok Yang Masih Perjaka
ngentot bu guru
Hangat Nya Tubuh Bu Guru Anisa
istri bos
Cerita hot selingkuh dengan istri bos
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dosen Di Kampus
atasanmaniak
Ngentot dengan atasan yang sexy dan hyper sex
tante sexy
Ngentot tante sexy selingkuhan bule kaya raya
tante hot
Menikmati tubuh ibu dan tante ku sendiri
dua gadis sexy
Nonton Bokep Bareng Saudara Tiri Yang Cantik-Cantik
500 foto chika bandung memek tembem dan toket gede enak di entot
Ngentot adik kakak
Adik Dan Kakak Jadi Pemuas Nafsu Ku
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
mertua hot
Gairah sexs membara mertuaku tersayang
Kenangan indah dengan bu guru bawel ketika mendaki gunung bersama
Bercinta Dengan Frida Temen Kost Yang Paling Cantik