Part #63 : Petualangan Sexs Liar Ku

Beberapa hari kemudian, Justin lagi-lagi absen dari latihan. Randy yang baru selesai latihan lalu menelpon dirinya.

“Woy, gak latihan lu?” tanya Randy dari ponselnya.

“Lagi gak fit nih Ran! Gue udah ijin kok ke coach.”

“Bhahaha…napa lu? Gara-gara waktu itu?”

“Ya bisa jadi sih tapi bukan karena mainnya.”

“Maksudnya?”

“Gue lagi galau nih, lagi merindu,” ucap Justin jujur.

“Merindu sama siapa?”

“Sama teteh yang lu bawa waktu itu, hehehe…”

Ucapan Justin sontak membuat Randy terkejut. Dia tidak percaya kalau Justin merindukan Adibah.

“Ja…jangan bilang kalo lu jatuh cinta sama dia!”

Justin terkekeh mendengar perkataan Randy. Dia juga tidak tahu apa yang dia rasakan, dia hanya ingin bertemu saja dengan wanita paruh baya itu.

“Gak tau juga Ran. Tapi waktu dia pergi dari rumah gue waktu itu, gue kayak jadi sad boy gitu. Gue gak pernah ngerasa kek gini sama cewek lain termasuk Anes. Lu bisa gak bawa dia ke sini lagi?”

“Hah?! Seorang Justin galau hanya karena nenek-nenek?” sarkas Randy.

“Enak aja! Dia gak setua itu kali. Gue cuma ngerasa dekat sama nyokap gue waktu lagi sama dia.”

Randy berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.

“Ya udah. Kalo gue bisa bawa dia lagi, apa hadiah buat gue?”

Justin yang semula sedang rebahan langsung bangkit duduk di atas kasur.

“Serius lu? Apa aja yang lu minta bakalan gue kasih deh!” jawab Justin terlampau bersemangat.

“Wkwkwk…seneng amat! Gini deh, kalo gue bisa bawa dia ke rumah lu, lu bantu gue buat ngeyakinin teh Adibah biar jadiin gue mantunya, gimana?” ujar Randy.

“Apa?! Maksudnya?!”

“Iya, jadi anaknya itu pacar gue tapi sekarang dijodohin sama orang lain. Gue minta lu rayu teteh buat batalin perjodohannya. Gue tau dia juga sama bucinnya sama lu. Dia pasti dengerin apa kata lu.”

“Ahh…malas ahh…” respon Justin sambil terkekeh.

Randy memicingkan matanya mendengar perkataan Justin.

“Hah, kenapa?”

Randy terlihat tidak terima dengan jawaban Justin.

“Gue malas punya mantu kaya lu! Bhahahaha…!!!”

“SINTING!” umpat Randy kesal.

“Hahaha…oke-oke, jangan ngambek dong! Gue bakal bantu lu tapi gue gak janji dia bakalan nurutin apa kata gue, secara itu hak dia buat ambil keputusan. Tapi gue gak yakin dia mau nerima mantu yang udah ngentotin dia kayak lu.”

“Berisik! Mau bantu gue apa gak?!”

“Oke siap kapten! Ehh…by the way anaknya umur berapa?”

“Anak yang mana maksud lu? Cewek gue apa yang lain?”

“Semuanya.”

“27 tahun, 23 tahun, sama 19 tahun. Sekitar segitu lah. Kenapa emangnya?” kata Randy penasaran.

“Tua amat calon anak gue.”

Randy otomatis membulatkan matanya mendengar jawaban Justin.

“Makin stress lu lama-lama!”

“Bhahahaha…!!!”

Randy memutuskan teleponnya secara sepihak. Dia tidak tahu sahabatnya itu hanya bergurau atau serius. Tapi dari nadanya sepertinya dia hanya bercanda. Mungkin karena sensasi yang berbeda antara wanita paruh baya dengan yang muda membuat Justin ketagihan. Randy yakin kalau sebentar saja dia akan bosan dengan Adibah.

“Ya lah. Model aja bisa dia dapetin masa nyari yang nenek-nenek reot. Adibah…Adibah…gue gak sabar liat lu menderita ditinggal Justin kaya sampah. Dengan begitu balas dendam gue semakin sempurna,” batin Randy dengan senyum sinis.

Setelah selesai latihan Randy pergi menjemput Annisa. Dia berencana untuk mengantarkannya pulang. Dengan begitu dia dapat bertemu dengan Adibah dan menjalankan rencana untuk membawa wanita paruh baya itu ke rumah Justin. Randy hanya butuh beberapa kata ajaib untuk mempengaruhi Adibah.

Saat Annisa sedang akan memesan taksi online untuk membawanya pulang tiba-tiba dia melihat sosok lelaki yang dia cintai.

“Randy!” seru Annisa girang.

“Kamu ngapain di sini? Kok gak ngabarin dulu?” lanjut Annisa setelah mereka berjarak kurang dari satu meter.

“Mau jemput kamu lah. Mau anter kamu pulang.”

“Tapi bunda…”

“Kamu tenang aja, dia gak akan marah. Aku jamin.”

Annisa sedikit memicingkan matanya. Dia tidak tahu mengapa lelaki itu begitu yakin akan kata-katanya tapi Annisa tidak mungkin menolak karena dia memang rindu dengan laki-laki yang telah menyentuh sanubarinya.

Wanita itu kemudian tersenyum dan mengangguk pelan lalu naik ke atas motor milik Randy. Annisa benar-benar senang Randy menjemput dirinya. Tidak pernah lepas tangannya melingkar di pinggang Randy sepanjang perjalanan. Dengan pria itu Annisa seolah lupa akan jarak yang harus ia jaga mengingat mereka bukan muhrim.

Barulah setelah motor memasuki kompleks pesantren Annisa melepaskan pelukannya. Hingga akhirnya mereka berhenti di depan rumah Annisa. Ekspresi cemas langsung tertera di wajah Annisa melihat ibunya keluar rumah saat mendengar suara motor.

“Assalamualaikum,” ucap Annisa dan Randy secara bersamaan.

“Waalaikumusalam,” jawab Adibah datar.

Annisa terkejut dengan sikap ibundanya itu. Dia mengira Adibah akan langsung marah ketika mengetahui dirinya pulang diantar oleh Randy. Ternyata apa yang dikatakan lelaki itu benar.

“Nisa, kamu masuk terus makan siang. Bunda udah siapin makanan buat kamu,” ucap Adibah.

Annisa mengangguk. Sejenak dia lirik Randy yang masih betah berada di atas motor hanya melambaikan tangan kepadanya.

Setelah Annisa masuk ke dalam rumah, Adibah hendak mengikuti langkah Annisa tapi Randy kemudian memanggilnya.

“Teh!”

Adibah hanya menoleh melalui atas bahunya masih dengan ekspresi datar.

“Dapet salam dari Justin. Katanya dia kangen sama teteh yang kemarin,” celetuk Randy sambil terkekeh.

Benar saja. Kata-kata mejik Randy seketika membuat Adibah berbalik menatap Randy dengan ekspresi terkejut sekaligus senang. Lesung pipinya tercetak kala sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan senyum malu-malu yang ia tutupi dengan tangan.

Ya, Adibah tidak bisa menyembunyikan perasaannya itu. Namun ketika sadar dia telah bereaksi berlebihan, dia kembali mencoba bersikap jaim terhadap Randy.

“Kamu jangan bohong sama saya. Saya gak akan mungkin percaya sama omongan mu!”

Adibah melipat kedua tangannya di depan dada semata-mata untuk menetralisir kesan heboh yang ia tunjukkan barusan.

“Kalo gak percaya teteh dateng aja ke rumahnya. Dia juga lagi meriyang, merindukan kasih sayang teteh, hehehe…”

Sontak ucapan Randy membuat rona wajahnya bersemu merah. Adibah masih mencoba bersikap tenang walaupun dalam dadanya sudah berdisco ria.

“Kamu jangan bercanda ya!”

Adibah masih bersikap ketus, tapi Randy tidak bisa dibohongi dengan perasaan wanita itu yang sebenarnya.

“Serius teh, dia juga lagi sakit gara-gara ngegalauin teteh.”

“A…apa?! Sakit?”

Randy mengangguk enteng. Namun tidak ada raut wajah berbohong dari lelaki itu. Adibah menggigit bibir bawahnya sambil meremas kain gamis yang dia pakai. Rasa khawatir muncul di benak Adibah ketika mendengar kondisi Justin saat ini.

“Ya sudah teh. Saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum!” ucap Randy pamit.

“Waalaikumusalam,” jawab Adibah untuk pertama kalinya sejak mereka perang dingin.

Adibah masuk ke dalam rumah. Di sana sudah ada Annisa yang sedang makan. Diam-diam Annisa melihat interaksi antara ibunya dan Randy melalui jendela, namun dia tidak bisa mendengar obrolan antara mereka berdua.

“Bunda!”

Panggilan Annisa tidak dihiraukan Adibah. Dia buru-buru masuk ke dalam kamar langsung duduk di depan meja rias miliknya.

Adibah berniat untuk pergi ke rumah Justin. Dia lalu berdandan untuk merias wajahnya. Entah mengapa dia ingin tampil cantik di depan lelaki yang telah menyentuh hatinya. Setelah selesai, Adibah lalu bersiap untuk pergi.

“Bunda mau kemana?” tanya Annisa yang heran dengan penampilan ibundanya.

“Bunda mau kondangan dulu,” balas Adibah berbohong.

“Lagi?”

Adibah mengangguk tanpa menatap mata Annisa. Dia takut kalau anaknya tahu apa yang ada di dalam hatinya saat itu. Wanita itu berjalan cepat keluar rumah dan memesan taksi online.

Kini Annisa yakin ada sesuatu dengan ibunya. Apakah benar ibundanya tengah jatuh cinta? Apakah dia siap untuk mempunyai seorang ayah baru? Annisa menggeleng lalu melanjutkan makannya.

•••​

Adibah telah sampai di depan rumah yang pernah ia masuki beberapa hari lalu. Dirinya mendadak ragu untuk memasuki rumah yang menjadi saksi bisu pergulatan nikmat yang dia lakukan bersama seseorang yang membuat jantungnya berdetak hebat.

Adibah lalu menggeleng, menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak. Dirinya sudah sampai di situ, tidak ada lagi alasan untuk mundur.

Ting…tong…

Adibah menekan bel beberapa kali. Tidak sampai semenit kemudian muncullah seseorang yang diam-diam Adibah kagumi. Pria itu menaikkan sudut bibirnya membuat dada Adibah menghangat.

“Teteh akhirnya dateng juga.”

Tanpa ijin Justin langsung memeluk Adibah membuat jantung wanita paruh baya itu nyaris berubah posisi.

Adibah mematung tidak dapat menggerakkan sarafnya yang tiba-tiba beku layaknya es di dalam freezer namun perlahan mencair karena suhu panas yang keluar dari tubuh Justin.

“Kamu katanya sakit?” tanya Adibah seraya menempelkan punggung tangannya di kening lelaki itu.

“Panas banget,” lanjutnya lagi dengan memindahkan tangannya di leher Justin.

“Gak papa kok teh. Cuma kurang fit aja, bentar lagi juga sembuh apalagi ada teteh.”

Mendengar perkataan Justin membuat wajah Adibah merona merah. Wanita itu kesal karena hobi baru Justin yang selalu membuat kesehatan jantungnya terancam.

Tidak berlebihan memang, saat itu detak jantung Adibah bekerja tiga kali lipat dari biasanya. Itu sangat tidak disarankan mengingat usia wanita itu yang sudah tidak muda lagi.

“Sudah, jangan gombal terus! Lebih baik kamu istirahat aja di kamar. Saya udah belikan bubur ayam buat kamu,” kata Adibah mengalihkan pembicaraan.

Justin pun menurut. Dia merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Adibah duduk di sebelahnya sembari menyuapi bubur yang dibelinya sebelum sampai kemari.

Adibah gelisah. Matanya berputar ke segala arah hanya agar tidak bertemu pandang dengan Justin. Bagaimana tidak? Di sampingnya tengah berbaring sosok lelaki yang begitu elok di mata wanita yang saat itu sedang bertelanjang dada.

Setiap perempuan pasti memimpikan sel telurnya dibuahi oleh sperma lelaki setampan Justin untuk mendapatkan keturunan yang rupawan. Tidak terkecuali Adibah. Meskipun dia tidak yakin kalau dirinya masih bisa mengandung, tapi rasa seperti itu tetaplah ada, cuma dia selalu sembunyikan di sudut hatinya.

Pandangan mata Justin tidak pernah lepas dari wajah cantik dan manis milik wanita itu. Meski sudah muncul kerutan di beberapa bagian wajah tapi tidak menghapus kecantikannya yang dipoles dengan make-up yang tidak terlalu tebal.

Terakhir dia diperlakukan seperti ini ketika dia masih kecil. Ibunya selalu menyuapi Justin ketika dia merasa tidak enak badan. Dia menjadi rindu akan momen itu. Momen yang tidak akan pernah terulang kembali karena ibunya yang sudah tiada.

“Sudah habis tinggal minum obat,” celetuk Adibah sembari mencari obat di atas nakas.

“Mana obatnya?” lanjutnya ketika benda yang dicari tidak ditemukan.

“Ada tuh gede banget kok masa gak kelihatan.”

Adibah mengernyitkan dahinya menatap Justin. Sudah dia cari obatnya sampai ke dalam laci tapi tetap tidak ditemukan, tapi pria itu justru mengatakan kalau obatnya terlihat jelas.

“Mana?” tanya Adibah lagi.

“Ini!” jawab Justin sembari menepuk bahu Adibah seraya tertawa kecil.

Wanita itu sontak memalingkan wajahnya dan menyentuh pipinya yang terasa panas. Dia elus-elus dadanya yang iramanya seperti drum yang dipukul dengan double pedal secara cepat.

Mungkin setelah dia pulang dari rumah pria tampan itu, dia harus konsultasi ke dokter mengenai kondisi jantungnya.

“Saya serius Justin!”

“Saya juga serius kok teh. Sini kalo gak percaya.”

Justin tiba-tiba menarik tubuh Adibah ke dalam pelukannya. Karena tidak punya tumpuan yang kuat, Adibah akhirnya jatuh di atas tubuh pria yang sedang bertelanjang dada itu. Pandangan mereka saling bertemu.

“Sini cium, pasti langsung sembuh.”

Tanpa menunggu lama tengkuk Adibah langsung ditarik hingga bibir mereka akhirnya bertemu. Justin dengan mudah merubah posisi tubuh Adibah agar sepenuhnya berbaring di sampingnya dengan lengannya di belakang kepala Adibah.

Wanita itu memejamkan mata menikmati bibir lelaki itu yang manis. Tangannya berada di atas dada bidang milik Justin. Mengelusnya ke atas dan ke bawah.

Bagian inti tubuh Adibah telah basah mengeluarkan cairan birahi. Secara fisik Adibah telah siap untuk dipenetrasi namun pergulatan batinnya masih menahan untuk tidak melakukan hal itu.

Wanita itu melepaskan ciumannya karena kehabisan nafas. Wajahnya sudah sangat panas seperti suhu badan Justin.

“Sudah jangan diteruskan, nanti kebablasan.”

“Kenapa memang kalo kebablasan? Bukannya teteh juga pengin?”

“Justin, apa yang kita lakukan ini salah. Di agama saya tidak boleh melakukan hal semacam ini kecuali pasangan suami-istri,” jelas Adibah.

“Kalo gitu kita nikah aja, beres…”

Wanita itu mendelik mendengar ucapan Justin. Enteng sekali dia bilang hal yang sangat sakral seperti layaknya mandi, bisa dilakukan kapan saja.

Adibah lalu terduduk. Dia hapus lipstik di bibirnya yang berantakan akibat aktivitas yang baru saja mereka lakukan.

“Jangan main-main soal pernikahan. Itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan lelucon.”

Justin kemudian menyusul Adibah duduk. Dia melipat kakinya dengan posisi bersila.

“Memang apa susahnya? Apa karena kita beda usia?” tanya Justin kepada Adibah.

Wanita itu menghela nafas dalam. Lirikan tajam ia sematkan untuk lelakinya itu.

“Kamu ngomongnya seolah-olah kamu serius!”

“Memang teteh ngira aku becanda ya?”

Adibah kembali menajamkan pandangannya ke arah Justin. Lelaki itu justru hanya bersikap santai. Tidak ada ekspresi yang menunjukkan kejujuran maupun kebohongan. Hal itu membuat dirinya geram.

“Satu hal yang perlu kamu tau. Kita tidak bisa bersatu bukan karena beda usia tapi karena beda keyakinan! Jadi jangan dibahas lagi!”

Adibah berdiri dari duduknya. Dia sedikit membenahi riasannya yang berantakan. Ditatapnya Justin yang masih duduk di atas ranjang.

“Sekarang kamu tidur dulu.”

“Teteh mau kemana? Jangan pergi dulu!” larang Justin seraya menahan pergelangan tangan Adibah.

“Saya gak akan pergi. Kamu gak punya makanan kan buat nanti malam?”

“Beneran teteh gak akan pergi?” respon Justin yang mana justru mengabaikan pertanyaan Adibah.

“M…maksudnya untuk sekarang saya gak akan pergi tapi nanti.”

“Yah!” desah Justin lesu.

Tanpa sadar Adibah menarik sudah bibirnya tipis. Saking tipisnya sampai tidak terlihat oleh kasat mata.

“Apakah kamu benar-benar menginginkan ku, Justin?”

Pertanyaan itu hanya terucap di dalam hatinya. Ada rasa bahagia mengetahui cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ehh…cinta? Tidak-tidak! Dia tidak mencintai pria itu. Dia hanya mengagumi, catat! Mengagumi!

Kira-kira begitu lah yang ada dipikiran Adibah saat itu. Dia buru-buru membuang perasaannya. Dia takut kalau perasaan itu terlanjur tumbuh dan sulit untuk mati. Atau jangan-jangan memang perasaan itu sudah tumbuh di dalam jiwanya tanpa dia sadari.

“Kamu istirahat, saya akan masakan makanan untuk mu buat hari ini.”

Justin mengangguk tanpa gairah mendapatkan penolakan dari Adibah. Wanita paruh baya itu kemudian pergi meninggalkan Justin yang kini telah meringkuk di atas kasur.

“Beda keyakinan ya? Hmm…” pikir Justin mencoba mencari jalan keluar.

Siang itu Adibah memasak dan membersihkan rumah Justin yang bag kapal pecah. Entah kapan terakhir kali dibersihkan mungkin dia juga tidak ingat.

Saat itu Adibah mengenakan apron tengah memasak di dapur yang sudah ia sulap menjadi rapi dan bersih. Untuk skill memasak jangan ditanya lagi. Kemampuan Sari dalam hal memasak juga diturunkan oleh ibunya, jadi kalau masakan Sari selezat itu bagaimana dengan masakan Adibah?

Justin yang sedang tiduran pun mencium aroma yang sangat membangkitkan selera. Dia lalu keluar dari kamar menuju dimana sumber aroma itu berada.

Dan yang didapati seorang wanita yang tengah berkutat di depan kompor miliknya. Dengan tanpa ijin Justin langsung melingkarkan tangannya di perut Adibah. Perempuan itu sontak terkejut lalu menoleh ke samping membuat jarak antara wajah mereka terkikis.

“Justin!” pekik Adibah merasa geli karena telapak tangan nakal Justin yang mengelus-elus perutnya yang agak tebal.

“Kamu lagi ngapain?!”

Adibah tidak bisa bergerak karena kedua tangannya sedang memegang alat masak. Alhasil dirinya pasrah diperlakukan demikian oleh pria tampan itu.

“Lagi ngelus-elus calon rumah kontrakan anak saya teh, mau ngontrak sembilan bulan, hehehe…”

Seketika itu juga pegangan tangan Adibah pada spatula terlepas dan jatuh begitu saja. Dirinya berbalik lalu memukul lemah kepala Justin layaknya seorang ibu yang menghukum anaknya.

“Jangan mengkhayal! Saya sudah tidak bisa punya anak,” timpal Adibah yang tidak sepenuhnya benar.

Dia lalu memungut kembali spatula itu dan melanjutkan memasak. Detak jantungnya yang semula sudah normal kembali terpacu kencang. Badannya merasakan ecstasy (sejenis perasaan gembira yang luar biasa) yang membuat tubuhnya gemetaran. Adibah pandai menyembunyikan perasaan itu.

“Ohh…masa sih?” balas Justin santai sembari duduk di kursi meja makan.

“Iya, jadi lebih baik kamu cari perempuan lain yang masih muda dan subur,” ucap Adibah dengan setengah hati.

Sungguh antara ucapan dan hatinya saling bertolak belakang. Tapi itu lebih baik daripada dia memberikan harapan pada Justin itu yang nantinya akan membuat lelaki itu kecewa.

“Apa saya terlihat peduli?”

Dengan kalem Justin menjawab sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Sejenak Adibah berhenti untuk mencerna kata-kata Justin.

“Kalo teteh udah gak bisa punya anak ya gak usah punya anak. Lagian jaman sekarang banyak orang yang gak punya anak tapi hidupnya tetep bahagia tuh!”

Ungkapan santai Justin membuat Adibah melotot tajam. Semua orang pasti menginginkan keturunan tapi pria itu justru tidak memperdulikannya. Apa orang ini tidak waras?

“Kalo masalahnya soal beda keyakinan, saya mau ikut keyakinan teteh kok.”

Untuk kesekian kalinya Adibah dibuatnya terkejut. Apakah agama hanya dijadikan sebagai formalitas dalam hidupnya?

“Pindah keyakinan harus didasari atas kemauan diri sendiri, bukan karena ada maunya.”

Justin berdecak kesal. Apapun ucapannya selalu dibantah oleh wanita itu. Memang wanita tidak akan bisa kalah dalam hal berdebat.

“Ya udah lah terserah teteh aja kalo gitu.”

Sejenak tidak ada kata yang terucap dari kedua mulut mereka. Dalam hati Adibah merasa kecewa karena Justin berhenti membujuk dirinya agar menerima pria itu.

Memang makhluk yang bernama ‘Wanita’ itu aneh. Dituruti salah gak dituruti apalagi, tambah salah. Memang lelaki selalu salah di mata wanita.

Setelah makanan tersaji, mereka makan dalam diam. Maksudnya diam-diam saling lirik. Justin terus mengecap bibirnya merasakan masakan Adibah yang lezat. Wanita itu memang sangat wifeable di mata Justin.

“Oh ya teh, ada sesuatu yang mau saya katakan. Ini soal Randy dan calon anak saya.”

Adibah mengernyitkan dahinya tidak paham apa yang Justin maksud. Tapi beberapa saat kemudian dia baru paham apa yang dimaksud Justin. Pria itu tidak menyerah akan tujuannya.

“Maksud mu Annisa?”

“Emm…mungkin,” jawab Justin yang tidak tahu nama pacar Randy.

Adibah menghela nafas panjang. Dia sudah tahu kemana arah pembicaraan yang akan Justin bahas. Itu pasti akal-akalan dari Randy.

Bersambung

anak angkat nyusu pada ibu angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian satu
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
janda gersang
Ngentot Janda Gersang Yang Butuh Kehangatan
cantik selingkuh
Hukuman untuk istri tercinta karena ketahuan selingkuh
Cerita dewasa ngentot di toilet
Foto bugil abg toket gede masih perawan asli
Ngentot Jilbab Alim Memek Merah Berlendir
mamah muda
Mencoba Oral Sexs Dengan Mamah Muda
500 foto chika bandung pakai baju sexy keliatan memek nya
Bayar hutang dengan memek , Cerita bokep bayar hutang
cerita remaja
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 2
Cerita sexs ibu guru liar suka colmek
selingkuh
Gara gara kebiasaan ku nonton video porno mertua sendiri ku tiduri
Perselingkuhan Yang Hingga Kini Masih Berlanjut
Emak dan nenek ku ketagihan ngentot denganku
500 foto chika bandung telanjang bulat cantik pakai baju merah