Part #51 : Petualangan Sexs Liar Ku
Kicau burung membangunkan Randy dari tidur malam yang nyenyak. Dia melihat ke sekitar ruangan yang terlihat asing baginya. Memorinya berputar ke malam tadi. Randy teringat permainan panasnya bersama Sari yang notabenenya adalah kakak dari wanita yang menjadi tujuannya berada di sini.
Randy masih berselimut lengkap dengan kaos dan celana yang dipinjamkan oleh Sari, tapi perempuan itu tidak ada di sekitarnya. Dia pun bangkit dan pergi keluar kamar untuk mencarinya.
Setelah dicari ternyata Sari sedang berada di dapur. Dia terlihat sedang memasak makanan. Dengan canggung Randy mendekatinya.
“Mbak!”
Sari menoleh cepat mendengar panggilan dari Randy. Dia tersenyum simpul sambil membolak-balikan masakan yang ada di atas wajan.
“Ehh Randy udah bangun?”
Bukannya menjawab, Randy justru menatap ke arah dada Sari yang menggelantung sedikit turun. Dia yakin kalau perempuan itu tidak mengenakan bra di balik dasternya.
Sadar salah satu bagian sensitifnya sedang dipandangi oleh Randy, Sari lalu berbalik dan melanjutkan acara memasaknya.
“Mbak…emm…soal semalam…” ucap Randy menggantung.
“Semalam kenapa Ran?” tanya Sari balik.
Dia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa semalam. Randy pun ragu, dia berpikir kalau Sari menyesal atas kejadian semalam dan sesuai janjinya, dia tidak ingin melakukannya lagi.
Tapi rasa canggung itu sangat mengganggunya. Dia tidak bisa berpura-pura semua baik-baik saja. Lebih baik hal itu dibicarakan secara terbuka.
“Mbak, apa mbak menyesal atas kejadian semalam antara Randy sama mbak?”
Sari menoleh sesaat dengan tatapan datar lalu kembali fokus ke wajan tanpa menjawab. Sari kemudian memindahkan masakan yang telah matang di sebuah piring dan meletakkannya di atas meja.
“Sarapan dulu Ran!” ajak Sari kepada Randy.
Randy pun menuruti karena terangsang dengan aroma masakan yang menggugah selera seperti biasa. Randy menyantap makanan dengan lahap sampai-sampai lupa dengan pertanyaannya barusan.
Sari terus menatap Randy sambil memangku dagunya dengan tangan di atas meja. Setelah Randy menyelesaikan makannya, Sari kembali menyeletuk.
“Untuk yang semalem, mbak gak bisa ngomong apa-apa. Itu malam terindah yang pernah mbak lalui. Mbak hanya merasa bersalah sama kamu dan Annisa. Mbak merasa mengkhianati dia, dan kamu juga pasti merasa kalau mbak memanfaatkan keadaan mbak yang terpuruk karena perselingkuhan mas Pram untuk mendapatkan kamu, maafin mbak,” ungkapnya jujur.
Randy bangkit dari duduknya dan menarik Sari untuk ikut berdiri. Mata mereka saling bertemu.
“Randy gak merasa dimanfaatkan kok. Randy juga menikmati malam tadi dan ingin mengulanginya. Masalah Annisa, mbak gak usah khawatir Randy akan berusaha membahagiakannya tapi mbak juga jangan melupakan kebahagiaan mbak sendiri. Kalau kebahagiaan mbak ada di Randy, ijinkan Randy untuk melakukannya.”
Setelah menyelesaikan kata-katanya, Randy mendorong tubuh Sari hingga Sari terhimpit antara tubuh Randy dan wastafel. Sari sama sekali tidak melawan bahkan kini tangannya telah tersemat di kedua bahu Randy.
Randy mendekatkan wajahnya ke arah Sari. Entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah beradu dengan panas. Lidah mereka saling melilit dan bertukar saliva. Tangan Sari kini ia kalungkan di leher Randy.
Tangan Randy memegang ujung bawah daster Sari dan sekali gerakan menariknya ke atas hingga melewati kepalanya.
Randy menelan salivanya kala melihat Sari ternyata tidak mengenakan apapun di dalam dasternya. Wanita itu sudah telanjang bulat namun Sari tidak malu-malu malah justru dengan gerakan manja dia berlutut dan perlahan melepaskan celana kolor milik suaminya yang dipakai Randy ke bawah.
Kontol yang sudah mengacung dengan keras itu langsung masuk ke dalam mulut Sari. Yah, janjinya semalam tidak bisa ia penuhi karena terlalu lelah. Dia berniat untuk menebusnya sekarang.
Randy merem melek merasakan tarian lidah Sari di pagi itu. Servis Sari yang terbaik soal oral, tidak ada sesenti pun bagian kemaluan Randy yang luput dari sekaan lidah Sari. Adiknya yang tegang itu sedang dimandikan dengan saliva milik Sari.
Saat pertahanannya akan jebol, Randy kemudian menarik tangan Sari hingga berdiri lalu mengangkat tubuhnya ke tepi wastafel. Randy langsung arahkan tongkat saktinya menyodok lubang yang sudah basah itu.
Kembali suara desahan mereka saling bersautan. Sari merasa sudah ketagihan dengan kontol milik Randy yang begitu besar walaupun baru berkenalan dengan miliknya semalam.
Tak lama berselang mereka sama-sama memekik keras tanda kedua sudah mendapatkan puncak kenikmatan yang luar biasa. Setelah melakukan quickie di pagi itu mereka kembali berbenah tanpa ada satu katapun keluar.
Tiba-tiba ponsel Randy berdering. Dia pikir itu dari Icha yang menanyakan keberadaannya. Karena sejak semalam dia tidak menerima panggilan dari istri tidak sahnya itu.
Alis Randy tertaut kala melihat nama yang tertera di layar ponselnya. ‘bu Lastri’. Sejenak dia berpikir ada apa tiba-tiba Bu Lastri menelpon dirinya? Apakah karena Reihan atau Dewi?
“Kenapa gak diangkat Ran?” tanya Sari yang melihat Randy masih mematung.
Randy menoleh sesaat. Tanpa menjawab pertanyaan Sari, Randy kemudian mengangkat telepon itu.
“Halo Bu Lastri? Ada apa?” sapa Randy mengawali pembicaraan.
“Ha…halo Ran! Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Ini darurat!”
Suara bu Lastri yang terdengar panik membuat Randy bingung.
“Emangnya kenapa Bu? Siapa yang sakit?”
“Nyonya Ran! Nyonya kecelakaan semalam! Ibu baru dapet kabar pagi ini setelah nyonya sadar dan telepon ibu,” jelasnya sedikit sesak.
“Apa?! Kecelakaan?”
Kata-kata itu membuat Sari yang berada di dekatnya terkejut, namun sama sekali tidak menginterupsi. Dia lebih memilih untuk mendengarkan percakapan itu.
“Iya, semalam ada laki-laki yang tiba-tiba datang terus bawa nyonya pergi dari rumah. Padahal hari ini tuan Ginanjar pulang dari Tangerang.”
Randy mengacak rambutnya frustasi. Dia yakin laki-laki yang membawa Dewi itu adalah Pram. Tapi apa yang direncanakan lelaki bodoh itu dengan membawa mantan kekasihnya pergi. Apa mereka akan kawin lari atau bagaimana?
“Ya udah. Sekarang kasih tau alamat rumah sakitnya. Randy akan segera ke sana.”
“Sebentar, ibu cek dulu.”
Sesaat diam tidak ada suara. Randy menatap wajah penasaran Sari. Merasa ada kesempatan untuk bertanya, Sari kemudian menyeletuk.
“Siapa yang kecelakaan Ran?”
Randy menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab.
“Emm…yang kecelakaan suami mbak.”
“Apa?!” pekik Sari terkejut.
Namun belum sempat Randy merespon kekagetan Sari, suara bu Lastri dari seberang kembali terdengar. Dia menyebutkan sebuah nama rumah sakit beserta alamatnya.
“Bu Lastri gak lagi di rumah sakit sekarang?”
“Enggak Ran, ibu ada di rumah. Ibu harus jagain Reihan. Ibu juga gak punya kendaraan untuk ke sana. Tolong ya Ran, ibu mohon.”
“Iya, nanti Randy kabari kondisinya kalo udah sampai sana.”
“Terima kasih Ran,” ucapnya lalu telepon ditutup.
Setelah ponsel sudah tidak menempel di pipi Randy, Sari kembali menanyakan kejelasan tentang hal itu.
“Maksud kamu apa Ran? Tau darimana kamu kalo mas Pram kecelakaan? Itu tadi yang telpon siapa?” cerca Sari merasa khawatir.
“Nanti Randy jelasin. Sekarang lebih baik kita siap-siap berangkat ke rumah sakit.”
Sari menyetujuinya. Mereka bersiap ala kadarnya. Pikiran Sari masih bingung, tapi dia lebih memilih untuk mempercayai pria itu.
Setelah selesai bersiap, mereka langsung tancap gas. Sari sempat terkejut karena rumah sakit yang akan dituju tempatnya cukup jauh yaitu di daerah Bogor.
Randy sempat pergi ke rumah Dewi untuk menukar motornya dengan mobil karena merasa kasihan dengan Sari.
“Ran, kamu masih utang penjelasan sama mbak,” ujar Sari saat keduanya tengah dalam perjalanan ke Bogor.
Pria itu menoleh sesaat sebelum kembali fokus ke jalanan.
“Jadi sebenarnya Randy itu supirnya Tante Dewi.”
“A…apa?!”
Sari menutup mulutnya yang terbuka. Kekagetannya semakin lama semakin bertambah. Ternyata banyak sesuatu yang belum diketahui olehnya.
“Yang tadi itu pembantunya Tante Dewi. Dia yang kabarin kalo semalam ada laki-laki yang datang ke rumah untuk jemput majikannya. Dan mereka pergi berdua,” jelas Randy.
“Tapi kenapa kamu gak bilang dari awal sama mbak? Pasti kamu sudah tau kan tentang hubungan mereka sejak awal?”
Sari merasa kecewa dengan Randy yang ternyata bersekongkol dengan suaminya untuk menutupi perselingkuhan ini sampai akhirnya dia mengetahuinya sendiri.
“Maaf mbak! Randy pikir itu bukan kapasitas Randy untuk ikut campur urusan rumah tangga mbak sama suami mbak.”
Sari menoleh dengan tatapan tajam.
“Apa hubungan kita belum terlalu dekat untuk membahas masalah itu? Bukannya mbak sudah cerita ke kamu tentang semuanya termasuk soal rumah tangga?!”
“Maaf!”
Hanya itu yang keluar dari mulut Randy. Dia tidak memiliki cukup kata untuk menyanggah ucapan Sari. Sisa perjalanan dilalui dengan diam. Keduanya sama-sama memikirkan orang yang sedang mereka tuju.
Meskipun suaminya telah mengkhianati dirinya tapi rasa khawatir terhadap keadaan Pram tetap ada. Dirinya tidak menikah dengan Pram karena terpaksa. Dia mencintai suaminya itu dengan tulus.
Sesampainya di rumah sakit, mereka bergegas masuk mencari pasien yang ingin mereka jenguk.
“Permisi! Pasien atas nama Dewi Sartika Maharani?” tanya Randy kepada seorang resepsionis.
“Tunggu sebentar pak, saya cek dulu.”
Petugas itu mengetikkan sesuatu di atas keyboardnya.
“Pasien ada di ruangan Edelweiss nomor 12.”
“Kalau Pramuditya Bayu Laksono?” potong Sari.
“Pasien ada di ruangan Airlangga nomor 7,” jawab petugas itu kembali.
“Baik, terima kasih!” ucap Randy dan Sari hampir bersamaan.
Mereka lalu berpisah di sebuah koridor yang bercabang. Mereka berdua mencari dua ruangan yang berbeda. Setelah bertanya ke sana kemari, Randy akhirnya menemukan ruangan tempat Dewi dirawat.
Dengan sedikit ragu Randy memasuki ruangan itu. Di sana dirinya langsung melihat sosok wanita yang tengah berbaring di atas brankar dengan infus yang menancap di tangannya.
Dia adalah Dewi. Wanita itu langsung menoleh ketika mendengar ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya. Matanya berkaca-kaca melihat pria itu menghampirinya.
“Maaf,” ucap Dewi lirih saat Randy sudah berdiri tepat di sampingnya.
Kristal bening keluar semakin banyak dari mata Dewi. Randy masih menatapnya dengan tatapan datar.
“A…anak kita!” tambahnya lagi.
Randy menghembuskan nafas dalam. Dua kata itu mampu menjelaskan segalanya. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak di dalam relung hati Randy. Dia tahu anaknya sudah berada di surga sekarang.
Dia genggam tangan Dewi sambil berusaha untuk menenangkan hatinya yang sedang kacau.
“It’s okay. Dia udah di tempat yang lebih baik,” ungkap Randy dengan lembut.
Dewi memejamkan mata sambil sesekali terisak menangis. Sudut matanya terus mengeluarkan cairan bening. Randy duduk di sampingnya.
Dia sedang termenung memikirkan anaknya yang sudah tiada saat tiba-tiba pintu ruang itu terbuka dengan cepat.
Randy langsung bangkit saat melihat majikannya berdiri di samping pintu dengan nafas tersengal-sengal.
“Mama! Mama gak papa?! Apa yang terjadi?” tanya Ginanjar dengan panik.
Dewi kembali membuka mata, terkejut dengan kedatangan suaminya. Sungguh itu bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya.
Dia telah mengkhianati Ginanjar dengan pergi bersama Pram. Dia takut kalau suaminya tahu tentang latar belakang dia sampai kecelakaan. Siapa yang memberitahunya? Bu Lastri sudah diwanti-wanti untuk tidak mengatakannya kepada suaminya. Randy? Apakah dia yang memberitahunya? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Dewi.
“Mah?!” ulang Ginanjar setelah tidak mendapatkan respon dari istrinya.
Randy menggeser posisinya agar bisa ditempati oleh Ginanjar. Majikannya itu duduk menggantikan Randy di samping Dewi. Dari gelagat Ginanjar tampak dia belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf pah! M…mamah keguguran,” gumam Dewi gugup.
“Apa?!”
Ekspresi wajah Ginanjar langsung berubah muram. Dia berusaha menahan air matanya, ia benamkan mukanya di punggung tangan istrinya. Hatinya hancur mendapatkan kabar itu.
Lima tahun penantian untuk mendapatkan momongan, akhirnya terkabul dengan kehadiran Reihan di hidup mereka. Kehamilan kali ini benar-benar sesuatu yang tidak terduga. Ginanjar sangat mendambakan anak tersebut lahir ke dunia ini.
Namun takdir seolah-olah mempermainkannya. Disaat dia menanti kelahiran bayi kecil mereka yang kedua, tiba-tiba Ginanjar mendapatkan kabar yang sangat memukul jiwanya. Janin yang berada di rahim istrinya sudah tidak ada lagi. Dia menyalahkan takdir atas semua yang terjadi.
“Maaf om, ini semua salah saya. Saya gak yang gak hati-hati mengendarai mobilnya sampai terjadi kecelakaan,” aku Randy.
Dewi sontak membulatkan matanya ke arah Randy. Pria itu nekat mengakui kesalahan yang sama sekali tidak ia lakukan. Ginanjar lalu berdiri dan menatap Randy nanar. Tangannya sudah mengepal dengan kuat.
“Kamu! Kamu tau apa yang sudah kamu lakukan?! Lihat! Gara-gara kamu istri saya jadi keguguran. Dari awal saya sudah ragu untuk mempekerjakan kamu sebagai supirnya. Sekarang kekhawatiran saya terjadi juga. Terus apa pertanggungjawaban kamu!” bentak Ginanjar murka.
Randy hanya menunduk tidak berusaha menyanggah kata-kata dari mulut tuannya itu. Dia sadar itu adalah konsekuensi atas pilihannya melindungi Dewi dari kenyataan yang akan membuat suaminya marah dan kecewa padanya.
“Pah, ini bukan salah Randy. Ini adalah kecelakaan yang sudah menjadi takdir. Ini bukan suatu kesengajaan,” bela Dewi sembari memegangi pergelangan tangan Ginanjar.
“Diam mah! Apa mamah gak ngerti perasaan papah?! Tau anak kita sudah gak ada karena kecerobohan orang ini?!”
Jari telunjuk Ginanjar sudah terpampang di depan mata Randy.
“Tapi ingat pah kalo Randy yang menolong Reihan saat jatuh dari lantai dua dulu. Kita hutang nyawa sama dia pah.”
“Iya tapi dia juga yang membuat anak kita yang ada di perut mamah kehilangan nyawa. Itu artinya kita impas!” kilah Ginanjar.
“Tapi pah…”
“Saya bersedia untuk menerima konsekuensinya,” potong Randy saat Dewi berusaha untuk membelanya lagi.
Ginanjar lalu berdiri mensejajarkan badannya di depan Randy.
“Baik, mulai sekarang kamu gak usah dateng ke rumah saya lagi. Kamu sudah tidak bekerja lagi untuk keluarga saya.”
Setelah kata-kata itu selesai Randy mengangkat kepalanya untuk menatap mata mantan majikannya itu. Randy berani karena saat itu statusnya sudah bukan bawahan Ginanjar lagi.
“Pah, mamah mohon pikirkan sekali lagi, dia udah banyak membantu mamah.”
Ginanjar mengangkat satu tangannya tanpa menoleh ke arah Dewi, memberi isyarat agar tidak berbicara lagi. Sejenak Randy melirik Dewi yang berada di belakang Ginanjar. Wajahnya tampak sangat merasa bersalah.
“Saya terima keputusan om. Kalo gitu nanti saya akan kembalikan aset yang pernah om kasih ke saya termasuk motor.”
“Tidak usah! Barang yang sudah saya kasih tidak usah dikembalikan. Kamu cukup tidak datang lagi ke rumah saya.”
“Baik om, maafkan saya sekali lagi. Saya permisi,” ucap Randy pamit.
Randy sedikit membungkukkan badan untuk menghormati mantan majikannya. Ginanjar hanya mengangguk pelan dengan masih memasang wajah yang sama. Dewi tampak tidak rela kehilangan Randy yang sempat menduduki singgasana hatinya beberapa waktu yang lalu.
Randy berbalik lalu berjalan ke arah pintu. Ya, itu keputusan yang tepat untuknya. Setelah anak yang dikandung Dewi meninggal, mereka seperti lepas dari suatu ikatan. Sepertinya memang dari awal hubungannya dengan wanita itu adalah suatu kesalahan. Randy tidak menyesali hal itu.
“Pah, papah terlalu cepat mengambil keputusan,” cela Dewi setelah Randy benar-benar menghilang di balik pintu.
“Kenapa mamah bilang begitu? Papah ngelakuin ini karena papah sayang sama mamah. Sudah lah, sekarang lebih baik mamah istirahat aja. Papah akan nunggu di sini.”
Dengan kesal Dewi menuruti permintaan Ginanjar. Dia membuang muka ke arah kanannya. Pikirannya menerawang jauh. Dia sungguh merasa bersalah atas dipecatnya Randy. Itu sama sekali bukan kesalahannya tapi Dewi juga tidak bisa berkata jujur pada suaminya kalau sebenarnya dia pergi bersama Pram. Dia beruntung Randy mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya dari amarah Ginanjar.
Ginanjar yang saat itu sudah kembali duduk di kursi samping brankar tiba-tiba mendapat notifikasi dari ponselnya. Pesan masuk dari orang suruhannya yang mengirimkan beberapa foto bukti kecelakaan istrinya.
Dahi Ginanjar mengernyit kala melihat foto-foto itu. Ada beberapa kejanggalan dari peristiwa kecelakaan yang menimpa istrinya.
Yang pertama, mobil yang ditumpangi oleh Dewi bukanlah mobil miliknya. Dia tidak tahu mobil siapa itu. Apakah itu mobil milik Randy?
Yang kedua, kondisi mobil itu lumayan ringsek tapi dia melihat Randy yang menjadi supirnya justru baik-baik saja dan tidak mengalami cedera sedikitpun.
Yang ketiga, atas dasar alasan apa istrinya pergi jauh hingga sampai ke Bogor? Ginanjar tidak pernah mendapatkan info mengenai kerabat istrinya yang ada di kota itu.
Ginanjar lalu bangkit dan berjalan keluar. Di luar ruangan istrinya dia kembali menghubungi bawahannya itu.
“Halo bos? Ada yang bisa dibantu?”
“Tolong kamu selidiki lebih dalam kasus kecelakaan ini. Terutama dengan siapa istri saya pergi dan kemana.”
“Siap laksanakan!” sahut orang suruhannya dari balik telepon.
Setelah itu telepon ditutup. Entah perasaan Ginanjar menjadi tidak enak. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh istrinya.
Bersambung