Part #5 : Mudah Mudahan Jadi Ya Da!!
Tepat pukul 22.30 WIB aku bergerak keluar dari rumahku. Seperti biasa gang ini pada jam segini tetap sepi dari yang lalu lalang. Apalagi cuaca terasa dingin karena hujan sehabis Maghrib tadi. Di beberapa tempat masih ada genangan air sisa hujan. Istri dan anak-anakku sudah pulas tidur dari tadi.
Kutelusuri gang sepi ini sebentar untuk mengecek sikon (situasi dan kondisi). Aman… Benar-benar sepi dan senyap. Di depan sana, di jalan raya masih berseliweran kendaraan. Di beberapa rumah masih terdengar suara TV yang sedang ditonton penghuninya tetapi lebih banyak sudah mematikan lampu dan terbuai di empuknya kasur.
Lampu teras rumah Aida padam dan aku langsung berbelok masuk. Dengan cepat aku membuka pintu yang tak terkunci itu kemudian masuk dan menggerendel kuncinya. Ruangan depan ini juga gelap dan aku masuk lebih ke dalam. Ada dua kamar di rumah ini, ruang TV, dapur merangkap ruang makan dan juga kamar mandi. Hanya satu kamar itu saja yang lampunya menyala sesuai perjanjian kami.
Kuketuk pintu kamarnya dua kali dan langsung kubuka kemudian masuk. Aida ada di atas ranjangnya, berbaring menyamping membelakangiku, berselimut. Kututup kembali pintu dan mendekat. Pinggul yang menonjol di balik selimut yang menarik perhatianku pertama kali. Ini pinggul perempuan yang sehat yang seharusnya bisa memelihara janin-janin di rahimnya. Semua potensi itu dikacaukan oleh manusia culas yang memanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab. Perempuan sehat yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan karunia anak. Memeliharanya di kandungannya, melahirkan, dan membesarkan sang anak hingga besar.
“Aida…” bisikku lirih. Cukup untuk didengar Aida harusnya.
Aida berbalik dan yang pertama kali kutangkap adalah air matanya. Air matanya berlinangan di pipi putihnya. Matanya sedikit memerah. Apa ini? Pergolakan batin? Menyesal? Tentu dia masih bisa membatalkan ini semua.
“Kenapa Aida? Jadi?” tanyaku pelan memastikan keinginannya. Aku bisa mundur sewaktu-waktu ia kehendaki.
“Tentu jadi, bang…” jawabnya lirih berbisik juga.
“Kenapa menangis? Aku tidak mau ada keterpaksaan… Kita berdua harus sama-sama iklas…” bisikku lagi.
“Aida hanya senang, bang… Akhirnya Aida bisa punya anak juga…” katanya masih menjaga volume suara. Walaupun pelan tetapi suara selirih apapun di suasana sunyi seperti ini menjadi sangat jelas. Semoga tak terdengar sampai keluar.
“Mudah-mudahan jadi ya, Da… Semoga…” kataku kikuk. Mataku melirik kanan kiri mempelajari kamar yang sehari-harinya menjadi domain Agus. Sekarang menjadi jajahanku karena aku akan menggagahi istrinya. Kamar standar dengan ranjang spring bed 6 kaki, sebuah meja rias, lemari pakaian 4 pintu, cermin, beberapa gantungan baju dan beberapa kotak sepatu di lantai. Ada aroma wewangian samar, kemungkinan Aida menyemprotkannya tadi. Penerangan cukup dengan lampu LED 45 watt di kamar berukuran 4×4 meter ini.
“Mm… bang?” desis Aida bingung harus apa. Aku juga bingung mau ngapain. Kalau dengan istriku di rumah aku bisa aja langsung melucuti semua pakaianku dan pakaiannya lalu gas. Tapi dengan Aida?
“Awak buka baju dulu ya, Da…” kataku masih pelan dan mulai menarik ke atas kaos yang kukenakan. Mata Aida nanar menatap tubuhku. Tubuhku sekarang sudah lumayan berisi dengan berat 65 Kg. Cukup ideal-lah dengan tinggiku yang hanya 1.65 Meter. Dulu waktu remaja, aku tergolong kurus. Sekarang aku bertelanjang dada di depan Aida yang masih berbaring di ranjangnya bertutup selimut. Ia tersenyum lebar senang. Air matanya sudah dihapus dari tadi. Hanya ada rona bahagia di wajahnya.
“Aida sering intip-intip bang Aseng kalo sedang buka baju kek gini loh…” ia terkikik geli dan menutup mulutnya dengan dua tangan. Mungkin ia sudah mulai terangsang. Aku terkadang kebablasan dan buka baju saat menyapu halaman rumahku. Sebuah pohon mangga golek setinggi 3 meter di halaman rumah penyumbang sampah terbanyak yang harus rutin dibersihkan. “Bang Aseng putih kali… kek Cina betulan…” ungkapnya kembali terkikik lucu.
“Gantian-lah…” kataku berusaha menutupi kegugupanku. Aku juga pengen liat kan?
Aida langsung menyibak selimut yang menutupi tubuhnya selama ini. JREENG!
WADAW! Ia tak memakai apa-apa dibalik selimut itu. Tubuh seksinya langsung menyerbu mataku di bawah lampu terang 45 watt ini. Tangannya cepat menutupi bagian dada dan selangkangannya. Ia masih malu-malu rupanya. Tenang… Aku tau solusinya.
Kuambil tepi selimut itu dan kutarik kembali hingga menutupi kembali tubuhnya. Aida memberi mimik protes campur bingung dengan perlakuanku. “Kok ditutup lagi, bang?” tanya Aida heran. Hanya sebatas bahu-leher-kepala dan dua tangannya yang ada di luar selimut.
“Aida masih malu, kan? Gini aja…” kataku mendekat dan menunduk masuk ke dalam selimut yang ada di bagian kakinya. Kudengar nafas terkesiap kaget Aida melihat aksiku. Sekarang ada gundukan besar di bagian bawah kaki Aida karena tubuhku menelusup masuk ke dalam selimut. Ia tidak siap dengan ini. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena gelap keadaannya. Kita mulai prosesnya…
Memasuki alam lain, begitu dua buah bakiak kayu merah dengan banyak tempelan stiker norak kujejak. Seketika aku sudah tidak ada di dalam kamar Aida lagi. Sebuah bekas bangunan mirip gudang dengan dinding-dinding yang masih berdiri merana. Banyak bekas tanaman merambat tumbuh di sepanjang dinding tinggi dan sebuah pohon yang tak terlalu besar yang sudah meranggas mati. Beberapa nisan kayu nampak mencuat sembarangan di sekitar akarnya. Gelapnya malam terlihat dari bagian atap bangunan yang sudah lama menghilang, hanya menyisakan beberapa batang kayu galangan yang sudah lapuk dimakan cuaca. Tak ada bintang terlihat maupun bulan. Karena ini dimensi yang berbeda.
Berhadap-hadapan denganku kini seorang tua berumur sekitar 60-an dengan sebilah klewang berkarat kemerahan sepanjang 90 cm. Ia baru saja membuka matanya menyadari kehadiranku. Jarak kami ada sekitar 6 meter dihalangi nisan-nisan kayu itu. Aku berdiri tegak bertelanjang dada dengan bakiak kayu andalanku.
“Apa maumu? Keluar dan jangan kembali!” hardiknya dengan suara serak dan kuat. Ada bau amis begitu ia membuka suara. Bau itu terasa berasal dari karat yang menggerogoti klewang panjang yang terlihat berbahaya itu. Kalau harus bertarung melawan senjata itu, tergores pasti kena tetanus!
“Bapak yang mengirim sengkolo pada Agus dan Aida?” tanyaku masih baik-baik. Di kanan dan kiri orang tua itu muncul dua sosok mahluk serupa pocong bermuka hitam begitu ia menaburkan semacam bunga rampai. Kain pembungkusnya lusuh dengan banyak bercak darah menghitam dan lumpur.
“Kau paham… Jadi menjauhlah…” katanya memberi peringatan keras padaku dengan melotot. Wajah kasarnya mengetat dan urat-urat di wajahnya bertonjolan. Disabetkannya klewang karat itu dan kedua pocong itu berkelebat cepat melayang ke arahku. WHUSH! Menyambarku cepat bermaksud memberi peringatan agar aku cepat-cepat pergi. Aku cukup berkelit menghindari gertakan itu. Kedua pocong kembali ke posisi awalnya.
Merogoh kantung celanaku dan mengeluarkan beberapa lembar daun, ada empat lembar di tangan kananku. “Tolong bapak cabut kembali sengkolo itu dari Agus dan Aida… Kasian mereka berdua, pak… Pengen kali orang itu dua punya anak…” kataku sambil memposisikan keempat helai daun itu di antara jari-jari tangan kananku dengan bantuan tangan kiri.
“Kalau aku gak mau… kau mau APA?!” gertaknya balik. Ah! Udah kenyang kali aku dengan mop-ngemop (mop: gertak) kek gini. Udah tua pun masih maenan ke gitu juga. Di Medan ini kalau kalah ngemop udah diitung kalah. Ya gak, lae?
“Begadoh-lah kita, KIMAK!” tak kupandang lagi kalau dia sudah tua. Sudah kupanggil kimak pulak uwak-uwak tua itu. Aku mulai bergerak maju. Kletak-kletuk! Suara ketukan bakiak kayu yang kupakai terdengar nyaring seiring langkah lariku yang cepat. Keempat helai daun di jari kananku sudah kusebarkan. Dukun kimak itupun sudah memerintahkan kedua pocong itu bergerak sementara ia siap menyambutku dengan tebasan klewang karat itu.
Sebentar saja aku sudah mencapai Wak kimak yang lumayan kaget aku bisa bergerak cepat dan sampai di depannya, kuambil satu bakiak kanan dan kupakai di tangan kanan untuk menangkis klewang panjang yang menyambar cepat membabat leherku.
KLAKK!
Kaki kiriku yang masih berbakiak naik ke atas mengincar dagunya. Ia masih bisa berkelit sehingga aku harus berputar setinggi pinggang untuk serangan berikutnya. Urung kulakukan tendangan susulan karena pocong pertama berusaha menubrukku. Wak kimak mundur beberapa langkah. Sebuah benda hijau panjang menahan pocong itu. Itu daun Utara yang bertugas melindungiku. Sambaran sesuatu lainnya segera menyambar cepat pocong yang terhenti tadi. Ada sobekan yang terjadi pada kain pembungkus pocong. Lipatan tebal tersayat beberapa gulungan. Benda hijau lainnya sukses mengoyaknya, dia adalah daun Selatan sebagai penyerang. Pocong itu terbanting ke tanah tapi bangkit melayang kembali.
Pocong kedua melayang tak jauh dari Wak kimak sedang diserang daun Barat dan daun Timur. Keempat daun itu adalah perubahan daun yang tadi kukepit di antara jari-jariku. Wak kimak kebingungan dengan metode bertarungku. Dikiranya hanya dia yang bisa mengendalikan semacam pocong-pocong miliknya. Punyaku ada 4 lagi, lebih banyak. Kupakai kembali bakiak ke kaki kanan. Serangan baru akan dimulai.
Aku kembali berlari cepat dengan bunyi bising bakiak kayu ini lalu melompat kencang. Kedua bakiak tertinggal di tanah di posisi pijakan lompatku. Tubuhku berdesing cepat meluncur ke arah Wak kimak. Ia tersenyum seolah sudah menang dan segera membabatkan klewang panjangnya.
KTUK!
Kaget Wak kimak karena klewangnya hanya membabat benda padat berupa bakiak kayu sebelah kiriku yang segera terbanting jatuh di depannya sementara aku bebas, terbuka menyarangkan sebuah tendangan telak dengan bakiak kanan ke rahang kirinya. Wak kimak terjajar mundur tak jauh, tak bisa jauh karena tangan yang memegang klewang itu kutahan dibagian pergelangannya dengan tangan kiri sementara bakiak kanan sudah berpindah lagi ke tangan kananku. Dengan remasan kecil klewang itu terlepas dari genggamannya.
PLAK! PLAK! PLAK!
Tiga kali tamparan menggunakan bakiak itu kembali menghantam kepala bagian kirinya. Dua kali ke telinga dan satu kali rahang. Saat ia limbung, kukutip bakiak kiri yang berada di tanah dan bersiap melakukan serangan pamungkas. Kedua bakiak di kedua tanganku terangkat tinggi. “GUGUR GLUGUR!”
Seakan sebuah gunung jatuh menghimpit Wak kimak kala dua buah bakiak ini kudampingkan dan terarah menggencet, menimpa dan luruh dengan seluruh kekuatannya menekan lawan kala jurus GUGUR GLUGUR menghantamnya telak. Lawan yang kesekian kalinya sukses kalah karena sepele dengan senjata ampuhku ini.
Kugosok-gosokkan kedua bakiak merah itu ke pelipisku sebagai tanda terima kasihku atas bantuannya kali ini. Wak kimak terkapar di tanah. Tangan dan kakinya berkejat-kejat tak kuasa menahan kesadarannya. Kedua pocong muka hitam itu juga sudah tinggal tulang-belulang saja disayat-sayat keempat daunku. Kain pembungkus keduanya kupak-kapik kek kena mesin potong rumput. Begitu kupakai lagi kedua bakiak itu di kakiku, empat daun itu kembali ke tanganku dengan ukuran normalnya. Setelah sempat menjadi pedang daun, balik menjadi daun dan mengering lalu hancur.
“A-apa-kah itu… ba-bak-bakiak Bulan Pencak yang tersohor?” tanya Wak kimak tersengal-sengal yang masih terkapar di tanah dingin nan kotor. Tubuhnya sedikit mengepulkan asap tipis. Beberapa helai bunga rampai berserakan di kakinya.
“Ah… Wawak kenal rupanya dengan stiker Nirvana ini (band Nirvana-nya Kurt Cobain)… Metal juga wawak, ya?” kataku berkelakar tentang stiker yang menempel di sekujur bahan bakiak yang dikenalinya sebagai bakiak Bulan Pencak. Stiker Nirvana dan daun ganja ada di sebelah kanan, Bob Marley dan lambang Peace di bakiak kiri.
“Ribak Sude rupanya… Ah…” lalu ia tak sadarkan diri. Klewang panjang berkarat dan tulang-belulang pocong muka hitamnya menghilang tanpa bekas. Sepasang pocong muka hitam itu ternyata yang selama ini mengikuti Agus dan Aida di setiap kehidupan seks mereka. Satu bertugas memakan semua sperma yang dihasilkan Agus untuk menghamili Aida dan mempengaruhi keadaan kesehatan fisik dan mentalnya. Yang satunya mencegah ada yang dapat menghamili Aida dan meningkatkan kesehatan mental suaminya.
Perlahan kegelapan dingin nan angker tempat pertarungan tadi berubah menjadi kegelapan hangat dibalik selimut milik Aida. Guna-guna yang menyerang Agus dan Aida sudah berhasil kutumpas. Aku sudah bisa melihat sepasang kaki mulus putih milik Aida menjulur pasrah di depanku. “Misi selesai…” bathinku. Kukecup lutut kiri Aida dan ia bergidik geli.
Tidak ada jeda waktu antara pertarungan tadi dengan keadaan yang sebenarnya karena itu semua terjadi di alam yang sama sekali berbeda… Gitu, deh.
Bersambung