Part #43 : Petualangan Sexs Liar Ku

Randy sedang berada di gym. Di sela waktu jeda dia tampak sedang menonton sebuah video yang menampilkan persenggamaan antara dua orang yang berbeda usia cukup jauh.

Ya, tanpa sepengetahuan Adibah Randy diam-diam merekam aktivitas pergumulan antara mereka berdua. Randy mulai merekam dengan ponsel milik Icha saat Adibah pingsan karena cekikannya.

Dia buru-buru membackup video itu secara online dan menghapus kopiannya dari hp itu. Bisa gawat kalau Icha sampai tahu apa yang telah dia lakukan terhadap mertuanya itu.

Di lain tempat, Adibah, Sari, dan Pram sedang berada di food court salah satu mall di Bandung. Adibah bersikap seperti biasa walaupun tubuhnya masih terasa sakit akibat perbuatan Randy.

Mereka tengah membicarakan tentang rencana untuk menjodohkan Annisa dengan kiai Jamal. Adibah mengungkapkan beberapa alasan dan pertimbangan untuk memutuskan hal itu.

Dia juga menceritakan tentang pria bernama Randy yang menjadi biang keladi atas semua masalah yang menimpa Annisa.

Tentu saja kakak tertua Annisa itu kaget bukan main dan menentang keras rencana itu. Menurutnya Annisa berhak untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

Dia juga berpendapat kalau kiai Jamal bukanlah orang yang tepat untuk menjadi suami Annisa.

“Bunda, kenapa gak restuin aja mereka berdua. Toh Annisa juga cinta sama orang yang namanya Randy itu dan laki-laki itu juga udah mau tanggung jawab,” sergah Sari di sela-sela perbincangan mereka.

“Sari, kamu gak tau apa-apa tentang si Randy itu. Dia itu pria yang akan memberikan dampak buruk untuk Annisa ke depannya. Bunda gak mau mengorbankan masa depan Annisa hanya karena rasa cinta semu itu.”

“Bunda tau dari mana kalau si Randy itu laki-laki yang gak baik?

Adibah berhenti sejenak tidak langsung menjawab pertanyaan barusan. Dia tidak mungkin memberi tahu apa yang sudah Randy lakukan terhadapnya. Setelah berpikir, Adibah lalu menjawab.

“Dia itu gak pernah sholat, gak bisa ngaji, jangankan ngaji, huruf Arab aja dia gak tau. Gimana kamu pikir Annisa nikah sama orang kaya gitu yang jauh dari agama.”

“Tapi kan orang bisa berubah Bun. Kenapa bunda bukannya kasih syarat sama Randy kalo mau nikahin Annisa harus bisa ngaji, gitu Bun.”

Terlihat jelas perbedaan kedewasaan antara ibu dan anak itu. Terbukti bahwa umur hanyalah angka, sedangkan kedewasaan tidak bisa diukur dengan angka.

Adibah yang selalu keukeh pada pendiriannya tidak peduli dengan pendapat orang lain berbeda dengan Sari yang berpikir secara terbuka dan mengutamakan kebahagiaan masing-masing orang yang terlibat.

Sari memang sudah memahami sifat ibunya itu. Dia kalau sudah berkehendak maka tidak bisa diganggu gugat. Untung saja pernikahan Sari dan Pram tidak terlalu mengundang campur aduk dari Adibah.

Dia jadi ikut prihatin dengan nasib adik bungsunya itu, meskipun Annisa sudah melakukan dosa besar dengan berhubungan intim dengan seorang lelaki tanpa ikatan pernikahan tapi Sari yakin ada sesuatu yang melatarbelakangi Annisa untuk melakukannya.

“Bunda bukannya gak mau kasih kesempatan, tapi dilihat dari penampilannya aja bunda udah pesimis. Dia tipe laki-laki urakan yang biasanya nongkrong di klub-klub. Dia pasti ceweknya banyak.”

“Uhukkk…uhukkk…”

Tiba-tiba lelaki yang sedari tadi duduk di dekat mereka berdua terbatuk-batuk mendengar ucapan mertuanya itu.

“Kenapa mas? Keselek? Nih minum dulu!” ujar Sari sambil memberikan segelas air mineral kepada suaminya.

“Gak papa kok cuma keselek,” dalih Pram.

Kemudian fokus Sari kembali pada Adibah.

“Bun, kalo belum dicoba mana bisa tau. Kalo Randy bener-bener sayang sama Annisa, Sari yakin pasti dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi syarat bunda,” bujuk Sari lagi berharap ibunya mau berubah pikiran.

“Halah kamu ini, orang yang sama sekali kamu gak tau aja kamu bela-belain. Bunda heran deh, kenapa anak-anak bunda kok gak ada yang mau nurut sama bunda.”

Sari menghela nafas panjang. Padahal kenyataannya tidak ada permintaan Adibah yang pernah ditolak oleh anak-anaknya lebih tepatnya mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih, tapi bisa-bisanya dia bilang seperti itu.

Suasana menjadi canggung. Adibah yang semula ingin mencari dukungan terhadap keputusannya malah mendapatkan sebaliknya dari Sari.

“Udah lah bunda mau pulang aja kalo gitu.”

Adibah kemudian berdiri hendak beranjak dari tempat duduknya.

“Bunda tunggu!”

“Apa lagi Sari? Kalo kamu mau minta bunda buat batalin perjodohan ini bunda gak bisa. Keputusan bunda sudah bulat. Assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Adibah langsung pergi meninggalkan suami istri yang terpaku padanya. Sari memijat pelipisnya yang sedikit nyeri. Menjodohkan Annisa dengan seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun yang sudah memiliki empat istri itu adalah suatu yang gila.

Saat mereka berdua masih diam dengan pikirannya masing-masing, tiba-tiba ponsel Pram berbunyi. Setelah di cek ternyata itu dari Dewi sang pujaan hati. Buru-buru dia menepi mengambil posisi yang strategis agar tidak didengar oleh istrinya itu.

“Halo?!” sapa Pram.

“Halo mas? Sibuk gak?”

“Emm…enggak kok, kenapa?”

“Bisa anterin aku ke butik temen ku mas?”

Sejenak Pram terdiam. Hatinya berperang antara tetap bersama istrinya atau pergi bersama selingkuhannya.

“Mas?!”

“Ehh…iya bisa, ya udah aku jemput sekarang ya.”

“Iya mas, makasih.”

Telepon pun ditutup. Sebenarnya Dewi sudah mencoba menghubungi Randy untuk mengantarkannya, tapi nomornya tidak aktif. Dia berpikir bahwa Randy telah memblokir nomornya karena sakit hati, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah Randy tidak memiliki ponsel lagi karena telah dihancurkan oleh Adibah.

Dewi tidak mempermasalahkannya karena sejak awal dia mempekerjakan Randy karena merasa berhutang budi padanya lantaran telah menyelamatkan nyawa Reihan.

Beralih ke Pram, dia menggigit bibir bawahnya. Pria itu menatap lurus ke arah wanita yang sedang memangku seorang anak kecil.

“Maaf sayang,” ucapnya lirih.

Dia lalu mendekati mereka.

“Kenapa mas? Tadi telepon dari siapa?”

“Eee…barusan atasan mas telepon katanya ada berkas yang harus di cek ulang. Mas disuruh ke kantor sekarang,” ungkapnya berbohong.

“Tapi mas, tadi kan sudah lembur masa sekarang harus berangkat lagi? Kan hari Sabtu mas,” sergahnya protes.

Harusnya weekend seperti ini adalah kesempatan Sari untuk menghabiskan waktu bercengkrama dengan suaminya.

“Maaf banget tapi ini bukan masalah yang bisa ditinggal. Mas janji kalo udah selesai mas akan cepet-cepet pulang kok.”

Pram kemudian menyentuh bahu istrinya dan mengecup puncak kepalanya lalu berpindah ke anak semata wayangnya.

“Kamu bisa pulang sendiri kan? Apa mau mas pesenin taksi online?”

“Gak usah mas pergi aja biar Sari pesen sendiri nanti,” balasnya dengan wajah ikhlas.

Itu membuat rasa bersalah kian membuncah. Wanita dihadapannya itu adalah sebaik-baiknya istri yang pernah dimiliki oleh seorang lelaki tapi dia tega mengkhianati cintanya demi wanita lain.

“Ya udah mas pergi dulu ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Pram lalu pergi berjalan menuju parkiran mobil untuk segera bergegas menjemput kekasih gelapnya.

Sari mengernyitkan dahinya. Akhir-akhir ini suaminya agak berbeda dari biasanya. Dia jadi sering lembur dalam pekerjaan dan entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa Pram sedang menyembunyikan sesuatu.

Tapi buru-buru dia tepiskan hal itu. Dia harus selalu berpikir positif. Mungkin saja atasannya memang sangat mempercayainya jadi dia mendapatkan porsi pekerjaan yang banyak.

Tak mau berlama-lama Sari beranjak dari tempat duduknya sambil membawa bocah laki-laki berusia tiga tahun.

Saat berada di pinggir jalan secara kebetulan Randy yang baru saja selesai berlatih gym melihatnya. Dia yakin sekali bahwa wanita itu adalah wanita yang ia lihat di rumah Adibah beberapa jam yang lalu.

Randy lalu mendekatinya.

“Assalamualaikum,” sapa Randy ramah.

“Waalaikumusalam,” balas Sari dengan senyum tersungging di bibirnya.

Tidak ada rasa curiga ataupun takut saat tahu ada orang asing yang menyapanya. Pikiran positif memang selalu ia tanamkan sejak dahulu, meskipun hal tersebut bisa jadi bumerang bagi dirinya sendiri.

“Mbak sendirian? Suaminya kemana?” tanya Randy sok akrab.

“Maaf mas siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?” balasnya tanpa menjawab pertanyaan Randy.

Randy terdiam sesaat mencoba berpikir sebuah alasan yang masuk akal untuk menyapa seseorang yang tidak dia kenal.

“Emm..***k papa mba, maaf tadi dari jauh saya kira temen saya, soalnya mirip hehehe…” ujar Randy sembari bercanda.

“Oh gitu,” timpalnya singkat.

“Tapi kalo di perhatiin mbak bener-bener mirip sama temen saya namanya Annisa.”

Mendengar nama itu sontak Sari menaikkan sebelah alisnya.

“Annisa siapa? Nama panjangnya?” tanya Sari memastikan.

Randy coba mengingat-ingat nama lengkap Annisa yang pernah diberitahu oleh gadis itu.

“Annisa Nashwa Syafira,” sebut Randy dengan yakin.

Sari menutup mulutnya terkejut.

“Itu adik saya mas. Mas temen kuliahnya ya?”

“Bukan kok mbak tapi temen deket. Nama saya Randy.” celetuk Randy sambil menjulurkan telapak tangan untuk bersalaman.

Deggg…

Lagi-lagi Sari tertegun mendengar lelaki itu memperkenalkan diri. Ternyata dia adalah lelaki yang dibicarakan oleh ibunya. Sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Adibah tentang sosok Randy itu.

Penampilannya terlihat seperti badboy yang suka memainkan hati perempuan. Walau Sari tidak menampik bahwa lelaki itu memiliki kharisma yang kuat. Sari dapat merasakan meski baru pertama kali bertemu.

Sari lalu menyatukan telapak tangannya di depan membalas salamnya tanpa bersentuhan.

“Mas pacarnya Annisa ya?”

Randy membuka mulutnya tanpa bersuara. Tidak menyangka kalau wanita yang ada di hadapannya itu akan mengatakan demikian.

“Saya sudah denger tentang kamu dari ibu saya. Kebetulan sekali ya kita ketemu. Emm…ada yang mau saya sampaikan. Apa ada waktu?”

Randy langsung menyanggupi usulan kakak pertama Annisa itu. Mereka kemudian pergi ke kafe dekat tempat mereka berada.

“Mbak mau pesan apa?” tawar Randy.

“Gak usah, saya udah makan tadi. Kamu aja yang pesan.”

Pandangan Randy beralih ke anak laki-laki yang digendong sari.

“Hey jagoan, mau pesan apa? Entar om yang bayarin.”

Anak itu kemudian menunjuk sebuah menu yang ada di selembar kertas. Randy hanya manggut-manggut. Setelah memesan makanan, Sari kemudian mulai berbicara kepada Randy.

“Sejauh apa hubungan kamu sama Annisa?”

“Yah cukup dekat.”

“Cukup dekat untuk melakukan hubungan suami istri?” sindir Sari seraya tersenyum simpul.

Randy terkejut mendengar perkataan Sari. Dia meringis sambil tersenyum memamerkan giginya yang tertata rapi.

Sari benar-benar tenang dalam menghadapi situasi itu. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ibunya. Tidak ada raut amarah yang tercetak di wajah kakak pertama Annisa itu, yang ada hanya keanggunan dari seorang wanita dewasa yang matang.

“Mbak boleh tanya sama kamu lebih dalam lagi?” lanjutnya.

“Boleh mbak, mau tanya apa?”

“Apa kamu bener-bener cinta sama Annisa?”

“Iya mbak saya bener-bener cinta sama Annisa.”

“Kamu mau nikah sama dia?”

Randy menganggukkan kepalanya.

“Kalo memang kamu mau nikahin Annisa, mau gak kamu berkorban sedikit buat memperjuangkan hubungan kalian?”

“Caranya?”

Sari meletakkan anaknya di kursi sebelah lalu mulai fokus menatap calon adik iparnya itu dalam-dalam.

“Jadi gini, ibu saya sebenarnya bukan gak mau merestui hubungan kalian, tapi dia merasa kamu tidak punya cukup ilmu untuk jadi bekal membina rumah tangga sama anaknya. Kalo kamu mau dapet restu, mbak saranin untuk mulai belajar tentang agama, minimal ya bisa ngaji gitu,” saran Sari dengan jelas.

“Saya masih gak yakin kalo saya belajar agama teh Adibah mau merestui hubungan kami.”

Randy tampak mengusap-usap dagunya sendiri.

“Kalo belum dicoba mana bisa tau kan? Kalaupun ibu saya tetap gak merestui hubungan kalian, minimal kamu bisa mengerti ilmu agama. Gak ada ruginya kok?”

“Tenang aja, mbak akan bantu bujuk ibu mbak buat merestui kalian. Mbak juga yakin kalo Annisa juga mencintai kamu. Yang penting kamu juga ikut berusaha buat dapetin hati ibunya Annisa. Mbak yakin kamu bisa selama kamu mau berusaha. Semangat ya.”

Sari tersenyum manis sambil mengepalkan tangan tanda memberikan Randy motivasi. Entah kenapa semakin lama mengobrol dengan kakak tertua Annisa itu membuat hatinya sejuk.

Selain cocok menjadi guru BK mungkin dia juga cocok menjadi motivator. Randy membalas senyuman itu seraya mengangguk pelan.

“Tapi mbak, saya bingung harus belajar ngaji sama siapa, sedangkan orang-orang yang saya kenal gak ada yang bisa ngaji satupun.”

“Satupun?!” kata Sari memastikan.

Randy hanya menaik turunkan kepalanya beberapa kali. Sari tampak berpikir sejenak tentang kandidat yang tepat untuk mengajari Randy mengaji.

“Gimana kalo mbak yang ajarin saya? Saya kira mbak cukup kompeten untuk itu,” tawar Randy.

Sari memutar bola matanya ke arah Randy.

“Itu pun kalo mbak mau, saya gak akan maksa. Mbak kan keluarganya teh Adibah juga, ya sekalian saya pengin sharing-sharing gimana cara meluluhkan hati teteh,” ujar Randy meyakinkan.

Sari masih diam belum membuka suara. Ini bukan sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja.

Pertama mereka bukan muhrim, apalagi dia mengajari Randy pastinya akan terjadi banyak kontak entah itu fisik maupun visual. Kedua dirinya sudah memiliki suami, kalau berduaan dengan Randy pastinya akan menimbulkan fitnah secara tak lisan. Ketiga dirinya takut apabila terjadi sesuatu antara mereka berdua, ia tidak menampik kemungkinan itu mengingat pria yang ada di hadapannya adalah lelaki normal yang pernah menaklukkan hati adiknya yang terkenal keras, lalu bagaimana dengan hatinya yang lembut?

“Gimana mbak?”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Sari. Dia kemudian sedikit membenarkan posisi duduknya.

Sepintas dia kembali berpikir kalau itu bukan ide yang buruk. Ini demi Annisa, demi kebahagiaannya. Maka setelah dia memantapkan hatinya, dia pun menjawab.

“Baiklah saya akan bantu kamu tapi dengan beberapa syarat.”

“Apa itu mbak?”

“Yang pertama saya akan mengajari kamu di rumah saya. Kedua saya hanya akan mengajari kamu saat ada suami saya, jadi kemungkinan malam hari jika suami saya gak lembur atau weekend seperti sekarang. Gimana?”

“Boleh mbak,” jawab Randy mengiyakan syarat dari Sari.

“Kalo gitu mbak boleh minta nomor ponsel kamu? Nanti kalo mbak siap langsung mbak kontak kamu.”

“Eee…maaf sebenarnya saya gak punya hp. Kemarin rusak dibanting sama teh Adibah.”

Sari terkejut mendengar penjelasan Randy. Dia tidak menyangka bahwa ibunya sebenci itu dengan Randy sampai-sampai melakukan perusakan terhadap barang miliknya.

“Hah?! Dia melakukan itu?! Kok bisa?”

“Ya ceritanya kemarin saya mau ketemu Annisa karena di kampus gak kelihatan. Ternyata dia lagi dikurung di dalam kamar sama teh Adibah. Dia gak ngijinin saja buat ketemu, malah hp saya dibanting,” jelas Randy setengah jujur.

Sari menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia merasa tidak enak dengan Randy atas perbuatan Adibah dan apa?! Dia mengunci Annisa di dalam kamar? Itu tidak pernah diceritakan oleh Adibah.

“Maaf Ran, atas nama ibu saya. Saya jadi gak enak sama kamu.”

“Gak papa mbak. Lagian udah terjadi juga.”

“Hp mu merek apa? Biar saya yang ganti.”

“Gak usah mbak, nanti saya beli sendiri saja.”

Sekarang malah Randy yang tidak enak hati.

“Terus nanti kalo saya mau hubungi kamu gimana?”

“Mbak kasih tau aja nomor hpnya. Nanti kalo saya udah beli hp baru saya hubungi mbak. Kebetulan saya pinjem hp temen.”

Randy langsung mengeluarkan ponsel milik Icha lalu menyimpan nomor telepon Sari. Setelah itu pesanan mereka tiba. Anaknya dengan lahap memakan makanan yang tadi ia pesan. Baik Randy maupun Sari tidak memesan makanan hanya cappuccino untuk Randy dan air putih untuk Sari.

Obrolan berlanjut dengan membahas tentang hubungan antara Randy dengan Annisa. Bagaimana mereka bertemu, berpacaran, hingga sampai melakukan hubungan terlarang itu.

Seperti yang sudah dibilang bahwa Sari adalah orang yang punya pikiran yang terbuka. Dia tidak canggung atau terpengaruh dengan bahasan sensitif semacam itu.

Sembilan puluh persen Randy menceritakan dengan jujur, bahkan saat Randy dan Annisa memergoki Reza tengah berselingkuh dengan wanita lain yang jauh lebih tua darinya. Randy hanya menyembunyikan tentang dirinya yang memberi obat perangsang kepada Annisa sehingga dia mau melakukan hal terlarang itu.

Randy juga menceritakan bahwa mereka hanya melakukannya sebanyak dua kali. Oke untuk yang pertama mungkin mereka melakukannya karena khilaf tapi untuk yang kedua dengan kesadaran penuh sepertinya Annisa melakukan itu atas dasar suka sama suka.

Mereka membahasnya dengan sudut pandang objektif dan manusiawi. Karena di dalam tubuh manusia bukan hanya terdapat akal tapi juga nafsu. Kalau berbicara dengan Adibah pasti sekarang dirinya sudah dikata-katai pendosa yang paling hina. Orang yang sok bicara tentang agama tapi kelakuan sendiri lebih bejat.

Tapi Sari berbeda jauh. Dia tidak pernah menganggap orang lain rendah meskipun dengan seorang pelacur sekalipun. Itu yang membuat Randy terbawa suasana.

Dia seolah mendapat lawan bicara yang sepemikiran. Begitu pun juga Sari. Dia tanpa sadar telah berbicara terlalu jauh mengenai keluarganya.

Dan satu rahasia yang selalu ia simpan sendiri tanpa ada orang yang tahu yaitu mengenai hubungan antara Adibah dengan kiai Jamal sewaktu almarhum ayahnya masih hidup.

Bagaimana awal mula ayahnya terkena serangan jantung. Saat itu dia tidak sengaja terbangun pada malam hari ketika mendengar keributan di kamar tamu. Yang dia tahu waktu itu ibunya dan kiai Jamal sedang berada di kamar tamu dan ayahnya yang mencari keberadaan istrinya yang tidak ada di sampingnya saat terjaga.

Tapi Sari buru-buru menghentikan kata-katanya karena sadar tidak seharusnya topik itu ia ceritakan. Praktis hanya Randy yang mengetahui tentang hal itu di samping Sari sendiri. Reza dan Annisa pun bahkan tidak tahu sama sekali.

Sari merutuki dirinya sendiri karena sampai terbuai obrolan yang semakin intim. Pesona Randy diakui mampu membuatnya rileks dan mengalihkan obrolan ke arah yang tidak semestinya.

“Maaf ya, mbak jadi curhat kebanyakan sama kamu.”

“Gak papa mbak, saya bisa jaga rahasia kok. Lagi pula saya kan bentar lagi akan jadi anggota keluarga mbak juga, hehehe…” balas Randy percaya diri.

“Ahh…kamu ini, yang penting kamu sungguh-sungguh belajar. Biar kamu beneran jadi keluarga mbak.”

“Amin.”

Setelah mengakhiri percakapan yang panjang itu bersamaan dengan anaknya yang menghabiskan makanan, mereka lalu beranjak.

“Mau saya antar pulang mbak?” tawar Randy.

“Eh..***k usah, saya mau mampir dulu soalnya,” tolak Sari dengan sopan.

Dia tidak sepenuhnya berbohong. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya untuk menemui Annisa. Lagi pula dia tidak nyaman berboncengan dengan seorang lelaki yang bukan muhrimnya.

“Ya sudah mbak kalo gitu saya permisi dulu, assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Mereka lalu berpisah. Sari kemudian memesan taksi online untuk pergi ke rumah Adibah.

Bersambung

Abg Jembut Lebat Masturbasi Pakai Lipstick
dukun cantik
Ceritaku waktu ritual dengan dukun sakti yang cantik dan montok
gadis bugil
Gara Gara Belajar Ilmu Hipnotis Kakak Dan Pembantu Ku Jadi Korban
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
Bercinta Dengan Yuli Wanita Yang Baru Kenal
terjerumus sexs bebas
Kehidupanku yang terjerumus sexs bebas dan dunia malam
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
Foto bugil abg toket gede masih perawan asli
gadis sampul
Kenalan dengan tante sexy lalu di ajak kerumah nya
Ternyata diperkosa itu tidak selamanya tidak enak
Foto Bugil Abg Bule Toket Gede Jembut Lebat Ketek Berbulu
pijat plus
Menikmati pijatan yang membuat ku jadi terangsang
cewek lagi masturbasi
Menikmati masturbasi di kamar mandi waktu di rumah gak ada orang
Ngewe dengan ibu guru saat liburan