Part #44 : Petualangan Sexs Liar Ku
Tok…tok…tok…
“Assalamualaikum!”
Sari mengetuk pintu rumah minimalis yang ada di kawasan pesantren. Tak lama pintu pun terbuka.
“Waalaikumusalam, loh Sari kok ke sini? Suami kamu kemana?” tanya Adibah yang melihat anak sulungnya sudah berada di depan pintu.
“Tadi mas Pram tiba-tiba ditelfon sama atasannya. Ada pekerjaan penting yang harus diurus.”
“Terus kamu ke sini naik taksi?” ujar Adibah yang menaikkan satu oktaf.
“Enggak kok, tadi mas Pram anterin Sari sampe depan komplek,” balas Sari berbohong.
Dia hanya tidak ingin ibunya marah kalau tahu suami anaknya tidak bertanggung jawab dengan mengabaikannya.
“Kalo tau gitu tadi ikut bunda sekalian naik taksi online. Kasihan suami kamu harus bolak-balik anterin kamu, kan arah kantornya beda.”
“Iya awalnya emang tadi mau langsung pulang tapi mendadak Sari pengin ketemu sama Annisa.”
Adibah melirik sesaat anak pertamanya itu.
“Ya udah kamu tunggu di sini biar bunda yang panggilin.”
“Gak usah Bun, biar Sari aja yang ke kamarnya Annisa.”
Adibah berpikir sejenak. Kalau Sari tahu bahwa dirinya mengunci Annisa di dalam kamar pasti dia akan mengoceh lagi, tapi apabila dia tidak mengijinkan itu akan menjadi kecurigaan. Alhasil Adibah memilih untuk mengantarkannya ke kamar Annisa.
Adibah terlihat mengambil kunci dari dalam laci meja tv yang ada di ruang tengah lalu pergi membuka kunci kamar Annisa diikuti oleh Sari.
“Ya ampun, jadi bener kalo bunda ngurung Annisa di dalam kamar?”
Adibah tidak menjawab hanya mencebikkan bibirnya. Setelah pintu terbuka Sari mendapati adiknya tengah tertidur sambil memunggungi pintu. Dia terlihat sangat mengenaskan.
“Sini Keelan sama Oma dulu ya. Kita main di luar yuk!” ajak Adibah yang langsung dianggukkan oleh cucunya.
Adibah mengangkatnya ke gendongan lalu berkata pada Sari.
“Sar, bunda mohon kamu jangan pengaruhi Annisa buat batalin perjodohan dengan kiai Jamal ya. Awas aja!”
Sari hanya mengangguk pelan tanpa menggubris ucapan dari ibunya itu. Tujuan Sari datang kemari memang untuk menyelamatkan adiknya dari perjodohan bodoh ini.
Setelah Adibah pergi bersama Keelan, Sari lalu masuk dan menutup pintu seraya menguncinya agar tidak ada yang mengganggu.
Annisa tampak tidak bergeming dengan kedatangan Sari. Sepertinya dia benar-benar terlelap tidur.
Kondisi kamarnya sudah seperti kapal pecah. Ini tidak biasa karena Annisa adalah tipe orang yang selalu menjaga kebersihan dan kerapian barang-barang miliknya. Kepalanya tak mengenakan jilbab dan rambut panjangnya diikat asal-asalan.
Sari berpindah duduk di tepi ranjang tepat di depan perut Annisa yang menghadap ke samping. Dengan pelan dia menepuk-nepuk lengan Annisa hingga beberapa saat kemudian dia pun terjaga.
Annisa meregangkan tubuhnya seraya mengucek matanya sambil mengumpulkan nyawa. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Sepertinya sepanjang hari.
Mata Annisa langsung membulat sempurna kala mengetahui yang ada di depannya adalah Sari.
“Kakak!” seru Annisa girang.
Dia lalu bangkit duduk langsung memeluk kakaknya itu. Tangisnya langsung pecah saat itu juga. Sari dengan sabar mengelus-elus punggung Annisa.
“Kakak, hiks…”
Hanya itu yang keluar dari mulut Annisa berulang-ulang.
“Puas puasin nangisnya Annisa, kakak ada di sini kok. Mumpung baju kakak masih kering,” ungkapnya sedikit bercanda untuk mencairkan suasana.
“Kakak, Annisa gak kuat kak. Bunda jahat!” celetuk Annisa penuh rasa frustasi.
“Hush jangan bilang gitu Annisa. Kakak tau bunda cuma pengin yang terbaik buat kamu tapi caranya yang salah,” balas Sari dengan kebijakan level maksimal.
“Ya udah kamu selesein dulu nangisnya. Habis itu kita ngobrol. Kaka ada sesuatu yang mungkin bisa buat kamu jauh lebih baik.”
Beberapa menit berlalu. Annisa benar-benar menuntaskan tangisannya sesuai instruksi Sari. Setelah reda, Annisa mengangkat wajahnya dari bahu kakaknya itu. Tampak baju Sari yang basah membentuk peta buta.
“Udah?”
Annisa hanya mengangguk pelan meskipun matanya masih mengeluarkan kristal bening.
“Emm…coba kamu tebak deh, tadi sebelum kakak Dateng ke sini kakak ketemu sama siapa?”
Sari mencoba mengajak Annisa bermain tebak-tebakan.
“Gak tau kak, kenapa malah nanya sama aku?”
“Ihh tebak aja dulu, nanti baru kakak kasih tau.”
“Siapa? Kak Reza?”
Sari menggelengkan kepalanya.
“Kiai Jamal?” tebak Annisa lagi.
“Ihh ngapain juga kalo kakak ketemu dia kakak ceritain ke kamu. Penting juga enggak.”
“Terus?”
Sari sedikit mendekati telinga Annisa.
“Tadi kakak ketemu Randy!”
Annisa sontak mengernyitkan dahinya.
“Hah?! Randy? Kakak kenal sama dia?”
“Awalnya enggak. Sekarang udah kenal.”
Annisa masih tidak mengerti. Dia butuh penjelasan yang lebih rinci.
“Kok bisa?” tanya Annisa heran.
“Tadi kakak gak sengaja ketemu dia di jalan. Dia hampiri kakak karena ngira kakak itu kamu. Berarti kakak awet muda dong, gak kalah sama adik kakak yang cantik ini,” balas Sari sambil mencubit hidung mancung sang adik.
Annisa tidak terpengaruh pujian itu. Justru yang dia tunggu adalah kelanjutan dari pertemuan itu.
“Terus gimana kak?!” sergah Annisa menuntut kelanjutannya.
“Terus kakak ajak ngobrol. Oh ya awalnya kakak tau nama Randy dari bunda. Bunda selalu bilang yang jelek-jelek tentang dia, padahal aslinya dia baik dan asik.”
“Ngobrol gimana kak?”
Sejenak Sari mendehem karena penjelasannya tidak di anggap oleh Annisa.
“Kakak tanya apa dia bener-bener cinta sama kamu, terus dia jawab iya. Lalu kakak minta dia buat berjuang untuk meluluhkan hati bunda. Dia jawab akan berusaha semaksimal mungkin demi kamu,” jelas Sari.
Annisa memutar bola matanya ke bawah. Tanpa sadar dia menaikkan sudut bibirnya. Hal itu dapat ditangkap oleh Sari yang mengamati Annisa sedari tadi.
“Cieee…cieee…Randy mau berjuang buat kamu tuh,” goda Sari yang melihat wajah adiknya memerah.
“Ishhh…apaan sih kak!”
Annisa memajukan bibirnya beberapa senti. Sari terkekeh pelan karena Annisa salah tingkah. Itu pertanda bahwa dia benar-benar berharap dengan lelaki itu.
“Tapi masalahnya ada di bunda kak. Aku sedikit pesimis kalau apa yang Randy lakukan bisa buat bunda berubah pikiran. Bahkan saat ini bunda udah ada rencana mau khitbahin Nisa buat kiai Jamal.”
“Itu lah alasan kakak ke sini. Yang penting kamu terus ikhtiar dan berusaha. Biar doa mu didengar tuhan yang maha esa. Kakak akan bantu kamu sebisa kakak.”
Annisa tersenyum penuh haru langsung memeluk kakaknya itu.
“Makasih kak. Maaf udah ngerepotin.”
“Ishhh…kamu itu adik kandung kakak, bukan orang lain. Kebahagiaan kamu itu kebahagiaan kakak juga. Jadi kita harus bekerja sama untuk memecahkan batu di hati bunda,” ujar Sari sambil mengepalkan tangan.
Annisa mengangguk tegas. Ekspresi wajahnya sudah tidak murung seperti tadi. Sari adalah mood booster paling manjur untuk semua orang. Tempat curhat paling nyaman.
“Oh ya kamu udah dikurung berapa lama?” tanya Sari.
“Dari kemarin kak. Nisa keluar cuma untuk makan, mandi, sama sholat aja. Bosen banget.”
“Ssstttt…kamu bilang aja sama bunda kalo kamu janji gak akan nemuin Randy lagi. Kamu juga harus kuliah kan?”
“Tapi biasanya Randy suka ke kampus kak.”
“Itu namanya dia yang nemuin kamu, bukan kamu yang nemuin dia. Itu gak termasuk melanggar janji kan?”
Sari kembali tersenyum lebar memamerkan gigi yang putih. Hal itu ditularkan kepada Annisa yang ikut tersenyum.
Sejenak Sari memegang pundak Annisa sambil memijatnya kecil. Dia mengamati adiknya itu dari puncak kepala sampai ujung kaki.
“Nis, kamu kok kelihatan agak gemukan ya? Apa perasaan kakak aja?” tanya Sari yang merasakan bahu Annisa terasa agak menggelembung.
Annisa lalu menunduk memperhatikan kondisi badannya sendiri. Dia pun merasakan hal yang sama kalau dirinya agak melar. Bahkan bra miliknya yang berukuran cup A kini terasa sangat sesak.
“Iya kak, akhir-akhir ini emang nafsu makannya naik. Sering gampang laper. Biasanya dua porsi aja gak kuat sekarang tiga porsi aja kadang kurang, mungkin karena bawaan stress kali,” jelas Annisa.
“Halah, yang namanya stress itu jadi gak nafsu makan bukannya jadi nafsu makan.”
Annisa tidak menjawab. Sari kembali mengamati perubahan tubuh adiknya itu. Dia usap-usap kulit tangan Annisa lalu sedikit mencubitnya, terasa kering.
Sari menggigit bibir bawahnya. Itu adalah gejala yang terjadi padanya ketika awal kehamilan Keelan.
“Kakak?!” panggil Annisa membuyarkan lamunan Sari.
“Gak papa kok Nis. Ehh…Kakak boleh tanya gak?”
“Tanya apa kak?”
“Kapan terakhir kamu mens?”
Annisa memalingkan pandangannya ke pojokan ruangan mencoba mengingat-ingat.
“Bulan lalu kak.”
“Bulan ini?”
Annisa kembali terdiam sesaat sebelum menjawab.
“Harusnya minggu lalu kak.”
Sari menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan.
“Jangan-jangan kamu hamil?” celetuk Sari yang membuat Annisa terkejut juga.
Wajah Annisa seketika memucat. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan hal itu. Itu adalah buah dari ketidak pengalaman Annisa yang teledor saat berhubungan badan bersama Randy.
“Kak, gimana kak? Nisa takut.”
“Tenang Nisa jangan panik, kamu belum tentu hamil tapi kemungkinan iya. Coba kamu cek dulu dan jangan kasih tau bunda. Kita rahasiakan ini. Kalo memang beneran positif dan kamu udah siap untuk ngomong ke bunda, kakak siap jadi pendamping kamu. Jangan ngomong sendiri takutnya bunda kalap,” pungkas Sari mencoba menenangkan.
Dia kemudian kembali memeluk Annisa penuh perhatian. Siapa lagi di dunia ini yang memiliki hati lapang seperti kakaknya itu? Mungkin bisa dihitung dengan jari dan Sari adalah salah satunya. Annisa sangat beruntung memiliki kakak sebaik dia.
“Ya udah kapan kamu mau cek?”
Annisa menggeleng tanda tak tahu.
“Annisa takut kak. Annisa malu!”
“Hmm…kamu belum siap tau kamu hamil apa enggak? Tapi lebih cepat lebih baik. Ingat! Janin di kandungan butuh asupan gizi yang beda. Kalo kamu malu buat beli testpack nanti kakak beliin, kamu tenang aja.”
Annisa kembali menatap wajah Sari yang sangat tulus itu.
“Kakak gak marah sama Nisa kalo beneran Nisa hamil?”
“Kakak gak akan ngejudge kamu karena kakak gak ada di posisi kamu waktu kamu melakukan itu. Kakak yakin kalo kamu punya alasan yang kuat dan kalo kamu memang menyesal dan mau bertobat kakak pasti akan dukung kamu karena semua orang berhak punya kesempatan kedua termasuk kamu.”
Penjelasan Sari benar-benar membuatnya terharu. Annisa merasa bahwa sebagian besar beban di pundaknya menguap begitu saja.
Kalau boleh jujur dia ingin tinggal bersama kakak sulungnya saja daripada dengan ibunya tapi itu tidak mungkin.
“Makasih kak!”
Sari tersenyum sambil mengangguk pelan.
Setelah berpisah dengan Sari tadi, Randy langsung pergi menuju konter hp untuk membeli ponsel baru.
Padahal baru saja bertemu beberapa menit yang lalu tapi entah kenapa perasaan Randy sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya lagi.
Ngobrol lama-lama dengan wanita itu membuat mood Randy meningkat drastis. Randy sudah tidak memikirkan balas dendamnya terhadap keluarga Reza. Baginya apa yang sudah ia lakukan terhadap Adibah sudah cukup untuk m membalas perbuatan Reza terhadap keluarganya.
Cukup Adibah saja yang nantinya akan ia jadikan budak. Apalagi Randy masih memiliki satu video yang tak kalah bagus untuk memblackmail Adibah agar mau menuruti permintaannya.
Tapi tidak untuk Sari. Dia orang yang terlalu indah untuk dijadikan alat balas dendam. Tidak ada pikiran untuk melakukan sesuatu yang negatif terhadap Sari.
Dia hanya ingin bertemu dan mengobrol. Mengungkapkan unek-unek di hatinya. Mungkin menjadi adik iparnya tidak begitu buruk asalkan Randy bisa berceloteh ria dengannya.
Sari berbicara santai layaknya teman, bijak layaknya guru, dan penuh perhatian layaknya ibu. Itu yang membuat Sari begitu Randy kagumi walaupun baru pertama kali bertemu.
“Halo?” jawab seorang wanita dari seberang seberang telepon sesaat setelah Randy mengetikkan sebuah kontak.
“Assalamualaikum,” sapa Randy.
“Waalaikumusalam, maaf ini siapa ya?”
“Saya Randy mbak, ini nomor baru Randy disimpan ya.”
“Oh Randy. Baru aja mbak pulang dari rumah Annisa.”
“Oh ngapain mbak?”
“Cuma mau bilang aja kalo yang di sana lagi berjuang buat dia, hehehe…”
Seketika Randy senyum-senyum sendiri.
“Terus Annisa bilang apa mbak?”
“Dia gak bilang apa-apa sih cuma lompat-lompat dan guling-guling di kasur,” jawab Sari melebih-lebihkan.
“Hahaha…masa iya sih?”
“Iya…ehh kamu udah beli hp baru? Cepet amat. Udah gak sabar ya buat berjuang untuk meluluhkan hati sang calon mertua. Ehemm…ehemm…” sindir Sari penuh canda.
“Udah gak sabar pengin ketemu mbak Sari,” batin Randy.
“Iya mbak. Kira-kira kapan bisa mulai belajar ngajinya?” tanya Randy balik.
“Emang kamu udah siap?”
“Udah dong mbak.”
“Emm…gini Ran, memang ya tujuan kamu itu buat dapet restu ibu saya tapi mbak harap kamu diniati dalam hati kalo kamu itu sungguh-sungguh mau belajar. Jadi kalo semisal cara ini tetep gagal kamu gak nyesel dan terus belajar dan mengamalkan ilmu yang kamu pelajari,” terang Sari.
“Iya mbak saya niat dalam hati.”
“Alhamdulillah. Terus kamu bisanya kapan Ran?”
“Hari ini bisa kok mbak.”
“Hari ini kayaknya gak bisa. Mas Pram lagi keluar, di rumah mbak cuma sama Keelan. Mbak takut aja ada fitnah,” tolak Sari secara halus.
“Gitu ya. Kalo besok gimana?”
“Nanti coba mbak tanya dulu sama mas Pram besok ada kegiatan gak. Soalnya biasanya hari minggu kadang lembur di kantor. Kalo malem biasanya sih di rumah.”
“Ya udah kalo gitu mbak hubungi Randy aja ya kalo mbak bisa ngajarin Randy.”
“Oke deh sippp.”
“Oke deh mbak saya mau pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam. Hati-hati di jalan Randy!”
Telepon lalu ditutup. Randy menghela nafas panjang. Kenapa harus ada Pram sih? Jadi gak bebas. Terus tadi dia bilang lembur? Lembur atau selingkuh? Hmm… mendengar kata selingkuh dia jadi ingat dengan Dewi. Majikannya itu juga belum tahu kalau ponselnya rusak dan nomornya masih berada di dalam ponsel yang sekarang entah dibuang kemana oleh Adibah.
Jangan-jangan dia sudah menelepon Randy tapi tidak aktif. Randy kemudian memutuskan untuk pergi ke rumah Dewi. Dia tidak ingin ada kesalah pahaman di antara mereka.
Sesaat setelah sampai di rumah Dewi, Randy masih berada di depan pintu namun pintu langsung terbuka.
“Papa!” sambut Reihan yang langsung menghambur memeluk kaki Randy.
Dia langsung diangkatnya ke gendongan. Reihan menangis sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher Randy. Tak berselang lama bu Lastri keluar menyusul anak dari majikannya itu.
“Randy lama banget kamu gak pernah ke sini. Kamu sudah dipecat sama nyonya apa gimana?” cerca Bu Lastri kepada Randy.
“Enggak kok Bu. Emang saya lagi gak dibutuhin mungkin.”
Randy mengusap-usap punggung kepala Reihan yang ada digendongnya.
“Den Reihan kangen sama kamu tau! Tiap hari nanyain kamu! Papa kemana, papa kemana. Gitu!”
Randy menatap wajah anak yang bukan anak kandungnya itu lekat.
“Reihan kangen sama papa?!”
Anak itu mengangguk keras tanpa mengeluarkan kata.
“Kalo gitu hari Senin besok Reihan ikut papa main basket ya?!”
Mata Reihan langsung berbinar.
“Anji!” (Janji!)
“Iya!” jawab Randy yang di sambut teriakan girang dari anak itu.
Fokus Randy beralih ke Bu Lastri.
“Tante Dewi ada Bu?”
“Tadi dia pergi sama temennya. Katanya mau ke butik.”
“Cewek apa cowok?”
“Kurang tau loh. Kayaknya sih cowok. Dia cuma nunggu di mobil sih.”
Randy kemudian berpikir. Dia pasti pergi dengan Pram alasannya lembur. Sejenak dia kasihan dengan istri Pram. Sangat disayangkan sekali wanita sebaik itu diselingkuhi.
“Oh ya udah Bu kalo gitu saya titip salam aja buat Tante Dewi. Bilang kalo kemarin hp saya rusak dan nomernya hilang. Ini kasih tau nomer baru saya ke dia ya.”
Randy langsung menuliskan nomor itu di selembar kertas lalu memberikannya kepada Bu Lastri. Setelah itu Randy langsung pamit pulang ke apartemen.
Di apartemen miliknya Randy sedang sibuk mengotak-atik ponsel yang baru saja dibeli. Bukan apa-apa, dia hanya stalking sosial media milik Sari.
Entah kenapa dia merasa sangat ingin tahu lebih banyak tentang wanita itu. Tapi yang didapat hanya kekecewaan. Tidak banyak yang informasi yang bisa diambil.
Akun instagramnya pun terakhir kali update beberapa tahun yang lalu saat dirinya menerima pinangan dari Pram. Wajahnya begitu cantik dan manis, mirip dengan Annisa. Meskipun sekarang jauh lebih berisi. Maklum dia sudah memiliki anak.
“Mentang-mentang hp baru anaknya dicuekin,” sindir Icha yang sedang menyusui Humaira.
Randy memutar bola matanya ke arah mereka berdua. Dia tersenyum lalu meletakkan ponsel barunya di atas nakas lalu menghambur di pelukan dua malaikat itu.
Bersambung