Part #40 : Petualangan Sexs Liar Ku
Malam itu Annisa mematung di depan cermin. Tidak menyangka kalau dia sedang berdandan untuk calon suami yang sama sekali tidak ia harapkan.
Tok…tok…tok…
Pintu kamar Annisa diketuk. Tanpa menunggu ijin dari pemilik kamar, si pengetuk pintu itu masuk.
“Kamu udah siap Annisa?” tanya Adibah yang melihat Annisa masih terduduk di meja rias kamarnya.
Adibah memposisikan diri di belakang Annisa. Melihat wajah anaknya yang muram dari pantulan cermin.
“Nisa, ini bibir diangkat dikit dong, kan mau ketemu sama calon suami kamu,” ucap Adibah seraya menyentuh sudut bibir Annisa lalu ditarik ke atas.
Annisa tersenyum dengan terpaksa. Tidak ada raut kegembiraan sama sekali di wajah Annisa. Padahal biasanya orang yang akan bertemu calonnya pasti akan merasa gembira.
“Sebentar lagi kiai Jamal sampai sini. Inget pesan bunda ya, jangan lihat dari fisiknya tapi lihat ilmu agamanya. Bunda yakin pasti kamu cocok sama dia.”
Adibah memegang kedua bahu anaknya itu. Apa yang dikatakan oleh Adibah sama sekali tidak membuat suasana hati Annisa membaik, justru sebaliknya.
Tak berselang lama, pintu kamar Annisa yang sudah terbuka kembali diketuk. Adibah langsung menoleh ke sumber suara.
“Permisi teh, tamunya sudah datang,” ucap Aisyah sambil menunjuk ke arah ruang tamu dengan menggunakan jempolnya.
Kata-kata itu sontak membulatkan mata Annisa. Sungguh dirinya tidak siap untuk bertemu dengan calon suami pilihan bundanya itu.
Berbeda dengan Annisa, Adibah justru tersenyum saat mengetahui calon menantunya sudah tiba.
“Terima kasih Aisyah, teteh minta tolong buatkan minuman buat tamunya yah,” pinta Adibah yang langsung diiyakan oleh Aisyah.
Setelah wanita itu pergi, Adibah kembali menatap Annisa. Beberapa kali Annisa membasahi bibirnya sendiri dengan lidah. Tangannya memegang ujung khimar yang dipakainya. Dirinya benar-benar gugup.
“Ayo Nisa, kamu udah ditunggu.”
Adibah lalu menuntun anaknya untuk berdiri dari duduknya.
“Istighfar Annisa, tenangkan diri kamu,” imbuh Adibah yang merasa tangan Annisa bergetar hebat.
Annisa kemudian memejamkan mata seraya menghembuskan nafas panjang.
“Astaghfirullah hal adzim.”
Mereka berdua lalu keluar dari kamar untuk menuju ke ruang tamu.
Di ruangan itu tengah duduk seorang lelaki yang mengenakan pakaian ‘thobe’, pakaian jubah khas Arab dan memakai kuffiyah di atas kepalanya.
Dia tidak sendirian. Dia ditemani oleh seorang perempuan yang memakai pakaian serba hitam.
Melihat Adibah dan Annisa datang, kiai Jamal beserta wanita yang ada disampingnya itu langsung berdiri. Adibah kemudian tersenyum ramah.
“Silahkan duduk.”
Mereka lalu duduk secara bersamaan. Sesaat tatapan Annisa bertabrakan dengan kiai Jamal. Untuk pertama kalinya Annisa memperhatikan sosok yang paling dihormati oleh almarhum ayahnya dengan detail.
Pria yang berusia hampir tujuh puluh tahun itu masih nampak sehat diusianya yang sudah uzur, meskipun tampak sebuah tongkat berada di tangan kirinya yang digunakan untuk membantu dirinya berjalan.
Wajahnya hitam keriput dan ditumbuhi jambang yang lebat berwarna putih. Apalagi saat tersenyum terlihat giginya yang kuning dan ompong dibagikan depannya.
Hal itu membuat pandangan Annisa berpaling ke arah wanita disebelahnya yang ia ketahui adalah istri keempat dari kiai Jamal bernama Dila. Melihat perut wanita cantik itu yang besar membulat, membuat Annisa yakin bahwa kiai Jamal masih sanggup melayani para istrinya di atas ranjang.
Usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun, berbeda tiga tahun dari Annisa. Namun meskipun usianya masih muda tapi dia telah melahirkan lima orang anak yang masing-masing berusia delapan, tujuh, lima, tiga, dua, dan apabila ditambah dengan janin yang ada di dalam perutnya saat itu jumlahnya menjadi enam.
Kalau ditotal dari seluruh istrinya maka anaknya berjumlah delapan belas anak. Sudah cukup mencengangkan bukan dengan fakta yang dimiliki oleh Kiai Jamal ini? Itu belum termasuk yang keguguran.
“Ini Ki, anak saya Annisa. Seperti yang sudah saya bilang tentang kondisinya sama kiai kemarin. Semoga kiai mau menerima segala kekurangan Annisa,” ujar Adibah sopan.
Lamunan Annisa buyar seketika. Matanya kembali bertemu dengan kiai Jamal. Pria itu manggut-manggut sembari membelai jambangnya sendiri. Bola mata Annisa berputar ke arah lain dengan cepat.
“Hmm…baiklah, sebenarnya saya agak sedikit keberatan dengan kondisi Annisa saat ini. Tapi karena situasinya sangat tidak baik untuk Annisa maka saya dengan ikhlas akan menerima dia apa adanya,” jawab kiai Jamal dengan sedikit helaan nafas.
Kenapa jadi kiai Jamal yang seolah berada pada sudut yang dirugikan? Justru baguslah kalau dia membatalkan perjodohan ini. Annisa akan sangat-sangat senang.
Adibah tersenyum mendengar perkataan kiai Jamal. Badannya sedikit membungkuk ke depan.
“Baiklah kalau dua-duanya sudah sama-sama setuju. Annisa siap untuk dikhitbah secepatnya kiai.”
Deg…
Annisa tercengang mendengar ucapan ibunya itu. Padahal Adibah belum sama sekali menanyakan tentang persetujuannya.
Dia hanya bilang kalau mereka akan dikenalkan lebih dalam terlebih dahulu. Tapi kenapa Adibah langsung meminta untuk mengkhitbahkan Annisa?
“Bun, Annisa belum bilang setuju! Tadi bunda bilang untuk kenalan lebih dulu kan?” sela Annisa.
“Annisa! lebih cepat lebih baik. Apalagi yang kamu tunggu? Cepat atau lambat kamu akan jadi istri kiai Jamal.”
Annisa mulai menitikkan air mata. Teganya Adibah berbohong kepadanya. Rasa marah dan kecewa terkumpul di dada. Entah dorongan dari mana dia bangkit lalu berlari keluar rumah.
“Annisa!” panggil Adibah tapi diabaikan oleh anaknya itu.
“M…maaf Ki, anak saya mungkin masih syok, jadi…”
“Gak papa saya ngerti, saya bukan sekali dua kali menghadapi situasi seperti ini, contohnya sama Dila,” potong kiai Jamal.
Dia letakkan telapak tangannya di atas paha istri keempatnya itu. Dia tatap mata Dila seraya memberikan kode untuk menyusul Annisa yang langsung dianggukkan oleh istrinya itu.
Annisa berhenti di kebun mirip taman dekat rumahnya. Di sana dia hanya ditemani oleh lampu taman yang menyala terang. Annisa tidak bermaksud untuk kabur, hanya ingin menenangkan diri. Dia lalu duduk di sebuah bangku panjang yang ada di sana.
Tak berselang lama Dila yang menyusulnya sudah duduk di samping Annisa. Wajahnya tenang, dia menatap calon madunya itu dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Mbak Dila!” sebut Annisa singkat.
Dengan perut yang besar membulat, wanita itu masih terlihat cantik dengan wajah yang berseri. Annisa jadi bertanya-tanya apakah Dila bahagia setelah menikah dengan kiai Jamal?
“Annisa, mbak tau apa yang kamu rasakan. Mbak juga dulu gitu kok,” ucap Dila sambil terkekeh.
Annisa membalas tatapan Dila. Sepertinya wanita itu jauh lebih mengerti dengan perasaannya daripada bundanya sendiri.
“Kalo dibandingkan dengan mu, situasi mbak dulu jauh lebih sulit. Mbak dulu dinikahi kiai Jamal waktu mbak masih umur empat belas tahun. Waktu itu mbak lagi main sama temen terus tiba-tiba disuruh pulang. Kirain mbak mau diajak jalan-jalan sama bapak ibu, ehh…ternyata mbak mau dinikahi,” jelas Dila panjang lebar.
“Terus respon mbak gimana?” tanya Annisa yang mulai tertarik dengan kisah istri calon suaminya itu.
“Ya sama seperti kamu. Awalnya mbak nolak keras, ya gimana? orang masih sekolah, masih suka main-main sama temen malah disuruh nikah. Orang tua mbak juga sebenernya gak setuju, tapi waktu itu gak ada yang bisa menolak kiai Jamal. Tau sendiri kan reputasinya seperti apa.”
Annisa mengangguk tanda paham. Ternyata dibalik wajah Dila yang dipenuhi dengan senyuman, terdapat masa lalu yang kelam.
“Terus gimana kehidupan mbak setelah menikah sama kiai Jamal?” lanjut Annisa bertanya.
“Berat, berat banget. Bayangin aja diusia mbak yang belum matang, mbak harus melayani kebutuhan biologis suami mbak hampir tiap hari.”
Annisa bergidik ngeri. Dia ingat saat dia masih empat belas tahun, dia sedang asyik-asyiknya bermain dan belajar. Untung saja kiai Jamal tidak benar-benar melamarnya saat itu, mengingat ucapan kiai Jamal yang bilang bahwa dia sudah tertarik dengan dirinya saat masih SMP.
“Tapi seiring berjalannya waktu mbak mulai terbiasa. Mbak gak didewasakan oleh waktu tapi oleh keadaan. Sekarang justru mbak bersyukur udah nikah sama kiai Jamal, yah meskipun…”
Ucapannya terhenti. Dila menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Nampak seperti orang yang habis keceplosan.
“Meskipun apa mbak?” tanya Annisa penasaran.
Dila buru-buru menggelengkan kepalanya. Berusaha menghapus kata-kata yang barusan ia ucapkan.
“Nanti kamu tau sendiri kalo udah nikah sama kiai Jamal. Mbak takut kamu jadi salah paham dan hal itu jadi bahan pertimbangan kamu untuk melanjutkan pernikahan ini.”
Annisa menggembungkan kedua pipinya karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari Dila. Apapun faktanya, Annisa sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan pernikahan ini.
“Yang kamu butuhkan cuma adaptasi. Mbak yakni kamu bisa melakukannya,” pungkasnya sambil menepuk-nepuk bahu Annisa.
“Emm…mbak, Nisa boleh nanya?”
“Boleh, mau nanya apa?”
“Gimana sih rasanya dimadu? Emang mbak gak cemburu sama istri-istri kiai Jamal yang lain?”
Dila menatap bola mata Annisa sambil menahan sudut bibirnya, menampakkan lesung pipi yang manis di wajahnya.
“Gak ada sama sekali. Mbak sama istri-istri kiai Jamal yang lain hidup harmonis. Justru mbak seneng kalo kiai Jamal nikah lagi.”
“Kenapa mbak?” tanya Annisa.
“Biar mbak lebih ringan aja. Terus terang karena mbak istri paling muda kiai Jamal, mbak yang punya intensitas lebih banyak untuk melayani dia. Mbak cape hamil terus, sedangkan mbak gak boleh KB atau pasang spiral. Dengan nikah sama kamu secara otomatis tongkat estafet berpindah ke kamu. Jangan bosen ngelahirin anak-anaknya ya, hihihi…”
Annisa bergidik ngeri. Candaan itu sama sekali tidak lucu. Justru itu seolah jadi cerita horor yang tidak ingin dia alami.
“Tapi mbak, Nisa belum siap nikah,” cetusnya.
“Belum siap nikah tapi udah pernah gituan, ehh…”
Sontak Annisa mendelik mendengar ucapan Dila. Annisa tidak menyangka Dila tahu tentang hal itu.
“Maaf,” imbuh Dila karena keceplosan.
“Gak papa mbak,” balas Annisa dengan wajah memerah.
“Kalo kamu gini terus kamu gak akan siap-siap karena kamu gak ngalamin sendiri. Tapi kalo kamu udah ngerasain pasti rasanya nikmat deh. Emm…mbak gak lagi ngomongin ke arah situ ya.”
“Maksudnya mbak?”
“Ya nikmat tiap hari didoain sama kiai Jamal, rasanya tentram. Emang beda didoain sama orang yang ilmu agamanya tinggi daripada orang yang biasa aja,” ujar Dila.
Apa bedanya? Bukankah Tuhan tidak pilih-pilih doa mana yang akan dia kabulkan? Batin Annisa.
“Kamu punya pacar ya?” celetuk Dila lagi.
Annisa menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Terus, sama siapa kamu melakukan itu?”
Annisa mengernyitkan dahinya menatap Dila bingung harus menjelaskan seperti apa. Tapi wanita itu seharusnya tidak perlu tahu tentang privasinya bukan?
“Namanya manusia pasti punya khilaf kan? Mungkin itu yang terjadi sama Nisa,” jawabnya enteng.
Dia memilih jawaban itu agar pertanyaan tidak sampai melebar kemana-mana. Mungkin bundanya tidak menceritakan keadaannya secara detail kemarin.
“Ya udah kalo kamu gak mau cerita. Tapi menurut mbak sih kamu termasuk perempuan beruntung loh. Dengan keadaan mu yang emm…maaf sudah gak perawan lagi, kiai Jamal masih mau menikahi kamu.”
Annisa menunduk. Beruntung apanya? Justru dia merasa jadi orang tersial sedunia. Sudah tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri, masih harus dipaksa menikah dengan seseorang yang baginya tidak lazim secara sosial.
“Ya udah balik yuk. Pasti udah ditungguin lama sama mereka,” ajak Dila kepada Annisa.
Dengan ragu-ragu Annisa menyetujui permintaan Dila. Dia kembali dengan rasa berkecamuk di dadanya.
Mereka kembali masuk ke dalam rumah, namun anehnya Adibah dan kiai Jamal tidak berada di ruang tamu.
“Loh mereka pada kemana ya?” tanya Dila yang tak mendapat jawaban dari siapa pun termasuk Annisa.
“Cha!” panggil Randy membuyarkan lamunan Icha.
Malam itu mereka tengah berbaring di ranjang. Icha sedang menyusui Aira dari samping. Pemandangan itu sudah menjadi hal biasa bagi Randy.
“Iya kenapa?” respon Icha sedikit tersentak.
“Kenapa kok lu jadi aneh gitu sejak gue cerita tentang perjodohan Annisa?”
Randy melipat kedua tangannya di belakang kepala. Dia tidak memakai atasan sama sekali, sedangkan bagian bawah hanya mengenakan boxer.
“Bukan apa-apa kok,” balas Icha enggan.
Icha saat itu hanya memakai daster tipis tanpa bra. Itu diminta oleh Randy agar Icha mudah untuk menyusui Humaira saat anak itu butuh.
Randy kemudian memutar tubuhnya ke arah Icha sehingga kini mereka saling berhadapan. Otot dada Randy yang bidang dan bahu Randy yang kokoh menjadi suguhan pemandangan yang mendebarkan bagi Icha.
“Gue tau ada yang lu sembunyiin dari gue.”
“Apa? Gak ada kok,” elak Icha.
Dia masih fokus membelai Aira, menghindari tatapan Randy yang terus meminta penjelasan.
Sumpah, kalau saja Icha tidak sedang berada pada mode imut itu, Randy sudah memaksanya habis-habisan sampai dia mau membuka mulut.
Ya, adegan Icha yang sedang menyusui itu adalah mode imut baginya. Menahannya untuk marah dan mengumpat.
Tinggal bersama anaknya secara signifikan menurunkan kadar arogan terhadap dirinya sendiri. Randy ingin menjadi contoh yang baik bagi putri kecilnya.
Randy menggeser posisinya lebih dekat dengan mereka. Mendekap tubuh Icha, memberikan rasa nyaman kepada malaikat yang berada di antara mereka.
Dikecupnya kening Icha seraya mengelus punggungnya. Randy selipkan tangan kirinya di bawah kepala Icha untuk menjadi bantalan. Icha masukkan wajahnya di ceruk leher Randy. Suasana yang sebelumnya terasa tidak nyaman bagi Icha berangsur reda. Randy mempunyai cara tersendiri untuk membuat Icha menceritakan segalanya.
Icha yang terbuai dengan perlakuan Randy pun membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggang pria itu.
“Cha!” panggil Randy lirih.
“Hmm?”
“Gue gak akan maksa lu untuk cerita tentang kakek-kakek yang dijodohin sama Annisa itu, tapi kalo lu percaya sama gue, gue akan dengan senang hati dengerin cerita lu.”
Kata-kata itu seolah menghipnotis dirinya. Membuat pertahanannya mengendur. Dia mulai mempertimbangkan untuk menceritakan kejadian itu. Kejadian yang sebenarnya ingin dia lupakan karena terlalu tabu dan tidak patut untuk diperbincangkan.
“Lu tau kan kalo gue sayang banget sama kalian. Gue akan ngelakuin apa aja untuk ngelindungi kalian. Bahkan gue rela mati demi kalian.”
Kali ini ucapan Randy bukan bualan semata. Dia benar-benar akan rela berkorban demi Icha dan sang buah hati. Icha tersenyum dan mengangguk pelan.
Setelah Aira melepaskan nipplenya karena terlelap tidur, Icha menaikkan leher dasternya untuk menutupi payudara yang terekspose.
Icha menelentangkan tubuhnya. Kedua tangan disatukan di atas perutnya sendiri. Matanya menatap langit-langit kamar mereka. Randy menyangga kepala dengan telapak tangan agar mendapatkan posisi yang nyaman.
“Jadi begini ceritanya.”
Bersambung