Part #30 : Meniduri Istri Ajo Mansur

“Kalapiah den dak dapek naiak lagi-ma, Seng…” (Burungku gak bisa naik lagi, Seng) kata jo Mansur sedikit ragu-ragu.

“Gak bisa naek… lagi?” kagetku. Itu mimpi buruk bagi seorang pria. Apa karena masalah umurnya? Ajo Mansur sudah berumur 50 tahun dan ia mendapat masalah disfungsi ereksi yang menakutkan ini. Tentu saja aku kaget mendengarnya karena aku tau dulunya dirinya gimana. Dulu dia sehat-sehat saja untuk urusan ranjang karena dulu sebelum menikah dengan istriku, ia sering mentraktirku menikmati cewek-cewek cantik kelas atas kala berkunjung ke Medan untuk urusan bisnis. Ia kerap merekomendasikan cewek-cewek tertentu yang berkenan di hatinya untuk juga kupakai. Para cewek itu kerap memuji kemurahan hati ajo Mansur dalam gelontoran duit yang gak pelit juga. Dan sekarang ia mengalami disfungsi ereksi. Gak bisa ngaceng! Gaswat!

Ia mengangguk membenarkan tangkapanku. Ia benar-benar mengalami itu. Ini benar-benar mimpi buruk pria.

“Jadi istri-istri ajo… belum?” aku segera berhenti di sana karena itu tentunya masalah privasi yang sangat pribadi baginya. Yaa… Gimana ia bisa menggauli ketiga istrinya itu kalo ajo Mansur gak bisa ngaceng? Itu artinya sampe sekarang ketiga istrinya itu masih perawan dong? Wah… Sudah sebulan lebih dianggurin. Gak kunjung dicoblos ya?

“Yaa…. belum…” kembali aku menangkap nada getir di kata-katanya barusan. Ternyata ini kegetiran yang kutangkap sebelumnya. Awalnya kukira karena ia tidak bisa mencampur ketiga istrinya berbarengan. Kek mimpi Harem yang terlintas di otakku kala itu. Ia menepuk-nepuk lututnya seolah masalahnya ada di lututnya tersebut.

“Sudah periksa ke dokter, kan?” tanyaku standar. Siapa itu dokter terkenal yang buat obat untuk masalah ginian…? Agak-agak melambai gitu? Boikot? Boinem?

“Sudah semua cara kulakukan, Seng… Dari dokter di sini… Jakarta… Surabaya… Singapur, Penang… Pake produk-produk semacam itu… Gak ada hasilnya… Sampe kupikir kalo aku ini kena karma… Karma atas nakalnya diriku sebelumnya… Kau tau sendiri… kita sama-sama bisa maen perempuan cantik gila-gilaan… Kita bahkan pernah pesta dan menyewa 5 cewek cantik itu semalaman… Ingat, Seng?” kata ajo Mansur mengingatkan masa-masa indah saat aku masih lajang dulu. Aku sering membanggakan petualanganku itu pada Iyon dan Kojek. Punya saudara kaya raya dan hobinya sama sangat menyenangkan saat itu. Aku berhenti dan ajo Mansur gak pernah mengajakku lagi setelah aku menikah dengan istriku. Ia kudengar tetap lanjut dengan kesenangannya itu dan tak kunjung menikah sampai bertemu dengan 3 wanita cantik jodohnya ini. Mendapat 3 bidadari ini, malah disfungsi ini menyerangnya. Ngenes kali, kan?

“Ah… Jo Mansur ngingatin aja… Karma ya, jo?” aku termangu juga. Bisa jadi ini karma. Hukuman dari Yang Maha Kuasa sebagai peringatan untuk jo Mansur untuk bertobat. Tapi cobaannya berat kali ya Tuhan. Aku turut prihatin padamu, jo. Kami terdiam untuk beberapa lama, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Apa mungkin ini ada semacam gangguan supranatural? Ada yang mengirim gangguan semacam guna-guna, teluh atau santet dan spesifik menyerang kejantanannya. Motifnya bisa apa aja. Dari bisnis sampai romansa. “Apa udah nyoba dukun juga, jo Mansur?” ungkapku memecah kebisuan.

“Udah… Itu termasuk usahaku… Dari medis… non medis… Yang herbal, akupuntur, pijat… Macam-macamlah…” jo Mansur menghitung beberapa ikhtiar yang sudah dilakoninya untuk mengatasi permasalahannya ini. Kalo masalah dukun aku juga gak terlalu yakin dengan kemampuan dukun yang didatangi ajo Mansur karena aku tak tau tingkat keilmuannya. Dukun abal-abal atau beneran? Yang palsu banyak kali. Yang ngaku asli lebih banyak lagi. Yang ngiklan-pun ada. Eneng-eneng wae ini para dukun-wannabe.

“Coba liat tangan kiri ajo bentar…” pintaku untuk melakukan deteksi dini untuk memeriksa apa yang terjadi padanya. Ada unsur magis atau tidak. Ia memandangiku beberapa saat dan lalu mengulurkan tangan kirinya padaku. Pastinya usaha apapun tidak masalah, kan?

Tangan sepupu priaku ini sangat halus, khas orang kaya yang banyak duit yang tak perlu lagi mengerjakan pekerjaan fisik kecuali olah raga untuk kebugaran tubuh. Tubuhnya sehat ditunjang dengan gizi baik dan pola hidup yang juga baik. Hanya tanda-tanda penuaan saja yang mengingatkan kita bahwa umurnya sudah tidak muda lagi, berupa rambut beruban dan sedikit gurat keriput di kelopak mata dan pinggiran pipi. Selebihnya, sosok dan perawakan tubuhnya tak beda jauh denganku yang masih 30-an awal.

Beberapa ruas jarinya kutekan-tekan untuk melihat reaksi yang diberikannya. Kutekan dengan variasi kekuatan untuk mengetahui untuk mencari petunjuk apa yang menimpa ajo Mansur ini dalam kriteria medis atau tidak. Pada bagian jantung dan pembuluh darah semuanya lancar. Bagian lambung dan usus-usus juga lancar. Di bagian ginjal, pankreas dan hati juga lancar. Nah di bagian terdampak ini tidak ada reaksi sama sekali. Ia seperti tidak merasakan apapun sewaktu kupencet ruas jari yang berhubungan dengan si Mansur junior. Bahkan kala kupencet kuat menggunakan kuku jempol-pun gak ngaruh apa-apa.

“Kenapa, Seng? Disitu agak kebas… Gak kerasa apa-apa…” tanya jo Mansur melihatku berusaha memencet ruas jarinya yang kuberlama-lama di sana. Ruas jari itu sampe memerah karena kebanyakan kupencet. Ini teknik yang kutau.

“Ini jo Mansur… Di bagian ini seharusnya titik refleksi kalapiah (burung) ajo… Sepertinya memang ada masalah di sini…” terangku masih memegangi tangan kirinya untuk deteksi lebih lanjut. “Gak kerasa apa-apa, yah?” tanyaku mencoba lagi. Ia menggeleng. Kuambil kunci mobil dan iseng coba kutekan dengan benda itu. Ia tetap tidak bergeming sedikitpun. Normalnya pasti jerit kesakitan kalo ditekan sedemikian.

“Udah… Udah, Seng… Gini… Dengarin ajo…” katanya menarik tangannya. “Dengarin…” ia berusaha menarik perhatianku yang masih terus penasaran dengan masalah ‘gak ngaceng’-nya ini. Aku lalu menunggu apa yang akan dikatakannya. “Kita bersaudara… Kita sepupu dari ayah… Artinya kita bisa saling mewalikan saudara-saudara perempuan kita… Kau bisa menjadi wali adikku kalo dia menikah nanti… Bahkan ajo-pun bisa menjadi wali nikah Selvi besok… Benar, kan?” mulainya. Aku setuju dengannya. Soal wali nikah Selvi besok, aku yang jadi wali adikku, menggantikan ayahku yang sudah tiada.

“Nah karena kita bersaudara sangat dekat… Aseng ajo beri mandat untuk melakukan tugas ajo yang tidak bisa kutunaikan ini… Memerawani ketiga istriku…” katanya tak disangka dan tak dinyana. Kembali lagi aku harus pakai kata ‘out of the blue’ untuk menggambarkan situasi ini. Mulutku sampe menganga lebar mendengar kalimat itu berakhir. Aku sampe ingat betul semua kata-katanya per kalimat. Memerawani 3 istri ajo Mansur yang muda dan cantik itu. Sebuah mandat nyeleneh nih…

“Gak… Gak bisa gitu, jo… Saudara ya saudara… Tapi gak ada orang make istri punya saudaranya sendiri… Itu salah, jo… Sangat salah…” tolakku mentah-mentah. Aku memang penjahat kelamin. Aku sudah menghamili 6 perempuan binik orang di Medan sana. Tapi tak satupun dari mereka yang berhubungan keluarga denganku. Kalo kunikahi mereka-pun tidak ada masalah apa-apa—normalnya. Lah ini, disuruh, diberi mandat sesat untuk menyetubuhi istri saudara sendiri. Itu sangat salah.

“Makanya dengarin dulu baik-baik… Ajo sudah tidak bisa melakukan tugas itu lagi… Tetapi ini masalahnya jauh lebih pelik lagi dari sekedar moral… Paham? Ada nama baik keluarga… Ajo tidak bisa punya keturunan kalau bahkan tidak bisa memerawani satu saja dari mereka… Mereka bertiga itu perempuan baik-baik yang terus bersabar selama sebulan lebih ini tidak disentuh… Tidak bisa menunaikan tugasnya sebagai seorang istri… Mempersembahkan kesuciannya pada suami… Mereka gak akan cerita apa-apa pada keluarganya atau siapapun tentang aib ini… Aib kalau suami mereka yang bernama Sutan Mansur ini bahkan gak mampu memerawani… menjebol tirai suci mereka… Apalagi menghamili mereka… Ajo-mu ini sudah tua, Seng… Duitku banyak… Istriku masih muda… Apa gunanya semua itu kalau tidak ada keturunan untuk kuwarisi kelak?” beber ajo Mansur panjang lebar.

“Mandat ini karena darah kita sama, Seng… Kau yang lakukan ini atas namaku… Kalau-pun istriku hamil… tidak apa-apa… Itu anakku juga seperti juga anak-anakmu merupakan anak bagiku… Hanya kau yang kupercaya untuk tugas ini karena aku tau kau siapa, Seng… Aku kenal kau luar dalam… Kita bahkan sudah pernah berbagi perempuan sebelumnya… Aku rela kau melakukan ini… atas namaku…” ditatapnya mataku dalam-dalam untuk menunjukkan kalau ia serius dengan semua ucapannya barusan. Pening palaku kalok ke gini ceritanya. Aku masuk ke dalam apa lagi ini?

Seminggu kabur dari Medan dan terbebas dari binor-binor yang akhirnya hamil juga, aku masuk ke tawaran dari sepupuku sendiri. Tidak harus sampai menghamili, sih… Hanya sekedar memerawani saja. Ketiga istri ajo Mansur masih perawan. Pukimaaaak! Ketiga perempuan cantik berhijab itu masih perawan dan aku yang disuruh menjebol ketiganya. Tiba-tiba Aseng junior menggeliat bangun mendapat potensi mangsa baru. Sarang baru…

“Gini aja, Seng… Ajo naikkan tawarannya aja sekalian… Kalo kau bisa menghamili salah satu aja dari mereka bertiga… galon (SPBU) yang di Medan itu ajo kasihkan untukmu… Satu aja… Kalau bisa semuanya… akan ajo tambahkan lagi… Bagaimana?” ia menaikkan penawarannya. Gila! Itu galon sudah abis berapa duit yang diinvestasikannya ke sana. Berapa keuntungan yang diperolehnya dari sana? Rela diberikannya padaku demi anak?

“Ibumu sudah banyak cerita tentangmu dan istrimu… Kau sepertinya sangat subur… Kalau semuanya tepat… kemungkinan ketiga istriku akan hamil bersamaan…” lanjutnya menambah bumbu di penawarannya. “Ketiganya sudah memasuki masa suburnya…”

“Jooo… Jangan kek gini-laa… Bingung aku jadinya… Gimana-gimana caranya aku meniduri istri-istrimu? Aku gak akan mau menyerahkan istriku sama siapapun… Matipun jadi… Tapi ini ajo malah menyerahkan semuanya… Semuanya! Itu gak masuk ke otakku, jo?” elakku. Ini bahkan lebih runyam ketika aku menolak kak Sandra ketika di Pangkalan Brandan waktu itu. Itu pada seorang perempuan yang berjasa besar kepada ekonomi keluargaku. Seseorang yang kuanggap seperti kakak sendiri. Ini malah sepupuku langsung… yang menyerahkan ketiga istrinya untuk kutiduri, kuperawani, kugagahi kesuciannya.

“Yaa… Aku juga gak menemukan cara lainnya… Aku juga gak tau orang yang tepat selain kamu, Seng… Selain kita sedarah… aku juga percaya padamu, Seng… Gak ada yang lainnya…” putusnya yakin. Aku terdiam untuk beberapa lama dan ia menunggu jawabanku. Dan ia tidak akan menerima jawaban menolak dariku.

“Yakin, jo?” pastiku.

“Iyo bana!” jawabnya tegas. Teringat aku tentang kata-kata ini dari obrolan dengan ibuku waktu remaja. Kalo orang Minang sudah ngomong ‘Iyo bana’ yang artinya kira-kira ‘Iya sekali’ itu artinya ia benar-benar serius dan bulat dengan keputusannya. Aku yakin dengan ucapan ini karena ajo Mansur juga membenarkan statemen itu. Prinsipnya juga sama. Apalagi ia seorang pengusaha yang kata-katanya harus bisa dipegang.

Berat hatiku menerima penawaran ini sebenarnya. Sebelum-sebelumnya, aku hanya langsung berhubungan dengan para perempuan itu saja tanpa sepengetahuan para suami mereka karena pasti rasanya akan sakit sekali bila mereka mengetahui skandal ini menimpa rumah tanggamu. Pria lain meniduri istri yang kau cintai. Bahkan anak yang dikandung istrimu ternyata bukan anakmu, bukan darah dagingmu, hanya anak orang lain. Tapi ajo Mansur bahkan merelakan aku menyentuh, lebih dari sekedar menyentuh, menyetubuhi istri-istri yang sudah sah dinikahinya, yang tak sanggup ia lakukan sendiri, menjajah kehormatan dirinya sebagai seorang suami, yang berhak penuh penuh atas tubuh istri-istrinya. Hanya kepadaku.

Itu sebuah keputusan yang luar biasa besar bagi ajo Mansur menurutku. Kalo aku, aku lebih baik kehilangan semua hartaku daripada ada orang lain menyentuh istriku. Di saat begini, aku baru paham perasaanku yang sebenarnya pada istriku. Istri yang sudah kunikahi lima tahun lalu. Yang telah memberiku dua anak yang tampan dan cantik. Yang telah bersama denganku selama ini. Yang selalu sabar dengan bermacam tingkah polahku. Aku sayang kamu istriku, ibu anak-anakku.

“Baiklah, jo…”

Mengembang senyum lebar di wajah lelahnya di tengah malam ini. Negosiasinya telah berhasil.

——————————————————————————————————————-
Pagi hari, semuanya kembali sibuk. Ini akan jadi hari yang sangat sibuk. Hari H pernikahan Selvi, adikku dengan calon suaminya Dedi. Prosesi adat Minangkabau yang meriah segera digelar di rumah kami. Tentang proses lamar-melamar yang tak lazim karena pihak perempuan yang memberikan barang seserahan kepada pihak lelaki telah dilaksanakan tadi malam. Sebenarnya hanya simbolis saja karena barang-barang itu keluarga besan kami yang membelinya dan diberikan pada kami seolah-olah kamilah yang menyerahkannya. Hanya agar jalan adat tetap terjaga kelestariannya. Kalo masalah ribet, pake adat apapun pasti ribet, kan?

Ijab kabul berjalan dengan lancar pertanda kedua sejoli itu telah resmi menjadi suami dan istri dan kembali acara makan-makan berlangsung. Jejeran makanan khas Minang digelar di ruang tamu secara lesehan. Semua tamu dijamu hidangan dan makan sepuasnya. Di luar, bernaungkan tenda, pemain organ tunggal sudah memainkan musik-musik penghibur para tetamu yang kebanyakan adalah para keluarga. Menjelang siang baru para jiran tetangga mulai berdatangan. Pokoknya rame dan sibuk seharian.

——————————————————————————————————————-
“Ma… Belum pernah ke danau Maninjau, kan?” tanyaku pada istriku yang memeluk Salwa yang tidur kelelahan. Ia tidur dengan damai di dekapan ibunya. Rio masih bermain di atas panggung dengan kenalannya yang kadang ia bingung dengan bahasanya. Ini sudah lepas Maghrib. Para tamu undangan masih berdatangan tetapi tidak terlalu banyak.

“Dimana itu?” responnya biasa aja. Mungkin karena kelelahan juga.

“Kalo dari sini… ke Bukit Tinggi dulu… Baru ketemu danau itu… Danaunya bagus… Kita kesana rame-rame…” jelasku. “Sekalian liburan juga… Kita nanti nginap di hotel di sana aja…” lanjutku.

“Duitnya, pa? Ini kita ongkos naek pesawat aja udah abis berapa… Udah kita di sini aja sampe habis masa cuti papa…” enggan istriku malah khawatir masalah dana. Memang sih ia tidak tau darimana dana untuk keberangkatan kami ke kampung untuk pesta adikku ini. Tapi uang yang diberikan Yuli di awal perjanjian kami masih ada sisanya. Ditambah Yuli sudah menambahkan sisa 50 juta lagi ke rekeningku. Masalah duit seharusnya tidak ada masalah.

“Tenang, maa… Ini ditraktirin sama sepupu papa yang tajir itu loh… ajo Mansur… Sekalian dia mau jalan-jalan juga sama keluarganya… Masalah duit gak usah mama pikirin-la…” kataku menenangkannya karena ini memang ajakan dari ajo Mansur.

“Yang istrinya tiga itu, pa?” kagetnya mendengar kalo kami diajak jalan-jalan oleh saudaraku. Aku membenarkannya. “Apa kita nanti enggak ganggu mereka, pa? Mungkin dia lagi bulan madu ato apa gitu?” ragunya lagi.

“Gak-laa… Bulan madu mereka udah lewat mungkin… Jalan-jalan aja memangnya kenapa… Sekalian menghibur kita… saudaranya yang lagi datang kemari… Orangnya memang gitu, ma… Royal banget sama duit… Gak itung-itungan… Percaya, deh…” rayuku agar dia mau. Aku bahkan menjelaskan kalo dia juga mengajak siapa saja yang mau ikut, boleh ikut. Keluarga kak Dedek ikut, ibuku ikut. Bahkan dua pengantin baru itu, Selvi dan suaminya juga ikut. Walah ini malah sekeluarga ikut, ya?

“Baik kali dia? Siapa namanya? Mastur? Mansur?” kagum istriku.

“Yaaa baik-lah… Namanya juga sama saudara… Kan?” kataku dengan senyum dikulum. 50% rencana sedang berjalan. Ini berkaitan dengan sebuah perjanjian yang kubuat dengan sepupuku, ajo Mansur tengah malam tadi. Kami merumuskan suatu rencana agar permintaan nyelenehnya bisa terealisasi. Yaitu memerawani selanjutnya kalo bisa menghamili salah satu atau ketiga istrinya. Jadi kami menyamarkan rencana kami ini dengan menyusun sebuah liburan keluarga di beberapa tempat. Bahkan sepasang pengantin baru itu juga diajak. Itung-itung hadiah bulan madu untuk mereka.

Tempat yang bakal kami tuju adalah kota Bukit Tinggi, lanjut ke danau Maninjau lalu ke pulau Cubadak. Dari gunung sampai pantai. Ini liburan yang lumayan lengkap. Dari hulu ke hilir ceritanya. Untuk kepraktisan dan juga kenyamanan kami semua menginap di tempat sama, tentu saja hotel.

Di sebuah hotel di Bukit Tinggi, ajo Mansur memesan beberapa kamar yang dipakai untuk liburan mendadak ini. Keluarga kecil kami tentunya satu kamar, Kak Dedek satu kamar, ibuku satu kamar karena ia ikut bersama sang besannya yang sama-sama janda. Pengantin baru mendapat kamar yang paling OK, VIP untuk keduanya. Untuk Ajo Mansur dan ketiga istrinya, tiga kamar. Masing-masing istrinya tidur terpisah.

Awalnya kami keliling-keliling kota Bukit Tinggi bergerombol besar. Terutama di sekitar Jam Gadang yang merupakan landmark ikonik kota yang sejuk ini. Foto-foto, belanja ini-belanja itu, nyemil ini-nyemil itu, beli suvenir, biasalah… Entah gimana awalnya, jadi terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Aku tentu aja bersama istri dan kedua anakku sedang duduk-duduk di depan Jam Gadang dan kelompok lainnya tak terlihat lagi. Ya, biarlah. Mereka udah pada besar-besar semua, kan? Kalo mau ngumpul lagi ya balik aja ke hotel.

Tapi selama masih bergerombol tadi aku sempat memperhatikan ketiga istri ajo Mansur yang terlihat akrab bercengkrama satu sama lainnya. Mungkin karena mereka itu dasarnya bersaudara sepupu yang jauh lebih paham sifat satu sama lainnya. Jadi mereka tidak terlalu canggung berinteraksi walau berbagi satu pria yang mereka sebut suami. Mereka foto-foto aja seperti tiga orang pemudi cantik yang sedang bersama bapaknya. Lah, kan ajo Mansur itu udah berumur? Rambutnya aja udah pada beruban. Orang-orang wajarnya akan mengira kalo pria itu adalah bapaknya. Pantas, kok.

Ajo Mansur yang dikelilingi tiga perempuan yang berpredikat sebagai istrinya, juga tidak kalah luwes. Ia pandai mengemong ketiganya dengan sikap kebapakan. Digiringnya ketiganya ke sana dan kemari untuk mencari spot foto yang bagus. Kadang ia memfoto ketiganya bersamaan, atau berempat gaya Wefie. Dia bukan pemain baru dalam berhadapan dengan perempuan, hanya saja di umur sekian ini dia baru berkesempatan menikah dan punya istri. Katanya dia sempat menyesal juga kenapa tidak dari dulu ia menikah hingga mendapat kesulitan ini.

Fisik ketiga istri ajo Mansur kebanyakanya tinggi dan langsing. Bahkan cenderung kurus, khas perempuan muda yang baru beranjak dewasa. Nakal aku curi-curi liat tonjolan pinggul atau dada yang mungkin terselip dari hijab panjang dan lebar yang mereka kenakan. Kalo Suli yang berpakaian lebih gaul hijabnya, aku tidak kesulitan menemukan tonjolan itu. Pinggulnya cukup lebar yang artinya berpotensi subur. Sementara dadanya mungil dan imut. Nah, di Ratih dan Mila yang sulit menemukan tonjolan itu karena pakaiannya yang ekstra longgar dan panjang yang memang diperuntukkan guna menyamarkan bentuk tubuh. Normalnya hanya ajo Mansur yang bisa melihat tubuh polos ketiganya, previlege sebagai suami. Hanya sesekali terlihat bentuk kaki karena hembusan angin yang membentuk cetakan tungkai mereka dibalik rok panjang semata kaki, berbalut kaus kaki. Tertutup sempurna.

Menjelang sore, kami balik ke hotel karena sudah lelah berkeliling kota Bukit Tinggi. Menjelajahi kota yang rancak ini. Rio dan Salwa senang sekali naik bendi (sado) keliling kota sampe gak mau berhenti karenanya. Di beberapa kota bahkan sampai di Padang, bendi ini masih digunakan sebagai alat transportasi hingga sekarang. Ternyata semua juga sudah pulang dari berpetualang di kota wisata ini dan sedang istirahat menunggu makan malam. Kembali kami makan bergerombol di restoran hotel, courtesy of ajo Mansur tentunya.

Gimana ukhti Ratih bercadar makan? Memasukkan makanan ke mulutnya yang sebagian besar mukanya tertutup tabir begitu? Heran awalnya pasti. Ia memasukkan sendok itu ke balik khimar cadarnya dan makanan yang tadinya tertampung di cekungan sendok itupun berpindah tempat ke dalam mulutnya. Yah… Gak ajaib sih sebenarnya. Setelah beberapa kali diliat, jadi biasa aja. Dia awalnya agak kikuk makan dihadapan banyak orang yang mayoritasnya baru dikenalnya. Seiring waktu, Ratih mulai santai dan biasa aja makan dengan lahap makanan kegemarannya.

Ukhti Ratih pendiam, yang satunya lebih-lebih lagi. Mila sudah-lah pendiam suaranya juga halus dan lirih sekali. Kalo dia ngomong sewaktu menjawab sesuatu, ia harus mengulangi dua-tiga kali baru lawan bicaranya dengar apa jawabannya. Ratih dan Mila berasal dari pesantren yang berbeda walopun sama-sama ber-mahzab yang sama, pesantren Ratih hanya diperuntukkan untuk wanita hingga banyak dari mereka yang bercadar. Pesantren Mila campuran lelaki dan perempuan walau selama pendidikan tetap terpisah oleh pemisah yang ketat. Keduanya jelas-jelas sangat menjaga pergaulan mereka dan jauh-jauh dari yang namanya kaum Adam kecuali dengan mahram sendiri atau para guru pria yang jumlahnya sangat terbatas.

Lain lagi dengan Suli yang sedikit lebih moderat. Hijab yang digunakannya adalah model yang banyak dipakai hijaber modern yang berwarna-warni. Berbanding terbalik dengan yang selalu dipakai dua saudarinya yang serba hitam-hitam. Komunikasinya dengan kami lumayan intens dan lugas. Karena ia selama ini bersekolah dan kuliah di sekolah konvensional yang tercampur baur pergaulan laki-laki dan perempuan secara merata. Ia juga tidak segan untuk bercanda dengan kami semuanya tetapi masih dalam batas-batas wajar aja.

Ahhh… Gimana ya rasanya… meniduri mereka bertiga? Aku jadi gak sabar menunggu waktunya.

Di meja makan, yang paling banyak dapat candaan, tentu saja sepasang pengantin baru itu. Itu dikarenakan ternyata setelah pisah dari siang tadi mereka langsung balik ke kamar hotel. Yak! Tentu tau kan mereka pada ngapain? Main ludo. Anda benar… Ludo apa judo? Gelut-lah pokoknya. Biasa ya, kan? Tetapi selama candaan-candaan itu, ketiga istri ajo lirik-lirikan. Aku tau artinya karena pengantin baru yang baru kemaren akad nikah aja udah menikmati prosesi belah duren tak lama setelah acara pesta meriah. Lah mereka udah hitungan bulan menjalaninya, belum diapa-apain. Cuma dianggurin aja…

Ajo Mansur lebih ceria malam ini karena kami punya rencana untuk para istrinya. Ia semangat mengolok-olok Selvi dan suaminya yang malu-malu kucing terus disindir tentang status mereka. Ada juga nasehat-nasehat dari ibuku dan besannya. Ajo Mansur juga ikut menasehati mereka secara ia juga sudah berumur, pantaslah memberi petuah sedikit-sedikit walopun dia baru juga-nya menikah. Tentu juga kak Dedek dan aku ikut memberi nasehat bagi mereka sebagai yang lebih senior dari pada mereka tentang masalah rumah tangga.

Lelah beraktifitas di luar ruangan seharian, sebagian besar kembali ke kamar. Yang tertinggal hanya aku, ajo Mansur dan istri ketiganya, Suli. Kami berpindah ke Coffee Shop dan minum-minum sebentar. Suli sudah sedemikian akrabnya dengan ajo Mansur sehingga ia tidak sungkan lagi lendotan ke suaminya walau ada aku disekitar mereka. Bagus deh… Biar lebih akrab.

“… tentu aja dia gak terima diputusin, bang… Tapi yah… mau gimana lagi? Namanya juga cewe… lebih suka dengan kepastian… Pastinya yang melamar lebih utama daripada yang hanya menggombal…” katanya. Ujung huruf ‘L’ di kata ‘menggombal’ barusan, lidahnya berjentik di depan gigi kelincinya. Begitu kata-katanya yang membuatku terpana. Ajo Mansur anteng aja mengelus-elus kepala istrinya bak sebuah tropi berharga yang sudah berhasil ia menangkan dengan perjuangan berat. Gak, jo… Aku gak baper ngeliat adegan mesra kalian itu. Biasa aja itu… *Istriku dimana kau?

“Masa manggil ‘bang’ ke Aseng… Panggil aja nama… Dia adikku, loh…” kata ajo Mansur menatap istrinya mesra.

“Ish… abi? Tapi umur adek kan jauh dibawah bang Aseng… Gak enak aja manggil nama… Kayak gak sopan gitu walau dia adik sepupu abi…” jawabnya masih lendotan mesra bertatapan.

“Ya udah… Yang mana enaknya aja kalo kalo manggil nama awak… Sama-nya itu semua…” kataku menyesap kopi pesananku. Coffee shop hotel cukup ramai malam ini dan untungnya kami dapat tempat duduk yang lumayan cozy dengan sofa yang empuk. “Tapi biar kutebak… Cowok itu masih ngejar-ngejar Suli terus, kan?” tanyaku tentang sang mantannya.

“He he he… Iya… Kukasih aja surat undangan nikahku sama abi… Dia gak muncul-muncul lagi…” kata Suli memeluk lengan ajo Mansur dengan erat dan tertawa kecil. Ah… Ada beberapa penyebab ternyata. Harta dan kemapanan. Pria mapan seperti ajo Mansur tentunya lebih menggiurkan bagi beberapa wanita yang menginginkan kepastian di dalam hidup juga masa depannya. Dibanding dengan pria kere yang hanya modal bacot ato malah mokondo. Ya tentu aja keder berhadapan dengan pengusaha sekelas ajo Mansur. Hartanya banyak. Kalo dibagi kepada 3 istripun masih banyak sisanya.

“Wah… Sadis, yaa? Gak bunuh diri tuh anak? Gantung diri di pohon cabe?” guyonku. Suli tertawa-tawa sambil terus lendotan ke suaminya. Berusaha menunjukkan bahwa ia mesra walau sebenarnya ada masalah di rumah tangga mereka. Seolah tak ada problem di kehidupan mereka.

“Udah yaa, Seng… Kami mau naik dulu… Biar bill-nya ajo charge aja ke kamar… Sana… bobok sama binimu sana…” kata ajo Mansur pamit padaku bersama istri ketiganya untuk balik ke kamar. Kupandangi keduanya yang bergerak keluar dari Coffee Shop ini. Suli masih lendotan pada ajo Mansur dengan mesranya. Entah perempuan muda itu sudah mendapat sinyal kalo dia akan memberikan bukti baktinya kepada suami berupa kesucian yang telah dijaganya selama ini.

Selama menunggu, aku chatting-an dengan para binor di kota Medan yang kutinggal di sana. Yang telah sukses hamil. Sukses kuhamili. Apa yang akan terjadi dengan tiga istri ajo Mansur? Aku hanya punya waktu paling banyak 5 hari lagi di sini. Dan itu akan kami habiskan dengan melakukan liburan berkeliling, terselubung bersama perjanjianku dengan ajo Mansur. Dia sendiri yang telah memikirkan semua caranya, termasuk skenario liburan ini. Ia telah menyiapkan semuanya bahkan penginapan di pulau Cubadak yang terbilang mahal saat ini. Resort di sana biasanya hanya dihuni oleh warga asing dan bayarannya pake mata uang $. Tapi itu sedikit baginya.

Bisakah dalam waktu 5 hari ini aku menghamili satu saja dari ketiga istrinya? Lebih keren lagi kalo ketiga-tiganya hamil bersamaan. Ajo Mansur pasti bakalan senang sekali kalo ketiga istrinya bisa hamil sekaligus. Ahh… Membayangkan itu… Rasanya pasti akan sangat nyaman sekali. Menghamili tiga perempuan muda yang masih perawan. Tapi suaminya ada di sana. Menyaksikan semua itu… Seberapa kikuk situasinya nanti. Diliatin lelaki lain yang notabene adalah pemilik sah dari perempuan yang sedang kau masuki kemaluannya. Itu jelas gila kikuk sekali situasinya. Walopun, ini semua atas persetujuan bahkan permintaan suaminya langsung yang tak sanggup menjalankan fungsi biologisnya.

Diliatin ngeseks sama ajo Mansur bukan hal baru untukku. Dulu, sewaktu masih lajang dulu, aku sudah pernah menyinggung ini sedikit, kami pernah pesta gila-gilaan dengan BO lima PSK cantik. Kelimanya kami gilir tentunya. Tentu aja aku udah liat tubuh telanjang sepupuku itu, ia juga tentunya melihatku dan beserta Aseng junior-ku. Saat itu wajar-wajar aja karena orientasi kami sama–doyan perempuan saja. Ajo Mansur kala itu dengan gagahnya bisa menggasak kelima PSK cantik itu. Bahkan kalo bisa dibilang banyak ilmu yang kutimba darinya di dunia perlendiran ini. Makanya agak tragis juga di kala begini, dengan 3 istri sahnya, ia tak lagi bertaji untuk melakukan hal hebat yang pernah ia lakukan. Harusnya, dengan wewenangnya, walopun dua istrinya yang sangat alim itu, ia bisa mencampuri mereka bertiga sekaligus, seperti yang dilakukannya dengan 5 PSK saat denganku itu.

5 hari? Butuh 3 minggu kurang lebih untuk mendapat kabar kehamilan Yuli, Pipit, Iva, kak Sandra dan Dani. Pada Aida dulu lebih cepat, hanya seminggu saja. Tunggu dulu… Apakah artinya sebenarnya bibitku sudah langsung berhasil membuahi mereka semua pada ejakulasi perdana kalo begitu. Pertama kali ngecrot dan mengisi rahim mereka langsung terbuahi. Bibit-bibit serupa kecebong yang berenang agresif itu langsung membuahi sel telur yang tersimpan di rahim para perempuan itu. WOW… Subur kali aku ini?

Benar juga… Sudah terbukti pada Rio dan Salwa juga. Rio langsung hadir di perut istriku begitu aku bisa mencoblosnya sehabis haidnya berakhir. Di saat bersanding di pelaminan, istriku masih dalam keadaan haid hingga aku uring-uringan selama beberapa hari menunggu siklus bulanan itu selesai. Selepas bersih, langsung cus… jadwal haid berikutnya terlewati dengan penanda dua garis pink di test pack kehamilan. Begitu juga dengan Salwa, begitu program buat anak lagi, istriku lepas spiralnya, cus… Salwa hadir di perutnya. Wah… Aku tidak pernah sebangga ini dengan kesuburanku.

Tapi itu harus juga didukung oleh lahan yang subur di sisi satunya. Gak mungkin juga aku sukses kalo di pihak perempuannya tidak mendukung untuk faktor kesuburanku berhasil. Kebetulan, istriku juga sangat subur hingga kami klop saling melengkapi. Pada keenam binor yang awalnya bermasalah, baik secara fisik maupun non fisik bahkan supranatural terganggu, setelah dikondisikan—bisa hamil dengan sukses. Kebanyakan di kasus yang kuhadapi adalah gangguan supranarural. Kerap kuhadapi langsung para pengganggu itu dan mereka hamil akhirnya.

Ditenggarai, akan ada potensi gangguan juga di kasus ajo Mansur dan tiga istrinya ini. Pada ajo Mansur sudah kudeteksi gangguan tersebut, tinggal pada ketiga perempuan itu saja sisanya karena mereka juga berpotensi punya gangguan juga. Misalkan Suli, sakit hati sang mantan kekasihnya dulu yang ditinggal begitu saja, mungkin akan membuat sang mantan gelap mata dan mengambil jalan pintas untuk membalaskan sakit hatinya. Tentu saja dengan pergi ke dukun. Lagi-lagi dukun. Ada dimana-mana profesi ini ya?

Sebuah foto masuk dari ajo Mansur ke aplikasi BBM-ku. Segera kuperiksa karena pesan darinya pertanda kalo aku sudah bisa mulai bergerak. Kutinggalkan Coffee Shop sambil menunggu foto itu loading sempurna hingga terbuka menampilkan foto apa yang dikirim padaku. Di depan lift loading selesai dan terlihat sebuah foto yang menggiurkan yang kontan membuat Aseng junior menggeliat bangun dari tidur panjangnya. Ini istirahat yang lumayan lama baginya karena sudah berhari-hari ia tidak dicuci.

Suli

Foto Suli yang tidur berbaring tanpa busana sama sekali. Ia tidak memakai hijab hingga rambut hitam legam lebatnya terurai di kepala dan punggungnya. Kulitnya putih dan bersih. Pinggulnya sesuai tebakanku cukup lebar dengan paha gempal dan padat. Kemaluannya merekah merah basah bekas liur ajo Mansur. Sebagaimana juga rona basah kemerahan juga ada di sekitar payudara mungilnya. Yang berbeda adalah sebuah penutup mata yang digunakan Suli. Kenapa ia harus mengenakan itu. Nah… Disini pentingnya benda itu. Penutup mata yang kerap digunakan oleh seseorang kala tidur untuk mengurangi cahaya yang menyilaukan mata, berfungsi sebagai penyamaran taktik yang digunakan ajo Mansur. Postur tubuh dan perawakan kami hampir sama persis. Mungkin kalo ditimbang berat kami mungkin juga beda tipis beratnya. Kalo nanti aku menindih Suli atau istrinya yang lain dan ia/mereka melihat wajahku, pastinya jadi histeris. Paham sampai sini, kan?

Ajo Mansur harus mulai dengan foreplay terlebih dahulu sebelum aku masuk dan meneruskan pekerjaannya. Ajo Mansur sudah melakukan foreplay bagiannya dan mungkin sudah membuat Suli orgasme minimal sekali lalu melakukan tag-team denganku. Dengan cara ini, diharapkan istrinya bisa diperawani atau bahkan dihamili. Masih dengan anggapan kalo ajo Mansur-lah pelakunya. Karena para istri tak melihat—masih mengira suaminya-lah yang meneruskan, memasukkan penis ke kemaluan mereka dan ejakulasi mengisi rahim mereka.

Tanpa suara aku masuk ke kamar ini. Ajo Mansur baru aja bangkit dari depan kemaluan Suli yang dijilatinya. Perempuan muda, istri ketiga ajo Mansur itu masih bernafas terengah-engah menikmati orgasme kesekian kalinya oleh oral suaminya. Dengan cepat tanpa perlu disuruh lagi aku menelanjangi diriku, hanya tinggal memakai sempak. Kulirik sebentar keadaan ajo Mansur yang juga telanjang sebagaimana aku dan Suli, ia berusaha merancap penisnya yang terkulai tak berdaya. Menggantung menyedihkan tak mampu ereksi. Aku ikut berduka, bro.

Biarkan aku yang meneruskan perjuanganmu, bro Mansur. Aseng junior sudah menegang melihat tampilan live Suli yang mengangkang telanjang di ranjang hotel. Pasrah untuk digagahi. Dibayangannya adalah suami tercintanya.

“Tahan yaa, dek… Agak sakit sedikit…” kata ajo Mansur yang berada tepat dibelakangku saat aku memposisikan diri di antara kedua kakinya yang mengangkang lebar hingga vagina berambut lumayan lebat tetapi dicukur pendek itu, merekah menunjukkan isi belahannya. Kacang itil mungilnya, belahan labia minora dan lubang imut yang juga ikut merekah berkedut sisa orgasme, mengundangku untuk masuk. Ajo Mansur menepuk pelan bahuku, pertanda… Maju terus!

Pada ajo Mansur sudah kuajukan 3 pasal perjanjian yang kerap kulakukan. Kami telah berjabat tangan pertanda kami telah setuju akan ketiga pasal itu dan berjanji untuk menepatinya.

1. Hubungan. Aku dan ajo Mansur berjanji kalau di perjanjian ini tidak akan ada emosi yang terlibat. Ajo Mansur berjanji tidak akan emosi atau bahkan marah melihatku menyetubuhi ketiga istrinya di depan matanya. Aku juga tidak akan melakukan apapun yang berpotensi dapat membuatnya emosi. Ini hubungan saling tolong menolong yang dilakukan secara sadar dan dewasa.

2. Kepercayaan. Rahasia ini hanya kami berdua saja yang tahu. Bahkan ketiga istrinya-pun tidak akan tahu. Kami berdua juga tidak akan membicarakan masalah ini kepada pihak manapun, atas dasar apapun, atas alasan apapun juga. Kepercayaan ini adalah kunci utama yang mengikat kami berdua.

3. Masa depan. Apabila ada anak yang hadir di dalam perjanjian ini, anak tersebut adalah anak ajo Mansur secara utuh. Yang artinya semua tanggung jawab adalah di tangan beliau semata dan ia wajib memperlakukannya, membesarkannya dan menafkahinya sebaik-baiknya.

Aku merespon ajo Mansur yang sudah memberikan tanda maju terus dengan menempelkan kepala Aseng junior pada lubang perawan yang hanya berupa liang kecil nan imut sempit. Rasanya hangat, basah dan nyaman. Rasa nyaman itu karena aku tau ajo Mansur merestui semua kegilaan yang kami rancang bersama-sama ini. Ia ada di belakangku. Aku tidak khawatir kalo tiba-tiba ia menyerangku dari belakang, bahkan membunuhku. Ini fungsi perjanjian 3 pasal yang kuajukan padanya. Ia orang bisnis yang kata-kata dan janjinya dipegang erat para relasinya. Ia membanggakan itu juga dan itu yang sedang kunikmati saat ini.

“ZYUUUURRRR…”

Antisipasiku dengan melompat mundur karena aku sudah berada di sebuah alam asing. Sebuah hutan lebat nan gelap. Hanya batang-batang kayu besar yang terlihat tumbuh tanpa daun yang menjulang tinggi di kegelapan sana. Setidaknya aku masih memakai celana dalamku hingga kalau bertarung, tidak terlalu memalukan karena telanjang bulat.

Bakiak Bulan Pencak sudah terpasang di kedua kakiku. Sebilah pedang daun dari tanaman hias hotel juga sudah ada di genggamanku. Aku mencari sang lawan yang sudah mengundangku masuk ke daerah kekuasaannya. Tebakanku benar karena sang mantan sudah datang ke dukun ini. Terdengar geraman yang lirih lagi mendengkur. Sosoknya yang muncul dari kegelapan mulai membentuk siluet seorang pria yang tak sendirian. Ada yang menemaninya berupa mahluk berkaki empat dengan ekor panjang. Harimau besar.

Sosok tubuhnya semakin jelas dengan sedikit cahaya temaram di sekitar sini. Pria itu tidak terlalu tua, mungkin di akhir 40-an atau awal 50-an. Ia memakai ikat kepala hitam dan pakaian hitam-hitam juga. Sebuah sarung diikat dipinggangnya beserta sebuah golok terselip juga. “Kenapa kau mengganggu pekerjaanku?… Pergilah dan jangan kembali…” cetusnya dalam bahasa Minang (yang sudah diterjemahkan). Ia mengacungkan golok pendek itu padaku dengan tendensi mengancam.

“Bapak sudah meneluh saudaraku… Itu tidak bisa kubiarkan… Bisa kita bicara baik-baik… Lepaskan teluh bapak… Dan aku akan pergi…” kataku memberinya pilihan. Tapi tak pernah pulak ada yang mau menerima opsi seperti ini. Udah kek kode etik di kalangan dukun golongan hitam ini untuk berkalang tanah daripada menarik kembali ilmu kirimannya.

“Bicara baik-baik itu kau tidak usah bawa pedang…” sanggahnya menyinggung pedang daunku. Macam betol aja orang ini? Itu dia udah ngacung-ngacungin golok gak diitung? Bawa harimau segala lagi. “Apa kau berani menghadapi datuk penguasa hutan Larangan ini? Inyiek Mandalo Sati…” cetusnya lagi dan mengelus kepala harimau besar yang tak henti menatapku dengan matanya yang berwarna iris kuning menakutkan. Ia mengklaim telah membawa entitas legendaris bernama Inyiek Mandalo Sati dalam bentuk harimaunya.

“Preet!” kataku meludah mengejeknya. “Yang kopikirnya aku ini Menggala kaleng-kaleng? Inyiek Mandala Sati itu kobilang? Kucing garong kek gitu… Awas aja kalo kao ketauan Inyiek aslinya… Abis kao gak bersisa…” makiku dengan kebiasaan burukku lagi. Ini selalu menjadi kelemahanku dan juga nilai plusku. Dengan ini kadang lawan menjadi emosi dan tak terkontrol. Malah sampe keluar bahasa Medan-ku dalam berkomunikasi dengan lawan.

“K-kau?” benar aja. Mukanya memerah padam karena termakan provokasiku. Sudah kenak kao, dunsanak. Tubuhnya menggigil marah. Giginya gemeletuk menahan amarahnya yang menggelegak. “Kau berani merendahkan Inyiek Mandalo Sati ini…”

“Kao pikir aku gak pernah ketemu Inyiek Mandalo Sati yang asli? Mana mungkin dukun kacangan kek kao ini mampu menjadikannya bawahanmu… Kao bawak seribu orang kek kao itu… kakekmu, nenekmu, buyutmu, tetanggamu… Kao bawak semua!… Serbu hutan Larangan… MATI kelen semua dibantenya kek semut… Ini harimau kek gini kao bilang Inyiek Mandalo Sati… Ditipunya berarti kao tuh selama ini…” kutunjuk-tunjuk keduanya dengan pedang daunku. Keduanya semakin gelisah termakan emosi. “Cuma setan biasa aja-nya dia ini paling-paling…” ini mulai mengadu domba keduanya. Bisa menghemat tenaga kalo bisa keduanya malah yang gelut sendiri karena kata-kata manisku. Eh… Manis ya mulutku?

Si dukun mulai melirik-lirik pada si harimau yang menunduk bersiap melompat menyerang sewaktu-waktu. Menyerang siapa aja. Yang terdekat tentunya si bapak dukun itu. “Inyiek Mandalo Sati itu harimau penguasa hutan Larangan… Ini jelas bukan hutan Larangan sarangnya… Dia gak akan pergi dari sana… Aku gak tau ini hutan apa? Hutan punya Perhutani ato apalah… Yang pasti ini bukan hutan Larangan… karena…”

Kalimat bualanku terpotong mengejutkan dengan keduanya bergelut beneran. Kedua mahluk itu berkelahi dengan sengitnya mempertahankan ego masing-masing. Ilmu silat pria itu cukup gesit khas silat Minang yang mengambil posisi rendah dan fokus di kaki sesuai dengan prinsip aliran harimau yang dianutnya. Berhadapan langsung dengan harimau, ia mendapatkan lawan seimbang yang melompat dengan cakar besar dan kuat beserta gigi runcing ampuhnya. Dalam sekejab keduanya sudah mengalami sejumlah luka-luka. Si dukun dengan luka cakaran dan si harimau dengan luka sabetan golok.

Sebagai penonton, aku gak mau dong mati kontol, eh konyol sebagai colateral damage, bystander casualty. Agak melipir menjauh agar tidak terkena serangan nyasar karena pertarungan mereka cukup brutal. Keduanya sama-sama tau kelebihan dan kelemahan masing-masing. Perkelahian Menggala dan mahluk Menggala-nya bukanlah hal baru di dunia kami ini. Ini biasanya terjadi karena kesalah pahaman, kecurangan, penipuan, sampai rekayasa. Perjanjian yang tidak ditepati juga bisa berujung pada pertarungan seperti ini. Si dukun selama ini mungkin sudah sesumbar pada banyak pihak kalo ia sudah menguasai Inyiek Mandalo Sati yang legendaris di dunia supranatural tanah Minang dan barusan aku membongkar kecurangan mahluk yang sudah mengaku-ngaku sebagai entitas legendaris itu. Kalo-lah kelen berdua tau kebenarannya… Bisa terkencing-kencing orgasme kelen berdua.

Saling sabet dan cakar terus berlanjut, aku dianggurin kek ada dari tadi. Enak kalo ada popcorn sama soda, ya? Seru juga pertarungan keduanya. Yang satu udah kek pawang macan. Yang satu macan beneran. Teriakan dan auman pertarungan semakin membahana di tempat gelap ini. Darah dari luka berceceran di tanah yang mengepulkan debu tebal. Bergulingan keduanya merapal beberapa ajian atau jurus andalan. Menyiapkan kuda-kuda baru sementara asa dan nafas semakin melemah seiring banyaknya luka pertarungan mempertahankan ego—yang dipantik oleh mulut manisku.

Aku bertepuk tangan antusias kala duanya saling desak bergulingan di bumi semu ini. Harimau menggigit leher sang dukun kuat-kuat sementara si dukun menikam-nikamkan goloknya ke leher dan kepala harimau. Entah darah siapa yang paling banyak mengalir membasahi tubuh keduanya. Darahnya sudah terlihat sama karena bercampur baur menjadi satu. Keduanya berhimpitan lemas. Pun tak berhenti menyerang lemah. Gigitan harimau tak lagi bertenaga. Tikaman golok tak lagi mampu menembus kulit berbulu loreng harimau.

Harimau yang pertama kali tak bergerak karena banyaknya luka berdarah di bagian lehernya. Mata nanar si dukun beralih menatapku. Nafasnya juga sudah tersengal-sengal hampir mati juga. Aku mendekat karena sudah tidak ada bahaya lagi yang mampu lawanku ini berikan. Setidaknya aku bisa mendengar apa yang ingin ia sampaikan.

“Kau… anggota Ribak Sude?” tanyanya susah payah. Aku hanya mengangguk membenarkan. “Maaf…~~~” ia tak bergerak lagi. Perlahan, lingkunganku memudar. Pohon-pohon besar di sekitarku luruh menjadi transparan. Tanahnya juga memudar menghilang.

Kau terlambat menyadarinya, dunsanak. Bukan terlambat menyadari aku anggota Ribak Sude. Tapi terlambat menyadari kau telah diperdaya. Diperdaya entitas pembohong yang kau kira segalanya. Padahal dusta.

Kembali ke dunia nyata, Aseng junior-ku mencoba mendesak masuk ke liang sempit itu. Bibir Suli rapat menahankan rasa sesak yang dirasakannya menekan kemaluannya. Kemaluan perawannya yang sudah dipercayakan suaminya padaku. Aku menoleh pada ajo Mansur yang terus memperhatikan semua kejadian ini real time. Ia tetap berusaha merancap penisnya. Ada sedikit perkembangan pada kondisi ereksinya. Penisnya tidak selembek tadi tapi belum cukup tegang untuk melakukan penetrasi. Aku balik muka fokus kembali ke tugasku.

“Cnut-cnut-cnut!” rasa enak menyelimuti Aseng junior-ku yang sedikit masuk menelusup ke dalam vagina perawan Suli. Rasa sempit yang menggigit khas perawan ting-ting yang sudah lama tak kurasakan. Sensasi nikmatnya kembali menyerbu memoriku. Menembus selaput dara istriku kala itu. Rasanya ya seenak ini…

Dorong-dorong perlahan hingga semakin dalam Aseng junior menyeruak masuk. Menelusuri relung-relung tak tersentuh selama ini. Aku yang diberi kehormatan oleh ajo Mansur untuk menjamahnya pertama kali. Suli mengerang-ngerang kesakitan dan perih tentunya. Perut ratanya mengetat begitu juga kakinya mengejang. Akibatnya Aseng junior malah jadi semakin terjepit di dalam liang sempit ini.

“Aaauuhh… Sakit, biii…”

Bersambung

Pembantu Tetangga Minta Di Ajarin ML Bagian Pertama
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
Cerita Sex Janda Yang Udah Lama Gak Dipuasin
Cewek lihat bokep
Gara gara nonton bokep bareng tante sri
mamah muda
Mencoba Oral Sexs Dengan Mamah Muda
rekan kerja
Menikmati Tubuh Indah Ratna Rekan Kerja Ku
ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita
istri bejat
Ku biarkan istriku main dengan lelaki yang lain
Petualangan Sexs Liar Ku Season 1
Foto Abg Telanjang Toket Super Gede
Tante hot
Aku Menjadi Kekasih Gelap Tetangga Ku Bagian Satu
dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian satu
Foto tante bokong gede nungging di sodok kontol
Cerita sexs ibu guru liar suka colmek
mertua tersayang
Cerita sex nikmatnya ngentot ibu mertua ku
ibu dosen sexy
Bu Dosen Yang Suka Ngentot