Part #31 : Rintihan Kenikmatan Suli
“Aaauuhh… Sakit, biii…” jerit manja Suli merasakan Aseng junior menyeruak masuk dalam dalam, merobek hymen, selaput dara yang sudah dijaganya selama ini dengan baik.
“Huushh… Sakit, yaa? Sabar ya, deek… Sebentar aja… Huussh…” ajo Mansur menenangkan istrinya yang menggeliat kesakitan masih dengan vagina tertancap Aseng junior-ku. Gimana nih caranya menenangkan istri orang? Agak sulit situasinya. Aku agak segan-segan menyentuh Suli karena ajo Mansur mengelus-elus pahanya untuk mengurangi rasa perih dan pedih akibat robeknya selaput tipis yang rentan itu.
Entah apa yang sudah dikatakan ajo Mansur pada Suli hingga perempuan itu tidak tergerak untuk membuka penutup matanya. Membiarkannya tetap menutupi penglihatannya di situasi ini. Aku menoleh untuk meminta pertimbangan pada ajo Mansur. Ia malah memberi kode memilin dengan kedua jari tangannya. Aku mengernyit karena otak dan nafsuku saat ini gak konek. Oo… dipilin. Pilin?
“Uuh… Mmm… mm… Abiii… Geliii, ih…” erang Suli mendapat pilinan jari jemariku pada dua puting mungil payudaranya yang berwarna kemerahan akibat terangsang berat. Aseng junior di dalam sana diremas-remas oleh cengkraman erat liang kawin Suli yang berusaha menyesuaikan diri dengan ukuran kemaluanku yang ukurannya tidak beda jauh dengan ukuran milik suaminya di kala sehat. Kutambahkan juga sedikit remasan untuk rangsangan tambahan, merasakan kenyal dan lembut payudara mungil yang—selamat… anda bukan gadis lagi!
Cairan hangat mengalir di batang Aseng junior. Ada aliran tipis darah segar. Ini darah perawannya. Ajo Mansur menyadari hal itu dan menepuk bahuku pelan, yang kuanggap sebagai tanda apresiasi. Apresiasi karena telah menjebol perawan istrinya? Itu gila, dunsanak! Lelaki mana yang sanggup melakukan ini? You’re the man! Apakah ia akan tetap begini di dua istri yang lain?
Ajo Mansur menekan pinggulku pertanda ia memintaku untuk memulai menggerakkan Aseng junior di dalam sana. Mengkaryakan kemaluanku di dalam liang kawin istrinya. Ini benar-benar gila. Belum pernah aku ada di dalam situasi ini. Bahkan sang suami menuntunku mengawini istrinya sendiri. Ini pastinya sangat berat bagimu, jo. Aku akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Demimu, jo Mansur.
Istri ketiga ajo Mansur ini meringis-ringis perih kala kugerakkan perlahan pinggulku maju mundur, memompakan perlahan Aseng junior di dalam liang yang baru saja kuperawani ini. Tangannya Suli memegangi perut dengan sesekali mengepal takala kudorong Aseng junior ke dalam liang kawinnya. Kulakukan selembut dan sepelan mungkin karena pastinya masih terasa perih di dalam sana. Dari cerita beberapa perempuan yang kukenal, prosesi buka perawan kebanyakan menyakitkan. Ada yang menggambarkan seperti mulut yang dipaksa dibuka lebar-lebar. Ada pula yang menggambarkan seperti tersayat dan lukanya perih. Pastinya rasanya sungguh pegal dan tertekan sekali saat ini.
Dengan elastisitas pinggulku, kulakukan gerakan maju mundur perlahan di bawah pengawasan ketat ajo Mansur. Kulakukan semua ini sebaik mungkin agar Suli merasa semakin nyaman dari waktu ke waktu. Dari ekspresi wajahnya yang tak dapat kulihat maksimal karena tertutup penutup mata itu, dapat kunilai sudah mulai terbiasa dia keberadaan Aseng junior di dalam liang kawinnya. Ia sudah semakin rileks dan gesekan yang terjadi diantara kelamin kami sudah dilubrikasi cairan pelumasnya. Hangat sepanjang kusodok perlahan juga lentur tidak bisa terlalu dalam.
“U-uh… ahh… uuh.. ahh… Abiiihh… Uuh…ahh…” erangnya meracau meningkahi gerakan teraturku keluar masuk pendek-pendek.
“Lebih cepat ya, deek?” kata ajo Mansur di belakangku. Ini sebenarnya komunikasi tiga arah karena ajo Mansur berbicara secara tidak langsung padaku yang seharusnya tidak boleh ada di sini. Ia menyuruhku untuk menambah kecepatan karena ia bisa menilai kalo Suli sudah mulai rileks dan terbiasa dengan tusukan-tusukan pendek yang kulakukan. Kulakukan lebih dalam dengan dua tusukan pendek dan satu tusukan lebih dalam. Tubuh Suli sedikit melonjak, bereaksi akan satu tusukan lebih dalam itu.
“Biiihh… uh….ah…ah… Uuhh…” erangnya mengusap-usap perutnya dan sesekali mengusap permukaan vaginanya sendiri. Aku mendapat kesan kalo ia berkeinginan untuk menyentuh penis yang sedang menyetubuhinya, tapi masih malu-malu. Disamarkannya dengan mengusap kemaluannya sendiri, jembut pendek yang menghiasi permukaan pubis-nya. “Uh… ah… ah…”
“Mau pegang, deek?” tawar ajo Mansur pada istrinya. Wah gawat nih… Ajo Mansur mendukung istrinya untuk memberanikan diri untuk melakukan hal yang seharusnya wajar saja dilakukan suami istri kala sedang bermesraan. Masalahnya, aku ini bukan suaminya. Hanya peran pengganti yang sangat beruntung di kesempatan ini. “Coba sentuh dikiiit aja… Pelan-pelan aja…” kata ajo Mansur dengan nada mesra. Aku tambah dag-dig-dug jadinya. Pastinya sentuhannya akan sangat nikmat di Aseng junior-ku. Bersalaman langsung aja kami belum pernah. Sekalinya bersentuhan, ia langsung menyentuh si otong.
“Hii… Geli…” kata Suli bergidik geli kala menyentuhkan satu ujung jari telunjuknya. Tubuhnya agak mengerut saat menjangkaukan tangannya pada persatuan dua kelamin kami. Ujung jarinya menyetrum tubuhku, lebih tepatnya kulit Aseng junior. Aku bergidik geli juga. “Lengket basah gitu…” komentarnya pada pengamalan pertamanya menyentuh kelamin pria. Apa ini memang yang pertama? Sebulan ini ajo Mansur dan ketiga istrinya ngapain aja? Apa dia belum pernah memperkenalkan Mansur junior-nya pada ketiga istrinya? Ajo Mansur masih berusaha merancap penisnya sendiri yang belum kunjung menegang. Tapi ada sedikit perkembangan. Sudah ada sedikit penambahan massa penis yang memperbesar volume kejantanannya.
Aku dan ajo Mansur bertipe sama. Mungkin karena bersaudara sepupu kali ya? Kala mode tidur, penis kami hanya sepanjang paling ada 5-an centimeter. Mencuat lucu kalau tidak ada rangsangan diantara rimbunan rambut kemaluan. Kalo ditarik (karena elastisitasnya) akan memanjang ke ukuran maksimalnya. Kalo dalam mode tempur, seperti yang sedang dipakai menggasak vagina Suli saat ini, panjangnya bisa mencapai maksimal 15-16 centimeter.
Penis ajo Mansur sudah memanjang ke ukurannya tetapi lunglai tak berdaya tak mampu tegak. Kalo digunakan untuk penetrasi pastinya akan menekuk terpatah tak sanggup menembus, menusuk masuk. Mungkin setelah jalan perawan istrinya telah terbuka ini, ia akan bisa mencobanya lagi. Tapi masih sangat sempit tentunya. Aku akan terus membantumu, bro.
Ajo Mansur mengarahkanku untuk memegangi pinggul istrinya. Ini tandanya aku bisa gaspol menggasak Suli mengingat rasa enak yang menggelegak di peler dan sekujur batang Aseng junior. “Enak, deek?” tanya ajo Mansur begitu kupegangi pinggul lebar yang semoga subur ini. Gerakan menusukku memompa lebih cepat sekarang. Dalam-dalam.
“Aahh… Ahh… Auhh…” hanya itu jawaban yang bisa keluar dari mulut mungil berbibir tipisnya. Ia menggenggam tanganku yang memegangi pinggulnya agak lebih terlibat dalam persetubuhan ini. Persetubuhan yang telah merobek keperawanannya beberapa saat yang lalu saja. “Abiiih… Bihhh… Enaak, biih… Uhh… mmsshh…” tak dinyana, tubuhnya bergetar pelan. Orgasmenya tidak menghentak-hentak. Hanya saja terasa tubuhnya bergetar-getar beberapa kali. Yang paling mendapat efeknya adalah tentu saja Aseng junior. Diremas-remas kuat di dalam liang sempit ini. Aku gak kuat dan…
“Crooot! Croott! Crroott!” semburan spermaku tak mampu kubendung lagi. Rasanya sangat enak. Entah karena sensasi aneh yang kurasakan saat menyetubuhi binik orang yang orangnya sendiri hadir dan mengarahkanku. Atau memang karena semata sempitnya liang kawin perempuan muda berumur dua puluh dua tahun ini. Yang jelasnya spermaku beserta bibit-bibitnya membanjiri rahim Suli saat ini. Aku tak boleh mengekspresikan enak nikmat yang kurasakan saat ini dalam bentuk suara.
Lekas kucabut Aseng junior dari sana dan tag-team dengan ajo Mansur yang segera menggantikan posisiku. Sepupu tertuaku itu memposisikan dirinya sama persis sepertiku tadi, berada di antara bukaan kaki istrinya yang mengangkang, baru saja orgasme dan juga menerima curahan spermaku. Tanpa ragu ia menempelkan penisnya yang lunglai ke bukaan vagina istri ketiganya itu, ke bekas lumeran sperma kentalku. Dicoba ditusuk-tusukkannya penisnya ke dalam sana tapi apa daya, seperti perkiraanku tadi hanya terpatah, ter… apa ya namanya yang cocok? Pokoknya gak bisa masuk-lah. Sedih juga ngeliatnya. Sepupuku itu bahkan gak bisa menggauli istrinya.
Karena dilihatnya aku sedang memperhatikannya bermain-main dengan vagina istrinya yang becek oleh spermaku, ia memberiku kode untuk cepat-cepat ngumpet. Ngumpet? Ya… Ngumpet. Aku segera menggerakkan tubuhku ke bawah ranjang hotel. Aku bersembunyi di bawah ranjang hotel masih dengan Aseng junior yang setengah tegang abis ngecrot barusan. Masih berlepotan sisa sperma di sepanjang batangnya. Masih terasa enak di bagian kepalanya. Tapi itu tak kuperdulikan. Masih terbayang-bayang di ingatanku ajo Mansur yang berusaha memasukkan kemaluannya ke vagina istrinya. Ia gagal.
Ia menggunakan licinnya jalan kawin istrinya yang berlumuran spermaku. Bahkan memanfaatkan kondisi itupun ia masih juga gagal dengan kondisi penis lembek tak bertenaga. Pastinya nafsunya sudah di ubun-ubun. Ia sudah onani dari sejak mula dan tak kunjung ejakulasi juga. Apa yang sedang dirasakannya saat ini. So pasti kentang abis-abisan. Aku hanya bisa mendengarkan pembicaraan mereka dari bawah sini. Sementara sepasang suami istri itu sedang bercengkrama di atasku.
“Gimana, dek? Masih sakit gak?”
“Abiii… Masiih, nih… Masih perih-perih… Tuh, kan… Ada darahnya…”
“Itu tandanya adek masih perawan… Abi bersukur adek bisa menjaganya sampai sekarang… Gak seperti cewek-cewek lain zaman sekarang itu…”
“Abii… Adek kan cuma sekedar pacaran aja… Paling cuma pegang tangan aja udah gemetaran nih badan…”
“Bagus, deh…”
Mendengar perbincangan mereka secara rahasia bak maling begini tentu aja membuatku kheki setengah mampos. Membayangkan ajo Mansur sedang bercengkrama dengan istri termudanya, memilin-milin puting mungilnya, menciumi bibirnya, atau menggesekkan jari di vaginanya. Menggambarkan itu di pelupuk mataku, membuat nafsuku kembali terpantik kembali hingga Aseng junior terbit lagi staminanya.
“Akhirnya ya, bii… Abi sudah sehat dan bisa melakukan malam pertama kita yang sudah lama tertunda… Abi apa make obat-obatan itu? Produk yang mana?”
“Ada deh pokoknya… Adek pokoknya terima enak aja… Mau lagi, gak?”
“Mau dong, bii… Adek persembahkan semuanya untuk abi seorang…”
“Pake lagi ya penutup matanya…”
“Kok mesti pake penutup mata sih, bii… Kita kan sudah halal? Adek gak keberatan, kok?”
“Takut abi…. nanti adek kaget liat kalapiah abi… Serem tau…”
“Adek gak takut, kok… Tadi kan udah nyentuh… Mana coba?”
“Gak usah, deek… Percaya deh sama abi… Tutup yaa…”
Tak lama terlihat kaki ajo Mansur mencecah lantai dan jarinya memberi kode untuk ronde kedua. Ajo Mansur percaya kalo aku bisa melanjutkan sampai ke ronde dua ini. Ini juga untuk meningkatkan pamornya di mata istri ketiganya ini. Bahwa sebenarnya, suaminya ini adalah pria jantan yang bisa memuaskan istrinya. Mungkin nantinya Suli akan bercerita pada saudari-saudarinya; sesama istri ajo Mansur.
Beringsut keluar aku dari bawah ranjang dengan Aseng junior yang sudah dipastikan ngaceng keras. Ajo menatap nanar pada senjata benda tumpulku itu. Semoga kau tetap pada pendirianmu, jo. Kau yang menginginkan ini semua. Kau yang mendesakku. Jangan berubah pikiran di saat genting begini. Dengan gerakan kecil kepalanya, dia mengarahkanku untuk menyetubuhi istrinya untuk kedua kalinya malam ini.
Masih dengan posisi konvensional. Gaya missionary, man on top. Kuhampiri belahan kaki Suli yang dengan luwes membuka lebar. Merasakan keberadaanku yang dikiranya suaminya. Ajo Mansur tetap di belakangku, berdiri di luar ranjang, memberi arahan bak seorang sutradara bokep mengarahkan para bintangnya. Kupandangi lagi tubuh polos Suli yang langsing dan mulus. Hanya ada empat titik noda di tubuhnya, dua di puncak sepasang payudaranya, satu di perut sebagai pusar dan satu tumpukan besar jembut pendek.
Kuarahkan Aseng junior ke belahan vaginanya yang sudah kuperawani beberapa saat lalu. Ia menjengit bereaksi begitu kepala Aseng junior menyumpal kembali liang kawinnya. Sisa spermaku membantu Aseng junior tergelincir masuk walau sempit. Kembali kuperagakan gerakan lembut mengayun-ayun fleksibel agar Suli merasa lebih nyaman di ronde kali keduanya merasakan persetubuhan. Persetubuhan yang dikiranya dengan suami tercinta.
“Miring ke samping ya, deek…” ajo mengusulkan posisi baru. Suli yang masih hijau soal seks tentu saja tidak paham apa yang dimaksud suaminya. Ajo menepuk bahuku agar mengarahkan tubuh Suli sesuai permintaannya. “Gini, deek…” katanya lagi lembut selagi tanpa melepas pertemuan kedua kelamin kami, kuarahkan kaki kanannya melintang hingga miring berbaring ke kiri. Di posisi ini baru terlihat jelas seberapa lebar pinggulnya hingga berbentuk bagus bagai biola. Biola karena ia bertubuh mungil dengan pinggul cukup lebar.
“Aahh… biii… Ini enak, biii… Lebih enaaak… lebih enak dari yang tadi… uuhh… Auhh…” racaunya memuji-muji pilihan posisi suaminya. Aku berpegangan pada puncak pinggulnya dan tangan Suli meraih punggung tanganku. Terasa tangannya yang halus lagi hangat. Ia meremas-remas tanganku selagi Aseng junior terus mencoblos vaginanya. Posisi ini memang sangatlah enak. Ini salah satu posisi favoritku karena ini memang andalan dari ajo Mansur yang kupelajari darinya. Ia kerap menggunakan posisi ini kala ingin cepat-cepat ejakulasi saat kami bertualang lendir dulu.
Merasakan yang sangat nikmat dari saling bergesekan kelamin begini, aku mempercepat sodokanku. Ajo Mansur pastinya tidak keberatan kalo aku cepat-cepat ngecrot lagi di liang kawin istrinya ini. Kugasak terus Suli dengan sodokan cepat, mengejar rasa enak terasa menggantung di ufuk kesadaranku.Suli terus mengerang-ngerang karena ini memang sangat nikmat di kedua pihak yang bersetubuh.
“Aahh… ahh… biii… A-biihh… Abiiihh… Uuhh…” tak dinyana ternyata Suli kembali mendapat orgasmenya dengan tubuh yang bergetar-getar pelan. Aseng junior terasa diperas di dalam liang kawinnya. Sungguh hebat istri ketiga ajo Mansur ini, ia bisa menikmati seks pertamanya ini dengan mendapatkan orgasme di tiap rondenya. “Oohh… oohh… Abii…” erangnya merasakan lonjakan setruman listrik melanda tubuhnya.
Tangan ajo Mansur maju melewati bahuku memberi kode arahan baru dengan memutar tangannya. “Putar lagi ya, deek…” Putar? Mau di-doggy si Suli ini? Apa dia mau, ya?
“Haa? Apa diputar, biii?” tanya Suli tak paham apa maksud suaminya. Aku menurut pada ajo Mansur dan mengarahkan pinggulnya untuk berputar lebih ke kiri ia menelungkup. “Ngapain ini, bii?” tentu saja Suli bingung mau diapakan dirinya diarahkan menelungkup. Aku bisa melihat semua bagian belakaang tubuhnya. Punggung mulusnya, Lekuk pinggulnya yang lebar dengan pinggang langsing. Rambut hitam legam panjangnya. Kulit putih tak bernodanya.
“Tenang aja, dek… Enak kok…” kata ajo Mansur percaya diri aja. Padahal aku cukup khawatir takutnya perempuan ini menolak posisi yang lumayan tidak lazim bagi beberapa kalangan. Ada yang bilang posisi bersetubuh ini hanya dilakukan para (maaf) hewan. Ajo Mansur menepuk bahuku mengarahkanku untuk ‘go!’. “Sebentar ya, deek…” Aku masih kurang yakin dan menoleh padanya, lebih pada untuk meyakinkan diri saja kalo dia yang bertanggung jawab akan semuanya. Ajo Mansur mengangguk dalam dengan yakin.
Segera kutempelkan Aseng junior setelah menekuk pantat Suli yang lembut agar lebih mencuat tepat sejajar denganku. “Ehh… Apa ini, bii?” kaget Suli. Walau dengan penutup mata yang menghalangi pandangannya, ia berusaha menoleh pada suaminya yang ada di belakangnya.
“Tenang aja, deek… Nikmati aja dulu… Abi jamin ini lebih enak,,,” kata ajo Mansur mencegah istrinya untuk menoleh ke belakang lagi apalagi membuka penutup matanya. Perutku mendadak mulas ketika Suli protes tadi. Aseng junior yang sudah menempel di sasarannya masih urung kudorong masuk jadi masuk tercelup tak sengaja karena pergerakan pantatnya. Walo sekadar tercelup bagian kepalanya, akibat becek sisa spermaku juga, rasanya sudah lumayan enak karena liang kawinnya masih sangat sempit.
“Aahh…” erang Suli karena dengan nakalnya ajo Mansur mendorong pantatku hingga Aseng junior terbenam masuk dengan sempurna dan perutku berlaga bersentuhan dengan sepasang buah pantat Suli yang empuk juga lembut. Aku juga hampir mengerang karena rasa nikmat yang tiba-tiba menderaku.
Cepat-cepat aku berpegangan pada pinggulnya yang lebar dan secara otomatis mulai memompa. Ahh… Enak sekali binik orang ini. Tadi sudah hampir ngecrot dan tertunda karena orgasme Suli dan ganti posisi ini. Aku hanya bisa menikmatinya. Menikmati rasa nikmat yang menyelimuti batang Aseng junior-ku. Juga visual dari benturan yang terjadi antara perutku dan pantatnya yang bergetar tiap bertumbukan. Ter… ter… ter… Bergetar tiap bertumbukan. Indah sekali.
“Enak juga, bii… Lebih enak dari yaanngghh tadiii… Uumm…” erang Suli ternyata juga menyukai posisi anjing kawin ini. Baguslah ia tidak protes lebih jauh dan ikut menikmatinya. Kurasakan ajo Mansur menepuk punggungku lagi sebagai tanda ‘benarkan?’ “Uuhh… Uhh… Lebih cepat, biii?” pinta Suli sudah sangat menikmati status barunya sebagai seorang wanita sesungguhnya yang sudah menikmati seks secara aktif.
Selagi memegang pinggulnya, kuremas-remas juga pantat lembutnya. Ikut menikmati dirinya yang mulai ikut aktif dan menggerak-gerakkan pinggulnya meliuk-liuk. Sodokanku juga menjadi liar karena harus aktif mengikuti tiap arah liukan mautnya. Kadang berputar-putar, kadang hanya condong ke satu arah. Ke kiri, sodokan Aseng junior tentunya menggasak, menggesek lebih banyak ke kiri. Begitu pula sebaliknya.
Ajo Mansur berdecak-decak kagum akan kepintaran istrinya ini, berkali-kali ia memujinya langsung yang kuwujudkan dengan menyodokkan Aseng junior kuat dan dalam hingga ia melenguh kencang. “Auuhh… Biii… Enaakk, biii… Uuhh… Aahhnn… Lagiihh, bii…”
Suaminya yang terus menyemangati kami berdua terus berusaha merancap penisnya yang tak kunjung bertambah ereksinya. Hanya tegang tanggung lembek tak berdaya yang terus menerus dikocoknya walau sudah sedemikian rangsangan yang diterimanya dari dua ronde yang sedang berlangsung ini. Kasihannya tidak ada pertambahan perkembangan di kondisinya ini. Walopun begitu yel-yel penyemangatnya mampu membuat Suli bertambah semangat menikmati ini semua.
Suli menyambut tiap sodokanku dengan menekankan pantatnya mundur hingga tumbukan tubuh kami semakin menghentak dan hasilnya Aseng junior tertanam lebih dalam. Rasanya jadi nikmat. Sungguh Suli sangat alami meresapi insting prokreasinya dalam berkembang biak. Ia dengan mudah beradaptasi akan apapun. Semoga nanti saat kau sudah sembuh nanti, kalian akan bahagia selamanya, jo.
Aku menunjuk-nunjuk ke Aseng junior pada ajo Mansur. “Deek… Udah mau keluar lagi, deeek… Ohh… oohh…” tanggap ajo Mansur akan kodeku karena ini sudah lumayan lama dari ronde ini dimulai. Geli-geli enak yang menggelegak di pelerku, menunggu untuk disemburkan. Tak kurang kencang juga ajo Mansur merancap penisnya mengikuti semakin cepatnya sodokan dalam-dalamku.
“Akh!” kusamarkan suara mengerangku dengan menggigit tangan sendiri karena rasanya sangat enak sekali. Enak banget! “Croot! Croott! Croottt!” berkedut-kedut Aseng junior menggelontorkan muatan cairan kental putihnya ke dalam liang kawin Suli untuk kedua kalinya malam ini. Tak disangka lagi, Suli juga menyambut semprotan spermaku dengan orgasme juga. Tubuhnya bergetar-getar pelan juga. Rahimnya pasti lebih membuka lebar pintu akses masuknya, menyambut semua setoran spermaku.
“Ah… ahh… ahh-bii… Eh-naahkk, biii…” erangnya juga masih bergetar-getar pelan kek HP menerima panggilan telepon. Suaranya merdu kek ringtone poliphonik, menyuarakan kepuasannya. Enggan kulepas Aseng junior sebenarnya, tapi aku harus tag-team dengan ajo Mansur sekarang. Aseng junior lepas dari sarang barunya meninggalkan jejak kental putih berbuih, aku turun dari ranjang dan digantikan ajo Mansur. Ia buru-buru mencoba menempelkan penis lunglainya di vagina berlumuran sperma istrinya.
Dengan bantuan jari, kulihat ajo Mansur melebarkan belahan kemaluan istrinya hingga kepala penisnya berhasil masuk menembus lubang sempit itu. Sedih aku melihat penis lembek itu dijojoskanya ke dalam liang kawin istrinya yang berselemak spermaku. Meleyot peyot bengkok tak berdaya walau sedemikian becek liang itu adanya. Berlipat-lipat batang penisnya walau bagian kepalanya sudah terselip sempurna di dalam sana. Ia terus berusaha menyodok-nyodok bokong istrinya sembari meremas-remas pinggulnya gemas. Aku sempat melihat gurat sedih di matanya yang pinggirannya mulai keriput.
Ajo Mansur memberiku kode kalo aku sudah boleh pergi dari kamar ini dengan cara ia menidurkan Suli yang masih dipepetnya rapat. Di posisi itu Suli tidak akan bisa melihat siapapun di belakangnya walo penutup matanya telah dibuka. Kupakai kembali pakaianku sampai lengkap, gak ada yang ketinggalan dan langsung keluar dari sana sesenyap mungkin tanpa suara. Aku tidak masuk ke kamar sendiri, dimana anak dan istriku sedang tidur. Melainkan kembali ke Coffee Shop di lantai bawah lagi. Cuci keris di toilet Coffee Shop, ngaso sekitar setengah jam, ajo Mansur menyusulku dan duduk lagi mesan kopi.
“Jo… Aseng minta maaf ya, jo…” kataku begitu pelayannya pergi. “Aku gak nyangka kalo masalahnya segitu berat…” aku berusaha salim padanya, mencium tangannya, menunjukkan betapa aku ikut bersedih untuknya. Juga kalo aku sudah melakukan salah padanya atas perlakuanku pada istrinya, walopun ia yang minta itu semua.
“Kau salah apa? Kok pake minta maaf segala?” katanya berusaha se-cool mungkin. Laki-laki mana sih yang bisa tetap cool setelah melihat istrinya disetubuhi laki-laki lain? “Udah gak usah kek gitu, Seng… Kan ajo yang minta kau melakukan ini semua… Udah… tenang aja… Ajo gak akan nyalahin Aseng, kok…” katanya duduk dengan nyaman di sofa Coffee Shop.
“Aseng liat semua, jo… Kalapiah ajo gak mau berdiri gitu… Aku sedih ngeliatnya, jo…” kataku. “Padahal dulu kita waktu sama-sama sehat… gak ada masalah kek gini… Aku gak sampe hati liatnya, jo…” kataku.
“Nasib ajo-mu ini, Seng… Pokoknya Suli udah diperawani… Tinggal Ratih dan Mila… Kau masih siap, kan?” kata ajo Mansur berusaha woles dengan semua masalah peliknya.
“Malam ini semua, jo?” kagetku. Ini gak sesuai perjanjian kami.
“Ya enggaklah… Besok-besok aja… Ajo yakin kau masih sanggup… tapi ajo-mu ini yang gak sanggup…” jelasnya bersandar senyaman mungkin di sandaran sofa.
“Aseng penasaran nih, jo? Mulai kapan ajo gak berdiri gitu lagi? Tepat setelah menikah atau sebelum-sebelumnya?” tanyaku. Ini bisa jadi titik awal penyembuhannya juga.
“Kurang tau pasti juga, Seng… Sekitar 2 bulan sebelum menikah… ajo masih bisa tegak kok waktu make cewek di Kalimantan… Abis itu… trus… gak pernah make lagi karna sibuk kerja dan langsung ada kesempatan dengan 3 istriku ini… Malam pertama… ajo kaget sekali gak bisa tegak lagi… Padahal itu Ratih udah ajo rayu abis-abisan supaya mau buka semua pakaiannya… Stres sekali ajo malam itu… Awalnya kirain karna capek ato apa… Besoknya masih gitu juga waktu bareng Mila… Besoknya gitu juga sama Suli… Apa ajo benar-benar disantet orang ya, Seng?” panjang lebar malah ia mengambil kesimpulan ini.
“Iya… ajo disantet orang…” jawabku.
“Kok kau tau?” tanyanya dengan kening berkerut. Aku hanya menatapnya dengan diam mencoba meyakinkannya kalo aku tau aja tanpa berusaha menjelaskan caranya. Cara bagaimana aku bisa tau. “OK… Kau gak mau memberitau bagaimana kau tau kalau ajo disantet orang… Kenapa dukun-dukun yang sudah ajo datangi gak bisa menyembuhkan ajo? Mereka yang sudah ajo datangi ini bukan sembarang dukun… Dukun paling terkenal dan paling mahal tarifnya di Indonesia ini…”
“Buktinya ajo belom bisa ngaceng, kan?” sergahku. Ia menarik kepalanya sebagai bentuk defensif dari awalnya semua tubuhnya condong ke arahku. Paling terkenal ato paling mahal belum tentu ampuh. Itu hanya trik marketing, apalagi kalo sang dukun sampe iklan di media dan muncul dimana-mana. Bahkan ada yang nongol di TV dengan embel-embel mutakhir para-psikologi.
“Trus…” ia mulai ngeh nih. “… artinya yang telah menyantet ajo ini sangat sakti… sampe semua dukun-dukun hebat dan mahal itu gak sanggup… Gitu?” simpulnya.
“Bukan, jo… Bukan begitu… Mereka salah mengobati… Yang disantet itu bukan ajo langsung… melainkan ketiga istri ajo Mansur… Suli… Ratih dan Mila… Mereka bertiga sudah kena santet… Tapi tidak berdampak langsung pada mereka melainkan pada suami mereka… Ajo Mansur… Ini santet yang simpel tapi menjengkelkan… Tapi… ada tapinya… Dilakukan oleh tiga subjek yang berbeda-beda… Suli oleh dukun yang disuruh mantannya itu… Sedang pada Ratih dan Mila belum tau siapa… Kebetulan yang aneh karena jenis santet yang mereka kirimkan itu sejenis… membuat suami korban tidak bisa ngaceng kalapiah-nya… Ada kemungkinan sumber ilmu santet ini berguru pada satu guru yang sama… hingga santet ini saling melengkapi menjadi berlapis-lapis…” panjang lebar kujelaskan pada ajo Mansur.
Terheran-heran ajo Mansur mendengar penjelasanku karena selama ini ia tidak pernah tau aku bisa mengetahui hal-hal beginian. Ia hanya mengenalku sebagai seorang Aseng yang begitu-begitu aja. “Yakin, Seng?”
“Tadi udah bisa agak naik dikit, kan?” tanyaku tentang keadaan penisnya yang sedikit ada perkembangan.
“Eh… Iya-iya… Udah agak berisi dikit… Sebelum-sebelumnya gak pernah kek gitu… Sudah kau obati?” ia sudah teringat tentang kejadian barusan. Aku hanya mengangguk pelan. Gak mau nyombong.
“Aseng mau nanya ini, jo… Itu juga gak nembak-nembak, ya? Gak pernah keluar gitu?” kataku gantian condong padanya dengan suara pelan agar ia tidak tersinggung ato apalah. Ia terdiam untuk beberapa saat lalu mengangguk dalam dengan kesal. Ini sangat kurang ajar. Kurang ajar sekali. Aku sudah menyaksikan satu penyebab ini semua meregang nyawa, jo. Aku sudah membalaskan sakit hatimu. “Jadi gimana terusnya, jo? Lanjut?”
“Lanjut!” jawabnya cepat tanpa pikir panjang.
————————————————————————————-
Keesokan harinya, sekitar jam 10 pagi kami sudah check out dari hotel dan beranjak ke tujuan berikutnya. Danau Maninjau. Jaraknya sekitar 36 kilometer dari kota Bukit Tinggi dimana kami saat ini. Danau itu terletak di tengah-tengah Kabupaten Agam. Untuk mencapainya harus melewati atau menuruni tikungan fenomenal yang berjumlah 44 sehingga dinamakan sebagai Kelok Ampek Puluah Ampek atau Kelok 44. Serius ada 44 kelokan sampe ada penanda yang menunjukkan ini kelokaan keberapa. Kalo dari Bukit Tinggi, rute menuruni kelokan adalah yang kami hadapi.
Menikmati keindahan danau Maninjau ini dari jauh, spot terbaiknya ada di kelokan 23 sampai 30 ditandai dengan banyaknya penginapan dan hotel di sepanjang kelokan ini. Berhenti di salah satu spot untuk menikmati pemandangan danau yang seluas itu membentang indah, bergabung dengan pengunjung lain. Kami di sana selama satu jam dan lanjut berkendara lagi. Ajo Mansur mengarahkan kami pada sebuah penginapan berkonsep bungalow yang ada di tepian danau. Tempatnya bagus, nyaman dan juga bersih. Satu bangunan ada yang memiliki dua dan tiga kamar yang cukup etnik sekaligus elegan untuk menarik turis manca negara yang merupakan pengunjung mayoritas.
Aktifitas kami di sini gak jauh beda-beda dengan kemarin di waktu di Bukit Tinggi sebelumnya. Banyak foto-foto, shopping-shopping pernik khas sini, jalan sana jalan sini. Biasa-lah kalo di tempat wisata di dekat air. Aku dan keluargaku lebih banyak main-main di pinggiran danau yang airnya dangkal. Ibuku dan besannya hanya duduk-duduk ngobrol di cafe penginapan. Aku tidak tau kemana ajo Mansur dan ketiga istrinya berada. Begitu juga dengan sepasang pengantin baru itu. Rio, anakku bermain sepuas-puasnya di air danau yang cukup jernih dan bersih. Beberapa turis bule lainnya juga berenang pake bikini sesukanya. Ada juga yang main kano. Cuci mata, lumayanlah.
Menjelang sore kami ngumpul di sudut cafe tidak bercampur dengan turis bule yang sepertinya sedang merayakan sesuatu dengan berisik. Pastinya akan ada beberapa botol miras yang beredar. Ternyata adikku dan suaminya jalan-jalan ke bukit di belakang penginapan karena mereka mendengar ada air terjun di sana yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Ia menunjukkan foto-fotonya. Tempatnya bagus sekali. Besok nyobain juga ke sana juga-ah. Ajo Mansur juga jalan-jalan, hanya saja cukup di pinggiran menelusuri tepian pantai. Berjalan bersama, menggiring ketiga istrinya agar lebih akrab, lebih mesra. Pastinya mereka foto-foto lagi mengabadikan keindahan sepanjang pinggiran danau yang berpanorama indah.
Selesai makan malam para perempuan sudah balik ke kamar masing-masing. Hanya tinggal aku berdua bersama ajo Mansur yang masih bertahan di cafe penginapan, ngobrol-ngobrol ringan.
“Tadi sepertinya Suli sudah cerita ke saudara-saudaranya yang lain… kalo tadi malam dia sudah…” cetus ajo Mansur tentang prosesi belah duren Suli yang sudah sukses terlaksana malam kemarin. Aku menangkap kembali nada getir itu.
“Jadi malam ini… yang mana, jo?” tanyaku sambil mengaduk-aduk es teh manis milikku.
“Kalo bisa dua-duanya ya, Seng? Dua-duanya minta tuh…” kata ajo Mansur mencoba memalsukan keceriaannya. Bagaimana mungkin seorang pria bisa ceria di situasi seperti ini? Di saat kau tak mampu melaksanakan tugas yang biasanya sanggup dilakukannya, harus didelegasikan pada orang lain yang anggaplah sudah dipercayanya. Kalo cuma urusan dinas kantor sih fine-fine aja, tapi ini urusan ranjang, loh.
“Dua-duanya minta? Gimana ceritanya?” tanyaku antusias. Ajo Mansur lalu menceritakan tentang saat jalan-jalan menelusuri pantai danau siang sampai sore tadi. Ada kalanya ketiga istrinya hanya mereka saja yang bercengkrama. Ia bersyukur kalo mereka adalah sepupu yang sudah sangat saling mengenal hingga ia tidak kerepotan menyatukan ketiganya. Lain kasusnya kalo mereka sama sekali asing satu sama lain. Itu akan menjadi permasalahan tersendiri dan kerapnya bermasalah. Dari saling ngobrol itu, ajo Mansur menangkap kalo Suli sudah cerita kalo sang suami tadi malam sudah berhasil memperawani dirinya. Itu artinya suami mereka bertiga sudah sembuh dari apapun yang dideritanya. Wajah ketiganya berseri-seri sekali setelah membicarakan itu. Terutama Ratih dan Mila yang pastinya mendambakan giliran mereka selanjutnya.
Itu menjelaskan aura bahagia yang kulihat dari ketiga istri ajo Mansur sepanjang acara makan malam tadi. Mereka menjadi riang dan rajin berbicara. Berbeda saat masih di Bukit Tinggi kemarin. Ratih dan Mila lebih ekspresif ngobrol dengan kami semua. Bercerita tentang keindahan yang sudah mereka nikmati sepanjang hari ini. Keduanya bergantian bercerita sedikit tentang pengalaman mereka saat mondok di pesantren tempat mereka menimba ilmu sejak SMP itu.
Selvi sempat nanya jenis pesantren yang ditinggali Ratih karena dikiranya pesantren itu sama kek pesantren kilat saat liburan Ramadhan saat sekolah dulu. Ratih menjelaskan kalo di pesantrennya hanya ada santriwati saja, kerennya Ukhti saja. Sepanjang mata memandang hanya ada perempuan saja termasuk para Ustadzah pengajarnya. Hanya ada 3 laki-laki di pesantren di pelosok negeri Pagaruyung itu, itupun sang Buya pemilik pesantren dan dua ustadz senior yang sudah seumuran dengan sang Buya. Kadang ada beberapa tukang yang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang tidak bisa dilakukan penghuni pesantren dan itupun sangat jarang. Selvi terheran-heran gak bisa ngebayanginnya. ‘Berarti gak ada yang pacaran di sana, ya?’ simpul Selvi. Itu pertama kalinya aku melihat Ratih tertawa walo tidak ngakak dan keras. Hanya terkikik geli saja mendengar pernyataan itu. Matanya terlihat menyipit kala itu dibalik cadar niqob-nya. Lah ini nyamain dunianya sendiri. Pacaran itu termasuk dosa, yak?
Mila juga urun cerita tentang pesantrennya yang tidak begitu mirip persis dengan pesantren Ratih tadi. Di pesantrennya ada santri pria juga tetapi tidak bercampur dengan santriwati. Selalu ada pembatas antara kedua gender ini dalam kesehariannya. Dari ibadah, belajar dan kehidupan sosialnya. Kalo mau cuci mata ya harus pandai-pandai curi pandang mencari kesempatan. Karena ia cerita ada saja yang ketauan pacaran di luar pesantren dengan berbagai macam trik dan taktiknya. Ini artinya pesantren dimana Mila menimba ilmu lebih moderat tetapi tetap menjaga norma-norma relijinya. Dibanding Ratih tadi, Mila ini lebih ekspresif karena lokasi pesantrennya ada di kota hingga lebih dekat modernnya kehidupan penghuninya yang berasal dari banyak kalangan juga. Pastinya tempat itu tidak seketat pesantren tempat Ratih. Apalagi para pengajarnya juga banyak ustadz-ustadz muda lulusan luar negeri yang pastinya jadi idola para ukhti ini. Setidaknya jadi bahan khayalan mereka sebelum tidur dan bahan gosip juga.
“Ajo ada pernah nanya-nanya gak… apa pernah ada orang yang tidak senang sama mereka? Ato yang malah cinta tapi ditolak… Semacam-macam itulah… Karena ini selalunya dilakukan oleh orang yang sakit hati karena masalah begini ini…” tanyaku tentang potensi santet lainnya. Ini tidak wajib aku ketahui sih sebenarnya tapi kalo ada sedikit gambaran siapa pelakunya akan sedikit membantu agar tidak terlalu buta saat menghadapi lawan nanti.
“Kalo ajo rasa… untuk Ratih tidak dari kalangan pesantrennya pelaku santet ini… Mungkin dari keluarganya sendiri… Ratih itu anak perempuan paling tua di keluarganya yang akan mewarisi semua harta warisan adat ibunya… Ibunya pemangku adat di suku… Bisa dipastikan nantinya itu akan jatuh pada Ratih nantinya…” jelas ajo Mansur. Mm… Gimana ya ngejelasinnya ya? Hukum agama dan hukum adat Minangkabau agak bertolak belakang di hukum waris ini. Di hukum Islam tentunya yang mendapat hak waris paling besar tentu saja anak laki-laki, sejumlah 2/3 dari seluruh harta orang tuanya. Sedang anak perempuan hanya 1/3 saja. Tetapi di hukum adat Minangkabau secara keseluruhan, anak perempuan mendapat porsi terbesar. Anak lelaki bahkan bisa gak dapat apa-apa sehingga lelaki Minangkabau banyak yang merantau untuk mencari peruntungan di tempat lain. Tetapi ini untuk harta yang berupa harta adat yang turun menurun saja, seperti Rumah Gadang, sawah adat dan semacamnya. Harta yang diperoleh orang tua semasa hidupnya dengan usaha sendiri tetap dikenakan hukum agama. Tambahan sedikit. Tidak seperti suku Batak yang memiliki marga, Minangkabau menyebutnya sebagai suku. Jadi ada Piliang, Chaniago, Koto, Tanjung, Jambak dan lainnya. Itu bukan marga melainkan suku. Seperti diriku yang bersuku Chaniago. Jadi nama lengkapku Nasrul Chaniago.
“Dari keluarga, ya?” ulangku garuk-garuk dagu krik-krik mulai tumbuh lagi jenggotku yang dua hari lalu dicukur habis. “Masuk akal juga… Kalo Mila?” tanyaku lagi.
“Kayaknya mirip-mirip sama Suli… Cuma saja… mungkin laki-laki itu tidak sempat menyatakan apa-apa jadi tidak pernah berhubungan sama sekali… Hanya jadi pengagum rahasia di kejauhan saja…” cerita ajo Mansur tentang istri keduanya, Mila. “Tapi tidak tau siapa karena menurut pengakuan Mila… ia pernah mendapat beberapa surat cinta tanpa nama dari orang-orang yang berbeda… Tentu saja cuma dicuekin karena memang Mila gak pernah tertarik dengan hal-hal begituan… Hanya belajar dan ngaji aja taunya…” lanjut ajo Mansur sambil mengetuk-ngetuk meja ini dengan ujung jarinya. Kadang orang jenis itu bisa jadi sangat berbahaya. Bisa berubah menjadi psikopat di lingkungan yang tepat. Seharusnya cepat-cepat disikat. Kita gak tau apa yang ada di otaknya. Apa yang dikhayalkannya saat sendirian? Apa yang dikatakannya pada dirinya sendiri saat sendirian? Apa yang dilakukannya saat sendirian?
Kami terdiam untuk beberapa lama tenggelam dengan pikiran masing-masing. Aku tentu saja bercabang. Satu ke siapa yang menyantet istri-istri ajo Mansur dan satu ke ngayal enaknya saat belah duren dua istri ajo yang tersisa. Di yang pertama, Suli udah enaknya ampun-ampunan. Ini menunggu dua lagi menunggu antrian. Aku juga mengkhayalkan gimana bentuk tubuh dua ukhti berhijab lebar dan gamis longgar seperti mereka. Apalagi gimana wajah asli Ratih dibalik cadar yang selalu dikenakannya di tempat umum. Hanya ajo Mansur dan para mahram-nya yang tau bentuk parasnya. Suli dan Mila berwajah cantik, pastinya akan sangat sempurna jika Ratih juga sama. Walopun itu semua milik ajo Mansur tentunya.
Sekitar jam 9 malam, ajo Mansur permisi untuk masuk ke kamar. Ia memberitahuku kalo pertama kali ini adalah giliran Ratih, sebagai istri pertama. Kemungkinan kalo sesuai rencana, giliran Mila menyusul sebagai istri kedua. Kupandangi sekilas wajah penatnya yang beranjak ke bungalow dengan tiga kamar itu. Masing-masing kamar berisi satu istrinya yang memilih tidur terpisah. Menanti sang suami menyambangi peraduan mereka dengan sabar.
Aku sendirian di kafe ini. Tidak sepenuhnya sendiri karena di keriuhan sana, para turis bule muda itu merayakan sesuatu dengan dentingan gelas dan botol. Suara-suara ngawur parau berbaur dengan suara musik Top 40 dari sound system cafe bernuansa serba kayu. Kadang mereka tertawa-tawa atau bernyanyi mengikuti alunan musik dengan riang gembira. Masih muda-muda. Masih seumuran ketiga istri ajo Mansur. Mungkin baru tamat kuliah sebelum masuk ke dunia kerja, pikirku. Kembali aku ber-chatting ria dengan para binor nan jauh di Medan sana.
Aida: dedek bebi titip salam ke papa Aseng katanya
Yuli: sehat bg aseng uda mamam?
Ppt: lama ya sampe kerasa geraknya
Iva: toni kimak pigi mancing lg. kemari dong bang
Dani: belom tidur bang
Sandra: cepet w gatel lg nih buruan pulang lu
Kimbek nih memang kak Sandra. Aku baru 4 hari cuti udah disuruh masuk cepat-cepat. Kalo tentang keempat binor lainnya… yah gitu deh. Seperti biasa masih ada sedikit aura baper pada mereka kecuali Dani dan kak Sandra yang mengalihkan rasa itu ke satu sama lain. Berbagi rasa tidak padaku. Bagus juga, sih. Beberapa kali bahkan ada yang mengirimkan foto-foto seronok bagian tubuh tertentu, pose seksi tertentu berpakaian atopun tidak. Apalagi Pipit yang punya banyak stok outfit seksi pembelian suaminya. Iva lebih banyak mengirim foto selfie dengan mimik menggoda saja. Yuli tentu saja membanggakan aset 38DD-nya di tiap kiriman asupan ransum-ku.
Aseng: sabar ya bidadari surgaku. tunggu abang pulang AWOKAWOK
Serbuan balasan kembali menghujani aplikasi BBM-ku minta oleh-oleh ini, minta dibawain itu. Cape dee…
A. Mansur: masuk kamar nmr 1
Nafasku tiba-tiba berat, jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya, mataku pedas membaca pesan dari ajo Mansur yang mendadak masuk ini. Ia sudah bersiap-siap siaga dengan Ratih. Ia sudah menyiapkan istri pertamanya ini untuk segera kucoblos keperawanannya. Istrinya yang paling relijius di mataku karena selalu memakai cadar untuk menutupi mukanya dari pandangan orang lain selain suami dan keluarganya sendiri. Ratih minimal sudah dibukain bajunya dan cadarnya sama ajo Mansur untuk dicumbu foreplay.
Mengendap-endap aku bergerak ke bangunan bungalow di mana ketiga istri ajo Mansur beristirahat sambil menunggu foto yang dikirimkan menyusul kemudian ter-loading sempurna hingga terbuka. Bisa kupastikan kalo ini adalah foto Ratih yang sudah dipreteli pakaiannya. Di beranda yang menghadap 3 pintu kamar itu aku berhenti. Ada nomor di tiap pintu kamar. Suli yang sudah kuperawani kemarin ada di dalam kamarnya bernomor 3, sendirian berselimut dingin kawasan danau Maninjau yang sejuk ini. Uap air dari danau menyelimuti tempat ini sehingga sejuk apalagi daerah ini dataran tinggi.
Foto selesai loading dan terpampanglah gambar Ratih yang tidur menelentang dengan pakaian yang berantakan. Ia tidak memakai gamis, hijab dan juga rok panjangnya. Ia hanya memakai sebuah bra hitam berenda-renda dan sebuah kain sarung yang tak sempurna menutupi perut dan sebagian besar pahanya. Rambutnya panjang hitam bergelombang, beriak bagai air di sekitar tubuhnya yang langsing serupa Suli juga. Payudaranya cukup besar menurutku. Lebih besar dari milik Suli 2 ukuran cup setidaknya. Payudaranya basah oleh ludah ajo Mansur yang ketat mencuat berkat bantuan bra yang belum dilepaskan itu. Vaginanya tersingkap sedikit tersembunyi kain sarung yang digunakannya untuk sekedar menutupi tubuhnya agar tidak terlalu telanjang bugil bahkan dihadapan suami sendiri. Mulus dan hanya berambut halus serupa rambut jagung muda, kemerahan. Yang paling kuperhatikan, sampai ku-zoom perbesar adalah bagian wajahnya yang tanpa cadar. Ratih juga secantik Mila dan Suli. Aku sudah menebak dari matanya dan ternyata benar. Satu keluarga besar yang cantik-cantik ternyata.
Senyap suara pintu kamar nomor satu ini ketika kudorong dan aku segera bisa melihat pemandangan yang tadi hanya bisa kulihat di foto saja. Ajo Mansur meletakkan jarinya di bibir sebagai kode tetap diam tak bersuara. Ratih sudah memakai penutup mata setelah di foto tadi. Ia masih berbaring terengah-engah. Agaknya ajo Mansur barusan saja membuat istri tertuanya ini orgasme lebih beberapa titik sentuhan. Pahanya yang putih mulus lagi jenjang masih bergetar-getar. “A-abii… Enaak, bii…” suara merdunya yang langka sangat renyah terdengar saat ia mengerang. Akan sangat menyenangkan melesakkan Aseng junior-ku ke dalam tubuhmu, Ratih.
Tanpa disuruh lagi, aku langsung meloloskan semua pakaian yang kukenakan kecuali sempak. Kali ini aku lebih bersiap karena dapat dipastikan aku akan berhadapan dengan lawan lagi di istri pertama ajo Mansur setelah sebelumnya di Suli ketemu lawan. Aseng junior kukeluarkan dari balik sempak dan ia langsung mengacung menantang, siap menghajar lawan. Siapapun! Ayo maju sini. Hehehe.
Ajo Mansur yang turun dari atas ranjang ini juga telanjang, masih berusaha merancap penis lunglainya. Aku menggantikannya dan naik ke ranjang. Menghadap ke arah Ratih yang menelentang pasrah bakal dikawini. Sabar, jo… Aku janji akan menyembuhkan penderitaanmu ini. Mansur junior-mu segera akan bisa berkokok lagi seperti sedia kala. Ia hanya memperhatikan kemaluan istrinya yang kudekati. Yang sedang didekati Aseng junior yang mengacung keras meradang. Urat-urat di sekujur kulit batangnya menonjol gagah, berkilat-kilat mentereng. Ia terus merancap penisnya, konak abis walau tak berdaya lebih lanjut.
“Abi masukkan ya, deek…” gumam ajo Mansur di belakangku juga menandakan kalo aku diizinkan lanjut. Kuoles-oleskan kepala Aseng junior-ku dengan cairan licin yang ada di bukaan vagina Ratih yang terasa hangat dan basah. Ia memperbaiki kain sarung yang tak sempurna menutupi tubuhnya. Ia berhasil menutup pusar dan sebagian besar bagian bawah tubuhnya.
Mulut Ratih mendesah-desah seperti kepedasan dengan banyak huruf S. Bahkan sudah seperti ular yang mendesis karena hembusan nafas pendek-pendeknya akibat kemaluannya sudah ditempeli sebuah benda tumpul berjuluk penis bernama Aseng junior milikku. Merekah melebar bukaan liang kawin Ratih karena desakan kemaluanku. Ajo Mansur sudah melaksanakan tugasnya untuk merangsang istrinya terlebih dahulu dengan perangkat foreplay yang lengkap. Oral di sekujur tubuhnya pasti karena Ratih sudah lemas oleh sergapan orgasme setidaknya sekali. Aku harus bersiap…
“FYUUUURRR…”
Aku melompat mundur ringan menggunakan keahlian silat yang bertahun-tahun kupelajari dari berbagai guru. Juga berkat bantuan bakiak Bulan Pencak yang sudah mempersenjatai kakiku. Kuambil dua helai daun pandan yang tumbuh di depan bungalow, yang tadi kusembunyikan di belakang lipatan sempakku dan langsung berubah menjadi pedang daun Utara dan Selatan. Pedang ini cenderung wangi walau tadinya disimpan disitu. *hoeks!
Tempat ini tidak gelap pun tidak juga terang. Orang ini masih galau mau berpihak kemana. Sebuah tanah lapang yang kosong dengan rerumputan tipis selang seling dengan tanah merah. Sejauh mata memandang, hanyalah cakrawala langit kelabu seperti dini hari atau sore menjelang malam. Arena ini sering dipakai pelaku ini untuk berlatih, terlihat dengan banyak bekas-bekas tapak kaki dan tangan dimana ia melatih jurus-jurus yang kuperkirakan adalah jurus harimau. Ada goresan-goresan tipis juga.
Harimau lagi? Ada banyak kebudayaan di Nusantara ini yang cenderung mengagumi harimau sebagai hewan kuat dan tangguh. Melambangkan kejantanan dan juga ketangkasan. Apalagi di daerah Minangkabau sini. Ada silat yang mengkhususkan dirinya dari gerakan-gerakan harimau. Itu tidak asing bagiku karena aku juga pernah belajar silat ini sehingga aku tau apa yang akan aku hadapi. Dengan begitu dapat dipastikan kalo lawan kali ini berasal dari lokal sini-sini aja.
Terdengar suara lompatan ringan seseoranga mendarat di belakangku. Dia baru tiba. Segera kutoleh ke belakang karena sangat berbahaya membelakangi lawan di kondisi genting seperti ini. Seorang pria muda. Sangat muda untuk jadi seorang dukun. Paling umurnya 24-25 tahunan. Apa pemuda ini baru coba-coba memakai ilmu santet-menyantet karena mentok tidak ada jalan lainnya? Tapi karena ia masih belum memutuskan di sisi mana, seharusnya orang seperti ini bisa dihadapi dengan percakapan yang realistis.
Pemuda itu agak jijik yang melihatku hanya memakai sempak saja di daerah kekuasaan ke-Menggala-annya. Aku tau kemana arah jalan pikirnya. Dia akan segera menganggapku sebagai orang yang telah menikahi Ratih. Terlihat dari sunggingan senyum mengejek di sudut bibirnya. Berarti dia bukan dari kalangan keluarga Ratih karena kalo keluarga pasti akan tau siapa suami Ratih yang merupakan ajo Mansur. Ini tentu dengan asumsi kalo dia hadir saat pernikahan itu. Bagaimana kalo keluarga jauh yang merasa berkepentingan dengan harta warisan adat itu. Dia masih muda juga, apa tertarik dengan harta begini?
“Kau yang telah mengirimkan teluh pada Ratih?” tanyaku dengan nada datar saja. Kedua pedang daunku hanya kupegang di samping tubuhku.
“Kau suaminya? Mansur? Kau Menggala juga rupanya…” kata pemuda itu menaruh sesuatu di masing-masing jari telunjuk tangannya. Diputar-putarnya senjata tajam berukuran kecil itu. Kerambit! Ah… Senjata yang fleksibel itu. Itu menjelaskan goresan-goresan tipis di tanah ini. Guratan menyayat kerambit ternyata.
“Bukan… Aku bukan Mansur… Aku hanya suka berpakaian seperti ini… Tau nudist? Kalo kau pernah ke Bali pasti akan ketemu teman-teman nudist-ku di sana… Ah… Pantainya juga bagus…” bualku ntah hapa-hapa ngelantur. “Langitmu belum terlalu pekat hitamnya… Masih coba-coba ato belum ketemu pasien yang tepat ato apa?” tunjukku tiba-tiba ke atas, ke arah cakrawala representasi kiblat golongannya. Golongan hitam atau putih. Saat ini ia ada di golongan abu-abu. Masih galau mau kemana.
“Tidak usah banyak bicara, dunsanak… Mari kita mengadu ilmu… Ilmu siapa yang lebih tinggi…” sergahnya langsung saja mengambil kuda-kuda rendah silat harimau-nya. Kedua tangannya yang bersenjatakan kerambit yang mengarah ke bawah siap menyayat-nyayat otot tendon lutut dan betisku. Aku tau karena kerambit sering dipakai menyerang tubuh bagian itu.
“Mengadu ilmu itu mudah… Kita bisa melakukannya kapan saja… Aku juga gak mau tau apa motifmu mengirim teluh kepada Ratih ato Mansur ato pada siapapun… Aku gak mau tau semua… Yang aku mau tau…” aku jeda sebentar dan duduk. Ini bukan duduk sebenarnya. Lutut kiri menopang tubuh di tanah, kaki kanan maju menekuk rata 90 derajat, kedua tangan dibentangkan lalu rendah ke tanah di hadapan hampir menyentuh tanah. Pedang daunku bertindak sebagai cakar. Terlihat seperti meniru kuda-kuda rendah silat harimau pemuda itu. “… Siapa yang mengajarimu silat harimau Mandalo Rajo ini… Tidak sembarangan Inyiek Mandalo Sati mengajarkannya pada orang yang akhirnya jatuh ke lembah hitam sepertimu… Siapa?” tanyaku serius. Aku memandanginya dengan geram. Aku punya hak untuk membunuhnya kalo ilmu ini disalah gunakan.
Bersambung