Part #29 : Good bye Medan

Burung-burung liar berkicau riang di atas pohon mangga Golek-ku. Angin berdesau-desau berhembus menggoyangkan dedaunan rimbun tajuknya yang berbentuk piramid. Mulai berbunga lagi setelah buahnya habis kemaren itu dibagi-bagi ke tetangga. Apalagi Aida beberapa kali minta buah muda lagi efek ngidamnya.

Pagi ini agak tenang karena Salwa belum bangun. Bayi kami tidur bangkong karena tadi malam abis kemaruk bisa mulai jalan walau jatuh-jatuh lagi, jadinya kelelahan, dan belum bangun sampe sekarang. Aku sedang maenan HP di teras depan rumah, duduk sendirian karena istriku sedang menyiapkan sarapan. Dari aromanya sepertinya nasi goreng Yesterday. Nasi sisa yesterday/kemaren digoreng pagi esoknya.

Tadi malam aku mimpi aneh. Udah lama aku gak mimpi yang bisa kuingat sangking anehnya. Karena kalo mimpi yang biasa-biasa aja, pasti akan cepat terlupa. Ini kuanggap aneh jadinya tetap ingat abis bangun. Sering kan kelen ngalamin kek gitu?

Mimpinya kek gini: Jalan-jalan biasa, rutin keliling gang di pagi hari bersama Salwa, menyapa para fans garis kerasnya. Ketemu Aida tapi perutnya kempis, rata kek masih belum hamil. Kukira ini mimpi masa lalu sebelum ia hamil. Tapi mana ada mimpi flash back, kan? Bisa pula aku berpikir di mimpi itu. Jadi kutanya-la pada-nya.

“Perutnya kok kempes, Daa? Ada apa?” tanyaku.

“Dah ilang, bang…” jawabnya tapi santai kek gak ada kejadian yang gawat gimana gitu.

“Kok ilang? Kok bisa?” tentu saja aku heran. Lah orang itu sudah jalan 3 bulan lebih itu kandungan kok bisa tiba-tiba hilang.

Tak ada jawaban malah aku ketemu Yuli dan Iva yang sedang jalan berdua. Kapan mereka akrabnya? Kok bisa berdua. Ini namanya juga mimpi. Suka-suka dia aja siapa yang nongol.

“Mana, bang? Kok Ipa gak hamil-hamil, sih?” tanya Iva mengelus-elus perutnya yang masih rata langsing kek model bikini.

“Iya, bang Aseng… Yuli juga… Katanya bakalan hamil… Ini udah sebulan gak ada tanda-tandanya… Malah ini sudah dapet tamu bulanannya…” sergah Yuli mendesakku.

“Tukang boong nih, bang Aseng…” entah dari mana asalnya muncul Pipit juga di antara mereka dan ikut mengeroyokku. Mereka menuding-nudingku. Bahkan Aida juga muncul lagi dan ikut menudingku juga kek investasi bodong yang lagi viral. Dani berdiri tak jauh dari mereka dan menatapku sinis. Kak Sandra ujug-ujug datang naek sepeda mini dan menghampiri Dani. Juga menatapku sinis.

Aneh, kan? Kak Sandra naek sepeda mini? Ntah hapa-hapa-la mimpiku itu. Segala macam perempuan yang kugauli untuk mendapat anak datang menuding karena tak kunjung mendapatkan bayi yang mereka idam-idamkan. Piuhh… Aseng junior sudah capek-capek berjuang walau tidak berhasil menghamili mereka, setidaknya apresiasi kek rasa nikmat yang diberikannya.

Mimpi. Mimpi sering dianggap sebagai bunga tidur. Tak banyak orang yang paham akan mimpi. Mimpi kadang jadi representasi keinginan terpendam seseorang yang diejawantahkan menjadi bayangan imaji berbentuk mimpi. Berwarnakah mimpi? Para ahli yang pernah meneliti mengatakan mimpi berwarna monokrom alias hitam putih. Hanya saja pikiran kita tidak menganggap itu demikian.

Ppt: Ping!

Eh. Ada pesan dari neng Pipit, nih. Baru aja dipikirin. Panjang umur deh.

Aseng: Ciee… yg misuanya dh pulang dr jkt. wit wit

Ppt: is bg aseng godain mulu

Aseng: iya bu. ada yg bisa sy banting e bantu

Ppt: bg aseng gk ngucapin selamat?

Aseng: eh Ppt ulang tahun? (Dalam hati aku menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun-nya Jamrud. Hari ini… Hari yang kau tunggu… Bertambah satu tahun usiamu… pake suara berat Kris-vokalisnya)

Malah masuk satu gambar. Awalnya kukira bakalan gambar kue ulang tahun ato semacamnya. Ternyata sebuah foto. Menunggu selesai foto itu loading yang lumayan lola, kuperhatikan foto apa itu. Sebuah test pack sekali pakai yang dapat dibeli di apotik manapun di Nusantara ini. Dua garis di ujung strip tes kehamilan itu.

Tin tin! Sebuah mobil melintas di dalam gang menuju keluar. Dari kursi supir terlihat Imran yang mengemudikan mobilnya dengan riang gembira. “Berangkat, bang…” sapanya dengan senyum lebar. Mukanya cerah gilang gemilang kek petromaks. Ia melambaikan tangan padaku karena mobil melaju pelan saja. Kubalas dengan lambaian tangan juga tanpa mampu berkata apa-apa.

Itu tadi Imran, kan? Suami Pipit? Oo… Pantesan itu orang girang kali kek baru dapat togel empat angka satu blok. Pipit positif hamil ternyata. Positif.

Aseng: positif? bener ya???

Ppt: positif bg. berhasil3x (kek Dora)

Aseng: seneng dunk? akhirnya mblendunk.

Ppt: seneng bgt. makasih bg aseng

Wow. Berhasil. Pipit hamil. Ternyata itu foto test pack kemaren pagi. Jadi strip tes kehamilan itu harus dicelupkan pada air seni yang pertama keluar di pagi hari abis bangun tidur, alias masih fresh. Ia langsung memberitau suaminya dan mereka periksa lebih lanjut ke dokter kandungan pada malam harinya dan ternyata benar-benar positif hamil. Masih terlalu muda memang. Kisaran dua-tiga minggu gitu. Bertepatan dengan kepergian Imran yang pergi dinas ke Jakarta tiga minggu yang lalu. Setelah pasti dan terang faktanya baru Pipit berani mengabariku.

Itu menjelaskan ekspresi gembira yang meluap-luap Imran barusan. Ia berhasil menghamili istrinya setelah sekian lama menunggu. Malam terakhir mereka berdua membuah hasil dan istrinya positif hamil. Horee.

Belum tau aja kau, Imran.

Aseng: Ping! Ping!

Cukup lama aku menunggu balasan dari ping yang barusan kukirim. Aku gak sabar menunggu balasannya. Tapi pastinya masih sibuk dengan urusannya di rumah sendiri tentunya.

Yuli: ada apa bg aseng? kosong ya?

Waduh… Ini pemilik 38DD malah minta jatah lagi. Urusan selangkangan bisa menyusul nanti aja-la. Ini ada hal penting. Sangat penting.

Aseng: isi (maksudku istriku ada di rumah) yuli buruan pergi ke apotik beli test pack

Yuli: opo kui test pack?

Aseng: tes kehaliman belum dpt mens kan? (ketikku buru-buru sampe typo)

Yuli: iyo yo harusnya minggu ini dapet sik aku menyat sik

Iva: hadir bg aseng ayang beib (sontoloyo binor satu ini malah manggil aku ayang beib)

Aseng: jangan banyak tanya dulu. buruan beli test pack segera. belum pipis kan?

Iva: iya baru bangun masih ileran ni

Aseng: cuci muka trus beli sana buruan

“Paaa… Sarapan dulu…” teriak istriku dari dalam rumah pertanda sarapan pagi ini sudah selesai disiapkannya. Buru-buru kukantongi HP-ku tanpa menunggu balasan dari kedua perempuan itu. Sampe depan pintu masuk terlihat Yuli sudah mengeluarkan motornya dan mengklakson-ku dua kali pencetan tombol. Aku gak berharap kalo Iva bisa secepat itu melakukan hal yang sama, buru-buru pergi ke apotik di Mabar depan sana, beli test pack.

“Salwa belum bangun, ma?” tanyaku sebelum suapan pertama nasi goreng Yesterday masuk ke mulutku.

“Belum… Biarin aja dulu… Rio udah gak sabar berangkat… Ini pertama kalinya dia naik pesawat…” kata istriku yang menemani anak sulungku menikmati nasi gorengnya plus telur mata sapi. “Itu mobilnya ceritanya gimana caranya ikut ke Padang?” tanya istriku yang masih gak paham jalan pikirku.

“Nanti diurusin sama Iyon… Pokoknya kita nanti di kampung bisa jalan-jalan pake mobil-la… Gak perlu rental…” jelasku pendek aja. Jadi ceritanya mobil Pajero yang sedianya diberikan padaku oleh kak Sandra, malam tadi kubawa pulang dan parkir manis di depan rumah yang belum punya garasi. Aku ngakunya itu mobil boleh pinjam inventaris kantor karena pernah dibawa kak Sandra waktu itu. Mobil itu akan kukendarai ke bandara Polonia nanti, mengantar kami yang akan pulang kampung ke Padang. Tepatnya kampung Toboh di Pariaman. O iya. Lupa ngasih tau, ya? Kami akan berangkat hari ini menaiki pesawat jam 10 nanti. Kalo gak delay. Ini dalam rangka menghadiri pernikahan adikku yang diadakan di kampung.

“Iyaa… Parkir di Polonia… Trus dimasukin koper gitu mobilnya?” ini lebih dari sarkas tingkat Dewa. Dulu belum ada batas timbangan bagasi tapi gak segitunya sampe mobil Pajero segede gaban gitu dimasukin tas.

“Udaaah… Mama terima beres ajaa… Pokoknya kita sampe Padang… mobil itu juga sampe Padang…” jawabku ngeyel. Mengerucut mulutnya gak paham bareng sama keningnya yang berkerut-kerut gak sampe ke logikanya. Kalo dinaikin pesawat juga mau berapa biayanya kalo itung kilo. Lebih untung kalo rental mobil aja di Padang. Rio melayang-layangkan sendoknya yang berisi potongan telur dan masuk ke mulutnya, membayangkan pesawat.

“Uhuk!” tersedak aku melihat layar HP-ku pada pesan yang sudah masuk. Foto kembali yang dikirimkan padaku untuk bukti kalo bukan hoaks yang diinfokan padaku. Ini berita penting.

“Apa, sih?” tanya istriku kepo mencoba mengintip apa yang kulihat di layar HP. Tentu saja kuumpetin, menghindarinya.

“Gak… Ituuu… Biasa anak-anak pabrik… Ngirim gambar gak jelas di grup…” kataku ngeles. Pernah ada anggota grup mengirim gambar jorok dan istriku mual melihatnya. Padahal itu adalah foto dua garis di test pack yang dikirimkan Yuli dan Iva hampir berbarengan. Jadi sudah empat perempuan yang positif hamil; Aida, Yuli, Pipit dan Iva. Tinggal kak Sandra sama Dani aja yang belum tau kabarnya.

Kak Sandra dan Dani makin akrab bahkan mesra menurutku. Keduanya kek udah pasangan lesbi aja kalo hanya berduaan. Dani jadi sering berduaan saja di ruangan kak Sandra kalo Tiwi lagi gak ada di sana atas nama diskusi. Bahkan asistennya itu lebih sering diusir keluar aja nyari kesibukan di luar ruangan kala mereka sedang berduaan.

Untungnya keadaan itu mempermudahku untuk meneruskan program kehamilan keduanya. Aku bisa sekaligus melakukan kata pepatah ‘Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui’. Bukan hanya sekali dua kali kupraktekkan sekali ngecrot dua lubang terisi sekaligus. Mereka fine-fine aja harus berbagi kenikmatan, karena mereka berdua cukup pintar memuaskan satu sama lain. Aku bisa menghemat tenagaku untuk hal lain yang lebih produktif; kerja misalnya. Menghamili keduanya memang termasuk kerja juga, tapi melihat keduanya asik sendiri kala digenjot bergantian kadang ngenes juga cuma dianggap sebagai pejantan saja. Sisi baiknya, Dani tidak lagi maen baper-baperan padaku. Ia sepertinya lebih mencurahkan perasaannya pada kak Sandra. Bagus-la menurutku.

Selesai sarapan kucoba mengirim pesan pada mereka berdua, mencoba mencari kabar. Kalo bisa akan kuingatkan untuk coba ngetes pake test pack juga. Siapa tau ya, kan? Sudah terbukti pada empat TO. Tambah dua lagi pasti lengkap sudah semua berhasil hamil hasil bibitku. Menjelang berangkat ke bandara tak kunjung dibaca pesanku. Ya sudah. Nanti aja-la kalo gitu.

Good bye Medan — Welcome Padang.

Keluar dari bandara yang tak jauh dari ibu kota provinsi ini, istriku kembali terheran-heran melihatku menggiring keluargaku ke arah parkiran mobil dan si Pajero hitam itu sudah ada di sana dengan antengnya. Aku bersikeras bilang padanya untuk meninggalkan semua barang-barang kami di dalam mobil dan hanya membawa tas seadanya aja untuk keperluan anak-anak selama di pesawat. Jadi koper-koper dan tas berat tetap tinggal di mobil, hanya membawa satu tas berisi cemilan Rio dan baju ganti keperluan Salwa.

Kukirimkan ucapan terima kasih pada sahabatku Iyon yang bisa mewujudkan semua ini. Kepada bapak Iyon alias Guntur Setiono, saya haturkan ribuan terima kasih atas bantuannya memindahkan mobil temanmu ini dari parkir mobil Polonia-Medan ke Minangkabau International Airport-Padang dalam sekejap mata saja. Kukirim pesan itu padanya, entah dimana ia sekarang… Masih ingat, kan dengan kemampuan ajaib temanku itu dengan teleportasinya? Ia mudah saja memindahkan mobil sebesar ini kemanapun. Kecil-la ituuu.

Hanya istriku aja yang masih merepet (ngedumel) gak tentu arah karena ia tak kunjung paham caraku melakukan perpindahan mobil sejauh ratusan kilometer ini dengan mudah. Aku hanya mengatakan padanya itu kerjaan Iyon dan Iyon saja. Istriku pahamnya si Iyon itu cuma supir bos besar aja gak tau kerjaannya yang lain atau kemampuannya. Aku tak pernah merincinya, kok.

Perjalanan dari bandara ke kampung kami berjalan lancar karena jalanan lumayan lengang apalagi ini mobil masih hitungan bulan umurnya. Satu jam kemudian kami sudah memasuki kampung halamanku dan parkir tidak jauh dari rumah keluarga ibuku yang sudah melakukan persiapan pesta yang akan berlangsung esok hari. Kami disambut oleh beberapa keluarga dan menyalami semua yang sedang sibuk di sana. Salwa menjadi bintang utama keluarga kecil kami. Ibuku yang sudah lama tidak bersua cucunya ini, memeluk dan menciuminya gemes. Keluarga lainnya juga gemes. Kak Dedek dan keluarganya sudah tiba terlebih dahulu kemarin. Seru pokoknya kalo ketemu keluarga besar yang ada di kampung sini.

———————————————————————————————-
“Ngapain lu nyuruh wa sama Dani beli test pack? Yakin lu kami orang langsung hamil gitu?” cecar kak Sandra di Medan sana. Di background, suaranya ada suara air mengalir, artinya pintu toiletnya terbuka.

“Jaga-jaga aja, kaaak…” jawabku setelah menjauh dari keramaian agar pembicaraan bebas seperti biasa. Aku gak mungkin ya kan ngasih tau kalo perempuan lainnya sudah positif karena kak Sandra hanya taunya dia dan Dani saja.

“Dua, kak…” terdengar lirih suara di belakangnya. Itu suara Dani. Jam segini Dani ada di ruangan kak Sandra? Aku jelas mendengar kata ‘dua’. Asumsiku langsung garis dua seperti yang sudah diperoleh ketiga perempuan pagi tadi. Lalu hening terdengar.

“Gila lu, Seng!” setelah hening cukup lama dan kutunggu reaksinya. “Jos amat ya lu wa ama Dani langsung bunting… Bunting? YEEAAAA!!!” terdengar teriakan histeris kak Sandra dan “TRAK!” sakit kupingku mendengar suara berderak-derak, lalu “… tuut tuut tuut…” Yah! HP-nya rusak terbanting karena dilempar sembarangan abis kesenangan.

Aku bisa membayangkan kedua perempuan kasmaran itu berpelukan, berlompatan kegirangan positif hamil berdasarkan tes sederhana memakai test pack seharga sepuluh ribuan itu. Kak Sandra yang menjaga wibawa di kantor aja sampai teriak kegirangan kuat kali. Suaranya pasti kedengaran sampai keluar ruangan. Apa reaksi staff kantor lain mendengar semua itu? Lalu keduanya berhenti melompat, menjaga agar janin muda di rahim mereka tak terguncang lebih jauh. Berjalan pelan-pelan mencari tempat duduk dan kembali nyerocos kek dua burung berkicau di kompetisi. Senyum lebar terpatri di wajah keduanya untuk beberapa hari ke depan. Ahh… Aku akan dibanjiri berbagai ucapan terima kasih dari mereka semua.

Lengkap sudah semua. Semua susah payah yang kulakukan kurang lebih sebulan ini sudah berhasil menghamili para perempuan itu. Lengkap sudah semua perempuan yang minta dihamili olehku—HAMIL.

“Seng… kamarilah sabanta… Lai ado dunsanak ka basobok jo wa’ang…” (Seng, kemari sebentar. Ada saudara yang mau jumpa denganmu) panggil salah satu kerabat yang sepertinya sudah keliling mencariku dari tadi. Aku saat ini ada di halaman belakang rumah yang banyak ditumbuhi berbagai macam pohon dan sebuah kolam ikan. Aku mengikutinya ke bagian depan rumah yang ramai dengan kesibukan. Mengantarku pada tamu-tamu yang merupakan saudara-saudara yang baru tiba. Aku menyalami mereka semua. Mereka adalah rombongan keluarga yang merupakan bibi dan sepupu dari pihak ayahku. Ayahnya dan ayahku abang beradik.

(Percakapan memakai bahasa daerah Minang dialek Pariaman ini selanjutnya akan langsung diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk menghemat waktu dan tenaga juga)

“Wah… Udah keren Sutan (Sutan adalah gelar adat yang kerap diberikan pada lelaki yang sudah menikah) ini, ya? Sudah makmur sepertinya…” sapa lelaki yang telah bersalaman denganku ini. Ia bernama Mansur. Lengkapnya dengan gelar adatnya menjadi Sutan Mansur. Ia adalah sepupu tertuaku karena ayahnya adalah abang dari ayahku yang tertua. Umurnya sudah lebih dari 50-an tetapi perawakan tubuhnya sehat dan masih terlihat bugar walau berjarak hampir 20 tahunan dariku. Hanya saja rambutnya sudah mulai berwarna abu-abu oleh uban.

“Ajo Mansur bisa aja… (Ajo adalah sebutan untuk abang di daerah Pariaman sekitarnya, sedangkan sebutan Uda umumnya dipakai di Minangkabau)… Ajo Mansur-la yang makin makmur… Bisnis ada dimana-mana… Dah lama gak maen ke Medan lagi… Bisa-la kek dulu lagi…” godaku mengenang masa lalu.

“Ahh… Sekarang udah gak sempat lagi… Apalagi sekarang udah ada boncengan tiga itu…” jawabnya dan kami tertawa-tawa lagi menyinggung tentang ketiga istrinya. “Tapi kalau ada waktu… bisalah kita atur… Ha ha ha…” lanjutnya lagi. Istrinya tiga? We O We. WOW. Poligami tingkat tinggi ini, kan? Kami tertawa-tawa bersama mengingat pengalaman kami di masa lalu.

“Jadi dua galon-ku (galon: SPBU/POM bensin. Jadi ada dua arti galon di Medan, yang satu berarti galon air dan yang satu lagi berarti SPBU) udah kujual… udah laku… Nah tinggal yang satu lagi yang belum… Kalo ada kenalanmu yang minat bisnis galon… bolehlah kau tawarkan galon abang…” kisahnya tentang bisnisnya yang ada di Medan. Ia memang punya 3 buah SPBU di seputaran Medan dan sudah menjual 2 diantaranya sehingga tersisa satu. Dijual karena tidak bisa membagi waktu mengontrol bisnisnya karena dia bermaksud akan fokus saja di daerah Padang. Lagipula bisnisnya yang di bidang lain lebih banyak di sekitar sini. Lebih jauh dia menjelaskan berapa komisi yang akan kuterima bila aku berhasil. Ngobrolnya gak terlalu serius karena suasana kekeluargaan lebih kental. Apalagi sejarah kami sudah cukup dekat jadi ia ngomong saja blak-blakan denganku, sebagaimana juga aku.

“Tentang 3 istri ajo itu benar, ya?” tanyaku tentu aja kepo. Aku belum pernah tau ada kenalanku yang bisa berhasil menyunting lebih dari satu istri.

“Ya, benar-lah… Masak main-main… Kukenalkan, ya?” lalu ajo Mansur bangkit dari duduknya dan mencari istrinya yang baru dimaksudkannya tadi. 3 istri? Itu terlalu banyak, jo. Satu aja gak abis-abis. Kalo istriku dengar aku ada ide poligami juga, aku bisa dibante pake Hadou-ken Street Fighter bolak-balik. Padahal baru ide belum ada calonnya. Kalo ada calonnya, langsung aku dicemplungin ke kolam penangkaran buaya Asam Kumbang.

“Seng… Ini, Seng…” ajo Mansur balik lagi membawa para istri-istrinya. Beneran 3, bah! Waduh! Masih muda-muda pulak. Aku langsung berdiri untuk bersalaman dengan mereka. Wah, ketiga istri sepupuku ini rancak bana! “Ini yang namanya Aseng… Sepupu abi yang tinggal di Medan… Dia abang yang akan menikah ini…” kenal ajo Mansur pada ketiga istrinya.

“Ini yang pertama… Ratih…” perempuan berhijab dan bercadar. Gamis hitam dan hijabnya lebar dan longgar kemana-mana. Tetapi dari matanya aku tau kalau perempuan ini pastinya cantik. Ia hanya menangkupkan tangannya yang bersarung tangan tak boleh bersentuhan denganku. Paham, deh.

“Ini yang kedua, Seng… Mila…” perempuan berhijab juga tetapi tidak bercadar seperti yang pertama. Tetapi tetap saja gamis dan hijab yang dipakainya longgar dan menjulur panjang menutupi lekuk tubuhnya. Ia tak memakai sarung tangan tetapi tetap tak mau bersentuhan denganku. Paham, deh sis.

“Ini yang ketiga… Suli…” perempuan berhijab ini lebih mending dari kedua istri ajo Mansur sebelumnya. Hijab dan pakaian yang dipakainya lumayan trendi. Hampir senada seperti yang sering dipakai istriku kalau lagi pergi kondangan. Melihat dua madunya tak bersentuhan tangan denganku, ia urung juga. Hmm. OK dee…

Setelah mengenalkan ketiga istrinya itu, kami ngobrol lagi. Istri-istrinya ngibrit entah kemana. Mungkin bantu-bantu masak atau apalah. “Itu betulan kawinnya bareng, jo?” tanyaku tak tahan lagi dengan soalan ini. Ia hanya mengangguk kecil dengan bangga. Bareng ketiganya? Aku hanya mendengar kabar ini via telpon dari ibuku sebulan lalu. Ibu dan adikku datang kemari sebulan lalu itu sebenarnya untuk menghadiri pesta pernikahan ajo Mansur ini. Yang membuat heboh adalah ajo Mansur sekaligus menikahi 3 gadis. Catet, ya? 3 gadis. Itu prestasi yang teramat sangat mengagumkan menurutku.

Pestanya diadakan secara meriah di salah satu gedung paling mewah di kota Padang. Hiasan dan papan bunganya penuh memenuhi halaman gedung. Hantaran dan seserahan juga merupakan barang-barang mahal dan juga mewah. Tapi karena sang marapulai atau mempelai pria adalah orang tajir, itu semua tak berlebihan rasanya. Sayangnya aku gak bisa hadir kala itu untuk memberinya selamat. Hanya diwakili oleh ibu dan adikku saja. Selesai dari pesta pernikahan itulah kemudian adikku mendapat jodohnya di kampung ini. Mungkin terinspirasi kali, yee?

“Kok mau itu tiga-tiganya sama, ajo? Secara… ajo, kan dah ehem-ehem berumur… tua*uhuukk!” tanyaku sekaligus ngejek sambil batuk disamarkan.

Dia malah tertawa-tawa. “Pantek amak ang tuo…” (Pantat mamakmu tua) makinya tak kurang di antara tawanya. Keramaian tempat ini di persiapan sebuah baralek gadang (pesta besar) menyamarkan keriuhan yang kami sebabkan karena sudah lama tak bersua. “Ada sebabnya tentu kenapa tiga perempuan itu mau jadi istriku…” jelasnya memulai bercerita.

Jadi intinya begini, ketiga perempuan yang menjadi istrinya itu adalah saudara sepupu masing-masing. Di masa lalu orang tua ketiga perempuan itu yang merupakan kakak beradik bermufakat untuk mendirikan sebuah perusahaan bersama ajo Mansur sebagai pemodal utama. Seiring waktu perusahaan semakin maju dan berkembang. Di saat ajo Mansur ingin meminta bagiannya atas keberhasilan perusahaan itu, istilah kerennya deviden, akan ada perpecahan yang terjadi karena bila modal awal dikonversikan akan meruntuhkan perusahaan yang sedang bagus prospeknya. Mereka (para komisaris awal pembentukan perusahaan) meminta penggantian yang kira-kira sesuai. Setengah bercanda, ajo Mansur meminta satu anak masing-masing ketiganya untuk dijadikannya istri saja. Mereka langsung setuju karena kebetulan masing-masing mereka punya satu anak gadis yang belum menikah.

Ajo Mansur awalnya gelagapan karena niatnya hanya bercanda dengan idenya itu tapi ketiganya bersikeras. Ini dikarenakan perusahaan tetap aman sebab kapital tetap terjaga dan malah ajo Mansur masuk ke keluarga mereka yang pastinya akan memperkuat kondisi perusahaan dengan sokongan dana tambahan yang besar jumlahnya. Ajo Mansur memang kala itu adalah lajang tua di umur 50 tahunnya karena gila kerja dan sibuk mencari duit saja sejak muda, mendapatkan jodohnya tidak tanggung-tanggung langsung 3 perempuan.

Ketiga perempuan yang bernama Ratih (23), Mila (22) dan Sulih (22) itu tentu saja perlu waktu untuk diyakinkan untuk menerima perjodohan ini. Ratih dan Mila lulusan pesantren di pelosok Nagari Pagaruyung akhirnya luluh karena ini permintaan orang tua. Suli yang agak sulit karena lebih moderat karena lulusan Universitas Andalas yang sudah punya pacar. Rayu sana dan sini pakai pakai berbagai cara dan taktik akhirnya berhasil ditaklukkan dan jadilah ketiganya langsung dipinang ajo Mansur sekaligus. Aku diberi tunjuk video akad nikah ketiga perempuan itu yang dihadapi dengan gagah berani oleh ajo Mansur. Selesai Ratih, beralih ke Mila dan terakhir Suli.

“Jadi istri pertama Ratih, Mila kedua dan Suli yang terakhir, jo?” tanyaku dengan gamang. Ahh… Indahnya hidup ajo-ku ini. Punya 3 istri cantik-cantik dan masih muda. Duit banyak gak abis-abis. Makan enak, tidur nyaman, mau nenen tinggal buka kancing. Kemana mata memandang ada istri cantik yang tertangkap mata.

“Ya, Seng… Sesuai urutan akad-nya…” jawabnya dengan nada getir. Aku sempat menangkap itu.

“Digabung satu kamar atau beda-beda, jo?” tebakku akan kesan getir tadi.

“Beda rumah-lah…” jawabnya singkat dan memperbaiki posisi duduknya yang jadi gelisah gak nyaman.

“Enak ya, jo?”

“Anakmu dah berapa, Seng?” tanya ajo Mansur mengalihkan pertanyaan sekarang padaku.

“Dua, jo… Ini.. nih…” kutangkap Rio secara OTT yang sedang melintas memegang beberapa buah pisang diantara ramai orang yang lalu lalang sibuk dengan urusannya. “Ini yang paling besar… Nomor dua cewek masih 10 bulan…” kuarahkan tangan Rio untuk menyalami pak uwo (sebutan untuk yang lebih tua, semacam pakde)-nya. Ngalor-ngidul kami ngobrol sampe sore yang terkadang diinterupsi oleh acara makan-makan atau ada saudara yang mau salaman baru datang atau pulang atau semacamnya bla blaa blaaa…

Malam ini prosesi adat dimulai. Ada beberapa rangkaian acara menjelang puncak pernikahan besok. Banyak makan-makan bersama keluarga dan keluarga besan. Berbalas pantun yang omaigad… cepat kali ngomongnya kek nge-rap fast forward plus fast n furious. Awal-awal pantun aku masih ngerti artinya. Di tengah dan seterusnya aku dah gak fokus lagi itu dua orang lagi ngomongin apa. Selebihnya aku malah chatting dengan para ‘perempuan-perempuan’ yang nun jauh di Medan sana karena aku tak melihat istriku ada di ruangan ini. Istriku pasti ngungsi jauh karena ‘sedih’ gak ngerti bahasanya.

Aseng: dijaga yaaa adek bebinya baik-baik

Yuli: iya papa Aseng

Ppt: dek bebinya bilang i luv u papi aseng

Iva: dedek bebinya kangen

Sndr: tentu wa jaga cibay

Dani: makasih banyak bang aseng muah…

Aida: debay sehat bang tp pengen dijenguk

WKWKWK! Gokil-gokil nih jawaban mereka semua. Yang paling juara tentu aja kak Sandra karena dia masih ada di pabrik. Bahkan dia belum sempat periksa lebih lanjut ke dokter kandungannya. Ko Amek sudah diberitau dan sedang dalam perjalanan dari Singapur ke Medan dengan tergopoh-gopoh karena harus transit dulu di beberapa kota karena mendadak. Bayangin aja dari Singapur ke Batam dulu, Jakarta lalu Medan yang akan sampai tengah malam nanti. Amsyong kau, ko.

Yuli langsung menyuruh suaminya, bang Suradi untuk pulang dari nyupir yang entah lagi dimana karena kabar gembira ini. Dia juga turun naik bus sambung menyambung menjadi satu itulah Indo… eh. Dan akhirnya sampe terminal Amplas sore hari menjelang Maghrib dan langsung tembak ke Mabar. Keduanya periksa ke dokter kandungan yang paling mahal yang ada di kota. Pulang dari periksa, rekening milikku bertambah 50 juta saldonya, sisa janjinya padaku yang 100 juta itu.

Yang lainnya dilakoni dengan tidak kurang heboh karena masing-masing sudah menunggu lama untuk momen bahagia ini. Ada cerita-cerita lucu, mengharukan dan juga bahagia yang mereka bagikan di tiap untaian kata yang mereka kirimkan padaku. Aku terikut bahagia untuk mereka. Karena kebahagiaan mereka adalah kebahagianku juga. Selamat ya… para MILF-ku. Aku sebagai Baby Maker (Bb M) selalu siap sedia untuk kalian.

———————————————————————————————
Sekitar jam 10 malam, kedua sahabatku datang. Give it up untuk Iyon dan Kojek. Yeeeay!

Keduanya datang tanpa kendaraan. Istriku yang heran mengantar keduanya karena tak melihat mereka naik kendaraan apapun. Seperti baru turun aja dari angkot di depan jalan gitu, kaki cecah tanah, bayar, cuss… angkot mabur.

“Yooon… Kao puas-puasin-la kao mau makan apa aja… kao makan aja sesukak hati kao…” kataku setelah menyalami dan memeluknya gaya bro-hug. Ini atas bantuannya memindahkan mobil segede gambreng itu dari Medan ke Padang dan nantinya balik lagi ke Medan.

“Buncit-lah nanti perutku… Aku lagi diet nih… Kalok ada cewek cantiknya… boleh-lah untuk nuang minum…” katanya sambil menaik-turunkan alis matanya ganjen. Tangannya dibikin bulat-bulat di depan dadanya. Ia berpakaian agak kasual dengan jeans dan kemeja lengan pendek kotak-kotak.

“Kimak, kao… Ini sodaraku semua… Mana ada cewek kek gitu di sini… Nenek-nenek janda anak lima, cucu tiga belas mau kao?” balasku menepuk lengannya.

“Selera Kojek itu… Tadi dia kujemput mau ke pakter tuak namboru Silalahi kek gitu di kampungnya… Opung-opung gitu-pun soor dia…” kata Iyon mengarahkanku pada Kojek yang mengintil di belakangnya dengan cuek.

“Jeeek… Welcome lae-ku… Gak ada tuak di sini lae… Bisa disate bu haji aku nanti… Nanti kupanggilkan mamakku… Katanya dia dah lama gak ketemu kalian…” kembali aku bro-hug dengan sahabatku yang tinggi kek begu ganjang ini. Ia berpakaian rapi seperti biasanya. Baju putih lengan panjang dan celana bahan hitam kek orang kantoran. Kuarahkan mereka untuk duduk menepi agak jauh agar obrolan kami nantinya tak terganggu.

——————————————————————————————————————-
“Selvi udah berumur juga, ya baru kawin sekarang?” kata Iyon setelah meletakkan es teh manisnya di kursi yang difungsikan sebagai meja.

“Iya…. Dia cuma beda setahun di bawahku… Anakku dah dua… Tapi yaaah… Gitulah jodoh mana ada yang tau… Kek kau… Siapa yang nyangka kau bisa kawin sama istrimu yang entah dimana ketemunya… Aku malah dapatnya yang dekat-dekat aja… Si Kojek dapat yang kek gitu… Iya gak, Jek?” kataku bernostalgia mengingat-ingat masa lalu.

“Aku gak kek gitu mandangnya… Ini semua sudah ditakdirkan begitu… Kalo Tuhan Yesus sudah berkata-kata… jadilah Tiur istriku… Aku gak bisa nolak ato lari dari kenyataan… Buktinya anakku banyak… Kalah kelen semua… Bersukur aku Tiur mau sama aku yang kek gini…” kata Kojek tak kurang merendah. Dia selalu terima aja kalo istrinya yang cantik bukan buatan itu dibilang jelek agar setara dengan dirinya yang… klen tau sendiri-lah, kek begu.

“TOP! Setuju aku, Jeeek… Tos dulu kita…” kata Iyon mengambil kembali gelasnya dan melaganya dengan gelas milik Kojek, aku juga ikut. Es teh manis ini diantarkan sendiri oleh ibuku setelah mendengar kalo kedua sahabatku ini tiba.

“Trus apa cerita kerjaan sampinganmu itu? Sampe perlu manggil bantuan segala?” tanya Iyon kemudian teringat akan pertarungan kami melawan siluman monyet yang mengaku dewa itu. “Masih ada gangguan lagi abis itu?”

“Eh… Iyaa… Ada…” jawabku teringat dengan serangan susulan pada Agus; suami Aida, saat memanjat pohon mangga Golek milikku. Kekeluarkan sisa batang pohon yang belum terbakar oleh teh kering daun bidara itu. “Ada yang bisa menembus pagar pelindung yang sudah kupasang sekeliling rumahku… Ini sisanya… Awalnya ada sisa karat gitu di bekas terbakar ini…” jelasku akan benda itu.

Kojek langsung mengambil benda itu dan menghidunya dalam-dalam. Ia tercenung sebentar lalu dihirupnya kembali aroma yang mungkin masih tersisa di potongan dahan mangga itu. Lidahnya bahkan ikut bekerja mencicipi sampe kening Iyon berkerut melihatnya. Kalo masalah lacak-lacak melacak memang Kojek jagonya. Indra penciuman dan perasanya sudah teruji selama ini. “Hmm… Gak orang jauh ini…”

“Kimak! Dah serius-serius kutunggu… masih aja kao pake anekdot itu lagi…” maki Iyon karena Kojek memakai kata-kata yang lazim digunakan para dukun kelas teri yang sering ngibulin para pasien lugunya agar terkagum-kagum. Ditambah berbagai macam bumbu seperti belah jeruk purut-lah, air sebaskom-lah, kuning telor-lah, macam-lah!

“Trus? Mau kita apain? Kita datangi aja langsung, kan?” usul Kojek setelah melemparkan sisa batang mangga itu kembali padaku. Aku yang geli karena bekas dijilat Kojek, benda itu kulemparkan ke tengah jalan karena lokasi pelaku penyerangan itu sudah diketahui Kojek. Mereka berdua lalu menatapku minta tanggapan.

“Iyaa? Cemana? Kita datangin, ayok!” putus Iyon yang selalu menjadi motor penggerak kami. Terlebih dia yang selalu bisa kami andalkan untuk menuju tempat-tempat sulit tanpa harus menggunakan moda transportasi. “Kita serbu aja orangnya langsung… Jangan maen-maen sama Ribak Sude… Trio kita masih eksis sampe kapanpun…”

“Boleh-laa… Tapi jangan maen langsung sruduk dulu, Yon… Kita tanya biasa-biasa aja dulu…” kataku. Kami bertiga ini sudah tidak muda lagi seperti dulu. Seharusnya umur memberi banyak waktu bagi kami untuk berkembang menjadi bijaksana. Jangan terlalu mendahulukan emosi yang dulu terbukti selalu membuat kami dalam kesulitan. Banyak sekali kesulitan karena keputusan-keputusan salah yang makin membelit kami dalam problem yang silih berganti.

“Tapi orang seperti ini… pasti sudah banyak korbannya…” kata Kojek sedikit mengurangi relijiusnya. Matanya sedikit mengetat dengan pupil membesar. Sepertinya selera makannya bangkit. “Menghapusnya dari muka bumi ini mungkin sedikit banyak akan membantu melenyapkan kejahatan dan penderitaan para korbannya…”

“Ya udah… Pegang Kojek, Seng… Kita berangkat sekarang…” kata Iyon setelah larak-lirik sekeliling menilai situasi agar tidak ada yang tau saat kami menghilang nanti. Ia memegangi bahu kanan Kojek dan aku memegangi bahu kirinya. Kojek sebagai penunjuk arah dan Iyon mengarahkan kami kesana dengan jurus B3 (Bayangan Bunga Bujur).

Sebuah spiral seperti vortex cepat menghisap kami masuk dan keluar kembali di pinggiran hutan yang gelap. Ada sebuah rumah gubuk yang diterangi lampu minyak di bagian dalam saja. Bisa dipastikan kalo ke sanalah tujuan kami. Setelah kutelisik lebih jauh lagi, lingkungan hutan yang gelap ini ternyata bukanlah hutan, hanyalah jejeran perkebunan karet yang terlalu rindang hingga menyerupai rimbunnya hutan karena ada jalan kecil yang berkelok-kelok yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua sebagai akses.

“Sepertinya orang itu datang kemari meminta bantuannya untuk mengirim sengkolo ke tetanggaku… Aku pernah melawannya di daerah kekuasaannya… Tapi entah ini orang yang sama atau beda…” jelasku akan situasinya. Kami masih memandangi bangunan gubug itu. Kami jelas tidak memandang remeh situasi ini. Ini jelas-jelas berbahaya. Don’t do it at home. At your own risk. Segala macam tanda peringatan untuk klen yang tidak paham dunia ini.

“Dia keluar…” kata Kojek. Suara denting yang terdengar dari tadi berhenti. Denting itu seperti suara sedang menempa sesuatu di dalam sana. Mungkin ada perajin besi di dalam gubug. Mungkin dia orang itu. Kami menunggu sampai orang itu benar-benar muncul di depan kami. Kami semua tentu saja sudah siap sedia. Kami bukan pemain baru di dunia ini. Aku bahkan sudah menyelipkan beberapa lembar daun ilalang yang banyak tumbuh di sekitar tempat ini dibalik lenganku. Daun ilalang normalnya aja sudah tajam, apalagi kalo kuubah menjadi keempat pedang daun andalanku. Entah apa yang disiapkan Iyon dan Kojek karena mereka sepertinya mereka tenang-tenang saja. Iyon melipat tangannya di depan dada sedang Kojek memegang tangan kanannya di depan perut.

“Tak tuk tak tuk…” langkah kaki berdetak di lantai kayu gubug berbentuk panggung itu. Bayangan seseorang muncul dari arah belakang rumah. Ia terlihat bertongkat. Ralat… Itu adalah tombak. Orang itu lebih siap dengan langsung menunjukkan senjatanya. Dari perawakannya, ini bukan dukun kimak yang dulu kulawan sewaktu menghapus sengkolo yang dikirimkan pada Aida dan Agus. Tubuhnya lebih kecil dan bungkuk. Kemungkinan lebih tua dari dukun kimak itu, atasannya, guru! “Cleb!”

Sebuah pisau belati pendek menancap tepat di depan kami. Pamornya berkarat dan berasap hitam tipis. Kami bertiga mengambil dua langkah mundur agar tidak menghirup asap yang berbau busuk itu. “Ada perlu apa kalian kemari?” tiba-tiba orang itu menjelma dari asap tipis yang keluar dari belati tadi. Berpindah dari gubug ke dekat pisau yang dilemparnya. Kami tidak terlalu terkesan dengan pamer kekuatannya itu, karena itu terlalu medioker. Banyak jenis trik untuk melakukan hal persis seperti itu. Benar dugaanku, ini orang yang berbeda dengan dukun kimak yang pernah bertarung denganku dulu. Ia jauh lebih tua dari dukun kimak itu. Umurnya sekitar 80-an, terlihat dari kerut-kerut di wajahnya yang kasar juga punggungnya membungkuk. Jelas-jelas ia menantangku dengan menyerang Agus di daerah yang sudah kupagari dengan pagar ghaib. Kalo ia hanya sekedar menyerang saja, pastinya dapat dilakukannya kapan saja dan dimana saja, kenapa harus menunggu Agus masuk ke daerahku? “Perlu mengirim sengkolo atau mungkin banaspati?”

“Apakah benar anda yang telah menyerang seseorang di halaman ru-”

“Undang kami masuk!” potong Kojek. Kami semua beralih pandang padanya. “Sebaiknya kau dibasmi di dalam saja…” lanjut sahabatku ini dengan dingin. Apa yang sudah dilihat Kojek dari orang tua renta ini. Pandangan matanya seperti pemangsa yang sedang membidik buruannya. Instingnya mengatakan sesuatu.

“Ah ha haha… Harimau ini sedang mengincar leherku ternyata… Silahkan… Silahkan masuk…” orang tua itu menunjuk ke arah gubug kayunya. Bertarung di dalam sana tentunya tidak akan memungkinkan secara normal, tetapi tentunya ada arena yang lebih pantas untuk ini. Beriringan kami mengikuti langkah tertatih-tatih orang tua itu menuju rumahnya. Kami masuk dari pintu depan. Orang tua itu masuk terlebih dahulu. Begitu Iyon yang paling belakangan masuk melewati pintu, suasana dan bentuk bangunan kecil itu berubah drastis sama sekali. Menjadi semacam cekungan luas yang panas dengan beberapa kolam magma menggelegak panas berlangit gelap yang teramat pekat. Ini di dalam sebuah kawah gunung berapi!

“Selamat datang di daerahku… Apa ini yang kalian harapkan?” tanya orang tua itu tersenyum lebar membanggakan daerah yang menjadi daerah kekuasaan ke-Menggala-annya. Peluh kami segera bercucuran karena panas tempat yang langsung berdekatan dengan sumber batuan cair yang menggelegak di kolam-kolamnya. Ini mungkin gambaran neraka versi dunia. Yang kimaknya lagi, itu tua bangka tidak kepanasan sama sekali. Dia santai-santai aja gak berkeringat sama sekali. Pengalaman puluhan tahunnya tidak sembarangan ternyata. Berhadapan dengan panas tempat ini membuatnya kuat bertahan tak terusik. Ia mulai mengangkat tombak berkarat yang sekaligus menjadi tongkatnya. Mulai berputar-putar.

“Ayolah… Kakek udah terlalu tua untuk jadi mayoret… Cita-cita yang gak kesampaian, ya?” mulutku gatal untuk tidak mengomentari gayanya. Ini penyakitku untuk selalu memprovokasi lawan menggunakan apapun yang mereka lakukan, mencari celah. Kedua sahabatku mulai bergerak untuk berpencar.

“Hati-hati… Senjatanya itu beracun…” kata Iyon memperingatkan kami yang sudah mengulurkan senjata cambuk andalannya. Kali ini ia mengeluarkan cambuk versi rantai dari sekian banyak jenis cambuk yang ia punya. Ada cerita di tiap cambuk yang ia miliki. Iyon dan Kojek sudah mengambil posisinya masing-masing. Bahkan sahabat Tapanuli-ku itu sudah membuka baju putih lengan panjangnya itu pertanda ia serius untuk menghadapi lawan ini. Aku juga sudah bersiap dengan bakiak Bulan Pencak dan mengambil posisiku di formasi serang yang kerap kami lakoni menghadapi lawan seperti ini.

Kojek di depan sebagai penyerang utama, aku dan Iyon sebagai penyerang tambahan di kanan kirinya. 4 pedang daun jelmaan daun ilalang telah terbang menyebar sebagai 4 pedang empat mata angin. Iyon mengulurkan cambuk rantai besi yang ujungnya berbandulkan gir titanium kecil. Orang tua itu dengan gagah beraninya menghadapi kami bertiga seolah ini sudah makanannya sehari-hari. Dia sangat percaya diri dengan tombak berkarat itu. Pastinya dia punya andalan lain. Magma panas ini misalnya. Tersentuh dikit aja sudah tentu gosong. Dan entah apa lagi serangan rahasianya. Ia hanya memegangi tombak itu laksana tongkat yang membantunya berdiri.

“Apa kalian akan berdiri saja?” tanyanya menantang dengan suara serak parau.

Iyon menjawabnya dengan sabetan cambuk rantainya. Ia bisa menyerang dari jarak jauh dengan senjata itu. Kakek tua menangkisnya dengan tombaknya hingga ujung gir titanium itu terbelit di ujung mata tombaknya, lalu menangkis serangan serupa dari pedang Selatan-ku yang berkelebat cepat terbang menebas. Bunga api terpercik beserta serbuk karat akibat benturan keras. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi dua serangan awal itu dan ia bisa menahannya dengan baik hanya dengan satu tangan yang memegang tombak saja. Ini memang lawan berat. Kojek tidak bergerak, hanya menunggu. Dia sedang menganalisa mangsa.

Tarik menarik terjadi antara Iyon dan sang kakek tua akibat terbelitnya ujung cambuk besi itu di mata tombak. Tak disangka kekuatan fisik Iyon tak sanggup menarik kakek itu. Sungguh ia memang patut sesumbar dengan kemampuannya. Ia juga masih sempat menggunakan tombak itu untuk menangkis 4 pedang daunku yang datang sambar menyambar bergantian.

Kakek tua ia mengacungkan tangannya yang bebas ke arahku dan sebuah belati kecil lainnya menancap di depanku. Asap hitamnya membuatku melompat mundur. Dari asap hitamnya muncul mahluk besar berupa genderuwo hitam kemerahan di ujung rambut tebal sekujur tubuhnya. Mahluk ghaib ini bahkan punya dua golok besar berkarat yang mulai disabetkannya padaku. Lawan kami ini bermaksud untuk memecah kekuatan kami agar tak mengeroyoknya lebih lama. Ia juga melempar sebuah belati lain ke arah Kojek. Dari asap hitamnya muncul genderuwo lain yang juga kemerahan tak bersenjata. Aku kemudian hanya bisa fokus bertarung dengan lawanku sendiri.

Genderuwo ini tidak seperti genderuwo yang pernah kulawan sebelumnya. Ini lebih kuat berkali lipat hingga aku lumayan kewalahan melawannya. Sabetan-sabetan golok besarnya sangat berbahaya. Aku harus berjumpalitan dan kadang menangkis dengan bakiak Bulan Pencak milikku. Dua pedang daun Utara dan Selatan di dua tangan dan pedang daun Timur dan Barat berkelebatan terbang membantu. Pun, aku tak pernah berhasil mendesaknya. Bahkan dua pedang daun di tanganku mulai rompal sana-sini permukaan tajam diperkerasnya. Genderuwo ini makin ganas menyerangku. Aku bahkan tak sempat melirik bagaimana keadaan dua sahabatku; Iyon dan Kojek karena aku harus bertahan. Bahkan bertahan hidup.

Sempat aku berpikir, salah kalo kami datang menyatroni orang tua ini dengan gegabah tanpa perhitungan sebelumnya. Begini jadinya kalo melawan pendekar yang level keilmuannya melebihimu. Ketakutan mulai melandaku. Pedang Selatan di tangan kiriku akhirnya patah, cepat-cepat kubuang dan menggantinya dengan pedang daun Barat. Sabetan keras dan penuh tenaga genderuwo yang menjadi lawanku ini kembali mematahkan pedang daun Utara di tangan kiriku. Dua pedang daun andalanku tidak berdaya melawan mahluk Menggala lawanku ini. Tanganku kebas merasakan getaran kuat benturan yang telah terjadi.

Ya. Orang tua itu sepertinya punya lebih dari satu mahluk Menggala berbentuk genderuwo hitam kemerahan yang memakai berbagai jenis senjata. Lawanku ini memakai sepasang golok. Ketika aku bergulingan di tanah keras berbatu-batu ini, kulihat Iyon juga sedang habis-habisan bertahan atas gempuran genderuwo lawan. Ia bahkan sudah mengganti cambuk miliknya dengan jenis lain untuk melawan senjata lawan yang berupa trisula kembar. Kojek lebih menggenaskan lagi, ia mendapat bulan-bulanan pukulan gencar genderuwo lawannya yang bertarung tanpa senjata seperti dirinya. Kojek tidak berusaha melawan, hanya menerima saja pukulan berupa bogem besar mahluk astral itu di sekujur tubuhnya, mukanya, dadanya, perutnya. Apa yang diincarnya pasti kena bogem. Luka berdarah dan lebam ada di sekujur tubuhnya.

Kakek tua itu hanya tertawa-tawa riang melihat ketiga lawannya yang tadi sesumbar datang menantang, kini menjadi samsak hidup tiga genderuwo mahluk Menggala-nya. Ia berdiri di sebuah gundukan tanah berbatu-batu yang sedikit lebih menanjak dari permukaan tanah lainnya. Kadang ia menghentak-hentakkan tombak berkarat itu ke bebatuan di sekitarnya hingga berguguran.

Rasanya sakit sekali tubuhku, sekujur tubuhku karena luka-luka sabetan ini. Semua pedang daun jelmaan bilah ilalangku sudah musnah. Bakiak Bulan Pencak-ku entah ada dimana melayangnya tadi. Genderuwo itu menginjak dadaku dengan mengacungkan satu golok besarnya ke leherku, siap menebasku kalo aku macam-macam dengannya. Goloknya yang sebelah lagi diacungkan ke udara merayakan kemenangannya. Ia merayakannya bersama dua genderuwo lainnya yang mengacungkan tangan dan senjata juga. Iyon dan Kojek senasib denganku, terpuruk di tanah kotor berbatuan lava ini, siap menerima kekalahan. Genderuwo lawan Iyon menginjaknya di bagian pipi, menggencetnya kuat di tanah dengan trisula mengancam lehernya juga. Kojek bahkan sampai diduduki mahluk ghaib besar itu di perutnya, bersiap menghajarnya lagi kalo bergerak.

Apa jadinya kami ini? Dulu kami sering mengalami ini dan selalu ada bantuan yang menyelamatkan leher kami. Akankah itu terjadi kali ini?

Orang tua itu turun dan menghampiri kami. Suara langkah kakinya yang berat beradu dengan bebatuan yang berserakan di mana-mana. Kadang terdengar suara denting-denting itu sesekali lagi. “Mana sesumbar kalian itu? Kalian pikir mudah mengalahkan orang tua ini?” ejeknya begitu dekat dengan jarak dengar kami.

“Maafkan kami…” kata Kojek tapi masih bernada ketat. Mungkin karena perutnya diduduki genderuwo itu. Tentu berat menahannya.

“Ahh… Maaf… Tapi kalian tetap tidak akan selamat dari sini… Benar… Aku yang telah menyerang si gendut itu di pagar rumahmu…” tunjuknya padaku. Maksudnya adalah Agus di atas pohon manggaku. “Itu karena kau sudah mengalahkan muridku… yang memakai klewang berkarat itu… Kau tentu masih ingat dia, kan?” tanyanya padaku sambil menendang kakiku yang terdekat dengannya. Aku mengaduh kesakitan. “Dia sudah tidak bisa menerima pasien lagi sekarang… Itu karena kau… Dan ini balasannya… Beserta teman-temanmu juga…”

“Sudah banyak yang menjadi korban kalian…” kata Kojek tak pilih-pilih kata.

“Waah… Gak terhingga tentu… Aku sudah lama menerima pasien… Muridku juga banyak… Tidak ada yang bisa lepas dari kirimanku…” ujarnya membanggakan diri. Ia mengetuk-ngetuk tombak itu ke tanah keras. Terdengar denting lamat-lamat. “Kalian juga korbanku… Termasuk keluarga kalian juga tentunya… He he heeee…” panik aku mendengar kata-katanya barusan. Orang tua ini sangat kejam dan berbahaya. Ia sangat tenggelam dalam kegelapan. Teringatku dengan semua keluargaku yang sedang berkumpul di kampung. Kedua anakku yang lucu dan cantik. Istriku yang baik dan pengerti-…

“Klenengan itu… sudah hentikan saja…” kata Kojek.

“Apa?” gusar orang tua itu dengan muka ketat.

Kojek bangkit dan menepis genderuwo yang sedang menduduki perutnya hingga terhempas dengan mudahnya ke samping. Ditendangnya mahluk malang yang sedang kesakitan itu ke arah kolam magma. Genderuwo itu berenang-renang panik di dalam kolam panas menggelegak lalu tenggelam luruh. Muka orang tua itu makin ketat. Tak kurang dua genderuwo lain; yang menginjak kepala Iyon dan yang menginjak dadaku, keduanya juga panik mengetatkan tekanannya pada kami. Orang tua itu menyiapkan tombaknya karena Kojek berjalan lurus tepat ke arahnya.

“CLEB!” tombak berkarat itu menusuk tepat ke dada Kojek dengan telak. Ada darah terciprat dari bekas luka tusukan menghujam jantung Kojek. Aku bahkan tak mampu bersuara kaget melihat kejadian itu. Aku yang berikutnya.

“Klenengan ini maksudku…” Kojek mengambil sesuatu dari ujung mata tombak itu. Dua buah klenengan kecil yang ditautkan berhubungan dengan benang merah. Kojek menggoyangnya hingga menimbulkan suara berdenting karena keduanya beradu. Ia seperti tak merasakan tombak berkarat yang menusuk jantungnya. Malah bermain dengan klenengan yang didapatnya dari ujung tombak lawan. “Ini rahasiamu, kan?”

Rahasia? Kojek menemukan rahasia kakek tua lawan kami ini. Kukira itu dari karat atau asap hitam dari belati itu. “Apa yang kau temukan, Jek? Apa rahasianya?” tanya Iyon yang pipinya masih diinjak kuat genderuwo lawannya.

“Ini cuma halusinasi lewat hipnotisnya… Kita sama sekali tak mengalami ini… Gak ada ini semua…” kata Kojek ringan dan menepis tombak yang menusuk jantungnya. Benda panjang berkarat itu bergoyang sebentar lalu pudar menghilang. Kakinya menyontek sebuah batu di dekatnya ke arah kolam magma yang menggelegak panas. Seharusnya batu itu hanya nyemplung masuk dan tenggelam luruh di dalamnya, tetapi suara krompyang yang terdengar sebagai gantinya. Arang membara berserakan dengan sedikit lidah api yang muncul kemudian. Ada sebuah tungku yang terbuat dari besi dengan kaki-kaki kokoh penopangnya, benda itu terbalik tumpah. Menumpahkan isinya.

Tungku api? Gimana bisa kolam magma itu berubah jadi tungku api? Halusinasi? Hipnotis?

Wait a minute… ledis en jentelmen…

Aku menyaksikan bagaimana Iyon bangkit dengan mudah setelah menepikan kaki besar genderuwo yang menginjak pipinya dengan garang itu. Bangkit sembari menendang dagu mahluk itu dengan lututnya. Ia melayang jauh, menghantam dinding kawah lalu luruh jatuh tak bergerak seperti boneka kain. Ia sepertinya sangat murka dipermainkan sedemikian rupa hingga mengeluarkan cambuk yang sangat jarang dipakainya. Cambuk itu terulur panjang dan bergerak-gerak liar seperti punya kehendak sendiri.

Kojek menunduk tepat waktu saat Iyon menyabetkan cambuk berjuluk Kamarasuta itu berputar 360 derajat. Menyapu genderuwo yang tersisa, yang menginjak dadaku, menyabet kakek tua itu dan dinding kawah yang luas ini. Berderak-derak suaranya seperti dunia akan runtuh akibat sapuan dahsyat sabetan cambuk Kamarasuta. Benar! Dunia ini memang runtuh…

Tunggang langgang aku menyelamatkan diri dari apapun yang sedang runtuh menimpaku ini. Potongan kayu dan genteng mendominasi reruntuhan. Kenapa di langit ada genteng? Ada galangan bambu juga yang harus kuhindari beberapa kali sampai aku benar-benar selamat tanpa diruntuhi benda-benda lagi. Aku sudah berada di tepian hutan karet yang artinya sudah keluar dari daerah kekuasaan Menggala kakek tua itu. Dan juga gubug tua yang tadi runtuh menimpaku, sudah rata dengan tanah. Ada titik api yang muncul di beberapa sudut. Aku teringat dengan tungku api itu.

Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa ini? Kutunggu sampai Kojek benar-benar mencapaiku. Ia menyeret kakek tua itu tanpa memandangnya sebagai orang tua sama sekali. Ia menganggap orang itu sebagi sampah. Lebih rendah dari binatang.

“Aku tidak keberatan harus jadi pembunuh untuk membantai sampah ini… Akan kucampakkan bangkainya ke sarang bejatnya itu… Biar terbakar bersama dosa-dosanya selama ini… Biar tau dia dulu rasanya menderita…” bengis muka Kojek yang bentar-bentar lagi bakalan meludahi objek kemarahannya ini. “Cuih!”

“A-aa… Jangan, Jek… Ada cara yang lebih beradab dari pada itu…” cegah Iyon sebelum Kojek menginjak kepala kakek tua yang menatap kami melompong kosong.

“Polisi?”

“Ah… Kapan pulak kita bawak-bawak polisi… Si desperate lover boy kita inilah… Masih banyak buah-buahanmu, kan?” tanya Iyon padaku. Buah?

————————————————————————————
Sepeninggal kedua sahabatku itu dari kumpul-kumpul berbahaya kami barusan, aku merenung sebentar mengingat kejadian tadi. Pertarungan dimana kami kalah telak. Kalah kekuatan dari seorang Menggala yang menggunakan mahluk ghaib 3 genderuwo hitam kemerahan sebagai bantuan tarungnya. Kekuatannya aslinya tidak terlalu kuat sehingga ia memanipulasinya dengan trik hipnotis yang meningkatkan daya tarungnya berkali-kali lipat. Padahal kalau bertarung normal, mustahil baginya untuk mengalahkan satu saja dari kami. Ini kami dikeokkannya sekaligus bertiga.

Mulai kami menginjakkan kaki di depan gubug kayunya, kami sudah diperdengarkan denting klenengan kecil itu sebagai media hipnotisnya. Sugesti disampaikan bertahap hingga kami melihat kolam magma di dalam gubugnya yang ternyata hanyalah tungku besi berapi. Suasana panas di dalam gubug itu kami asosiasikan sebagai kawah gunung berapi padahal hanya beberapa tungku perapian untuk memanaskan besi guna ditempa. Sikap percaya dirinya berhasil membuat kami kehilangan kekuatan dan menyerah pada kekuatan hebat 3 genderuwo-nya.

Untunglah Kojek cepat menyadari trik kakek tua itu dan kami terbebas dari belenggu berbahaya hipnotis mematikannya. Bisa saja ia membunuh kami bertiga dan membuang mayat kami di daerah jin buang sempak itu. Siapa yang akan mengira kami menghilang disana?

Trus… Jadi Kojek membantai kakek tua itu? Gak jadi. Gak seseram itu Trio Ribak Sude kami ini membungkam lawan. Masih ingat dengan buah-buahan yang tumbuh subur lagi segar di taman daerah kekuasaanku? Ada banyak jenis buah di sana yang tak pernah berhenti memanjakan mata dengan kesegaran hasil buminya. Tapi buah itu terlarang buat dimakan? Kok kek buah yang dilarang makan sama Tuhan untuk Adam? Gak seberat itu, kok. Cuma yang makan buah dari tamanku akan mengalami terbukanya secara permanen mata batinnya. Penderita akan melihat semua dimensi-dimensi yang ada tanpa batas. Mahluk-mahluk astral tidak bisa menyembunyikan bentuk sejatinya di depan penderita. Bentuknya serem-serem pastinya. Kau gak akan mau ada di kondisi itu terus-menerus, deh. Iyon menyuruhku mengambil satu buah di sana dan memberi makan si kakek tua buah tersebut.

Besok atau kapan orang akan menemukannya di dekat puing-puing terbakar gubugnya sambil teriak-teriak histeris kek orang gila karena melihat banyak mahluk astral yang belum pernah dilihatnya sama sekali, kini terlihat jelas. Dia Menggala dengan 3 genderuwo, kan? Genderuwo itu mahluk astral, kan? Sudah biasa, dong? Bagaimana kalo kuberitau satu rahasia… Karena bentuk-bentuk hantu atau setan yang kelen bilang serem itu… kek kuntilanak, genderuwo, pocong, tuyul ato apalah, itu hanyalah bentuk samaran mereka saja. Semacam fan-service. Bentuk ketakutan kita akan objek-objek tertentu. Itu bukan bentuk asli mereka…

Kakek tua itu akan melihat bentuk sejati mereka mulai sekarang.

“Hei?” seseorang menepuk pundakku sampe kaget anak mudanya. “Melamun aja…”

“Loh… Ajo Mansur? Kemari lagi? Sama siapa?” kagetku celingak-celinguk mencari sosok ketiga istrinya seperti tadi siang. Sore tadi abis ngobrol denganku, mereka permisi pulang ke Padang dengan janji akan balik lagi besok saat pesta berlangsung. Ini tengah malam datang lagi.

“Sendiri aja… Masak gak boleh ketemu sama keluarga sendiri-ah…” katanya sembari mengambil kursi plastik sewaan dan duduk di depanku. “Udah… biasa aja nengoknya… Ga usah bilang juga… ‘Kenapa gak bobo bareng istri?… Pengantin baru gitu loh…’ Gak usah, Seng… Ajo dah bosan sekali dengar itu…” kata menebak jalan pikirku akan menggodanya dengan status pengantin baru dengan 3 istri cantik dan muda. Harusnya begitu, kan?

“Keknya ada masalah ya, jo? Mukanya cingkaruik (nekuk-nekuk/kusut) gitu kali…” nilaiku membaca raut mukanya yang serasa nelangsa. Padahal ia harusnya jadi pria paling hepi saat ini. Kalo aku jadi dia, pasti kopong lututku karena gak keluar kamar berhari-hari. Kugilir 3 istriku berganti-ganti sampe bunting. Lagian ajo Mansur sudah tidak muda lagi, harus buru-buru punya anak dan keturunan.

“Boleh curhat, Seng?” pintanya berat. Ada apa? Sampe ia segininya nyari waktu yang tepat untuk menemuiku di saat yang benar-benar sepi. Di antara tenda-tenda dan kursi plastik yang disusun berjejer untuk keperluan pesta besok, hanya ada kami berdua saja. Tidak ada orang lain.

“Ih… Boleh-la, jo… Apa cobak?” sambutku harus welcome.

“Kalapiah den dak dapek naiak lagi-ma, Seng…” (Burungku gak bisa naik lagi, Seng)

Bersambung

dosen sexy
Cerita dewasa pemerkosaan ibu dosen yang cantik
Foto bugil pengantin baru yang sexy pakai CD transparan
dukun cabul sexy
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian tiga
Tiga dara cantik ngajakin ngentot di hotel
Jepitan Susu Lydia Yang Tiada Tanding
sekertaris cantik sange
Sex Appeal Yang Menggoda Dari Boss Ku
Mandi Bareng Dengan Tante Dewi
pegawai apotik
Menikmati tubuh pegawai apotik waktu dia jaga malam
Abg Berenang Bugil di Kolam Renang Umum
Foto Bugil Cewek Korea Cantik Toge
istri teman sexy
Nikmatya Tubuh Sexy Istri Temanku
ngocok bareng
Ngocok bareng dengan ibu ibu cantik sampai keluar
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
Foto bugil anje viral bugil sambil colmek sampai muncrat
tante hot
Cerita sex aku dan tanteku yang sexy
karyawan cantik bugil
Vony gadis cantik teman kantor yang punya libido tinggi