Part #30 : DILEMA BESAR

Medan perang adalah tempat yang terus menerus kacau.
Pemenangnya adalah orang yang bisa mengendalikan kekacauan itu.
– Napoleon Bonaparte

Angin bertiup semilir di sore menjelang malam, gonggongan anjing yang menyalak menyanjung datangnya rembulan terdengar hingga di ujung pendengaran, berpadu-padan dengan klakson mobil di kejauhan. Tidak ada suara lain lagi yang terdengar, hanya helaan nafas bersahutan dalam kesunyian yang mencekam. Tenang sebenarnya hari itu. Seandainya saja tidak ada campur tangan manusia yang menghadirkan tambahan suara, maka hening alam seharusnya bisa bermain-main dengan bahagia, berselancar mengarungi indahnya lembayung merah jambu di tepian cakrawala.

Semilir angin berkesan basah ibarat pertanda akan datangnya hujan malam nanti, ibarat berhembus untuk mengabarkan warta sekaligus janji, memberikan kesempatan bagi penghuni bumi, untuk bersiap akan datangnya rintik penyejuk hari. Tapi itu nanti. Saat ini? Semilir angin yang dingin membuat jiwa-jiwa yang panas jauh lebih mereda. Sudah pasti dingin cuaca akan menghadirkan juga sejuk di jiwa.

Semua aman, damai, dan tenteram.

Tapi bohong.

Karena meskipun angin sejuk bersemilir, suasana mendadak menjadi lebih panas dari seharusnya.

Ya. Sore itu panas sekali rasanya. Panas udara, panas di badan, panas di hati. Terasa panas setidaknya bagi sekumpulan anak muda bertampang keras siap tempur yang saling bertatapan garang di tengah lapangan Universitas Zamrud Khatulistiwa. Dua kubu tercipta, tidak ada maaf, tidak ada ampun, tidak ada kata menyerah.

Kampus yang sering disebut dengan nama Unzakha adalah kampus yang lumayan jauh dari peradaban, meskipun posisi resmi pintu depannya ada di samping Jalan Kalipenyu, tapi kompleknya yang luas ibarat kota kecil di lereng gunung dan untuk mencapai komplek gedung-gedung utama maka harus melalui jalan masuk yang cukup jauh dari jalan besar – apalagi kalau mau masuk ke lapangannya yang terdapat di posisi belakang kampus.

Seperti kata Albert Einstein, lapangan yang jauh dari peradaban, cocok jadi arena pertempuran.

Jauhnya lokasi Unzakha dari penduduk terdekat membuat raungan teriakan seperti apapun tidak akan terdengar, resiko datangnya protes masyarakat juga jauh lebih kecil – khususnya masyarakat yang ada di sekeliling lapangan. Benar-benar kondisi yang sangat sesuai dan aman untuk dijadikan medan perang.

Mungkin itu yang ada di benak mereka yang sore itu hadir di lapangan Unzakha. Dua kubu yang berseteru, mempertaruhkan hegemoni kekuasaan di kampus terbesar di kawasan utara. Komando Samber Nyowo berhadapan dengan tuan rumah Sonoz yang beraliansi dengan musuh bebuyutannya sendiri, DoP.

Tokoh yang saat itu menjadi pemeran utama, tidak lain dan tidak bukan adalah sang ketua DoP yang hadir langsung di arena – Rao sang hyena gila.

Oppa – sang arsitek kekacauan yang berdiri di sisi KSN hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kehadiran mantan bosnya yang tanpa diduga datang membantu Sonoz. Ia menyandarkan satu tangannya di pundak Amon sang beruang.

“Rao… Rao… Rao… sekali lagi sampeyan dan DoP berurusan dengan hal yang seharusnya tidak diurusin. Kok ya uripe digawe angel nemen sih. Apa yang kami lakukan dengan Sonoz saat ini jelas-jelas bukan urusan DoP. Apakah sampeyan lupa kalau DoP dan Sonoz itu musuh bebuyutan? Lupa kalau beberapa saat yang lalu kalian saling bertemu di Tarung Antar Wakil?” Oppa mendesah panjang, getir rasanya mengucapkan kalimat demi kalimat ini pada orang yang dulu pernah ia kagumi. “OwalahMbok ya sudah to, lebih baik DoP menyingkir dari tempat ini sekarang juga, dan kami akan mengampuni DoP untuk beberapa bulan ke depan.”

Rao mendengus. Ia nyengir sinis. Mengampuni?

Nobita mengambil alih. Ia berdiri di depan Oppa dan berkoar-koar, “Ya. Kami akan mengampuni kalian supaya bebas bergerak di wilayah utara. Kurang baik apa coba kami ini? KSN bukan sekedar geng kampus biasa seperti DoP atau Sonoz. Kalian semua ini berhadapan dengan penguasa wilayah utara yang baru! Berani-beraninya kalian melawan dewa-dewa?! Kami-kami ini sudah naik level – sudah punya kelas yang berbeda, kita tidak lagi berdiri sejajar di panggung yang setara.”

“Nobitaaaaaaaa!!” Rikson berteriak sengit dari belakang Rao. Ada dendam di sana.

Nobita menyeringai sinis tak mempedulikan panggilan dari Rikson. “Selama ini siapa sebenarnya yang telah membesarkan DoP? Yang telah membesarkan Sonoz? Ya kami-kami ini yang sekarang berdiri di sisi KSN! Tanpa kehadiran kami di kubu kalian, geng kampus hanyalah sego jagung lawuh teri. Lihat saja Sonoz saat ini! Hanya dipimpin dua orang pejabat sementara yang cupu-nya minta ampun. Tak layak untuk kelompok sekelas Sonoz. Coba bayangkan mau jadi kelompok macam apa mereka nantinya? Memalukan! Lebih baik menyerah dengan kepala tegak, bergabung dengan KSN dan menjadi kelompok terkuat di utara! Tidak perlulah ada pertumpahan darah!”

Hageng menggeram penuh emosi dan berjalan ke depan dengan cepatnya untuk menangani Nobita, omongannya sengak banget orang satu itu – tapi Rao menghalanginya. Sang hyena menggelengkan kepala pada Hageng.

Nobita tertawa melihat Rao menghentikan Hageng. “Nah iya, kalian sebaiknya mingkem! Sebaiknya kalian tahu diri dan…”

Swshhh.

Tiba-tiba saja Rao sudah berada di hadapan Nobita! Hanya beberapa sentimeter saja jaraknya!

“Ra-Rao… aku hanya…” kalimat itu tidak diselesaikan.

Bledaaaaaaagkkkkhhhhh!!!!!

Satu pukulan kencang membuyarkan wajah Nobita. Frame kacamatanya patah seketika karena kencangnya jotosan sang hyena. Tubuh pemuda yang baru saja berkoar-koar itu terlontar lima meter ke belakang dan menimpa beberapa anggota KSN yang tidak siap. Empat orang ambruk bersamaan.

Rao berdiri dengan kepalan di depan dada.

“Itu untuk Rikson.” Ucap Rao sengit sambil menggenggam kepalan tangannya erat-erat.

Nobita mencoba berdiri meski sempoyongan, beberapa orang anggota KSN membantunya.

Swsssh.

Sekali lagi Rao berada di hadapan Nobita. Pemuda itu mundur tertatih dengan tubuh bergetar, matanya terbelalak melihat Rao memandangnya dengan tatapan keji yang mengerikan, ia belum pernah melihat wajah Rao yang seperti ini. Tangannya disorongkan ke depan, seakan memohon ampun. “A-aku mohon, ja-jangan… ja-jang…”

Kepalan Rao terayun.

Bledaaaaaaammmm!!!!!

Tak ada ampun. Nobita benar-benar melayang dan berputar di udara saking kerasnya pukulan itu. Satu, dua, tiga gigi terlepas, tubuh terhempas, dan wajah semakin tidak jelas. Hidung bengkok, mata bengap, dan darah pun mulai muncrat tak karuan di wajah sang pengkhianat. Ia jatuh berdebam dan terguling beberapa kali sebelum meregang sesaat sampai akhirnya benar-benar pingsan.

“Yang satu itu untuk DoP.” desis Rao.

Nobita sudah terkapar, sang hyena pun memalingkan wajah pada Oppa, Amon, dan Don Bravo. Ketiganya pucat pasi. Mereka sama sekali tak mengira hari ini akan berhadapan dengan Rao yang sedang sangat berniat menumpahkan darah. Senyum mengerikan yang tersungging di bibir Rao ibarat setengah lingkaran maut yang menjadi penagih dendam.

Rao memandang ke arah Don Bravo tanpa berkedip – sama-sama tahu apa yang akan terjadi dan apa yang sebaiknya dilakukan. Berkat orang inilah Rao tahu kalau sore ini KSN menyerang Sonoz.

Rao kemudian berpaling ke arah Amon – sang bedebah bongsor itu masih saja tanpa ekspresi, meski mata nyalangnya menunjukkan kekhawatiran layaknya seekor binatang buas yang terjepit predator lain. Tapi bahasa tubuhnya mengisyaratkan ia hanya sedikit memiliki rasa ketakutan, Amon memang anomali, entah apa yang bisa membuatnya merasakan kengerian.

Rokok di bibir sang hyena bergulir dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri ketika ia akhirnya bertatap-tatapan dengan Oppa – the architect of chaos. Rao tidak banyak bicara saat memandang Oppa, tapi tatapan kejinya sudah menjadi pertanda amarah yang menyala.

Rao kembali melihat ketiga mantan kaptennya dan mendesis, “Aku sudah menunggu-nunggu datangnya waktu untuk akhirnya dapat berhadapan dengan kalian semua. Pucuk dicinta ulam pun tiba, hari itu akhirnya datang juga. Kalian ada pesan yang mau ditinggalkan untuk orang tua kalian? Atau mungkin sudah menyiapkan kata-kata yang akan diukir di nisan?”

Ketiga orang itu mundur teratur.

Sebagian besar KSN ikut mundur.

Saat Rao maju setapak demi setapak, semua lawan mundur dengan jantung berdebar.

Setelah ancamannya terucap, Rao tak lagi berkoar untuk menambahkan banyak kata. Dia lantas berhenti, lalu berdiri tegak dengan mata terpejam. Samar, bibirnya bergumam, tangan kirinya mengepal sesaat sebelum jemarinya direntangkan lebar-lebar sembari diputar berlawanan dengan jarum jam.

Oppa berkeringat dingin, dia tahu apa yang akan dilakukan sang hyena. Gawat gawat gawat! Sekarang atau tidak sama sekali! Gawat gawat gawaaaaaaat!

“Seraaaaaaaaaaaaaaaaaang!!!” teriak Oppa panik.

Gemuruh terdengar, teriakan demi teriakan bersahutan. Gelanggang telah dibuka.

Semua pengikut KSN menyambut perintah itu dengan berlari ke depan, termasuk Oppa, Amon, dan Don Bravo. Misi mereka cuma tunggal, habisi Rao sebelum ia mengeluarkan kekuatannya puncaknya!

Melihat lawan bergerak, Hageng juga berteriak kencang. “Bazmi merekaaa!! Majuuuuuuuuuuuu!!”

Sonoz bergelora dan lari ke depan menyongsong datangnya pasukan KSN. Kepalan sudah tak sabar ingin dibenamkan ke tubuh lawan, langkah kaki ibarat terbang di udara – kencang dan sekuat tenaga, Pasukan Sonoz dan DoP yang setia bersiaga untuk menyambut gerombolan KSN yang berhamburan tak tentu arah, hampir semua menghindari posisi tengah apalagi melihat Hageng dan Rao sama-sama sudah turun di arena dan berdiri gagah di sana. Aliansi DoP dan Sonoz menyerbu lawan dengan menyatukan kekuatan. The enemy of your enemy is a friend.

Hanya begitu saja, perang sudah tercipta.

Baku hantam tak terelakkan, adu jotos, adu pukul, tebaran tendangan, guliran sepakan, rajaman sodokan, tubuh bergelimpangan, darah muncrat tak beraturan, biru membiru di sekujur badan. Entah siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa yang imbang, yang penting menyerang.

Suara langkah kaki mendekat membuat Rao membuka mata – ia melihat bayangan Oppa, Amon, dan Don Bravo bergerak maju bersamaan diiringi rombongan besar KSN di belakang mereka. Mau mengeroyoknya? Mimpi! Pimpinan DoP itu mengangkat tangan ke depan, lalu membuat gerakan pelan seperti menghentak.

Hfaah.” Sang hyena berucap lirih, ia menghentakkan tangannya berulang-ulang ke depan.

Boooooooom! Boooooooom! Boooooooom!

Semua yang berada di lapangan Unzakha hari itu menjadi saksi betapa hebatnya kekuatan ki milik Rao. tak hanya sekali, ia berulangkali meledakkan tenaganya, dan rombongan KSN pun bubrah uyah, tumpah ruah, berantakan tak beraturan, cerai-berai, terlempar ke sana kemari. Oppa terhenyak terbang ke belakang cukup jauh, demikian juga Don Bravo. Hanya Amon yang masih teguh bertahan dengan kaki yang menancap kencang di tanah. Ketahanan bedebah bongsor yang satu ini memang paten. Tapi di luar itu? Rombongan KSN langsung morat-marit.

Sesaat kemudian sebagian suasana berubah menjadi sunyi menatap dan menyaksikan sang pimpinan DoP beraksi. Lawan kagum, kawan hormat, tidak ada yang tidak segan menatap sosok yang berdiri tenang di tengah arena sambil memainkan rokok di bibirnya.

Kori menggelengkan kepala sambil berbisik pada Remon, “tidakkah Rao terlalu berani dengan mengeluarkan tenaga teramat besar di awal pertarungan?”

“Itu artinya bos kita percaya diri pertarungan ini akan cepat berakhir.” Jawab Remon sambil tersenyum. “Sebagian dari kita sudah bertarung, saatnya kita juga maju.”

Kori membalas senyum dan menyiapkan sarung tangannya. “Rawe-rawe rantas.”

“Malang-malang tuntas.” Jawab Remon.

“Horyaaaaaaaaaaaaaa!!!” teriak Kori membahana memimpin teman-temannya yang masih berada di belakang.

Pasukan DoP pun berteriak kencang menyambut ajakan perang sang jendral. Mereka berteriak-teriak riuh. Tak peduli bahwa mereka sesungguhnya tamu di tempat ini. Bagai kejora matahari penerang, kekuatan DoP menyala dan menantang, saatnya menyerbu dan menuntaskan lawan!

“Seraaaaaaaaaaaaaang!!”

.::..::..::..::.

Amon meraung. Beberapa orang anggota DoP ataupun Sonoz yang mencoba menyerang langsung dilemparkan jauh dengan kekuatannya. Bedebah bongsor itu punya pukulan yang tidak main-main, sekali sambar, maut terbilang. Sang beruang memang menyeramkan. Bahkan ia tidak akan berhenti begitu saja saat lawan terkapar. Amon mengejar lawan-lawan yang sudah jatuh, dan menginjakkan kaki segede gajahnya di wajah untuk memastikan mereka benar-benar sudah tak mampu lagi bangkit!

Beruang buas itulah yang kini dihadapi Jo dan Bondan.

Kedua orang berbeda tipe cara bertarung itu bergerak bersamaan, menyerang dari sisi kiri dan kanan. Jo bersiap mengangkasa dengan tendangannya, dan Bondan siap menghajar dengan pukulan beruntunnya. Kedua pemuda yang bernaung di bawah unit Remon itu tentunya sudah sejak lama tahu kemampuan Amon, itu sebabnya sejak dulu mereka tidak berani bertingkah macam-macam di hadapan Amon karena salah sedikit – benjol taruhannya. Tapi itu dulu, saat mereka harus hormat bumi langit pada sang kapten. Sekarang? Sekarang mereka adalah lawan, sekarang mereka berseberangan. Jadi bisa ataupun tidak, jatuh ataupun hancur, mereka harus berjuang untuk menjungkalkan Amon!

Bondan maju dengan melenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri sambil melindungi wajah dengan lengan yang ditumpukkan di depan badan. Gerakannya sering disebut dempsey roll dalam dunia boxing. Lincah, cepat, dan menyengat.

Jo dan Bondan bergerak bersama. Saat Jo melontarkan tendangan untuk menyerang bagian atas tubuh Amon, di bawah Bondan meluncurkan rentetan pukulan bergantian dari tangan kanan dan kiri ibarat gattling gun.

“Hraaaaaaaaaaaaahhhh!!” Jo melompat teramat tinggi. Ia melayangkan tendangan untuk menyambar kepala Amon.

“Heaaaaaaaaaaaaaahhh!!” Bondan melepaskan pukulan demi pukulan.

Sblaaaakghhhhhhhh!!

Telapak sepatu Amon menghunjam keras ke muka Bondan. Merunyamkan kesadarannya. Wajah Bondan bagaikan menabrak tembok bata. Ia terlempar ke belakang dan langsung tak sadarkan diri hanya dengan sekali sepakan kencang.

Saat itu juga Amon menepis tendangan Jo.

Jo turun ke tanah dan menatap ngeri apa yang terjadi pada Bondan. Bangsaaaaat! Dengan apaan sih mereka berhadapan? Tangki tinja? Incredible Hulk? Bagaimana cara mereka bisa mengalahkannya?

Melamun di tengah perang.

Jo lengah.

Fatal.

Lengah di medan perang memang fatal akibatnya. Dengan cekatan tangan kiri Amon memegang kepala belakang Jo dan mencengkeramnya sehingga Jo tidak dapat bergerak sama sekali! Siku tangan kanan Amon membentuk huruf V secara menyamping yang diangkat teramat tinggi dengan kepalan menghadap ke bawah. Ini dia pukulan martil sang beruang.

Amon mengibaskan tangan kanannya ke kiri.

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Satu. Wajah Jo terbongkar.

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Lagi! Yang kedua! Bibir Jo bocor dan darah mulai mengucur.

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Tiga!

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Empat!

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Lima.

Bledaaaaaaagkkkkkh!

Enam.

Jo mengerang, mencoba memohon ampun. Tapi mulutnya sudah runyam sehingga tak keluar satu pun suara yang jelas. Sembab di mata juga membuat anggota DoP itu benar-benar tak bisa melihat dengan jelas lagi. Ia sudah sangat hancur.

Sekali lagi tangan Amon terangkat, hendak terayun.

Saat itulah satu tangan besar menyambar leher Amon dari belakang, lalu menariknya ke belakang dengan kecepatan tinggi dan kekuatan yang dahsyat. Tubuh Amon terjerembab.

Jeblaaaaaaammmm!

Ubun-ubun Amon disambut oleh kerasnya tanah lapangan Unzakha. Sang beruang pun meraung kencang. Ia berguling kesakitan ke kanan dan ke kiri. Siapa yang baru saja menyerang Amon? Butuh kekuatan maha besar untuk menumbangkannya dalam sekali tarik!

Serangan mendadak pada Amon membuat Jo terlepas dari hantaman beruntun yang membuatnya tak berkutik. Anggota DoP itu jatuh ke tanah dan bergulir ke samping, ia mengerang kesakitan dan sudah tak mampu lagi turun ke medan laga. Usai tugasnya hari ini. Tapi rasa penasaran menaungi Jo. Siapa yang baru saja menyelamatkannya?

Ada pemuda bertubuh besar berambut kribo berdiri di atas Amon.

Hageng namanya.

Melihat Amon terkapar di tanah, sang T-Rex bergegas melompat dan menghunjam ke bawah dengan cepat dan berkekuatan penuh, double foot stomp!

Bgkh.

Hanya menumbuk tanah. Serangan Hageng gagal. Amon berhasil memindahkan diri ke kanan dengan cekatan sebelum kaki Hageng mengenai badannya. Dengan menggunakan satu tangan sebagai penumpu, Amon melompat ke atas untuk kembali berdiri tegak.

Kelincahan si bedebah bongsor ini memang kelas wahid. Kalau saja tidak keburu bergabung dengan KSN, Amon mungkin akan ditarik oleh kelompok-kelompok besar seperti Dinasti Baru atau QZK. Kekuatannya bisa jadi legenda – dia kuat dan tahan guncang, seperti kulkas model lama.

Kulkas model lama itu mendengus menatap Hageng. Dia menyunggingkan senyum tipis – untuk pertama kalinya mulutnya terbuka, dia mengucapkan dua kata dengan suara berat yang menyeramkan. “Ronde kedua.”

“Maju!” Hageng panas.

Sang beruang kembali berhadapan dengan T-Rex. Auman disambut raungan. Tidak ada kata mundur. Adu jotos kembali terjadi tak terelakkan. Saling balas, saling bunuh, berlangsung dengan cepat tanpa aba-aba.

Bkkgghhhh! Bkkgghhhh! Bkkgghhhh! Bkkgghhhh! Bkkgghhhh! Bkkgghhhh!

Setiap kali Amon memukul, Hageng membalas. Adu jotos kedua manusia bongsor menjadi ajang adu kekuatan. Raw fight – tanpa pelindung, tanpa menggunakan lengan sebagai penahan, tanpa ampun. Benar-benar adu jotos brutal bergantian. Darah di wajah Hageng makin deras, matanya kian sembab. Tapi demikian pula yang terjadi pada Amon, wajahnya makin tidak karuan. Dari segi kekuatan, mungkin keduanya setara, dari segi teknik, dari segi strategi bertarung?

Buooogkkhh! Beeegkkhh! Buooogkkhh! Beeegkkhh! Buooogkkhh! Beeegkkhh!

Semakin lama, tenaga keduanya makin terkuras, tapi itu tidak lantas menghentikan Amon dan Hageng beradu hantam. Napas mulai kembang kempis, tenaga kian tergerus, tapi semangat masih terus menyala.

Tentu saja di dunia ini tidak ada yang tidak berakhir.

Pada suatu ketika, tiba-tba saja ritme pertarungan berubah. Tiga pukulan Hageng masuk tanpa dibalas!

Buooogkkhh! Beeegkkhh! Buooogkkhh!

Tiga kali kepalan tangan Hageng berhasil masuk menyeruak dan menghajar tulang pipi Amon. Sang beruang tergoyang ke kiri dan kanan. Hageng tertegun sejenak, kenapa bisa begitu? Kenapa Amon membiarkan pukulannya masuk?

Seharusnya dia senang pukulannya mencapai sasaran, tapi kali ini ada yang aneh.

Saat Hageng bersiap melontarkan pukulan berikutnya dengan ragu-ragu, barulah sang T-Rex sadar apa yang diincar oleh Amon. Dia merubah tempo pertarungan! Gerakan Hageng pun menjadi canggung.

Siku tangan kanan Amon sudah membentuk huruf v yang diangkat menyamping di sisi kepala saat Hageng sadar apa yang terjadi. Sebelum sang T-Rex sempat mengubah posisi karena tahu apa yang akan dilakukan oleh Amon, tangan itu sudah langsung dikibaskan menyilang berulang sangat kencang dengan presisi yang menakjubkan.

Jeblaaaaaaaamm! Jeblaaaaaaaamm!

Masuk! Dari kanan! Dari kiri! Hageng terhampar pukulan. Siaaaaal! Perubahan ritme menjadikan pukulan dan keseimbangan Hageng berantakan. Fokusnya ambyar.

Jeblaaaaaaaamm! Jeblaaaaaaaamm!

Dua jotosan tambahan masuk ke wajah Hageng! Mau tak mau sang T-Rex mundur dan berusaha melindungi diri dengan menyilangkan lengan di depan wajah. Matanya fokus ke depan, tak lepas dari dua kepalan di depan badan Amon yang bergerak lincah. Si brengsek ini punya kemampuan yang tidak main-main. Kepalan dari tangan kanan maupun kiri sama-sama dahsyat.

Brrrrkghhhh!

Karena berjalan mundur tanpa melihat kondisi medan pertempuran, Hageng terjerembab ke parit. Tubuh besarnya masuk ke dalam liang kecil yang mengunci rapat tubuh besarnya. Gawat. Hageng menatap ke arah Amon yang tersenyum sadis.

Sang beruang melaju kencang, lalu tiba-tiba saja melompat tinggi, kedua kakinya mengarah ke posisi kepala Hageng. Double foot stomp!

Setan alas nggayemi talas!

Apakah ini saatnya Hageng tertumpas?

.::..::..::..::.

Remon dan Kori berjalan beriringan, menuju lawan mereka yang sudah menunggu, Roni di kiri dan Tedi Ganesha di kanan. Senyum sinis Remon mengganggu ego Roni.

“Kalau sudah jodoh memang tidak akan kemana. Ketemu lagi kita.” senyum licik Remon membias di wajahnya, ia menatap orang yang sudah mengalahkannya di ajang Tarung Antar Wakil tempo hari. Remon menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Langkah kakinya tegas menuju Roni. “Ada rindu dan ada dendam. Ada kepalan yang tertinggal, saatnya mengembalikan.”

“Satu lawan satu saja kalah. Apalagi dua lawan dua.” Roni tersenyum sinis.

Tapi Remon tak menggubris, ia masih terus berjalan dengan santai ke arah sang lawan.

Tedi Ganesha sudah tak sabar menunjukkan kekuatannya. Inilah kali pertama ia terjun sebagai Kapten KSN. Ditugaskan untuk membumihanguskan Sonoz yang bagaikan anak ayam kehilangan induk tanpa kehadiran Simon. Akan memalukan rasanya kalau dia sampai gagal. Ingin rasanya dia segera beraksi dan menunjukkan prestasi. “Sudahlah, kita tidak perlu banyak omong. Gitik wae lak uwes.”

Bgkh.

Tubuh Tedi terlempar ke belakang dan jatuh berdebam.

Pemuda itu menggeliat dan menatap langit yang makin gelap. Tetesan rintik hujan yang jarang-jarang membasahi wajahnya. A-apa yang barusan terjadi?

Tedi berusaha duduk, tapi sesak sekali rasa di ulu hati, susah payah ia berusaha. Tangannya reflek menyentuh dada, ada tanah tertambat di bajunya, ada jejak kaki di sana. Bajing… ada yang baru saja menendangnya? Siapa yang sudah… bagaimana mungkin dia… matanya nyalang menatap ke depan ke posisi di mana ia tadinya berdiri.

Di tempatnya semula berada, kini berdiri sosok pemuda berambut panjang yang mengenakan sarung tangan. Wajahnya dingin dan tatapannya tanpa ekspresi. Itulah Kori, sang jendral DoP.

Bajing

Bgkh. Bgkh.

Dua tendangan masuk ke wajah Tedi, kepalanya terantuk ke tanah berulang. Kepalanya makin pusing tidak karuan. Dia terjerembab ketika kesadarannya mulai keluar masuk dan pandanganya berkunang-kunang.

Kurang aj

Bgkh.

Ulu hatinya tertohok lagi oleh tendangan Kori.

Tedi Ganesha tersedak-sedak, dia muntah. Keluar sudah semua ketoprak telur yang dimakannya siang tadi di kios ketoprak dekat SMP 1. Ia pun ambruk dengan lemas. Nyawa seperti meninggalkan tubuhnya. Alih-alih membuat orang kagum dengan debutnya, dia justru dibikin tepar hanya dalam beberapa kali serangan.

Hoeeek. Ia muntah lagi.

Kori meninggalkan sang lawan dengan jijik.

Roni menatap kejadian itu dengan mata terbelalak. Kaki Kori sungguh sangat berbahaya, gerakannya lembut tapi dahsyat dan efeknya mengerikan. Tendangan apa itu tadi? Ia sama sekali tidak ingin berhadapan dengannya.

“Heheh. Jendral kami hebat, kan? Itulah tendangan tanpa bayangan andalan Kori.” Ucap Remon jumawa. “Sekarang arahkan pandangan padaku, fokus ke arahku. Karena yang akan menjatuhkanmu hari ini bukan Kori – tapi aku.”

Roni mengerutkan hidung dengan sengit. “Maju kamu. Kebanyakan bacot.”

“Heaaaaaaaaarrrrghhh!” Remon melintas jarak, ia berlari dengan secepatnya dan langsung mengirimkan pukulan beruntun ke arah Roni. Jab. Hook. Straight. Lontarkan semua, cari kelemahan, lempar kesempatan, hancurkan lawan.

Roni bukan orang bodoh. Dia tepiskan semua serangan, elakkan semua hantaman. Sejauh ini semua bisa diatasi. Gerakan Remon memang jauh lebih cepat dan ganas dibandingkan saat mereka pertama kali bertemu di Tarung Antar Wakil. Apa yang menyebabkannya berbeda? Dia benar-benar jauh lebih serius. Mungkin dia ingin menyamakan skor?

Tidak ada gunanya bertahan.

Roni mendengus. Saatnya membalas serangan.

Adu jotosan tak terelakkan. Baik Remon dan Roni sama-sama punya basic boxer sehingga pertarungan keduanya ibarat dua petarung tinju di atas ring yang sama-sama ganas dan buas. Lepasan kepalan membadai, makin lama makin hebat, sama-sama bernafsu menghabisi lawan secepat-cepatnya, lupakan sudah kekuatan paru-paru.

Satu dibalas satu. Dua dibalas dua. Kibasan lengan ditahan. Mata melirik dari balik perlindungan. Kaki bergerak lincah menempatkan badan. Keduanya imbang.

Sampai tetes rintik hujan jatuh di mata Roni, ia berkedip.

Sial.

Jblooogggkkhhh!

Masuk. Remon membuat Roni mundur selangkah saat sambarannya mengenai wajah.

Jblooogggkkhhh! Jblooogggkkhhh!

Roni terhuyung-huyung. Dua kali lagi pukulan Remon masuk. Harus diakui kalau kapten DoP itu memang sedikit lebih cepat dari Roni, dia masih harus belajar banyak. Tapi demi apa kalau dia harus mengakui kekalahan! Tidak bisa! Kakinya menapak kencang.

Remon melanjutkan dengan straight kanan.

Roni sudah mengincar momen ini. ia pun menghindar dari serangan Remon, dan secepat kilat mengaitkan tangan pada pergelangan tangan lawan, dipelintirnya ke kiri. Remon terputar ke samping. Roni melesakkan dua sengatan cepat ke rusuk Remon.

Bdddp! Bdddp!

Tidak terlampau kencang, tapi cukup menyengat. Badan Remon terhenyak. Tidak ingin berhenti, sekali lagi Roni bergerak lincah dan melakukan satu hal yang tidak terduga.

Kakinya menyodok ke depan.

Remon kehilangan keseimbangan.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhhhh!” kepalan Roni melaju dengan kencang. Muka Remon jadi sasaran.

Beeeeeeemmmmghhhhkkkk!

Remon terlontar ke belakang, tapi tak jauh. Kakinya masih sanggup menapak. Roni melontarkan satu jotosan lagi, kali ini Remon sudah siap. Pukulan itu terhindarkan saat sang kapten DoP beralih ke sisi kanan. Roni terkejut melihat lawan bisa menghindar, ia pun segera melompat ke belakang supaya bisa lolos dari apapun yang hendak dilakukan oleh Remon.

Satu. Dua. Tiga.

Tiga detik berlalu.

Tapi Remon ternyata tidak melakukan apa-apa.

Dia hanya berdiri diam menatap Roni sambil tersenyum. Roni hanya bisa mendengus kesal, dia memasang kuda-kuda. Remon menundukkan badan, juga mempersiapkan kuda-kuda. Keduanya kembali bersiap.

“Aku ikut supaya cepat.” Kori berdiri di samping Remon.

Roni mengernyitkan dahi. Satu saja sudah repot, apalagi sekarang harus berhadapan dengan dua sekaligus. Sompret.

Kejadian berikutnya sungguh mengagetkan bagi Roni.

Jblooogggkkhhh!

Satu dari dua orang yang berdiri di depannya jatuh berdebam.

Roni melongo.

Lho, kok…? What the fu…?

Kenapa dia menyerang temannya sendiri? Apa yang terjadi? Apa yang baru saja ia saksikan? Tapi tak seberapa lama kemudian Roni tertawa saat orang itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Oh jadi begitu maksudnya. Dia sudah menyeberang tapi diam-diam?

“Bangsat. Selamat bergabung ke KSN.” ucap Roni.

Orang itu tertawa.

.::..::..::..::.

Rao memang mengerikan, dia besar, dia kuat, dan dia cepat. Dengan gesit ia melenggang dari serangan lawan yang bergantian dan berjubel. Mereka satu persatu mencoba menjatuhkannya. Rao berkelit dengan mudahnya. Ia juga bergerak teramat cepat untuk menghempaskan satu demi satu kroco KSN itu tanpa ampun.

Kemanapun ia melangkah, lawan berjatuhan. Satu lawan, dua lawan, tiga, empat. Semua dihindari semua dilewati. Lima lawan, enam lawan, tujuh, delapan. Delapan lawan gagal menyentuhnya. Sang hyena terkekeh mengerikan, kepalan tangan disiapkan, kaki diluruskan. Ia membalikkan badan dan dengan kecepatan tinggi dan mendatangi kembali lawan-lawan yang sebelumnya dihindari.

Buoookgghhh! Buoookgghhh! Buoookgghhh! Buoookgghhh!

Kepalan dan tendangan dilayangkan. Delapan orang terbang, terkapar, dan pingsan, terhempas bagai kapas bagai awan. Satu demi satu penyerang Rao singkirkan, ia kibaskan dan mereka menyingkir dari hadapan. Semua terhempas, terkapar dan tuntas.

Dua orang maju menyerang bersamaan, Rao bersalto ke depan untuk menyongsong serangan. Satu tangannya berpijak ke tanah sebagai tumpuan – lalu ia putar kaki di udara bagaikan gasing raksasa. Dua wajah tersambar, terlempar, menggelepar. Rao melompat kembali untuk berdiri gagah tanpa cela, ia lalu melaju kencang ke depan, melompat mengincar satu lawan. Lawan yang tak siap disodok dua lutut dipadu. Dada terhentak, kerah dicengkeram, kepalan diangkat, lawan terpegang erat.

Buoookgghhh! Buoookgghhh! Buoookgghhh! Buoookgghhh!

Kepalan dilepaskan berulang, darah muncrat, tubuh terjerembab. Tak ada yang bisa menghentikan amukan sang hyena gila.

“Raaaaaooooooooooooooo!!!”

Oppa berteriak kencang menantang di atas bukit buatan di samping lapangan. Sang hyena membaca medan. Itulah lawan yang paling ia incar. Ia berjalan pelan, lalu lebih cepat, lalu semakin cepat, lalu lebih cepat lagi, lebih cepat lagi!!

Rao berlari!!

“Oppaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Lurus menerjang, Rao berlari kencang. Jarak dipangkas teramat singkat. Delapan, tujuh, enam, lima meter. Empat, tiga, dua, satu meter.

“Modyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!!!” Rao berteriak kencang.

Ah, rindu dendam. Sudah saatnya dituntaskan. Sang pengkhianat harus menerima ganjaran. Sekarang saatnya menyelesaikan. Lama sudah dinanti kesempatan.

Sayang, Rao lengah karena tergerus emosi sesaat.

Satu lengan raksasa tiba-tiba saja muncul menyambar lehernya!

Hggkkkhhh! Sbkkkghhhhhh!!

Rao tersambar lengan besar itu, tubuhnya berputar bak gear terlepas dari porosnya. Rao terjerembab, tapi secepatnya ia mencoba bangkit. Lagi-lagi gerakannya tidak secepat sang pemilik lengan yang sudah mencekik lehernya.

“Kamu yang namanya Rao? Apa kabar?”

Rao mendelik dan melirik ke samping, siapa orang yang sedemikian cepat dan kuat? Tidak mungkin dia orang yang biasa-biasa saja! Siapa yang telah menyambar dan… bajinguk!!! Orang ini kan…!??

“Salam kenal wahai Rao. Namaku Darsono, pemuncak KSN.”

Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh!

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Sodokan lutut Darsono masuk ke perut berulang! Rompal semua rasanya iga sang hyena! Darsono menarik leher Rao mendekat, lalu bagai tolak peluru, ia sorongkan ke depan!! Dengan mudahnya Darsono melempar Rao ke tepian tembok pagar lapangan.

Buaaaaaaaagggggkkhhhhh! Hggkkkhhh!!!

Rao terlontar ke sisi kanan, tembok tinggi kokoh menjadi petaka. Punggungnya terhentak tepat di tepinya. Rao meraung kencang, melolong kesakitan.

Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh!

Keras, kencang, tanpa ampun, Darsono mengirimkan bogem mentah bertubi ke wajah Rao. Bubar ketampanannya, moncrot di mana-mana. Saat pukulan dari depan menyambar, tembok di belakang menghentak kencang. Rao bahkan tak sempat melawan.

Hngggkkkkkhhh!

Sang pimpinan DoP terpepet ke tembok dan sekali lagi lengan besar Darsono mengunci lehernya, mencekiknya. Napas sang hyena gila makin tersengal karena tertahan telapak tangan yang begitu besar. Pimpinan DoP itu mencoba meronta dan melawan. Tapi sekapan lengan Darsono ibarat ikatan kencang tali tambang yang tak bisa dilepaskan.

Tangan besar itu pula yang lantas memegang dagu dan bagian belakang kepala sang hyena.

“Aku lihat dari tadi kamu merokok terus. Sudah saatnya kamu diajari mencintai bumi.”

Tiba-tiba saja Darsono menumbuk berulang perut Rao dengan lututnya! Tubuh Rao menekuk, kesakitan parah di rusuk. Darsono melompat pendek, kepala Rao terbawa, dipegangnya kencang, lalu dihantamkan mukanya ke tanah!!

Booom!

Rao mengerang, tubuhnya masih bergerak.

Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh!

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam kali! Tanpa henti kaki Darsono menumbuk bagian belakang kepala Rao dengan injakan sekuat tenaga! Darsono tertawa cekakakan dan geli, tapi tak lantas membuatnya berhenti.

Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh! Jbbgggkkkh!

Runyam sudah sang hyena.

.::..::..::..::.

Jika tiap kapten di DoP memiliki unit mereka masing-masing, maka para jendral pun memiliki pasukan elit mereka sendiri – pasukan elit ini hanya terdiri dari lima sampai sepuluh orang terpercaya yang terlatih dan terpercaya. Rikson memiliki unit elit yang dinamakan Doghouse yang tugas utamanya menjaga Kandang Walet dari serangan external sedangkan Kori punya unit elit White Lights yang merupakan pasukan pemburu dan penghukum.

Pasukan elit Doghouse biasanya menjadi prajurit penjaga Kandang Walet ataupun menjaga para pimpinan saat berada di Kandang Walet. Mereka jarang sekali keluar kandang – hingga saat ini. Saat ini Rikson dilindungi oleh tiga punggawa kepercayaannya dari Doghouse. Tiga orang yang secara khusus direkrut dari keseluruhan anggota DoP dan dilatih untuk menjadi terbaik dari yang terbaik. Tiga orang yang berstatus prajurit elit di jajaran DoP, tidak ada yang tahu nama asli mereka kecuali tentunya administrasi kampus.

Kenapa Rikson harus meminta bantuan Doghouse?

Pertama karena dia belum pulih benar dari luka tusuk tempo hari sehingga saat memasuki area pertarungan hebat ini dia tidak ingin dipecundangi lawan dengan mudah. Kedua karena dia percaya banget pada anggota-anggota Doghouse yang memang merupakan orang-orang pilihan. Ketiga karena dia tidak ingin lagi dikhianati oleh orang seperti Nobita – sehingga Rikson benar-benar memilih ketiga penjaganya dengan seksama. Mereka masing-masing memiliki kemampuan yang cukup tinggi meski tentunya belum selevel dengan para kapten dan mantan kapten DoP seperti Oppa, Amon, dan Don Bravo.

Ketiganya bekerja dengan efektif menjaga, melindungi, dan meng-cover posisi Rikson namun pada saat yang bersamaan juga bisa menyerang dengan ganas dan tepat sasaran. Saat ini, ketiga orang tersebut berjaga-jaga di sebuah toilet tua di dekat lapangan Unzakha.

“Bulldog, Labrador, Doberman – kalian bertiga pastikan tidak ada orang yang masuk kemari. Siapapun itu. Orang DoP sekalipun. Mengerti!?” tegas Rikson sebelum dia masuk ke ruang kamar kecil yang kosong.

“Siap.” Ketiga penjaga dengan nickname unik di hadapan Rikson mengangguk hampir bersamaan. Ngomongnya barengan, geraknya pun samaan, beneran seperti pinang dibelah tiga.

“Sembunyikan juga keberadaan kalian. Tidak lucu kalau tempat ini diketemukan gara-gara ada yang lihat kalian nongkrong-nongkrong cantik di sini.”

“Siap.”

Rikson masuk ke dalam toilet dengan mendengus, baunya gila banget nih tempat. Kenapa juga sih memilih tempat ini? Kayak tidak ada tempat lain aja. Untungnya semua orang masih sibuk saling bantai di lapangan hingga tidak menyadari kalau Rikson sudah tidak ada di posisinya semula.

“Son.”

Rikson mendongak dan di atas atap ia melihat Don Bravo nangkring.

Bajilak. Apa ga bisa normal aja nih ketemuannya? Segininya amat.

“Cepat. Kita tidak punya banyak waktu.” ujar Rikson memburu.

Kalau ada yang sampai memergoki Don Bravo diam-diam bertemu dengan Rikson – nyawa si pemakan bengkuang bisa terancam. KSN bukan geng kampus biasa, mereka adalah kumpulan para biadab. Itu sebabnya semua harus dilakukan dengan cepat dan rahasia.

Don Bravo mengeluarkan sebuah catatan dari dalam saku bajunya, lalu melemparkannya ke Rikson.

“Apa ini?” Rikson bertanya-tanya.

“Bukti-bukti anyar, dab. Aku baru saja mendapatkan kabar kalau di DoP masih ada pengkhianat yang belum terekspos. Sama seperti aku, dia juga menjadi mata-mata yang membocorkan semua gerakan DoP pada KSN.”

Bajing… seriusan masih ada mata-mata!?”

“Ada. Mungkin hari ini dia akan membuka jatidiri.”

“Siapa?”

“Aku tidak berani berspekulasi – tapi lingkaran kita makin kecil. Aku tahu kalau mata-matanya pasti bukan kamu. Kori dan Remon yang masuk daftar pengawasan, berikut nama-nama anggota yang tertera di daftar itu.”

“Baiklah. Akan aku sampaikan ke Rao.”

Don Bravo melirik ke arah jauh, pertarungan masih jauh dari usai, “sudah saatnya aku kembali ke KSN. Mereka tidak boleh curiga.”

Rikson mengangguk, ia melirik ke arah secarik kertas di tangannya.

Pertanyaannya sepertinya mengerucut.

Remon atau Kori?

.::..::..::..::.

Darsono tertawa terbahak-bahak saat melihat Rao terkapar dan dipaksa tidur di bawah langit yang gelap bertaburan bintang di saat rintik hujan mulai turun membasahi lapangan. Sang hyena gila telah ditaklukkan.

“Bagaimana rasanya berada di bawah? Makanya jangan sok! Masih muda kok wes kemaki! Sudah gegayaan! Itu yang namanya kuwalat! Ngerti? Ngerti po ra e, su?” Darsono memaki Rao.

Jeblaaaagkkkhhh!

Pimpinan KSN itu sekali lagi menendang wajah Rao yang makin moncrot. Sang pria gempal tertawa terbahak-bahak.

“Ngerti sekarang bedanya KSN sama geng kelas piyik punyamu itu? Ngerti sekarang bedanya KSN dengan geng tae kocheng macam kalian?!” maki pimpinan KSN itu sambil berkacak pinggang. Wajahnya puas menatap lelehan darah di wajah sang hyena, “Kalian itu to, masih harus banyak puasa mutih, kungkum di kolam lele, mancing kathok kombor neng kali mambu! Intine… kalian masih harus belajar banyak baru bisa menyusul kemampuan kami, jadi jangan belagu! Wes to, mending sekarang kalian bubar, pulang, makan Olive Chicken, maen mobel lejen, tidur, atau ngapainlah terserah. Lupakan soal geng-gengan begini! Serahkan saja semua pada kami!”

Kata-kata Darsono membuat Oppa bahagia. Baru kali ini ia puas melihat Rao yang dulu harus dihormati kini terbaring tanpa daya dengan muka penuh darah. Pertempuran ini tidak akan lama lagi pasti selesai dengan KSN mengantongi kemenangan.

Rao membuka mata yang tadinya terpejam sambil terlentang menatap langit, hembusan angin dingin bersemilir bak ombak kesegaran yang mengguyur wajah pedihnya. Bibir pemuda itu menyunggingkan senyum teramat lebar yang hampir sampai dari ujung telinga satu ke telinga lain. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara tawa yang mengerikan. Tawa cekakakan seekor hyena yang seakan-akan tak kenal menyerah.

“Baru begini saja aku sudah disuruh menyerah? Njijiki. Kalian pikir aku ini apa?” tantang Rao.

Dengan menyunggingkan senyum mengerikan bercampur darah, sang pria berjabatan tertinggi di DoP itu kembali berdiri meski harus susah payah dan sempoyongan. Matanya menatap tajam Darsono tanpa lepas sekalipun.

Ptui!

Rao membuang darah dari dalam mulutnya. Bicaranya bagaikan gumaman, antara jelas dan tidak jelas. Ia memandang ke arah sang lawan dengan pandangan merendahkan.

“Cecunguk kayak kalian paling-paling hanya akan bertahan sebentar, wahai fosil kadaluwarsa. Mungkin bukan kami yang akan menghancurkan kalian, mungkin bukan mereka.” Ucap Rao menunjuk orang-orang Sonoz, “tapi kalau kalian berpikir kalian akan sanggup menguasai wilayah utara dengan cara-cara licik yang memuakkan… bersiaplah untuk menerima ganjarannya. Wilayah utara terlampau indah untuk dihuni paguyuban telek lincung yang isinya cuma cecunguk bangsat dan pengkhianat bosok macam kalian. Jadi jawabannya jelas tidak, aku tidak akan menyerah begitu saja dan rela membagi bahkan sejengkal pun tanah utara pada kalian. DoP tidak dibangun dari darah pengkhianat. Mau menghancurkan kami? Mau menguasai UAL? Langkahi dulu mayatku. Hekekekekeke.”

“Ngomongnya besar padahal rai-ne gobyos getih. Itu muka darah semua. Ngaca dulu, masbro.” Dengus Darsono menyepelekan. “Jangankan mempertahankan UAL, berdiri beberapa menit lagi saja kamu paling-paling sudah tidak kuat. Kalau memang harus melangkahi mayat, ya uwes. Suruh temenmu menyiapkan nisan.”

Rao tidak peduli dengan ucapan lawan. Ia justru melanjutkan. “Lambat laun toh kami-kami juga yang akan mengambil-alih semuanya. Kalian yang di atas sudah bau tanah. Jadi daripada besok-besok, kami mulai saja dari sekarang revolusi generasinya.” Rao kembali terkekeh, “Sudahlah Pakde. Mau pilih panti jompo atau RSJ? Kami akan…”

Darsono bergerak teramat cepat. Satu sambaran sentakan punggung bawah telapak tangan masuk menyeruak membongkar dagu Rao sekali lagi. Pimpinan DoP itu terbang ke belakang hampir tiga meter dan terhenti saat menabrak beberapa motor yang terparkir. Tubuh Rao terkulai lemas tapi ia masih terus mendengus dan menggerus, dengan wajah kesal dan pandangan tajam ia menatap sang lawan.

Ia menyadari kalau Darsono meski tubuhnya gempal, tapi cukup lincah dan cekatan menangani lawan. Ini yang namanya wangun, bagaimana mungkin orang itu bisa bergerak dengan sangat cepat dengan tubuh sebesar itu? Pukulannya juga lumayan nggegirisiWuasuuuu, kirik! Kalau begini – jangan-jangan mereka yang benar-benar bakal dimusnahkan sama KSN?

Tap.

Pundak Rao ditepuk dari samping kanan, ada sosok tinggi yang berdiri di sebelahnya.

“Sepertinya kali ini kita harus bekerja sama. Butuh bantuan berdiri?”

Rao menatap ke samping, melihat satu sodoran tangan dijulurkan padanya. Sang hyena gila yang hapal betul dengan suara sosok yang baru datang pun tersenyum, ia menyambut uluran tangan itu dan kembali berdiri di hadapan Darsono yang hanya mencibir sambil manggut-manggut.

Rao mendengus kesal karena berulangkali dipecundangi Darsono tadi, tapi ia kemudian terkekeh ringan sambil memukul pundak penolongnya. “Sekali ini saja aku mau dibantu, lain kali tidak akan sudi.”

Simon tersenyum.

“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kalian dari DoP membantu Hageng menghentikan KSN menghancurkan Sonoz. Tanpa kalian, Sonoz sudah habis dibantai.” Ucap sang pemuncak gunung menjulang sembari memutar pergelangan tangan dan melenturkan jari-jemarinya. Sudah saatnya ia juga turun ke arena!

Rao mencibir. “hanya ada satu kelompok di kota ini yang boleh menghancurkan Sonoz, dan itu bukan KSN.”

“Tidak ada juga yang boleh menghancurkan DoP selain Sonoz.”

Rao terkekeh, ia menganggukkan kepalanya ke arah Darsono dan berkata pada Simon. “Awas jangan menghalangiku menghajarnya.”

“Kamu istirahat saja sambil minum Pocari Sweat. Kebanyakan lotse tiap malam berpengaruh pada perkembangan otak.” Ledek Simon.

Rao cekakakan.

Darsono bergerak maju ke depan dengan langkah santai. Rao dan Simon sama-sama memasang kuda-kuda. Rao menghapus darah di wajah dengan punggung tangannya. Tapi sejenak kemudian ia mengernyit, lalu mengendus tangannya.

“Dab! Kok tanganku mambu sambel kacang? Kamu olesin apa tadi?”

“Aku tadi habis makan pecel ga pakai sendok.”

BajilakMambu, Nyuk!

Guyon waton antara Simon dan Rao terhenti kemudian karena sang lawan sudah berlari mendekat dengan cepat. Sang hyena gila dan pemuncak gunung menjulang mempersiapkan diri untuk menghadapi pimpinan KSN yang memiliki kecepatan dan kekuatan mengerikan itu.

Darsono adalah mimpi buruk. Ibarat seekor banteng dengan kombinasi kecepatan tanpa tanding dan kekuatan yang mendominasi. Baik Simon maupun Rao sama-sama tahu kalau mereka berdua maju sendiri-sendiri mungkin tidak akan mampu menghentikan langkah Darsono jika dia sudah mencapai puncak kemampuannya, mau tidak mau mereka harus menyatukan kemampuan.

Rao membuka telapak tangannya ke depan, ia membisikkan kata-kata pelan.

Hfah.”

Boom.

Tempat di mana tadinya Darsono seharusnya berdiri kini hancur bagaikan terlempar granat tangan. Debu berterbangan, tanah terbongkar, tapi sosok sang lawan sama sekali tak nampak di pandangan. Lenyap tak berbekas bagaikan hantu.

Kemana dia gerangan?

Tanda bahaya menyala laksana tabuhan bunyi genderang yang muncul di benak kedua pimpinan geng kampus. Keduanya sama-sama sadar bahaya sedang mengancam.

“Atas.” Desis Simon ketika ujung matanya melihat gerakan berkelebat.

Rao menengadah untuk melihat ke atas.

Benar, sosok Darsono berada di atas mereka, bertahan di udara dengan ketahanan yang menakjubkan – mereka seakan-akan sedang menyaksikan pesawat hercules mengangkasa. Besar dan berat namun mampu bertahan lama di udara dengan anggunnya. Rao dan Simon sama-sama mengangkat kedua lengannya untuk melindungi diri mereka. Bahkan untuk menghindar pun sudah terlambat.

Kedua tangan raksasa Darsono menumbuk Simon dan Rao bergantian.

Boom! Boom! Boom! Boom!

Darsono mengayunkan kedua tangannya di kanan dan di kiri bagaikan palu bertalu berulang menumbuk paku! Tangannya yang besar menghantam pertahanan Simon dan Rao yang tidak bisa berbuat banyak kecuali meringkuk mempertahankan diri.

Boom! Boom! Boom! Boom!

Sang pimpinan KSN memang jauh lebih kuat dibandingkan Rao dan Simon sekaligus, kedua pemimpin geng kampus itu sampai harus duduk bertongkat lutut saking kencang dan kerasnya dentuman demi dentuman pukulan yang bertubi diluncurkan. Serangan hebat itu membuat baik Rao ataupun Simon tak berkutik, mereka berdua harus berusaha keras bertahan, sehingga tak sempat meluncurkan serangan balik.

Simon kesal – dia baru saja datang dan ingin membuat kesan pada kehadirannya, tapi alih-alih membuktikan kemampuannya, sekarang dia justru berada di bawah serangan bertubi yang tanpa akhir!

“Bangsaaaaaaaaaaaaaaaaaaat!” maki Rao kesal. Kalau begini terus mereka berdua bakal mati kutu!

Sibuk bertahan di atas membuat Rao lengah dengan posisi tubuhnya.

Darsono mengirimkan serangan dari bawah tanpa bisa disadari oleh sang hyena. Lutut Darsono menyambar kencang wajah Rao yang sudah berdarah menjadi makin parah.

Buooooogkkkkkhhhh!

Rao terhenyak mundur ke belakang sekali lagi, tubuhnya melayang dan terguling berulang hingga akhirnya berhenti saat sang hyena memutar badan ke belakang dengan satu salto ringan. Kakinya mencoba menjejak tanah dengan kencang, tapi badannya mengkhianati. Rao mulai goyah, tak bisa berdiri dengan tegak.

“Haaagkkkkhhhhh!”

Darah segar keluar dari mulutnya. Ki-nya ambyar.

Rao tersingkir, Darsono mulai menggila menyerbu Simon, namun sejak serangan lutut pimpinan KSN ke arah Rao tadi – Simon menjadi lebih siaga. Semua serangan dari atas maupun bawah dapat diantisipasi dan ditahan. Tapi itu bukan berarti sang pemuncak gunung menjulang dapat melawan balik. Sama sekali tidak, ia bahkan terdesak terus menerus.

Gawat ini. Kalau begini terus, ia dan Rao tidak akan dapat…

Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Rao dan Simon sama-sama terkesiap sekejap. Ada orang lain lagi?

Sebuah bayangan melintas dengan cepatnya di atas mereka, bahkan Darsono pun tidak dapat melihat sosok yang baru saja hadir. Karena merasakan ada sesuatu yang tidak beres, sang pimpinan KSN bertubuh gempal bersiap dengan kuda-kuda.

Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Bledaaaaaaaammmmmm!

Entah dari mana datangnya, satu kepalan kencang menyeruak masuk ke wajah Darsono, merompalkan giginya yang sudah jarang dan membongkar wajahnya yang tidak nyaman dilihat. Darahnya muncrat. Tubuhnya yang gempal terbang ke belakang hingga terguling-guling tujuh meter jaraknya, napasnya sesak, paru-parunya bagai hendak meledak.

Pu-pukulan apa yang barusan?

Mata Oppa bagaikan hendak melompat saat melihat pimpinannya dilemparkan jauh hanya dengan satu pukulan saja. Dia lebih terkejut lagi saat melihat siapa yang baru datang!

Nanto.

Si bengal berdiri di tengah arena diterpa angin sore sementara Darsono terkapar, Rao terduduk, dan Simon belum lagi bangkit.

Pukulan si bengal itu begitu dahsyatnya sehingga saat terlempar dan terguling, Darsono sempat menatap kegelapan sesaat. Ia bagaikan pingsan di awang-awang sebelum badannya kemudian dihentak berulang bertumbukan dengan bumi. Setelah berhenti terguling, Darsono buru-buru mencoba bangkit tapi badannya terasa sangat lemas dan kaku. Dia berulang kali mencoba bangkit, tapi berulang kali pula tersentak jatuh.

Bajingaaaaaaaak wuasuuuuuuuuuuu, siapa yang telah membuatnya seperti ini!?

Oppa buru-buru datang menghampiri Darsono dan membantunya bangkit. Sambil terus memaki-maki, Darsono pun mengeluarkan ludah darahnya. Siapa lagi yang datang ini? Pukulan apa yang barusan?

Di sisi lain pertarungan, Rao akhirnya baru dapat dengan benar-benar melihat siapa yang datang saat orang itu membantu Simon berdiri. Debu-debu yang tadinya berterbangan mulai surut dari pandangan, hitam kelam gelap malam tak sanggup menyembunyikan wajah yang sudah sangat ia kenal – terutama karena bantuan lampu-lampu lapangan yang dinyalakan benderang.

Wajah itu… orang itu kan…

Rao terbelalak. Dia datang!? Dari mana… kapan… kenapa… dia datang!? Bagaimana dia bisa sampai ke sini? Itu Nanto kan? Itu Nanto!?

Ya.

Nanto sudah hadir di arena dengan tangan terkepal.

.::..::..::..::.

Hujan rintik mulai menetes dari langit, geledek bertalu bergantian bagaikan sang dewa petir membunyikan genderangnya. Kilat menyambar awan yang menebal. Di bawah langit, perang masih terus berlangsung sengit. Kedua belah pihak sama-sama jauh korban, belum ada yang menang dan belum ada yang kalah.

Amon melompat tinggi dan menginjakkan kakinya bersamaan ke arah kepala Hageng!

Double foot stomp!

Bangsaaaaaaaat! Posisi sang T-Rex terkunci, ia tidak bisa bergerak terlalu banyak karena terjebak di parit. Sial! Sial! Sial! Selesai sudah! Hageng memejamkan mata.

Satu detik. Dua detik.

Buooooooogkkkkhhhhh!

Suara apa itu?

“Hngkkkkhhhhhhh!”

Terdengar suara Amon melenguh keras!

Buru-buru Hageng membuka mata.

Ternyata Amon sedang terhenyak mundur sambil memegang perutnya. Terdapat jejak sepatu di sana. Wajahnya memerah, keras, dan ganas. Dia meraung seperti seekor gorila yang marah dan mengamuk. A-apa, kapan, dan siapa yang baru saja membuatnya mundur!?

Bdddkghhhhh! Bdddkghhhhh! Bdddkghhhhh! Bdddkghhhhh!

Sepasang kaki dari arah kanan bergantian menjejak kepala Amon, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri. Bergantian, membuat kepala sang beruang beralih ke kanan dan kiri dengan paksa. Makhluk bertubuh besar itu kembali terdorong mundur.

Bggggkkhhhh! Bggggkkhhhh! Bggggkkhhhh! Bggggkkhhhh!

Datang pukulan beruntun dari sisi kiri menghentak dada dan rusuk sang bedebah bongsor. Karena sejak tadi sudah menjadi sasaran pukulan beberapa orang, bagian tubuh itu kini terasa nyeri. Lagi-lagi Amon terdesak dan melangkah mundur. Kakinya masih tetap kokoh teguh menapak tanah. Tidak. Dia tidak akan jatuh. Dia akan bertahan sampai…

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrghhhhh!”

Satu teriakan kencang terdengar dari arah depan, Amon menengadah. Ada seseorang yang melompat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Tangan sang penyerang dilecutkan ke depan.

Jbuooooogggkkkhhh!

Amon akhirnya rubuh ke belakang menimpa jajaran motor yang tengah diparkir. Pukulan yang terakhir terasa sangat menyengat. Untuk pertama kalinya Amon harus menerima tiga serangan beruntun tanpa sekalipun bisa melawan, dan dia akhirnya bisa dijatuhkan!

Hageng mengejapkan mata.

A-apa yang terjadi?

Sesaat kemudian barulah sang T-Rex sadar.

Bian, Deka, dan Roy berdiri di sana. Di depannya!

“Masih hidup toh, Nyuk?” ucap Bian sambil terkekeh. Ia bergegas membantu saudara kembarnya mengangkat tubuh Hageng. “Jangan mati dulu sebelum kamu bayar utang bubur ayam.”

“Kaliaaaaan! Akhirnya datang juga!” Hageng tertawa puas.

“Kami pasti akan datang, maaf agak lama.” Deka tersenyum, “Lima jari tidak akan pernah meninggalkan kawannya dalam kesulitan. Apapun tantangannya, kita hadang bersama dengan kepala tegak. Karena kita adalah kita, mia san mia.”

Mia san mia.” Desis Roy sambil terkekeh.

Mia san mia.” tegas suara Bian.

Mia zan mia.”

Satu demi satu orang yang baru saja membantu kini berdiri di sampingnya dengan gagah. Deka, Bian, dan Roy.

Hell yeah.

Senyum mengembang di wajah sang T-Rex. Nah ini dia! Ini baru serius! Mereka sudah bersatu! Mereka yang tidak pernah menyerah kalah, mereka yang selalu ada saat teman dalam kesulitan, dan mereka berjuang hingga titik darah penghabisan. Mereka – lima jari yang terkepal.

Hell yeah!

Eh tunggu dulu… Hageng melihat sekeliling sekali lagi. Lho, mana si bengal?

“Nanto?”

Deka menunjuk ke bagian atas bukit-bukit di samping Lapangan Unzakha. Di sana Rao, Simon, Oppa, dan Darsono tengah berhadap-hadapan.

Hageng mengangguk paham.

Pimpinan akan bertemu pimpinan dan mereka akan menghadapi begundal-begundal KSN sisanya. Baiklah! Saatnya menumpas habis rombongan cecunguk kurang ajar ini dan menjadikan mereka kuah serabi kocor!

Amon mencibir kesal – ia menggerutu karena Hageng berlaku curang telah mengeroyoknya dengan mendatangkan bala bantuan. Ora mutu! Dia membersihkan debu di pakaian serta celana lalu berdiri dan berjalan pelan ke arah Hageng dan kawan-kawan. Mau satu, mau dua, mau tiga, tidak peduli! Bantai semuanya! Wajahnya sengak menatap lima jari.

Hageng tersenyum, ia menghapus darah dari bibirnya yang pecah. Ia bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Amon, si bedebah bongsor itu pasti kesal karena mereka berdua tidak dapat bertarung satu lawan satu dengan adil. Baiklah kalau itu yang diinginkan. Hageng tidak akan lari dari tantangan.

“Zi beruang ini bagianku. Kalian menyebar bantu anggota Sonoz dan DoP!”

Deka mengangguk, ia berlari ke kanan.

Bian menepuk pundak Hageng, dan berlari ke kiri.

Roy tersenyum, lalu melompat tinggi bagaikan terbang meninggalkan karibnya.

Amon mendengus melihat lima jari berpencar, dasar bodoh! Sudah ada kawan malah disuruh menyebar! Siapa yang sebenarnya tolol sih? Sekarang keadaan kembali seperti awal tadi. Sudah pasti tidak akan ada perbedaan! Dia akan menghajar Hageng dan menjadikannya adonan kue mochi!!

“Aku tahu apa yang zedang kamu pikirkan. Tapi kalau hanya untuk mengalahkanmu, aku tidak perlu bantuan mereka. Mereka pergi, karena percaya padaku.” Sang T-Rex bersidekap di hadapan Amon. “Ronde ketiga. Zaatnya mengerahkan zemua kekuatan. Berziaplah, Om.”

Amon meraung.

Hageng mengaum.

Keduanya menyerang pada saat yang bersamaan.

Benturan kekuatan tak terelakkan.

.::..::..::..::.

Di sudut lain arena, di bawah hujan yang mulai turun rintik-rintik… kehadiran Nanto membuat Rao menatap tak berkedip. Ono pirang perkoro sampai-sampai si bengal datang ke tempat ini? Apa urusannya sampai di sini?

Skincare, dab?” tanya Nanto sembari tersenyum lebar dan menunjuk ke wajah sang hyena yang tidak karuan. “Benges-mu tekan ngendi-ngendi. Lipstikmu belepotan.”

Rao tertawa, dia melangkah tertatih ke arah Nanto dan keduanya segera ber-fistbump. Tos dengan kepalan.

Kok tekan kene, Dab? Bisa-bisanya sampeyan nyampe di mari?” tanya Rao keheranan.

Wayaiya lah. Aku kan…”

“Bedebaaaaaaaah!!!”

Belum sempat Nanto menjawab pertanyaan dari sang hyena gila, Darsono sudah datang menyergap. Pimpinan KSN itu terbang ke udara seperti yang sebelumnya ia lakukan.

Booommmmmm!

Gagal! Tubuh Darsono terhentak ke belakang!

Rupanya kali ini sudah ada yang siap menyambut serangan sang pimpinan KSN!

Kepalan dahsyat itu datang dari samping menghunjam ke arah wajah Darsono sampai-sampai pimpinan KSN itu terpukul mundur. Untung saja dia sempat mengangkat dua lengan untuk melindungi wajah! Kalau tidak pasti sudah ambyar. Meski mampu bertahan dari serangan, kencangnya pukulan membuat Darsono kembali terguling beberapa kali ke belakang.

Ketika akhirnya berhenti, sang pimpinan KSN bangkit kembali dengan tubuh goyah. Darsono memaki-maki dalam hati.

Daki sidat! Pukulan yang tidak bisa diremehkan! Siapa lagi barusan?

Hantaman barusan tentunya adalah hasil aksi Pukulan Geledek milik Simon.

Sang pemuncak gunung menjulang berdiri gagah di depan Rao dan Nanto. “Nanti saja reuniannya. Kita punya masalah yang harus segera diselesaikan.” Ucap Simon pada Rao dan Nanto. “Kalau kita tidak segera menghabisi om-om satu ini, pertarungan tidak akan usai. Polisi sudah pasti akan datang – kalian tahu apa itu artinya.”

Rao dan Nanto sama-sama mengangguk.

Simon menggemeretakkan gigi dengan kesal sambil berulangkali menggoyang kepalan. Penasaran bangsat! Padahal dia sudah mengerahkan 75 persen kekuatan pada hantaman barusan, tapi Darsono bisa menghadangnya dengan cekatan, dan meskipun terdesak mundur si bajinguk itu bisa bangkit kembali. Pimpinan KSN memang bukan kaleng-kaleng.

Di sisi lain Darsono pun mendengus kesal.

Tidak ada! Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berhak hidup usai memukulnya mundur! Tiga orang di depannya ini harus ditumpas malam ini juga!

Melihat kekesalan sang lawan, Rao tertawa terbahak-bahak. Bahkan Darsono yang tadinya tenang pun sekarang emosi. “Saatnya berpesta.”

Sang hyena gila pun berjalan pelan ke arah Darsono dengan senyum puasnya – kali ini dia berjanji tidak akan lengah dan membiarkan pimpinan KSN itu mengunggulinya lagi. Tidak ada cerita kejadian yang sama akan terulang! Dia akan lebih siap lagi! Bibirnya berkomat-kamit menggulirkan rapalan.

Di samping kanan Rao, sang pemuncak gunung menjulang ikut melangkah ke depan. Dengan wajah menunduk sedikit serta mata terfokus pada Darsono. Seperti biasa ia mengumpulkan tenaga pada satu kepalan tangan, siap menghentakkan Pukulan Geledek andalan. Yang tadi pasti kebetulan bisa ditahan, tidak akan ada kebetulan berikutnya.

Di sisi lawan, Oppa dan Darsono akhirnya menyadari kehadiran satu sosok baru yang berjalan tenang di antara Rao dan Simon. Orang ini yang tadi membuat Darsono terjengkang ke belakang dan mengubah arus pertarungan hanya dengan satu kepalan!

Oppa jelas mengenali siapa yang datang.“Bangsat. Bajingan tengik itu!”

“Kenal?” tanya Darsono.

“Anak UAL. Dia sudah berkali-kali cari masalah.”

Oppa mendengus dan menatap sengit ke arah si bengal, dia lagi dia lagi! Orang itu selalu muncul di sisi yang berseberangan dengannya dan setiap kali muncul dia selalu menunjukkan peningkatan kemampuan, bahkan Darsono pun bisa dilontarkan dengan hanya satu pukulan. Si tengik itu rupanya tidak bisa dibiarkan hidup!

Darsono memicingkan mata. Sejurus kemudian dia tersenyum.

“Baiklah. Sepertinya dia punya ki yang cukup lumayan. Mundur dan jaga jarak, jangan terlalu dekat ke sini, akan aku ladeni mereka semua! Sudah cukup pemanasannya tadi, mereka tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan.” ujar Darsono sambil mendorong Oppa menyingkir, pimpinan KSN itu tersenyum melihat kedatangan Rao, Simon, dan Nanto yang berjalan bersamaan ke arahnya. Tiga lawan satu, eh? Siyaaaap! Darsono berteriak menantang. “Ayoooo! Maju semua! Hajar aku siniii!! Majuuuuuu!!”

Oppa yang disuruh minggir tentu mengikuti perintah sang atasan dan mundur beberapa langkah ke belakang. Apa yang akan dilakukan pimpinannya itu sekarang? Ki seperti apa yang diadopsi oleh pimpinan KSN ini?

Melihat Rao, Simon, dan Nanto bergerak maju ke depan, Darsono pun segera bersiap. Pria gempal itu kemudian menundukkan badan ke tanah, lutut turun dengan posisi kaki agak sedikit unik, tangan menapak dan menyangga badan. Kuda-kuda yang mirip seperti orang push-up namun dengan tekukan siku yang mustahil dilakukan.

Simon menatap kuda-kuda itu dan terbelalak. Tiba-tiba saja ia berhenti berjalan dan menutup laju Rao dan Nanto dengan lengannya. Matanya menganga lebar, baru kali ini Rao melihat sang pemuncak gunung menjulang sedemikian terheran-heran.

“Gawat.” Desis pimpinan Sonoz itu berjaga-jaga. Dia sudah pernah mengetahui jurus ini, meski tidak berhadapan langsung. “Bersiaplah kalian, yang satu ini serius.”

Rao mendengus kesal. Opo meneh iki? Untuk kesekian kali ia menghapus darah dari wajahnya dengan punggung tangan. Ia kesal karena seharian ini belum benar-benar bisa menghajar Darsono. Rao menghentikan langkah dan membuka kuda-kuda pertahanan.

Nanto juga bersiap dengan kuda-kuda andalannya, kaki menekuk sedikit, tubuh tegak lurus, dua tangan di depan dada. Si bengal memperhatikan pose Darsono dan bertanya-tanya dengan kuda-kuda yang aneh itu. Gerakan apalagi yang sedang dipersiapkan sekarang oleh sang pimpinan KSN? Dia sudah membuka gerbang keempat – gerbang kekuatan. Haruskah ia persiapkan gerbang ketiga yang lebih menguras tenaga untuk pertahanan?

Darsono membuka mulutnya.

Kroooook. Krooooook.

Saat itulah terdengar suara kodok keluar dari bibir sang pimpinan KSN.

Bersambung

sma hot
Cerita sex di rawat oleh suster yang nakal dan sexy
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Satu
Foto bugil Rin Hinami no sensor
Pembantu bahenol
Susi Pembantu Ku Yang Bikin Gelisah
foto tante cantik telanjang
Foto tante girang cantik putih mulus lagi bugil
500 foto chika bandung foto bugil di sofa memek putih mulus
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
Burung Jalak
tante sange
Antara kegelisahan dan kenikmatan yang telah di berikan tante april
Jatuh Cinta Pertama Season 1
ayam kampus sexy
Nikmatnya kuluman ayam kampus yang sexy di dalam mobil
Foto Bugil Siswi SMP Toge Jembut Tipis
Ternyata diperkosa itu tidak selamanya tidak enak
Cerita Panas Bercinta Dengan Sepupu Yang Sedang Hamil
ngentot bu guru
Hangat Nya Tubuh Bu Guru Anisa
Cerita Dewasa Selingkuh Sama Tante Sampai Hamil