Part #29 : DEMI KITA
Sekuntum mawar akan menjadi kebunku. Seorang sahabat sejati akan menjadi duniaku.
– Leo Buscaglia
Mengapa begitu banyak orang memuji indahnya pagi? Karena pagi menandakan hadirnya harapan baru, terbitnya impian baru, lajunya kesempatan baru, tempaan destinasi baru, menapakkan kaki di pijakan yang baru, atau hanya sekedar melangkah di tempat tapi mewujudkan sesuatu yang baru. Mungkin saja kita tidak beranjak beringsut dari tempat kita semula berada, tapi ada perubahan dalam diri untuk menjadi seseorang yang baru. Semua bisa dimulai sejak mata terbuka kala pagi menjelang. Itu sebabnya pujian untuk pagi selalu terbilang.
Sang surya bahkan belum beranjak dari tempatnya menyelimuti diri dengan kelambu langit gelap gulita bertaburkan bintang gemintang yang membentang dari satu ujung langit ke ujung langit lain, tapi Nanto sudah mulai bangkit dari tidur malamnya. Ia sudah membuka mata dan menggeliat – merentangkan tangan ke kanan dan ke kiri, menikmati hari, menghirup udara pagi, membasahi jemari dengan embun pagi.
Dengan celana pendek, kaus oblong, sepatu sneaker rombeng kesayangan, dan earphone menempel di telinga, si bengal memulai olahraga paginya. Ia bangun lebih pagi hari ini akibat tersadarkan dan terekspos oleh apa yang bahkan ia sendiri tak menyadari – ia bahkan tidak tidur terlalu lama malam tadi… setelah pulang dengan dijemput dan diantarkan oleh Deka, Nanto balik ke rumah dan langsung ambruk ke pembaringan untuk beberapa jam.
Kejadian dengan Dinasti Baru bagaikan air dingin yang deras mengucur di kepalanya.
Bahwa dia masih belum cukup baik.
Kini ia sudah menggerakkan badan untuk berolahraga. Ya, Nanto harus kembali fit, kembali prima, kembali berada di status kemampuannya saat berada di desa.
Pindah ke kota melenakannya sesaat, jajaran gadis-gadis yang mengerubungi membuatnya lupa. Namun pertarungan semalam menyadarkannya bahwa stamina yang empot-empotan sama sekali tidak cocok untuk seorang tokoh utama.
Kaki-kaki kokoh Nanto menjejak bumi saat berlari, menelusuri jalan-jalan komplek perumahan, lalu menjelajah jalanan dusun di lingkar luar, naik turun tangga di ruang bebas, masuk ke taman, melewati ruang terbuka. Semua ia lakukan meski hari masih gelap dan lampu jalan masih lah menyala pendar. Hanya sendiri ia menguji diri.
Lambat laun mentari mulai membuka mata, cahaya pendar lampu kalah oleh terangnya sang surya, karena hari ini bukan hari libur – sebagian besar dari penghuni perumahan dan dusun di sekitarnya bersiap untuk berangkat kerja dan sekolah, atau berangkat lebih pagi untuk mencari sayur di pasar.
Nanto berhenti di sebuah ruas jalan yang membujur panjang dari utara ke selatan, di kiri kanan jalan terdapat area persawahan yang masih bertahan luas membentang meski digerus kemajuan jaman. Rumah-rumah dusun berbaris di kejauhan, di tepian jalan sisi jauh sawah, dengan pepohonan rindang di pekarangan. Ada pohon rambutan, pohon mangga, dan pohon nangka. Cicit burung mulai semarak, kokok ayam bersautan ikut mengumandangkan panggilan, mengingatkan manusia untuk bersujud dan bersyukur akan hadirnya hari yang baru.
Cahaya mentari pagi berbias di perairan sawah, memantulkan cahayanya yang terang, seekor dua ekor tikus yang terkejut dengan datangnya gulungan sinar mentari yang menggelar permadani cahayanya segera buru-buru pulang menuju tempat persembunyian mereka. Saling membalap, mendorong, bersalipan, berkejaran, menuju lorong tergelap tempat mereka akan mencari celah untuk meringkuk.
Nanto berhenti di sebuah tanah lapang kecil di samping cucian mobil dan motor yang masih tutup. Di sekelilingnya sawah dan ladang membentang luas di bawah sang raksasa gunung yang megah menjulang. Tak jauh dari lokasi itu beberapa orang sedang berolahraga memanfaatkan kosongnya tanah lapang di samping tempat cucian mobil – hanya beberapa orang saja, tak sebanyak ketika hari libur. Ada yang bermain bulutangkis, ada yang sekedar duduk-duduk santai, ada juga yang beristirahat di dekat sepeda mereka.
Nanto tak lagi sendiri mengarungi sepi di kala surya mulai hadir.
Si bengal berhenti di samping sebuah gubuk. Entah gubuk apa itu, sudah terbengkalai sejak lama. Mungkin dulunya bekas warung.
Si bengal menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kembali melalui rongga mulut. Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan. Berulang kali sembari bergerak gemulai memainkan tangan, kaki, dan tubuhnya.
Posisi kaki menekuk. Pandangan lurus ke depan. Tangan kiri tegas menghentak ke atas, lalu turun ke bawah seperti gerakan mencengkeram lengan lawan – grab. Tangan kanan menyusul dengan telapak tangan terbuka menghentak ke depan, lalu turun dengan cepat untuk melakukan gerakan seperti mencengkeram di awang-awang dengan kedua tangan bersamaan – double grab.
Nanto melakukan gerakan-gerakan cepat seperti seakan-akan sedang berhadapan dengan sebuah wooden dummy. Gerakan gemulainya berubah sesaat menjadi cepat, lalu melambat, lalu cepat lagi. Semua dilakukan berulang-ulang dengan tegas dan konsentrasi penuh. Keringatnya pun mulai mengalir.
Nanto memejamkan mata supaya ia bisa fokus dan tidak terbias oleh orang-orang yang ada di tempat itu. Semalam ia begitu mudah lelah, cepat sekali hilang energi. Sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi bahkan saat ia belum menguasai penggunaan ki. Dulu ia bisa melakukan yang lebih dari ini, kenapa sekarang tidak? Apa yang menyebabkan staminanya tertahan di gerbang ketiga?
Gerakannya menjadi berubah – apa yang lembut menjadi keras, dan apa yang keras menjadi lembut. Fokusnya goyah ketika angannya tak terarah.
“Itu karena kamu tertahan oleh batin yang tersandera nurani.”
Nanto membuka mata.
Siapa yang barusan ngomong?
Kalimat itu ternyata berasal dari seorang pria berambut putih yang duduk di lincak di gubuk dekat si bengal. Dia menatap Nanto dengan senyum ramah.
Usianya sepertinya belumlah terlalu tua – atau setidaknya tidak setua kakeknya, meski lebih tua dari Om Darno. Badannya tegap dan gagah, menampakkkan sisa-sisa kejayaan atau bahkan kondisi prima yang terjaga hingga usianya saat ini. Bahunya lebar, dadanya bidang, tangan dan kakinya kokoh dengan urat-urat yang kencang. Dia mengenakan kaus putih oblong dan celana hitam, rambut putihnya cepak dipotong hampir gundul. Pria ini meskipun sudah berumur, tapi Entah bagaimana caranya dia masih sanggup mempertahankan kebugaran. Satu hal yang pasti, orang ini jelas gemar berlatih olah kanuragan.
Seorang pengguna ki mulai dari tingkat menengah biasanya sudah sanggup merasakan energi orang lain yang juga menggunakan ki jika tenaga intinya sudah diaktifkan, meski tidak memahami ki macam apa yang dikuasai orang lain tersebut. Hal itulah yang saat ini dirasakan oleh Nanto – dia bisa merasakan ada tenaga yang memancar kuat, ada hawa hebat terasa dari sosok sang pria berambut putih.
“Apa yang kamu miliki itu luar biasa. Sebuah warisan leluhur yang turun temurun didapatkan, bukan hasil dari berlatih melainkan dari genetika. Tidak semua orang seberuntung dirimu, anak muda.” Pria rambut putih tersenyum ramah. Ia dengan santai membuka tutup botol tumbler-nya dan menenggak cairan berwarna coklat yang sepertinya teh.
Nanto tertegun. Orang ini jelas kemahirannya sudah level sangat tinggi. Ia bahkan sudah bisa mengetahui kemampuannya hanya dengan merasakan energi yang terpancar.
“Kemampuanmu bagus, sudah terasah sejak dini. Tapi sayang tak berkembang akhir-akhir ini karena batinmu sendiri yang membatasi.” Pria berambut putih itu tersenyum, seakan-akan hanya dengan sekali lihat dia sanggup melihat ke dalam batin si bengal untuk menelusuri seluk beluk ki mulai dari ujung kaki hingga ubun-ubun. “Aku lihat mentalmu juga masih keropos karena ada keraguan akan kelurusan nuranimu. Bebaskan dirimu dari segala niat ke arah terlarang, dan kamu akan menemukan jalur paling lurus untuk menggapai titik teratas dari kemampuanmu. Luruskan yang bengkok, dengar kata batinmu. Jangan bermain-main dengan api yang membakar.”
Nanto bengong, maksude opo? Tapi ya sudah lah ya. “Te… terima kasih?”
Sang pria berambut putih tertawa, “jangan berterima kasih padaku. Aku hanya memberikanmu tips bagaimana mengembangkan kemampuan yang sudah kamu miliki. Aku tidak melakukan apa-apa untukmu.”
Nanto menggaruk kepalanya, “Mungkin justru itu yang aku butuhkan saat ini, Om. Masukan untuk mengetahui apa masalah yang sedang aku hadapi – kenapa aku tidak bisa mencapai potensi yang seharusnya dapat aku capai.”
Pria itu manggut-manggut sambil memperhatikan si bengal.
Nanto melanjutkan lagi. “Aku seperti berjalan di tempat – meskipun aku tahu kalau aku sudah menguasai sesuatu, tapi aku tidak dapat memanfaatkannya dengan sempurna. Seperti ada yang tertahan dan menahan, tadinya aku pikir rasa bersalahku akan kejadian yang telah lampau, Om. Tapi akhir-akhir ini rasanya bukan itu saja.”
Pria itu kembali tersenyum. “Merapikan apa yang dulu liar dan memakluminya memang terkadang nampak lebih mudah dari melepas apa yang dimiliki saat ini, padahal tak selalu demikian keadaannya. Ada kondisi yang bisa dimaklumi dan ada kondisi yang tidak bisa dimengerti. Tapi jangan khawatir. Jalanmu masih panjang, aku masih bisa membaca warna auramu belum lagi mengembang sempurna. Masih ada waktu.”
Waduh, bicaranya sudah mulai cryptic begini, mulai dhuwur, cah. Nanto bingung sumpah. Mbuh opo artine kuwi mau.
“Warna aura?”
Kembali Nanto bertanya-tanya, benarkah orang ini bisa membaca warna aura? Persis seperti kakeknya? Siapa orang ini sebenarnya? Kenapa dia bisa bertemu dengannya seperti dibimbing oleh takdir? Seperti ada tangan tak kasat mata yang membuatnya berjalan menuju si rambut putih, menghampirinya, dan membuatnya berkeluh-kesah dengan jujur pada orang yang sama sekali tak dikenalnya.
“Anak muda akan selalu menjadi anak muda, anak muda akan selalu penasaran dengan hal yang tidak seharusnya dia sentuh dan jalankan. Tapi ya tidak apa-apa, karena bisa menjadi pelajaran seandainya kelak disadarkan.” Pria berambut putih itu kembali tertawa. “Dengar kata hatimu, luruskan niatmu. Hindari hubungan yang bisa membuatmu lepas dari jalur jalan yang lurus. Itu pesanku jika kamu memang berniat hendak meraih kemampuanmu seutuhnya.”
Nanto tertegun. Hal apa yang masih membuatnya tidak lurus?
“Aku beri satu perumpamaan. Mari bicara tentang laut. Laut adalah kesatuan entitas energi yang maha dahsyat, kamu tentu tahu kemampuannya jika dia sudah mengamuk dan menghasilkan tsunami. Tapi sesungguhnya laut bergerak berbeda-beda di setiap kedalamannya. Permukaannya selalu bergejolak, berombak, mencari celah dan menghajar karang demi karang. Tapi jika kamu selami lebih jauh dan lebih dalam ke sisi laut yang terpekat, maka kamu akan menyadari bahwa di sana ada ketenangan, ada keheningan. Tidak ada gerakan apapun, yang ada hanyalah kedalaman penyadaran.” Pria berambut putih di depan Nanto berdiri, menekuk badannya ke kanan dan ke kiri. Ia mengambil tumbler-nya dan mulai berjalan meninggalkan si bengal.
“Tu-tunggu sebentar, Om.”
Pria itu menoleh.
“Bolehkah aku tahu nama Om?” Nanto berkata dengan jujur. Dia harus tahu siapa orang ini, perasaan penasarannya begitu membuncah. Orang ini… sama sekali tak dikenalnya, tapi memberikan jawaban atas sesuatu yang ia cari pangkalnya. Entah kenapa ia merasa dekat dengannya.
Siapa dia?
Pria itu tersenyum. “Panggil saja aku Janu.”
“Om Janu.”
“Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bertemu kembali.”
Om Janu terhenti sesaat, ia kemudian memandang ke arah Nanto dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan oleh si bengal. “Entah bagaimana, tapi aku merasa kalau suatu saat nanti kita pasti akan berjumpa kembali. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?”
Ya! Nanto juga merasakan hal serupa! Si bengal menatap pria itu lekat-lekat. Bagaimana orang ini bisa…
“Sepertinya akan ada jalan takdir yang akan menyilangkan hidup kita kelak. Entah bagaimana entah kapan.” Om Janu menganggukkan kepala dan melambaikan tangannya. “Mudah-mudahan saat kita bertemu kembali nanti kamu sudah menyadari apa yang membuat batinmu tak bisa lurus. Masih belum terlambat. Masih belum terlambat…”
Pria berambut putih itu berlari ringan meninggalkan Nanto yang masih kebingungan dengan tawa tergelak.
Entah mengapa si bengal juga merasakan hal yang sama. Dia tahu suatu saat nanti akan bertemu kembali dengan pria berambut putih itu. Tapi dia tak tahu bagaimana dan kenapa.
Huff. Aneh!
Pagi yang sendu, hadir di sudut lain kota.
Air mata rasanya tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Nuke. Sejak bertemu tadi wajahnya berseri-seri melihat kekasihnya kembali bugar dan sehat meski harus memakai kursi roda – mungkin untuk selama-lamanya, tapi yang penting Ridwan sudah kembali sehat. Inilah keajaiban yang sejak lama ia nanti-nantikan, yang sejak lama sudah ia tunggu-tunggu.
Inilah puncaknya.
Inilah gong-nya.
Inilah dia.
Akhir kisah mereka.
“Maafkan aku, Mas.” Entah sudah berapa kali Nuke mengucapkan kata maaf. Entah sudah berapa kali ia menundukkan kepala tak ingin lekat memandang mata sang kekasih hati yang ia putuskan jalinan tali cintanya hari ini.
“Apakah…” suara Ridwan tercekat, “apakah sudah tidak ada lagi yang bisa kita perjuangkan bersama? Apakah hanya begini saja? Tanpa alasan dan tanpa kata pasti kenapa. Tidak pantaskah aku mendapatkan penjelasan atau sekedar beberapa patah kata untuk menjelaskan aku salah apa? Kenapa kita harus berpisah? Aku masih sayang sama kamu.”
“Aku…” semua nada Nuke tercekat di tenggorokan, “aku tidak bisa mengatakan apa dan kenapa karena jujur rasanya sulit untuk melepaskanmu, Mas. Tapi akan lebih sulit lagi keadaannya jika aku tetap terus mempertahankanmu.”
“Jadi… tidak ada alasan? Apakah karena aku sekarang cacat? Apakah karena itu lantas kamu tak lagi mencin…”
“Bukan… bukan karena kondisimu sekarang, Mas. Aku akan selalu mencintaimu, bagaimanapun wujud dan keadaanmu. Aku akan selalu menyayangimu bahkan jika kita sudah terpisah jauh. Aku justru harus melakukan ini karena aku mencintaimu.”
Nuke memeluk Ridwan dengan erat, laki-laki itu pun memeluk wanita pujaannya dengan lebih erat tanpa memahami satupun ucapan sang dara cantik itu. Tangannya mengusap punggung Nuke, mengelus lembut puncak kepalanya, mendekap dirinya erat. Jika memang saling mencintai, kenapa lantas perpisahan dikumandangkan? Ridwan sama sekali tidak mengerti.
Kecupan ringan hadir di kening Nuke, air mata gadis itu mengalir tanpa henti. Erat Ridwan memeluk sang kekasih hati.
Mungkin harus ia sadari.
Itulah pelukan terakhir mereka.
“Aku akan melepaskanmu… jika memang itu yang kamu mau. Rasa sakitnya luar biasa karena kamu tidak memberikan alasan apapun, tapi aku paham aku tidak bisa berbuat apa-apa. Terbanglah tinggi, sayang. Terbanglah tinggi seperti seekor burung yang bebas melanglang buana menikmati bumi dari langit, menjala rengkuhan angin menuju kemanapun arah yang hendak kamu ingin capai. Mudah-mudahan suatu saat kita akan dipertemukan kembali… mungkin… sebagai…” Ridwan meneguk ludah, “mungkin hanya sebagai… kawan.”
“Aku pergi.” Nuke terisak, ia membalikkan badan karena tak sanggup menatap mata Ridwan yang sangat terpukul dengan kejadian yang baru saja menimpanya.
Nuke melangkah pergi, meninggalkan laki-laki yang sesungguhnya masih bertahta di hatinya. Hati kecil gadis itu berharap kalau dia ingin Ridwan mengejar, menghentikan, dan mencegahnya berlalu. Tapi justru karena ia sangat mengenal Ridwan, ia tahu pria itu akan menghormati apapun keputusan yang ia ambil. Sebaik dan sehormat itulah Ridwan padanya. Nuke tahu kekasihnya itu pasti akan terguncang dan dia tak punya hati yang cukup besar untuk menengok ke belakang.
Nuke benar, Ridwan termangu dan shock.
Dia… diputus? Seperti itu saja?
Kenapa dan apanya tidak jelas, tidak ada alasan.
Dia hanya tahu bahwa kemungkinan terbesarnya adalah karena dirinya sekarang cacat.
Pria itu diam dan tertunduk. Lemas, tak berdaya. Sanggup apa dia jika Nuke sudah seperti ini? Bisa apa dia jika ia tak akan lagi mampu memberikan gadis itu kebahagiaannya? Tak lagi dapat memberikan kehidupan normal seperti sebelumnya?
Andai saja Ridwan tahu alasan sebenarnya yang berhubungan dengan janji Nuke pada Joko Gunar, mungkin ia tidak akan membiarkan cinta sejatinya berlalu pergi.
Tapi dia tidak akan pernah tahu. Ridwan tidak akan pernah sadar betapa Nuke harus memendam rasa dan memendam asa, demi menyelamatkan Ridwan dari apa yang akan terjadi kelak karena ancaman Joko Gunar bukanlah ancaman main-main. Nuke tahu pasti apa yang bisa dilakukan oleh pimpinan begundal yang powerful itu – apalagi jika melihat kondisi Ridwan yang sekarang.
Dalam hatinya, Nuke berbisik mengabarkan pesan yang tak akan tersampaikan.
Mudah-mudahan kelak, kamu akan mendapatkan pasangan hidup sejati, Mas. Pasangan yang hidupnya normal dan tidak pernah berhubungan dengan ancaman dari manapun dan oleh siapapun. Pasangan yang akan memberi semuanya untukmu, seperti kamu yang juga selalu memberikan semuanya untuk kekasihmu, seperti yang pernah aku rasakan dan aku banggakan. Aku tahu kamu pasti akan membuat orang itu bahagia. Maafkan aku yang telah memberikan harapan selama ini, Mas. Maafkan jika orang terbaik untukmu itu bukan aku.
Nuke makin jauh. Tetesan air matanya makin deras.
.::..::..::..::.
Berlari-lari kecil tanpa henti menyusuri jalanan pedesaan membuat laki-laki paruh baya yang berambut putih cepak sampai di kawasan yang merupakan jalur alternatif yang menghubungkan jalan Kalipenyu menuju bandara. Biasanya perumahan di sekitar sini dibubuhi istilah sesuatu yang disambung kata martani – melambangkan kawasan perumahan itu dibangun di lokasi yang awalnya asri dan hijau dengan persawahan – tempat bertani.
Ia terus berlari hingga suatu saat berhenti di samping sebuah mobil berwarna hitam gelap yang mirip mobil pengantar duit ATM. Mobil berwarna hitam itu berhenti di depan sebuah toko oleh-oleh penyedia bakpia di tepian jalan menuju bandara.
Om Janu melangkah ringan menuju pintu mobil.
Saat pintu dibuka, dua wajah sumringah dan sang sopir menatap santun dan penuh hormat.
“Selamat pagi, Bos.”
“Selamat pagi, Bos.” Ucap seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambut perak.
“Selamat pagi, Bos.” Sambut seorang pria berjaket kutung dengan tudung. Ia bertubuh besar dan wajahnya memiliki luka sayat menyeramkan yang membentuk huruf X besar.
Dua diantaranya tentu adalah X dan Jun, kapten dari QZK.
Tiga suara menyuarakan kalimat yang sama. Baik sang sopir, X maupun Jun menundukkan kepala dan badan ke depan saat Om Janu masuk ke dalam mobil. Orang ini ternyata memang bukan tokoh main-main, Om Janu sesungguhnya adalah pimpinan tertinggi QZK.
Om Janu memberikan tumbler minumannya yang sudah kosong ke Jun. Pemuda itu langsung paham apa maksudnya.
“Sepertinya sumringah pagi ini, Bos.” Jun memberikan botol minuman air putih kemasan pada Om Janu. “Ada kejadian apakah gerangan? Ketemu janda muda yang mana lagi?”
Om Janu tertawa, ia menerima botol air putih kemasan itu dan tersenyum pada Jun.
“Aku bertemu dengan seseorang yang menarik hari ini.” ucap Om Janu sambil membuka tutup botol dan menenggak minumannya dengan segar. “Aku bertemu dengan keturunan trah Watulanang – mungkin dia adalah penerus sejati Kidung Sandhyakala.”
Jun dan X saling berpandangan.
Trah Watulanang?
Trah keluarga yang sama dengan Om Janu?
“Bocah yang menarik.” Om Janu terkekeh.
Siang telah menjelang, matahari bersinar terang, sudah waktunya pulang.
Senyum mengembang di wajah sang suster cantik. Penatnya hari setelah seharian mengurus para pasien dan gelombang panas yang menyengat mendera wajah bagaikan diguyur air yang menyegarkan. Belum lagi dia sempat memencet tombol-tombol di smartphone-nya untuk memesan ojek online, di depannya sudah hadir sosok yang memberikan surprise.
Eeeh! Supris! Serius nih?
Di depan Rania, Roy sudah bersiap di atas motor matic dengan tangan menawarkan helm pada sang perawat berparas manis itu. “Sudah waktunya pulang, kan? Yuk.”
“Kok masih di sini? Bukannya tadi pagi kamu nganterin Bian pulang? Semua urusan sudah beres kan?” Rania tertawa saat melihat Roy mengedipkan mata sembari sekali lagi menawarkan helm.. “Yakin kamu, Mas? Kan udah tahu rumahku jauh banget.”
“Tidak masalah. Dalamnya gunung tingginya lautan… eh… kebalik ya?”
Rania kembali tertawa. “Beneran nih? Kamu mau anterin aku lagi, Mas?”
“Nggak. Ini boongan. Ini halusinasi. Hoax. Mimpi di siang bolong. Hocus pocus. Expecto patronum.”
Rania tertawa renyah, si manis itu menampilkan gigi gingsulnya yang makin membuat hati Roy degdegan digidigidug dagdigdugder. Ada kalanya manusia setangguh apapun akan luluh oleh gigi gingsul manis yang menghias wajah ayu. Roy tertusuk panah cupid bahkan tanpa perlawanan. Ada juga ya makhluk yang seperti ini hadir di dunia? Hari-harinya yang sepi jadi teramat indah akhir-akhir ini setelah mengenal sang perawat manis ini.
“Iya beneran dong. Selama kamu mengijinkan dan selama aku bisa, aku akan melakukan ini terus.” Ucap Roy sambil menebarkan senyumnya lebar. Mudah-mudahan senyumnya bisa dibilang mempesona dan sedikit banyak membuat Rania terbius asalkan tidak sampai muntah-muntah. Kalaupun tidak, paling ora wes usaha, Nyuk. “Aku harap kamu mengijinkan aku untuk sekedar berusaha.”
Pipi Rania memerah saat memahami kalimat Roy. “Kalau aku tidak mau?”
“Ya aku pulang. Dengan hati hancur dan dengerin lagu-lagu sedih dangdut koplo.”
“Ya sudah sana pulang.”
“Beneran ga mau?”
Rania menepuk-nepuk dagunya dengan telunjuk tangan kanan, matanya melirik ke atas, memberi kesan seakan-akan sedang berpikir keras. Tentunya itu hanya akting saja karena tak berapa lama kemudian dia mengangguk sambil tersenyum. “Aku mau kok, Mas.”
Roy tergelak.
Rania kembali tertawa manis sekali, saking manisnya Roy pengen nyelupin Rania ke es teh tawar. Kenapa tercipta gula, kalau di dunia sudah ada Rania? Ahahay.
Kedua insan lain jenis yang perlahan-lahan mulai menapaki rasa itu akhirnya berboncengan menyusuri jalan. Panasnya sengatan mentari tak terasa, hajaran debu tak dipedulikan, dan angin kencang bagai terasa sejuk.
Rania yang kemarin diboncengkan duduk berjarak, kini lebih maju dari seharusnya, tangannya sudah berani berpegangan di pinggang Roy – belum memeluknya tentu saja. Dengan sengaja Roy menjalankan motornya dengan santai. Melaju di jalan dengan perlahan, jarak yang jauh semakin dibuat lebih jauh – agar kedekatan mereka terasa lebih lama.
Tapi bagi Rania, kedekatan itu harus dipastikan terlebih dahulu.
“Mas bisa kita berhenti dulu?”
“Haaa? Apaaaa?”
“Bisa kita berhenti sebentar?” kali ini Rania sedikit lebih berteriak. “Mampir nyemil apa gitu yuk.”
“Ooooh oke, siyaaap!”
Warung yang dipilih oleh Roy adalah sebuah warung es dan bakso pinggir jalan yang sangat populer di kota dan berada di wilayah Pasakningratan. Warung es buah ini hanya terletak di trotoar, warungnya juga sederhana – tapi jangan tanyakan rasanya. Warung Es Buah PS ini sudah berdiri sejak tahun 70an dan bertahan sampai era millenial, kelasnya pasti sudah legend.
Dua mangkok es buah dingin nikmat lezat hadir di depan Roy dan Rania. Es buah itu berisi cincau hitam, blewah, alpukat, kelapa muda, dan sawo – di atasnya ditumpukkan serutan es meninggi dihiasi oleh topping susu coklat pekat memutar. Seger wes toh, hambok yakin.
“Rania… sudah lama jadi perawat?” Roy mencoba membuka percakapan.
“Lumayan sih, Mas.” Rania menjawab sembari memasukkan potongan sawo ke bibir mungilnya. “Sejak lulus dari SMK Keperawatan beberapa tahun lalu. Oh iya, sebenarnya aku bukan perawat lho, Mas. Tapi asisten perawat.”
“Beda ya?”
“Banyak. Tapi karena di rumah sakit sendiri sekarang sedang kesulitan tenaga kesehatan, khususnya untuk pergantian shift, ya kita-kita yang asisten dianggap sebagai perawat juga akhirnya.”
“Tugasnya apaan tuh asisten perawat?”
“Ya kayak memastikan kondisi lingkungan pasien bersih, rapi, dan hygienis. Terus memastikan perlengkapan dan kelengkapan ruang pasien. Kita juga memastikan kebersihan alat-alat keperawatan yang sebelumnya sudah dipakai – atau istilah lainnya kita-kita yang nyuciin, Mas. Hihihi.”
“Oalah ya… ya…”
“Mas Roy…” ucap Rania beberapa saat kemudian setelah mereka berdua sama-sama sudah menghabiskan separuh dari porsi es buah.
“Nggih?”
“Mas Roy naksir aku ya?”
“Hkgghhh!”
Roy tersedak alpukat bagaikan menelan sepatunya Hageng yang ukurannya dua kali lapangan bola voli. Hajegile! Langsung di-skakmat, Nyuk! Roy kan jadi tersipu malu kan ya? Kayak gimana gitu… rasanya. Tapi ya sudah, berhubung sudah ditembak langsung, apa salahnya mengutarakannya dengan jujur? Bukankah lebih cepat lebih baik?
Wajah Roy memerah kayak apel Washington. “Me-memangnya kenapa?”
“Jawabannya cuma ya atau tidak, Mas. Bukan mimingnyi kinipi. Hihihi.”
Roy menelan ludahnya dengan grogi. “Kelihatan banget ya?”
“Pastinya.”
Fuhh. Ya weslah.
“Iya.” Roy tersenyum sembari menatap mata indah di hadapannya dengan setulus yang ia sanggup, “Iya aku naksir kamu.”
“Cieeee… ada yang naksir aku nih. Berarti sekarang degdegan ya makan es berdua gini? Hahaha.”
Haeh! Cewek satu ini!!
Roy tertawa, “hadeh dari tadi di-skakmat terus. Iya… aku naksir kamu, dan iya… saat ini aku degdegan makan berdua sama kamu.”
Rania terkikik geli.
Hening sesaat kemudian. Tak ada yang berucap, tak ada yang menjawab. Es memang dingin, tapi keringat tetap menetes di dahi Roy. Hati yang makin hot-hot pop mengalahkan dinginnya es buah. Rania tak kunjung menampakkan reaksi apapun usai jawaban Roy tadi. Ia hanya terdiam sambil lahap menikmati es buah, tak sedikitpun menatap ke arah Roy.
Jadi… bagaimana kelanjutannya? Diterima atau tidak ungkapan rasa dari Roy?
“Mas Roy…”
Ini nih. Roy makin tegang.
“Iya, Rania?”
“Aku mau nambah es buahnya. Mas Roy mau nambah juga ga?”
Badalah. Asyem. Kirain mau ngomong apaan. Buru-buru Roy memesankan es buah semangkok lagi untuk Rania. Roy sendiri masih belum akan menambah karena perasaannya sekarang sedang tidak karuan dan membuat perutnya tidak terkoordinasi dengan baik.
Saat mangkok kedua hadir, Rania kembali menikmatinya.
“Mas Roy…”
Jangan-jangan sekarang mau nambah bakso?
“Iya, Rania?”
“Boleh aku jujur sama kamu, Mas?”
“Bo-boleh, dong.”
“Oke. Kalau boleh jujur, aku masih belum yakin sepenuhnya sama Mas Roy. Jadi maaf aku belum bisa membalas apapun lebih dari seperti saat ini.”
Roy tertegun, tapi kemudian mengangguk. Iya… itu fair.
“Aku juga tidak sedang mencari pacar, Mas.”
Roy kembali mengangguk. Lagu Mundur Alon-Alon terngiang di batinnya.
“Maaf ya, Mas.”
Untuk kesekian kalinya Roy mengangguk. Lagu Manusia Bodoh kini bermain di otaknya. Wes ambyar pokokmen.
“Aku yang sekarang sudah tidak mau lagi cari yang main-main. Aku mencari suami, bukan lagi yang hanya ingin berpacaran dan bersenang-senang. Sudah lewat masaku untuk yang seperti itu.”
Begitu rupanya, Roy menunduk. Lagu Ampar-Ampar Pisang terdengar di kepalanya.
“Kalau memang Mas Roy siap, silahkan menghadap langsung ke Ibu aku.” Rania memainkan sendoknya di mangkok. Dia masih tetap tak memandang ke arah Roy. “Ini sebabnya aku sampai sekarang masih single, Mas. Aku hanya akan menerima yang serius.”
Roy mendengarnya, tapi pikirannya kian menerawang lebih jauh. Siapkah dia dengan tantangan dari Rania? Siapkah dia untuk serius? Kepala pemuda itu tambah kacau. Kali ini lagu tema Chibi Maruko-chan yang bergaung dalam benaknya.
Siapkah kamu, Roy?
“Begitu ya, Mas.”
“Aku paham kok, Rania.” Suara Roy agak sedikit tercekat, “aku tidak tahu apakah aku sudah siap. Aku masih terlalu hijau untuk itu. Maksudku… aku juga cuma lulusan SMA dan sekarang bekerja di rumah makan. Aku tidak tahu apakah aku sudah pantas untuk… kamu tahu kan maksudku?”
“Aku tahu banget, Mas.” Rania mengelus punggung tangan Roy dengan lembut. “Itu sebabnya aku ingin kita terbuka sejak awal. Tidak apa-apa, ya. Aku tidak pernah menutup hati untuk siapapun, tidak menutupnya untuk Mas Roy, ataupun orang yang nantinya benar-benar akan melamar aku.”
“Aku tahu, Rania.”
“Mas penasaran tidak, kenapa aku sudah memutuskan untuk menikah meski usiaku masih muda?”
“Kenapa?”
“Ada satu hal lagi yang Mas Roy harus ketahui kalau Mas Roy benar-benar suka sama aku – ini aku jelaskan supaya Mas Roy paham siapa aku sebenarnya. Aku bukan hanya seorang gadis biasa yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit, Mas.”
“Lalu… apakah kamu seorang gadis jadi-jadian?”
Rania kaget sejenak dan kembali ngakak, “Yish! Ya enggak juga lah. Bukan… bukan itu maksudku.”
Kali ini Roy terdiam saat Rania berdehem. Wajah gadis itu berubah menjadi sangat-sangat serius.
“Mas Roy… sebelum Mas Roy merasa ingin berhubungan lebih jauh denganku – katakanlah… ingin menjadi temanku. Ada hal-hal yang perlu Mas Roy ketahui, termasuk hal terpenting satu ini.” Rania tersenyum.
“Apa tuh?” Roy mengetuk meja tanpa alasan, “tapi sebelumnya… sebelumnya aku mau tanya, deh. Emangnya niatku kelihatan jelas, ya?”
Rania mengangguk, “Aku sudah hapal tingkah laki-laki, Mas. Maaf kalau ini terdengar sok atau sombong, bukan maksudku untuk begitu. Aku hanya ingin jujur sejak awal, aku ingin blak-blakan saja. Mas Roy mungkin bisa menebak kalau Mas bukanlah satu-satunya pria yang pernah mendekati aku. Entah sudah berapa banyak, Mas. Jujur aku sudah capek. Banyak yang maju tapi kebanyakan selalu mundur setelah mereka tahu latar belakangku. Mereka takut dengan kehidupan dan kenyataan yang aku jalani. Kebanyakan laki-laki itu mau enaknya tidak mau ampasnya.”
Roy meneguk ludah. “Begitu ya.”
Makan tuh Roy. Makanya serius.
“Iyah.” Wajah Rania berubah menjadi sendu, seperti ada awan kelabu menggantung tepat di atas wajahnya yang beralih pilu. Sepotong alpukat ia mainkan dalam mangkok yang esnya sudah mencair.
“Memangnya apa kenyataan yang membuat mereka takut?”
Rania tersenyum. “Ada dua hal besar sih yang mungkin bisa aku jelaskan. Mudah-mudahan Mas tetap mau berteman dan baik denganku meski tahu keadaanku ya. Entah kenapa aku merasakan ada ketulusan di sikap Mas Roy. Aku ingin berteman dengan Mas, dan siapa tahu kita beneran jodoh. Tapi kalau setelah ini Mas Roy lantas tidak ingin lagi berteman denganku juga tidak apa-apa.”
Roy makin penasaran sekaligus ber-flower-flower.
“Mas Roy tahukah Mas selama ini aku tinggal di rumah sama siapa?”
“Sama Mama kamu?”
“Betul. Tapi masih ada satu orang lagi, Mas.”
Roy terbelalak kaget. “Ja-jangan bilang kamu sudah men-menikah terus mau cari suami kedua!?”
Rania tertawa, “Apaan sih! Aku jelas masih sendiri dong, Mas. Belum bertunangan apalagi menikah. Kan tadi udah bilang emang sedang nyari suami.”
Roy menunjukkan akting wajah lega selega-leganya. Mirip seperti mahasiswa sehabis sidang skripsi, atau pengangguran keterima kerja setelah wawancara. “Syukurlah kalau begitu. Hanya berita itu saja yang kayaknya membuat aku ketakutan.”
Rania tertawa sambil mengetuk meja, “bagaimana kalau aku bilang… selain Mama aku, di rumah aku juga tinggal bersama Lena?”
“Lena?”
“Lena itu anakku, Mas.”
A-anak!?
Roy menyenggol mangkoknya sampai-sampai hendak jatuh ke bawah. Untung dengan siaga dia berhasil meraihnya. Roy antara percaya dan tidak percaya karena Rania masih terlihat muda dan kinyis-kinyis kayak sabun colek hotel yang belum dibuka wadahnya.
“Zyaddyh… ehem… sori. Jadi, kamu sudah punya anak?”
Rania mengangguk bangga. Ia membuka ponsel, dan memperlihatkan deretan foto cantiknya berdua dengan sang buah hati.
“Waaah, cantik kayak emaknya.”
“Iya doooong.”
“Siapa tadi namanya? Lena ya?”
“Iya, Mas. Namanya Lena.”
“Jadi… ehm, dulunya ada ketidakcocokan dengan suami terus kalian berpisah atau…” Roy tiba-tiba menyadari kalau pertanyaannya sudah masuk ke ranah pribadi. “Eh, maaf kalau aku menanyakan sesuatu yang tidak sopan… maksudku… anu… duh gobloknya kamu, Roy!”
“Hahaha, tidak apa-apa kok, Mas. Justru aku ingin terbuka sejak awal supaya hubungan kita bisa berlanjut ke depan atau malah bubar jalan.” Rania tersenyum manis lagi, duh gingsul itu bener-bener deh. Gingsul pemersatu bangsa. “Aku bukan janda kalau Mas pengen tahu itu.”
“Bu-bukan janda?”
“Iya. Aku bukan janda tapi aku single parent. Aku tidak pernah menikah sebelumnya, jadi aku tidak pernah bercerai atau ditinggal mati suami kalau itu pertanyaan yang sebenarnya pengen Mas Roy tanyakan.”
Roy tambah kebingungan. Belum pernah menikah, bukan janda? Kalau begitu hamilnya… di luar nikah? By accident, gitu?
Rania tahu kalau Roy kebingungan. “Jadi sebenarnya ada satu rahasia lagi, Mas. Ini yang kedua. Aku tidak ingin Mas tahu atau mendengar hal ini dari orang lain. Aku ingin menyampaikannya langsung sama Mas Roy.” Ucap Rania. Ada sedikit getar di nada suara gadis itu, apalagi gerangan? Sepertinya yang kali ini benar-benar dari hati, wajah Rania sangat berubah.
Roy menatap lekat-lekat mata Rania, ada bayang air di pelupuk mata sang dara.
Eh?
Kenapa bisa?
Roy sadar kalau untuk menyampaikan hal yang berikutnya, Rania harus berjuang mati-matian memendam semua perasaannya sendiri – dan Roy harus mendengarkannya. Dia tidak ingin Rania sia-sia telah mengorbankan diri membuka cerita.
“Jika setelah ini Mas Roy memilih menjauh aku paham kok. jika memilih pergi karena jijik sama aku, aku juga paham banget. Mas Roy pantas mendapat seorang gadis istimewa sebagai istri, mungkin Mas Roy ingin mendapatkan seorang gadis yang masih perawan. Hal itu sudah tidak aku miliki lagi. Mas Roy baik orangnya, berhak mendapatkan seorang istri yang ideal untuk mendampingi.”
Roy semakin bertanya-tanya.
Akhirnya Rania jujur. “Aku korban perkosaan, Mas. Itulah sebabnya aku punya anak. Pelakunya tidak pernah tertangkap polisi. Dia bagaikan belut yang licin dan sulit dipegang. Backing-nya banyak, ada juga yang polisi.”
Astaga.
Roy terbelalak. “Ma-maafkan aku… aku tidak…”
“Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, Mas. Tidak apa-apa. Aku sudah lebih kuat sekarang. Aku sudah bisa menerima kenyataannya.” Rania tersenyum manis dengan gingsul andalannya.
“A-apa yang, siapa yang… aduh… maaf, aku tidak bermaksud untuk membuka luka lama. Gobloknya aku. Maaf. Maaf. Maaf.”
“Tidak apa-apa, Mas.” Sekali lagi Rania mengelus punggung tangan Roy. “Oknumnya guru di SMK Keperawatan tempatku sekolah dulu, namanya Reynaldi. Aku tidak akan pernah lupa wajah busuknya. Ganteng tapi hatinya busuk.”
Roy sampai bingung yang mana yang harus diproses terlebih dahulu di otaknya. Informasi yang masuk sangat overload.
“Bagaimana? Masih mau meneruskan berteman denganku?” tanya Rania.
Roy menatapnya dengan pandangan bingung.
.::..::..::..::.
Nanto menguap. Ia mulai bosan.
Kuliah kelas karyawan memang tidak sama dengan kelas reguler, di kelas karyawan para mahasiswa tidak dibebani dengan kewajiban untuk melakukan orientasi pengenalan kampus atau OPSPEK, meski masih harus tetap mengikuti kegiatan pengenalan kampus ala seminar yang kemudian diadakan dan diisi oleh staf akademik. Jadi alih-alih mbak-mbak senior yang semledot dari BEM Mahasiswa, yang mengisi kegiatan orientasi untuk kelas karyawan adalah staf dan dosen. Sebagian besar bapak-bapak botak yang bicaranya terstruktur, sistematis, dan runut – atau dengan kata lain yang lebih simpel, membosankan.
Yang lebih pahit lagi… Nanto masuk jurusan IT, nah ini nih.
Kebanyakan yang masuk jurusan ini sebagian besar garangan semua, cewek mungkin geli-geli pedes kalau disuruh ngoding. Tapi bukan berarti nol persen, ya adalah dikit buat manis-manis. Persentasenya bisa dibilang 70-30 persen – terutama untuk jurusan Teknik Informasi, kalau Sistem Informasi masih lumayan lah ceweknya, masih ready stock.
Untungnya dia masuk jurusan SI.
Sekali lagi si bengal menguap. Kapan selesainya sih penjelasan yang tidak jelas ini? Kardus snack yang sejak tadi menemani sudah tinggal dilipat. Lemper sama brownies sudah abis, aqua gelas tinggal sesedot dua sedot.
Waktu berjalan dengan sangat lambat.
Hari ini sepertinya tidak akan ada kejadian yang seru.
Kalaupun ada yang seru, kemungkinan berhubungan dengan seorang cewek. Cewek yang duduk di sebelah kiri si bengal. Rambut panjangnya dikucir kuda sementara kakinya yang jenjang berbalut celana jeans ketat disilangkan dengan sopan. Make-up-nya sih tipis, tapi efeknya bikin hati jomblo jadi meringis.
Sudah, jangan kelamaan diliatin. Apa masih belum cukup masalah yang dihadapi dengan segambreng cewek-cewek yang ada di kehidupanmu wahai bungkus margarin?
Nanto menguap. Gadis itu juga.
Nanto terkekeh geli. Gadis itu juga.
“Ngantuk ya?” tanya si bengal sambil tersenyum ramah. Ramah-ramah kelas rengginang, sedikit sopan modus terbayang. Oalah dasar, sekali kaleng sarden tetaplah kaleng sarden.
“Buanget. Masih lama ga sih?”
“Masih ada dua tiga sesi lagi kalau dari jadwal acara.” Ucap Nanto sambil memperhatikan booklet sederhana yang ia pegang. Kaprodi dan Wakaprodi masih belum dapat kesempatan menyampaikan materi mereka. Jadi seharusnya mereka berdua yang akan mengisi sesi berikutnya. “Mudah-mudahan ga sepanjang Bapak yang sekarang ini jelasinnya.”
“Setuju banget. Udah ga jelas ngomong apa, arahnya kemana, ngalor-ngidul ga tau juntrungannya. Lagian bukannya jelasin tentang kampus malah ngemeng soal pijet di pantura. Gimana ceritanya bisa nyambung ke sana?!” Gadis itu menggerutu.
Nanto tertawa, “iya ya. Yang begini-begini bikin laper, Mbak.”
“Pengen bakso yang pedes, Mas. Biar bisa melek.”
“Pengen mie ayam, Mbak.”
“Soto boleh juga, Mas.”
“Nah cocok tuh.”
“Soto sapi Kalabengan, Mas.”
“Waaaah apalagi yang itu tuh. Ada tempe mendoannya yang anget.”
“Mantep. Belum lagi teh anget, es teh, es jeruk, jeruk anget yang dijajarin di meja tinggal ambil. Udah kek pembagian ransum di barak. Hihihi.”
“Wkwkwk.” Nanto mengulurkan tangan. “Nanto, ambil sistem informasi. Fans soto Kalabengan.”
“Nada. SI juga.” Gadis itu membalas salam dari si bengal. “Fans soto Kalabengan.”
“Nada?”
“Iya.”
“Namanya Nada?”
“Iya. Kenapa emang?”
“Ga apa-apa. Unik juga ya.”
“Biasa aja ah, banyak orang yang namanya Nada.”
“Asli namanya Nada?”
“Beneran. Nada Rindu Faradina.” Gadis itu menunjukkan nametag kantor yang masih tergantung di leher namun dibalik untuk menyembunyikan diri dari lirikan orang iseng. Nama perusahaan yang tidak Nanto kenal nampak di nametag itu. “Tuh kan.”
“Nada Rindu Faradina. Apik e cah jenenge.”
“Yo apik lah.”
“Panggilannya Nada?”
“Bukan. Panggilannya Bambang.”
“Eits.”
Nanto mengernyit dan mundur untuk memperhatikan. Sebentar… sebentar… jakun ga ada, wajah level hot-hot pop, kulit putih mulus tanpa bercak, dada lumayan sangu-nya, body semledot. Apa iya yang beginian transgender? Bukannya kenapa-kenapa sih, dia tidak ada masalah dengan transgender… hanya saja..
Nada terkikik geli dengan imutnya. “Ya kali panggilannya Bambang – orang namanya jelas-jelas Nada, Mas. Gitu amat ngelihatinnya. Cewek asli aku ini, Mas.”
“Ini bukan meragukan kok, Mbak. Ini mengagumi ciptaan Tuhan.” Bisa aja kaleng sarden.
Nada hanya mencibir. “Berarti kita sama-sama SI dong, Mas?”
“Eh iya ya?”
“Mantap. Berarti ntar bisa titip absen atau contek-contekan tugas nih.”
Nanto tertawa, “belum juga kuliah udah merencanakan strategi, Mbak.”
“Sedia payung sebelum hujan, Mas. Hihihi.”
Nanto tertawa renyah.
Nada.
Manis juga.
Lithium, don’t want to lock me up inside.
Lithium, don’t want to forget how it feels without.
Lithium, I want to stay in love with my sorrow.
Dokgh! Dokgh!Dokgh!
Haiyah. Kampret!
Hageng sedang menikmati lagu koleksi lamanya melalui Spotify yang disambungkan ke speaker bluetooth ketika pintu WC yang sedang ia gunakan digedor-gedor oknum kurang ajar.
“Hageng! Kamu ada di dalam!?” suara Abi terdengar dari luar pintu. “HAGENG!!”
Brengsek memang orang satu itu, tidak bisa membiarkan hidup sang T-Rex tenang, damai, dan bersekutu dengan kesunyian. Belum lagi Hageng nongkrong beberapa menit sudah digedor aja! Padahal kan masih banyak toilet yang lain! Dia sepertinya tidak memahami esensi dari kenikmatan nongkrong di WC! Tempat inilah yang memberikannya banyak inspirasi dan menelurkan puisi-puisi epik.
“Hageng!!”
“Apaan zih?!”
“Cepat keluar! Kita ada masalah gawat!”
Hu. Taktik kuno. Alasan. Bilang aja kalau kepengen boker. Dengan kesal Hageng menyaut asal. “Cari batu, dikantongin!”
Abi tambah menggedor-gedor pintu. “Ini serius!! Cepat keluar!!”
Hageng menggerutu, kampret. Gagal deh hari ini menghasilkan puisi setelah terakhir kemarin dia berhasil menulis sebuah mahakarya berjuluk Cilok Kuah. Setelah cibang-cibung dan bebersih yang tidak perlu dijelaskan secara detail di sini, dengan buru-buru Hageng mengenakan celananya. Ia pun membuka pintu setelah rapi jali.
Wajah Hageng berubah setelah melihat penampilan Abi. Korlap Sonoz itu berdiri tepat di depan pintu WC dengan wajah yang pucat pasi.
“Ada apa?”
“Gawat! Keadaan di luar gawat!”
“Iyaaaaa, gowat gawat gowat gawat. Zudah tahu aku ada zituazi yang gawat. Tapi yang gawat itu apanya?”
“KSN datang! KSN datang!! Mereka mau menginvasi Unzakha!”
Hageng langsung terdiam. Ia mendengus kesal dan berjalan dengan langkah tegap ke arah pintu keluar dari mabes Sonoz.
“Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini kan mazalah zeriuz!?”
“Dari tadi sudah digedoooorrr!!”
Belum sampai lima langkah Hageng berjalan, Abi kembali berucap, “Gawatnya juga, Kang Daan dan Albino mengajak teman-teman Sonoz bergabung ke KSN! Mereka pindah haluan.”
Hageng terhenti, ia berbalik dan menatap serius wajah Abi. “Mereka berdua pindah haluan?”
“I-iya.” Untuk pertama kalinya, Abi menatap wajah serius sang T-Rex. Ternyata lumayan menyeramkan juga raksasa bongsor satu ini kalau sedang tidak makan atau bercanda. “Kita benar-benar kekurangan orang kalau dibandingkan dengan KSN saat ini.”
Hageng mengambil ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan singkat. Ia lantas kembali melanjutkan langkah ke depan. “Aku tidak peduli.”
Hageng melangkah ke luar dari mabes Sonoz menuju ke arah lapangan yang sudah menjadi saksi banyak pertarungan. Di sana ternyata massa Sonoz dan KSN sudah saling berhadapan dan tantang menantang, teriakan-teriakan terdengar dari kedua kubu yang setiap saat bisa pecah perang kapan saja.
Hageng mengamati satu persatu personil KSN yang datang.
Oppa, Amon, Tedi Ganesha, Don Bravo, Nobita, dan Roni berdiri tegap di urutan terdepan. Di belakang mereka pasukan besar KSN berwajah garang berdiri tegang, menantang, dan menatap nyalang. Siap mengadu nyali dengan barisan Sonoz yang meski kalah jumlah tapi tetap tegap.
Hageng dan Abi yang menjadi pimpinan Sonoz maju ke depan pasukan mereka. Mata sang T-Rex menatap ke depan sementara wajah Abi berubah menjadi merah karena amarah.
Abi mendesis, “bangsat.”
Hageng mendengus, melihat ke arah barisan pemuda yang kini berada di depannya. Albino dan Kang Daan berada di sana, di samping pasukan KSN, bersama Roni. Sudah pasti sekarang, siapa kawan dan siapa lawan.
“Zudah puaz? Kalian zudah menentukan pozizi zekarang?” sang T-Rex menekuk-nekuk jari tangannya. Aura mengerikan keluar dari wajahnya yang berubah sangat serius. Pemuda kribo itu menatap tajam ke arah Albino dan Kang Daan. “Zekali menentukan langkah, pantang untuk kembali.”
Roni melirik ke arah dua kawannya, Albino sudah pasti berpihak padanya, tapi Kang Daan masih terlihat ragu-ragu. Senior Roni itu memang sebenarnya masih belum sepenuhnya berpijak ke KSN. Roni tersenyum, dan maju ke depan kawan-kawannya. Dengan terang-terangan ia menantang Hageng. “Kacung Simon yang satu ini masih belum tahu unggah-ungguh sepertinya. Saat ini KSN jauh lebih besar, bukan hanya sekedar geng kampus kelas kambing seperti Sonoz. Kami yang akan mengambil alih Unzakha.”
Hageng menggemeretakkan gigi. Dia bukannya marah karena dikatain sebagai kacung Simon, dia marah karena sangat membenci pengkhianat. Sang T-Rex maju beberapa langkah ke depan, Abi mencoba mencegahnya, tapi Hageng sudah berada di tengah-tengah antara Sonoz dan KSN – seakan siap menghadapi pasukan penyerang seorang diri.
“Zekali lagi ngomong ga karuan, bakal aku lepaz kepalamu dari leher. Zekarang kamu minggir dulu dan biarkan yang bener-bener pegang kuaza maju. Aku tidak butuh cecunguk level teri mengancamku.” Hageng tersenyum sinis. Ia melepas baju kemejanya – kini pria bertubuh besar itu hanya mengenakan kaus dalam berwarna hitam ketat yang menonjolkan tubuh raksasanya.
Kang Daan yang sudah pernah merasakan kekuatan Hageng mencoba menahan Roni agar tidak maju ke depan, tapi bukan Roni yang kemudian datang untuk menantang Hageng.
Yang maju ke depan adalah Amon – mantan kapten DoP yang juga bertubuh raksasa.
Pria yang jarang bicara dan jarang senyum itu berdiri dengan tenang di hadapan Hageng. Dia tidak pernah takut dengan apapun, apalagi sekedar dinosaurus kribo. Oppa menyusul dan menyilangkan tangan di depan dada di samping Amon.
“Jangan ngompol berhadapan dengan Amon, mas. Si beruang ini memang menyeramkan, sampai sekarang aja aku masih takut kalau melihat dia karena terlalu mirip dengan penjaga pintu piramid Mesir.” Amon mendengus mendengar ucapan Oppa, entah terhina entah merasa dipuji. Oppa melanjutkan lagi, “Aku tidak tahu siapa kamu, tapi aku yakin sekali kami pasti bisa mengatasi kamu – apalagi si cebol Abi. Kalian kalah kuat dan kalah jumlah. Jangan sia-siakan pendukungmu dengan mengorbankan mereka sia-sia di arena.” Oppa menepuk hidungnya tanda penuh kepercayaan diri. “Satu-satunya opsi kalian adalah menyerah kalah tanpa perlawanan. Karena hari ini kami harus memusnahkan Sonoz dan mengambil alih kuasa di Unzakha.”
“Bajingaaaan! Wasssuuuuu!!” Abi ngamuk dengan umpatan-umpatannya.
Oppa tersenyum sinis. “Dulu kalian memang seperti singa yang mampu berhadapan langsung dengan DoP, tapi tanpa Simon, kalian hanya kocheng oren penghuni tong sampah.”
“Wetenge kencot, mangane sambel terazi. Banyak bacot, ga ada izi.” Ucap Hageng tanpa gentar. “Majuuu!”
Amon meraung dan ia mulai melangkah ke depan.
Hageng melakukan hal yang sama.
“Sebel tau ga?”
Asty merengut sambil mengaduk float di minumannya agar krim manis semakin bercampur dengan soda yang ia minum. Meski merengut ia tetap saja manis semanis mangga kecampur gula batu tenggelem di ember madu.
“Sebel kenapa?” Nanto dengan berani memainkan jemarinya di jari-jari lentik mantan guru BK-nya. “Karena aku tidak ada kabar?”
“Bodo! Sebel!”
Nanto geli melihat wanita jelita yang merajuk di depannya ini, meski usianya di atas si bengal, namun wajah yang awet muda membuat Asty sangat pantas berpasangan dengan bocah bandel itu. Beberapa pengunjung cafe yang hadir pasti tidak akan mengira kalau pasangan yang sedang berhadapan itu dulu pernah menjadi guru dan murid.
Cafe plus distro yang cukup nyelempit dan mblusuk lokasinya itu berada di wilayah sekitar stadion baru, masuk ke utara menyusuri jalan berkelok dari ringroad. Lokasinya yang tidak menonjol karena tidak berada tepat di pinggir jalan berbanding terbalik dengan pengunjungnya yang cukup ramai. Rasa kopi-nya enak, cemilannya nikmat, harganya bersahabat, sepertinya jadi pilihan yang tepat. Tempat ini populer karena menjadi pilihan rendevouz para mahasiswa tentu saja. Tempat yang cozy, musik mengalun jazzy, membuat pengunjung ingin terus lazy.
“Aku tidak bisa menghubungi kamu karena sibuk.” Nanto mencoba mengungkapkan alasannya.
Baru sore ini dia bisa berduaan dengan Asty setelah beberapa lamanya ‘sibuk’. Sibuk sama cewek lain tentunya. Dasar rantang loreng.
“Sibuk sama cewek lain kan?”
“Sibuk cari kerjaan, sayang. Untung sekarang udah dapet.”
Ngeles aja kaleng sarden. Ga ngaku kalau semalem berduaan sama Kinan? Ga ngaku kalau sebelumnya sempet nempel-nempel sama Hanna? Tadi aja genitin si Nada. Dasar wong lanang.
“Kerja udah, kuliah juga mulai jalan.” Asty masih cemberut. “Pantesan aku dilupain. Huuu. Padahal hari ini aku bela-belain ga dijemput suami biar bisa khusus berduaan sama kamu. Kalau kamu? Mana mau berkorban begitu.”
Nanto menggenggam erat tangan Asty. Pandangannya lekat ke arah ibu muda jelita itu, ah kenapa harus semempesona ini sih? Kenapa sejak dulu Nanto selalu takluk jika berhadapan dengannya? Guru yang selalu membantunya tanpa pamrih, tanpa minta balas jasa, yang sekarang malah ia pacari dengan seenak wudelnya sendiri – padahal jelas-jelas statusnya sudah tak lagi sendiri. Nanto menatap sang dewi pujaannya dengan pandangan rindu.
“Aku ga akan pernah lupa sama kamu, sayang…”
“Huuu.”
“Aku akan selalu…” Nanto berusaha mengelus pipi kekasihnya, ia lalu memejamkan mata hendak mengecup pipi mulus sang dewi jelita. Kepala si bengal maju ke depan, peduli setan kalau ada yang lihat.
Jangan lanjutkan.
Eh?
Si bengal tersentak sesaat. Ia berhenti bergerak dan tertegun. Apa yang baru saja berbisik dalam batinnya? Suara itu… gerbang pertama? Bukankah ia tidak mengaktifkannya? Lalu apa yang baru saja memperingatkannya?
Nanto masih tertegun, Asty mengejapkan mata dengan heran.
“Ke-kenapa berhenti?” bisik ibu muda jelita itu pada si bengal dengan sedikit malu-malu.
“Ti-tidak apa-apa.” jawab Nanto sedikit ragu. Harus menjawab bagaimana? White lies? “Ada yang melihat ke arah kita, jadi aku tadi berhenti.”
“Huuuu.”
Mata Asty terpatri pada pakaian-pakaian yang dipamerkan di distro. “Eh, kayaknya lumayan-lumayan juga baju di sini. Lucu-lucu, lengkap pula. Lihat-lihat, yuk.”
“Boleh.”
Boleh adalah jawaban paling aman dari seorang cowok yang mengantarkan ceweknya melihat-lihat pakaian dan sepatu. Ada alasan kenapa seorang laki-laki tidak pergi berbelanja dengan kekasihnya. Yang pertama karena jika si cewek sudah masuk ruang ganti baju, maka sang cowok harus siap melewati lima kali pemilu sebelum ceweknya itu akhirnya keluar kembali. Itupun ga jadi beli.
Nanto sepertinya harus melewati fase yang sama hari ini. Setelah memilah dan memilih, Asty masuk ke ruang ganti pakaian sambil menenteng tiga baju.
Nanto berdiri di depan pintu ruang ganti sembari memainkan ponselnya. Ketika tiba-tiba saja sang guru jelita memanggilnya. “Heh, bocah bandel. Coba ke sini sebentar.”
Ha?
Nanto menatap Asty dengan bingung. Ke sini kemana? Si bengal mepet ke pintu, tapi Asty justru menariknya ke dalam dan menutup pintu. Mereka berdua sekarang sudah berada di ruang ganti yang berbatas dinding kayu yang cukup tebal dan kuat.
Asty sedang mencoba baju yang ia bawa tadi. Wow, cakep bener memang ibu muda yang satu ini, mau dandan pakai baju apapun terlihat sempurna, dia selalu sempurna buat Nanto. Uhuhuy.
“Bagaimana menurutmu?” Asty memutar badannya seperti anak kecil bermain holahop. Ruangan yang sempit membuat gerakannya terbatas.
“Anggun. Cantik banget pakai baju itu.” jawab Nanto jujur. “Tapi mungkin tidak cocok kalau pakai kerudung karena bagian lengannya terbuka.”
“Ya iyalah… masa aku ngajar anak-anak pakai baju kutung begini, sayang? Nanti harus pakai outer. Paling-paling pakai cardigan rajut yang panjang.” Asty melenggak-lenggok lagi. “Kalau… warnanya gimana? Bajunya, kulotnya? Modelnya gimana?”
Waduh piye ya. Gimana nih? Semua baju sama aja di mata si bengal.
“Kamu… terlihat sempurna.”
“Begitu ya.” Asty melengos lempeng, sepertinya ia tidak puas. Entah karena bajunya atau karena jawaban Nanto seperti pujian kosong saja.
Ibu muda cantik itu pun mulai melepas satu persatu kancing baju dan kulot yang ia kenakan, sehingga ia benar-benar setengah telanjang meski masih mengenakan pakaian dalam dan kerudung. Nanto diam saja sembari tertegun melihat pemandangan indah di depannya. Gila… gila… ga ada lawan…
Asty melongo melihat Nanto. “Kok belum keluar?”
“Eh, aku harus keluar ya?”
“Sedari tadi dong harusnya. Gimana sih?”
“Nggak ah.”
Asty mengangkat satu alisnya. “Kok nggak? Kenapa? Ga boleh macem-macem ya.”
Nanto tersenyum bandel, ia mendorong lembut Asty ke sudut ruang ganti baju. Ibu guru muda itu tentunya meronta meski tetap tertawa. Dia mengira Nanto main-main saja, tapi si bengal serius. Ia memeluk Asty dan dengan cekatan menangkup bibir ibu muda itu dengan bibirnya.
Ah… bibir Asty yang selalu ia idam-idamkan.
Keduanya saling mengecup, mencium, menjilat, beradu bibir tanpa henti dengan mata terpejam. Bibir yang mungil dan imut. Setiap ciuman yang teradu membuat badan melayang di awang, terbang hingga ke ujung sudut pandang. Sedetik, dua detik, tiga detik, entah sudah berapa detik berlalu keduanya tak ingin lepas, tak ingin terpisahkan jarak.
Hingga akhirnya Nanto mundur.
“Nak… nghhh… nakal…” suara Asty tenggelam dalam nafsu yang menggelegak. “I… ini di tempat umum! Jangan ngawur kamu!”
Tapi Nanto tidak berhenti, ia malah lanjut lagi.
Bocah bandel itu tidak lagi mencium dengan lembut, ia malah meningkatkan serangannya. Sembari memeluk tubuh mungil sang guru jelita, Ia menciumi seluruh wajah Asty, setiap sudut tanpa tersisa. Lalu beralih ke leher – sementara tangan si bengal bergerilya meremas-remas pantat molek sang ibu muda. Napas Asty berubah menjadi berat, jantungnya berdebar sangat kencang. Matanya terbuka saat ciuman-ciuman si bengal mereda.
Ia menatap dengan birahi yang sudah menyala-nyala ke mata Nanto.
Ibu muda itu horny sekaligus ketakutan, dari segi posisi mereka berada di sebuah distro kecil yang tentunya sangat riskan ketahuan, apalagi tadi sudah ada yang lihat mereka berdua masuk berbarengan di ruang ganti pakaian yang jelas-jelas tidak kedap suara… belum lagi kalau ada CCTV… nah lu!
Mata Asty langsung menyelidik ke atas, mencari, menelisik. Tidak. Tidak ada CCTV.
Tangan Nanto bergerak cepat ke belakang, melepas bra Asty. Gawat… gawat… gawat… jantung Asty berdebar makin kencang. Ia menatap ketakutan ke arah si bengal. Bagaimana ini? Dia amat ngeri seandainya mereka diusir dari tempat ini dan implikasi-implikasi lanjutannya, tapi pada saat yang bersamaan dia sangat merindukan Nanto.
Tanpa ia sadari, kini buah dadanya sudah terbuka tanpa penghalang di hadapan si bengal. Dingin menyeruak tubuh tapi hangat nafsu membakar jiwa. Asty menggigit bibirnya sendiri, tangannya bergerak maju, menelusuri selangkangan si bengal yang masih berbalut celana jeans.
“A… aku kangen… banget…”
“Tidak boleh ada suara.” bisik Nanto sambil tersenyum bandel. Si bengal menelusupkan tangannya ke dalam celana dalam Asty dan langsung mengincar gundukan mungil di tengah selangkangan. Jari tengahnya mengelus dan menelusuri tiap-tiap sudut liang cinta sang ibu muda jelita yang dulu pernah menjadi guru BK-nya itu.
Jari nakal Nanto menemukan satu tonjolan kecil yang makin lama makin menggemaskan. Ia memainkannya.
“Hngghhhhh!” Asty menutup mulutnya dengan tangan sementara tangan yang lain digantungkan di leher Nanto. Gawat… gawat… gawat! Bocah bandel ini!!
Nanto menarik lembut tangan Asty yang membungkam mulutnya sendiri sembari berbisik, “Kita berdua tahu, kamu paling susah disuruh diam, sayang.” Dengan lembut si bengal memiringkan kepalanya dan mencium kembali bibir mungil kekasihnya itu.
“Hmpphh…”
Kembali Asty tenggelam dalam tautan nafsu yang melemparkan sanubarinya hingga tak lagi hadir dalam raga. Bibir yang saling berciuman, tangan berpelukan, sedangkan jemari nakal si bengal masih terus beraksi di selangkangan, hingga akhirnya menusuk dalam-dalam liang cinta sang ibu muda jelita.
“Hnggghhhh!” Asty kembali mengernyit merasakan jari Nanto menginvasi dan menjelajah sudut terdalam bagian kewanitaannya. “ja-jangan… nakal…”
Tapi sekali nakal tetaplah nakal apalagi kalau nakalinnya nakalin Asty, meskipun sudah dibilang jangan nakal tetap saja nakal, karena tubuh indah Asty memang seakan-akan dipahat untuk dinakali. Dasar anak nakal.
Tangan Nanto yang bebas kini bergerilya di buah dada sempurna milik Asty. Meremas, memilin, memutar, menangkupnya bagaikan benda paling menggemaskan di seluruh dunia. Tangan yang tidak bebas bergerak kencang di kemaluan sang ibu muda membuatnya merem melek dan bergejolak keenakan naik turun.
“Mmmhhhhh…” Asty melenguh agak keras sedikit. Ia langsung terkaget-kaget sendiri dan menutup mulutnya. Aduh, dia tidak tahan untuk mengeluarkan suara. Bagaimana kalau kedengeran dari luar? Aduuuuh… Nanto ini ada-ada aja sih!
Nanto berbisik di telinga Asty, “boleh dimasukkan?”
“Di… di sini?” Asty langsung terbelalak dan menggelengkan kepala. Ibu muda jelita itu membalas dengan ucapan yang meskipun lirih tapi galak. “Cah edan! Jangan! Ga boleh! Kamu tuh ga sadar ini di mana!? Ga boleh! Ngawur aja!”
Tapi tangan si bengal menarik turun celana dalam Asty tanpa perlawanan berarti. Wanita jelita itu terus menerus menggelengkan kepala tapi juga tidak melakukan hal apapun untuk melawan. Dia benar-benar pasrah di tangan si bengal – apapun yang dilakukan Nanto, Asty menerimanya.
“Buka celanaku.” Bisik Nanto.
“Aku ga mau… aku ga mau… jangan… aku mohon… boleh… kamu boleh masukin. Tapi jangan di sini… jangan sekarang, sayang. Aku takut…” dengan tangan bergetar Asty meraih ujung atas celana jeans si bengal, membuka sabuknya, lalu kancingnya, dan akhirnya menurunkan ritsletingnya. Kalimat ibu muda cantik itu berlawanan dengan apa yang dilakukannya.
Nanto mengecup ujung dahi Asty yang masih berbalut kerudung. Duh, kenapa sih guru cantik ini makin lama malah tambah manis?
Nanto menundukkan kepala, hendak sekali mengecup bibir sang kekasih.
Perlahan-lahan sekali…. dan…
Jangan lanjutkan. Eling.
“Heeehhh!?”
Nanto terlompat sampai hampir membentur pintu.
Su-suara itu!? Kenapa muncul lagi? Itu gerbang pertama kan?!
Asty terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan Nanto. ibu muda jelita itu pun mendekati si benga. “Ke-kenapa? Kamu ngapain?”
Belum sempat Nanto menjawab, ponsel si bengal sudah menyalak.
Ada satu pesan WhatsApp yang masuk di grup lima jari.
.::..::..::..::.
“Kenapa Dinda?” Deka menggebrak meja di depan Amar Barok.
Suasana rumah Amar dan Deka mendadak jadi sangat panas hari itu, bahkan lebih panas di dalam rumah daripada di luar, sepanas penggorengan martabak populair.
Sang kakak yang sedang tidur-tiduran di lincak sambil tertidur sempat terbangun karena kaget dengan ulah Deka menggebrak meja, “opo sih, Kun?”
“Kenapa Dinda, Mas?”
Amar menghela napas panjang. Ia masih lanjut berbaring dan memejamkan mata. “Heleh.”
“Dia itu sudah seperti adik kita, Mas. Sudah seperti saudara kandung kita sendiri.” Deka melemparkan kunci motornya ke atas meja ruang tamu dengan kesal. “Kenapa kamu tega banget melamar dia, Mas? Ha? Kenapa tega banget? Masih banyak cewek lain, Maaaas!!”
Amar membalikkan badan dan meletakkan bantal di kepalanya. “Apa urusanmu, Kun? Toh kamu sudah punya tunangan sendiri, tidak perlu ikut campur urusan pribadiku.”
“Mas… urungkan niatmu, Mas. Aku ga setuju. Ada-ada saja melamar Dinda. Kasihanlah sama dia.”
Amar mulai terganggu, dia yang tadinya sudah mau terlelap akhirnya duduk untuk bisa bercakap-cakap langsung dengan sang adik mengenai masalah yang menurutnya bukan masalah.
“Kun, kamu itu kenopo to? Kayak orang kebakaran jenggot. Kalau memang aku mau melamar Dinda, kamu mau apa? Urusanmu ki opo? Terserah aku dong mau melamar siapa, kapan, di mana. Kalau yang aku lamar itu tunanganmu, barulah kamu sewot. Dadi wong kok repot.”
“Tapi Dinda itu…”
“Dinda itu kenapa? Apa salahnya aku ngelamar dia? Dia rajin, cantik, baik.”
“Aku tahu itu, Mas…”
“Terus salahku di mana?” Amar mendengus, “atau jangan-jangan kamu menganggap kalau aku tidak pantas dapetin Dinda? Aku ini ga pantes jadi suaminya?”
“Mas…”
“Terus siapa yang pantas? Kamu?”
Deka ambruk ke kursi di depan Amar dengan pucat pasi. “Mas…”
“Kamu naksir Dinda, Kun?”
Deka menangkupkan tangan di wajah. Dia tidak menjawab pertanyaan Amar, Deka hanya menarik napas panjang.
“Kalau memang kamu naksir dia, aku tidak akan lanjutkan upayaku melamar Dia.” Amar mencibir, “lak yo bakal dadi aneh kalau kamu diem-diem naksir mbakyumu dewe nantinya.”
“Aku tidak…”
“Gimana, Kun? Kamu naksir Dinda… atau tidak? Kalau memang iya, aku batalkan rencanaku, tapi kamu harus menikahi Dinda. Kamu itu jadi orang tidak boleh egois, tidak boleh semua-semuanya pengen kamu miliki. Tentukan pilhan, mau lanjut sama tunanganmu yang sekarang, atau sama Dinda. Aku balikin ke kamu.”
“Mas…”
“Sekedar aku kasih bocoran aja, Kun.”
Deka melirik ke arah Amar dengan pasrah, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana. Dia bingung sebingung-bingung acan.
“Dinda sudah bilang ya. Dia bersedia.”
Remuk rasanya dada Deka dihantam palu sang dewa petir. Dia memejamkan mata.
Saat itulah ponselnya menyala. Ada pesan WhatsApp masuk.
Ara?
Sejak Ara marah kemarin, dia belum berhasil menghubungi kekasih hatinya itu lagi. Tapi sayangnya pesan singkat itu bukan dari Ara.
Keningnya mengkerut saat melihat pesan itu datang dari grup lima jari.
Ada apa ya?
.::..::..::..::.
Bian berdiri di bagian rooftop sebuah rumah tua yang terbengkalai siang itu. Tidak lagi ada orang yang datang ke sini. Dulu tempat ini sering dipakainya sebagai lokasi berkumpul para pemimpin Patnem jika ingin mabuk-mabukan, namun setelah Patnem hancur, Bian hanya melihat sisa-sisa kejayaan saja. Tempat ini jadi sepi, hanya sedikit yang tahu ia sering berkunjung kemari.
Pemuda yang baru saja lepas dari rumah sakit itu tidak ingin berlama-lama beristirahat. Sudah cukup. Sudah cukup ia tidur-tiduran. Kini saatnya mengolah tubuh lagi dengan rajin. Dia harus mengejar ketertinggalannya dari kawan-kawan.
Nanto sudah menguasai entah apa lagi sekarang – dia selalu berkembang dengan mengerikan. Lalu Deka, Deka memiliki pertahanan yang tidak ada duanya, dengan teknik Perisai Genta Emas-nya. Roy mampu menggerakkan kakinya secepat angin dan memiliki ilmu tendangan dahsyat, lalu Hageng… si bongsor itu menguasai berbagai jurus ajaib dari dunia gulat bebas. Hanya tinggal dia sendirilah yang belum bisa berkembang dan menguasai apa-apa.
Dia harus mengembangkan potensi diri! Harus!
Bian menggunakan barbel dari semen untuk angkat beban, melatih otot-ototnya supaya lebih lentur dan kuat.
Huff… huff… huff. Atur napas, fokus.
Entah sudah berapa set ia kerjakan, saatnya beralih ke tinjunya! Bian memang spesialis boxer di lima jari, sehingga ia selalu melatih kekuatan dan kecepatan kepalannya. Tangan Bian silih berganti meninju angin, melatih dan merenggangkan otot.
Gerakan memukul! Lemaskan lengan saat mengayun tapi hentakkan sekuat tenaga di benturan! Soft on attack, hard on impact!
Satu! Dua! Tiga! Empat! Lima! Enam! Tujuh! Delapan!
Ulangi!
Satu! Dua! Tiga! Empat! Lima! Enam! Tujuh! Delapan!
Berulang kali Bian melatih pukulannya, agar lebih kuat, lebih kencang, dan lebih powerful. Dia punya dendam yang harus dituntaskan pada KSN! Dia harus bisa menguasai jurus-jurus ini! Dia harus bisa! Dia adalah seorang pejuang, petarung, penghukum, dan pembalas dendam. Dia tidak boleh tetap jalan di tempat dengan teknik boxer-nya, dia harus terus berkembang.
Jurus pertama yang ingin dia kuasai adalah one-inch punch. Pukulan yang pernah diajarkan oleh Nanto.
Sebuah boneka kayu berada di hadapan Bian, siap menjadi korban.
Bian mencoba menarik napas, lalu menghembuskannya, mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan dengan hanya satu sentakan kencang. Bisakah dia melakukannya?
Bisa, dia pasti bisa.
Konsep yang pertama adalah menekuk sikunya ke bawah, bukan di samping, bukan menyamping, tapi posisi siku ada di bawah. Teknik yang kedua adalah dengan memutar pergelangan tangan seperti menyentak yang dilakukan dengan kecepatan tinggi.
Bian melatih kedua gerakannya itu dengan ringan.
Putar tangan ke arah dalam untuk menambah kekuatan sentakan, dengan fokus pada kepalan. Namun bentuk kepalan hanya pada saat-saat terakhir serangan, bukan sedari awal. Yang keempat adalah menyiapkan kuda-kuda. Sedikit menunduk, kaki ditekuk, rileks, postur menyamping, fokus. Jangan lupakan gerakan pinggul untuk menambah daya gebrak.
Whoots. Shppgkkhhh! Bruaaakkgghhhh!
Hanya dengan sekali pukul, Bian melontarkan boneka kayu berat yang biasa digunakannya untuk berlatih terbang sekitar tiga meter jaraknya. Huff. Berhasil. Bayangkan kalau ini dilakukannya pada manusia cecunguk seperti Joko Gunar!
Bian melompat ke kanan kiri, lalu melepaskan pukulan dengan kecepatan tinggi. Ayo, jangan berhenti berlatih!
Terdengar suara tepukan tangan. Bian mendengus. Siapa yang datang?
Seorang wanita masuk ke lingkar rooftop di mana Bian berlatih. Langkahnya gemulai dan siluet tubuh indahnya membuat pria manapun mabuk kepayang. Gadis yang baru datang hanya mengenakan kaus putih ketat dan celana jeans yang lebih ketat lagi. Cewek ini tubuhnya hot banget. “Kamu akhirnya bisa menguasainya juga setelah sekian lama.”
“Ara?”
“Hai. Sudah sembuh ya, Bi?”
“Kenapa kamu kesini?”
“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan.”
“Tapi ini masalah…”
“Aku mau berlatih dulu. Maaf. Ini lebih penting dari apapun yang mau kamu bicarakan.”
Bian melengos dan kembali ke kuda-kudanya, ia berdiri tepat di depan boneka kayunya. Tangan kanan bersiap untuk memukul, dengan hanya sekitar beberapa inchi jaraknya dari boneka kayu yang sudah disiapkan. Ia memutar badan dan menghentakkan kepalan.
Whoots. Shppgkkhhh! Bruaaakkgghhhh!
Kembali boneka kayu tak bersalah itu terlempar lebih jauh lagi.
Ara tersenyum. “Keren, Bi.”
Bian diam saja.
“Bi…”
“Apa sih, Neng?” Bian mulai merengut, diantara lima jari dialah satu-satunya yang memanggil Ara dengan sebutan sayang Neng. “Kenapa kamu datang kesini? Gangguin aku aja! Recokin Deka aja gih. Ngapain juga kamu kesini?”
“Kita sudah lama ga ngobrol, Bi. Dulu kita selalu ngobrol, kamu selalu curhat sama aku. Kangen aku sama masa-masa itu.”
“Itu waktu kita masih SMA. Sekarang kita sudah lebih dewasa dan masalah yang kita hadapi sudah berbeda. Tidak mungkin aku curhat lagi sama kamu kan, Neng.”
“Aku pengen curhat, Bi.”
“Curhat itu sama tunangan kamu, bukan sama aku.”
“Pengennya sama kamu, Bi. Seperti yang dulu sering kita lakukan di sini.”
“Haiyah. Kenapa lagi memang? Kamu berantem sama Deka?”
Ara mengangguk.
Sigh.
Bian menggelengkan kepala. Pemuda itu mendengus. Ia diam saja sambil terus melatih pukulannya. Tapi sayang sekali Ara membuatnya tak bisa fokus berlatih, pikirannya terlalu melanglangbuana. Dia terlalu tenggelam dalam memori menyakitkan.
Batin Bian bergejolak.
Kamu pikir aku bisa lupa, Neng?
Bahwa kamu pernah suatu ketika menciumku lalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Berpura-pura kalau kamu sedang mabuk? Hanya sekali saja kamu melakukannya, tapi dampaknya selamanya buat aku, Neng.
Kenapa sih? Kenapa kamu harus selalu datang padaku? Dulu waktu Nanto pergi kamu datang padaku. Waktu Deka menembakmu, kamu datang padaku. Waktu Deka melamarmu, kamu datang padaku. Aku selalu ada untukmu tanpa pernah kamu minta, Neng. Tapi tidak sebaliknya.
Aku akhirnya sadar kalau yang dulu itu kesalahan. Jatuh cinta sama kamu tanpa pernah kamu balas itu kesalahan. Jatuh cinta saat Nanto meninggalkanmu itu kesalahan. Menyayangimu saat kamu akhirnya jatuh di pelukan Deka itu menyakitkan. Aku sadar betul harus ada yang mengalah dan berkorban.
Nanto dan Deka itu temanku, sahabatku – jadi demi mereka aku pergi.
Kamu menjadi salah satu alasan kenapa dulu aku harus pergi dari SMA CB sepeninggal Nanto. Karena aku tahu perasaan Deka padamu. Kita berdua tidak bisa mencintai wanita yang sama, aku harus mengalah. Sekarang… Setelah dengan susah payah aku berusaha melupakanmu, kenapa kau datang kembali padaku? Datanglah ke Deka, Neng. Jangan kesini.
Karena aku akan selalu mencin…
“Memangnya ada masalah apa?” Bian akhirnya membuka suara.
Ara tersenyum, ah akhirnya. “Deka, Bi. Dia deket sama cewek lain.”
“Terus apa masalahnya? Kamu sekarang juga deket sama aku begini. Kamu deket sama kami berlima. Tidak ada masalah kan?”
“Yeeey, beda lah, Bi. Kamu selalu jadi protector andalanku. Tempat aku berkeluh kesah paling handal. Waktu jalan sama Nanto, terus jalan sama Deka, kamu selalu ada.”
“Iya, kamu jadikan aku tong sampah kamu, Neng.”
Ara tertawa.
Bian tidak.
Setelah beberapa saat tertawa, Ara akhirnya terdiam, “kadang aku hanya ingin didengarkan, Bi. Kadang aku hanya ingin dimengerti. Ingin menentukan langkah kami berdua ke depan tanpa harus mempertimbangkan terlalu banyak hal.”
“Deka orangnya pemikir dan selalu mempertimbangkan semua hal masak-masak, Neng. Kamu seharusnya paham dia luar dalam. Dia baik kan sama kamu? Dia tidak akan pernah menyakiti kamu, aku yakin itu.” Bian duduk di samping Ara. Gadis itu mengambilkan botol kaleng pocari sweat yang langsung diminum oleh Bian.
“Ga tau kenapa akhir-akhir ini aku jadi sering sensi sama dia, Bi.”
“Kenapa?”
“Perasaanku saja sih, terutama sejak pulangnya Nanto.”
“Lah, Nanto salah apa?”
“Kesalahan dia itu mutusin aku! Aku patah hati, Bi!”
“Yaelah, Neng. Itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu. Dia sudah move on, kalian berdua juga sudah move on. Ngapain mikir urusan jaman purbakala?” Bian mendengus, “kayak anak kecil aja kamu. Malu-maluin.”
Wajah Ara memerah, dia menjulurkan lidah sambil tersenyum. “Biarin.”
“Jadi benernya ga ada masalah kan? Kamunya aja yang baperan.” Ucap Bian. “Sekarang kamu balik ke Deka, ngomong baik-baik berdua, selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin.”
Ara terdiam agak lama, tapi kemudian dia mengangguk.
“Kalau kamu, Bi?”
“Aku kenapa?”
“Kamu sudah move on?”
Bian mencibir. “Move on dari siapa?”
“Malam itu aku tidak mabuk, Bi.”
Bian terdiam.
Ara terdiam.
Entah apa yang terjadi dan entah kapan, tapi keduanya pasti sedang bergelayut di alam bawah sadar untuk kembali ke sebuah situasi tak terduga yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Suara ponsel Bian membuat kedua anak manusia itu tertegun.
Bian terbelalak menatap ke layar ponselnya dan buru-buru membuka aplikasi WhatsApp. Pesan? Di grup lima jari? Siapa yang…?
Kode Bravo. Lapangan Unzakha. Hageng.
Tanpa banyak pernyataan imbuhan dan pertanyaan tambahan, Bian mengenakan kaus seadanya, mengambil helm, dan beberapa pelindung tubuh. Dia harus cepat!
“Ada sesuatu yang terjadi sama Hageng, Neng. Aku harus pergi.”
“Hageng? Kenapa dia?”
“Aku tidak tahu, tapi aku harus pergi! Kamu pulang saja, oke?”
Ara mengangguk.
“Ayo!”
Bian menggandeng tangan Ara, dan menariknya keluar dari rumah kosong itu bersama-sama.
“Zebaiknya kalian menyingkir dari zini kalau tidak ingin aku ubah menjadi zombie.” Ucap Hageng dengan tegas. Tangan berkacak pinggang, wajahnya teramat serius.
Amon mendengus dan mencibir.
Oppa menyeringai sinis. “Tidak ada yang seperti itu, Mas. Pasukan kami lebih banyak – kapten kami juga lebih lengkap. Apa yang bisa kamu capai dengan hanya berdua saja? Lebih baik menyerah kalah, menyingkir dari mabes Sonoz, membubarkan diri atau melebur dengan kami secara baik-baik. Bukankah ini penawaran yang sangat manusiawi? Tidak perlu ada kekerasan terjadi, tidak perlu ada darah tertumpah. Bagaimana?”
Giliran Hageng yang mendengus dan mencibir. “Kalian pikir aku ini apa? Aku dizerahi tugaz oleh Zimon untuk menjaga Zonoz dan itulah yang akan aku lakukan. Aku bukan pengkhianat buzuk zeperti mereka itu.” ucap Hageng sambil menunjuk ke arah Kang Daan dan Albino yang entah kenapa tiba-tiba saja merinding. Mereka benar-benar tidak menyangka akan menyaksikan wajah Hageng yang biasanya lempeng-lempeng aja kayak combro berubah menjadi karang yang tajam menyeramkan.
“Begini saja.” seperti biasa Oppa menawarkan sesuatu, “Silahkan kalian berdua beradu tangguh. Siapapun yang terkapar di tanah terlebih dahulu harus mengakui kekalahan. Bagaimana?”
Tidak perlu dua kali diucapkan. Raungan disambut auman. Sang beruang melawan T-Rex.
Adu jotos saling balas tanpa ampun segera terjadi tanpa aba-aba.
Bgkkkhh! Bgkkkhh! Bgkkkhh! Bgkkkhh! Bgkkkhh!
Adu pukulan terjadi terjadi begitu saja. Entah siapa yang mulai, entah siapa yang lebih dulu melontarkan serangan.
Setiap satu pukulan Amon, dibalas oleh hantaman Hageng. Tidak ada yang berusaha menahan atau mengangkat lengan untuk melindungi diri, tidak ada yang mengalah, tidak ada yang mencoba bertahan. Offense is the best defense.
Buooogkkhh! Beeegkkhh! Buooogkkhh! Beeegkkhh! Buooogkkhh! Beeegkkhh!
Adu pukulan masih terus berlangsung, tak satupun dari kedua orang bertubuh raksasa itu roboh. Di satu sisi sang beruang menghujani Hageng dengan pukulan yang powerful, di sisi lain Hageng menerima hantaman dan mengembalikannya sekuat tenaga. Ketika kedua petarung brutal itu saling lempar jotosan, tidak satupun kelompok bergerak. Baik Oppa maupun Abi sama-sama menahan pasukan mereka.
Begitu salah satu tumbang, arena pasti akan tergelar.
Untuk awalnya keduanya seimbang.
Sayangnya kedua petarung ini berbeda teknik.
Amon adalah seorang slugger dan Hageng bertipe wrestler. Amon jauh lebih unggul dibandingkan Hageng kalau bicara mengenai adu pukulan. Dia lebih cepat, lebih tangguh, dan lebih terbiasa bertarung adu jotos seperti boxer. Hageng harus segera merubah cara bertarungnya kalau tidak ingin terlalu cepat ambyar.
Tangan kanan Amon melesat hendak menghantam dagu Hageng!
Heph!
Kini saatnya merubah teknik! Dengan dua tangkupan tangan kanan dan kiri, Hageng menyergap serangan Amon, ia bersiap untuk melontarkan tendangan. Sang beruang ternyata juga sudah siaga, meski dikunci tangan kanannya, tapi ia masih bebas bergerak di sisi kiri. Siku tangan kirinya membentuk huruf v yang diangkat menyamping teramat tinggi. Sebelum Hageng menyadari apa yang terjadi, Amon mengibaskan kepalan tangan kirinya menyilang ke arah kanan!
Bledaaaaagkkkhhhh!
Hageng bak ditabrak lokomotif oleh pukulan andalan Amon – Pukulan Martil. Sang T-Rex terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kepalanya goyang dan pandangannya tak bisa fokus akibat kencangnya sambaran sang lawan. Ia masih sempat melihat Amon bergerak maju two-steps dengan anggun ke arah Hageng. Untuk pertama kalinya dalam pertarungan ini, Hageng mengangkat kedua lengannya untuk melindungi kepala.
Tapi Amon adalah mesin penghukum tanpa ampun.
Tangan kanannya yang sudah lepas dari kuncian Hageng bergerak seperti peluru kendali dengan pukulan martil andalan dan hook yang diledakkan berulang-ulang kali.
Satu. Dua. Jbgkkkhhh! Tiga. Empat. Lima. Jbgkkkhhhh! Enam. Tujuh.
Tujuh sengatan dilontarkan, dua jotosan masuk ke kepala sang T-Rex.
“Ziaaaaal!” Hageng mengumpat kencang dengan mata terpejam menahan sakit. Dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bernapas dan mengatur serangan balik. Tubuhnya kembali terhuyung. Saat membuka mata, Hageng harus kembali menghadapi horor.
Tangan kanan Amon membentuk huruf v yang diangkat menyamping di sisi kepala. Sebelum Hageng sempat bereaksi, tangan itu dikibaskan menyilang dengan kencang ke arah sang T-Rex.
Jboooooogkkkkh!
Masuk. Tubuh raksasa Hageng terjerembab ke samping. Darah muncrat dari bibirnya yang pecah.
Pasukan KSN berteriak-teriak gembira, mereka sudah siap maju perang. Tapi Oppa menggelengkan kepala untuk membuat kelompoknya menahan diri. Belum, opening scene belum lagi dimulai.
“Belum.” Desis pria tampan itu sambil menatap lurus ke arah sang dinosaurus kribo. Hanya dialah benteng pertahanan Sonoz saat ini, Abi dapat dengan mudah diatasi. Saat Hageng sudah pingsan, maka Sonoz akan benar-benar tuntas.
Belum saatnya, karena Hageng ternyata memang belum terkapar.
Dia terjerembab, namun satu tangannya masih berhasil menahan supaya dia tidak benar-benar terjatuh. Sang T-Rex mendongak, menatap tajam ke arah Amon yang menatapnya balik dengan pandangan dingin. Oke, satu kosong buat sang beruang.
Abi menatap khawatir ke arah Hageng, dia tahu begitu Hageng terkapar, maka ajang pembantaian akan berlangsung. Buru-buru korlap itu berbisik kepada salah satu rekannya, “Bersiap-siaplah. Sebentar lagi kita perang.”
“Siap, Bang.”
Hageng memperbaiki posisinya sehingga kini dia duduk bertongkat lutut. Kepalanya masih terlalu berputar, dia harus segera fokus. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Belum lagi berdiri, ada satu gangguan datang dari arah jauh.
Terdengar suara motor menderu-deru yang masuk ke lapangan tempat mereka semua berada. Motor siapa yang baru saja datang? Apakah armada tambahan KSN?
Tapi…
Ini bukan suara beberapa motor saja. Ini suara lebih dari belasan motor sekaligus! Motor-motor itu bahkan menutup jalur keluar pasukan KSN.
Hageng mencoba bangkit namun gagal, sengatan pukulan martil membuat kepalanya berputar-putar. Ia mencoba mengangkat kepalanya saat mendengar dengung knalpot berdendang, mencoba memperhatikan ke arah asal mula suara itu. Dia meringis dan melihat ke arah jauh. Saat itulah ia menyaksikan barisan motor yang meraung-raung ganas, buas dan beringas.
Turun dari motor-motor itu adalah sejumlah besar pasukan yang ikut turun ke arena.
Mereka bukan KSN, dan bukan pula Sonoz.
Mereka DoP!
Teriakan-teriakan menggelora datang dari mereka yang baru datang dan langsung bergabung dengan pasukan Sonoz. Berderet di barisan terdepan adalah Remon, Kori, dan Rikson. Di belakang mereka Jo, Bondan, dan Surya beserta para anggota DoP lain berbaris dengan wajah gahar.
“Apakah sekarang saat yang kurang tepat untuk menjawab tantanganmu, Hageng?”
Satu bayangan melompat tinggi di udara, melewati hampir semua kepala para anggota DoP terdepan dengan satu gerakan somersault – lompatan teramat ringan yang membuat semua orang yang berada di arena itu berdecak kagum.
Orang ini… punya level yang berbeda. Dia bagaikan terbang di udara.
Dengan ringan pula sosok yang baru saja mengucapkan kalimat yang ditujukan pada Hageng mendarat di sebelah sang T-Rex. Ia hadir dengan jaket kulit kesayangan dan wajah tersenyum sinis. Rokok yang belum dinyalakan terselip di bibirnya. Ia mengulurkan tangan untuk membantu Hageng berdiri yang langsung disambut senyum oleh sang T-Rex.
Hageng menyambut uluran tangan itu dan berdiri dengan tegap kembali.
Oppa, Amon, dan Nobita menatap ngeri ke arah sosok yang baru datang.
Sang hyena gila telah hadir di arena.
Bersambung