Part #3 : Petualangan Sexs Liar Ku
Matanya sayu menatap tepat ke arah bibirku. Kepalanya semakin didongakkan, bibirnya semakin merekah.
Wajah kami sudah sangat dekat hingga aku dapat mencium bau harum yang keluar dari mulutnya karena saat itu dia bernafas tidak menggunakan hidung melainkan mulutnya.
Hingga saat itu tiba kami sama-sama memejamkan mata, dan…
Ckreeekkk…
Tiba-tiba pintu kamar Justin terbuka. Dalam keadaan panik kami dengan cepat saling melepaskan satu sama lain.
“Shit!” umpatku karena terkejut.
Kami duduk sedikit berjauhan dengan sangat kaku dan tidak berani bergerak. Justin keluar dari kamar dengan mata setengah tertutup. Dia mengernyitkan dahinya ke arah kami.
“Lah kamu di sini beib, pantesan aku raba-raba tadi gak ada,” ucapnya dengan setengah nyawa.
“I…iya tadi kebangun aja,” jawab Anes sedikit panik.
“Oh gitu, lah lu juga Ran?”
Justin bertanya kepadaku yang sedang duduk di sebelah Anes.
“Baru bangun malah, tadi ketiduran dari sore, hehehe…” balasku sekenanya.
“Oh.” Hanya itu yang terucap dari mulut Justin, kemudian dia berlalu ke kamar kecil, mungkin untuk buang air.
Kami berdua menatap kepergian justin.
“Huhh…hampir aja ketahuan ya,, hihihi…” ucap Anes sambil tertawa lirih.
Tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya.
“Hehehe,, spot jantung nih,” jawabku menimpali candaannya.
Beberapa saat kemudian Justin kembali.
“Hayuk beib tidur lagi, udah malem.”
Anes kemudian bangkit dari duduknya, kemudian Justin melingkarkan tangannya di leher Anes, lalu mereka berjalan masuk ke kamar.
Sejenak Anes melirik ke arahku dengan ekspresi datar sebelum masuk ke dalam kamar.
Aku tidak tahu mengapa hatiku seperti tidak rela kalau mereka berdua berada dalam satu kamar. Jantungku sesak seakan menyuruhku untuk menarik tubuh Anes dari pelukan Justin.
Setelah mereka berdua masuk, aku menghembuskan nafas berat. Aku usap-usap wajahku dengan menggunakan tangan.
Aku tidak habis pikir mengapa aku bisa melakukan semua itu.
“Gue gak bisa gini, dia itu pacar temen gue sendiri! gak seharusnya gue suka sama dia, itu namanya ngerebut pacar orang!”
Aku sedikit memukul pahaku sendiri, kemudian aku remas rambutku saat kepalaku mulai terasa pusing.
Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, lalu mencoba untuk tidur kembali.
Di dalam kamar aku pejamkan mataku agar tubuhku rileks, kemudian lama kelamaan aku akhirnya tertidur juga.
Saat tertidur aku kembali bermimpi, namun kali ini bukan memimpikan kak Ranty, melainkan Anes.
Di sana aku melihat Anes sedang berdiri dengan bertelanjang bulat. Dia mendekatiku dengan gerakan yang sensual.
Anes kemudian naik ke atas ranjang dengan cara merangkak. Dia tersenyum nakal, lidahnya ia gunakan untuk menjilat bibirnya secara melingkar.
Dia kemudian menggenggam kontolku yang sudah berdiri tegak. Dihirupnya batang kontolku lalu ia jilati naik dan turun. Setelah itu dia masukan seluruh kontolku ke dalam mulutnya.
“Ouhhh…!!!” desahku menerima kulumannya.
Ia keluar masukan kontolku dengan cepat. Disedot-sedotnya kepala kontolku hingga membesar dan memerah.
Setelah itu Anes menaiki tubuhku, lalu mengarahkan kontolku ke lubang memeknya.
Kemudian…
Bless…
“Uhhh…shhh…”
Kontolku berhasil masuk ke dalam memeknya. Seketika dia langsung menggerakan pinggulnya mengocok kontolku.
Cleppp…cleppp…cleppp…
Suara kemaluan kami saling bertubrukan. Aku genggam kedua toketnya dengan tanganku lalu aku remas-remas.
Plokkk…plokkk…plokkk…
Goyangan pinggul Anes semakin cepat, hingga pertahananku sudah hampir jebol. Lalu bibir Anes mendekati telingaku.
“Randy dekap aku! bawa aku pergi dari Justin! Randy, aku ingin bersamamu selamanya! Randy! Randy! Randy…!!!”
Greeeggg…
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Nafasku tersengal-sengal, badanku berkeringat.
“Cuma mimpi,” batinku.
Aku kemudian menutup wajahku dengan kedua tangan sembari mengatur nafas. Aku merasa celanaku basah.
Saat aku buka, ada cairan licin yang melumuri pahaku. Ternyata mimpi basah aku semalam.
“Kenapa gue jadi kepikiran sama dia ya?”
Lalu aku bangkit dari tidurku. Aku cek sudah jam 7 pagi. Kemudian setelah mengganti celana aku keluar dari kamar.
Aku lalu pergi ke kamar mandi. Ternyata di meja makan sudah ada Justin dan Anes sedang sarapan.
“Eh, kebo udah bangun, hahaha…” sindir Justin kepadaku.
“Mending tidur daripada jadi obat nyamuk, wkwkwk…” timpalku.
Sesaat aku lihat Anes sedang memangku dagunya lalu melihatku sambil tersenyum.
Sejenak aku buang mukaku dari arahnya, aku tidak bisa melihat wajahnya dalam keadaan seperti ini, kemudian aku masuk ke dalam kamar mandi.
Di dalam aku membasuh tubuhku. Tubuhku benar-benar kembali fresh setelah aku tidur cukup lama.
Setelah mandi aku keluar dengan hanya mengenakan handuk yang aku lilitkan di pinggangku.
“Eh Ran, gue sama Anes pergi kuliah dulu ya, kalo ada apa-apa wa aja, oke!” ujarnya kepadaku.
“Oke siap boss!” jawabku sekenanya.
“Bye Randy, baik-baik yah di rumah sendirian, hihihi…” ucap Anes sedikit manja.
“Siap tuan putri!”
Kemudian mereka berangkat ke kampus dengan menggunakan mobil. Setelah mereka pergi, aku lalu kembali masuk ke rumah.
Aku ingat kalau aku belum mengabari kak Ranty. Aku kemudian membuka hpku. Sudah ada beberapa missed call dan pesan. Ku putuskan untuk menelfonnya saja.
Tuuuuttt…
Tuuuuttt…
Tuuuuttt…
“Halo Ran! Kamu kemana aja? kok susah banget dihubungi, kamu tau gak kakak itu khawatir sama kamu, dari kemarin gak ada kabar, kamu udah gak inget sama kakak ya? kamu udah gak anggep kakak sebagai pacar kamu?” hardik kak Ranty panjang lebar membuat telingaku sakit.
“Iya maaf kak…maaf, kemarin Randy sibuk banget nyari tempat kost, seharian Randy nyari, sekalinya ketemu Randy udah cape duluan terus langsung tidur, jadi gak sempet ngabarin kakak,” jelasku kepadanya.
Kak Ranty kemudian mengubah menjadi video call. Aku sempat mengatur angle kamera sebelum menerima video call tersebut.
“Halo sayang, hehehe…” jawabku sedikit canggung.
“Kamu lagi ngapain Ran?” tanya kakakku yang ternyata sedang tiduran.
“Lagi santai kak, sambil nunggu seleksi hari selasa, kakak gak kuliah?”
“Nanti siang Ran, kamu jadinya tinggal dimana?”
“Di kost kostan kak,” jawabku berbohong.
“Kok kelihatannya bagus banget?”
“Iya kak, ini Justin yang rekomendasiin, masih inget kan sama Justin?”
Kak Ranty hanya menggelengkan kepala.
“Itu loh kak waktu pertandingan final POM yang pemain keturunan yang ikut main buat tim lawan,” pungkasku mengingatkannya.
“Oh yang ganteng itu ya?” ucap kak Ranty dengan santai tanpa mempertimbangkan perasaanku.
Aku memajukan bibir bawahku, protes untuk kata ‘ganteng’ yang kak Ranty ucapkan.
“Iya kak, yang waktu dia nyetak angka kakak girang banget sambil tepuk tangan itu loh,” balasku menyindirnya.
“Hehehe…” Kak Ranty tertawa sembari tangannya menutupi mulutnya.
“Nanti mintain tanda tangan yah buat kakak,” imbuhnya lagi sambil bergurau.
“Ogah, entar kakak naksir lagi sama dia.”
“Hehe..***k mungkin lah, kan di hati kakak cuma ada kamu.”
Aku tersenyum mendengar kalimat itu keluar dari mulut kak Ranty.
“Kak!”
“Iya?”
“Randy kangen kak!” ujarku sambil sedikit merengek.
“Kakak juga kangen sama kamu Ran,” balas kak Ranty.
“Kak, boleh liat utingnya dong, hehehe…”
“Huh,, dasarrr…” sergah kak Ranty namun dia menuruti permintaanku.
Dia turunkan leher bajunya kemudian ia angkat payudaranya sebelah kanan, dan menyembullah payudara yang sangat aku rindukan.
“Uhhh…kakakku sayang…” desahku lirih sambil mengusap-usap kontolku dari luar celana.
Dicolek-coleknya puting payudara ke atas dan ke bawah lalu dicubitnya agar sedikit mencuat.
“Emphhh…Rann…kenyot puting kakak dong Rann…ouhhh…” desah kak Ranty sembari menarik-narik putingnya.
Aku kemudian mengecap-ngecap bibirku seolah-olah sedang mengenyot puting payudaranya.
“Rann…liattt….donggg…Rann…shhh…” pinta kakakku.
“Liat apanya kak…ehhsst…” ujarku memancingnya.
“Ithuunyaahhh…!!!”
“Apanyahhh???”
“KONTOLLLNYAHHH…!!!” Seru kakakku keras.
Baru pertama kali aku mendengarnya bilang begitu. Untung saat itu tidak ada orang lain di sekitar, kalau ada pasti mereka mendengarnya.
Aku langsung melompat ke atas kasur dan menurunkan celana boxerku ke bawah hingga kontolku yang sudah mengacung keras terbebas dari kurungan.
Kemudian ku arahkan kamera hpku ke arah kontolku dari atas, lalu ku kocok dengan satu tangan.
“Ouhhh…Rann…maashukinnn…!!!” perintah kak Ranty dari seberang hp.
Kemudian kak Ranty menempatkan hpnya di bawah kakinya sehingga memek dan wajah kak Ranty jelas terlihat.
“Iya…kakk…Randy…masukinn…yahhh…emhh…”
Kak Ranty menggigit bibir bawahnya. Kedua buah payudaranya sudah menggantung bebas. Tangan kanannya digunakan untuk mengocok memeknya dengan cepat, tangan kirinya untuk memilin-milin putingnya.
Plekkk…plekkk…plekkk…
“Enghhh…Rhann…kakakkk…mauuu…nyampheee…”
Gerakan tangannya semakin cepat. Seirama dengannya aku juga mempercepat kocokanku.
Dan beberapa saat kemudian…
“Emphhhh…!!!”
Srrr…srrr…srrr…srrr…
Tubuh kak Ranty mengejang-ngejang menyambut orgasmenya. Pupil matanya ia naikkan sehingga hanya menampakkan putihnya saja.
Saat itu aku masih belum orgasme meskipun aku sudah mengocoknya dengan cepat. Namun itu tak mengapa, yang terpenting aku bisa melihat wajah kak Ranty puas.
“Ran!”
“Iya?”
“I love you, sayang!” ucapnya sembari tersenyum.
“I love you too,” balasku singkat.
Setelah itu kami mengakhiri VCS kami. Aku yang masih kentang memutuskan untuk mengabaikannya dan pergi keluar kamar untuk mengambil makanan karena lapar.
Di dapur aku mencari sesuatu yang bisa dimakan, namun aku tidak menemukan apapun.
“Duh, gimana sih Justin, katanya mau nanggung makan gue, dari kemarin gue gak pernah disisain makanan mulu,” gerutuku dalam hati.
Aku bingung harus bagaimana untuk mengusir rasa laparku. Mau mencari makanan di luar tapi aku tidak memiliki kendaraan yang bisa aku gunakan. Andai saja motorku bisa aku bawa ke sini.
Terpaksa aku keluar mencari makanan dengan berjalan kaki. Semoga setidaknya ada warung dekat rumah Justin.
Saat aku berjalan di sekitar perumahan yang cukup elit itu, aku bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang bermain dengan anak laki-lakinya yang masih sangat kecil.
Mereka sedang bermain bola. Saat anak itu menendang bola, tak sengaja dia menendang ke arahku.
Aku kemudian mengambilkan bola itu dengan cara juggling menggunakan kakiku. Aku timang-timang bola itu dengan teknik freestyle yang membuat anak itu berdecak kagum.
Aku lihat anak itu bertepuk tangan atas aksiku. Kemudian aku tendang bola itu tepat ke arah dadanya dengan pelan. Anak itu menangkapnya dengan mudah.
Dia lalu tersenyum kepadaku.
“Waah, kakak hebat yah,” ucap anak itu sambil bertepuk tangan.
Ibunya pun ikut tersenyum.
“Iya yah, kakak hebat banget,” timpal ibu itu sambil memeluk anaknya dari belakang.
“Kamu juga bisa kok kalo kamu latihan dengan giat,” balasku lalu mengusap kepalanya.
“Adit mau latihan mah!” sergah anak itu.
“Iya, nanti kamu latihan yang rajin yah, biar kaya kakak ini.”
Anak itu mengangguk dengan semangat. Melihat anak itu aku jadi ingin memiliki anak laki-laki, sepertinya seru.
Karena terlalu asik, aku jadi lupa akan tujuanku keluar rumah.
“Oh ya bu maaf mau tanya, apa di sini ada warung makan yang buka ya?” tanyaku kepada ibu itu.
“Waduh kalo dari sini agak jauh, paling yang ada di blok D deket pintu keluar barat,” ujarnya sambil menunjuk ke arah blok yang dimaksud.
Karena tidak punya pilihan lain aku terpaksa harus berjalan sampai ke sana.
“Ya udah bu, saya pamit dulu, makasih,” pungkasku sembari sedikit menundukkan kepala.
“Silahkan.”
Aku lalu berjalan ke tempat yang ditunjuk oleh ibu itu. Setelah beberapa kali bertanya pada orang sekitar akhirnya aku menemukan warung makan yang dimaksud.
Aku kemudian memesan makanan, aku langsung menyantapnya dengan lahap karena aku sudah sangat lapar. Aku memesan dua porsi sekaligus untuk diriku sendiri.
Setelah selesai makan, aku kemudian berjalan kembali. Ternyata warung tempat makanku tadi cukup dekat dengan rumah Reza.
“Gimana kalo gue mampir yah, masih pagi juga?” batinku.
Maka aku memutuskan untuk mampir. Aku masih ingat jelas rumahnya, lalu aku hampiri.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Tidak ada jawaban.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Aku kembali mengetuknya.
“Eh, ternyata ada bel, kenapa dari kemarin gue gak mencet bel ya,” geruruku dalam hati.
Ting…tong…
Ting…tong…
Ckrekk…
Akhirnya pintupun dibuka. Ternyata Icha yang membukakan pintu. Matanya langsung terbelalak melihatku datang.
“Mau apa lagi kamu ke sini?!” bentak Icha dengan keras.
“Mau nengokin anak gue,” jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa tiba-tiba kamu jadi peduli sama anak aku? bukannya dulu kamu gak menginginkan anak itu!”
Icha tampak melotot ke arahku. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi dari arah dalam. Icha sontak menoleh ke arah sumber suara.
Tanpa memperdulikanku dia langsung berjalan terburu-buru ke dalam kamar. Aku dengan sembrononya menyusul dia masuk.
Saat itu tidak ada orang di rumah selain Icha dan anaknya, mungkin Reza sudah berangkat bekerja dan adiknya sedang menjalani ospek di kampus tempat Justin dan Anes kuliah.
Aku berjalan di dalam rumah yang cukup besar, lalu aku masuk ke dalam kamar itu.
Di situ aku melihat Icha sedang menimang-nimang bayinya yang masih menangis. Dikeluarkannya buah dada sebelau kiri untuk menyusui bayi itu.
“Anak mamah yang cantik jangan nangis, nanti cantiknya ilang loh,” ucap Icha kepada bayinya.
Sejenak bayi itu diam sambil menyusu pada puting susu Icha, namun beberapa saat kemudian puting itu terlepas dari mulutnya dan dia kembali menangis dengan keras.
Icha terlihat panik, dia arahkan lagi putingnya namun bayi itu tetap menangis. Aku lalu mendekati mereka.
“Coba gue yang nenangin sini,” ujarku sembari mengulurkan kedua tanganku.
Icha mengernyitkan dahinya serta menahan anaknya dariku dan tampak tidak mempercayaiku.
“Percaya sama gue, gue gak akan nyakitin anak gue sendiri,” ungkapku meyakinkannya.
Mungkin karena bingung dan panik karena anaknya menangis terus akhirnya Icha mau menyerahkan anaknya kepadaku.
Aku bopong bayi itu di pelukanku. Aku belai dan aku cium pipinya yang tembem. Sesaat kemudian bayi itu berhenti menangis.
Aku sempat melirik ke arah Icha. Dia hanya diam melihatku dengan bagian buah dadanya bagian kiri masih tereksplor bebas. Masih terlihat cairan putih menetes dari putingnya.
Tampaknya dia tidak sadar akan hal itu. setelah beberapa lama bayi itu akhirnya tertidur pulas dipelukanku.
“Anak kita cantik yah,” ujarku membuka keheningan yang saat itu terjadi.
“Jangan pernah bilang anak ini adalah anakmu, meskipun dia darah dagingmu, tapi kamu gak pantas jadi ayahnya,” sergah Icha kepadaku.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar kata-katanya. Ku lihat dalam tidurnya ia mengecap-ngecap bibirnya, tanda dia nyaman berada di dekapanku.
Kemudian aku letakkan bayi itu ke ranjang kembali, lalu aku bangkit dan berdiri di hadapannya. Icha menatapku dengan ekspresi datar.
“Anak kita udah tidur, terus kita mau ngapain sekarang?” tanyaku sambil tersenyum dengan nakal.
Aku lalu berjalan semakin mendekatinya. Sadar apa yang akan aku lakukan, Icha kemudian berjalan mundur hingga punggungnya menabrak tembok.
“Ma…mau apa kamu?!” serunya dengan wajah ketakutan.
Aku hanya tertawa kecil lalu mengangkat salah satu alisku.
Dengan cepat aku raih dan genggam buah dada Icha yang bebas menggantung itu. Reflek tangan kanan Icha langsung menepis tanganku.
Namun otot tanganku yang kuat berhasil menahan tepisan tangannya. Tak habis akal dia lalu menggenggam pergelangan tanganku kemudian mendorongnya ke samping.
Lagi-lagi dia gagal, tanganku masih terlalu kuat untuknya. Aku remas buah dada itu hingga mengeluarkan air susunya.
Icha meringis sembari menggigit bibir bawahnya. Seketika aku arahkan tangan kiriku ke dagunya lalu ku angkat sedikit sehingga wajahnya mendongak.
Kemudian secepat kilat aku cium bibirnya dengan sangat dalam.
“Emmmuuucchhh…sssscccpppp…”
Bersambung