Part #27 : Fantasy Sex Mbak Dani Gadis Berhijab
Benar kata kak Sandra kalo kami berdua bakalan bosen sampe mo mati di seminar yang membosankan itu. Pembicaranya garing dan gak bermutu sama sekali. Keknya itu orang dapat jabatannya nyogok atasannya pake lonte. Kami tidak sendiri. Ada perwakilan dari perusahaan lain yang terang-terangan tidur sampe ngorok. Seorang bapak-bapak di sampingku malah sampe maen game barbie di HP-nya.
Untung saat masuk tadi, aku memilih tempat duduk yang dipinggir. Awalnya Dani mau duduk agak di tengah agar bisa mengikuti seminar ini dengan baik. Dapat menangkap semua isi seminar dengan jelas. Sekarang Dani paham kenapa aku milih di pinggir begini.
“Dan… Dani pura-puranya ke toilet gitu… Nanti awak nyusul 2 menit kemudian… Kek biasaaa…” bisikku. “Kotak kuenya tinggal aja biar mereka ngira kita bakal balik lagi…” sambungku memberitau triknya. Kan ada tuh jatah konsumsi yang disediakan panitia untuk para peserta. Biasanya berupa kue-kue untuk pengganjal perut selama mendengarkan mereka ngoceh wara-wiri. Jatah punyaku udah abis sedang punya Dani hanya dimakan satu potong aja.
“Mau kemana, bang?” balas bisik Dani. Ia belum tau rencanaku ini.
Aku mendekatkan mulutku ke telinganya yang tertutup hijab dan ia mendekatkan sisi wajahnya itu padaku. “Buat anak… yang enak…”
“Ishh… bang Aseng?” ia tersenyum lebar mendengarnya. Pastinya ia langsung membayangkan yang enggak-enggak. Eh yang iya-iya. Karena memang kami akan melakukan yang iya-iya yang dibayangkannya itu. Kali ini lebih bebas karena di dalam kamar hotel yang lebih privasi. Kotak kue jatah peserta yang dibagi panitia langsung diletakkannya di kursi dan meninggalkanku. Ia menuju pintu keluar seolah menuju toilet yang ada di luar ruangan Convention hotel ini.
Dua menit kemudian aku menyusul ke (pura-pura) toilet. Dari depan toilet aku berbelok ke tangga darurat di mana Dani telah menunggu. Ia berdiri bersandar di dinding sambil maenan HP. Ia tersenyum lebar saat melihatku menghampirinya. “Dani tunggu di sini dulu, ya? Awak mo ngambil kunci kamar dulu di depan… Kalo udah tau nomor kamarnya… nanti awak kirim nomornya… Dani langsung naik… OK?” rinciku padanya. Ia paham. Aku yakin kalo jantungnya berdebar kencang mengalami semua sensasi menegangkan seperti ini. Aku menyentuh bahunya untuk menguatkan lalu beranjak bergerak.
Kunaiki tangga darurat untuk naik satu lantai untuk mencari lift untuk mencapai lobby dimana resepsionis hotel berada. Pagi menjelang siang, hotel ini masih sepi. Hanya ada petugas hotel yang lalu lalang membawa perlengkapan pembersih kamar. Aku berlagak seperti tamu hotel yang baru keluar kamar saja. Tak lama aku sudah ada di resepsionis dan menanyakan kamar yang sudah dipesankan kak Sandra.
“Kamar atas nama pak Nasrul?” pintaku setelah sapaan khas petugas hotel yang dijamin cantik-cantik.
“Pak Nasrul atau ibu Sandra… Baik, pak… Ini kunci kamarnya… Ada barang-barang yang perlu dibantu dibawakan?” tawarnya.
“Gak ada, mbak… Cuma ini aja…” tolakku dan menunjukkan hanya tas kerja yang kupegang. Tidak perlu pake jasa roomboy.
“Baik, pak… Semua sudah dibayar lunas sebelumnya… Silahkan… Selamat pagi…” katanya dan aku melenggang bebas menuju lift kembali. Kukirim nomor kamar ke Dani agar ia segera menuju ke sana juga. Kutunggu pintu lift terbuka sebentar dan segera masuk ke dalamnya. Bergerak sebentar dan pintu terbuka lagi di lantai 2. Ternyata Dani yang masuk. Kami hanya tersenyum karena ada beberapa orang lain di dalam lift ini. Semua penghuni lift turun di lantai 4 kecuali kami yang menuju lantai 5.
Tanpa ada kata-kata kami memasuki kamar ini dan kututup pintunya rapat. Dani berdiri di tengah kamar dan memperhatikan isi kamar ini dengan seksama. Ia bahkan menyentuh beberapa perabot dan furnitur yang memenuhi tempat ini. Ia lalu berjalan ke arah jendela dan menutup gordennya yang tadi terbuka lebar. Hanya cahaya lampu kamar yang kini menerangi. Ia bersandar di dekat jendela. “Matiin lampunya, bang… Awak malu…”
Aku yang masih berdiri di dekat pintu mematikan beberapa lampu dan membiarkan satu lampu dekat pintu ini tetap menyala—seperti kebiasaannya saat di gudang arsip. “Dani sama Akbar pernah bulan madu di kamar ini dulu, bang Aseng…”
“Benarkah?” kagetku. Bulan madu? Di kamar hotel ini? Gila… Ini kebetulan sekali. “Apa awak minta tukar kamar aja sama…” Dani cepat menghentikanku dengan menggeleng. Dani berjalan ke arah ranjang dan menyentuh sprei penutup ranjang. Walau dalam keadaan temaram, aku bisa melihat semua gerakannya. Aku tidak terlalu memperhatikannya ketika kami sudah di depan pintu tadi. Pastinya ia sangat kaget ketika itu.
“Kamar ini tidak banyak berubah… Tempat tidurnya tetap sama… Sofa di sana itu juga sama… Kap lampu tidurnya masih tetap sama… Warna gordennya saja yang berbeda sama wallpaper-nya… Selebihnya semua tetap sama… Yah… Kamar ini bersejarah buat Dani, bang Aseng…” ia berhenti di tengah ranjang dan berdiri menghadapku. “Hari ini juga bersejarah buat Dani…” ia mulai mempreteli kancing-kancing bajunya sampai semua terlepas. Diloloskannya kemeja lengan panjang seragamnya itu lalu diletakkannya dengan rapi di kursi di dekat headboard. Dinyalakannya lampu tidur yang berada di nakas di dekatnya. “Matikan lampu itu, bang…” lampu yang tersisa di dekat pintu akhirnya kupadamkan. Siluet yang tercipta di tubuhnya karena satu lampu saja yang menyala di dekat Dani, menciptakan gambaran yang sangat erotis. Ia lalu juga melepas rok panjang ketat yang dikenakannya dan meletakkannya bersama kemeja tadi.
Saat ini, ia hanya memakai sepasang pakaian dalam dan hijabnya. “Para pria pasti punya fantasy ini dengan perempuan berjilbab, kan? Akbar punya itu… Abang juga, kan?” katanya. Aku mengangguk. Ia menampilkan tubuh hampir telanjangnya di hadapanku. Tubuhnya terlihat bagus di kondisi cahaya seperti ini. Lampu berwarna mercury atau kekuningan seperti ini memberikan aura erotis yang sangat kental. Garis-garis tubuhnya semakin kentara beserta tekstur halus kulitnya semakin mencuat. Aku yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa menikmati visual ini, menunggu undangan.
“Duduk disini, bang?” tepuknya ke posisi sebelah kanannya. Aku bergerak dan duduk di tempat yang ditunjuknya. Lalu merapat hingga pinggul kami bersentuhan. Kamar ini temaram hanya dengan satu lampu bercahaya kekuningan itu saja. Seolah kamilah sumber cahaya di kamar ini. Pengaturan kamar distel sedemikian rupa hingga bayangan yang tercipta akibat minimnya cahaya tidak aneh. “Dani belah duren di kamar ini, bang… Kami sama-sama gak tau apa-apa… Akbar perlu dua jam lebih untuk berhasil dan darahnya berceceran di sprei ini… Kami ketakutan waktu itu kalo disuruh ganti rugi spreinya… sehingga kami check out lebih awal…” ia hampir tergelak menceritakan kenangannya itu.
“Sekarang Dani di sini sama bang Aseng… Dani akan anggap sedang belah duren lagi… Mau, bang?” tawarnya.
“Boleh… Fantasy awak versus fantasy Dani…” jawabku ikut bermain. Fantasy-ku adalah fantasy setiap pria di negri ini yang memimpikan meniduri seorang binor manis berhijab. Fantasy-nya adalah reka ulang belah duren-nya.
Ia meraih tanganku dan mengarahkannya ke belakang punggungnya, memintaku melepaskan kait BH-nya. Itu bukan hal yang sulit bagiku. Hanya dengan menyentuhnya saja aku sudah tau harus bagaimana melepas benda itu. Benda dengan nama panjang Buste Houder (bahasa Belanda) itu melonggar dan Dani meloloskannya dari kedua tangannya. BH yang tak kutau pasti berwarna apa itu dilemparnya ke arah tumpukan pakaiannya yang disampirkan rapi di kursi. “Abang lebih baik buka baju supaya gak kusut…” katanya lirih.
Ada benarnya, jadi aku bangkit dan melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhku hingga aku telanjang bulat. Baju dan celana panjangku kuletakkan dengan rapi di kursi satunya. Semua yang kulakukan diperhatikan Dani dengan seksama. Diikutinya tanpa kehilangan satu momenpun. Apa dia menikmati semua prosesnya? Matanya fokus pada Aseng junior yang menjuntai setengah ereksi karena terpengaruh situasi erotis ini. “Boleh, bang?” katanya dan menunjuk pada Aseng junior.
Kudekatkan Aseng junior padanya. Mungkin ini bagian dari fantasy-nya. Dulu mungkin ia tidak sempat melakukan ini karena masih terlalu hijau. Ia memegang Aseng junior pada bagian batang dan mulai mengocoknya perlahan. Tangannya yang lembut dan hangat memberi sensasi tersendiri pada tubuhku. Aseng junior mulai hangat dan perlahan mengeras. Selama kocokan berlangsung, kami berpandangan. “Masih belum boleh ciuman ya, bang?” tanya Dani kembali menanyakan itu.
“Kalo Dani gak bisa jamin gak kebawa perasaan… awak gak bisa kasih… Buktinya Dani pake ngambek kemaren, kan?” kataku beralasan walau menikmati kocokan tangannya yang halus. Tangan mungilnya penuh menggenggam seluruh batang Aseng junior. Satu tangan lagi memijat dua bola pelerku.
“Sekali ini aja, baaang… Dani jamin gak akan kebawa, deh… Janji… Suer…” katanya lalu memberi tanda dua jari berjanji. “Lagian… masa bulan madu belah duren gak pake ciuman… Gak asik-lah… Boleh ya, bang?” rayunya sambil terkadang mempercepat kocokannya. Matanya memandangku terus penuh harap. “Boleh-la, baaang?”
“Hanya sekali ini aja, yaaa? Besok-besok gak boleh lagi…” kataku akhirnya nyerah dan memperbolehkannya. Entah karena situasinya sangat mendukung atau entah apa. Matanya yang penuh harap sangat menginginkannya.
“Yeee…. Boleh… Asiik…” katanya langsung bangkit dan melepas Aseng junior dan memeluk leherku. Ia langsung menyerbu mulutku. Begitu bibir kami bersentuhan, ia memejamkan mata. Nafas yang berhembus dari hidungnya terasa hangat dan jantungnya berdebar kencang, terasa dari pertemuan dada telanjang kami. Kepalanya miring ke kiri, mengulum bibir bawahku, kakinya berjinjit. “Bibir bang Aseng seenak yang Dani bayangkan…” saat ciuman kami lepas.
“Bibir Dani juga enak… Lembut…” pujiku. Tanganku memeluk pinggangnya hingga tubuh kami rapat berpelukan. Mata kami saling tatap. “Jangan bawa perasaan… Ingat?” pesanku lagi mengingatkannya karena sekilas aku melihat itu di bening mata indahnya.
“Iya-iyaa… Gak pake perasaan kok Dani-nya…” katanya menghindari pandanganku dengan merebahkan pipinya di bahuku. Nafasnya berdesir di leherku. Kubaringkan tubuhnya di ranjang hotel ini. Ranjang yang sama yang menjadi saksi hilangnya perawannya bertahun-tahun lalu. Nostalgia yang ingin dilakukannya bersama pria lain.
Tanpa menghimpit tubuh langsingnya, aku berada di atas tubuhnya. Kedua tanganku bertumpu di samping sementara Aseng junior menempel di pahanya. Dani masih memakai celana dalam dan hijab—bagian dari fantasy-ku. “Kalo Dani bisa gak bawa perasaan… kita teruskan ciumannya… OK?” kataku. Ia tentu saja mengangguk cepat. Kami melanjutkan berciuman lagi. Aku tidak bisa menerapkan pelajaran cumbuan mulut ala kak Sandra padanya karena pengetahuan dan pengalaman ciuman Dani yang terbatas. Jadi hanya sebatas saling cipok dan mengulum bibir atas bawah saja. Karena ketika kusapu bibirnya dengan lidah, ia tidak merespon melakukan hal yang serupa.
Dani berusaha bebas dari himpitanku dan kami bertukar posisi. Dani menghimpitku sekarang. Tubuhnya tidak berat bahkan masih berat tubuh istriku kala masih gadis dari padanya. Ia yang memimpin percumbuan sekarang. Perbedaan tempat sekarang membuat kami bebas melakukan ini. Di gudang arsip kantor sangat tidak memungkinkan melakukan ini semua. Bergulingan bebas. Ia menikmati mulutku sesuka hatinya. Bolak-balik ia pindah bibir atas dan bawah. Dikulumnya sampe puas lalu menciumi pipiku gemas.
“Bang Aseng suka diginiin?” tanyanya lalu menjulurkan lidahnya ke arah puting dada kiriku. Lidahnya ternyata cukup panjang dan runcing. Bermain berputar-putar lincah. Geli sekali permainan lidahnya. Lidah basahnya melata berputar membuat tubuhku merinding. Mengisari seputar putingku yang jadi sensitif mengeras. Lidah panjangnya aktif bergerak serupa jarinya yang mempermainkan putingku yang lain. Aku mengerang-erang sampai tubuhku blingsatan menerima permainan lidah Dani ini. Lakinya pasti sudah sering menerima serangan ini. “Enak, bang?”
“Enak, Dan… Geli kali…. tapi enak… Apa, yaaa? Enak-la pokoknya…” jawabku. “Jago maen lidahnya…” pujiku mengelus lengannya yang langsing.
“Apa pulak jago… Akbar aja gak mau diginiin… Katanya kek ular jadinya jilat-jilat gitu… Padahal enak kan, bang?”
“Paok kurasa lakikmu itu… Orang enak gitu-pun… Jadi kelen maennya ngapain aja?… Maen asal masuk aja? Gak ada pemanasan-pemanasan dulu?” tanyaku heran. Tuh-lah. Mau punya anak tapi maen asal maen aja. Gak ada seninya. Cocok memang Dani ini ku-training begini untuk meningkatkan ‘panas’ hubungan intim mereka kelak. Dani ini ada bakat nakal-nakalnya gitu. Peningkatannya dari nol ke tahap ini sangat cepat. Dari perempuan baik-baik ke perempuan yang berani ditiduri lelaki lain seperti tanpa transisi. Hanya sekedip mata. Tekadnya punya anak membuatnya nekad rela menerima bibitku berulang-ulang.
“Akbar sih gitu, bang… Kolot gitu… Maen aja gak boleh telanjang… Kek gini ini-nih gak boleh… Pake selimut-lah… pake sarung-lah… Ini-nih gak boleh diliat…” maksudnya kelamin mereka berdua. “Yaa itu… Maen masuk-masuk aja, bang… Kan kadang kurang basah… jadinya sakit, kan?” jelasnya secara garis besar tentang kehidupan ranjang mereka berdua selama ini.
“Tapi kan jadinya tiap maen… kek jadi buka perawan terus? Ada sakit-sakitnya gitu…” hiburku. Jari tangannya tak henti berputar-putar memainkan putingku selagi kami ngobrol begini. Ia betah menindihku. Aku tentu saja juga betah memandangi wajah manisnya yang masih terbungkus hijab.
“Huu… Kalo buka perawannya enak… ya gak pa-pa… Ini gitu-gitu aja…” jawabnya dengan mulut manyun. Putingku jadi sasaran cubitan. Lah… mbak… Kesel sama lakiknya jangan awak yang jadi umpan pelornya. Awak kan gak tau apa-apa. “Goyang-goyang crot… Gitu aja trus tiap maen…” lanjutnya lagi sambil menggoyang-goyang pantatnya yang menindih kakiku. “Sama bang Aseng kan enak… Maennya pinter… Dani bolak-balik dibuat enaaak… Maennya lama… Gimana Dani gak jadi perasaan?”
“Bisa buat anak lagi kan, yaaa?” kataku lalu menjawil hidungnya. “Ini trus gimanaaa? Ini kentang loh…” kataku menjamah Aseng junior sendiri yang nganggur dari tadi. Dia malah ketawa cekikian geli karena asik ngobrol dan melupakan tujuan utama kami di kamar hotel ini. Buat anak dan enak. Kembali Dani menciumi puting dadaku. Tidak hanya menggunakan lidah, terkadang ia mengulumnya dengan cara disedot. Tangannya rajin mengelus-elus kulitku dan rasanya enak dan nyaman.
Dani kemudian melorot turun sembari menciumi setiap jengkal kulitku hingga ia berhadapan dengan Aseng junior yang mengacung tegak. “Wow… Bang Aseng… Perasaan makin gede aja, yaa?” katanya takjub menatap nanar Aseng junior di depan matanya. Dengan ujung jarinya, disusuri kulit sensitif batang kemaluanku yang mengkilat karena menegang keras. Jarinya memainkan lubang kecil di ujung Aseng junior yang sudah menitikkan pre-cum. “Segede ini kok bisa masuk, gimana caranya ya? Punya Dani kan kecil gitu…”
“Daaan? Yaak… Mm… Yaa… Digituin enak, Daan… Mmm…” erangku hanya mau menikmatinya saja. Kubiarkan binor itu memperlakukan Aseng junior-ku sesuka hatinya. Apapun yang dilakukannya asal enak, terserahmu-lah. Rasa hangat dan basah memenuhi kepala Aseng junior pertanda Dani memasukkannya ke dalam mulut. Sentilan lidah menyusul kemudian lalu sapuan berputar ke sekeliling lehernya. Tekstur lidahnya bergesek terasa nikmat di kepala Aseng junior. Tangannya menggenggam batang kemaluanku, mengocoknya perlahan.
“Shllk… Slurp… Ahh… Mmm… Mulut Dani gak muat… Ahhnn… Ini terlalu gede… Punya Akbar gak ada setengahnya ini, bang… Ahhmm… Shllkk… Slrrp…” ia meracau nakal memuji-muji Aseng junior-ku yang sedang dinikmatinya. Mulutnya yang mungil berdecap-decap mengulum hanya mampu bagian kepala saja. Sesekali ia memaksakan memasukkan lebih dalam dan tersedak hingga air mata menitik di sudut matanya. Kemudian ia menjilati bagian batang dengan lidahnya yang panjang. Ia melilit batang Aseng junior lalu menelusuri ke beberapa arah, merasakan tekstur licin dan bergerinjal tonjolan urat kemerahannya. Kocokannya bergerak pelan lalu diseruputnya lagi bagian kepala dan ludahnya sengaja banyak membasahi. “Aah… Dani suka kali punya bang Aseng ini… Keras…” kocoknya cepat karena licin tambahan ludahnya tadi. Ia makin blingsatan gemas.
Kakiku dilebarkannya hingga aku membentuk aksara M kapital di hadapan binor berhijab ini. Tanpa sungkan ia belajar menikmati pelerku. Awalnya hanya mengelus-elus dua bola yang bersalut kulit tebal keriput itu untuk melihat reaksiku. Melihatku menggelinjang karena sentuhannya, Dani menyentuhku lebih jauh lagi. Remasan lembut dilakukannya dan menemukan ada dua buah bola tersembunyi di dalamnya. Bola kesuburan yang mengandung semua bibit yang diharapkan bisa membuahi sel telur di dalam rahimnya. Yang sudah beberapa kali mengisi perutnya dengan kesempatan-kesempatan itu. Sentuhan tangannya lembut memijat kedua bola itu demi melihat reaksi keenakan yang muncul di mukaku. Geli-geli ngilu rasanya kala dua bola itu disinggungkan. “Oohhh…” erangku.
Dani mengulum satu bola dan menariknya menjauh hingga kantung pelindungnya ikut melar memanjang. Pantatku ikut terangkat mengikuti kemana satu bola pelerku ditariknya. Tangannya yang masih merancap batang Aseng junior pelan-pelan. Bola itu dilepasnya dan ia menangkap bola satunya dengan cara yang sama, ditambah satu rangsangan baru. Jarinya nakal bergerilya dan menemukan lubang anusku. Digesek-geseknya lembut bersama rangsangan lain. Ini luar biasa gila enaknya! Pantatku mencuat kegelian setengah mati.
Ia belajar banyak hal tentang tubuh pria dengan cara ini. Semoga nantinya ia bisa mempraktekkan hal ini dengan suaminya kelak agar kualitas kehidupan seks mereka membaik. Keterbukaan seperti ini ada baiknya dalam bercinta. Dani melakukan itu berulang-ulang padaku dengan berbagai kombinasi. Ia bahkan tak jijik menjilat sekitar anusku, aku kelabakan menggelinjang geli sambil mengerang-erang. Diemutnya tonjolan saluran tebal di bawah kantong skrotumku dengan kilikan lidah, aku ampun-ampun geli gak tahan. Ia kembali menelan kedua bola pelerku dan membasahinya dengan ludah. Aseng junior benar-benar basah kuyup dibuat Dani dengan ludahnya. Servis maksimalnya bolak-balik memanjakan kemaluanku sampai aku berbaring lemas karena kebanyakan menggelinjang dan mengerang. Walau gak sampe ejakulasi, sih.
Terakhir Dani duduk tepat di depan Aseng junior. Dani yang masih terlindung celana dalam putihnya enteng saja menempelkan permukaan kemaluannya pada Aseng junior yang merah basah meradang pengen berperang. Incarannya adalah mempermainkan kakiku. Lututku yang pertama kali diserangnya. “Shlkk… Slrrp… Kaki bang Aseng lucu… betisnya berbulu… pahanya mulus kek cewek…” komentarnya tentang keadaan kakiku. Mau ketawa aku kegelian setengah idup. Mau tereak aku gengsi. Memang kek gitu kakiku, Daaan.
Lidahnya melata di lututku dan itu sungguuuuuh geli, saudara-saudara. Lidah panjang basahnya menari-nari mencari kelemahan di lututku. Ia seperti tau kalau aku akan lemah di bagian ini memanfaatkan kelenturan lidahnya. Berputar-putar lidahnya mencoba titik-titik tertentu yang kiranya paling maksimal membuatku kegelian sekaligus enak. Tangannya yang bebas mengelus-elus pahaku lalu mencaplok Aseng junior, mempermainkannya sebentar lalu mengelus paha kembali. Tak cukup itu, dilakukannya hal yang sama di lutut yang sebelah lagi.
“Daah… Gantiaan…” serunya melepas kakiku dan mengelap mulutnya yang berlepotan ludah. Ia mundur sedikit dan kakiku bergelimpangan tak berdaya masih dengan sebuah tonggak mengacung menunjuk langit, sang Aseng junior.
“Lemes aku, Dan…” erangku menelentang saja dengan lutut basah oleh ludah permainan Dani barusan.
“Gak mau tau, yaa… Pokoknya gantian…” katanya lalu mengambil posisi di sampingku menelentang juga. Tanganku yang menghalangi posisi itu disingkirkannya agar tidak terbentang lagi. “Heei… Cepat… Gantian, bang Aseng…” ia mengguncang bahuku agar membuka mata dan mulai bekerja. “Malah molor…”
“Huuuh… Tadi enak kali, Daaan… Itu Dani tadi jago… Kek gitu yang seharusnya kalian lakukan… Enggak ujug-ujug langsung coblos… Kasih pengertian dulu lakikmu… Bilangin… awak maunya kek gini, bang… Maunya kek gitu, bang… Lama-lama dia pasti suka… Jamin, deh…” kataku berguling berusaha bangkit, menggerakkan badanku yang sudah pe-we, posisi weunak. Sekalinya berhasil berguling, mukaku langsung bersua dengan payudara mungil tetapi menggiurkan itu.
“Hiih…” Dani bergidik langsung menutupi payudaranya yang tadi terekspos dengan pelukan sebelah tangannya. “Bang Aseng nyeremin-ih mukanya gitu…” tubuhnya dalam posisi defensif. Tentu aja aku bengong. Ini ada apa? Kok tiba-tiba menghindar kek gini? Dari tadi itu payudara terekspos bebas kenapa baru sekarang melindunginya. Tadinya aku bermaksud menyantap sebelah payudara mungil itu dengan caplokan mulut yang kulebarkan. “Kek zombie-ih…” Apa karena bayangan yang tercipta karena efek lampu kekuningan ini membuat bayangan serem?
“Nyaam…” langsung nemplok mukaku di payudara mungil pas segenggaman itu. Putingnya kukenyot-kenyot gemas dengan cepat. Awalnya Dani menggeliat kegelian dan kemudian keenakan. Rambutku diremas-remasnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti seekor ular besar yang sedang berusaha melepaskan diri dari terkaman pemangsa lainnya. Ia mengerang-erang karena belum pernah aku menikmati payudaranya secara khusus seperti ini sebelumnya. Persetubuhan kami biasanya dilakukan di ruangan gelap yang tak memungkinkan untuk berbaring apalagi bergulingan bebas–di gudang arsip. “Kek zombie, yah? Yaamm…”
Aku terus menyerang payudaranya, kiri dan kanan, meremas-remas seolah mencakar bak zombie yang haus daging mentah. Kugigit-gigit perlahan juga daging kenyal payudaranya dengan gigi yang berbungkus bibir. Ludahku menandai payudaranya, lalu dijilati lagi sampai merata di seluruh permukaannya. Ukurannya yang tidak terlalu besar tidak bisa dibandingkan dengan milik MILF-MILF lain apalagi Yuli dengan 38DD-nya atau kak Sandra 36D. Segenggaman tanganku saja pas tidak berlebih. Yang penting kenyal dan lembut. Lebih penting lagi ada pentilnya. Coba bayangin aja gundukan itu gak ada pentilnya, apa gunanya? Gak ada bedanya sama patung manekin, kan?
“Aahh… Dani tertular jadi zombie juga…” kelakar Dani menarik mukaku untuk menghentikan seranganku di payudaranya. Kami berdua berciuman lagi. Ia tidak mempermasalahkan banyak ludahku yang masih menempel di bibirku. Ia semakin panas dan menyedot-nyedot bibirku atas bawah bergantian. Digigitnya juga bibirku dan ditarik-tariknya seolah sedang mengoyak daging mangsa. Payudaranya hanya bisa kuremas-remas gemas. “Aauhhnn…” kuciumi pipi lalu ke telinganya yang kain jilbabnya ketepikan sedikit. Lidahku melata menelusuri bentuk lekuk telinganya. Dani menggelinjang kegelian. Ini kali pertama aku melihat telinganya setelah sekian lama kenal.
Cuping telinganya kini jadi pusat seranganku. Gelambir berdaging yang biasa dilubangi untuk tempat anting itu kucucup berulang-ulang. Erangan Dani sangat seksi kala bagian itu kujilati dan kuemut intens. Apalagi kala lidahku menyapu bagian belakang telinganya. Kutelusuri dengan ujung lidah basahku naik turun berulang-ulang. Dani meremas lenganku dan terkadang melonjak mendorongku karena terlalu geli. “Ahhn… Bang Asheenng… Enaaak…” desahnya manja dengan nafas memburu. Dada mungilnya naik turun tersengal-sengal. Dan kami berciuman lagi.
Serangan cumbuanku melata kembali ke bagian dada, payudaranya dan ke perut. Kuciumi bagian perutnya dan lidahku menyeruak menusuk masuk lubang pusarnya sembari elusan-elusan lembut pada kedua pahanya. Dani otomatis melebarkan kakinya dan elusanku beralih ke paha bagian dalam. Sesekali waktu jariku bergerilya mendekati selangkangan lalu menjauh. Ia mengejar tanganku agar lebih menjamahnya mendekati pusat kenikmatan itu. Sang meki gundul yang masih tertutup kain pelindung terakhir. Perutnya yang rata dan ketat berbercak ludahku saat lidahku menelusuri permukaannya. Kecupan-kecupan kecil merasakan lembut seluruh kulitnya yang kali ini menegang karena elusan di sepasang paha dalamnya.
“Mm…” tak sabar, Dani terasa mengangkat pantatnya dan meloloskan celana dalam yang dikenakannya itu buru-buru hingga aku kini malah berhadapan dengan meki gundul, si plontos itu. Disuguhi hidangan utama ini, lubang pusarnya kutinggal dan beralih ke si meki gundul. Lembut daging gundukan kemaluan itu sangat menyenangkan untuk disentuh. Apalagi tak ada sehelaipun rambut yang tumbuh sebagai penghiasnya. “Ahhss…” keluhnya saat lidahku menyapu meki gundulnya. Dani melebarkan kakinya, mempersilahkanku untuk mengobok-obok kemaluannya.
Kaki yang sudah dilebarkan itu, semakin kulebarkan lagi hingga ia mengangkang lebar. Aku memegang kakinya tepat di atas tumitnya. Dibentang lebar begini, meki gundulnya merekah lebar mengagumkan. Aku bisa menyaksikan semua keindahan yang tersembunyi di dalam sana. Lipatan bibir kecil di dalam sana yang menyatu ke arah kacang itilnya berwarna lebih gelap dari sekitarnya yang kemerahan cerah. Dani yang masih kaget kakinya kubentangkan maksimal seperti ini tak sanggup mengatupkan kembali kaki langsing jenjangnya. Aku masih menikmati visual yang terpampang di depan mataku sepuasnya. Dani berusaha menutupi mekinya dengan tangan. Mungkin malu sisi terprivat tubuhnya terekspos sedemikian rupa. Sangat mesum… “Jangan diliatin kek gitu, bang… Malu…”
“Nyumm…” mulutku nyosor menyerbu meki gundul itu rakus. Lidahku berdecap-decap menjilati daging menonjol bergerinjal indah membentuk alat reproduksi manusia ini. Dari sini semua penciptaan generasi selanjutnya dimulai. Dari sini juga terciptanya kenikmatan dunia dimulai. Kacang itilnya kusedot-sedot hingga Dani terlonjak-lonjak berkejat. Pantatnya mencuat naik mengimbangi rasa nikmat yang menyengat tubuhnya. Ia menjerit-jerit histeris tak pernah memetakan kenikmatan ini sebelumnya di catatan kehidupannya. Kuberikan semua kenikmatan itu padanya. Memberi pengalaman baru dan memori nikmat baru.
“Aauhh… Aaahh… Yaahh… Maaahh… Aauhh…” melonjak-lonjak tubuhnya. Lidahku menyeruak masuk dan menyodok bak penis kecil yang gemuk ke dalam liang kawinnya yang telah mengucurkan santan encer. Cairan berasa asin itu kujilat-jilat sebagai bonusku telah merangsangnya keluar. Apalagi ketika jariku masuk dan mengaduk liang kawin itu. Tak sebesar Aseng junior yang telah beberapa kali singgah ke dalamnya, tapi jariku bisa membuatnya blingsatan juga. Pinggulnya berputar-putar liar merasakan kulikan jariku di dalam sana mencari titik rangsang. Jari punya banyak variasi gerakan karena bisa bergerak bebas tidak seperti penis yang hanya memanfaatkan pejal keras saja sebagai alat tusuk. Jari bisa mengorek.
Berkejat-kejat tubuh Dani menegang tanpa bisa bersuara seperti kena strum tegangan tinggi. Jariku basah kuyup karena tak kucabut juga terjepit erat di dalam liang kawinnya. Kalo kucabut tadi, pasti akan ada semprotan squirt yang terjadi. Ahh… Aku jadi teringat kejadian kemaren bersama kak Sandra, ia kubuat squirt berkali-kali berkat penemuan termutakhirku itu. Kalo diingat lagi, Dani juga bisa squirt. Akan kucoba lagi padanya. Dani pasti suka itu. Membuat perempuan yang sedang kau tiduri sampe termehek-mehek lemes akan sangat jantan, kan?
Tak melepas jariku di dalam liang kawinnya yang baru orgasme, aku meneruskan mengorek dengan bantuan mulut menjilat kacang itilnya. Dani kembali mengerang tak mampu protes. Ia hanya sibuk menggerakkan tubuhnya, mengekspresikan rasa nikmat yang menjajah tubuhnya, menguasai seluruh tubuhnya. Jariku menekuk dan mengeruk permukaan atas perutnya—lokasi yang dipercaya dimana G-Spot berada. Kaki dan perutnya mengejang beberapa kali. Menjulangkan bagian bawah tubuhnya terangkat. Aku berpegangan, mengalungkan tanganku dari balik pinggulnya dan berpegangan erat di pinggang. Kemanapun ia melonjak, aku ikut kesana.
“Hiyaaaaaaaahhh!!” jeritnya lagi tak terperikan. Kulepas jari dan mulutku dari meki gundul menggemaskan itu. “Crruuuttss!” selarik semburan air bening menyemprot dari lubang kencingnya. Menyembur cepat dari samping leherku yang sudah menghindar. Kutopang pantatnya di bahuku agar lebih leluasa menyusul beberapa kali semprotan susulan yang lebih sedikit. Tubuh Dani gemetaran tak terkendali dan kuulangi lagi, jari dan mulutku kembali bersarang di meki gundulnya. Tak lama, kemudian semprotan baru menyembur kencang dipadu jeritan nyaring Dani—puas.
Permukaan sprei tempat tidur berbercak basah. Ini sangat seksi. Perempuan ini terkencing-kencing keenakan kala kuobok-obok kemaluannya. Dani telentang lemas. Hanya gerakan respirasinya yang menandakan ia masih hidup. Dadanya naik turun, hidungnya kembang kempis, mulutnya menganga, dan mekinya meleleh.
Sangat jantan bukan? Akan lebih jantan lagi kalo kubiarkan Dani beristirahat sebentar sebelum Aseng junior menyapa meki gundul itu.
Dani pasrah saja saat mulutnya kucumbu. Lidahku masuk dan bergulat dengan lidahnya tanpa bisa ia cegah. Payudaranya kuremas-remas tanpa ada perlawanan sama sekali. Tubuhnya sama sekali lemas. Puas mencumbu mulutnya aku turun dan mencari minuman di kulkas kecil hotel. Ada air mineral dingin dan kusulang minuman itu ke mulutnya. Dani berterima kasih sudah sedikit pulih abis minum air putih itu. Ia memandangi Aseng junior yang gondal-gandul nganggur dari tadi.
“Bang Aseng… Tadi itu enak kali… Tapi jorok, ya? Dani sampe pipis gitu…” katanya. “Dani lemes banget tadi… Enaaak kali… Bang Aseng pinter…” pujinya padaku yang sedang menghabiskan sisa air mineral tadi.
“Enak, yaa? Gak pa-pa, Dan… Itu bukan pipis, kok… Gak ada bau pesingnya, kan? Sante aja…” kataku lalu duduk di ranjang, mendekatinya. “Udah boleh dimulai lagi?” tanyaku menggerak-gerakkan Aseng junior hingga mengangguk-angguk. Dani tertawa melihatnya. Tangannya mengulur menyambutku untuk kembali memeluk menindihnya.
“Mmm… Mmm… Mahh…” kami kembali bercumbu mulut dan kuposisikan Aseng junior sebaik-baiknya. Kepala Aseng junior menyundul-nyundul sarangnya yang merekah basah–si meki gundul. Dani menjangkaukan tangannya untuk menggenggam batang kemaluanku dan mengocoknya sebentar. Meyakinkan kalau Aseng junior sudah siap sedia dipertemukan dengan kemaluannya. Digesekkannya Aseng junior ke belahan meki gundulnya berkali-kali dan didorongnya pinggulnya maju, Aseng junior ditariknya masuk. “Emmhh…” erangnya karena cumbuan mulut kami berdua dan persatuan kelamin kami berdua. “Aaahhh…” Aseng junior masuk memulai babak baru.
Batang kemaluanku memasuki Dani dengan lancar berkat licinnya liang kawin perempuan berhijab ini. “Enaak, baang… Teruuuss… Ma-ahhh… Yaahhh… Euhh…” erang Dani yang sesekali kusumpal dengan mulutku. Kalo kulepas mulutnya, langsung berceloteh ia kek burung berkicau. Pantatku berayun pelan dan teratur melesakkan Aseng junior pendek-pendek saja. Kuperhatikan ekspresi yang ditampilkannya kala tempo kocokan keluar-masuk Aseng junior berubah agak cepat. Kupermainkan temponya secara acak. Kadang cepat, sedang lalu melambat. Sedang, cepat lalu lebih cepat dan tiba-tiba lambat.
Kecipak suara cairan yang diaduk-aduk di dalam meki gundulnya terdengar sangat mesum. Dani sudah sangat basah sehingga suara kecipakan cairan vaginanya sangat jelas terdengar. Apalagi kalau aku bergerak pelan, “Clak clak clak!” Muncratan cairan itu juga membekas di sekitar selangkangan dan perut kami berdua. Terus kuaduk Aseng junior di dalam sana dibarengi kadang ciuman panas atau kuluman pada payudaranya. Kami berdua mengerang bersahut-sahutan.
Rasanya akan sangat jantan kalo aku bisa membuat Dani orgasme lagi selagi kusetubuhi begini. Apalagi dengan orgasme hebat seperti tadi. Dani yang squirt nyemprotkan air seni tawarnya sampai lemas bak tak bertulang. Jadilah, dengan jari kukulik kacang itilnya, meniru cara yang sama seperti yang kulakukan pada kak Sandra kemaren. Lincah jariku mengutik-utik kacang itil itu cepat sembari Aseng junior juga rajin mencoblos keluar masuk. Kepala Dani terbanting-banting kanan-kiri dan pantatnya menjengat naik kala liang kawinnya terasa menggigit erat.
Cepat-cepat kucabut Aseng junior dari liang kawinnya, masih mengangkanginya, Dani menjerit menembakkan semprotan squirt-nya beberapa kali. “Aauhh… Akhh… Ahhh…” tubuhnya terbaring lemah kembali. Kubimbing Aseng junior memasuki kembali dirinya dan kembali kukocok cepat. Dani mengerang kelelahan tak mampu mencegahku menderanya dengan kenikmatan. Aku juga menjelang menemukan kenikmatan itu di dirinya. Kepalaku sudah terasa ringan, bakalan segera ngecrot juga. Licin liang kawin Dani membantu gerakan cepat bombardir Aseng junior.
“Ahh… Aah… Ah…” lenguhku dengan selangkangan menempel ketat. Berkedut-kedut gencar Aseng junior memompakan cairan kental spermaku mengisi rahim Dani. Rasanya tak terkatakan lagi. Sangat nikmat dan melenakan jiwa. Tubuhku lemas dan ngelongsor rubuh menimpa tubuh langsing Dani di bawahku. Kukecup-kecup bibirnya dan ia membalasku dengan tambahan pelukan erat. Kemaluan kami masih bersatu bersalut sperma kental.
“Bang Aseeeng… Dani lemes… capek… Tapi enaak… Dani mau sayang bang Aseng, boleeh? Bang Aseng jangan marah, yaa? Dani sayaaang hmmm?” kubungkam mulutnya dengan cumbuan mulut. Tak perduli ia menolak lidahku yang menyeruak masuk memaksa lidahnya ikut menari bareng. Pagutan lilitan lidahku menghentikan semua omong kosong itu. Sesekali, pantatku masih menekan-nekan menusukkan Aseng junior yang perlahan mengendur ketegangannya paska ngecrot barusan. Aku harus terus membungkamnya agar ia tak dapat mengungkapkan perasaan sesatnya itu.
Walau mengendur, aku imbuhi rangsanganku dengan mengucek kacang itilnya dengan cepat. Dani menggelinjang geli tak karuan terus menerima rangsangan. Aseng junior tergelincir masuk berkat liang kawin becek oleh bekas sperma kentalku, bergerak lancar. “Baang Aseenng… Ahh… Uhh… Ukkh…” kucabut buru-buru Aseng junior dari sana dan menghindar dengan mengangkat pantatku, memberi ruang bagi Dani untuk mengekspresikan kenikmatan lewat semburan squirt itu. “Cruut cruut cruuut!” semakin banjir kemaluannya yang bergelimang kental sperma juga kencing enak barusan. Tubuhnya bergetar-getar lemah, sisa kenikmatan yang masih merajai tubuhnya.
Nafasnya tersengal-sengal. Aku menciumi pelipisnya dan juga mengelus-elus kepalanya yang tetap terbungkus hijab. Ia mengerang-ngerang lemah dan tau-tau matanya yang terpejam meninggalkan sisa dengkuran halus. Ia tertidur karena kelelahan. Aku berbaring di sampingnya dan memandangi langit-langit temaram kamar yang hanya diterangi satu lampu tidur berwarna kekuningan. Sebenarnya kondisi ini teramat romantis sebagai kamar berbulan madu seperti pengakuan Dani. Tapi mengingat kasusku, aku telah menodai dua pernikahan; pernikahan Dani dan pernikahanku sendiri.
————————————————————————————–
Sebuah getaran telepon masuk membangunkanku. Aku memegangi HP ini setelah chatting sebentar dengan istriku tadi, mengabarkan kalo aku sedang dalam acara seminar mendadak. Kukirimkan juga foto-foto saat aku masih di ruangan Convention tadi sebagai bukti. Dani masih tidur dengan damainya di sampingku berselimut.
“Halo, kak?” jawabku perlahan.
“Lu buka pintu kamar sekarang… Wa ada di depan pintu…” jawabnya di dekat sana. WHAT?! Apa maksudnya? Kak Sandra ada di depan pintu ini? Bukannya dia ada rapat sama Komisaris? “Lu gak usah banyak mikir, deh? Wa juga mau minta jatah wa…” Mampus aku. Apa jadinya ini? Ada Dani di sini masih tertidur lelap kelelahan abis kugarap. Ini dah tambah satu lagi betinanya.
“Kak… Nanti sore, kan bisa? Nanti sore awak puasin lagi, deh…” tawarku beranjak turun masih berbisik agar tidak mengganggu sang putri tidur yang liang kawinnya masih berselemak spermaku, belum sempat dibersihkan. Ranjang ini bagus kualitas springbednya, tidak menggoyang tubuh Dani saat aku beringsut turun, bagus-la.
“No-way! I demand it… NOW!” serunya dalam bahasa londo. Ia pernah mengatakan itu di rapat bersama para kepala bagian kala menuntut kinerja yang lebih baik dari tiap departemen. Dan ia mengatakan itu lagi padaku untuk menegaskan apa yang ia inginkan. Tak ada yang berani membantahnya kalau sudah begini. Aku beranjak ke arah pintu yang tertutup rapat. Apa kak Sandra benar-benar ada di sana?
Cklek!
Wajah sumringah kak Sandra segera terpampang di depan mataku begitu kuintip dari balik pintu. Ia menjauhkan HP dari telinganya pertanda kalo dia benar-benar ada di depan pintu ini saat menelpon tadi. Didorongnya pintu yang masih ada aku dibaliknya dan ia masuk dengan cepat. Ditelisiknya penampilanku yang tak memakai pakaian, sama sekali bugil karena buru-buru turun dari ranjang sehabis bertempur.
“Lu kalo digrebek satpol PP abis muka lu masuk tipi telanjang bulat begitu…” ejeknya lalu menyapukan pandangan ke seputar kamar dan matanya tertumbuk pada gundukan tubuh Dani yang berselimutkan kedamaian di atas ranjang.
“Kakak-ih… Doanya serem kali? Kakak kok kemari? Mau jatah juga? Nanti sore kan bisa?” kataku berbisik agar tidak mengusik sang putri tidur yang lagi bobok cantik di seberang sana.
“Lu lupa apa? Wa bilang lu harus ladeni wa kapanpun, kan? Wa mau sekarang juga… and I mean it now!” kata kak Sandra tanpa kompromi. Aku udah gak bisa membalas apa-apa kalo dia udah ngomong pake bahasa Inggris gitu. Bukannya aku gak ngerti dia ngomong apa, aku sudah sering dengar kata itu dan mencari tau artinya. Bahkan sampe ikut les bahasa Inggris segala. Aura kepemimpinannya langsung menguar keluar. Seperti ada sepasang tanduk berwarna merah mencuat di kepalanya dengan background api panas membara menggelegak. Siapapun jua akan terintimidasi auranya ini.
Kak Sandra menarik tanganku dan mengarahkanku ke sofa yang ada di dekat jendela. Pancaran cahaya lampu di samping ranjang sampai di sana temaram dan sungguh menakjubkan melihatnya meloloskan semua pakaian yang dikenakannya sampai ia bugil seperti juga aku dan Dani di sana. Ia mendudukkanku di sofa itu dan ia berjongkok di depanku.
“Mmuaahhh…” tanpa pikir panjang, kak Sandra sudah menelan Aseng junior. Padahal masih ada sisa kerak spermaku yang menempel di sana, ia tak perduli. Rakus digelomohnya batang kemaluanku untuk membangunkannya. Membangunkannya dari mimpi indah setelah memangsa Dani barusan. Si putri tidur terlelap damai tak tau ada pertarungan tambahan di dekatnya. Menggeliat bangun, Aseng junior perlahan kembali ke bentuk prima mode tempurnya. Kak Sandra antusias menyepongnya, menjilat-jilat dan menelannya dalam. “Ahh… Mlloohhh… Gloorkk… Uuuhh…”
Factory Manager cantikku ini mengobel-ngobel sendiri cepetnya yang tak dapat kulihat di posisi jongkoknya ini. Apalagi cahaya sangat minim di kamar ini. Hanya siluet-siluet bayangan yang berpendar menerangi, memberi keindahan tersendiri. Kak Sandra melakukan deep throat berulang-ulang pada sekujur Aseng junior. Ia selalu mengasah kemampuannya ini bila ada kesempatan padaku. Kepala Aseng junior menyentuh ujung tenggorokannya berulang dan ditahannya di sana dengan menahan nafas. Alhasil Aseng junior juga terjepit enak di dalam mulutnya. Selagi ia memulihkan nafasnya, dikocok-kocoknya pangkal batang Aseng junior yang berlumuran ludahnya lalu diulang lagi deep throat.
“Lu mau ngerasain pantat Cina wa, kan?” bisiknya setelah terlebih dahulu mengecup bibirku. Aku mengangguk cepat tanggap. Ia naik ke sofa dan menungging di atasnya. Cahaya temaram yang menerpa tubuh telanjang menunggingnya sangat spektakuler lengkap dengan saturasi gelap di sisi tak tersentuh cahaya memadukan visualisasi yang indah. Pantat montoknya yang kupuja mencuat mengundangku untuk menjamahnya. “Aahh…” erangnya kala mukaku mendarat tanpa ragu ke belahannya.
Mukaku kugosok-gosokkan ke bongkahan kembar kenyal itu. Lidahku nakal menjulur mengais-ngais tiap permukaan yang bisa dicapainya. Apalagi tanganku meremas-remasnya tanpa bosan. Kenyal dan lembut pantat kak Sandra memang menjadi favoritku. Menjadi fetish-ku. Aku bisa berlama-lama menikmatinya. Hidungku mengais ke arah belahan dalam yang menyembunyikan anus dan juga cepet berbulu jarang miliknya. Kujangkaukan panjang lidahku untuk dapat meraih harta karun di lepitan dalam belahan montok itu. Bergetar-getar tubuh kak Sandra kala ujung lidahku bertemu sua, bersilaturahmi dengan sang cepet.
“Iyaaaahh… Ashhh… Uunhh…” kak Sandra membantu dengan melebarkan cepetnya menggunakan jari. Belahannya merekah dan aku semakin menggila. Kubenamkan mukaku di belahannya dan ujung lidahku menyerbu kacang itilnya yang mencuat di belahan cepet merah itu. “Ungghh!” erang kak Sandra kala kacang itilnya kukulik dengan lidahku. Lidahku cukup lama bermain di sana sampe kerasa pegal sisi lidahku terus terjulur begitu.
Kubarengi dengan jilatan-jilatan panjang menyapu lubang air seni, lubang liang kawinnya sampai ke anusnya. Kak Sandra rajin membersihkan semua lokasi itu jadi aku tak segan berkarya di sana. Ia bergidik-gidik geli sampai gemetar tubuhnya merasakan rasa enak yang kuberikan lewat permainan lidah. Gemas aku dengan permukaan pantatnya yang aduhai lagi ngangenin. Ingin rasanya kukunyah-kunyah karena gemes.
Cepet kak Sandra sudah basah oleh percampuran ludah dan cairan vaginanya sendiri. Walau gelap tapi aku dapat menjangkaunya semua. Lidahku menelusup masuk dan mengerogoti isi dalam liang kawinnya. Jariku menggosok kacang itilnya, tangan lain meremas bongkah pantatnya. Bergerak berputar-putar kecil pantatnya kala ia mengerang keenakan cepetnya ku oral begini. Mukaku tak lepas dari belahan pantatnya. Erangan berubah menjadi raungan lalu jerit.
“Aauhhhh!! Ahh! Aaah…” desir semprotan squirt meluncur deras. Ada yang menerpa dadaku dan kebanyakan mendarat di permukaan sofa. Ada juga yang membasahi Aseng junior. Bergetar-getar tubuhnya berkejat mendapatkan orgasme pertamanya sampai nyembur gitu, ia masih merangkak, menunggingiku yang menjilat-jilat lembut pantatnya. Kugigit-gigit lembut daging pantatnya yang kenyal. Kak Sandra mengaduh-aduh keenakan merasakan sisa orgasmenya barusan. “Ahh… ahh… ahhm…”
“Akkhhh!! Seng!! Auhh…” tercekat kak Sandra kala langsung kujejalkan Aseng junior ke liang kawinnya yang bahkan belum pulih dari nikmat tak terperi barusan. Aseng junior tergelincir masuk dengan mudah dan menyumpal lubang sempit itu mentok sampai perutku bertemu pantatnya. Tubuhnya melonjak dan bangkit dari posisi merangkaknya, punggungnya melengkung untuk menyambangiku yang berada di belakangnya.
Kupeluk perutnya dan kugerakkan Aseng junior pelan dan pendek saja karena sudah tidak ideal lagi untuk tusukan panjang. Kak Sandra menyasar mulutku dan kami berciuman. Lidahnya menjulur masuk dan kusedot masuk ke mulutku, bertukar ludah. Tangannya mengucek-ucek rambutku selagi perut dan dadanya kuelus. Sebelah toket 36D-nya kuremas dan pilin. “Enaak, Seeng… Pelan-pelan dulu, Seng… Biar kerasa…” bisiknya melepas mulut kami sebentar.
Genjotan pelan begini sangat terasa menggigit Aseng junior karena hanya bagian kepalanya saja yang menyodok-nyodok terjepit bagian mulut vaginanya. Gesekannya sangat terasa menjepit dan sensasi pedih sempit itu jadi sangat nikmat karena bercampur baur menjadi satu. Posisi ini sangat intim karena tubuh menyatu padu dalam satu dekapan yang katanya mesra. Apalagi ditingkahi dengan cumbuan mulut yang sangat kami berdua gemari.
Sodokan pendek-pendek berlangsung cukup lama kami lakukan dengan berlutut di atas sofa, memanfaatkan empuk materialnya yang membal memantulkan tiap gerakan yang kulakukan. Perut dan selangkanganku rapat menempel di pantat kak Sandra. Jariku merayap bergerilya mencari. Menelusuri perutnya, menusuk pusarnya, mengelus turun, perutnya, turun lagi dan menemukan beberapa helai jembutnya dan bermuara di kacang itilnya. Kak Sandra mengerang tau taktikku. Gencar jariku lalu mencabik-cabiknya bak seorang gitaris memainkan nada nge-rock, menaikkan tempo permainan ke oktaf tertinggi.
Kak Sandra melepas mulutku dan fokus pada genjotan pendek-pendekku. Ia mengerang-ngerang nyaring menikmati serangan frontal di kemaluannya. Bahkan ia mencengkram pergelangan tanganku yang bermain di kacang itilnya, entah mempertahankannya tetap di sana atau mengusir. Getaran tubuhnya mulai menyerang. Menerpa beberapa bagian tubuhnya lalu manguasai seluruh tubuhnya dalam satu gelombang dahsyat.
“Cuurr… cyuurr… srruuutt…” cairan kencang menyembur menerpa bahan pelapis sofa. “Iyaaaaaaaaahhh!!” jeritnya nyaring. Kupeluk tubuh semoknya dengan kedua tanganku. Aku akui, kualahan juga menahan tubuh wanita yang sedang dilanda orgasme ini. Ia tak bisa mengontrol tubuhnya. Tenaganya jadi berlipat ganda, melepaskan hormon dalam jumlah banyak sekaligus. Melonjak-lonjak bak kuda rodeo hendak melemparku dari punggungnya yang menyentak-nyentak liar. “Ahh… ahh… ahh… Seengghhh…” erangnya parau.
Kududukkan tubuhnya bersandar di dadaku. Nafasnya memburu bak habis marathon 10K. Turun naik dadanya iseng kugrepe dan pilin. Ia mengerang protes jangan dimainin dulu. “Cibay ya, luuu… Dah tau tombol darurat wa… itu trus yang lu mainin… Cibay lu, Seng… Kapan wa menangnya dari lu… kalo ke gini?” erangnya putus-putus masih kesusahan bernafas.
“Sekali-kali bawahan menang-la, kak… Masak kakak trus yang menang… Awak kan pengen juga ngerasain lebih jago dari kak Sandra…” kataku beralasan sambil mengelus-elus dadanya yang montok kenyal. “Karena kakak udah dua kali… sekarang awak yang ngalah-la…” kataku lalu merebahkan diri di sofa hotel ini. Ia langsung meraup batang Aseng junior dan merancapnya.
“Awas lu yaa kalo pake tombol darurat… Wa gigit lu ntar…” ancamnya beringsut naik ke atas tubuhku. Resmi namanya itu sekarang ‘tombol darurat’. Proses menyebabkan kak Sandra orgasme sampe squirt terkencing-kencing mendapat namanya. Digesek-geseknya kepala Aseng junior ke belahan cepetnya yang basah. Aku tak dapat jelas prosesi masuknya yang jelas rasanya melebihi persepsi visual. Rasa tergelincir masuk kemaluanku memasuki tubuh kak Sandra via liang kawinnya sudah cukup melenakan. Masuk dalam dan menembus imajinasi. Kepalanya sampai mendongak dan merayakannya dengan menguyel-nguyel toketnya sendiri.
Toketnya dilagakannya kiri kanan sampe peyot saling tergencet kala mengekspresikan rasa nikmat yang dirasakannya. Aseng junior mentok dalam dan kak Sandra menyetel posisi menduduki selangkanganku agar nyaman dan pas. “Ahh… Uhmm… Yahh… Ahhnn…” erangnya sendiri kala ia mulai bergerak maju mundur mengulek Aseng junior-ku di dalam liang cepetnya. Setelah beberapa kali repetisi ulekan, ia memutar pinggulnya sebagai variasi. Kak Sandra sangat seksi di temaram cahaya begini. Toketnya yang menggunung besar masih diuyelin sendiri dengan jari menelusup masuk digigit di mulut. Gerakan tubuhnya sangat erotis hingga aku tergoda untuk menjamah gundukan kebanggaannya itu. “Nyaahhh…”
Kubetot-betot kedua gundukan sebesar 36D itu dengan gemas. Apalagi putingnya yang berwarna menarik itu. Hanya pria dewasa yang pernah menyusu disana, kelak akan ada bayi yang menguasainya selama dua tahun mendatang. Calon dari bibitku-lah dia kelak. Kutarik-tarik gemes itu pentil ngegemesin ke arah yang berbeda selagi kak Sandra terus geal-geol maju mundur lalu berputar erotis. Kocokan yang terjadi dengan ulekan seperti ini sangat minimal tapi intens, mirip dengan sodokan pendek-pendek. Gerakannya makin cepat dan cepat seirama dengan erangan meracaunya yang tak kupaham. Pokoknya ada cibay-cibay-nya gitu.
“Seng-seng-senghh…. A-aah…” erangnya lalu tiba-tiba sedikit bangkit dan Aseng junior lepas. “Crusshh!!” ia squirt sendiri tanpa bantuan tombol daruratku. “Hahh… haahh… hah…” walau gelap dapat terasa cairan hangat mendarat di perutku. Mulutnya menganga lebar dan pahanya yang rapat ke pinggulku terasa bergetar. Diusapnya sekali untuk mengelap kencing tawar yang membasahi perutku lalu mengelap cepetnya sendiri. Ia malah mengarahkan Aseng junior untuk memasukinya lagi. “Enak ternyata, Seeeng… Cibay… kontol lu enak banget… Wa ketagihan kencing… Kencing enak!” cetusnya.
Aku diam saja menikmati apa yang sedang ia nikmati. Karena keindahan persetubuhan bagiku adalah saat lawan mainku bisa menikmatinya sepuas-puasnya. Biarin aku gempor asal dia puas. Kembali kak Sandra mengulek Aseng junior-ku dan mengarahkan tanganku untuk mempermainkan toketnya. “Lu mainan ini aja… Jangan tombol darurat… Wa gak tahan kalo itu…” alasannya. Yah? Ada tingkatan-tingkatannya gitu? Kalo orgasme yang kusebabkan pake tombol darurat ia sampe lemes gitu? Oo… Baru tau anak mudanya…
Benar saja tak lama kemudian gerakan mengulek kak Sandra semakin cepat dan brutal. “Cuushh…” semburan hangat kembali mendarat di perutku. “Ahh… ahh… ahh…” Kak Sandra bergetar pelan terutama pahanya yang menempel di pinggulku. Bersamaan ia mengelap cepetnya dan perutku dari sisa cairan kencing enaknya, dibenamkannya lagi Aseng junior ke liang kawinnya. Ia menemukan ladang orgasme saat bersenggama denganku. Ia berulang-ulang mendulang kenikmatan itu dengan menggunakan tubuhku. Terutama Aseng junior yang mengacung menegang.
“Ah ah ah… Bisa dehidrasi wa entar… kencing enak mulu… Enak kali, Seng… Wa bisa ketagihan kontol lu kalo kek gini trus, Seeeng…” ia berhenti masih dengan Aseng junior terbenam dalam cepetnya. Ia mengusap peluh yang menitik di dahi dan lehernya. Tanganku mengelus perutnya. “Gantian elu-lah yang enak, Seng… Lu harus ngasih anak ke wa, kan?” Dilebarkannya kakiku yang tengah didudukinya, merebahkan dirinya pelan-pelan tanpa melepaskan persatuan kelamin kami dengan hati-hati. Ahli sekali ia mengatur tubuhnya. Aku sendiri takjub bisa terjadi seperti ini. Kakinya kini menggantung bersandar di bahuku.
“Mulai ya, kaaak?” sahutku mulai menggerakkan Aseng junior keluar masuk. Kali ini di posisi standar bikin anak dan enak ini, tusukan bisa dilakukan panjang-panjang maksimal. Kombinasi dua pendek-satu panjang kulakukan dalam menyodok kak Sandra di bagian akhir ini. Dua kali sodokan pendek lalu sekali tusukan dalam lalu diulangi dua sodokan pendek lagi. Begitu terus menerus beberapa kali repetisi sampai memang terasa geli-geli enak yang sudah kami harapkan. “Kak ini, kaaak…” sodokanku hanya panjang-panjang sekarang dan lebih cepat. Memburu kenikmatan untukku sendiri setelah ditambang habis-habisan oleh kak Sandra tadi.
“Seeeng? Yaak, Seeng… Ahh… Ahhnn… Uhhmm…” erang kak Sandra menerima semprotan menyembur deras mengisi rahimnya dengan sperma hangatku. Kak Sandra mengelus-elus dadaku dengan mulut maju minta cium. Kedutan-kedutan enak masih terasa di saluran spermaku saat kami berciuman, bergulat lidah saling belit dan sedot. Kak Sandra dan aku saling remas. Kak Sandra meremas-remas pinggangku sedang aku tentu saja toket montoknya. Nafas kami terasa sangat panas karena teracuni karbon dioksida di antara langkanya oksigen yang kami perebutan di cumbuan mulut ini. “Lu mau tau, gak?”
“Apa, kak?”
“Dani dari tadi udah bangun…”
Bersambung