Part #26 : Desahan Nikmat Sandra

Sore hari, di saat semua para staff kantor sudah pulang kerja, kantor kosong. Beberapa lampu yang tak perlu dinyalakan sudah padam, meninggalkan hanya beberapa lampu utama. Bahkan para OB sudah pulang dari tadi setelah membersihkan ruangan dan membuang sampah. Di ruang Factory Manager ini masih ada kegiatan. Kegiatan kami berdua.

“Ah… ah… ah…” desah kak Sandra yang kugenjot dengan kecepatan sedang cepet berjembut jarangnya. Toket 36D-nya bergoyang berayun-ayun seirama dengan genjotanku. Memberi fan-service pada mataku yang jalang mengikuti gerakan memutarnya. Puting berbeda warnanya menjadi titik fokus pandanganku. Ia mencengkram Aseng junior di dalam liang kawinnya dengan cara mengkedut-kedutkan otot perutnya yang menyebabkan kontraksi meremas.

Sandra

“Ahhnn…” erangku merasakan remasannya pada batang kemaluanku sangat intens. Di dalam ruangan kerja kak Sandra yang cukup luas ini ada sebuah ruang tambahan tempat ia beristirahat di samping toilet. Ada sebuah sofa yang bisa difungsikan sebagai tempat tidur juga beserta sebuah meja rias kecil untuknya berbenah memperbaiki riasannya. Di dalam sini kami melakukannya.

Kak Sandra berbaring dengan kaki mengangkang lebar terganjal tanganku yang menahan di belakang lututnya. Aseng junior menyodok teratur dengan suara berkecipak cairan lumer yang dihasilkan panlok ini. Sesekali, toketnya kupatuk sebentar, bermain-main dengan puting, kedua putingnya bergantian. Dan ia kembali minta cium. Ia memainkan lidahnya di dalam mulutku, mengaduk-aduk lidahku mengajaknya bergulat. Ludahku disedotnya saat mengulum lidahku lalu menyetorkan percampuran ludah kami kembali padaku. Mulut kami berdua berlumuran basah.

“Seeng-ahh…” dilepasnya mulutku dan mengerang panjang. Pantat dan perutnya mengetat agak terangkat pertanda ia merasakan kenikmatan puncak itu. Aseng junior-ku terjepit erat di cepetnya. Kak Sandra mengerang-erang keenakan sembari meracau bahasa Ibunya dan leherku dipeluknya juga. Membuatku dapat mencium aroma rambut dan kulit lehernya. Aseng junior kugoyang pelan-pelan berputar mencoba melonggarkan sedikit kepitan erat otot kemaluannya. Getaran tubuhnya berkurang dan didorongnya tubuhku menjauh.

Begitu Aseng junior terlepas dari cepet kak Sandra, ia membalik tubuhnya dan menungging mengganti posisinya. Tak perlu tanya apa-apa, aku langsung nyosor ke pantatnya. “Aaahh… Suka kali lu sama pantat wa, ya?” desahnya karena aku bermain-main di sekitar bongkahan empuk pantatnya. Mukaku kugesek-gesekkan ke buah pantatnya, berpindah kanan kiri. Kuremas-remas dengan gemas lalu kutepuk-tepuk–tidak kuat, sih. Jariku juga mengutik-utik isi dalam cepetnya yang basah. “Aaaahhh… Seenng-ahh… Lu nakal aaamat, yaaa? Ummhh…” erangnya.

Mukaku nemplok di belahan pantatnya. Hidungku merangsek masuk ke liang kawinnya sedang mulutku menyedot kacang itilnya yang lumayan gemuk itu. Aku inisiatif melakukan ini mumpung belum dinodai spermaku sendiri. Kemaren aku belum sempat melakukan ini keburu sudah belepotan sisa pertempuran sebelumnya. Lidahku menyapu rakus isi lipatan dan lekukan yang ada di sana. Lidahku berbentuk corong juga kujejalkan masuk ke liang kawin itu. Tanganku meremas dan melebarkan kedua bongkah bokongnya supaya permainanku makin liar. Aku makin gemas saja dengan pantatnya. “Suka lu sama pantat Cina wa, haaah?”

Tak menjawabnya, aku langsung menjejalkan Aseng junior dan langsung gas poll sekencangnya. Lagi-lagi ia mengerang. “Clok! Clok! Clok!” suara genjotan brutalku. Toketnya yang bergantung bergoyang brutal juga. Erangan kak Sandra juga terdistorsi getaran. Lalu kulepas lagi dan mukaku kembali nemplok di sana. Kusedot sekuatnya sampai ia menjerit, memasukkan sebisanya kemaluannya ke mulutku. “AAuuhhh!!” Aku gemes denganmu kak Sandra.

“Gila lu, yaa?” katanya setelah memukul dadaku dengan napas tersengal-sengal. Ia berbaring menyamping di atas sofa. Ternyata jeritannya tadi karena ia kembali mendapat orgasme. Toket 36D-nya bergerak-gerak menantang. “Cepet wa ntah dah lu apain aja…” ujarnya mengelus-elus kemaluannya dari belakang. Aku mengusap mukaku yang tercemar cairan vaginanya. Cemaran lezat.

“Gemes aku, kak…” jawabku ngasal sembari mengocok-ngocok Aseng junior yang merah meradang. Urat-urat di sekujur batangnya bertonjolan membuatnya terlihat sangat garang. Kak Sandra malah melebarkan bibir cepetnya pertanda aku sudah bisa masuk lagi. Kali ini dengan posisi menyamping. “Aahh…” erangku karena di posisi ini, liangnya terasa sangat sempit mengigit. “Uuhh…”

Perutku dan pantatnya beradu karena rasa nikmat yang tak terperikan lagi. Aku pasti akan ngecrot tak lama lagi. Aku hanya fokus untuk kenikmatanku sendiri dan kak Sandra juga mengerang-mendesah keenakan juga. “Aaahh… Ah… Ah…” lututku sampai gemetaran merasakan kenikmatan dunia ini kala spermaku menyembur dan menyemprot rahim kak Sandra. Ia juga mendesah-desah keenakan dan meremas tepian sofa.

“Seng… Enak kali, Seng kalo miring gini, yaa? Kerasa kali enak cepet wa… Hah hah hah…” katanya baru merasakan nikmatnya hasil kepuasan di posisi ini. “Ini posisi favorit wa jadinya… Ambilin bantal itu…” katanya menunjuk bantal sofa untuk mengganjal pantatnya. Kuserahkan bantal itu dan ia meluruskan tubuhnya di atas sofa dengan pantat lebih tinggi terganjal bantal. “Sini lu…” panggilnya biar aku mendekat.

Jantungku masih dag-dig-dug abis ngecrot barusan, kak Sandra sudah kembali mengulum Aseng junior, membersihkannya. Alhasil yang seharusnya istirahat dulu barang sebentar, sudah kembali bangkit menegang keras. “Kak istirahat dulu…” pintaku di antara sedotan yahudnya.

“Biar lu cepat pulang… Ini baru sekali, kan? Ada dua kali lagi jadinya…” hentinya sebentar lalu menyedot kuat lagi. Pipinya yang sedikit chubby jadi kempot seperti menghisap cerutu Kuba kualitas terbaik. Ia benar-benar serius harus dapat giliran 3 kali dariku. Naga-naganya aku harus kembali poding, nih pulang dari sini. Singgah di tukang jamu langgananku di Mabar. Terus ia menikmati memainkan Aseng junior sambil memperhatikan ekspresi yang muncul di mukaku akibatnya. Tentu meringis mukaku mendapat sedotan ampun-ampunan kek gitu. “Semua punya wa enak kan, Seng? Pantat wa enak, mulut wa enak… Cepet wa pun lebih enak…” kocoknya pada Aseng junior dengan senyum lebar. Lidahnya menjulur mengejek entah mau apa.

Diludahinya permukaan Aseng junior lalu ditelannya kembali batang itu dan terus menikmatinya seperti sebatang es krim yang paling lezat. Karena terasa sangat enak, mau gak mau aku ikut bergoyang mengentoti mulutnya. Kutusuk dari samping hingga pipinya menggembung. Gesekan pada pipinya lumayan terasa. Serasa aku sedang menyodok cepet yang punya lidah. Lidahnya ikut menari-nari selagi kusodok mulutnya. Toketnya juga tak lupa kupermainkan karena melihatnya sedang mengutik-utik sendiri kacang itilnya.

“Dah, Seng… Cepet wa dah gatel kali nih…” katanya melepas Aseng junior dari mulutnya dan mengarahkannya kembali ke kemaluannya. Ia kembali berbaring menyamping—posisi favorit barunya. Aseng junior-ku didorongkannya ke cepetnya sendiri. Karena liang kawinnya itu masih basah beselemak spermaku, mudah saja Aseng junior meluncur masuk. Malah terpeleset masuk hingga kandas. Kami berdua mengaduh keenakan. “Ahhmm…”

Bagian pantatnya yang mencuat kuremas-remas gemes begitu juga sebelah toketnya yang terlihat di posisi ini. Rasa enak yang terjadi di senggama ronde kedua ini sangat terasa sampe ke ubun-ubun. Kak Sandra sampe harus memeluk kakinya kala ia menjerit keenakan. Walaupun lepas saat ia kelojotan di puncak kenikmatannya, tubuhnya berkejat-kejat tak terkendali. Aku melepas Aseng junior untuk mengulur nafas sebentar. Tubuhnya yang hampir jatuh dari sofa kuperbaiki posisinya hingga ia menelentang lemas dengan mata terpejam dan dada naik turun.

“Enak kali, Seeng…” keluhnya saat aku mempermainkan toketnya dengan mulutku. Aku berjongkok di depan tubuhnya, menikmati hidangan tubuhnya yang tak bosan-bosan kusantap. Ia mengalihkan mulutku ke arah mulutnya dan kami kembali bercumbu mulut selagi tanganku tetap mempermainkan toket 36D-nya. Memilin kedua putingnya bergantian. Lidahku masuk ke dalam mulutnya dan disedotnya dengan rakus. Semua cairan yang keluar dari mulutku disedotnya. Lidahnya menggelitik lidahku untuk bergulat bagai pagutan ular. Aku belajar banyak dari kak Sandra tentang gulat lidah karenanya.

“Masukin lagi, Seng…” katanya karena aku menggelitik kacang itilnya yang tetap keras. Kakinya otomatis diangkat lebar di sofa yang cukup besar dan nyaman untuk ditiduri karena terbuat dari bahan terbaik dan mahal. Kuposisikan tubuhku dan Aseng junior di depan bukaan cepetnya yang merekah merah lagi basah. Padahal kemaren sudah habis-habisan kugasak lubang ini, tapi selalu nagih untuk datang berkunjung lagi.

Begitu tubuh kami terkoneksi oleh jalinan dua kelamin, aku merebahkan tubuhku pada kak Sandra dan aku meminta ciuman lagi. Seperti sudah menjadi keharusan kalo tiap bersenggama dengannya, harus dibarengi dengan cumbuan ciuman yang panas berlidah. Permainan ludah dan lidah kami peragakan kembali selagi aku memompa Aseng junior teratur dengan tusukan pendek-pendek. Kadang aku tidak bergoyang sama sekali, hanya menikmati mulut kak Sandra saja sehingga Aseng junior hanya terbenam dalam. Tenggelam.

Aku tidak melakukan ini pada perempuan-perempuan lain di proyek kehamilan mereka. Bahkan aku membuat pasal khusus untuk melarang mereka dan aku untuk melakukan cumbuan seperti ini. Sedangkan pada kak Sandra ada pengecualian. Hanya kak Sandra yang berani menolak pasal itu dan merevisinya karena ia percaya diri tidak akan baper pada hubungan yang kami jalin ini. Sejauh ini, ia memang menepatinya.

Kenapa? Apakah perempuan-perempuan lain itu ada kecendrungan baper? Bawa Perasaan? Sejauh yang kuingat—ya. Pada Aida, ia sempat beberapa kali pada beberapa kesempatan terpisah minta khusus dicium. Yuli juga sama, bahkan curi-curi seperti yang dilakukan Aida juga. Pipit apalagi. Ia terang-terangan baper sampai mengatakan ‘I love you’ tak bersuara di satu rekaman persenggamaan kami. Iva bahkan sempat mencurahkan perasaannya walau secara tak langsung. Begitu juga dengan Dani. Ia sempat ngambek karena bingung dengan perasaannya atas apa yang sedang kami jalani ini. Proyek kehamilan beberapa perempuan itu semoga tidak membawa implikasi negatif kelak yang akan buruk bagi kami-kami juga.

“Ah ah ah ah…” erangnya berulang-ulang meningkahi sodokan teraturku. Ia terpejam saat kupandangi wajahnya yang menikmati tiap kenikmatan yang kuberikan padanya. Membiarkan semua kenikmatan itu mengalir bebas dan menguasai dirinya. Mengaduk-ngaduk semua kesadarannya. Tubuhnya ikut bergoyang seirama sodokanku, menggoyang kenyal sepasang toket 36D-nya, menggoyang semok otot tubuhnya, mengusutkan tatanan rambutnya, memuaskan dirinya. Kuciumi sesekali bibirnya tanpa balas. Matanya tetap terpejam, meresapi, menikmati.

Barusan, kembali ia mendapat big-O itu dan ia mencumbu mulutku lagi. Tak lama kami berganti posisi. Ia terpikir untuk melakukan posisi ini. “Wa pengen nyobain begini, Seng…” katanya. Ia menyuruhku duduk bersandar di sofa dan ia menduduki pangkuanku, memunggungiku. Dibimbingnya Aseng junior ke arah vaginanya, merangsek perlahan dan tembus sempurna membelah masuk. Aseng junior menusuk masuk ke cepetnya secara tegak menjulang. Kakinya ditekuk di atas sofa. Kak Sandra mulai bergoyang naik turun selagi aku memandangi punggung dan belakang kepalanya. “Aahh…” erangnya.

Aku memegangi ketiaknya dan ia menahan tubuhnya dengan berpegangan pada lenganku, dicengkram kuat. Gerakan naik turunnya pada awalnya aja bertenaga karena seiring waktu, rasa nikmat yang mendera tubuhnya tak dapat ditahannya lama-lama dan gerakannya mulai tak teratur. Menjadi hanya gerakan maju-mundur mengulek Aseng junior yang kandas menembus tubuhnya. Kupeluk perutnya agar rapat ke dadaku, mengelusi perut dan memainkan sepasang toketnya, kami berciuman kembali. Aku yang kini bergerak. Melengkung Aseng junior merojok masuk memompa cepet berjembut jarang itu.

Sambil bermain gulat lidah, Aseng junior terus menyodok kak Sandra. Stimulasi penuh kulakukan padanya karena sebelah tanganku memilin putingnya, sebelah lagi mengulik kacang itilnya, mulut bergulat dan cepet ditembus batang pejal. Tubuh kami berdua lengket oleh keringat karena permainan seks yang berada di ronde kedua ini. Kak Sandra melawan dengan menggerakkan pinggulnya juga berputar menyambut sodokan Aseng junior yang pas di dalam liang kawinnya.

“Seeng-ahh! Seeng… Akh!” erangnya lalu menggerakkan pinggulnya maju hingga Aseng junior lepas dan CUSS! Ada semprotan kecil yang meluncur deras ke hadapan. Ada dua kali semprotan lebih kecil menyusul kemudian. Tubuhnya bergetar di pelukanku. “A-a-ah…” bahkan suaranya bergetar. Kulebarkan belahan bibir cepetnya karena takjub akan kejadian tadi. Aku sempat menyaksikan hal yang serupa di Dani saat pertama kali melihatnya masturbasi kala kesurupan. Kuusap-usap kacang itilnya dan kembali tubuhnya bergetar keenakan.

“Enak kali, Seng… Wa ampe squirt begitu… Pinter amat lu maennya…” puji kak Sandra tetap dengan kaki membentang lebar lemes akibat orgasme kembali. Orgasme yang super hot sampe squirt. Kepalanya rebah di bahuku dan bernafas tersengal. Toketnya masih kupermainkan begitu juga dengan kacang itilnya. Aseng junior melambai-lambai gak ada kerjaan. Hanya mengacung nganggur. Sabar ya, Seng? Yang sabar dapat cepet se-Mabar. Nyaho, lu!

“Lemes banget wa, Seng…” kutuntun tubuhnya agar berbaring manis di atas sofa dan ia otomatis melebarkan kakinya lagi. Kedutan masih terlihat di kemaluannya yang baru mendapatkan orgasme dahsyat. “Tapi wa masih mauu… Masih bisa dimasukin-lah…” katanya menahan kakinya di bagian paha agar semakin lebar, mempersilahkanku masuk dan memuaskannya lagi. “Biar wa lekas hamil anak lu, Seng… Entotin wa truss…” mengangkat sedikit pantatnya mengundang.

Bimbingan tanganku, memasukkan Aseng junior dan ia sukses masuk meluncur dan kembali kugoyang kak Sandra. Aku pengen ngeliat kak Sandra squirt lagi dan karenanya kutambahkan kulikan jari di kacang itilnya sebagai stimulan tambahan. Ia langsung mengerang hingga kepala mendongak dan terbanting-banting. Erangan, eluhan, jeritannya membahana di ruang istirahatnya. Untungnya kantor sudah sepi dan kami bebas mau ngapain aja sore ini. “Seeng-aakhh!”

Tanggap, kucabut Aseng junior dan aku berkelit cepat. Luncuran semprotan squirt itu menerpa pegangan sofa sebelah sana. Tiga kali semprotan juga seperti yang pertama tadi. Kak Sandra mengerang-ngerang sambil memegangi kepalanya. Matanya melotot tak percaya dan mulut menganga untuk oksigen. Tidak ada bau pesing walau semprotan squirt itu berasal dari lubang air seninya. Karena cairan itu sejatinya bukan air seni. Tapi kasian juga OB besok pagi disuruh membersihkan kencing tawar Factory Manager ini. Karena aku jadi ketagihan melihat kak Sandra melakukan hal binal seperti ini berulang-ulang dan aku tau caranya.

“Jahat lu, Seng… Lu mau buat wa pipis trus, kan?” kata kak Sandra paham jalan pikiranku. Muka dan cepetnya kini sama padan merah serupa. Terbakar birahi dan rasa nikmat yang membuncah tinggi sampai membakar langit. Aku hanya menggosok-gosok tapak tangan dengan senyum mesum yang dilebih-lebihkan. Kak Sandra tertawa geli melihat tingkahku. Apalagi Aseng junior bergoyang-goyang naik turun kompak.

Kubalik tubuhnya yang tak berdaya, tak bisa menolak untuk menungging dan langsung kucoblos. Gas poll dengan tambahan kembali kulikan tangan di kacang itilnya. Kak Sandra berusaha menutup aksesku ke klitorisnya tetapi kutepis tangannya. Licin liang kawinnya memudahkanku menggasak kemaluan kak Sandra dan aku yakin gak lama lagi ia akan squirt kembali. “Seeng-aukhh!” Tuh, kan? Terkencing-kencing kak Sandra di atas permukaan sofa, menembakkan semprotan squirt-nya. Tubuhnya bergetar-getar lalu rebah di atas cairannya sendiri tak mampu menahan diri.

Susah bernafas yang kini dialami kak Sandra. Deguban jantungnya mendisrupsi jalan nafasnya apalagi di posisi tengkurap begini, massa toketnya makin menekan paru-parunya. Tapi aku ketagihan meliatnya terkencing enak begitu. Pantatnya yang mencuat indah, basah oleh peluh, berkilat-kilat menggoda—kuangkat hingga menjulang.

Tak bisa bersuara protes, lubang kemaluannya kembali kujejali Aseng junior yang berteriak menang. Kami sudah menang beberapa kali. Kami menang pertempuran kali ini. Kami menguasainya sekarang. Menggasaknya menungging kali ini, aku juga terkena cairan squirt yang menggenang di sofa. Ia hanya bisa pasrah dan merebahkan kepala dan sebagian besar dadanya di permukaan sofa sementara perut dan pantatnya menukik naik, menjadi bulan-bulananku. Kacang itilnya kembali menjadi kunci kemenanganku.

Ketika ia menjerit squirt untuk keberapa kalinya, aku hanya mencabut Aseng junior sebentar dan langsung kejejalkan kembali masuk kala semprotan kencing enaknya berhenti, merasakan kedutan meremas kuat liang kawinnya yang kutuju karena aku sudah merasakan kenikmatanku di ujung kemampuanku. Aku sudah terlalu lama bertahan akibat permainan yang baru kutemukan ini. Dan selesai sudah ronde kedua ini. Semprotan spermaku terasa sangat nikmat terasa. Kepuasannya berbeda karena aku merasa menang dan berkuasa atas kak Sandra. Aku bisa mengendalikan dirinya kapan harus mendapat kenikmatan itu hingga terkencing-kencing.

Kutindih tubuhnya yang lemas di atas sofa yang basah oleh cairan kencing tawarnya. Perutku menindih pantat kenyalnya, yang masih kusodok-sodok pelan, menguras sisa sperma yang mungkin masih ada di salurannya. Kusibak rambutnya dan mengecupi lehernya yang putih berkeringat. Ia berbaring pasrah dan lunglai. Tangannya terkulai menggantung hingga menyentuh lantai.

“Cibay lu, Seng… Lu siksa wa, ya? Abis wa hari ini… Puas banget wa sampe lemes… Cibay lu emang…” maki dan pujinya sekaligus dengan nafas berat.

Aku mengambil segelas air putih dan menyodorkan ke mulutnya. Ia kusulangi minum karena tubuhnya memang gempor abis-abisan kebanyakan orgasme hebat. Sampe abis itu air satu gelas besar padahal rencananya aku juga mau minum dari gelas yang sama. Aku balik lagi ke dispenser untuk mengisi gelas kosong dan duduk lagi di sofa itu. Kutepuk-tepuk pantatnya seperti memanjakan seekor piaraan yang jinak. Belahan pantatnya kukuak untuk memeriksa keadaan di balik sana. Cepetnya beselemak-keak (berlumuran maksimal) spermaku. Anusnya juga berkedut-kedut, buka-tutup.

“Jadi gimana? Lanjut ronde ketiga?” tantangku. Ini sesumbar aja-nya. Padahal udah lemes jugak-nya aku ini. Gempor sak pira-pirana (Gempor sampe telor-telornya) kalo kata orang Karo bilang. Aku berdiri di sampingnya sambil menggoyang-goyangkan Aseng junior kanan kiri di depan matanya. Ia tersenyum jenaka paham candaanku. Tangannya berusaha bergerak menggapai Aseng junior-ku yang menggodanya. Pun, melakukan itu ia tak sanggup.

Kesimpulannya, kak Sandra tak dapat melanjutkan ke ronde ketiga seperti yang ia kehendaki.

Telaten kubersihkan sisa-sisa persetubuhan kami ini sebisanya dengan tisu yang banyak. Apalagi sisa air seni tawar yang menempel di tubuh kak Sandra dan sofa dimana ia berbaring lemas. Kak Sandra memuji-mujiku dengan ejekan sarkas khas yang biasa terlontar dari mulutnya. Kupangku tubuh telanjangnya kemudian dan kami berciuman untuk beberapa lama.

“Gila lu yaa… Nemu aja cara buat wa gempor kek gini…” katanya berbaring berdua di sofa ini. Tubuhnya menimpa diriku yang sama-sama berbaring. Kepalanya di dadaku. Aku mempermainkan toketnya dengan iseng.

“Kebetulan, kak…” sambil menciumi harum rambutnya.

“Aahh… Moga-moga wa cepat hamil ya, Seng… Wa dah capek begini-begini aja…” katanya lagi tentang konsep kesempurnaan manusia dan wanita miliknya itu lagi. Hanya tinggal hamil dan melahirkan anak yang belum dicapainya di hidup sempurnanya ini. Lalu ke tahap berikutnya, mendidik dan membesarkan anak itu. Entah ia akan menerapkan konsep itu agar menjadi anak yang sempurna juga? Karena manusia tidak ada yang sempurna. Yang sempurna itu cuma rokok Sampoerna. *garing.

“Semoga kakak awak yang cantik ini segera hamil… Lahir dengan sehat dan selamat… Mama sama anaknya sehat-sehat…” kataku sekenanya. Itu sudah termasuk doa dariku yang berkontribusi dalam usaha hamilnya ini.

“Makasih, Seng… Lu baik banget ama wa…” katanya menengadah berusaha melihatku tapi tak bisa karena posisi ini.

“Kakak juga baek kali sama awak… Karna bantuan kakak juga awak bisa kek gini… Itung-itung balas budi-la…” kataku mengecup ubun-ubunnya. Matanya terpejam kala itu seperti menikmati kecupanku itu. Tanganku yang masih mempermainkan toketnya, diraup dan dipelukkan ke tubuhnya.

“Lu jangan ngira wa maen perasaan, ya… Tapi kadang wa merasa selalu kesepian… Pelukan lu nyaman dan anget… Peluk wa agak lamaan dikit, ya?” katanya. Aku baru tau ada sisi ini di kepribadiannya. Pelukanku kupererat. Lembut tubuhnya bersatu lumer dengan tubuhku.

———————————————————————————
Sebelum pulang, aku disuruhnya mandi dulu untuk menghilangkan semua aroma-aroma perlendiran dan kewanitaan dari tubuhku. Aku sudah menggauli dua wanita berbeda hari ini dan jujur saja aroma keduanya sedikit banyak menempel di tubuhku. Mandi dengan cepat di toilet yang ada di ruang kerja kak Sandra, baru aku pulang. Tiba di rumah menjelang jam 6 sore. Matahari di Mabar pukul segini masih terang karena Maghrib akan menyapa Bumi sekitar jam 6:30.

Ada orang di depan rumahku yang sedang melihat sesuatu pada pohon mangga yang tumbuh besar di sana.

“Ada apa, Gus?” sapaku langsung bertanya pada pria itu.

“Eh… Bang Aseng… Ini bang… Aida katanya ngidam pengen mangga punya abang…” kata pria bernama Agus ini. Benar, dia adalah suami dari Aida, TO pertama yang sudah berhasil kuhamili dengan diam-diam. Hanya kami berdua yang tau skandal ini; aku dan Aida. Agus taunya istrinya hamil hasil karyanya sendiri. Mungkin ada kebanggaan dibalik ketidak tahuannya itu.

“Ooh… Ngidam? Ambillah… Kalo untuk ibu-ibu ngidam pasti bolehlah… Ambil-ambil…” pahamku. Kuparkirkan Supra X 125 di depan rumah dulu dan kubantu Agus mencari mangga yang di-ngidamkan Aida. “Tapi tinggi-tinggi, Gus…” kataku menunjuk pada beberapa buah mangga Golek yang tumbuh di ujung ranting. “Panjatlah, Gus… Kalo nggak pake galah…” usulku.

“Itulah masalahnya, bang… Kalo kupanjat… tengoklah badanku ini kek gajah bengkak gini… Aida maunya-pun kupanjat pohon ini… Gak boleh pake galah katanya… Nanti anaknya ileran kata orang-orang kalo maunya gak dituruti…” kata Agus si gajah bengkak. Eh?

“Iya juga, Gus… Kata orang-orang memang gitu… Daripada-daripada ya, kan?” kataku setuju. Panjang umur. Itu Aidanya datang dengan lenggak lenggok perempuan seksi berperut buncit hasil karyaku beberapa bulan lalu. Ia memakai daster tanpa lengan berwarna cerah dibawah lutut. Karena tarikan besar perutnya, bagian lututnya terlihat. Ia baru balik entah darimana bareng istriku dan kedua anakku. Mungkin karena aku pulang telat dan Salwa rewel pengen jalan-jalan ritualnya, istriku berinisiatif menggendongnya—menggantikan tugasku. Rio juga ikut minta jajan. Berarti jajan di kede Iva.

“Udah ada yang dapat, bang?” seru Aida agak berteriak agar kedengaran dari kejauhan. Agus menggeleng lemas karena belum mendapatkan apapun. Agus merasa bersalah karena tak sanggup melaksanakan tugas aneh yang harus dilakukan tiap suami yang istrinya sedang ngidam. Gak tiap suami, kok.

“Awak ambilin tangga, ya?” tawarku agar Agus bisa lebih mudah menggapai ranting besar pertama yang tumbuh kokoh di ketinggian 2 meter. Agus setuju. Aku melihat Aida tersenyum lebar saat melihatku bergerak ke belakang rumah untuk mengambil tangga kayu. Saat aku sedang berusaha mengangkut tangga kayu buatan sendiri yang setinggi lebih 2 meter itu, Agus muncul.

“Biar awak aja yang bawa, bang Aseng…” kata Agus mencegahku memikul tangga itu dengan senyum cengengesan. Ah… Mau unjuk gigi rupanya di depan istri yang sudah (dikiranya) dihamilinya agar terlihat jantan. Ia memikul tangga itu di bahunya pada pertengahan tangga dan mulai berjalan ke depan. Awalnya terlihat mudah tetapi di pertengahan jalan mulai keteteran. Tangga itu walau terlihat ringan, setidaknya berbobot 25-30an kilo karena terdiri dari persatuan dua batang kayu panjang dan beberapa batang kayu pendek sebagai pijakan. Dimensinya yang panjang pastinya berayun-ayun kalau tidak seimbang memikulnya. Nafasnya mulai berat dan kecepatan menurun. Sampai di depan pohon mangga, ia kesulitan menaikkan tangga itu karena sudah kehabisan tenaga. Gak akan luka kalo minta bantuan, kan?

Masalah baru timbul setelah tangga berdiri menjulang ke atas dahan awal pohon mangga Golek. Sanggup gak Agus menaikkan tubuhnya sampai ke dahan tersebut. Akan kita saksikan bersama-sama.

“Bang Aseng… Ini tangganya kuat, kan? Takut patah…” katanya setelah ambil ancang-ancang menginjakkan kaki di pijakan tangga pertama.

“Kuat…” jawabku pendek saja. Aku merapat pada istriku dan Aida yang menonton semua kejadian ini agak di kejauhan. Kami berdua lirik-lirikan. Istriku menggendong Salwa dan Rio entah ngacir kemana. Kami memandangi cara Agus menaiki tangga itu dengan susah payah berkat bobot tubuhnya yang berlebih. Setelah beberapa saat, ia akhirnya tiba di dahan utama pohon ini. Buah-buah ranum dan mengkal tumbuh di ujung ranting-ranting dahan ini. Buah pohon ini belum terlalu banyak karena usianya belum terlalu tua. Pohon ini kutanam tidak lama setelah kubeli tanah ini dan itu sekitar 5 tahun lalu. Sebagai penanda kehamilan istriku saat mengandung Rio dulu.

Agus memegang erat-erat dahan pohon kecil lainnya untuk pegangan karena kalo gak terbiasa manjat pohon, di ketinggian itu pasti akan terasa gamang karena hembusan angin pohon terasa bergoyang. Semakin tinggi akan semakin kuat goyangannya. Kakinya terlihat gemetar tapi berusaha tegar dan bertahan. “Deeek? Yang matang ato yang mentah?” tanya Agus pada dua pilihan jenis kematangan buah kepada Aida yang mendongak ke atas. Aku dan istriku ada di belakangnya.

“Yang asem…” jawabnya. Yang asem? Yang ditanya yang matang atau mentah? Jawabannya asem? Ada-ada aja ni Aida ngerjain laki. “Yaa… Yang itu… Tiga-tiganya…” tunjuknya pada segerombol mangga Golek yang terdiri tiga buah mangga yang besar-besar tapi masih berkulit hijau. Setidaknya perlu 2 minggu lagi untuk matang dipetik.

“Yang ini?” ia memastikan buah yang dipilih Aida. Sang bumil mengangguk sumringah. Ketiganya kalo ditimbang bisa 1 kilo setengah. Ditariknya satu buah dahulu dan dimasukkannya dalam plastik kresek yang dibawanya dan dua buah lainnya menyusul. “E-eh…” Gawat. Dahan kecil yang dijadikannya pegangan ternyata tidak kuat dan patah. Tubuh Agus limbung karena tak ada pegangan lagi berdiri di dahan utama yang berbentuk bulat.

Kedua perempuan di sekitarku ini hanya bisa menjerit histeris kala tubuh Agus yang udah kek gajah terbang melayang jatuh. Istriku memalingkan wajahnya tak berani melihat, Aida memegangi perutnya selagi menjerit. Kalo jatuh dari ketinggian itu akan lumayan cedera parah. Apalagi yang duluan akan mencapai bumi adalah punggungnya dan menyusul belakang kepalanya. Minimal gegar otak. Dedaunan kering dan gugur pohon mangga Golek yang belum sempat kusapu dan kukumpulkan, bergerak cepat, menumpuk menjadi satu—menjadi alas jatuh Agus.

Untunglah masih sempat.

Agus bangkit kebingungan karena ia berbaring di atas dedaunan yang tidak terlalu tebal tetapi dapat menahan fatal jatuhnya barusan. Diperiksanya tubuhnya, kalo-kalo ada yang cidera. Aida yang khawatir juga ikut memeriksa suaminya. Tidak ada luka serius di fisik. Hanya ada sedikit lecet di tangannya karena tergores kulit pohon yang kasar sewaktu memanjat tadi.

“Untung ada daun-daun ini ya, bang?” katanya memegang satu daun mangga yang lebar dan panjang itu. Mungkin ia bersukur ada tumpukan daun kering yang menahan jatuhnya barusan. Ia berkali-kali melihat ulang ketinggian dahan dimana ia berdiri tadi dan tumpukan daun. Lumayan tinggi-eh. Selama itu, Aida bolak-balik melirik padaku dengan pandangan yang gimana gitu. Ia terus menerus mengelus perutnya yang membuncit. Entah apa yang dipikirkannya.

Tak lama pasutri itu permisi pulang dan berterimakasih pada kami atas mangga Goleknya. Salwa dioper istriku pada siapa lagi selain aku, papanya. Padahal ini sudah menjelang Maghrib, jadinya jalan-jalannya sebentar aja, ya anakku sayang? Pulang dari jalan-jalan dan mengembalikan Salwa pada mamanya, aku sempatkan memegang kembali batang pohon mangga Golek itu–berkomunikasi dengannya. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi? Hmm… Begitu, ya ceritanya.

Serangannya lumayan kuat dan berbahaya karena dapat melewati pagar pertama yang kupasang melindungi area rumahku. Pagar pertama ini adalah segi empat dari empat batang pohon daun kelor yang tumbuh di empat sisi lahan tanahku yang lumayan luas ini. Pohon mangga Golek ini agak sedikit menjorok keluar dari pagar pelindung ini dan dahan yang tadi diinjak Agus sudah masuk ke dalam perlindungan.

Dengan mudah aku memanjat si pohon mangga Golek dan memeriksa patahan dahan kecil, penyebab jatuhnya Agus tadi. Dahan ini patah dari pertengahan tumbuhnya dan patahnya juga tidak wajar karena terpotong bersih. Dan yang paling mencurigakan adalah adalah noda coklat yang menjalar seperti menggerogoti sisa dahan. Menjalar ke batang utama. Pohon mangga dan sejenisnya terkenal akan getahnya yang kental, bahkan ada yang sampai korosif pada jenis mangga tertentu. Getah pada tanaman mangga berfungsi sebagai desinfektan bagi pohon itu sendiri. Atau secara umum sebagai alat bela diri bagi pohon untuk mengatasi para hama yang kerap menyerang. Karenanya kubilang ini mencurigakan karena sang pohon tak bisa mengeluarkan getah itu di bekas patahan dahan tadi dan noda coklat itu menjalar perlahan. Kupatahkan sisa batang dahan yang patah itu untuk menghentikan infeksinya. Baru dari bekasnya keluar getah kental.

Ini bau karat. Kucoba menghidu aroma yang melekat di noda coklat mencurigakan itu. Masih penasaran orang itu rupanya… Kumandang azan Maghrib mengisi seluruh langit. Aku buru-buru turun dari sana dan masuk ke rumah.

—————————————————————————————-
“Tadi daun-daun itu gak ada di sana?” tanya istriku dengan mimik acuh tak acuh sebenarnya. Kami sedang makan malam. Lebih tepatnya aku sendirian aja. Istriku hanya menemaniku. Salwa sedang bersama abangnya menonton TV.

“Memang gak ada… Masih berserakan tadinya… Kan belom papa sapu…” jawabku. “Kan gak lucu juga orang segede itu jatuh kek nangka bosok… Minimal ada yang keseleo ato geger otak kalo gak digituin…” sambungku nyambi terus makan pepes ikan daun singkong plus nasi hangat. Nyum!

“Pake Menggala-Menggala papa itu?” tanyanya lagi. Tumben dia mau membicarakan ini? Selama ini dia cuek-cuek aja dengan segala latihan-latihanku. Seingatku baru kali ini ia menyinggungnya kembali. Pernah dulu waktu masih pacaran dan itu sudah lama sekali.

“Iya… Lagian mangga itu papa yang nanam sendiri… Dia nurutnya cuma sama papa aja… Keknya ada yang usil sama Agus…” kataku sedikit memberi petunjuk padanya. Apa tanggapannya mendengar ini?

“Disantet gitu?” sergahnya tanggap juga.

“Yaa… semacam itulah…” kutunjukkan bekas potongan dahan mangga itu padanya. “Ini tandanya…” tunjukku pada bekas karat yang menjalar di potongan bersih di keratan kayunya. “Ini dipotong oleh senjata tajam berkarat… Mungkin pisau atau klewang… Yang pastinya berkarat…” Kukosongkan air minum dari gelasku dan kumasukkan potongan kayu pendek itu ke dalamnya. Kuambil toples berisi irisan tipis teh daun bidara kering dan kutaburkan di dalam gelas (Teh daun bidara ini buatanku sendiri. Cari cara buatnya di mbah gugel untuk lebih detilnya) dan kututup pakai piring kecil.

Istriku penasaran dan memelototi apa yang akan terjadi. Potongan kayu berkarat itu berasap. Awalnya tipis saja dan semakin tebal karena asap tidak bisa keluar dari gelas. Dan PUFF! Terbakar! Istriku melonjak kaget melihat kejadian terakhir itu. Sisa potongan batang pohon itu tidak terbakar semua. Hanya pada bagian berkarat itu saja yang terbakar karena ada kandungan oksidasi besi di sana. Kek sulap, ya?

“Kenapa itu, pa?” tanya istriku melihat gelas dan mukaku bergantian. Mimiknya kaget.

“Gak kenapa-kenapa… Mama kok jadi pengen tau yang beginian?… Biasanya juga cuek…” kataku meneruskan makan. Ia masih penasaran. “Coba ceritain… Ada yang mau mama tanya, kan? Mukanya serius gitu…” kemudian ia duduk dengan tegak masih dengan muka serius itu. Mengumpulkan semua kata-katanya sesaat. Dan…

“Dulu yakin… papa gak melet mama?” tanyanya out of the blue. Random kali itu jenis pertanyaan. Jelas aja aku kaget. Aku ngerti cara melet itu gimana. Dari pelet yang paling gampang sampe yang paling dahsyat juga ada. Tapi untuk menggaet perempuan pantang bagiku untuk menggunakan cara curang itu. Kek gak ada manis-manisnya gitu.

“Hah? Melet? Gak-lah… Papa mana pernah melet-melet mama… Kenapa?” tanyaku.

“Karna… keknya papa dah gak pernah perhatian gitu lagi sama mama…” pelan dia mengatakannya. “Papa keknya selalu saja sedang melakukan hal lain… Sibuk sendiri entah apa… Mama memang gak sampe nyelidik-nyelidik gitu papa sedang apa… Tapi ya itu… papa sepertinya sedang asik sendiri di luar sana… Makanya mama tanya… Apa peletnya sudah tidak bekerja lagi?”

Kelen tau yang namanya insting wanita? Itu yang sedang menamparku bolak-balik di muka dengan sebuah rambu lalu lintas tulisan S coret. Bukan maksudnya Dilarang Stop atau berhenti, tapi dilarang Selingkuh! Asik sendiri di luar sana adalah selingkuh dengan banyak wanita sekaligus. Apapun alasan yang kukatakan, itu semua kriterianya adalah selingkuh.

“Karna papa sedang asik sendiri di luar sana itu dan sepertinya mengabaikan kami itu… mama jadi kepikiran kalo peletnya sudah tidak bekerja lagi…” lanjutnya dengan nada dibuat setegar mungkin. Pasrah lebih tepatnya. Pasrah akan apapun yang terjadi. Hilang semua selera makanku. Makanan yang kukunyah terasa hambar. Terbayang semua perjuanganku dulu untuk meyakinkannya untuk memilih diriku untuk jadi pendamping hidupnya. Menjalani hidup dalam suka duka. Mengikat janji suci. Menua bersama-sama sampai akhir.

Tanpa malu atau segan aku bersimpuh di kakinya mohon maaf atas semua kesalahan dan dosa-dosa yang telah kulakukan padanya. Memang tak ada namanya suami durhaka pada istri. Yang ada itu adalah durhaka anak pada ibu. Tapi yang sedang kupeluk kakinya ini adalah seorang ibu. Ibu dari anak-anakku. Aku memang banyak mengabaikan istri sah-ku sendiri dan malah banyak fokus pada perempuan-perempuan di luar itu. Sehingga bahkan nafkah bathin-nya pun berkurang. Seorang istri yang seharusnya mendapatkan nafkah itu secara rutin, bahkan harus curi-curi waktuku yang lebih banyak tercurah untuk perempuan lain. Ia tidak hanya butuh nafkah lahir yang tak pernah absen.

Aku berjanji pada istriku akan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya dan keluarga.

Walau sebaik apapun aku bermain dan membagi waktu, istirahat dan poding, sebagai seorang wanita dan istri, insting-nya lebih kuat. Sebanyak apapun uang yang kukeluarkan, kalau hanya sebagai kompensasi pasti masih akan terasa kurang tulus. Contohnya gelontoran duit buat shopping beberapa waktu lalu, pembajakan waktu libur untuk pergi bersama kak Sandra ke Pangkalan Brandan kemarin, pulang pagi menjelang Subuh yang rutin kulakukan tiap hari dengan alasan latihan Menggala. Itu semua membekas di hatinya dan mengusik insting kewanitaannya yang peka. Berujung pada pertanyaan simpelnya malam ini. Peletnya sudah tidak bekerja lagi?

Malam itu aku membatalkan semua janjiku untuk mengunjungi para perempuan ‘tetangga’-ku. Mereka kecewa tentunya tapi setelah kujelaskan alasannya akhirnya mereka mengerti dan minta reschedule. Ciee… reschedule, bah!

——————————————————————————
“Pagi ini juga, kak?” kagetku.

“Ya… Seminarnya mulai sekitar jam 10 nanti… Gak papa-lah kalo lu berdua terlambat dikit… Undangannya buat dua orang… Harusnya wa sama elu aja… Tapi entar lagi wa juga ada rapat sama para Komisaris… jadi undangan buat wa digantiin sama Dani aja…” jelas kak Sandra. Ia mendapat undangan mendadak seminar yang harus diwakili pihak perusahaan di sebuah hotel oleh sebuah Instansi Pemerintahan. Entah gimana ceritanya undangan itu sampai terlambat tiba di tangan kami. Pokoknya harus ada dua perwakilan dan kak Sandra memilih kami berdua; aku dan Dani.

Alis Dani berkerut-kerut memikirkan delegasi mendadak ini. Padahal tadinya kami akan segera bertemu di gudang arsip di pagi ini sebelum jam kerja dimulai jam 9 pagi. Keburu kak Sandra memanggil kami berdua. Ternyata ia datang pagi-pagi juga, lebih awal dari biasanya untuk menyampaikan tugas ini. Batal deh ena-ena bareng Dani di gudang arsip pagi ini.

“Dani bisa, kan?” tanya kak Sandra.

“Bisa, bu…” jawab Dani tak bisa mengelak.

“Ya sudah… Dani siap-siap dulu… Nanti biar lu berdua pergi ke seminar itu pakai mobil kantor aja…” kami bergerak hendak keluar ruangan ini. “Seng tunggu sebentar…” cegahnya padaku. Kak Sandra menunggu sampe Dani benar-benar keluar dari ruangan ini. Sepertinya ada hal penting.

“Kenapa, kak?” tanyaku masih berdiri di depan mejanya.

“Wa udah booking kamar di hotel itu kalo lu bosen di seminar… Lu tau maksud wa, kan?” kata kak Sandra mengejutkan. “Gagal lu pagi ini, kan?”

“Ah… Kak Sandra… Kirain apa…”

Bersambung

Tante Lisa Ibu Kost Yang Liar
wanita misterius
Cerita sex pertemuanku dengan wanita misterius
spg penjual susu
Perjalanan kisah sexs ku dengan SPG penjual susu
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
dukun cabul cantik
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian dua
stw hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian dua
pacar horny
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 1
gadis chinese
Kisah Ku ML Pertama Kali Dengan Pacar
selingkuh
Gara gara kebiasaan ku nonton video porno mertua sendiri ku tiduri
Hanya Demi Nilai Aku Rela Digoyang Dosenku
istri cantik
Cerita hot tukar pasangan dengan teman lama yang tak terlupakan
Awalnya penasaran akhirnya keterusan
mesum di buss
Mesum di bus waktu penumpang lain semua sudah tidur
tante hot
Menikmati tubuh ibu dan tante ku sendiri
Cerita Dewasa Ngewe Di Ruangan Komputer Kampus
Pose Bugil Abg Jilbab Cantik Tidak Perawan