Part #25 : Setoran Sperma Untuk Sandra
Tanpa bersih-bersih yang pantas kami makan di restoran hotel ini. Pelayannya senyum-senyum karena pastinya bisa membaui aroma perlendiran dari kami berdua yang sangat kuat. Kak Sandra hanya menyemprotkan parfumnya dan aku hanya cuci keris seadanya. Aseng junior senjata utamaku, kan? Kak Sandra makan tak sekalap diriku yang rakus. Selow ya lae-lae-ku semua. Udah berapa liter tai macan yang kusetor ke kak Sandra dari tadi. Berliter-liter, kan? (Lebay)
“Seng… Mani lu netes-netes terus di sempak wa…” bisiknya kala aku sedang menggerogoti sebatang eh sepotong ayam goreng.
“Biarin…” cuekku. Gak ada yang kenal aja. Di sini jauh dari Medan, kan?
“Makan yang banyak… Biar jadi mani lagi yang banyak… Tros tembakin ke wa lagi… Hihihihi…” godanya dan melempar sepotong tulang ayam yang sudah memang tinggal tulang ke piringku.
“Abis ini mau maen lagi, kak?” tanyaku lugu-lugu paok.
“Ya iyalaaah…” jawabnya lalu menjilat paha ayam yang juga tinggal tulangnya.
“Gak ledes cepet kakak? Kontolku udah tipis nih, kak…” kataku ngomong asal jeplak asal dia ngurungin niat.
“Biarin aja… Amek aja ntah dimana? Mana tau dia kalo cepet wa ledes lu embatin terus…” jawabnya lebih ngasal.
“Gak pulang-pulang-la kita kalo ngentot tambo-tambo tros…” kataku mengincar sepotong ayam lagi. Kugerogoti ayam goreng itu kek gak pernah liat ayam setaun. Setaun cuma liat cepet aja di mana-mana. Di tembok, di lantai, di meja, di layar kompie.
“Tapi lu suka, kaaan?” ujarnya ganjen dan mengerling-ngerlingkan matanya yang sipit dan mulut monyong dan bahu diangkat dan apa lagi.
“Abis itu kita gak bisa pulang ke Medan… Jauh lo, kak Medan dari sini… Hampir 3 jam tadi aku nyetirnya… Besok kita masih kerja… Kalo besok bisa libur… ayok aja…” kataku mencoba berargumentasi dengannya. Ia memandang ke kejauhan sedang berpikir. Lah… Dia ntah mikir apa.
“Cepet wa basah semua karna mani lu, Seng… Lengket semua sempak wa…” katanya menggigiti bonggol sendi tulang ayam yang dipegangnya. Itu rupanya yang dipikirkannya. “Liat nih…” tunjuknya pada bagian belakang rok yang dikenakannya, ada noda basah di sana.
“Bodo amat…” kataku gak perduli dan terus mengisi perutku yang mulai lega. Cacing-cacingku sudah mulai bagi-bagi nasi kotak pada para teman pendemo di perutku. Makanan di restoran ini gak enak-enak amat tapi karena lapar, bolehlah daripada lu manyun.
“Abis mandi kita pulang…” cetusnya tiba-tiba setelah membaca sesuatu di HP-nya. Mungkin ada pesan yang penting. Ia siap-siap, membayar bill dan aku mengekorinya balik ke kamar. Santuy saja ia membuka semua pakaian yang dikenakannya dan ngeloyor masuk kamar mandi dalam keadaan telanjang. Keknya bisa aku istirahat sekelak menunggu kak Sandra selesai mandi.
Pilih-pilih sudut ranjang yang gak ada noda sperma dan aku duduk sandaran di headboard ranjang mencoba menutup mata sebentar, mempersiapkan stamina untuk nyetir perjalanan pulang nanti.
“Sst sst!” terdengar suitan kak Sandra memancing perhatianku. Dia nongol di balik pintu, belum basah sedikitpun dengan pintu terbuka lebar. “Maen sekali lagi sambil siraman shower, yuk?” katanya spontan dan menarik tanganku. Tunggang langgang aku bergulingan ditariknya—lebih tepatnya diseret turun dari ranjang dan berdiri. Dilucutinya semua pakaian yang kupakai sampai total bare naked. Nakal ditariknya Aseng junior layaknya menarik tali kekang kuda. Aku menjerit-jerit sakit diperlakukan begitu.
Ini cici-cici panlok gak kira-kira kalo bercandanya. Kelewatan kek kimak kali. Kalo copot gimana coba? Nyambungnya pake apa? Tertawa-tawa geli kek cabe-caben ia menyirami tubuhku dengan semprotan shower. Sabun cair dituangkannya ke jembutku lalu mengadunya dengan miliknya sendiri—tetap tertawa geli. Diajarinya aku untuk mengusap-usapkan busa sabun ke toketnya. Gak perlu diajarin aku udah menguasai teknik itu, kaleee. Aku malah meremas-remas kuat toketnya, sampai ia menjerit kesakitan. Dicubitnya perutku. “Balas dendam ya lu…” katanya meremas Aseng junior, membalas kuat juga.
“Sakit, kaak… Sori, kak… Sori-sori…” menyerah kalah aku, namboru! Angkat tangan aku, ci. Aseng junior dikocok-kocoknya berjongkok sambil menatapku tajam dengan mata sipitnya. Ditatap begitu menyeramkan sekaligus konak karena ia menjadi sangat binal. Pandangannya seperti berkata ‘Awas lu berani-berani sama wa’
Tak butuh waktu lama untuk kak Sandra menelan Aseng junior-ku dengan lahap. Ia berkali-kali melakukan deep throat dengan lidah menjulur. Walau berkali-kali terbatuk dan tersedak, diulanginya lagi—mengasah kemampuannya. Matanya basah oleh air mata karenanya. Sruputan suara seksi ditingkahi suara air shower yang gemericik di dalam kamar mandi ini bergema keras. Diselingi dengan kocokan atau sedotan pada bagian kepala Aseng junior saja, batang kemaluanku sudah menegang maksimal. Ia bangkit dan menungging ke arah keran shower. Pantat semok dan putihnya sangat menggoda, ditunggingkan tinggi mencuat.
Kalau sudah begini, tak perlu diberitau aku harus menyodoknya doggy kalau begitu. Kuarahkan Aseng junior ke belahan pantatnya, digesek-gesekkan bentar dan ternyata belahan cepetnya sudah lumayan basah. Sisa sperma dari pertarungan sebelumnya sepertinya masih banyak di dalam sana, meluber perlahan. Cuss. Meluncur masuk dengan lancar. “Aahh… Sengg-ahhh… Mmm…” desah kak Sandra terlonjak merasakan lesakan dalam Aseng junior memasuki liang kawinnya sampai penuh. “Mmm… Mmsshh… Aahh…”
Aku mulai menggerakkan Aseng junior maju mundur di dalam liang kawinnya dengan lancar. Sisa spermaku di dalam sana melancarkan persenggamaan di ronde tambahan ini. Pegangan yang kugenggam adalah pinggangnya yang berlemak yang sesekali kuremas lembut. Gerakan maju mundurku kubuat sedemikian luwes karena kak Sandra juga menyambut tiap doronganku dengan hentakan mundur. Perutku dan sepasang buah pantatnya beradu empuk. Tiap bertemu kutambah dorongan masuk hingga aku harus berjinjit menekan, hingga pantatnya terdorong tertekan. Alhasil Aseng junior jauh melesak masuk lebih dalam. Kak Sandra dan aku sama mendesah, mengerang juga menikmati semua ini. Air shower mengucur perlahan, hanya sekedar membasahi kami, melumasi tubuh kami, mendinginkan nafsu kami.
Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, kepalanya rata di dinding dan semakin mencuatkan pantatnya hingga bukaan belahan pantatnya semakin melebar dan Aseng junior merangsek masuk lebih leluasa. Buih-buih putih bekas sperma di pangkal kemaluan kami tersapu air yang mengucur. Gerakan kami tetap lancar dan aku mulai mempercepatnya. Suara erangan kak Sandra semakin bising bergema di dalam kamar mandi ini, padahal pintu masih terbuka ke area kamar. Kusodokkan Aseng junior lebih cepat lagi merasakan enaknya gesekan yang terjadi. Cepet kak Sandra merekah sedikit membengkak merah karena sudah berkali-kali kucoblos ganas begini. Kontras dengan warna kulitnya yang putih khas panloknya, cepetnya memerah.
“Aauuhh…” jeritnya terlonjak karena rasa enak yang menerjang dirinya di puncak kenikmatan. Aseng junior sampai tercerabut dari sarangnya, terjepit meradang di buah pantatnya kak Sandra. Aku memeluknya dari belakang yang tergial-gial gemetar beberapa kali karena kenikmatan itu. Ia meracau dalam bahasa Hokkien yang tak jelas. Entah umpatan atau apa aku tak tau. Tanganku menahannya agar tak jatuh, meremas nakal toketnya sekaligus. Kuciumi lehernya juga. Ia berbalik tanda sudah pulih.
Kembali ia mencumbu mulutku dengan ganas. Lidahnya lagi-lagi menari di dalam mulutku, bertukar ludah saling sedot dan kulum. Kaki kanannya naik dan mengait di pahaku. Diraihnya Aseng junior dan diarahkannya ke cepetnya. Aku harus sedikit membungkuk untuk melakukan penetrasi di posisi berdiri ini. Meluncur masuk dengan sempurna dan kupepet badannya ke dinding dingin kamar mandi ini. Kaki kanannya yang terangkat kubantu pegang untuk menahannya di posisi itu terus. Aseng junior mulai bergerak aktif.
“Ahk… ahh… ahh…” erangnya dan kusumpal lagi desahan seksi kak Sandra. Kami kembali berciuman selagi kami bersenggama berdiri. Aseng junior menusuk masuk walau rasanya tak nyaman di posisi ini. Tapi ia tetap meradang dan menerjang. Cepet kak Sandra terus kugasak sampai kak Sandra menjerit-jerit keenakan dan melepas percumbuan mulut kami demi ekspresi suaranya ini. Bising dan sekaligus menggairahkan sekali binik ko Amek ini. Bos-ku ini merangkulkan tangannya di leherku dan menikmati Aseng junior-ku yang terus mendera birahinya. Kakinya gemetaran menahan nikmat dan berat badannya sendiri. Kak Sandra yang minta maen di sini, kan? “Seeeng… Akhh… akk… aah…” kembali ia mendapat orgasme itu.
Kucabut Aseng junior dari sarangnya dan hanya memeluk kak Sandra. Merasakan getar-getar tubuhnya kala menikmati puncak kenikmatan senggama yang sudah dua kali dicapainya di ronde ini. Makin lama memang makin perkasa Aseng junior-ku. Apalagi aku sudah beberapa kali ejakulasi yang makin mengurangi isi kanton menyanku ini. Entah masih ada entah enggak isi stoknya nih. Moga-moga aja abis istirahat dan isi perut tadi, sudah terisi ulang. Kak Sandra hanya bisa menyandarkan pipinya di bahuku dengan nafas putus-putus.
“Cibay lu, Seng… Enak kali cepet wa… Hah… hah… Nanti di kantor kita cari waktu, ya?” katanya dengan tersengal. Aku memeluknya, merasakan lembut dan halus kulitnya, tubuh montok menawannya.
“Bisa-bisa kita gak kerja, kak… Sibuk ngentot aja nanti…” tanggapku mengelus-elus rambut lembabnya.
“Kalo ingat begini waktu kerja… malahan wa yang gak bisa kerja… Kepala wa nanti isinya cuma ini aja…” katanya meremas Aseng junior yang terjepit di perutnya.
“Ini apa, kak?” godaku.
“Kontol lu orang… Lu pikir wa ga bisa ngomong kontol apa?” tanggapnya paham maksudku yang menggodanya. Kami lepas pelukan dan mencari posisi selanjutnya dengan langkah gontai. Ia duduk di pinggiran bathtub dan melebarkan kakinya untukku merapat. Dengan jari berludah, digosoknya kacang itilnya beberapa kali sebelum Aseng junior-ku berusaha masuk. Dilebarkannya bibir kemaluannya yang merekah merah. Disaksikannya dengan seksama kala Aseng junior terbenam masuk perlahan dengan mulut menganga takjub. “Uuhh…” erangnya puas. “Hamilin wa, Seeng… Entot wa trusss… Uuhh…” Aku langsung menggasaknya cepat, karena memang isi liang kawinnya memungkinkan untuk itu—licin dan menyenangkan.
“Plok-plok-plok!” suara aduan selangkangan terdengar nyaring. Aku memegangi kedua pahanya dan fokus memperhatikan goyangan yang terjadi di toket 36D miliknya, yang berayun-ayun indah. Kak Sandra meraung-raung keenakan dan membanting kepalanya ke segala arah. Tangannya mencengkram kuat pinggiran bathtub agar tidak ambruk. Otot perut, kaki dan tangan tegang mengeras, alhasil Aseng junior bekerja keras menembus sempit liang kawinnya yang ikut mengetat. Benturan-benturan nikmat ini, membuatku akan segera menyemprotkan isi muatanku kembali. Bibit-bibit suburku yang kami harapkan dapat membuahi kak Sandra hingga sukses hamil.
“Kaaakk… Inihh, kaaakk… Uuhh… Uhh…” berkejat-kejat tubuhku memompakan isi benih reproduksiku ke dalam tubuhnya. Kakiku menegang terutama betisku yang keras seperti batu karena harus menopang tubuhku dan mengerahkan isi kantong peler yang nikmat. “Splurt… splurtt… splurt…” ternyata masih ada spermaku di kantung peler ini. Terbukti cukup banyak cairan kental itu masuk dan bersemayam memenuhi rahim kak Sandra. Rasanya sudah tak perlu diceritakan lagi. Kelen semua para lelaki pasti tau rasanya gimana enak nikmatnya saat ejakulasi. Entah apapun metode kelen-kelen semua. Ntah-lah pake ngocok atau ngentotin binor juga. Saat tai macan itu keluar pasti rasanya enak kali gak ada duanya. Bonusnya mungkin yang beda-beda. Ada yang cuma pake bahan untuk bacol, ada yang modal ngayal, ada yang ngentotin istri atau malah pacar, bonusku adalah binor yang minta dihamilin.
————————————————————————————-
“Lu perlu minum jamu, gak? Ntar wa berenti kalo ketemu tukang jamu, deh…” katanya.
“Boleh, kak… Ini asli awak gempor abis, kak Sandra…” jawabku yang duduk nelongso di kursi penumpang depan, di samping kak Sandra yang nyetir mobil ini dalam perjalanan pulang. Abis dari kejadian di atas itu, di dalam kamar mandi, aku masih harus memuaskannya dua ronde lagi di seputaran kamar juga. Herannya dia masih prima aja padahal kak Sandra juga orgasme berkali-kali. Kami mandi terpisah karena aku takut akan keterusan lagi dan berlanjut beradu kelamin kembali.
Jadilah kami minum jamu yang ada di pinggiran jalan sore di kota Pangkalan Brandan. Kak Sandra ntah minum jamu apa aku gak dengar pesanannya karena aku sibuk membaca beberapa pesan di aplikasi BBM di HP-ku. Ada beberapa pesan penting yang harus segera kubalas. Dan untuk itu aku memang harus poding ini lagi, andalanku; 5 butir telor bebek plus madu. Kak Sandra melongo melihatku menenggak cairan kental itu sekaligus dengan sekali nafas. Tapi ia gak ngomong apa-apa.
“Kayaknya nanti malam lu ada proyek lagi, nih…” sergah kak Sandra saat Pajero ini sudah bergerak lagi menuju pulang ke Medan. Musik instrumental ringan mengalun tidak terlalu kuat dari Head Unit Pajero ini. Teman yang tepat untuk menemani nyetir dan ngobrol di atas suspensi empuk mobil mahal ini.
“Sama istriku loh, kak…” kataku paham apa maksudnya mengejekku.
“Iya… Tau… Sama istri ato sama istri orang?” sindirnya lagi tetap konsentrasi nyetir mobil ini.
“Ishh… Sok tau ini istri orang… Padahal udah diproyekin-pun…” balasku menyindirnya sambil terus membalas pesan.
“Janjian lu pasti sama ‘dia’, ya?” katanya cerewet.
“Sama ‘dia’ siapa, kak?” tanyaku terus ngetik.
“Sama itu-tuh… yang senasib sama wa tuh…” katanya sambil muncungnya dimaju-majuin seperti sedang menunjuk suatu objek.
“Dani? Gak-loh, kak Sandra… Ini awak lagi nge-chat sama kak Dedek… Tentang adik kami itu-loh… Si Selvi… Dia barusan dikasih tau kalau tadi siang itu sudah ditetapkan tanggal pernikahannya sama keluarga besar di kampung sana…” kataku memberitahu garis besar isi chat penting ini. “Tadi siang di sana acara perkenalan gitu… Semacam lamaran… Istilahnya Maresek… Artinya meraba atau membicarakan kira-kira kapan waktu yang tepat untuk menikahkan adik kami itu… Dan tanggalnya sudah ketemu…”
“Cepat juga… Lu kok gak ikut rembug?… Lu kan yang gantiin tugas bapak lu?… Apa namanya? Wali?” tanya kak Sandra tanggap. “Lu abang yang gak bertanggung jawab, lu…” ejeknya.
“Yah… Awak kan kerja, kak? Memangnya Padang-Medan itu kek Mabar ke Medan gitu?” jawabku menjelaskan pendek saja. “Lagipula kalo di adat kami itu Ninik-Mamak yang banyak mengambil peran… Ninik-Mamak itu keluarga-keluarga kami yang ada di sana itu-lah…” lanjutku menjelaskan tata cara adat di Minangkabau secara umumnya.
“Alasan aja lu… Bilang aja lu males ngurusin kek-kek gitu…” katanya lagi tetap mengawasi jalanan yang mulai gelap. Lampu jalan mulai menerangi meredupnya sang Raja Hari yang pulang ke peraduannya. Lampu-lampu di bangunan rumah yang ada di tepian jalan juga menyemarakkan sore menjelang Maghrib ini.
“Nanti paling kami tinggal datang aja ke kampung pas pestanya nanti, kak… Sama keluarga kak Dedek juga…” sekalian aku bermaksud mengutarakan ini.
“Tau wa maksud lu apa… Lu mau permisi cuti, kan?” kata kak Sandra tanggap dan sigap. Ia tau jalan berpikirku. “Iya… wa izinin-lah… Kapan rupanya?” tanyanya lagi. Lampu sorot dari kendaraan di depan kami berkali-kali menerangi wajahnya yang cantik sedang menyetir penuh perhatian.
“Dua minggu lagi, kak… Mendadak yah?” ujarku harap-harap cemas walau tadi dia udah ngizinin. Tapi begini mendadak apa bisa, ya?
“Lu terakhir cuti kapan? Lu ingat sisa cuti lu tinggal berapa lagi?” tanyanya lagi ternyata tidak masalah kalo pengajuan cutiku ini tidak sesuai prosedur. Seharusnya kalo ikut peraturan perusahaan, pengajuan cuti minimal harus sebulan sebelumnya. Ini jauh dari minimal syaratnya. Ini mungkin pengaruh kedekatan kami dan juga urgensi masalah yang akan ditangani dalam pengambilan cuti tersebut.
“Terakhir sih… liburan Lebaran kemaren, kak… Itu juga cuti rame-rame sama semua satu pabrik termasuk cuti bersama… Sisanya… sekitar 15 atau 16 hari gitu…” kataku berharap-harap cemas. Dikasih gak ya?
“Ya udah… Lu wa kasih cuti seminggu… Besok lu urus administrasinya sama HRD…” kata kak Sandra sepertinya tidak terlalu lama mikirnya. Ia masih seperti itu, tetap menyetir dengan tenang dan teliti. Matanya mengawasi jalan dengan awas. Musik instrumental tetap mengalun silih berganti tiap single berakhir.
“Makasih ya, kaak…” kataku girang sekali. Cuti seminggu itu sangat-sangat berharga. Jarang aku dapat liburan selama itu kecuali saat liburan Lebaran yang dirayain satu Indonesia setahun sekali. Rasanya pengen memeluknya tapi ia sudah memberi tanda dengan mengacungkan telunjuk melarangku untuk mengekspresikan apapun.
“Lu tau, kan peraturannya?… Pengajuan cuti itu sebulan sebelumnya… Buat lu… wa kasih pengecualian dengan syarat… lu ladenin wa kapanpun wa mau… sampe wa positif hamil… You got what I’m sayin?” katanya tanpa melirikku sedikitpun.
WHADEPAKK!! Kapanpun dia mau?! Ini sembrenget (kacau) namanya! Ini pemerasan! Ini melanggar HAM! Ini melanggar UUD 1945 pasal… Pasal berapa ya? Lupa apa ada pasal pemerasan di UUD itu?… Pasal 39. Fakir miskin dan anak terlantar? Bukan! Bukan itu. Kimak-lah lupa aku.
“Lu gak usah sok bengong gitu-lah… Lu juga suka, kan… ngentotin wa yang semlohai kek gini… Tadi aja lu udah berapa kali nembakin wa pake mani-lu… Perut wa masih penuh nih sama mani-lu…” katanya mengelus-elus bagian bawah perutnya. Rok span yang membungkus kakinya menampakkan setengah pahanya yang sedang memainkan pedal.
“Kak… Awak-pun punya banyak kegiatan di luar pekerjaan… Ada kegiatan kemasyarakatan… Kegiatan keluarga… Kegiatan pribadi…” tolakku mencoba menawar. Untung-untung dia mau dengar.
“Apa kegiatan lu rupanya…”
“Awak anggota BKM di mushola di lingkungan awak, kak… Awak juga bendahara arisan keluarga… Kegiatan pribadi… awak anggota Kamen Rider Fans Club, kak…” pokoknya apa yang terlintas di kepalaku kuceploskan aja tanpa pikir panjang. Segala macam kegiatan seperti panitia lomba mancing dan panitia lomba makan krupuk Agustusan juga terlintas di kepalaku. “Mm…?” aku kehabisan ide. Kak Sandra tersenyum-senyum mendengar semua ocehanku.
“Sounds fishy… Wa gak minta semua waktu lu… Pasti lu gak tiap hari melakukan itu semua, kan? Minimal bubaran kantor… lu bisa setoran dulu sama wa… Setoran mani-lu…” katanya sepertinya tak bergeming. “Lagian lu tiap harinya pulangnya teratur gitu… Lima tenggo… Pas jam 5 teng… lu langsung go…pulang…” katanya datar saja. “Kalo lu udah jadi Factory Manager nanti… paling cepat lu pulang jam 7 malam…”
Aaaa! Minimal jam 7 malam. Itupun mungkin di hari Sabtu? Gila aja. Kehidupan macam apa itu?
“Serem, ya? Tapi kalo lu tau gajinya… Apa lu masih bilang serem?” sindir kak Sandra. Gaji seorang Factory Manager? Semua masalah ekonomi keluargaku akan menguap dengan jumlah nominalnya tentu. Angka-angka yang selalu numpang lewat di rekeningku tiap bulannya pasti akan melesat cepat. Belum lagi senyum bahagia istri dan anakku mendapatkan fasilitas terbaik yang bisa kami dapatkan dengan itu semua. Semua impian yang hanya jadi angan-angan selama ini bisa menjadi nyata dengan posisi dan pendapatan tinggi itu.
“Kepikiran, kan jadinya lu…” kak Sandra kembali bisa menebak jalan pikiranku. “Pokoknya lu hamilin dulu wa… Dan… jabatan wa itu buat lu…” kata kak Sandra mempertegas ucapannya sewaktu di restoran saat di kota Pangkalan Brandan tadi siang. “Mobil ini bakalan wa kasih ke elu sekarang juga…” katanya tetap menyetir seperti biasa. Tetap tenang seperti tidak memutuskan sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Pengalamannya memimpin selama ini membentuknya menjadi jadi sedemikian rupa.
Aku kembali tenggelam dalam pikiran dan lamunan sehingga aku tidak sadar kalo mobil ini melambat dan berhenti entah di mana. Gelap dan juga sepi. Hanya ada musik instrumental dan dengung mesin mobil yang masih menyala. Terdengar suara kresek kain pakaian kak Sandra kala ia bergerak. Dari lampu LED panel speedometer di depannya aku bisa melihat gerakannya yang merayap ke arahku. Ia menggapaikan tangannya ke arah tuas pengatur posisi duduk yang ada di sisi kiriku duduk. Jok ini lebih rebah ke belakang seperti juga jok supir yang sudah rebah terlebih dahulu.
Hangat bibir kak Sandra kembali menjamah mulutku dan langsung mencumbuku dengan penuh perasaan. Lembut saja sehingga beberapa titik rambutku meremang terangsang. Ia duduk di pangkuanku dan memaksakan tubuhnya rapat kepadaku. Pelukannya erat sambil meremas-remas beberapa bagian tubuhku. Percumbuan mulut kami berujung senggama kembali.
Kak Sandra mengaduk-aduk Aseng junior yang menusuk dalam cepetnya dalam posisi menduduki pahaku. Celanaku hanya melorot sampai betis sementara ia hanya menaikkan rok dan menepikan celana dalamnya untuk bisa menikmati senggama ini. Pinggulnya naik-turun atau berputar-putar geol, mengaduk Aseng junior-ku. Kami tidak lepas bercumbu mulut selama itu semua. Saling remas adalah bumbunya walaupun masih dilapisi kain bahan pakaian. Tak perduli dan ambil pusing kalo pasti akan kusut dan lecek karenanya.
Ternyata, kak Sandra membelokkan mobil ini ke dalam sebuah kebun milik warga yang terlihat gelap dan sepi. Rumah tidak terlihat di mana-mana. Hanya pepohonan gelap yang rindang meneduhi langit malam yang juga tak berbulan tak berbintang. Mobil goyang ini tidak dicurigai warga karena lingkungan ini sepi walau sesekali kendaraan melintas di jalan raya. Kak Sandra mahir betul memilih lokasi.
Semburan spermaku disambutnya lirih dengan menarik bibir bawahku dengan bibirnya. Nafas kami terengah-engah dan juga sedikit berkeringat walau AC mobil terus menyala sepanjang waktu. Birahi kami membakar segalanya. Menitik menjadi syahwat dan berujung menjadi nikmat walau sedikit berkeringat. Kuremas-remas kedua buah pantatnya yang kenyal dengan gemas paska ejakulasi ini. Tangan kak Sandra terampil menarik beberapa lembar tisu dari dashboard dan menempelkannya di tepian kemaluannya saat Aseng junior dicabut lepas. Disumbatnya dengan tisu agar tidak langsung keluar semua spermaku dari sana dan kembali ke jok supir. Dimensi besar dan lebar mobil ini sedikit banyak membantu senggama kami ini. Kalo di mobil SUV standar pastinya akan terasa sangat sempit.
“Ini udah resmi jadi milik lu… Amek belum pernah di sini…” katanya sembari duduk bersandar rendah di jok supir dengan lutut berlipat hingga perutnya lebih tertekuk agar menjaga rahimnya tetap digenangi spermaku. Ia tidak mau menyia-nyiakan semua kesempatan. Tunggu? Resmi? Ko Amek belum pernah di sini?
“Kok gitu, kak?” tanyaku heran.
“Udaaah… Diem aja lu…” katanya menghentikanku untuk bertanya lebih jauh. Udah kek kucing aja nandai daerah kekuasaan pake dikencingin dulu. Aku yang duluan mengencingi mobil ini pertanda aku pemiliknya. Pake kencing enak…
“Enggak, kak… Gini aja… Kita ambil jalan tengah… Ini akan kuambil kalo kakak benaran hamil… Bagaimana?” tawarku. Kak Sandra masih mengganjal cepetnya dengan tisu dan mengelapnya sekenanya. Sepertinya ia sedang berpikir untuk mengkontra tawaranku.
“Terserah lu aja, deh…” akhirnya ia terima sambil memeriksa tisu itu berkali-kali seperti tak perduli. Tisu yang berlepotan sperma kentalku.
——————————————————————————
Kak Sandra menurunkanku di depan gang sehingga aku harus berjalan masuk menyusuri gang pada jam 9 malam ini. Di jalanan depan Mabar masih ramai oleh aktifitas masyarakat tetapi di gang ini sepi. Saat akan mencapai rumahku, semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat. Pastinya semua penghuni rumah sudah tidur, apalagi istriku pastinya kelelahan mengatasi dua buah cinta kami; Rio dan Salwa seharian ini. Tanpa masuk dulu ke rumah, aku hanya duduk di teras rumahku. Merenung.
Aku masih punya kewajiban untuk menyambangi beberapa perempuan di gang ini, antara lain: Yuli, Pipit dan Iva. Dari hasil chat selama di perjalanan pulang tadi, Yuli mengabarkan kalo suaminya sudah pergi lagi bekerja, mengendarai truk sembako sampai ke luar kota. Pipit masih sendirian di dalam kamarnya karena suaminya masih dua minggu ada di Jakarta, pendidikan singkat. Iva yang tidak memungkinkan karena suaminya sudah pulang dari memancingnya.
Untuk Iva, ia sempat mengirimkan beberapa foto yang sangat mesum. Foto kemaluannya yang berlumuran sperma. Awalnya itu kukira foto saat bersamaku tetapi rupanya bekas sperma suaminya. Sialnya bagi Iva adalah karena Toni, suaminya, yang sudah lama tak pernah bisa ereksi dan menyetubuhi istrinya, digoda untuk melakukan kewajibannya dan berhasil ngaceng. Tapi sekalinya bisa bangun lagi setelah sekian lama hibernasi, nempel langsung crot dan lemes. Mungkin karena terlalu menggebu-gebu, terlalu semangat dan senang karena bisa ereksi lagi, sensasi enak menyentuh tempék berjembut lebat Iva langsung ngecrot. Gak kuat jantungnya berdegub terlalu kencang. Padahal Iva sudah konak juga akan dicoblos sang suami, gagal maning! Ia merengek padaku gimana caranya agar ia dapat kepuasan dari rasa kentang. Aku tidak bisa apa-apa. Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo. (*malah nyanyi)
Jadi jadwal malam ini adalah mengunjungi Yuli dahulu lalu Pipit kemudian. Pada Yuli yang dinantikan adalah suguhan 38DD-nya. Guncangan dan kenyalnya bikin kangen kala dikremes-kremes. Apalagi legit apem mlenuknya juara. Dan kemudian Pipit, binor satu ini selalu penuh kejutan, terakhir kunjunganku ia menyajikan live show yang bisa bikin aku termehek-mehek. Témpek mungil berjengger lebih itu juga sukses membuatku selalu blingsatan. Di kedua binik orang itu, aku kembali menumpahkan beberapa kali bibit-bibit suburku untuk memperbesar kesempatan hamil mereka.
Jangan ditanya lagi seberapa lelah tubuh ini. Lelah… Sudah seharian diperas cici-cici panlok itu di kota Pangkalan Brandan sampe berapa kali ngecrot, donor darah putih kentalku harus kudermakan juga untuk Yuli dan Pipit. Sebelum Subuh aku sudah pulang ke rumah dan tidur sebisanya, mengistirahatkan tubuhku.
————————————————————————————
Aku hampir terlambat masuk kantor dan buru-buru membereskan cubicle di hari Senin ini. Buru-buru juga Dani nyamperin.
“Terlambat, bang?” tanyanya basa-basi.
“Dikit lagi…” jawabku hanya meliatnya sekilas dan neruskan beres-beres meja kerja. Tumpukan-tumpukan file menggunung di mejaku.
“Udah sarapan, bang?” tanyanya lagi. Ia ternyata menawarkan sekotak stryfoam nasi uduk yang dibawanya di kantong kresek yang diulurkan padaku. “Udah agak dingin, sih… Dani nungguin dari tadi…”
Mau ditolak tapi gimana… Tapi diterima juga aku sudah sarapan. “He he he… Makasih, Dan…” akhirnya aku terpaksa menerimanya. Tapi sambutannya agak beda karena ada colekan di telapak tanganku ketika bungkusan itu berpindah tangan. Ia menatapku dengan pandangan yang gimanaaa gitu. Tubuhnya berayun-ayun tidak tenang dan menggigit bibir bawahnya seperti menahan sesuatu.
“Bang Aseeng… Mau kesana?” tanyanya lirih dengan gerakan wajah ke arah tertentu. Arahnya ke pintu nun jauh di sana dimana terdapat ruang Meeting 3 dan gudang arsip yang bersejarah baginya. Mimiknya penuh harap. Berharap aku mengabulkannya.
“Pagi-pagi gini, Dan?” pastiku sebenarnya sangat enggan. Pagi-pagi mulai kerja harusnya ya kerja bukannya malah ngentot! Dani menunduk dan mengangguk malu. Entah sadar atau tidak, tangannya memegangi meki yang masih tertutup sempurna di celana panjangnya. Jarinya menggosok-gosok pelan seperti sengaja melakukan itu agar aku melihatnya. Ia tetap menunduk menggosok dengan jari tertekuk, jari yang sama yang tadi digunakannya untuk mencolek tapak tanganku saat mengoper nasi uduk. “Dani udah kepengen pagi-pagi gini?” tanyaku liat kanan-kiri dulu pelan agar gak kedengaran rekan kerja yang berseliweran di depan kami. Percakapan kami ini tersamar seperti sebuah diskusi biasa aja karena kami memang sering berinteraksi.
Kembali ia mengangguk malu. Tentu aja dia pantas malu. Ngajak pria yang bukan suaminya untuk suntik-suntikan di ruangan sepi. Keknya ini yang disebut masa birahi saat subur. Tingkat hormon kewanitaannya meningkat drastis dibanding hari biasanya. Masa puncak kesuburannya memicu Dani menjadi lebih agresif begini. Membuatnya agresif memintaku melakukannya lagi begitu aku muncul di radar pandangannya.
Apa mungkin bisa quickie kalo begini keadaannya?
“Mm… Ya udah… Kek biasa aja, ya?” kataku akhirnya setuju. Kasihan juga meliat Dani dalam keadaan begini. Ia sudah sangat sange dan wajahnya memerah menahan semua rasa itu. Mungkin aja meki gundulnya sudah gatal cekit-cekit minta dicoblos. Yang biasa itu artinya, Dani akan ke gudang arsip duluan dan aku menyusul 2 menit kemudian lalu kami bertempur disana seperti yang sudah kami lakukan hari Sabtu kemaren.
“Makasih ya, bang? Tapi itu sarapannya?” ia baru teringat tentang si nasi uduk.
“Gampang itu… Dani duluan aja kesana… Nanti awak nyusul kek kemaren itu…” kataku agar ini cepat mulai dan cepat selesai juga. Dengan begitu aku bisa meneruskan kerja-kerjaku yang sudah menumpuk, menanti untuk mendapat perhatianku.
Wajahnya lalu berubah cerah dan balik kanan langsung menuju tempat indehoi rahasia kami itu. Aku memperhatikan sebentar lenggak-lenggoknya yang berjalan agak sedikit terburu-buru menuju pintu yang menyembunyikan affair kami ini. Kuperhatikan juga kamera CCTV yang menyoroti area itu. Dari sana kak Sandra bisa tau kalo aku ada apa-apa sama Dani di balik pintu itu. Karyawan lain masih sliweran tak begitu mengacuhkan, hanya sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Dua menit, aku menyusul Dani ke gudang arsip. Di pagi hari begini, jarang orang yang mengakses lokasi ini karena penggunanya biasanya kemari kala mengembalikan berkas data lama atau menyimpan data yang sudah usang. Dan itu semua terjadi di akhir bulan. Selebihnya ya seperti ini, lengang. Paling hanya rutin dibersihkan oleh OB kantor sebelum jam kantor dimulai.
Di depan pintu gudang arsip, kuketuk pintu untuk permisi masuk. Tak menunggu jawaban, aku langsung saja masuk dan menutupnya lagi rapat-rapat. Kembali hanya lampu di dekat pintu ini yang menyala dan selebihnya gelap. Hanya pendar cahaya dari satu-satunya lampu yang menyala yang membuatku bisa melihat samar bentuk ruangan ini. Setelah lebih terbiasa, aku bisa menemukan Dani duduk di posisi biasanya. Di atas kardus-kardus yang banyak disimpan di sini.
“Kita maen cepat aja ya, Dan?” kataku yang sudah menghampirinya, berdiri di depannya dan langsung menurunkan restleting celanaku bermaksud mengeluarkan Aseng junior yang masih layu tentunya. Walau temaram aku bisa melihatnya dengan jelas kalau ternyata Dani sudah melepaskan beberapa kancing atas kemeja lengan panjang seragam kerjanya dan menyelipkan sepasang payudaranya keluar mencuat terjepit di BH-nya. “Ahh… Daan…” kagetku karena ia berani meraih Aseng junior dan mengocoknya walau masih kaku dan malu.
Ia tak berani atau malu menatapku saat melepaskan rok panjang span yang dikenakannya hingga melorot di lantai. Bayangan siluet tubuh bawah telanjangnya segera mengisi isi kepalaku dan menyebabkan Aseng junior lebih cepat terangsang. Darah segar cepat mengisi rongga-rongga pembuluh darah yang membuatnya menegang keras penuh potensi. Dari awal genggaman kecil sampai genggaman besar, Dani memegangi Aseng junior yang meradang terangsang.
“Udah, bang?” tanya Dani lirih saat aku menjamah payudaranya dan mengutik-utik putingnya yang sudah menegang. Aku gak perlu permisi karena ia sudah sengaja membukanya yang artinya sudah dipersilahkan untuk dijamah sesukaku. “Udah tegang kali ini…”
“Dani-nya gimana?” tanyaku menyerahkan semua posisinya kek gimana yang dia suka.
“Kek gini aja, bang…” jawabnya yang tetap duduk di kardus bersusun dua tingkat itu sembari meloloskan celana dalamnya. Ia lalu melebarkan kakinya agar aku mudah memasukinya. “Tinggal masuk aja, bang… Udah basaah…” bisiknya lirih, pada kata terakhir ia menjamah mekinya sendiri dan melebarkan bibirnya.
Mengingat ini seharusnya quickie, segera kutempelkan Aseng junior ke bukaan meki yang sudah dibuka pemiliknya untuk kumasuki. “Emmhh… mm…” desah Dani begitu Aseng junior pelan meluncur masuk. Ternyata benar, liang kawinnya memang cukup basah. Pasti dia sudah sange dari tadi. Mulai dari menungguku yang datang hampir terlambat. Mungkin di angan-angannya aku menggagahinya seperti saat ini.
Aku langsung bergerak memompa mekinya. Awalnya pelan dan pendek. Lalu semakin cepat dan panjang-panjang hingga payudaranya yang mencuat terjepit BH-nya berayun-ayun minta perhatian juga. Lidahku menjulur dan mengulik putingnya, tentunya dengan tubuh sedikit membungkuk agar aku dapat menjangkaunya. Kusedot-sedot bergantian kedua payudaranya selagi terus rajin memompakan Aseng junior yang merasakan nikmat peret liang kawin binik si Akbar ini. Licin dan sempit liangnya membuat rasa nikmat senggama ini semakin nikmat saja. Sodokanku semakin cepat dan gila karena aku tidak mau terlalu lam menikmati ini. Aku harus mengalahkan rekor standar 15-20 menitku sendiri jadi dibawahnya.
Dani memeluk kepalaku yang sedang asyik memainkankan payudaranya. Aroma parfumnya bercampur dengan aroma ludahku yang berlepotan menodai dadanya. Mencuat sehingga mancung lebih besar dari ukuran aslinya makanya memang cocoknya dinikmati dengan cara dicucup begini. Seluruh bagian puting dan daging payudara masuk ke mulutku dan kusedot rakus. Erangan Dani terdengar lirih. Ia sangat menikmatinya dan ia segera mendapatkan manfaat kenikmatan itu. Orgasmenya.
“Uuahh… Ahh… Ahmm….” erangnya sedikit lunglai kalau tidak kutahan punggungnya. Kuhentikan gerakan menusuk Aseng junior, merasakan kedutan meremas liang kawin meki Dani. Kedutan kencang berulang-ulang tanda lonjakan kenikmatan yang melanda tubuhnya. Ia mengelus-elus rambutku dengan lembut yang masih menikmati sepasang payudara yang tak terlalu besar miliknya.
“Dani… Jangan pake perasaan sayang-sayang, yaaa? Gak boleh…” ingatku karena sentuhan terasa berbeda. Ada rasa yang terlarang di sana.
“Dani gak boleh sayang bang Aseng?” tanyanya. Percakapan ini agak aneh karena aku sedang berhadapan dengan teteknya di remang ruangan gudang ini. Sementara kemaluan kami berdua masih bersatu erat. Kedutan orgasmenya sudah mereda. Dan ini jawabanku. Kugerakkan lagi Aseng junior memompa dan langsung gas poll. Aku berupaya tegar dan tega.
“Ingat perjanjian kita? Pasal pertama? Dani sudah setuju, kan?” kataku. Kubacakan kembali pasal pertama itu, “Satu. Hubungan. Semua kegiatan ini tidak diperbolehkan mengikutkan perasaan sama sekali. Ini semua hanya sekedar hubungan tolong menolong. Aku menolong Dani agar hamil. Aku tegaskan tanpa perasaan jadi tidak akan hubungan yang lebih dari pada itu”
“Karena itu Dani tidak boleh pake perasaan… Apalagi kita berdua masing-masing sudah punya pasangan resmi… Awak sangat mencintai istriku… dan Dani juga awak yakin sangat mencintai suamimu… Begitu, Dan…” kataku walau tak berhenti memompakan Aseng junior dengan kencang. Ia mendengar semua pernyataanku dengan tubuh tergial-gial karena gerakan cepatku. Ditingkahi suara kecipak becek pertempuran sepasang kelamin kami.
“Aahh…” erangnya lagi tak dinyana dan tak diduga, Dani mendapatkan orgasme lagi. Liang kawin mekinya meremas Aseng junior dan aku tidak berhenti kali ini karena tujuan yang ingin kucapai dari tadi sudah terlihat di depan mata. Rasa enak dari ejakulasi yang kuinginkan untuk menyudahi affair di kantor ini, pagi ini. Benturan yang terjadi sempitnya liang kawin Dani, membuat rasa nikmatnya bertambah-tambah. Aku yakin kalo Dani juga mengalami setidaknya dua kali orgasme berturut-turut karena sodokanku yang tak mereda. “Aahh… auhh…”
“Eghh… Uhh.. Uhh…” erangku menyusul dan membenamkan Aseng junior dalam-dalam dengan hentakan sekuatnya. Semburan-semburan spermaku menerjang masuk, memenuhi lorong uterus Dani dan mengisi rahimnya dengan bibit suburku. Aku mendusel-duselkan mukaku ke belahan teteknya yang memerangkapku. Kenyalnya terasa nyaman. Aku menandainya dengan ludah dan aromaku. Tak lama segera kucabut Aseng junior dan melelehlah sperma kentalku. Kuambil tangan kirinya dan kuarahkan untuk menyumpal lubang yang masih menganga gemes itu agar tak mubazir semua kerja keras kami berdua ini. Dengan beberapa lembar tisu yang kusimpan di saku celanaku, kubersihkan cairan lengket kental itu dari tubuh Aseng junior walau masih dengan nafas putus-putus.
“Cepat, Dan… Kita harus balik kerja lagi…” ujarku yang sudah selesai membersihkan kemaluanku. Aku juga sedikit membersihkan mukaku dari sisa ludahku sendiri. Dani masih berbaring di atas susunan kardus itu dengan kaki terbuka mengangkang, meki berlumuran spermaku, payudara mencuat bebas dan mata terpejam berlinang air mata.
“Kalo Dani gak boleh sayang sama bang Aseng… Nanti istirahat sekali lagi… Dan terus besok-besok juga… sampe Dani hamil…” bergetar suaranya. Ia duduk menunduk dengan kaki rapat memakai kembali celana dalamnya, lalu memakai kembali rok span panjangnya, membereskan kancing baju seragamnya. Ada isakan di sana. Ia berusaha terlihat tegar dan memanfaatkannya sebaik mungkin—dengan pernyataan ini.
Ia lalu keluar dari gudang arsip ini tanpa kata-kata apapun lagi seperti pacar yang sedang merajuk gak dibelikan coklat Valentin. Sekali lagi, aku berupaya tegar dan tega.
———————————————————————-
Begitulah adanya. Pada jam istirahat, kami kembali mengulanginya lagi di gudang arsip yang memorable itu. Walau tak ada percakapan berarti lagi karena insiden tadi, kelamin kami yang lebih banyak berbicara sesuai fungsinya. Komunikasi full body contact Aseng junior dan meki gundul.
Dani di jam istirahat ini semakin menjadi-jadi. Untuk membangunkan sang macan, Aseng junior, ia nekad memasukkannya ke dalam mulut. Walau kaku dan kikuk, ia berusaha sebisanya. Hanya bagian kepala botak Aseng junior yang bisa masuk ke mulut mungilnya. Disedotnya pelan-pelan penuh penghayatan. Mendapat servis mengejutkan seperti ini, Aseng junior bangkit dengan cepat dan meradang sejadi-jadinya.
Kugasak Dani dengan posisi doggy. Benturan selangkanganku dan pantat mungilnya lumayan berasa. Apalagi berkat sempit dan peretnya meki gundul milik Dani yang menelan Aseng junior yang memburu cepat. Keluar-masuk bak piston dengan bantuan pelumas encer yang diproduksi Dani, meliputi gesekan nikmat kedua kami hari ini. Tanpa ditahan-tahan lagi, lagipula ia sudah mendapat jatah kenikmatannya sendiri, sampai bergetar-getar tubuhnya–aku juga mendapat jatahku.
Kuremas-remas pantatnya yang pas digenggaman selagi membiarkan kenikmatan paska ngecrot di liang kawin mekinya memudar. Sodokan-sodokan kecil meningkahi kenikmatan yang tersisa. Menikmati sempit dan nyaman berada di dalam tubuh langsing Dani yang kesehariannya selalu berhijab ini. Siapa sangka aku bisa menggagahinya sampai beberapa kali ini. Dia yang minta lagi.
“Daaan? Jangan kek gitu-la… Kita kan udah sama-sama sepakat… Masak Dani jadi kek gitu ke awak?” rayuku agar ia sedikit bermanis muka lagi. “Senyum dikit napa? Mukanya kek kain kusut mulu…” sambungku dan mengelus pipinya. Dani sedang memakai kembali semua pakaiannya. O-iya. Tadi ia membuka seluruh pakaiannya hingga nekad bugil total, memamerkan tubuh polosnya kepadaku. Menawarkan keindahan ragawinya padaku.
“Jangan pegang-pegang!” katanya ketus. Tapi ia memaksakan sebuah senyum ketat yang tak iklas. “Gini, kan?” katanya berpura-pura ceria dengan menempelkan dua telunjuknya di kedua lesung pipinya, belagak imut dengan mata berkedip-kedip. “Awak gak pa-pa, kok… Bang Aseng aja yang pe-ra-sa-an…” katanya selagi memasang kancing terakhir kemeja lengan panjangnya, menarik ujung bajunya agar lurus rapi kembali.
“Jadi… besok lagi, Dan?” tanyaku menanyakan maksudnya.
“Dua kali pokoknya… Pagi… kek tadi pagi… Siang… kek yang ini barusan… Lebih bagus kalo bang Aseng datangnya lebih awal agar gak terlalu terburu-buru… Dah… Bye!” katanya cepat, tepat dan berlalu. Tapi ia tak dapat menyembunyikan seulas senyum di sudut bibirnya.
“Dua kali?” ulangku hanya bisa memandang tubuhnya yang menuju area terang di dekat pintu.
“Dua kaliii… Wek!” ulangnya dengan jari tanda peace dan menjulurkan lidahnya dengan imut dengan tulus ceria. Ia lalu hilang di balik pintu, ngacir.
———————————————————————————————
“Udah lu urus cuti lu itu?”
“Udah kak… Paling tinggal kakak yang ACC terakhir…”
“Yaa… Entar wa ACC-in… Enak ya, lu?… Ngentotin binik orang sampe dua kali sehari…” sindir cici-cici panlok ini. Pastinya dia tau semua tingkahku lewat layar CCTV. Saat ini aku juga memandangi layar besar di ruangan kerja kak Sandra. Untung saja tidak ada kamera di gudang arsip sehingga tidak terlihat aktifitas nikmatku bersama Dani di dalam sana. Kamera hanya menyorot bagian pintu yang menuju ruang Meeting 3 dan gudang arsip saja.
“Ya udaaah… Nanti kakak-pun dua kali jugak-la…” kataku ngenes mengusap mukaku dari jidat ke mulut dengan tarikan berlebihan. Dia ketawa sampai toketnya berguncang. “Tawa aja tros sampe bunting…”
“Enak kali lu dua kali… Wa masih Factory Manager di sini… Tiga kali…” katanya malah nego.
“Tobat! Cibay-cibay…” aku tambah ngenes. “Kopong kak dengkulku…” kurebahkan kepalaku di atas meja tanda lemes. Kak Sandra kembali tertawa-tawa kek kuntilanak campur vampir. Memang ya perempuan-perempuan ini—mesin penyedot sperma! Aku pun dengan paok-nya mau aja menyerahkan semua spermaku. Tapi cemana-la, enak kali-pun.
Bersambung