Part #24 : Sandra Menepati Janji
Kak Sandra benar-benar menepati kata-katanya kalo ia terima isi perjanjian pertama dengan pengecualian ciuman. Ia dengan ganas menciumi bibirku dan kami bertarung lidah dan bertukar ludah. Lidahku disedot-sedotnya sekaligus cairan yang ada di dalam mulutku yang tersekresi secara otomatis begitu tubuhku merasa mulutku kering.
Selagi berciuman dengan memegangi pipiku dengan tangan kirinya, tangan sebelahnya mengocok pelan Aseng junior yang rapat ke perutnya. Kami terus beradu mulut. Kak Sandra mengulum kedua bibirku bergantian, lalu lidahnya diumpankannya ke dalam mulutku yang lalu kusedot-sedot. Bertukar ludah berarti bertukar kenikmatan.
“Nyamm… Mmm… Slrrkk…” suara seksi kak Sandra terdengar memenuhi isi kepalaku. Memasuki benakku dengan erangannya kala ia menikmati percumbuan mulut ini. Sementara Aseng junior-ku semakin keras meradang di tangannya. Apalagi tubuh telanjangnya bergerak-gerak erotis bersentuhan dengan kulit telanjangku juga. Tangannya yang memegang pipiku kemudian mengelus-elus telingaku dan rambutku. Aku juga mulai bergerak melakukan hal yang sama. Merasakan kulit telanjangnya. Pertama-tama adalah kulit lengannya, pundak lalu berakhir di punggung. Menelusur turun dan bermuara di bongkah pantatnya yang sekal lagi padat.
“Hoaahh…” erangnya ketika tanganku meremas buah pantatnya. Lembut dan sekaligus kenyal. Kak Sandra menaikkan sedikit tubuhnya karena itu. Salah! Bukan karena itu! Ia ternyata menggesekkan kepala Aseng junior-ku ke belahan cepet-nya. Terasa basah dan hangat. Kepala Aseng junior bergesek-gesek mencoba gerbang lahan barunya. Tubuh kak Sandra mengatur semuanya selagi tetap menikmati mulutku. Dengan arahan tangannya, Aseng junior tetap pada jalurnya dan bergesekan hingga basah kuyup pada bagian kepalanya. “Mmm… Aahh…”
“Kaaak…” erangku juga ketika Aseng junior meluncur masuk dan terjerat dalam pelukan mesra liang kawin cepet kak Sandra. Kami berdua saling menikmati keindahan rasa itu. Rasa nikmat yang terperikan kala Aseng junior bercokol sempurna dalam dan mentok di liang kawinnya. Kak Sandra makin gencar menciumi mulutku. Ia benar-benar mengekspresikan semua rasa nikmat itu dalam ciumannya. Aku tidak begitu yakin, benarkah semua sesumbarnya tadi. Benarkah dia tidak akan mengikutkan perasaan dalam hubungan rahasia ini? Bisakah?
“Penuh cepet wa, Seng… Mentok!” katanya berbisik sambil bibir kami masih bersenggolan. Nafasnya panas dan kami kekurangan oksigen yang saling kami perebutkan dalam tiap tarikan nafas dan teracuni nafsu. “Lu jadi gigolo cocok kek-nya…” pujinya.
“Ini khusus buat kakak aja-nya…” kataku mencoba menyenangkannya. Membuatnya merasa spesial.
“Lu bilang gitu juga sama Dani, ya?” sanggahnya lalu tersenyum nakal penuh ejekan. Tentu aja aku tidak bisa menjawabnya karena terikat dengan perjanjianku dengan Dani, terutama pada pasal keduanya; tidak membicarakannya dengan orang lain. Aku hanya bisa mesem. “Ahh… Lu juga ada buat perjanjian sama seperti yang tadi… Paham wa… Wa gak akan nanya-nanya lagi…” kata kak Sandra mulai menggeliatkan tubuh bawahnya. “Mmm…”
Kak Sandra mulai menggeolkan pantatnya hingga Aseng junior diperas sedikit. “Aah… Enak, Seng…” desahnya. Duduk dipangkuanku dengan batang kemaluanku menancap dalam di cepet-nya, ia mulai menggerakkan tubuhnya naik turun. Kak Sandra mengalungkan kedua tangannya ke leherku hingga dada kami rapat bergencetan. Liang kawin kak Sandra tidak bisa dikatakan sempit tapi masih cukup menggigit mengingat jam terbangnya. “Lu belum pernah maen sama cici-cici begini, kan?” tanyanya entah dari mana.
“A-a belom-belom-lah, kak… Mm…” jawabku serba salah. Mau jujur gimana tapi ini rasanya enak kali. Rasa menggigit dan basah liang kawin kak Sandra terasa pas dengan batang pejal Aseng junior-ku. Tidak ada yang berlebihan. Pas aja dengan ukuranku. Sehingga kak Sandra-pun dengan nyaman bisa menggerakkan hanya pinggulnya untuk mengocok Aseng junior cuma dengan liang cepetnya. Ia menciumi bibirku berkali-kali dengan gemas dengan terus menggerakkan pinggulnya dan mendesah-desah seksi. Kalo diingat-ingat ini memang panlok pertama yang pernah kusentuh setelah sekian lama. Setelah sekian lama, catat!
“Rasanya? Enak, kan punya wa…” bisiknya lalu melanjutkan desahan dan gerakannya. Pinggulnya bergerak lugas dan gemulai melakukan kocokannya pada Aseng junior-ku yang terbuai rasa nikmat itu. Liang cepetnya mencengkram batang kemaluanku dan menguasainya. Mempermainkannya untuk segera mengeluarkan isi berharga di dalamnya, berupa cairan surga itu. “Punya lu enak, Seng… Mmm… Aahh…” Diliriknya gerakan luwes pinggulnya sendiri yang naik-turun teratur, ada suara suara kecipak samar yang terjadi akibat benturan kedua kelamin kami. Hanya terdengar kala kak Sandra dan aku tidak bersuara mendesah.
“Kaaak… Aku gak bisa lama-lama, kaak… Enak, kaak…” erangku yang sudah gak tahan lagi. Serangan dan gerakannya terlalu erotis untuk kutahan. Aku sudah pengen merasakan nikmatnya ngecrot sekarang juga.
“Ya udah… Tembakkan aja… Hamili wa, Seng… Aahh… Mmm…” ia mempersilahkanku mengisi uterusnya dengan bibit-bibit subur anakku. Ia malah makin gencar menggoyangkan pinggulnya. Aku meremas kedua bongkah pantatnya, membantunya bergerak lebih cepat karena rasa nikmat ejakulasi sudah di ujung Aseng junior. “Aaahh… Ahhh… Yaaa… Yaaa… Ayooo, Seng… Tembak! Tembaakk!!” ia memberi semangat agar aku mempercepatnya.
“Kaakkk! Ah… Ahh… Ahhh…” erangku dan melesakkan selangkanganku ke arah pantatnya rapat-rapat. Gemuruh semprotan spermaku terasa sampai di kepalaku. Memberi rasa nikmat yang berdenyar-denyar ke seluruh cabang syarafku. Jari-jari kakiku menegang seirama remasan tanganku pada kedua buah pantatnya. Spermaku mengisi relung rahimnya, memenuhi ruang pembuahannya. Kak Sandra sibuk kembali menciumi mulutku dengan getolnya. Menikmati mulutku dan mendiamkan pinggulnya karena tau aku sudah ejakulasi. Terasa sangat banyak dan melicinkan jalan kawinnya. Kalau segera dicabut di posisi ini, pasti akan meluber sia-sia.
“Cibay, Seng… Enak kali, Seng…” gerutunya di sela nafas berat.
Kupeluk tubuhnya, lalu kugulingkan dan kuseret sampai ke tengah ranjang. Tangannya tangkas mengambil sebuah bantal dan meletakkannya di bawah pantatnya. Ternyata ia tau teknik ini. Kalau sudah begini, aku baru boleh bisa melepaskan Aseng junior. Whoaa… Begini ini ternyata tubuh telanjang kak Sandra? Seksi walau sudah lumayan berumur. Ia berbaring pasrah dengan kaki terbuka lebar, selangkangan berlepotan spermaku. Tubuh semoknya hanya berbaring, memamerkan seluruh keindahannya hanya padaku. Toket besarnya menggunung besar walau tertekan posisi berbaringnya. Apalagi kulit putih pucat cemerlang ras Mongoloid-nya. “Seksi ya waaa? Lu sampe segitunya ngeliatin bodi wa?”
Aku menggeleng. “Nggak seksi, kak… Tapi seksi kaleee…” kelakarku dan mengacungkan kedua jempolku. Kak Sandra tersenyum lebar. Kedua tangannya menjulur memintaku memeluknya kembali dan mulut dimonyongkan minta ciuman lagi. Kukabulkan keinginannya dan ia memelukku erat. Aku merayap naik ke atas tubuh montoknya dan meladeni ciumannya. Aseng junior gondal-gandul lemas di atas perutnya.
Sekian lama kami berciuman dan ia tak bosan-bosan dengan mulutku. Kami bergantian bertukar ludah dan menghisap lidah. Bibirku terasa kebas kebanyakan dikulum dan disedotnya. “Kak Sandra senang kali nyiumin awak, ya?” tanyaku saat kami berpandangan setelah saling cipok.
“Apa ada kegiatan lain yang lebih enak selain nyiumin lu…” tanya kak Sandra balik. “Bibir lu enak… buat diciumin… Ada yang pernah bilang kek gitu gak ke lu orang? Istri lu misalnya?” ungkapnya.
“Gak ada… Emang ada kek gitu-gitu?” tanyaku pasang muka paok.
“Ini-nih… Gini…” ditariknya wajahku kembali mendekat padanya. Dikulumnya bibir bawahku dengan lembut. Matanya terpejam, ia terlihat sangat meresapi saat mengulum bibirku ini. Bergerak-gerak mulutnya saat mengulum bibir bawah dan ditingkahi sedikit sedotan lembut. “Kerasa enggak?” tanyanya setelah melepas bibirku dari sergapan mulutnya. Aku menggeleng. Yaa… Cuma terasa ciuman aja.
“Lu terasa pasrah aja gitu… Lu serahin semua… Lu biarin semuanya ngalir… Itu yang membuat bibirmu itu terasa enak saat dicium… Jadi wa waktu nyiumin bibir lu… rasanya wa memiliki semua diri lu… Gitu…” jelasnya. Aku gak paham apa maksudnya. Aku kembali menggeleng jujur.
“Indak mangarati den-ma, kak… (Enggak mengerti aku, kak)” kataku biar kami sama-sama gak mudheng.
“Ish… Lu, sih…” kesalnya lalu menulusupkan tangannya ke bawah mencari Aseng junior yang tergencet tubuh kami berdua. Diremas-remasnya batang kemaluanku yang sedang menciut. Ditariknya dan diarahkannya agar menuju mulutnya. Tanpa ragu, ia memasukkan Aseng junior yang keriput ke dalam mulutnya. Padahal itu belum dibersihkan sama sekali, jadi masih ada sisa-sisa pertempuran sebelumnya di sana. Ia tidak perduli dan hanya menikmati semuanya. Aku meremas sebelah toketnya yang kenyal menunggu ronde berikutnya karena kak Sandra masih berbaring dengan bantal mengganjal pantatnya. “Awas lu pake bahasa Padang lagi ama wa… Wa sedot telor lu kek gini…” sedot kak Sandra dengan kuat kek vacuum kekuatan maksimal.
“AAhhh… Kak!! Sakit, kak…” jeritku ngilu. Pipinya sampe kempot menyedot Aseng junior kuat-kuat kek gitu. Lalu ujung lidahnya menyentil-nyentil bagian urat bawahnya. Tergelitik hingga menggeliat bangun, menebarkan rasa hangat kenikmatan untuk kembali ereksi.
“Awas lu… Lu ulangi-lah…” ancamnya.
“Ngilu, kak… Awak pake bahasa Padang… kakak pake bahasa Hokkien-la… Biar gak nyambung kita sekalian… He he he…” kataku terus bermain dengan kenyal toketnya. Kak Sandra masih fokus merancap Aseng junior agar kembali perkasa. Sesekali aku melirik cepet-nya yang berdenyut-denyut masih penuh dengan bekas spermaku. Ia berbaring mengangkang sehingga sangat menggairahkan mata.
“Kemari, Seng… Pasti lu cepat ngaceng lagi…” tunjuknya pada perutnya yang agak gendut karena tubuh semoknya. Tetapi endut begitu tetap menggairahkan pria manapun kujamin. Kalo disuruh ke situ, pastinya bakalan dijepit di antara dua toket itu pastinya Aseng junior. Walau tak sefenomenal 38DD milik Yuli yang dengan mudah melakukan Tit Job padaku, milik kak Sandra ini setidaknya 2 ukuran dibawahnya. Rasanya pasti sangat memabukkan. Apalagi sensasi melakukan mesum begini dengan bosmu di kantor, bagi banyak kalangan itu hanya angan-angan saja—mimpi nyata yang sedang kujalani saat ini.
“Sori yaa, kak?” kataku malah kek permisi gitu melangkahi perutnya dan seperti hampir menduduki perutnya. Ia menambahkan sebuah bantal lagi di kepalanya hingga ia mendongak, tubuhnya kini melengkung seperti sebuah cekungan dan aku di dalamnya. Aseng junior segera dijepitnya menggunakan sepasang toketnya yang digencetkan dengan bantuan kedua tangan. “Kak… Ini ukurannya berapa, kak?” tanyaku iseng.
“Napa lu nanya-nanya ukuran? Mau beliin be-ha wa lu?” sergahnya kocak sambil menggerak-gerakkan toketnya agar dapat mengocok Aseng junior dijepitannya. Aku menggeleng gak berani meneruskan lagi walau aku tau dia tidak benaran marah. Aku hanya ikut menggerakkan pantatku seolah sedang memperkosa toketnya yang lumer menjepit Aseng junior-ku. Sensasi dijepit atau hanya tersentuhnya penisku ke tekstur payudara itu aku sangat doyan. Lembut dan kenyal payudara selalu memberi rasa tersendiri yang sangat nyaman tiap sentuhannya pada Aseng junior.
“Clok-clok-clok!” suara kecipak gesekan Aseng junior dijepit toket kak Sandra sangat seru. Ia menambahkan ludahnya di batang kemaluanku. Ia berulang kali meludahi Aseng junior hingga becek. Sensasinya sudah mirip sedang menyenggamai sebuah lubang vagina asli. Becek dan kenyalnya memabukkan. Gak lama Aseng junior sudah menegang keras ke ukuran primanya.
Bertambah nakal dan konak, kak Sandra menjulurkan lidahnya untuk menyambut ujung kepala Aseng junior-ku yang sudah bisa nongol keluar dari belahan toketnya. “Nyumm… Myumm… Hyaamm…” desahnya tiap kali kepala Aseng junior menyentuh lidahnya. “Lu pegang gantian…” perintahnya untuk berganti menekan toketnya untuk menjepit. Aku sekalian meremas-remas dan mempermainkan puting lucu berwarna berbeda warna antara pucuk dan aerolanya itu. Aku makin gencar menggenjot belahan toketnya.
“Udahan… Entar lu nembak pulak di toket wa…” katanya tiba-tiba menghentikanku. Mungkin ia merasakan kedutan-kedutan lain di Aseng junior. Ditendangnya bantal yang tadi mengganjal pantatnya agar menjauh, diarahkannya Aseng junior ke mulutnya dan di-deep throatnya sebentar lalu rebah di atas kasur dengan kaki dibuka selebar mungkin. “Masukin lagi, Seng… Cepet wa dah cenat-cenut nih…” ini sudah mirip perintah nih.
Memang sudah pas momennya ini. Aseng junior-ku juga sudah meradang. Kutenangkan diriku sebentar di depan bukaan kaki kak Sandra dengan memperhatikan bentuk menggairahkan cepet yang resminya milik ko Amek ini. Ko Amek, sori ya, ko. Biniklu wa pakek nih. Vagina merekah yang sudah kusemprot sekali ini berjembut jarang hanya di bagian atas saja. Kuelus-elus sebentar jembut itu dan ternyata cukup panjang tetapi tidak banyak jumlahnya. Kuelus juga kacang itil yang menggembung menonjol dari bukaan bibir kemaluannya, terlindung tudung yang menyatu dengan gelambir bibir dalam vaginanya. Berikutnya dengan menggunakan Aseng junior, kepalanya mengelus-elus belahan dalam yang basah becek oleh spermaku terdahulu.
Kak Sandra memejamkan mata dan mengulum bibir bawahnya ketika Aseng junior meluncur masuk dengan lancar dan nangkring manja di dalam liang kawin cepetnya. Selangkangan kami bertemu karena aku sudah merangsek mentok di kedalaman uterusnya. Pinggulnya bergerak-gerak berusaha menyesuaikan posisi agar semua terasa nikmat dan nyaman maksimal. Disumbat Aseng junior yang pas di dalam liangnya, kak Sandra bernafas pendek-pendek.
Apalagi saat aku mulai bergerak ritmis. Aku berpegangan pada pinggulnya dan kulakukan tusukan dengan ritme 3 kali tusukan pendek dan sekali tusukan dalam. Tidak bisa terlalu cepat karena aku sedang menikmati ekspresi keenakan kak Sandra dan juga guncangan yang dilakukan sepasang toketnya. Ia mengerang-erang seksi merasakan tiap ritme tusukan yang kulakukan. Ia mengerang di tusukan pendek dan menjerit kecil di tusukan dalam.
“Eeh… eeh…eehh… Aaahh…” begitu suara yang dikeluarkannya tiap variasi ritme tusukan itu kulakukan. “Lebih cepat, Senghh…” pintanya. Kutundukkan tubuhku dan aku bertumpu pada kedua tanganku di kasur. Lutut bertumpu di belakang dan kulakukan genjotan cepat, satu tusukan dalam selalu. “Ah ah ah ah ah ah!” erangnya tertahan. Kak Sandra mulai gelisah dengan menggeliat-geliat tak teratur. Pantatnya terkadang sedikit terangkat, pertanda kalau ia akan mencapai puncak kenikmatannya. Aku makin bersemangat membantunya mencapai itu.
“Aahh!!” tubuhnya mengejang dan Aseng junior-ku terasa dicekik di dalam liang cepetnya. Otot perutnya juga mengejang ketat dan ia mencengkram sprei hotel dengan kuat. Kuhentikan gerakan dan ikut dengan arus gerakan tubuhnya, menikmati pijatan-pijatan erotis liang kawinnya pada batang Aseng junior. Kuciumi lehernya dan ia membalas menciumi pipiku. Begitu ia sudah bisa mengendalikan tubuhnya, ia mengincar bibirku lagi.
Tusukan-tusukan pendek kulakukan selagi kami terus berciuman, mengadu mulut. Ludah kembali bertukaran dan bibirku kembali kebas karena kebanyakan disedotnya. “36D sih yang sering wa pake… Yang E nyaman juga buat harian…” katanya saat ia melepas bibirku. Oh. Ini ukuran BH itu tadi. Kenapa tiba-tiba dia mau membagi informasi itu? Apa dia minta aku beliin BH, ya? “Kenapa? Tadi lu nanya ukuran toket wa, kan? Masih lebih gede dari pada istri lu punya, kan?”
“Iya, kak… Gede ini…” pujiku lalu mencucup satu putingnya lalu menyedotnya penuh perasaan. Lidahku bermain-main selagi mulutku menelan satu aerola gelapnya. Menyentil-nyentil dan berputar mengitari. Aseng junior terus melakukan tusukan pendek-pendek. Sudah terasa panas. Kuhentikan dengan menyamarkannya dengan sedikit mengatur posisi kakinya. Mengatur nafas dan kaki kak Sandra kutenggerkan di bahuku lalu kuteruskan tusukan-tusukan pendek.
“Geli, Seng…” keluh kak Sandra karena aku mengecup betisnya yang mulus dan berisi padat. Aku bahkan kadang menjilatinya kek orang gila sampe kak Sandra menertawakan tingkahku. Itu semua untuk mengalihkan perhatianku dari rasa nikmat yang mendera Aseng junior. Kalo aku cuma begitu-begitu aja secara konvensional Missionary style, aku pasti udah ngecrot dari-dari tadi. Dengan bibir juga kugigit juga daging pahanya yang lembut. Kujilati seluruh permukaan lututnya hingga ia menggelinjang kegelian disamping rasa enak di cepetnya.
“Nungging, kak…” cobaku memerintahnya setelah kucabut Aseng junior dari sangkar barunya. Kak Sandra patuh dan segera bergerak walau dengan sedikit lemas. Tubuh telanjang semoknya menungging di hadapanku. Satu pabrik, hanya aku seorang saja yang pernah mendapat berkah ini. Kunikmati dulu pemandangan tanpa cela ini. Tubuh mulus putih benderangnya sangat memukau. Bulat pantatnya sempurna berbentuk buah pir dengan belahan menyesakkan dada. Lubang anusnya yang senada warna kulitnya mengintip dengan sedikit kerutan dan belahan cepetnya merekah merah bekas kuhajar barusan, bernoda cairan kental di sana-sini.
Kutubruk bokongnya itu dengan penuh nafsu. Tidak dengan Aseng junior, melainkan dengan mukaku. Kugesek-gesekkan wajahku di pantatnya. Kak Sandra mendesah mendapati aku ternyata sedang bernafsu dengan pantatnya. Kujilati tiap bongkah buah pantatnya yang berkeringat. Kuremas-remas gemas dan kusedot dengan lebih gemas lagi. Aku benar-benar gila dengan bokong kak Sandra ini.
“Seeeng… Udah-lah… Masukin laagi… Mmm…” erang kak Sandra tak sabar. Ia mengutik-utik kacang itilnya dengan tangannya sendiri sangking gak sabarnya. Dibelahnya bibir cepetnya lebar-lebar agar aku kembali tergoda dengan kemaluannya, meninggalkan fetish baruku. Satu jarinya menyeruak masuk dan mengocok pelan vaginanya sendiri, menggodaku masuk. “Seeng! Cepatlaaahh! Aahh…”
Kukocok Aseng junior sebentar karena ia memang masih meradang kemerahan—seperti yang kubagi tau tadi, ini hanyalah teknik mengalih perhatianku agar aku memperlama masa senggama ini. Kucelup-celupkan kepala Aseng junior ke bukaan menganga merah cepet kak Sandra yang memanggil-manggil kangen dientot. Kami berdua meradang begitu persatuan kedua kelamin kami terjalin lagi. Kami berdua mengaduh keenakan. Mengerang dalam goncangan nafsu birahi.
Genjotanku brutal kali ini. Kak Sandra menjerit-jerit kesetanan merasakan kejantananku mengobrak-abrik liang kawinnya dengan cepat dan juga dalam. Aku berdiri di atas kasur dan Aseng junior menusuk sedikit miring menekuk sehingga gesekan yang terjadi sangat terasa. Aku semakin menggila di posisi doggy ini. Toket kak Sandra jadi bulan-bulananku yang lain. Kuremas-remas keras, sekeras jeritannya. Kutarik-tarik dan kubetot semaunya selagi Aseng junior-ku memborbardir kencang. Tubuh kami berpeluh lekat dan semua semakin panas.
Kusemburkan spermaku untuk kedua kalinya pada liang kawin kak Sandra. Meledak-ledak dengan nikmatnya. Kakiku sampai lemas merasakan lonjakan voltase kenikmatan yang merajai tubuhku. Menyetrum sampai ke pucuk-pucuk syarafku. Mematikan semua nalar. Hanya nikmat terpapar.
Tubuh kami berdua ambruk dalam puas. Terengah-engah dalam ekstase kenikmatan duniawi. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Aseng junior terlepas begitu saja, memberikan jejak nodanya dari belahan pantat sampai ujung kepala Aseng junior yang menempel sekenanya di salah satu bongkah pantatnya. Tak ada kata yang terucap untuk beberapa saat sampai nafas kami kembali reda ke ritme normalnya.
“Lu normalnya selalu jago gini, Seng kalo ngentot?” tanya kak Sandra mengalihkan kepalanya padaku yang ada di belakangnya. Aku sedang menciumi wangi rambutnya yang terurai sebahu. Toketnya lagi-lagi jadi mainanku, kupilin-pilin putingnya yang ngangenin.
“Gak, kak… Tadi awak lagi gila sama pantat kakak aja… Paten kali pantat kakak rupanya kalo kek gini…” bualku lalu meremas pantatnya sekali lagi.
“Demen lu sama pantat Cina? Ha ha ha ha…” gelaknya akan guyonan lawas itu.
“Kalo Cina-nya kak Sandra iya-lah… Apa lagee?” jawabku malah memeluknya gemas dan menekan-nekankan Aseng junior ke pantatnya kek mo nyodomi. Kupeluk ia di bagian perut lalu mengelus-elusnya. “Semoga jadi anak ya, kak… Jadi anak yang bisa mewujudkan impian kak Sandra selama ini…” ucapku yang juga merupakan doa. Ia memegang tanganku yang mengelus perutnya–ikut mengelus perut juga.
“Semoga ya, Seng… Wa dah mulai berumur… Takutnya gak bisa prima lagi mengandung kalo kelamaan…” katanya lalu berbalik dan berpelukan berhadapan denganku. Kakinya tidak dikangkangkan, hanya rapat–menjaga deposit sperma yang masih bercokol di dalam rahimnya agar tidak buru-buru keluar. Aku yang mengangkangi pinggulnya hingga dada kami bertemu. Kak Sandra meraih Aseng junior dan mengocoknya kembali seolah meminta tambahan ronde.
“Lu jangan-jangan yang maen perasaan kalo wa cium lu sering-sering, ya?” katanya ketika kening kami bertemu. Menatap wajah cantiknya yang terkesan sendu sekaligus garang. Kurapikan rambut yang jatuh di keningnya agar aku bisa menatapnya tanpa halangan apapun.
“Makanya awak buat pasal pertama itu begitu, kak… Kalo enggak kakak… ya awak yang maen perasaan… Awak ini manusia normal loh, kak… Bukan cuma burung aja… Ada perasaan di sini… Ada hatinya, kak… Itu yang mau awak jaga… Sebab kalo ciuman itu sangat intim kak… Sama pacar… Sama istri… Itu yang kutau, kak…” ungkapku.
“Iya ngerti, Seng… Kalo wa sih enggak gitu… Nanti-nanti wa bakal ngingetin lu orang kalo lu udah mulai pake-pake hati maennya… Coba, ya?” kak Sandra kembali mengecup bibirku dan sejurus kemudian kami sudah bergelut dalam cumbuan bibir kembali. Ia tak jemu-jemu menikmati French Kiss ini denganku. Berbagai variasi ciuman yang dikuasainya, diperagakannya padaku. Permainan lidahnya yahud abis. Ciuman Prancis, begitukah pesonamu? Segitukah tawaranmu?
Cukup lama kami beradu mulut, dalam artian sebenarnya, saling memainkan mulut. Aku meremas-remas toketnya selagi kak Sandra terus mengocok Aseng junior sampai ia menegang keras kembali. Dikoreksinya posisi kakiku yang mengangkangi pinggulnya dalam posisi sama-sama menyamping berhadapan ini, jadi rapat dan ia gantian yang mengangkangi pinggangku. Jadinya, ia bisa memposisikan Aseng junior ke bukaan cepet-nya yang masih merekah merah minta dikawini lagi.
Kudorong pelan-pelan Aseng junior hingga menelusup masuk di posisi senggama yang lumayan sulit tetapi sangat intim ini. Posisi ini baik pihak pria dan perempuan dalam posisi setara, sama-sama berbaring menyamping. Full body contact terjadi saat kami berpelukan erat dan pompaan kulakukan pelan-pelan. Memaksimalkan rasa nikmat saat gesekan-gesekan terjadi antara kedua kelamin kami. Gerinjal liang kawinnya terasa erat menggigit karena mendapat efek berat tubuhnya. Kami berdua terus bersenggama sambil berciuman gencar. Baik aku dan kak Sandra menggerakkan pinggul bersamaan, saling sambut menyambut. Aku dengan dorongan pendek dan kak Sandra dengan goyangan berputar. Tiap dorongan masuk menusuk disambutnya goyangan yang menekan maju. Sentuhan benturannya sangat melenakan.
Saat kak Sandra mendapatkan kenikmatan puncaknya kembali dan melepaskan ciumannya, aku beralih memainkan toketnya dan pelan-pelan terus menusukkan Aseng junior. Melengkung tubuh kak Sandra kala kusedot bergantian toket kanan dan kirinya. Puas bermain di sana, ia mengajakku bergulat lidah kembali. Tak ada puas-puasnya kami berciuman seolah itu adalah kebutuhan utama kami saat ini. Hanya berciuman. Aku selalu khawatir bagaimana hubungan kami setelah ini, setelah berbagi ciuman yang sangat melenakan. Puas dengan beberapa kali puncak kenikmatan. Aku tidak pernah dalam situasi ini sebelumnya.
Ciuman ganas dan menggebu-gebu yang selalu ditawarkan kak Sandra mampu membuatku melupakan semua kekhawatiranku. Aku kembali tenggelam dalam kesibukan menggenjotkan Aseng junior bertubi-tubi ke cepetnya yang berjembut jarang. Lidah kami saling bertautan, bertukar ludah, saling sedot dan kulum. Saling meremas bagian tubuh, meraba dan menyenangkan lawan senggama. Lancar gerakan menyodokku sepertinya harus mencapai puncaknya karena aku sudah tidak dapat menahannya lagi lebih lama. Kak Sandra menyadarinya dan mendukungku dengan erangan seksi dari mulutnya selagi berciuman.
Semprotan sperma untuk ketiga kalinya tersembur dan memenuhi relung liang kawin kak Sandra. Mengisi rahimnya yang bersorak-sorai menyambut bibit-bibit suburku yang berjuang untuk membuahi indung telur yang disimpannya. Kami hanya butuh satu saja di antara miliaran bibit mirip berudu itu untuk menemukan tempatnya menembus sel telur.
Tubuh kami menggeliat-geliat keenakan dan mencari kenyamanan dengan berpelukan erat. Kaki kak Sandra mapan mengait di pahaku dan aku masih menyimpan Aseng junior di dalam liang kawinnya yang banjir oleh spermaku. Sesekali kecupan kak Sandra masih menyasar bibirku. Ia bolak-balik meracaukan ucapan terima kasih. Pujian keenakan. Erangan puas dan sebagainya. Dan akhirnya ia tertidur pulas karena kelelahan. Total kami sudah menghabiskan tiga ronde. Tiga kali aku sudah menyemprotkan spermaku.
Aku juga lelah… Kami tidur berpelukan seperti sepasang pengantin baru yang puas dalam bulan madunya. Nyaman nian memeluk kak Sandra…
“Kih kih kih… Kau kira semudah itu kau menyingkirkanku?” ada suara menyebalkan itu lagi. Cepat-cepat aku bangkit. Ia sekarang tidak main-main. Ia muncul di alam nyata sekarang. Siluman monyet yang mengaku dewa itu muncul lagi dan kali ini ia menunjukkan batang hidungnya di dalam kamar hotel ini. Berdiri di sudut kamar, di atas dinding memanfaatkan dua sisi sikunya. Ia cengengesan dengan ekor melambai-lambai.
“Belom modar rupanya kau…” ketusku turun dari ranjang perlahan. Aku meraih celana panjangku dan memakainya tanpa celana dalam. Ia memperhatikanku melakukan itu semua dengan cengir menyebalkan di sudut mulutnya. Gigi geliginya ada noda darah. Itu berarti ia sudah cukup terluka karena serangan dahsyat himpitan bebatuan buatan Iyon di daerah kekuasaannya sendiri. Ini akan jadi pertarungan berat. Aku sudah menghambur-hamburkan banyak stamina dengan ngeseks dengan kak Sandra sampai tiga ronde.
Bertarung dengannya di sini akan sangat beresiko. Yang pertama tentu saja aku akan beresiko mengekspos dunia ghaib ini ke masyarakat. Itu pantangan pertama yang paling krusial. Kedua, kak Sandra bisa ada dalam bahaya. Itu sudah semuanya.
“Kau berhadapan dengan Dewa… Aku jauh di atas kemampuanmu… Makan daging manusia hari ini tidak jelek juga… Aku sedang berselera sekarang…” katanya menggertakku. Ia menjilat-jilati bibirnya untuk menakut-nakuti aku. Kao pikir aku anak kecil apa?!
“Heh? Monyet kok jadi dewa… Derajat kalian itu masih ada di bawah manusia… Kebetulan aja kao punya sedikit kekuatan sudah ngaku-ngaku jadi dewa… Monyet kek kao ini di sini malah dijadikan topeng monyet… Tau, kao?!” hardikku.
“Masih pakai taktik yang sama… Kau tau itu tidak mempan padaku…” jawabnya masih belagak cool walau aku tau pasti ia sedang menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Butuh waktu lama ia untuk mengeluarkan dirinya dari himpitan bebatuan besar walau tak ada restriksi waktu seharusnya. Ia pamer kemampuan dengan berdiri di sudut siku dinding, memamerkan kalo ia masih sangat digjaya. Yang kukhawatirkan adalah kak Sandra terbangun karena gaduh pembicaraan kami dan melihat siluman monyet itu sedang ngomong lalu panik, mengacaukan segalanya.
“Hup!” cepat aku berguling di atas kasur dan berada di dekatnya untuk menghantamkan bakiak Bulan Pencak yang sudah kupegang. Ia melompat ringan dan sudah ada di sisi lain kamar di dekat pintu. Kukejar dia hingga melarikan diri keluar kamar dan segera berlarian bebas di taman di depan sana. Siluman itu tidak sadar masuk dalam perangkapku. Aku bisa dengan mudah menangkapnya di luar sini dengan begitu banyaknya dedaunan di taman. Selembar daun tanaman hias kupetik dan langsung melayang terbang. Hanya perlu menyentuh tubuhnya, daun itu menyentuh kakinya…
“Selamat datang di daerah kekuasaanku, siluman monyet…” sambutku. Kami sudah berada di dalam daerah kekuasaanku. Di dalam surgaku. Dimana semuanya adalah kekuatanku.
Monyet itu clingak-clinguk lalu paham kalo ia telah memasuki satu dimensi yang berbeda dari kenyataan. Daerah terang tanpa matahari. Aku tau kalo ia sebenarnya takut tapi berusaha menutupinya karena sedikit banyak dia tau aku banyak mempunyai andalan di tempat ini. Ekornya bergerak kaku, tidak santai berayun tanpa beban. Gerakannya diatur. Ia berjalan dengan empat kakinya layaknya seekor monyet, beberapa kali memperhatikan buah-buahan yang tumbuh segar lagi ranum di pepohonan subur. “Katanya kau mau makan daging manusia?… Kok selera liat buah-buahanku? Tertarik? Ambillah… Aku tunggu sampai kau siap…” pancingku. Aku tau dia tidak bodoh tapi aku hanya menggodanya.
“Kau sudah mengundangku masuk ke daerahmu… dan sekarang aku mengundangmu masuk ke daerahku… Bukankah itu, bagus?” kataku berjalan ringan dengan sepasang bakiak itu di kakiku. Rerumputan halus di pinggiran aliran sungai kecil dapat mengundang siapa saja untuk berbaring menikmati suasana nyaman yang diciptakan hamparannya. Pemandangan hijau pepohonan sejauh mata memandang dihiasi buah-buahan ranum. Surga nyata yang kumilki di sini. “Sakit gak… seluruh badanmu? Aku tau pasti sakit… Aku juga tadi hampir kejatuhan batu-batu besar itu…” tanyaku ringan.
“Kau terlalu banyak bicara, manusia… Ayo kita selesaikan ini!” sergahnya memasang kuda-kuda bersiap bertarung lagi. “Aku ini dewa… Aku tak terkalahkan…” ia malah inisiatif mulai menyerang dan bergerak cepat. Ia sangat yakin dengan kecepatannya. Berlari cepat di rerumputan halus. Dia lupa kalau ini daerah kekuasaanku. Ia tersandung sesuatu dan jatuh berdebum di rumput halus. Beberapa rerumputan halus itu terjalin di kakinya, membuatnya terjatuh dengan bodoh. Tak paham apa yang membuatnya begitu. Merasa malu karena jatuh dengan mudah karena ceroboh, buru-buru ia bangun tetapi rerumputan halus itu menahan tubuhnya tetap menelungkup mencium segar kehijauan rumput halus di tanah. Daun-daun kecil berbentuk jarum itu bertautan menahan tiap helaian rambut yang tumbuh di tubuh mamalia-nya. Siluman monyet itu mulai panik.
“Apaa? Apaa iniii? Rumput apaa iniii?” paniknya berusaha menggerakkan tangan dan kakinya, berupaya keras untuk bangkit. Bahkan ekornya melekat di rerumputan seperti disteples di sana. Beberapa helai rumput berhasil ia taklukkan tetapi helai rumput lain menggantikan helai itu. Menahannya tetap di tempat, telungkup tak berdaya. Mulutnya tak lagi bisa terbuka untuk berteriak. Hanya matanya yang mendelik-delik ketakutan. Ia mengalami syok hebat karena tak mampu bergerak hanya karena hal yang dianggapnya sangat sepele. Hanya rerumputan.
“Kenapa? Kau suka lembut padang rumput ini? Sepertinya kau suka sekali… sampe tiduran di situ…” kataku berjongkok di hadapannya dan memperhatikan ekspresi ketakutan yang sangat dahsyat di matanya. Hanya itu yang masih bergerak di luar tubuhnya selain organ-organ dalamnya tentunya. Pandangan matanya menghiba minta dilepaskan dari perangkap mengerikan ini. Ia yang mengaku-ngaku hebat sebagai Dewa Kera Emas, takluk hanya dengan rumput halus yang tumbuh subur di pelataran tanah luas daerah kekuasaanku.
“Udahan? Yaa udah bangun ajaa… Katanya dewa… Masak segitu aja gak bisa…” kataku semanis mungkin di hadapannya masih berjongkok. Telapak tanganku merasakan lembut ujung-ujung helai rerumputan ini, terasa nyaman menyentuh kulit. “Aku juga sering rebahan di sini… Guling-guling… Aahh… Melepas lelah…” kataku lalu ikut tiduran di rerumputan ini dengan nyaman. Mata kami berpandangan dengan intens. Pandangan matanya menghiba minta dilepas.
“Keknya… rumput-rumput ini suka sekali denganmu… Mereka enggan melepasmu… Mungkin-mungkin mereka mau kau menjadi bagian dari mereka… Jadi kompos mungkin…” kataku berspekulasi. Mendelik matanya penuh horor mendengar kata-kataku barusan. Aku tidur di hamparan rumput sampai mataku berat dan tidur pulas. Tidur nyenyak.
Bangun-bangun, siluman monyet itu sudah tidak ada di hadapanku. Para rumput sudah selesai mencernanya. Geliat lega tubuhku yang sudah segar kembali setelah tidur nyenyak barusan. Entah berapa lama aku tidur aku tidak perduli karena itu tidak begitu berarti. Kupandangi lingkungan indah dan asri ini, penuh dengan pepohonan hijau segar sejauh mata memandang. Kapan-kapan aku akan mengundang yang lain lagi kemari, ya…
Aku masuk kembali ke dalam kamar yang baru saja kutinggalkan sebentar saat mengejar siluman monyet yang lari ke taman tadi. Kak Sandra masih tidur dengan pulasnya tetap di posisi tadi. Untung tidak ada yang lewat di depan pintu ini karena ia masih bugil. Aku juga bertelanjang dada. Penghuni kamar-kamar lain tidak ada yang kepo karena keributan kecil tadi. Kututup kembali pintu dan masuk.
Selesai pipis di kamar mandi, aku naik lagi ke ranjang dan ngeloni kak Sandra lagi. Kupeluk tubuhnya dan ia otomatis memelukku juga mencari kenyamanan. Aku tidur lagi di dunia nyata ini. Hanya terasa sebentar karena kak Sandra sudah bangun dan melakukan hal nakal dengan tubuhku. Menunggangi Aseng junior dengan ganas.
“Aah… ahh… ahh… ahhh…” erangnya sambil terus bergoyang maju mundur mengulek Aseng junior di dalam liang kawin cepetnya. Gerakannya menyebabkan toketnya juga berguncang menarik hati. Aku yang masih ngantuk sempat-sempatnya menjangkau ke sana dan mempermainkan puting gemesnya. Puting pucat dengan lingkar aerola gelap. Remas-remas juga tentunya secara besar 36D gitu loh. “Udah bangun lu, Seng…?”
“Udah, kak… Maen masuk aja ya, kak?” kataku menyindirnya yang tanpa permisi langsung tancep aja terus gas poll. “Pulang jam berapa kita, kak?… Udah jam berapa ini?” tanyaku. Kamar hotel ini tak punya jam dinding dan HP-ku jauh di atas meja sana, tak terjangkau.
“Udah jam 3… Bentar-bentar lagi aja kita pulangnya… Wa belum mau pulang cepat-cepat… Mau puas-puasin bareng lu, Seng…” katanya lalu merunduk dan mengecup bibirku, lanjut ke permainan mulut yang tak kurang ganas. Pantatnya terus bergerak mengaduk Aseng junior, keluar masuk teratur. Aseng junior-ku melengkung menyodok prima ke dalam liang kawin cepetnya. Ia sudah cukup istirahat dan kembali prima untuk mengaduk mangsa kembali. Walau perut melilit tapinya. Di restoran tadi aku cuma makan sedikit.
Kak Sandra dengan ganas mengocok Aseng junior dengan kemaluannya yang bergerak teratur naik turun. Pantatnya naik turun sembari bertumpu dengan lututnya yang menekuk. Kala ia merasa pengen lagi, ia tunduk dan mencaplok mulutku lagi. Cengkraman liang kawinnya terasa sangat pas pada ukuranku. Aku sudah bilang ini berkali-kali, ya? Karena memang sangat pas. Tidak ada yang berlebihan dengan persatuan kelamin kami. Seolah memang diciptakan untuk saling melengkapi.
Berikutnya, kami bersenggama dengan posisi berdiri. Kak Sandra berdiri di dekat jendela bertirai yang menghadap ke taman di luar sana. Punggung dan pantatnya sedikit ditekuk agar Aseng junior dapat menembus belahan pantatnya dan mengacak-acak kemaluannya. Pelan-pelan kocokan Aseng junior kulakukan dan tetap saling berciuman. Kak Sandra rela memalingkan wajahnya agar dapat menjangkau mulutku. Dengus nafas di antara sodokanku, menjadi bumbu penyedap nikmat hubungan kelamin ini. Toketnya juga tak luput dari permainan tanganku. Kuremas-remas kenyalnya juga pilinan di kedua putingnya.
Tak masalah kalau harus pegal karena kaki harus sedikit menekuk gak nyaman asal Aseng junior merasa nyaman di sarang barunya lebih lama. Hangat dan becek liang cepet kak Sandra membuatku menggila. Walau tak bisa masuk menembus masuk sempurna, tusukan pendek-pendek di pintu gerbang kenikmatannya memberi sensasi berbeda. Rasa pedih dan geli berpadu menjadi satu karena katupan ketat lubang vaginanya di posisi gak lazim bersenggama ini.
Gak kuat, kak Sandra sedikit merubah posisi menjadi menungging tanpa berpindah tempat atau melepas Aseng junior. Kupegangi pinggulnya untuk pegangan yang pas. Lalu aku bisa menaikkan tempo karena kak Sandra melebarkan kakinya. Alhasil Aseng junior bisa masuk sempurna menjajaki kedalaman liang kawinnya. Tak kurang kak Sandra mengerang-erang keenakan, sesekali menggosok kacang itilnya. Toketnya berayun-ayun, bergantung indah seirama sodokan maju mundurku. Ia berpegangan pada jerjak jendela dan meremasnya kuat.
“Oouughh… Ooh…” tubuhnya mengejang lalu jatuh berlutut sambil memegangi permukaan cepetnya yang berambut jarang. Kakinya bergetar dan mulutnya menganga penuh kepuasan. Dirapikannya rambut yang berantakan di keningnya lalu beralih cepat menghadapku yang masih bersenjatakan Aseng junior menegang keras, berkilat-kilat basah. “Mmm… Mmmsshh…” tanpa sungkan, dilahapnya batang Aseng junior tenggelam di dalam mulut.
“Enak, kaaak…” erangku mengelus rambutnya. Rambut panjang sebahunya bergerak-gerak erotis kala kepalanya mengangguk-angguk, menelan kemaluanku di mulutnya. Kak Sandra memegangi pahaku sambil terus rajin menggerakkan kepalanya, membiarkanku memperkosa mulutnya yang menyedot kuat. Kugerakkan pinggulku dengan ritmis ke rongga basah berlidah itu. Enak kali dua lobangmu ini, kak Sandra.
“Muaah… Enak, Seeng? Enakan mana sama cepet wa, hah?” tanya kak Sandra sementara mengocok dan menggesekkan Aseng junior-ku ke toketnya. “Hmm… Enakan yang manaaa?” kecupnya pada kepala Aseng junior yang berlumur liurnya.
“Dua-duanya enak, kak… Masuk mana aja-pun boleh…” kataku merem-melek merasakan kenyal toketnya dijejalkan ke Aseng junior lalu dijepit di antaranya. Lalu disedotnya lagi sampe pipinya kempot. Berdecap-decap mulutnya menikmati juniorku.
“Lu harus masuk sini dulu… trus banyak-banyak nembak di cepet wa… Lu harus buntingin wa secepatnya, Seng…” ujarnya yang sudah bangkit lalu menungging berdiri dengan kepala rebah di ranjang. Sebelah tangannya melebarkan belahan pantatnya untuk memamerkan isi belahan cepetnya yang merekah merah menggoda. Lubang kawinnya berkedut-kedut memanggilku segera mendekat, merapat dan mengembat.
“Aaauuh…. Mmm… Sengg… Yang kencang, Seeeng… Uuh…” erangnya karena aku buru-buru melesakkan Aseng junior dan langsung gigi tinggi menekan gas akselerasi cepat. Tubuh kak Sandra berguncang-guncang bersamaan guncangan maju-mundur pinggangku yang menghajar liang kawinnya. Aku meremas-remas pantat putih semoknya dengan gemas. Kucoba untuk menampar satu buah pantatnya seperti yang sering kuliat di bokep.
“PLAK!” nyaring suara tamparan berani itu.
“Auuhh!!” jerit kak Sandra menggamit tanganku yang lalu kembali mencengkram buah pantatnya. “Saaakit, Seeng!” keluhnya. Liang kawinnya berkedut sporadis. Gerenyam-gerenyam gitu rasanya batang Aseng junior merasakan remasannya. Ada bekas merah di pantat putihnya, bekas tapak tanganku. Kasihan melihatnya kesakitan tetapi lebih nikmat terasa remasan sporadis yang terjadi akibatnya.
“PLAK!” kembali aku menampar buah pantat yang sama.
“Aduuhh… Uuhh, Seeng… Atiiit tauu…” keluhnya jadi manja gitu nadanya. Rasanya jadi sangat memabukkan. Bisa-bisa aku ketagihan rasa nikmat kala remasan kuat sporadis liang kawin kak Sandra menggiling batang Aseng junior. Apakah ia merasakan rasa nikmat yang sama kala genjotanku terus berlanjut menggasak liangnya yang menyempit paksa akibat rasa perih dan panas ditampar barusan.
“Enak, gak?” tanyaku. “PLAK!” belum sempat ia menjawab tamparan tapak tangaku mendarat di pantat yang sama, membuatnya menjerit lirih lagi. Pantatnya sampai menjulang tinggi dan kutekan lagi agar tetap bisa kujejali Aseng junior dengan pas. Bentar-bentar lagi gilingan meremas itu bakalan sukses memeras santan kental dari kantong pelerku. Dua kali tamparanku mendarat dan aku menumpahkan sperma keempat kaliku di dalam liang kawin kak Sandra. Membanjiri rahimnya.
“Aaah… Ahh… Haaa… Enak kali cepet kakak… Kaaak… Sori yaa, kak?” kataku mengelus-elus merah bekas tamparanku berulang-ulang tadi. “Jangan kasih SP awak ya, kaaak?” kataku dengan Aseng junior masih terbenam dalam, menyumbat bongkaran muatanku agar tidak cepat-cepat di-reject keluar. Kedutan-kedutan masih terasa dari kelamin kami berdua. Aku mendorong-dorong pelan pinggangku.
“Awas lu bentar, yaaa… Wa hajar lu sampe kering bentaran…” ancam kak Sandra masih mempertahankan posisinya rebah di ranjang dengan kaki lunglai bergantung di tepian. “Sakit kali pantat wa lu bikin… Tadi lu puja-puja pantat Cina wa… Sekarang lu tabokin… Yang bener aja lu, Seng… Awas lu, yaa…” lanjutnya mengancamku. “Dendam lu sama pantat wa, yaa? masih berlanjut omelannya. “Abis lu nanti wa kasih SP… Mampus lu…”
“Yaah… Jangan SP dong, kak… Masak gitu aja di-SP? Kakak kan enak juga…” melasku. Mampus aku kenak Surat Peringatan langsung dari Factory Manager. Kak Sandra terus ngomel-ngomel sambil mengelus-elus pantatnya yang memerah bekas tamparanku. Bantuanku ditepisnya kala mengelus kemerahan buah pantat kanannya itu. Jadinya aku usil dan mengelus yang sebelah kiri. Semua pembicaraan itu kami lakukan masih dengan kelamin kami masih berpasangan. Aku takut semua spermaku akan membludak keluar. Kak Sandra meraih bantal terdekat, menaruhnya di bawah perut dan berputar setelah aku mencabut Aseng junior dari sana. Pantatnya lebih tinggi dari bagian tubuhnya yang lain.
“Kesini!” perintahnya. Lambaian tangannya memanggilku agar mendekat. Ditariknya pinggangku agar rapat ke arah wajahnya. Paham. Tanpa ragu, kak Sandra mengulum Aseng junior yang berjuntai setengah tegang, yang masih berlumuran sperma dan cairan vagina. Sperma yang berhasil dikumpulkannya ditelannya dengan senang hati. Dibersihkannya semua permukaan Aseng junior hingga licin terganti oleh liurnya. Kini ia fokus menyedot bagian kepala Aseng junior hingga terasa ngilu campur enak.
“Jangan kasih SP napa, kak… Kaak?” rayuku semanis mungkin. “Ya, kak… Jangan ya, kaak?
Ia tidak merespon sedikitpun kecuali terus menyedot-nyedot kepala Aseng junior. Bergantian ia mengocok pangkal batang dan memijat kantong pelernya. Mulutnya tak berhenti bekerja. Kak Sandra tau apa yang sedang dilakukannya karena dengan demikian Aseng junior sudah bangkit lagi dan menegang prima. Jilatannya terasa basah dan bergelora.
“Masukin lagi kontol lu…” katanya sekalinya lepas Aseng junior-ku dari cengkramannya. Tanpa berani banyak bacot, aku turun dari ranjang dan memposisikan diri di bukaan kakinya yang sedikit lebih tinggi dari kasur karena pantatnya masih terganjal bantal. “Bantalnya biarin aja kek gitu…” tambahnya. Aku mengarahkan Aseng junior ke rekahan cepet merekah merah, yang masih tergenang sperma di liang sampai rahim. Pasti akan banjir bandang kalo kujejalkan Aseng junior yang sudah meradang ini. “Cepat masukin… Mau SP lu?…” sergahnya.
“Iya, kak… Ini!” dan cuss. Aseng junior meluncur masuk seperti terpeleset di perosotan water boom yang berair kental. Berbuih-buih sperma yang meluber dari lubang kelamin kak Sandra. Spermaku terdesak keluar atau terdorong menekan isi rahimnya. Habis sampai mentok Aseng junior bercokol di dalam sana dan kugoyang-goyang kecil, mengepaskan posisi dengan ganjalan bantal di sebagian besar pantat kak Sandra.
“Nah… Itu SP punya lu… Alias Surat Pepek… Hahahahahaha…” girang kali kak Sandra menertawakanku. Kakinya mengait pantatku hingga aku gak bisa kemana-mana selain menontonnya tertawa hingga toketnya berguncang-guncang. “Takut ya, lu?” tanyanya dengan senyum lebar. Ia bahagia sekali sudah mengerjaiku.
“Iya deh, kak… Asal kakak awak bahagia aja-la… Gak pa-pa-la kalau awak dikerjain kek gitu…” kataku mencelos—akting, ding.
“Belagu lu… Ayo entot wa lagi… Yang enak… Awas kalo gak enak… Wa kasih SP lagi lu ntar…” katanya dengan kakinya yang mengalung di pantatku menekan-nekan agar aku mulai bergoyang. Kuturuti maunya dan gerakanku berekskalasi jadi semakin cepat berkat licinnya arena permainan senggama ini. Buih-buih putih mengucur turun ke arah pantat dan menggenang di bantal. Tusukanku jadi berefek sangat terasa karena pantatnya lebih tinggi dari badannya. Gerusan dan gesekan Aseng junior terasa sangat maksimal di bagian rongga atas.
Erangan dan desahan kak Sandra lebih erotis dari sebelumnya. Tubuhnya kadang melonjak-lonjak merasakan nikmat yang amat sangat di liang kawin cepetnya. Dipermainkannya sendiri toketnya untuk berekspresi kenikmatan. Aku hanya fokus menggenjot dengan brutal, sesuai permintaannya. Genjotan cepat yang kuperagakan pada ronde ini. Kurasa semua spermaku yang sudah terkuras sudah cukup banyak, menggenang bergetar-getar di atas bantal—membentuk aneh seperti puding kenyal. “Aah… aauhh… uuhh… uu… uuAhh… Ahhnn… mm…”
“Kaak… Enaaak, kaaak? Cepeeet kakaaak enak kaliii, kaak!” erangku menengadah ke langit-langit terpejam. Meresapi rasa enak yang menjalari sekujur tubuhku. Seperti yang juga dirasakannya juga. Selangkangan kami berdua beradu menambah alunan suara “plok plok plok” tiap kali bertemu tepuk. Jari-jari kak Sandra memilin putingnya sendiri dengan gemas. Kala ia mengulum bibir bawahnya, liangnya mengetat erat—melakukan kontraksi nikmat yang menjepit erat Aseng junior di dalam sana.
Bergoyang-goyang pinggulnya menyambut tiap tusukan bertenagaku kala kugenjot miring ke sudut tertentu berganti-ganti. Menjelajah tiap kemiringan tusukan yang memberi implikasi nikmat tersendiri. Saat tusukan ke kanan, tubuhnya mengejat tegang hingga punggungnya melengkung. Kenikmatan tercapai dengan sukses dan giliranku segera menyusul.
Kucabut sebentar dan kubersihkan Aseng junior dari cairan lengket tak perlu, kugenjot kembali dan bersiap-siap untuk kenikmatan giliranku. Terasa menggelegak bibit-bibit spermaku, tak sabar untuk berlomba masuk ke dalam tujuan hidupnya, membuahi target. Kaki kak Sandra yang lunglai kupegangi sebagai basis gerakanku mengejar puncak ini. Ia sudah berbaring saja dan menerima apapun yang kulakukan. Kalo disemprot sekarang yaa semprot aja.
“Uwahh… Uwaahh… Heggh… hehh… hhehh…” erangku selagi beberapa kali semburan menyemprot deras masuk ke sanubari rahim kak Sandra di ronde ini. Berkedut-kedut batang Aseng junior menyalurkan semua isi muatannya berpindah gudang. Tempat barunya. Setelah yakin tak ada yang bisa keluar lagi di kesempatan ini, kucabut Aseng junior lalu duduk dan rebah di samping kak Sandra dengan napas tersengal-sengal. Kubiarkan Aseng junior lunglai letoy berlumuran sisa sperma, kondisinya merah padam kebiruan.
Kak Sandra menarikku mendekat dan menciumi mulutku kembali. Tak peduli kalo aku masih bernapas kepayahan kek gini. Dikocok-kocoknya lagi Aseng junior. “Kaak… Break dulu-laaa… Udah gempor aku ni, kaak…” tak sanggup aku menepis usaha tangannya menstimulasi Aseng junior-ku kembali. Untung si pukimak Aseng junior gak mau naik begitu aja. Ini aku beneran gempor loh, tau kelen?
“Iyaa tau, Seng… Wa-pun capek juga… Istirahat dulu kita…” jawabnya walau masih tetap mempermainkan Aseng junior. “Ngobrol-ngobrol aja kita…”
“Kaak… Lapar…” rengekku. Gempor plus lapar berat.
“Sama… Tapi lu bisa nenen dulu sama waa…” guyonnya gak lucu.
“Gaaaak…”
Bersambung