Part #23 : Menikmati Tubuh Sandra

“Jadi… lu hamilin wa… Wa kasih sama lu tuh Pajero… Trus nanti wa resign… wa rekomendasi’in lu buat gantiin wa sama koh Asui…”

“Kakak berjanda lagi-ah…” elakku mencoba menggodanya lagi.

“Wa gak bercanda… Wa serius, Seng… Lu liat muka wa ini bercanda apa enggak… Lu hamilin wa dan wa kasih semua tadi itu…” katanya menunjuk mobil Pajero yang terlihat parkir di halaman restoran sebagai bagian dari kesungguhannya. Mukanya memang serius abis. Aku hapal air mukanya. Aku bisa membedakan saat ia pura-pura serius dan serius beneran selama bertahun bergaul dengannya.

“Wa gak masalah dihamili sama lu orang… karena sebelumnya wa udah pernah nyoba sama laki-laki lain dan gak berhasil…” sambungnya.

“Masak kakak percaya sama dewa monyet tadi itu? Biasanya kakak gak percaya yang begitu-begituan…” kataku berusaha menyanggahnya. Membelokkan kesablengan rasa yakinnya ini.

“Wa gak punya jalan lain… Wa udah coba berbagai macam cara demi tujuan wa ini… Gak ada yang berhasil… Jadi wa pikir ini salah satu cara… Kalo ini juga gak berhasil… wa tetap akan mencari jalan yang lainnya… Entah apa nantinya…” katanya lalu duduk bersandar. Seorang pelayan membawakan makanan pesanan kami. Makanan itu jadinya tak membangkitkan selera di hadapan masalah seperti ini.

Aku menghamili kak Sandra seperti aku sudah menghamili Aida? Ah. Aku bahkan gak pernah berpikir ke arah sana. Saat menggauli Aida, Yuli, Pipit, Iva dan bahkan Dani, gak pernah terlintas sekalipun melakukan hal yang sama pada kak Sandra. Karena ya itu… Dia ini kakakku. Dia idolaku. Penyelamatku. Karena bantuannya aku bisa bermimpi untuk menikahi istriku sekarang. Memiliki rumah dengan anak-anak yang ganteng dan cantik di dalamnya. Tak pernah terbersit sedikitpun melakukan hal yang tak pantas dengannya—ini malah menghamilinya.

“Kok diam aja lu… Jawab, dong?” desaknya.

“Awak bingung, kak… Kakak ini… sudah kuanggap kek kakakku sendiri… Kek kak Dedek sama awak… Masak jadi gini?” jelas aku bingung setengah mampus.

“Ah… Ga usah pake alasan itu, Seng… Wa ini masih perempuan normal kan, Seng? Lu gak tertarik liat bodi wa ini? Wa liat lu sering meratiin wa kalo pake baju yang agak kebuka gitu… Lu orang ga usah boong deh…” katanya membuka rahasia. “Ato… lu gak mau karena wa chinese ya? Sering makan babi gitu… Anak lu nantinya jadi makan yang haram-haram gitu?” katanya malah ngelantur. Eh tapi iya juga.

“Kakak ntah hapa-hapa jadi ngomongnya… Awak itu bingung kenapa kakak sampe mau punya anak dari awak… Itu aja-nya… Ga osah percaya kali sama yang tadi-tadi itu… Gak ada itu semua… Bongak (bual) aja yang besar semua tadi itu…” aku malah jadi kesal berada di kondisi terjepit beberapa dimensi seperti ini. Di satu sisi aku ingin membalas budi padanya. Di sisi lain dia adalah sosok kakak yang kukagumi. Lain sisi dia juga perlu bantuan kemampuanku. Sisi sebelah sana aku mulai membayangkan tubuh telanjangnya.

“Lu dengar sendiri tadi Dewa Kera Emas tadi bilang kalo lu bisa menghamili wa… Pendeta itu juga bilang hal yang sama… Bagi wa ini pertanda baik-loh… Wa jarang yakin sampe segininya hanya karena ada dua pendapat yang sama… Tapi keduanya yakin kalau elu bisa ngehamilin wa…” kata kak Sandra keukeuh dengan kemauannya. Aku masih terdiam. Tentu berat mengabulkan keinginannya ini. Akan jadi seperti apa hubungan kami ke depannya jika aku—menghamilinya? “Lu boleh gak percaya sama omongan dua orang tadi itu… Tapi lu harus percaya sama omongan wa… Orang yang lu anggap sebagai kakak… Wa mau lu ngehamilin wa…”

Kembali diam. Bungkam. Bahkan aku diam kala ia sudah memasukkanku ke dalam sebuah kamar di hotel kecil yang asri yang ada di pinggiran kota Pangkalan Brandan ini. Ia masuk ke dalam kamar mandi, katanya mau bersih-bersih dulu. Aku duduk terpekur di atas ranjang memandangi ujung sepatuku. Di dalam kamar mandi sana terdengar cipratan-cipratan air dari kak Sandra yang pastinya sedang membersihkan apa yang perlu dibersihkan. Menyabuni apa yang perlu disabuni. Menyegarkan apa yang perlu disegarkan.

Untuk kunikmati…

Tentu aja jantungku berdegub kencang. Bergemuruh sampai terasa sakit. Jangan-jangan jantungku terganggu karena terus merasa tegang begini. Kepalaku juga sakit karena terlalu berpikir keras bagaimana cara menolaknya. Pada Aida, Yuli, Pipit, Iva dan Dani, aku memang tidak berusaha menolak mereka, menikmati malah. Tapi kasus ini berbeda. Ini kak Sandra-loh.

Saat suara pintu kamar mandi terbuka, aku melepaskan nafas yang dari tadi kutahan. Aku gak berani menoleh ke arahnya yang berjalan ke arahku. Kamar hotel ini kecil. Ada taman luas di luar sana. Ditanami berbagai tanaman-tanaman berbunga. Hotel jenis begini kebanyakan digunakan untuk mesum short-time. Lepas hasrat dan tinggal pergi. Hmm… Kak Sandra sudah dekat. Kakinya sudah terlihat di dekat kakiku. Betisnya terlihat segar karena sudah diguyur air barusan. Seluruh tubuhnya pasti juga segar.

“Seng… Siap gak siap… Here I come!” katanya tiba-tiba memberi peringatan awal dan langsung menyerang.

“Ump…” bibirku yang pertama kali dicokoknya. Ia mengangkangi kakiku, duduk di pangkuanku yang masih berpakaian lengkap, memegangi pipiku dan berusaha bringas menciumi bibirku. Dikulum-kulumnya bibir atas-bawahku bergantian. Lidahnya mencoba menerobos masuk dan aku tak berani menatapnya. Mataku terpejam. Basah lidahnya terasa menikmati mulutku. Nafasnya terasa panas. Radiasinya membuatku juga panas. Kak Sandra memelukku erat hingga terasa payudara besarnya menekan dadaku. Ia sudah tidak berpakaian sama sekali menilik rasa yang menempel di seluruh tubuhku.

Ia berusaha menindih tubuhku hingga kami berhimpitan di atas ranjang hotel ini. Kak Sandra terus menyerang bibirku dan tangannya menggerayangi badanku, berusaha melepaskan baju kaos polo yang kukenakan. Nafas kak Sandra semakin panas oleh gairahnya. Tapi itu semua tak kurasakan. Aku terus memejamkan mata.

“Hiks…” kak Sandra berhenti. Menghentikan semua serangannya dan diam menduduki perutku. Bajuku sudah terangkat sampai ke dada. Kak Sandra terisak. “Kenapa wa jadinya kek sedang memperkosa lu, Seng? Lu ga rela? Hiks…”

Aku diam tak mau membuka mataku yang artinya akan melihat tubuh telanjangnya. “Lu gak mau bantuin wa, ya?” ia masih terisak. Terasa tubuhnya berguncang karena isakan tangisnya. Kak Sandra menangis? Perempuan tangguh itu menangis. Menangis karena aku tak mau meladeni maunya? “Malang kali nasib wa, ya? Wa udah memaksakan diri merendahkan diri begini… Buka kamar di hotel begini… Buka baju semua… Lu-nya gak mau… Hiks… Tega kali lu, Seng…” katanya tambah menyedihkan isakannya. “Pathetic…” bisiknya di dalam isakannya.

Kak Sandra memeluk kedua payudaranya dengan satu tangan sedang satu tangan lainnya sedang mengelap air matanya, memandang ke samping—aku memberanikan diri mengintip, hanya dengan membuka mataku sedikit aja. Terlihat dari sela-sela bulu mataku yang juga basah. Mataku juga lembab. Bahunya berguncang-guncang karena tangis tanpa vokal. Ya dia merendahkan dirinya demi mendapatkan tujuan ini. Merendahkan dirinya di hadapanku.

“Apa wa harus memohon dan mengemis sama lu, Seng? Kalo itu yang lu minta… wa akan memohon… wa akan mengemis sama lu… Wa ikutin semua perintah lu… Apa itu yang lu mau?” tangisannya makin kuat. Pipinya basah oleh air mata. Matanya merah dan banjir air mata. Aku masih diam.

“Baik… Wa akan ngemis sama lu, Seng…” ia beranjak dan turun dari posisi duduk di perutku. Ia menuruni ranjang dan bersimpuh di lantai menghadapku yang masih berbaring di atas kasur hotel. Bimbang. Ia semakin merendahkan dirinya sampai pada taraf ini. Sampai mengemis? Aku tidak boleh membiarkan ia melakukan hal ini. Ia wanita yang terhormat di mataku. Setara dengan ibuku, para guru panutanku, wanita-wanita terhormat di seluruh dunia… Para pahlawan.

“Aseng aku meminta padamu dengan rendah hati…” ia mulai permohonannya.

“Kak Sandra… Jangan, kak!” aku cepat-cepat turun dan mencekal tangannya. Mencegahnya untuk bersimpuh begitu di lantai yang kotor. Tempatnya bukan di sana. Ia wanita yang terhormat. Perempuan terhormat. Tidak sepantasnya melakukan hal yang rendah seperti ini hanya untuk mendapatkan perhatianku.

“Wa mau mengemis sama lu, Seng… Supaya lu mau mengabulkan permohonan wa ini… Kabulkanlah… Wa mohon sekali lagi… Ini yang lu mau, kan? Lu mau wa ngemis-ngemis kek gini, kan? Wa rela melakukan ini asal lu mau ngamilin wa…” ujarnya dengan suara parau karena tangisan penuh harapan. Aku mencekal tangannya berusaha membuatnya bangkit lagi dan tidak bersimpuh, menjura mengemis. Aku gak memperhatikan tubuhnya.

“Iya, kak… Iya, kaak! Awak mau… Awak mau, kak… Jangan begini, kak… Kakak gak boleh begini, kak… Maafin awak, kak.. Maafin…” kataku memeluk tubuhnya, mengelus-elus rambutnya. Ia masih menangis dan aku menenangkannya. Ia sampai tersedu-sedu. Kami berdua duduk deprok di lantai.

————————————————————–
“Gede juga punya lu…” pujinya saat kami duduk berdampingan di ranjang ini. Meneruskan rencana kak Sandra untuk bisa hamil dariku. Aku sudah membuka bajuku dan Aseng junior sudah menegang karena dirancapnya pelan-pelan. Celana panjangku bertumpuk di pergelangan kaki. Aku curi-curi pandang pada payudara yang menggantung besar indah di dadanya. Putingnya besar berwarna terang tetapi dengan aerola besar gelap. Kulit putih mulus panloknya sangat benderang di kamar ini plus tubuh lumayan berisinya. Binor ini lebih berumur dari padaku, seumuran Yuli.

“Punya kakak juga gede, tuh…” kataku menunjuk dengan gerakan dagu.

“Eleh… Tadi sok nolak… Ngaceng juga lu liat toket wa…” katanya tidak terisak lagi. Walau matanya masih sembab.

“Tadi kan awak merem, kak? Takut tadi ceritanya anak mudanya… Diperkosa cici-cici pajak (pasar) Petisah… Awak, kan masih ijo, kak?” candaku agar ia kembali ke mood awalnya. Tidak sedih lagi karena sempat kutolak. “Aduuh… Sakit, kak… Jangan keras-keras…” diremasnya Aseng junior dengan kuat sampai aku menjerit tadi.

“Lu sih sok jaim… Timbang disuruh bantuin mbuntingin kakaknya aja belagak gak mau… Lu kan ngerasain enak juga… Macam wa gak tau aja tingkah lu di kantor sama Dani…” tembak kak Sandra. JLEGERR!!

“Heh?” ketat langsung mukaku saat ini. Dani?

“Iya… Gak usah pake kaget gitu… Wa tau… lu masuk ruang Meeting ato gudang kira-kira 2 menit abis Dani masuk… Lu bedua keluar lagi kek gitu–ganti-gantian 1 jam kemudian… Ngapain lagi kalo gak gituan…” kata kak Sandra santuy terus merancap Aseng junior-ku pelan-pelan.

“Dari CCTV, ya?” bisikku mati kutu. Aku gak berani lagi melirik toketnya yang bergerak-gerak sesuai gerakan tangannya di Aseng junior. Ambyar ini semua. Ternyata aku dipergoki masuk ke sana oleh kak Sandra. Hanya CCTV tebakanku karena di ruangan kak Sandra sebagai Factory Manager ada monitor CCTV itu untuk memantau keseluruhan unit pabrik. Di office juga ada beberapa walau tak seketat lapangan. Itupun jarang dipantau karena jarang ada kejadian luar biasa.

“Ya… Mloohh… Enak burung-lu… Gedenya pas…” tanpa bisa kucegah lagi, kak Sandra sudah menyaplok Aseng junior dan mulai mengemutnya. Aku memundurkan tubuhku agar ia mudah mengeksplor Aseng junior. Lidahnya menari-nari gesit berputar-putar di kepala Aseng junior sampai kuyup. “Lu gak usah takut… Rahasia lu aman deh sama wa… Tadi wa kan gak pake itu buat ngancam lu…” katanya fair. Benar juga. Ia malah memilih merendahkan dirinya dengan memohon–bahkan mengemis agar ini bisa terjadi. Padahal ia bisa menggunakan skandalku dengan Dani untuk mendapatkan ini dengan mudah. Ala-ala kriminal gitu, tapi tidak dilakukannya.

“Makasih, kak…” jawabku mulai menikmati rasa enak di Aseng junior-ku yang terasa nyaman.

“Wa juga senasib sama Dani, kan? Sama-sama belum punya anak…” katanya berhenti sebentar menggelomoh Aseng junior lalu melahapnya lagi. Ditelannya seluruh batang Aseng junior semampunya–menahan nafas untuk beberapa detik lalu lepas. Lidahnya kemudian mengait batangku, menelusurinya naik turun. Aseng junior sudah kemerahan penuh dengan birahi. “Siapa tau kami berdua bisa berhasil hamil dari lu…”

“Kaakk… Enak, kak… Gitu, kak… Uhh… Mmm…” desahku tak lagi khawatir tentang masalah Dani karena kak Sandra juga sedang melakukan hal yang sama dengan kepala PPIC berhijab itu. Kepalanya naik turun cepat merancap Aseng junior dengan kekepan mulutnya ditambah kocokan tangan di bagian pangkal. Ko Amek pasti sering mendapat servis ini dan gak puas? Paok kao ko Amek.

Selagi menjilat-jilat bagian bawah batang Aseng junior, tangannya mengutik-utik kantong pelerku. Juga terusan saluran yang menuju anus. Rasanya nyaman sekali. Aku sampai mengangkat kakiku lebar agar kak Sandra bisa mengakses semuanya. Dijilat-jilatnya kemudian peler keriputku tanpa rasa jijik sedikitpun. Malah sangat menikmatinya sambil terus merancap batang Aseng junior. Dikulumnya pelan-pelan penuh penjiwaan dan kehati-hatian penuh agar tidak terasa ngilu saat bola peler itu dipermainkannya. Ia melakukannya sepenuh jiwa.

Sudah kepalang basah begini, aku juga tidak mau tanggung-tanggung. Apalagi kami berdua sudah saling berbugil ria. Dua orang dewasa yang sama-sama sudah setuju dan punya keinginan yang sama walau berbeda motif. Kak Sandra bermotifkan keturunan, aku… bermotifkan kenikmatan. Yaa… Cuma itu yang kudapat. Eh. Ada bantuan. Dengan ini aku bisa membantu kak Sandra, orang yang sudah membantuku selama ini, mendapatkan keturunan yang sangat dinantinya.

Aku harus menyentuhnya. Dengan sedikit membungkuk, aku menjangkau satu toketnya yang bergantung. Terasa lembut dan kenyal. Tak lama karena aku memasuki satu dimensi asing. Aku sudah antisipasi ini. Pastinya ada gangguan yang menyebabkan kak Sandra menjadi seperti ini. Segala macam daya upaya sudah dilakukannya agar dapat hamil dan itu semuanya selalu memakai yang terbaik. Disini masalah itu. Masalah dengan dua kaki dan dua tangan dan satu ekor panjang.

Begini ternyata bentuk aslimu. Tipuanmu tak mempan padaku. Ia berdiri di salah satu puncak bukit batu padas yang berjejer acak, menjulang menunjuk langit. Ia memegang dua buah gada di kedua tangannya. Gada besar bergerigi, pasti akan sakit sekali terkena hantaman senjata tempur andalannya. Berbeda dari pakem yang seharusnya tongkat emas yang bisa memanjang, menampakkan siapa kau sebenarnya, Dewa Kera Emas.

Menyaru dan meniru Sun Go Kong yang memakai simpai emas, siluman monyet ini terkikik-kikik mengejekku. Ia pamer kekuatan dengan berlompatan satu bukit ke bukit padas lainnya. Arena ini ternyata berbentuk lingkaran dan ia memutariku dari atas bukit itu. Aku mengancingkan kembali celana panjangku. Bakiak Bulan Pencak andalanku sudah kupakai di kedua kakiku. Siap sedia begitu ia, sang lawan mulai menyerang.

“Dewa?… Berani kali kau pakek nama Dewa di namamu… Yakin kau kekuatanmu setara Dewa? Kau hanya menipu orang-orang saja-nya…” kataku membuka dialog dengannya. “Bagus kau maen gitar aja kek Dewa Bujana itu… Pas dia jadi Dewa gitar kurasa…” kataku asal jeplak aja. Monyet itu masih pecicilan lompat sana-sini sambil garuk-garuk. Banyak kali kutunya kurasa.

“Dan kau juga gak cocok pake nama Kera… Salah itu etimologinya… Kau itu monyet bukan kera… Kera itu gak ada ekornya… Ekormu itu panjang gitu…” kataku mengikuti kemana bergerak. kearah sana aku menghadap. “Dewa Monyet Emas… Gak-gak… Dewa Monyet aja… karena senjatamu itu bukan emas… Simpai-mu juga tiruan…” kataku mencoba menarik perhatiannya. Ia terus memprovokasiku seperti yang juga kulakukan padanya ini.

“Kamu kira aku akan terpengaruh sama ucapanmu itu? Dasar tidak tahu berterima kasih!” sahutnya. Diluar dugaan. Monyet ini berbicara dengan nada sopan dan teratur. Seperti seorang yang terpelajar dan tau sopan santun. Mungkin-mungkin dia ngerti table manner. Ia telah turun dan berdiri tegak seperti manusia walau kakinya sedikit pendek dan bengkok huruf O.

“Wah… Ada yaa… monyet kek kau ini… Menguasai satu pekong gitu dan mengambil keuntungan begini… Tunggu aku tidak tau apa… keuntungan apa yang kau dapat dari membuat kakakku ini tidak bisa hamil?… Lalu menyuruhnya memaksaku menghamilinya… Itu sangat kontradiktif sekali… Tunggu kenapa aku malah ngobrol intelek gini sama monyet, ya?” aku garuk-garuk kepala sendiri.

“Itu kenapa kau seharusnya memanggilku dengan sebutan Dewa… Karena aku memang Dewa… Aku dapat mengabulkan banyak permintaan orang-orang yang percaya padaku… Mereka dapat harta yang berlimpah… Jabatan yang tinggi… Posisi basah… Proyek yang besar… Apa saja… mintalah padaku… Akan kukabulkan semuanya… Dengan harga yang pas tentunya…” bongkarnya sendiri akan metodenya. Tumbal.

“Kau mengambil anak-anak orang yang datang meminta padamu…” simpulku. Rahangku mengetat.

“Tidak dengan terang-terangan tentunya… Aku hanya minta derma saja… Lagipula aku ini Dewa, kan? Dewa tidak perlu makan daging manusia… Cukup derma yang menolong sesama… Samarkan dengan sakit… kecelakaan… pembunuhan… Dan aku tak tersentuh… Tidak ada yang mengira aku pelakunya… Siapa yang mengira Dewa tega melakukan itu semua? Tidak ada… Cerdas bukan?” katanya sambil mengetuk-ngetukkan kedua gada itu ke tanah berbatu. Ekor panjangnya berkibas-kibas santai berjuntaian.

“Kapan kau mengambil anak kak Sandra? Dia belum pernah hamil…” tentu saja aku penasaran.

“Ah ha ha ha… Kalau perempuan ini… aku bukan yang pertama… Dia bukan seorang klien yang percaya padaku… Pertama kali dia datang bukan sebagai klien… Hanya menemani pria tua itu… Bos kalian, kan? Aku sudah mengambil dua anaknya… Yang satu tewas karena bermain olahraga gak lazim di luar negeri, Inggris sana… Polo namanya… Orang kaya raya seperti mereka mainannya pasti harus berbeda dari orang kebanyakan seperti kau… Kepalanya diinjak seekor kuda saat terjatuh… Sangat disayangkan… Padahal potensinya sangat besar… Lalu yang kedua tewas karena diperkosa temannya beramai-ramai saat liburan… Ada dua lagi anaknya yang kuincar… Aku menunggu waktu yang tepat…” ia membeberkan semua rahasianya. Aku ingat semua tragedi itu. Pak Asui sangat berduka saat anak pertamanya yang kuliah di negeri Ratu Elizabeth itu pulang tanpa nyawa karena kecelakaan olahraga itu. Tragedi kedua, aku tidak tau persis. Ternyata karena diperkosa rupanya. Dan dua lagi sedang diincar. Rahangku semakin ketat.

“… Sandra ini muncul di hadapanku sudah dengan masalah sendiri… Ada siluman lain yang sudah mendahuluiku… Siluman laba-laba merah… Ia diikuti sejak masih muda… Kehidupan masa mudanya sudah liar walau berprestasi… Gonta-ganti pasangan sudah bukan hal baru baginya… Siluman laba-laba merah itu memakan semua bibit laki-laki yang memasukinya… membuatnya mandul sejak dulu… Dia-lah sebenarnya yang membuat perempuan ini mandul bukan aku… Laba-laba itu penyuka energi pria dalam bentuk murni… sperma… Ia selalu mempengaruhi perempuan ini untuk bersenggama tanpa pengaman…”

“Lalu kemudian Sandra datang di hadapanku… Kumusnahkan siluman laba-laba merah itu karena berani bertingkah di hadapan Dewa…” ia melemparkan seonggok bangkai mahluk yang membusuk di hadapanku. Berkaki banyak bak laba-laba yang berbulu lebat berwarna merah sedikit aksen hitam dan gelang-gelang putih . Ini untuk meyakinkanku kalau ia memang kuat bisa mengalahkan siluman perkasa yang dianggapnya biasa aja. Inferior dibanding kekuatannya.

“Dan kau berani datang di depanku… di depan Dewa yang perkasa… Mempertanyakan kekuatanku? Haah! Terlalu cepat 500 tahun bagimu… seorang Menggala abal-abal sepertimu untuk tidak tunduk di hadapanku… Bangkit!” serunya tiba-tiba memukul sebelah gadanya ke tanah. Rengkahan tanah menjalar ke arah bangkai siluman laba-laba merah itu. Bergetar bangkai itu sebentar lalu kaki-kakinya yang berjumlah 8 bergerak skeletal, meluruskan posisi sendi pada posisi normalnya semula dan berdiri. Badan laba-laba berkaki banyak dan perut besarnya dengan penanda tengkorak, ternyata ada tubuh humanoid-nya yang bergerak ke posisinya. Bertubuh perempuan yang sudah membusuk yang sangat menyeramkan. Dulunya mungkin agak sedikit menarik melihat payudara besarnya gondal gandul tak berpenutup beserta kulit pucat segarnya. Sekarang ungu menyedihkan dengan banyak bekas luka menganga.

“Sebelum mati… aku sempat bersenang-senang dengannya… Tapi aku bosan… Liat hasilnya…” ujarnya sombong. “Bersenang-senanglah dengannya juga…” ia menggerakkan gada itu dan bangkai siluman laba-laba merah itu bergerak maju menyerangku bak zombie lapar. Whoa! Siluman monyet satu ini tidak main-main rupanya. Tangannya yang berkuku tajam menggapai-gapai hendak mencakarku. Untung saja ini zombie—siluman mati yang digerakkan satu kekuatan ghaib dari siluman monyet itu, gerakannya jadi tersendat karena ternyata ada dua kaki laba-labanya yang rusak parah. Patah dan menjuntai rusak.

“Segininya kau memperlakukan sesama siluman… Kau memang tak perlu dikasihani…” aku kembali memakai fitur Call a Friend kali ini. Aku memanggil Guntur Setiono bin Ahmad Guntur bin Tjokro Guntur bin Krama Guntur. Secara ghaib pula muncul teman yang kupanggil ini.

“Eh? Seng? Ah… Kau?… Aku lagi makan, nih…” katanya dengan posisi seperti menungging karena tadinya sedang duduk di suatu tempat, sedang makan siang entah dimana. Tangannya juga seperti sedang memegang sendok hendak menyuapkan makanan ke mulutnya.

“Yon… Sori, Yon… Sedang perlu bantuan nih… He he he… Sori ya kawanku yang paliiiiing baek sedunia akherat…” kataku merayu agar dia tidak marah-marah. Dalam kelompok kecil kami–Trio Ribak Sude, Guntur Setiono ini menjadi pemimpin tak resminya. Bukan karena paling kuat atau paling jago berkelahi atau juga paling tua diantara kami bertiga, karena ia sering menjadi motor penggerak atau pemberi ide kemana kami harus melangkah. Sehari-harinya ia adalah seorang supir seorang bos besar Grup BSCA, salah satu bos utama perusahaan itu yang bernama Buana. Ia menyupiri bos besar itu kemana-mana, bahkan sampai ke luar negeri kalau sang bos sedang ada urusan di sana. Memang dia hanya supir, tapi bukan sembarang supir. Nanti kalian liat sendiri.

“E-yoow… Ish… Ada zombie pulak!” ia langsung meloncat kaget dan menjauhi zombie siluman laba-laba merah itu mendatangi kami. “Ah ada-ada aja-pun kau, Seng… Orang lagi makan-pun kau panggil… Ilang selera makanku jadinya…” katanya sambil gidik-gidik geli melihat zombie yang rusak dan berbau busuk dari luka-luka tubuhnya itu. Melihatku sudah memakai bakiak Bulan Pencak di kedua kakiku, ia juga mengeluarkan senjata utamanya. Sebuah cambuk yang panjangnya sekitar satu setengah meter. “Siluman monyet itu, ya?” tanggap Iyon begitu menyadari ada mahluk lain di sebelah sana.

“Ya… Kau mau yang mana? Zombie ato monyet itu?” tanyaku memberinya pilihan.

“Abis ini aku masih mau makan… Yang monyet aja…” katanya lalu berlari ke arah siluman monyet dengan menyeret cambuk itu. Larinya tidak terlalu cepat dan siluman monyet itu menyeringai licik karena sepele dengan sahabatku itu. Tak lama aku tidak boleh hilang fokus dan harus segera mengatasi zombie siluman laba-laba merah ini.

Sebagai zombie, ternyata mahluk mati ini hanya mencakar-cakar–memanfaatkan cakar runcing di kedua tangannya. Walau begitu repot juga menghindari semua sabetan cakar itu. Disamping ketajamannya, belum lagi racun akibat bakteri yang ada di tubuh membusuknya. Bisa-bisa aku terkena tetanus atau apapun kalau tergores sedikit aja. Lagi-lagi bakiak Bulan Pencak kupakai di tangan untuk menangkis semua sabetan cakar itu. Kekuatan bakiak andalan ini dapat diuji ketangguhannya kalau menghadapi serangan semacam ini. Selagi menangkis, aku juga menilai bentuk tubuh mantan siluman ini untuk menaksir titik lemahnya. Aku bisa memanfaatkan bentuk serangga berkaki delapan ini.

“YOOON!! MINTAAA DAUUUNN!” teriakku pada Iyon yang sedang sibuk bertarung dengan siluman monyet itu di sana.

“Nah!” ujarnya cepat dan memberikan apa yang kupinta. Tapi gak gini juga kaleee…

“Kimak kau, Yooon… Ini daun pintu… DAUN BENERAAAN!!” kataku memaki temanku yang tertawa tergelak-gelak di sana.

“Ngomong yang bener-lah kauuu… Kau minta daun apaaa?” teriaknya masih mengibas-ngibaskan cambuknya pada siluman monyet itu. “Daun telinga mau kauuu?” terdengar jeritan pilu siluman monyet yang mengaku dewa itu. Sekelebat kemudian Iyon menyerahkan sebuah kuping monyet yang masih berdarah segar di tanah di hadapanku.

“KIMAK KAU, YAAA!!! MANA BISA KUPING MONYET KUPAKE!!” makiku lagi sambil tersenyum geli juga. Iyon memapas sebelah kuping Dewa Kera Emas itu tanpa ampun. Siluman monyet itu menjerit meraung-raung sambil memegangi sisi kanan kepalanya yang tak memiliki kuping lagi. Darah mengucur deras dari sana.

“Nah… Ini…” berhamburan berbagai macam daun seperti hujan di atas kepalaku. Ada yang berukuran kecil, ada yang sedang, ada yang besar juga. Ini komplit. Bak restoran, ini restoran All You Can Eat. Kalau cabe pedas ini namanya cabe rawit. Kalau bagian tubuh ini namanya silit. Paok!

Sebuah pelepah daun kelapa yang kupilih. Daun dan lidinya bisa menjadi senjata yang sangat ampuh. Dua buah helai daunnya menjadi pedang panjang nan tipis mirip anggar di tanganku. Sontekan lompatan bakiak Bulan Pencak membuatku melambung kencang saat membabatkan pedang daun kelapa ini pada zombie siluman laba-laba merah ini. Gempuran cepat ini tak ayal lagi membuat bangkai siluman itu menjadi bulan-bulananku. Tidak perlu mengasihani bangkainya juga karena semasa hidupnya juga ia sudah banyak melakukan kejahatan hingga bangkainya-pun masih bisa melakukan sesuatu yang jahat semacam ini.

Kedelapan kaki laba-laba-nya terputus menjadi beberapa potongan rapi berkat tajamnya sepasang pedang daun kelapa ini. Ia tak dapat bergerak lagi dan memaksakan merangkak dengan bantuan tangannya yang mencakar tanah. Melambung tinggi lagi dan berencana mendarat tepat di pungungnya, menyiapkan jurus andalanku, Gugur Glugur!

“BROOOKKHH!!” hantaman dua buah bakiak Bulan Pencak telak menghancurkan punggung serangganya. Beberapa isi bagian dalam tubuh siluman serangga itu mbrojol dari beberapa sisi tubuhnya. Isinya berwarna coklat tua dengan bau yang sangat busuk. Ia bergerak-gerak menyedihkan sebelum kupenggal kepalanya. Kita semua taunya kalo ngebunuh zombie dengan cara memotong kepalanya. Itu juga yang kulakukan, zombie siluman laba-laba merah ini diam tak bergerak lagi.

Iyon masih bertarung dengan siluman yang mengaku Dewa Kera Emas itu. Ia menghindari hantaman sepasang gada milik siluman itu. Siluman itu meradang marah karena telah kehilangan sebelah telinga. Sesekali Iyon melecutkan cambuk yang dipegangnya untuk menangkis hantaman gada. Aku tau gaya bertarung Iyon dan aku melihatnya sedang mengulur waktu. Jangan-jangan…

“Kau udah siap, kan? Ayo!” tiba-tiba dia sudah ada disampingku dan menarikku. “Siuut!” kami sudah ada di depan siluman monyet itu. Tepat saat monyet itu menghantamkan gadanya ke arahku. Tak perlu pikir panjang, refleks aku menangkis dengan dua pedang tipisku.

“Trang!!” suara nyaring dua senjata keras beradu kekuatan. “Guh!” tekanan pukulan gada itu sangat kuat. Pedang yang kupakai tertekan hampir mencelakaiku sendiri karena terdorong hampir melukai mukaku. Berpikir cepat dan kutendangkan kakiku yang memakai bakiak Bulan Pencak, kaki kananku yang di posisi depan kuda-kuda menghantam perut siluman monyet itu. Tidak! Dia sempat menahan dengan gada yang satunya. Kami berdua melompat mundur. Monyet ini jago berkelahi ternyata. Karena itu Iyon tidak bisa cepat menyudahinya.

“Kau liat, kan? Jago dia berantem… Kau enak dapat zombie yang gak pakek otak… Cuma haaahh… haahh aja…” kata Iyon meniru gerakan zombie yang sedang meradang minta makan daging segar.

“Kan kau sendiri yang milih monyet itu…” alasanku. “Kau lagi ngerencanain apa? Keknya lagi ngulur-ngulur sesuatu…” tanyaku kepo. Pasti dia sedang melakukan itu dengan kemampuannya.

Matanya bergerak ke atas dengan cepat, seolah takut rahasianya ketauan sama lawan. Aku melirik ke arah kemana matanya bergerak tadi. OH MY GAES! Ada beberapa buah batu besar nangkring di atas sebuah bukit yang mengitari tempat ini. Batu-batu itu seperti hidup dengan membentuk raksasa batu yang lengkap kepala, badan, dua tangan dan dua kaki. Ternyata batu-batu pembentuk raksasa batu itu merupakan bekas potongan dari bukit-bukit batu itu sendiri. Entah kapan ia memotong bebatuan bukit itu selama pertarungan tadi? Gak ding. Aku tidak perlu tau kapan ia melakukan itu karena itulah kemampuannya. Seperti juga dari mana ia mendapatkan daun pintu sialan itu? Daun-daun berjumlah banyak itu? Dia bergerak sangat cepat? Apa yang dilakukannya?

Namanya adalah jurus B3. Bukan berbau, beracun dan berbahaya itu. Kepanjangannya adalah Bayangan Bunga Bujur. Ini semacam jurus teleportasi. Ia bisa kemana saja sejauh imajinasinya. Ia bahkan bisa keluar masuk dimensi kekuasaan siluman monyet ini sesuka hatinya dan mengambil pintu tadi dari satu tempat, atau mengambil dedaunan itu di satu tempat lain, apalagi kalau hanya berpindah ke belakang monyet itu dan memotong kuping kanannya. Dengan cara itu pula, ia memotong-motong batuan bukit dan menjadikan mereka sebagai raksasa batu yang bergerak kikuk seolah akan melakukan lompatan dari puncak bukit. Menjatuhkan tubuhnya ke arah apapun yang ada di bawah.

“Tigaa!” teriaknya dengan sangat kurang ajar dan menghilang dengan mudah. Harusnya itungannya dari satu dulu, kan? Ini langsung tiga! Kimak memang si Iyon ini. Aku yang kelabakan dengan menghentakkan bakiak Bulan Pencak-ku agar aku melesat melompat jauh menghindari runtuhan raksasa kikuk itu dari puncak bukit. Tepat waktu aku menjauh dari gemuruh berderak-derak batuan raksasa yang rengkah akibat menghantam bumi. Menggencet siluman monyet di bawahnya yang bahkan tidak sempat tau apa yang telah luruh di atas kepalanya. Kepulan debu tebal menutupi semua kejadian ini. Aku bergantungan pada satu batu padas yang menjorok keluar dari pertengahan satu bukit tempatku bertengger menyelamatkan diri. Menyaksikan kedahsyatan siasat yang telah dilancarkan Iyon untuk membasmi siluman monyet itu.

“Kimak kau, Yon! Gak bilang-bilang kau pakek cara itu lagi… Hampir copot jantungku kau buat…” kataku menghampiri Iyon yang sedang melakukan sesuatu pada batu-batu yang telah diperintahnya membentuk raksasa batu tadi—sisa-sisa raksasa tadi.

“Kalok kubilang dulu gak seru-lah… Paok kali kau…” katanya setelah menghapus beberapa tanda yang telah dibuatnya di batu itu. Batu-batu itu berhenti bergerak. “Yang penting kan udah mampos itu monyet… Eh… Kapan kita kumpul-kumpul lagi? Dah lama kita gak ngopi lagi… Kapan terakhir kau jumpa Kojek?” ia tiba-tiba membelokkan topik.

“Kau aja-nya yang sibuk kali… Bentar-bentar kau lagi di Belanda… Lagi di Amerika… Lagi di sini… Disana… Kami-kami ini masih di sini-sini aja-nya… Gak kek kau luar negri tros mainannya…” manyunku mengejeknya. Ia hanya cengengesan.

“Namanya juga kerja, Seng-Seng… Kek gak kerja kantoran aja-pun kau-ah… Cuma si Kojek aja yang kerja bebas kek gitu ngurusin pinahan (piaraan)-nya…” katanya membela diri.

“Aku sempat dua kali manggil Kojek kek gini…” kataku mengingat teman kurus kami itu. Pertama di pertarungan di hutan bambu, ia menghanguskan seluruh hutan itu menjadi arang. Kedua di pertarungan melawan siluman pohon beringin itu, ia menelan semua mahluk ghaib yang ada di sana sekaligus.

“Siapa yang sedang kau lawan ini, Seng? Musuh lama atau musuh baru…” tanya Iyon.

“Keknya hanya dukun-dukun iseng sama siluman-siluman biasa aja… Gak terlalu gawat, sih… Tapi yaaa… tetap perlu bantuan kalian juga kalo awak sedang terdesak…” jawabku sekenanya. “Tapi betol, yaa… Nanti kita ngumpul lagi bertiga… Kojek udah suntuk kali itu di kampung cuma maen babi sama si Tiur aja kerjanya… Kemana kita gitu kek pake B3-mu itu…” kataku mendesaknya agar kami bisa berkumpul. Sekedar nostalgia ato apa gitu.

“Iyalah… Terakhir kita ngumpul waktu aqiqah anakmu yang paling kecil itu, kan? Udah bisa apa dia? Siapa namanya?” ingat Iyon samar-samar.

“Salwa… Udah bisa merangkak dia sekarang… Mau belajar jalan-lah bentar-bentar lagi…” jawabku.

“Iya-iya… Anakmu udah dua aja… Si Kojek malah udah empat… Anakku masih satu aja dari dulu… Mungkin karena aku kebanyakan kerja ya?” katanya sambil garuk-garuk kepala. Cambuk yang menjadi senjata andalannya lalu disimpan sebagaimana bakiak Bulan Pencak-ku juga. “Ada tempat enak yang gak bisa digantikan kapanpun… Kede kopi bapakmu, Seng… Walau sederhana tapi nyaman untuk kita semua… Gak ada yang neruskan kede itu, ya?” tanya Aseng.

“Gak-lah… Mamakku-pun gak pande buat kopi seenak bapakku… Pensiun aja dia… Kakakku ikut lakiknya… Adikku ini sedang dijodohkan sama orang kampung kami juga…” ceritaku sedikit.

“Selvi dijodohkan? Kok mau dia?” heran Iyon.

“Dah lama jomblo cemana-la… Akhirnya nyerah juga dia… Minta dicariin malah kalo dengar cerita dari kak Dedek…” Lah… Kami malah ngobrol di sini.

“Ah… Cocok kali kalo gitu… Pake pesta kan kalo gitu? Nanti kita ngumpul pas pesta Selvi aja? Cocok kau rasa?” simpul Iyon khas idenya. Ia memang teman yang baik dalam segala hal. Ia selalu ingin menyatukan kami dalam segala kesempatan.

“Cocok-cocok… Nanti kukasih tau tanggalnya, ya…”

—————————————————————————————-
“Remas yang kuat, Seng…” bisiknya di sela permainan mulutnya yang masih menelan Aseng junior-ku. Terakhir kali aku meremas sebelah toket kak Sandra sebelum memasuki dimensi kekuasaan si siluman monyet yang sudah sukses dibasmi dengan taktik jitu Iyon. Sembari meremas, jariku mengutik-ngutik puting besar tegangnya yang terasa menggemaskan.

“Kak… Dengar yaaa, kak? Uuhh… Mm… Enak, kak… Yaahh… Itu… Kalo betul kakak seriussshhh… Mmm… Awak mau buaat perjanjian duluuu sama kakak… Mau dengar, kaaak? Aahhss…” kataku tidak boleh melupakan ini.

“Nanti aja… Siap ini aja itu…” tundanya tak sabar.

“Gak bisa nanti, kaaak… Harus sekarang juuuga… Sebeluuum jauh…” kataku mendesaknya.

“Ya udah… Apa? Perlu materai gak?” sahutnya terus sambil merancap Aseng junior yang sudah menegang meradang.

“Cuma salaman aja udah cukup, kaaak… Aahh… Brenti dulu, kaaak… Uuh…” ia tak kunjung membiarkan Aseng junior-ku nganggur. “Dengerin ya… Hanya ada tiga pasal perjanjiannya…”

“He-ehmm…”

“Pertama mengenai hubungan. Jadi hubungan kita hanya sebatas ini saja. Tidak akan bertambah atau berkurang. Tidak ada hubungan yang emosional berlebih… Pendeknya gak pake perasaan sama sekali… Jadi mulai sekarang kakak gak boleh pake cium-cium awak lagi… Awak cuma membantu kak Sandra sampai hamil saja… Tidak lebih… Paham, kak?” kataku tentang pasal pertama. Ia masih memegangi Aseng junior dan duduk berjongkok di antara kakiku.

“Tunggu-tunggu… Gak boleh cium-cium itu terlalu berlebihan, Seng… Wa gak mau terima kalo gak boleh cium-ciuman… Ngentot kok ga boleh pake ciuman… Apaaa itu?” protesnya. Aku kaget karena ini kali pertama ada yang protes pada perjanjian yang kubuat.

“Supaya gak ada perasaan lain, kak… Awak rasa kalo ciuman itu urusannya pribadi kali… Nantinya awak takut ada perasaan lain gara-gara itu… Gitu, kak…” jelasnya tentang asal muasal dibentuknya pasal tentang hubungan ini.

“Gak! Gak ada itu… Ciuman ciuman aja… Wa gak akan kebawa perasaan sampe jatuh cinta sama lu orang… Selebihnya wa setuju… Lanjut yang kedua…” putusnya. Memang businesswoman sejati kak Sandra ini. Ia bisa menegosiasikan hal seperti ini dengan mudah. Aku hanya bisa manyun.

“Kedua tentang kepercayaan… Kita berdua tidak boleh membicarakan tentang hal ini pada orang lain… Ini hanya urusan kita berdua aja… Dua pihak aja… Sedikit tambahan… kakak gak boleh… itu… selingkuh sama laki-laki lain… siapapun… Sori, kak… Semoga kakak paham…” kataku agak takut-takut membeberkan pasal kedua ini. Takut ia marah kalau ia pernah melakukan hal serupa ini dengan orang lain.

“Yaa… Wa paham. Wa gak mau ngeralat yang ini… Ini ada benarnya… Lagian ngapain juga wa selingkuh lagi kalau wa udah punya anak… Make sense, kan?” jawabnya setuju. Aku lega mendengarnya. “Wa tau maksud lu apa… Lu gak mau wa ngebesarin anak lu yang wa-nya menclok sana menclok sini sama laki-laki sembarangan, kan? Paham wa itu…” tambahnya. “Plus… Wa mau nambahin juga… Wa gak akan ngasih anak ini makanan yang haram seperti yang lu percaya… Jadi wa ga akan ngasih anak ini makan babi sama temen-temennya biar lu gak was-was sekalian… Lu orang boleh ingat janji wa ini sampai kapanpun…” sampe segitunya kak Sandra untuk menghargai bantuanku ini.

“Makasih ya, kak… Yang ketiga ini tentang masa depan… Ini yang awak rasa paling penting, kak… Karena ini menyangkut masa depan anak ini nantinya… Anak ini walau bagaimana adalah anak kakak dan ko Amek karena kalian berdua yang membesarkannya… Cara merawatnyapun awak serahkan sepenuhnya sama kakak… Mau kakak jalanin janji tambahan kakak tadi awakpun terimakasih kali…” kataku mantap kembali di perjanjian terakhir ini.

“Ya… Wa janji merawatnya sebaik mungkin… Semuanya wa curahkan kepadanya… Lu gak khawatir akan kualitas hidupnya… Lu pegang omongan wa ini… Udah semua, kan?” katanya yang tak kunjung melepas Aseng junior dari tadi. Dirancapnya kembali Aseng junior agar tetap greng dengan remasan kuat sampai urat-urat di sekujur batangnya bertonjolan kasar.

“Udah, kak… Cuma tiga aja…” kataku lalu mengangsurkan tanganku untuk deal perjanjian ini. Dilepasnya Aseng junior untuk menyambut tanganku. Genggamannya kuat dan mantap, diguncangnya tanganku dengan senyum lebar seakan paham apa arti sebenarnya perjanjian ini. Pada dasarnya perjanjian ini tidak jauh beda dengan perjanjian-perjanjian bisnis yang selama ini sudah dilakoninya. Ada makna yang lebih dari simbolis dan sakral di sana. Perjanjian antar dua manusia untuk saling mematuhi isi pasal-pasal di dalamnya. Perjanjian suci.

“Udah, yaa? Tiga aja?” katanya memastikan kembali lalu bergerak lebih merapat. Ia kembali memposisikan dirinya ke posisi awalnya, menduduki pangkuanku. Aseng junior tepat ada di perutnya. “Kalau begitu… kita bisa mulai maen beneran…”

Bersambung

Foto bugil pengantin baru yang sexy pakai CD transparan
cantik suka kentut
Mbak ayu tetanggaku yang suka kentut waktu ngentot
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
lesbi cantik
Naluri lesbiku mulai dari khayalan foto duo srigala
atasanmaniak
Ngentot dengan atasan yang sexy dan hyper sex
Burung Jalak
gadis bandung
Nonton film panas dengan laras rekan kerja ku yang pengertian
Ngewe Dengan Cewek Mabuk Di Club Malam
Cantik montok Masturbasi
Emang Paling Nikmat Masturbasi Sambil Mandi
Foto Sperma Dicrot Diatas Memek Tante Jablay
adik sepupu polos
Mengajari petting adik sepupuku yang masih polos
pembantu genit
Aku di bikin konak oleh pembantu genit tetanggaku
tante anak hyper
Menikmati tubuh tante hyper dan anak nya yang sexy
Foto memek mulus guru smp bersih tanpa bulu
wanita misterius
Cerita sex pertemuanku dengan wanita misterius
Cerita Sex Janda Yang Udah Lama Gak Dipuasin