Part #22 : Aku ngecrot sepuas-puasnya
Masih memakai kostum merah tadi, aku dan Pipit kembali bergumul dua kali malam itu sampai jam 2 lewat. Aku ngecrot sepuas-puasnya di témpek mungilnya dan mereguk kenikmatan bareng Pipit di kamar itu. Ia melepasku gak rela sebenarnya, terlihat dari pandangannya saat melepasku pergi dari kamar itu. Pengen rasanya aku masuk kembali dan memeluknya lagi. Memuaskannya kembali sampai ia terlelap lalu aku bisa pergi dengan tenang. Aku mengabaikan perasaan itu. Ingat perjanjian; No Baper-Baper.
Aseng: Ping
Iva: jadi bg?
Aseng: lewat mana masuknya?
Iva: lewat belakang aja. bntr Ipa bukain dulu. asiiik
Langsung kuhubungi Iva dan ia langsung ready. Ternyata ia benar-benar menungguku. Entah apa yang dilakukannya selama menunggu ini. Kemungkinan besar nonton TV atau browsing-an internet karena ia langsung cepat respon ping-ku barusan. Dari samping rumah Pipit aku beranjak ke bagian belakang. Inilah gunanya aku sering jalan-jalan bareng anak-anakku jadi aku tau persis jalan pintas lingkunganku ini. Kalo MILF lingkungan lain aku mungkin akan kesulitan tanpa observasi permulaan.
Lagi-lagi lampu belakang sudah dimatikan sang empunya rumah. Memudahkanku masuk dan mengurangi kecurigaan siapapun. Begitu masuk kututup rapat pintu dan bergerak ke depan karena ini adalah area dapur. Iva sudah menunggu di depan pintu kamarnya. Rumah ini yang paling luas adalah ruangan tamunya, dimana wayang kulit Prabu Pandu Dewanata itu berada yang terlihat jelas dari kede di samping ruangan itu. Wayang itu sekarang hanyalah sekedar wayang kulit semata saja adanya.
“Bang Aseng… Makasih yaaa… Udah mau datang malam-malam begini… Kirain gak jadi datang udah jam segini…” katanya lirih tapi dengan senyum manis khasnya. Ia hanya memakai baju kaos yang kebesaran sampai setengah pahanya. Rambutnya diikat ekor kuda agar praktis bila harus dibuka nanti.
“Tapi aman kan, Ipa? Toni masih di jermal?” tanyaku padanya. Jangan pulak lagi enak-enak genjot biniknya, lakiknya pulang mancing. Berabe semuanya nanti.
“Aman, bang… Dia masih mancing… Tadi barusan abis chat juga… Pulangnya nanti siang bareng boat yang bawa barang-barang jermal… Lagian di tengah laut gitu kan gak bisa pulang semaunya… Aman, bang…” katanya mengacungkan dua jempolnya. “Yuk… Sini, bang…” katanya mengajakku masuk ke kamarnya lagi. Digamitnya tanganku dan memasuki kamar. Sejuk kamar ini menyambutku kembali. WELCOME TO THE JUNGLE kalo kata Guns n Roses.
“Dari mana aja abang? Kok baru jam segini datangnya?” endusnya pada rambutku. Ia duduk di pangkuanku yang mencoba menyamankan diri di atas ranjangnya yang tadi siang sudah kunodai. Tubuhnya rapat hingga aku bisa tau kalau ia tidak pakai bra di balik kaos gombrang itu, mungkin juga tak bercelana dalam.
“Baru bangun tidur… Abiis…” kataku gantung sambil memutar-mutar mataku. Ia terkikik geli karena paham. Ia mencubit dadaku karena gemas. “Biasa, kan… Namanya juga suami istri…” sambungku.
“Iyaa tau… Masih ada baunya… Ipa aja yang udah lama dianggurin Toni bertahun-tahun… Baru juga mulai sama bang Aseng tadi siang… Ipa masih kepengen… Maunya terusss…” katanya merebahkan kepalanya di leherku. Diraba-rabanya dadaku yang tadi dicubitnya. Lalu diciuminya rahangku. Pantatnya bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman di pangkuanku karena Aseng junior mulai mengganjal.
“Nanti Toni pulang makanya diajak dulu test drive… Harusnya dia udah bisa tuh… Udah idup burungnya… Jamin pasti idup…” kataku sebenarnya menghindari ciumannya menjalar naik ke mulutku.
“Abang kok bisa gitu-gitu, sih? Kok baru sekarang bantuin Ipa? Kita kan dah lama tetanggaan, kan?” katanya tentang pembasmian genderuwo yang selama ini menyanderanya. Genderuwo yang gak rela dirinya digauli pria manapun. Sampai kehidupan pernikahan mereka menjadi hambar begini. Toni, suaminya malah lebih betah mancing sampai jauh daripada di rumah bersama istrinya yang cantik dan seksi begini. Yang harusnya dikeloni dan digasak abis-abisan seperti yang sudah kulakukan tadi siang dan nanti.
“Gak usah bahas itu… Intinya perjanjian nomor dua… Jangan membicarakan masalah ini sama orang lain… Ingat?” kataku menghentikan pertanyaannya. Untung aku sudah mengantisipasi pertanyaan ini dengan perjanjian kami. Rencana bagus, kan?
“Paham… Biar nanti kalo Ipa hamil anak bang Aseng… adik Mei-Mei… Toni gak curiga kan? Kirainnya anak dia juga…” ujar Iva merengut manja dengan pipi digembungkan. Dipeluknya perutku erat-erat.
“Yak… Seratus buat Ipa…”
“Seratus dapat apa, bang? Paling kecil itu jajanan gopek…” katanya malah terkekeh geli sendiri.
“Ish… Dasar yang punya kede…” kataku tiba-tiba malah menarik tubuhnya dengan gemes rebah ke ranjang. Ia menjerit manja. Aku langsung menyingkap kaos gombrangnya dan benar ia tak memakai apa-apa di baliknya hingga aku langsung berhadapan dengan tubuh polosnya yang sangat menggiurkan apalagi memek berbulu lebatnya tepat di depanku. Kutindih Iva dan ia menyambutku dengan tangan terbuka, malah kakinya terbuka lebih lebar.
Yang mula-mula kuterkam adalah kedua bukit manjanya. Takala satu kuremas, yang satunya masuk ke dalam mulutku. Kukenyot-kenyot getol, baik digigit pelan maupun kusedot kuat apalagi disentil lidah. Iva mendesah-desah sambil mengacak-acak rambutku. Kakinya mengalung di perutku, menekankan memeknya padaku sembari menggeol-geolkannya hingga jembut lebatnya terasa bergesekan. Tanganku yang bebas berusaha melepaskan celana yang kupakai saat ini. Iva berkarya dengan melepaskan pakaianku. Jadilah kami sudah saling berbugil ria di atas ranjang. Hanya berdua di kamar ini.
Iva sangat pengertian dalam mencari kenikmatannya, ia bahkan sudah menyiapkan dildo itu di atas meja lampu di dekat ranjang. Mungkin ia berpikir siapa tau aku akan menggunakannya lagi padanya seperti tadi siang. Belum, Pa… Aku masih mau make alatku sendiri untuk itu. Aku mengobel-ngobel memeknya sesudah menyibak jembut lebat itu. Kutik-kutik kacang itilnya sampai ia meringis-ringis keenakan. Apalagi saat jariku menerobos masuk ke dalam liang kawinnya, tubuhnya menjengit melengkung menahan nikmat. Matanya terpejam erat menikmati semua kenikmatan itu. Jariku rajin mengocok memeknya sambil bukit manjanya terus kusedot juga. Serangan di beberapa titik sensitif sekaligus tak terperi bagi Iva dan tak lama ia segera mencapai kenikmatannya.
Aseng junior kuarahkan ke bukaan memeknya yang sudah menganga pasrah karena kakinya kulebarkan tanpa bisa Iva cegah. Kepala Aseng junior masuk dengan lancar membelah rimbun vegetasi jembut lebat itu dan segera terbenam dalam kala kudorong. Kami berdua mengaduh keenakan. Apalagi Iva baru saja mendapatkan puncak orgasmenya walau hanya dengan jariku. Pelan-pelan kupompa tubuhnya walau Iva mengerang. Makin lama gerakanku bertambah cepat. “Bang… Enaak, baang… Mmm… Isep jughaa, baang… Mmm…” pintanya.
Kuturuti maunya, dan aku menggenjotnya kencang sekaligus menyedot-nyedot bukit manjanya bergantian kanan-kiri. Tak lama aku sudah merasakan bibit-bibitku menggelegak minta keluar menuju alam bebas. Ini masih terlalu cepat makanya buru-buru kucabut dan mengatur nafas. Aku kebawa nafsu jadinya malah kesusu. Tubuh Iva kugulingkan hingga ia menelungkup tanpa protes sedikitpun. Pantatnya kuangkat agar lebih tinggi, bertumpu di kedua lututnya. Aseng junior masih cenat-cenut udah mau ngecrot aja daripada-daripada, kusambar dildo di atas meja dan kumasukkan pelan-pelan pengganti sementara.
“Auuh… Baaang… Kok pake itu? Uuh…” ternyata Iva tau taktik kotorku memakai benda lain untuk memuaskannya. Sambil berdiri kukocokkan dildo itu pelan-pelan.
“Bentar aja, Paa… Ini tadi ampir keluar… Bentar ajaa…” alasanku. Kucabut dildo itu dan kucaplok gantian dengan mulutku. Lidahku menjilat lebar belahan memek merah itu dengan semi kesetanan. Kucucup-cucup kacang itilnya hingga pantat Iva meliuk-liuk seperti pohon kelapa disapu badai. Kusedot-sedot liang kawinnya sembari meremas-remas buah pantatnya yang kenyal lembut. Hidungku mengais-ngais isi belahan memek itu hingga taraf gemes. Rasa kemaluannya sampai berbekas ke otakku.
“Ooo-ohh… Oohh… Uhmm…” Iva melolong menerima serangan mulutku di tunggingan pantatnya. Aku tak jemu-jemu memakan memeknya sembari tetap mempersiapkan Aseng junior agar siap tempur lagi. Dan ini saatnya, mulutku digantikan sodokan Aseng junior kembali. “Aahh!!” erangnya merasakan Aseng junior melesak masuk tanpa tedeng aling-aling. Langsung gas gigi tinggi. Aku juga bertumpu di lututku di gaya doggy ini. Pegangan di kedua sisi pinggulnya, perutku dan pantatnya beradu tepuk. Plak plak plak bersahut-sahutan. Walau suhu dingin kamar ber-AC tetap saja kami merasa panas akibat kegiatan entot-mengentot ini. Birahi sudah semakin di ubun-ubun dan aku tak berniat menahan lagi…
“Croot crooot crooottt!” semprotan spermaku meluncur masuk dan menanamkan benihku kembali di kesempatan kedua ini. Iva masih menungging dengan bukit manjanya yang bergantungan merasakan bibit anakku memasuki tubuhnya, memenuhi rahimnya. Kusumpal memek lebatnya untuk beberapa saat sampai semua spermaku tak ada yang keluar lagi. Kurebahkan tubuhnya ke ranjang baru kucabut Aseng junior dari liang kawin becek sperma itu. Tentu saja dengan cara tradisional ini–ganjal bantal yang sudah terbukti ampuh pada istriku dan Aida.
Kami berdua berbaring berdampingan dengan nafas terengah-engah memandangi langit-langit yang berhias plafon berukir. Kepala kami bersentuhan. Tangan Iva nakal mengelus-elus Aseng junior yang beringsut mengecil malah menggeliat bangkit lagi karena sentuhan tangan lembut hangatnya. Berlepotan sperma kental dan cairan pelumasnya tak masalah baginya. “Masih banyak aja, bang…?” tanyanya pelan.
“Untuk Ipa harus dibanyakin stoknya… biar puas… kalo udah puas… hepi pasti cepat hamilnya…” bualku dan memeluk perutnya kemudian mengelus-elus perut ratanya.
“Amin…” jawabnya cepat. Kami berdua tertawa-tawa. “Bang Aseng kapan mau nambah adeknya Mei-Mei?” tanya Iva tiba-tiba.
“Mmm… Belom tau juga, Pa… Kalo cuma ngasih makan sih… bisa-lah… Tapi maunya orang tua, kan nyekolahin anak setinggi-tingginya… Kalo banyak anak gak banyak rejeki sekarang ini… Kalo jaman dulu iya-lah…” kataku sesuai pembicaraanku dengan orang rumah usai melahirkan Salwa beberapa bulan lalu. Itu masalah yang harus dibicarakan dengan serius.
“Enak ya abang sama kakak itu… Mau buat anak aja pake diskusi dulu… Gampang lagi buatnya… Kek Ipa… gak pernah diajak diskusi sama sekali… Apalagi disentuh… Hu-uh… Iri Ipa, deh…” katanya lalu mencari pembenaran dengan memelukku dan menyusupkan kepalanya ke leherku. Nafasnya terasa panas di kupingku. Tangannya masih mencengkram Aseng junior yang mulai bangun lagi karena dikocoknya. “Apa lagi dapat anak sendiri… sampe Ipa harus ngangkat Ara jadi anak…” nadanya sedih.
“Hush… Udah-udah… Ini kan kita lagi buat anak buat Ipa… sekalian enak… Jangan gitu ya, Ipa… Harus dengan suka cita… Riang gembira… Jangan pake stress-stressan… OK, Ipa cantik…” hiburku mengelus-elus rambutnya. Ia makin membenamkan mukanya di leherku. Untung belum ada isakan walau ia sedikit mellow dengan kondisinya akhir-akhir ini. “Apalagi… Toni sekarang sudah sembuh… Ipa juga gak boleh selingkuh-selingkuh lagi… Ingat janjinya, kan?” kataku menambahkan.
“Kalo sama bang Aseng boleh… Curang ih…” bisiknya tepat di kupingku lalu menjilatnya hingga aku bergidik kegelian.
“Awas ya!” balasku dengan menggelitiki iganya sampai ia menggeliat-geliat kek uget-uget nan seksi karena bugil. Ia tertawa-tawa kegelian karena aku ngotot terus menggelitikinya di situ. Ia menghindar dan memelukku sampai akhirnya entah bagaimana kami malah berciuman. Berciuman hanya saling mengulum bibir bergantian. Walau hanya sebentar tetapi rasanya sangat indah dan nyaman.
Berikutnya aku sudah mengayunkan pinggangku kembali dengan lembut dibalas dengan gerakan menyambutnya yang menjelang rojokanku hingga terasa sangat harmonis sekali. Kami berciuman pendek-pendek, sekedar patukan ringan dengan pandangan mata sayu. Terasa sangat syahdu. Tak lama Aseng junior tak kuasa lagi bertahan dan kembali menyemprotkan muatannya. Selama semburan terjadi, kami berciuman sambil bergulingan mengitari ranjang ini. Seperti sepasang ular yang bergelut saling belit. Berhenti saat tak ada lagi spermaku yang mengucur masuk. Kedutan masih terjadi, Iva menguras semuanya untuk disimpan di dalam rahimnya.
Lama kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang perlu disesali karena karena berdua sama-sama menginginkannya. Iva menginginkan keturunan yang lahir dari rahimnya sendiri. Aku ingin membantunya mewujudkan impiannya itu. Dan kami sama-sama menikmatinya seberapa salahpun cara ini. Iva berbaring di ranjang berbantalkan lenganku, kami memandangi plafon kamar, menembusnya ke batas imaji, melanglang buana.
“Yang tadi… yang terakhir tadi enak, bang Aseng…” kata Iva lirih. “Iva bisa merasakan semua emosi bang Aseng… Itu…” lanjutnya.
“Jangan diteruskan, Pa… Jangan… Nanti semua jadi berubah jadi mimpi buruk… Cukup diingat saja… Cukup dikenang saja… Jangan diteruskan…” potongku. Aku takut kejadian tadi akan berimplikasi kemana-mana. Melakukan ini semua sudah cukup salah. Aku seperti kehilangan waktu berharga dengan keluargaku. Terutama pada istriku yang bahkan harus curi-curi waktu untuk bisa bermesraan denganku. Padahal seharusnya dialah yang utama. Segala-galanya. Malah di sini aku sekarang. Bersama perempuan lain. Membagi cin.. Tidak. Bukan itu. Aku gak akan mau mengakuinya. Gak akan mau terjerumus di sana.
Iva terdiam masih berbaring berbantalkan lenganku. Hanya ada suara sepi dan hembusan blower AC yang dalam mode swing. Suara jangkrik di luar teredam baik. “Masih bisa sekali lagi… Mau… Yuk?” tawarku sedikit bangkit. Aku berusaha menatap matanya tetapi ia menghindar dengan terpejam.
“Ya…” jawabnya pendek dan hanya melebarkan kakinya agar aku bisa mudah memasukinya. Jembut lebatnya melindungi memek merahnya dengan kerimbunan vegetasi. Ia inisiatif langsung meletakkan sebuah bantal di pantatnya hingga pinggangnya sudah tinggi dari awal. Aseng junior yang belum sepenuhnya mengeras maksimal kugesek-gesekkan ke belahan merah rimbun itu untuk mendapatkan bantuan basah, agar mudah penetrasi. Kucucuk-cucukkan ngetes sudah cukupkah ia masuk. Aseng junior masuk membelah walau lemah–terpatah-patah menerobos memek Iva yang becek namun sempit. Ia melenguh pelan.
Kami bersenggama dalam diam. Hanya gerutuan kenikmatan yang terdengar beserta nafas yang berat. Iva cenderung menahan suaranya kali ini. Entah karena percakapan kami sebelumnya penyebabnya atau moodnya berubah. Diamnya perempuan itu seperti dalamnya laut. Apa artinya?
Aseng junior sudah gagah ke ukuran primanya. Dengan berani ia mengobrak-abrik memek Iva sampai ia bisa mendapatkan orgasmenya dua kali di session terakhir ini sampai akhirnya ia ngecrot untuk kesekian kalinya. Mengakhiri rangkaian kegilaanku seharian penuh. Ini kegilaan, kah? Jelas-jelas ini gila. Dari pagi sampai dini hari ini aku sampai lupa sudah berapa kali ejakulasi. Memaksa Aseng junior sampai batas maksimalnya. Ia sanggup dan terus meradang. Dari Dani, Iva, Aida, istri sendiri, Pipit, dan kembali Iva lagi. Apa memang ini kemampuanku yang tak pernah kuketahui? Jangan-jangan abis ini aku tepar? Jangan sampe. Amit-amit jabang bayi.
Iva menemaniku ke pintu belakang untuk keluar dari rumahnya dengan kembali memakai kaos kebesaran itu. Dipeluknya aku dari belakang sebentar lalu melepasku pergi tanpa kata-kata. Aku meninggalkan pintu gelap itu untuk menjauh dari sana. Tak lama lampunya menyala dan aku sudah menelusuri gang sepi ini. Lampu penerangan di tiang listrik menciptakan bayangan-bayangan abstrak di sekitar pendarnya.
Rumahku sepi dan damai di kejauhan sana sudah terlihat. Bayangan gelap pohon mangga golek yang sedang belajar berbuah menandai posisi rumahku. Tepat 5 tahun ia mulai berbunga walau banyak yang gugur. Kutanam dari biji dan dirawat dengan baik hingga ia mulai berbakti. Ada banyak tanaman-tanaman lain yang segaja kutanam di sekitar halamanku. Bunga-bungaan, tanaman hias, tanaman herbal dan terutama tanaman pelindung. Apa itu tanaman pelindung? Yang biasa itu adalah sereh. Keuntungan normalnya adalah menjauhkan nyamuk dan tikus karena aromanya yang tajam. Bisa dipakai untuk bumbu masakan juga. Juga aneka jeruk seperti nipis, kasturi dan purut. Aroma daunnya sangat segar bagi kita tapi menyengat bagi ‘mereka’. Yang paling super adalah duo bidara dan kelor. Kelor kutanam di empat sudut tanahku, tumbuh subur dan berdaun lebat. ‘Mereka’ enggan menyerang…
Kuperiksa lagi pintu dan jendela sudah pada terkunci dengan baik atau belum. Mematikan lampu yang tak perlu untuk menghemat listrik. Lalu duduk di tengah kamar ini. Ini seharusnya kamar anak tetapi kedua anakku masih tidur bersama kami jadinya kamar ini hanya jadi gudang penyimpanan mainan mereka. Berkonsentrasi…
Aku sudah memasuki daerah kekuasaan ke-Menggala-anku. Sebuah daerah yang menurutku cukup merepresentasikan diriku sebagai seorang Menggala yang banyak—bahkan mayoritas memakai dedaunan sebagai senjata. Ada beberapa pohon besar yang tumbuh subur di sini, di daerah berbentuk taman luas–ada sekitar 5 hektar yang selalu diterangi sinar matahari semu karena selalu dalam keadaan terang benderang. Tak ada matahari atau benda angkasa apapun terlihat di sini karena ini sejatinya adalah dimensi yang sama sekali berbeda dengan realitas.
Kami; aku, Iyon dan Kojek pernah diberitau kalau menilai golongan Menggala itu dari keadaan daerah kekuasaanya. Semakin terang daerah itu, semakin terang juga sifat dan tentu juga kebaikannya. Dan sebaliknya bila semakin gelap, maka semakin gelaplah sifatnya. Semacam itu. Liat kan? Dari beberapa Menggala yang sudah kulawan sebelumnya di kisah ini, rata-rata daerah kekuasaannya gelap gulita karena mereka mempraktekkan kemampuan mereka untuk kejahatan. Santet, teluh dan guna-guna beserta kroco-kroconya.
Eniwei, kembali ke pohon lagi, aku menuju sepasang cemara yang kutambatkan sebuah tempat tidur gantung; hammock buatan dari jalinan akar-akaran dan beralaskan rumput kering. Aku duduk dan berayun pelan memandangi taman ajaib yang semakin hari semakin bertambah koleksi tanamannya. Perlu diketahui, aku tidak sengaja menanam semua tanaman ini melainkan otomatis tumbuh begitu aku memakainya di luaran sana kala bertarung atau memanfaatkannya. Contohnya tanaman lidah mertua yang kuambil dari taman hotel saat menghajar siluman pohon beringin waktu itu. Atau juga tanaman Peace Lily untuk mencincang jerangkong yang merasuki Dani di kantor. Juga lili paris yang kupetik dari teras rumah Aida menjadi pisau terbang. Lalu pohon pisang kepok yang kupakai membabat dukun di hutan bambu, semua itu lalu berpindah dan tumbuh di sini. Menjadi koleksi terbaruku. Seolah menjadi pengingat kalau aku pernah menggunakannya saat bertarung.
Jadi aku memandangi tanaman-tanaman itu dan ingat semua pertarungan yang pernah kulakukan memanfaatkan jasa dedaunannya. Dari pertama hingga terakhir, semua tumbuh subur disini. Dedaunan hijau, kekuningan, merah, ungu bercampur dengan meriahnya warna-warni bunga beserta buahnya. Seperti surga. Yaa… Ada banyak buah di sini. Tapi jangan coba-coba memakannya, sesegar apapun bentuk atau aromanya karena yang kubilang tadi di atas, ini taman ajaib. Tentunya bunga dan buahnya juga ajaib. Bukan untuk dimakan, bukan pula untuk obat. Bukan juga beracun atau karena enggak enak. Tapi lebih ke efek yang gak menyenangkan untuk beberapa waktu. Pemakannya akan terbuka mata bathinnya dan dapat melihat semua yang tak ingin dilihatnya. Kebayang kan kalau kamu ngeliat bentuk sejati dari mahluk-mahluk tak kasat mata itu. Berani mencoba?
Gemericik air yang mengalir dari mata air melenakan mataku yang sudah rebahan di hammock ini. Walaupun hanya beralaskan rumput dan daun kering, sangat nyaman untuk istirahat menenangkan jiwa. Sungai kecil ini berbentuk mengitari taman ini membagi nutrisinya bagi vegetasi yang tumbuh subur. Aku pernah berteori sendiri kalau aliran sungai kecil itu adalah representasi aliran lini milikku sendiri. Dan tumbuhan-tumbuhan ini sebagai hasil pencapaianku.
Tepat di samping hammock ini adalah sebuah pohon terbesar dan tertinggi di sini, sebuah tanaman dengan nama latin Garcinia atroviridis atau pohon Asam Glugur. Aku diberitau kalau umurnya seumuran denganku karena ia mulai berkecambah saat aku lahir ke dunia ini. Di dahan terbesarnya, di sela-sela buahnya yang kuning, bertengger sepasang bakiak Bulan Pencak bercat merah dengan tempelan stiker norak old skool semacam Nirvana dan Bob Marley yang kami beli rame-rame di pelataran stadion Teladan Medan sepulang sekolah. Sekolah kami tak jauh di belakang stadion itu.
Terlelap dan bermimpi tentang hari-hariku saat remaja dulu. Bersama teman-temanku. Melalui segala macam suka duka. Menjelang mimpi dan cita-cita dari anak-anak muda yang labil dan penuh semangat. Kami bersama-sama melakukan banyak hal. Ada hal baik. Ada hal buruk. Nakal dan juga brengsek. Semua membentuk pribadi kami saat ini.
—————————————————————————–
Minggu pagi, bangun pagi sarapan dan leyeh-leyeh menikmati hari libur yang berharga dan dirusak oleh suara dering telepon dari HP-ku.
“Haa… Hamik su, ci?” (Haa… Ada apa, kak?) angkatku begitu tau siapa yang nelpon.
“Seng lu orang ingat yang kita mau pergi ke pekong di Pangkalan Brandan itu?” tanya kak Sandra tembak langsung aja.
“Ya ingat… Kenapa rupanya, kak?” tanyaku lagi. Kalau tidak salah sekitar Jumat atau Sabtu ini kami kesana karena mau mengurus sesuatu tentang hoki perusahaan di salah satu pekong di sana.
“Dipercepat… Disuruh si bos… Lu ada acara gak ini hari?” sergahnya kembali tembak langsung.
“Hah? Hari ini, kak? Gak salah?” kagetku. Hari Minggu begini harusnya hanya quality time untuk keluarga.
“Iyah… Kalo sesuai rencana Jumat ato Sabtu takutnya kita sibuk… Abisan harus kita berdua yang pergi ke sana langsung… Yang handle pabrik siapa? Tiwi?” kata kak Sandra lagi ada benarnya. “Ato lu bawa anak bini lu sekalian… Anggap aja jalan-jalan…” sambungnya.
“Tunggu bentar-ya, kak… Kutanya binikku dulu…” jawabku lemes dan nge-hold telponnya dan beralih pada istriku yang melipat keningnya melihat percakapan barusan. “Mah…?”
“Kenapa?” tanyanya dengan muka masam. Padahal kami tadi sedang merencanakan sesuatu untuk pergi jalan-jalan kemana gitu di hari libur begini. Melanjutkan jalan-jalan tadi malam.
Kuceritakan apa yang terjadi beserta situasinya dan juga urusan mendadak yang sangat super dadakan ini. Walau ia berat, tapi ia tidak bisa berbuat banyak karena ia paham posisiku di pekerjaan itu. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku walau sudah di luar jam kerja. Buyar sudah rencana yang sudah kami bicarakan tadi dan aku memberitau kak Sandra kalo aku bisa berangkat dengannya untuk urusan mendadak ini. Ia ternyata sudah sangat yakin kalo aku bisa berangkat dan ia langsung jalan untuk menjemputku di rumah. Keluargaku gak ikut, terutama istriku. Aku paham alasannya.
Sekitar 1 jam kemudian mobil kak Sandra sudah terparkir di halaman rumahku.
“Kak… Mobil baru lagi nih? Wah…” kataku mematut-matut mobil mentereng berwarna hitam mengkilat berjuluk Pajero itu. Gagah bener nih mobil.
“Iyaa… baru dibeliin ko Amek buat wa… Biar wa gak merepet (nyinyir) aja kek radio rusak… Sogokan tuh ceritanya…” kata kak Sandra yang baru keluar dari pintu supir dan menenteng tasnya. Kak Sandra seperti biasa hanya berdandan tipis seperti harian di pabrik. Hanya saja kali ini ia memakai rok span mencapai lutut.
Kak Sandra menyapa istriku dan anak-anakku terutama Salwa yang digendongnya sebentar. Kak Sandra bahkan tak segan nyawer kedua anakku dengan dua lembar duit merah masing-masing karena tau kalo waktu berharga mereka bersamaku terganggu karena dirinya juga. Diciuminya Salwa dengan gemes dan memuji-muji keimutannya setinggi langit. Kak Sandra juga menceritakan apa yang diperintahkan bos pada istriku dan minta-minta maaf karena ini kejadiannya sungguh mendadak.
Singkat cerita, kami sudah ada di jalan menuju tujuan kami ke Pangkalan Brandan. Kota kecil ini ada dekat perbatasan dengan provinsi Aceh. Pangkalan Brandan mempunyai sejarah sebagai lokasi sumur minyak pertama di Indonesia dan kedua di dunia. Mulai dieksploitasi sejak tahun 1892 dan berlangsung sampai sekarang. Dari Medan kami menuju Binjai terlebih dahulu lalu melanjutkan ke daerah Langkat dan lanjut terus ke Utara. Aku yang nyetir dan kak Sandra berceloteh di sampingku.
“Mangkin cantik wa liat istri lu… Lu sering selingkuh, ya?” tanyanya ngawur.
“Lah.. Apa hubungannya istrinya awak tambah cantik karena awak selingkuh? Tah hapa-hapa kakak ni-la ngomongnya…” jawabku sambil tetap konsentrasi ke jalan. Di depanku ada mamak-mamak naik metik gak pake helm dan gamis berkibar-kibar tinggi sampe BH-nya keliatan di belakang.
“Karna suaminya selingkuhlah mangkanya istri nyoba mempercantik diri… supaya gak kalah sama selingkuhanmu…” teori ngawur darimana di dapatnya itu. Dari apek-apek sama encim-encimnya kali ya?
“Ah… Nyeritain diri sendiri-nya kakak ini… Ko Amek banyakan selingkuh mangkanya kakak rajin perawatan sampe tipis tuh barang…” kataku balik mengolok-olok dirinya. Aku tau semua masalahnya luar dalam. Trus berkendara dengan kecepatan menengah karena memang gak buru-buru. Lagian ini masih pagi.
“Cibay-lu… Sok tau lu tipis barang wa tipis… Tebel barang wa tau lu? Segini…” katanya memperagakan membentuk cembung dengan kelima jari tangannya disatukan mengumpamakan bentuk tebal kemaluannya. “Makanya Amek tergila-gila ama wa… Tau lu…” ceplas-ceplos kak Sandra. Ini enaknya ngobrol sama perempuan satu ini karena mulutnya ember kalo udah ngomongin masalah kek gini.
“Kulitnya kak tipis… Bukan cepet-nya… Ngeres kali kakak…” kataku. (Di bahasa Hokkian seharusnya cipet, yang artinya vagina. Tetapi di bahasa pasaran Medan sering menjadi ‘cepet’ dan dipakai rata orang kebanyakan. Terkadang menjadi lepet juga). Kak Sandra memukul lenganku kuat-kuat karena tengsin kukelakari sedemikian rupa.
“Ish… KDRT nih kakak… Sakit tau!” aduhku mengelus lenganku yang baru ditonjoknya. Sekuat tenaganya ia memukuli tanganku
“Mampus lu… Lagian lu bukan misua wa aja… Ha ha ha…” lanjutnya malah tertawa-tawa. Malah nambah nyubit lagi. Tambah sakit, cibay!
Pekong yang kami tuju ada di pinggiran kota Pangkalan Brandan. Sebenarnya yang rutin kemari adalah bos besar kami, sang komisaris utama. Karena dia yang paling fanatik terhadap hal-hal seperti ini. Dia rutin datang setahun sekali walau ia tidak lagi tinggal di Indonesia. Pak Effendi atau lebih sering dipanggil pak Asui sudah jadi warga negara Singapur. Ia punya beberapa usaha lain di sana-sini. Perusahaan ini dipimpin sekenanya oleh adiknya, pak Bustami atau pak Atam karena yang banyak menjalankan roda kepemimpinan adalah kak Sandra ini. Dia cuma ACC aja di keputusan akhir.
Nah pak Asui tahun ini berhalangan hadir untuk meramalkan peruntungan perusahaan kami ini dan mendelegasikannya pada kami berdua yang dianggapnya sudah cukup memadai lagi mewakili. Kak Sandra yang lebih logis sebenarnya tidak terlalu percaya dengan metode seperti ini karena sering tidak terbukti benar. Malah sering ia yang harus pontang-panting berpikir keras untuk kemajuan perusahaan. Beberapa terobosan dilakukannya agar membuka peluang-peluang baru di manajemen atau juga pemasaran.
Pekong ini untuk beribadah ummat beragama Konghucu, tetapi kami kemari bukan untuk beribadah melainkan menemui salah satu penghuni pekong ini yang terkenal di kalangannya sebagai ahli meramal. Ini kali kedua aku ikut kemari. Pertama kalinya hanya menemani saja dan tak banyak andil. Kali aku disertakan juga atas permintaan kak Sandra pada pak Asui.
Aroma dupa hio memenuhi tempat yang didominasi warna merah dan emas. Ada banyak patung-patung Dewa yang mereka sakralkan di tempat ini dan yang paling utama adalah Dewa Kera Emas. Bagi mereka yang percaya, Dewa ini dapat memberikan keuntungan materil yang melimpah. Karena itu banyak pengusaha yang rajin berdoa dan berderma di sini untuk mengalap berkah.
Kak Sandra mengutarakan niatnya dan juga menyampaikan salam dari pak Asui yang berhalangan hadir kali ini. Ia juga menyampaikan derma yang dibawanya atas nama pak Asui. Aku gak bisa cerita banyak tentang semua prosesinya karena takut menyinggung para Dewa-Dewa yang ada di sini. Kenapa? Karena kalo aku memakai mata bathin, aku melihat banyak sekali ‘mereka’ berkeliaran di sekitar sini. Aku paham apa mereka itu dan paham juga kenapa mereka berada disini.
Seorang medium kerasukan sang Dewa Kera Emas setelah melakukan beberapa komunikasi. Medium inilah yang paling terkenal dan merupakan pendeta utama yang sering melayani berbagai konsultasi. Ia memakai semacam busana keagamaan kebesarannya untuk dirasuki oleh entitas ini. Untuk menemui sang Dewa Kera Emas inilah kami ada di sini sekarang. Tidak banyak orang yang ada di ruangan yang seakan menjadi sempit karena gerakan liar sang Dewa Kera Emas yang urakan. Mereka percaya kalau dewa ini adalah Kera Sakti yang terkenal di cerita yang menemani gurunya mencari kitab suci ke Barat. Tau sendiri kan gimana urakan dan lasak (gak bisa diam)-nya seekor kera, lompat sana-lompat sini, garuk-garuk dan bermacam tingkah lainnya.
Seorang pria lain dengan pakaian yang senada dengannya melakukan dialog untuk menyampaikan maksud kedatangan kami. Semua itu dilakukan dalam bahasa Mandarin yang blas aku gak paham sama sekali. Aku hanya membayangkan sedang nonton film kungfu jadul aja jadinya mendengar tanya jawab mereka. Kak Sandra yang otomatis paling banyak berbicara karena ia bisa bahasa Mandarin dan ia berkomunikasi intens dengan sang Dewa Kera Emas itu. Kebanyakan tentang peruntungan perusahaan setahun ke depan.
Beberapa kali kak Sandra melirikku untuk mencari dukungan moril dan kekuatan psikis karena aku paham ia tertekan di depan entitas yang sedang merasuki medium pria ini. Aku hanya menepuk pelan bahunya, memberinya dukungan; aku menjagamu, kak. Aman. Begitu kira-kira yang kumaksud padanya tanpa kata.
Yang sempat mengagetkan, adalah sekali sang medium menyentuh perut kak Sandra dan ia terlonjak—melompat mundur naik ke sebuah meja yang dipenuhi mangkok hio dan keranjang buah persembahan, sehingga ambyar berantakan. Beberapa orang mendekati sang dewa dan memeganginya agar tidak terjatuh dari meja. Medium itu memandangi dan menunjukku berkali-kali dalam bahasa yang tak kupaham. Melompat ringan, bergulingan lalu mengutip sebuah jeruk yang luput dari pungutan akibat insiden barusan. Diciumnya sebentar lalu dilemparnya tiba-tiba padaku.
Tap! Aku menangkap jeruk itu dengan sigap. Mata semua orang yang hadir di ruangan ini menatapku takjub sampai mengalihkan perhatian mereka dari sang Dewa Kera Emas yang terkulai lemas di lantai. Kiranya sang entitas sudah keluar dari tubuhnya. Tak merasuki lagi. Pasti tubuhnya lemas setelah prosesi barusan. Tapi karena ia rutin melakukan ini, daya tahan tubuhnya sudah cukup kuat.
Juru dialog meminta jeruk yang sudah dilemparkan tadi dan kuserahkan. Jeruk mandarin berkulit tebal itu lalu dibelah dan ditengah ruas daging buahnya ada lipatan kertas kuning, dilipat sampai kecil seukuran duit logam seratus perak. Kami menunggu sampai sang medium pulih kembali untuk menyerahkan kertas itu padanya untuk dianalisa. Selama prosesi tadi, kak Sandra terus merekam dengan HP-nya. Ini berguna untuk laporan kepada bos agar ia juga bisa melihatnya nanti. Karena ini menyangkut masa depan investasinya di perusahaan ini.
“Tadi kenapa, kak?” tanyaku pada kak Sandra sambil bisik-bisik. “Dewa-nya marah sama awak, ya? Sampe dilempar gitu?”
“Bukaan… Memang gitu caranya… Kalo dia yakin… dia lempar kek tadi… Ada juga yang dikasih pelan-pelan… Ada yang diletakkan gitu aja di lantai… Macam-macam… Pokoknya kertas di dalam jeruk tadi adalah isi ramalannya… Lu liat kan ada kertas di dalam jeruk tadi… Asli itu gak boong…” bisik kak Sandra juga ke arah kupingku. Jadi kami ngomong pelan-pelan, dari kuping ke kuping. “Lu dikiranya misua wa… Hi hi hi…”
“Ah… Yang boneng, kak… Kakak berjanda aja…” kataku menanggapinya. Alhasil lenganku dicubitnya lagi sampe aku meringis.
Beberapa saat kami menunggu sampai beliau–sang medium benar-benar pulih, aku yakin kepalanya pusing kek abis tenggen tuak satu pakter dan badannya pegel kek dihajar satu kampung. Tapi ia sudah terbiasa begini dan ia bukan orang biasa juga. Dan kami berkumpul di belakang pekong, ada halaman luas yang dipakai untuk melatih barongsai atau kegiatan lain. Ada meja dan kursi lipat di sini. Kami disuguhi minuman dan pengganan kecil. Hanya kami bertiga yang duduk di sini, tanpa orang lain sehingga lebih privasi.
Untunglah kali ini, semua ucapannya dituturkan dalam bahasa Indonesia jadi aku ngerti seluruh perkataannya. “… perusahaan kalian akan dihadapkan pada pilihan sulit… Ada orang penting yang terpaksa harus meninggalkan posisinya karena disebabkan suatu masalah yang juga penting baginya… Tetapi penggantinya juga tidak masalah… Hanya saja karena ia masih baru tentu saja perlu penyesuaian… Ke depannya perusahaan akan lebih bagus-loh… Cuan bagus akan datang sendirinya karena derma-derma yang sudah perusahaan berikan… Apalagi doa banyak orang membantu itu semua… Ini pastinya para karyawan yang hidupnya bergantung pada hoki perusahaan juga…” secara umum beliau memberi arahan tentang prospek perusahaan setahun mendatang setelah membaca kertas kuning yang tadinya ada di dalam jeruk. Cukup baik. Ini pasti yang ingin didengar pak Asui. Lagi-lagi kak Sandra merekamnya.
“Khusus untuk A Fan (Sandra)… Masalah kamu sebenarnya mudah saya liat… Suami kamu ini tentunya bisa memberi keturunan yang A Fan inginkan… Dia sehat… kuat dan sangat subur… Dia bisa menyembuhkanmu… Saya liat dia bisa menyembuhkanmu… Benar, kan begitu?” tanya sang medium tiba-tiba padaku.
“Sori, koh… Awak bukan suaminya… Saya cuma nemanin aja ke pekong ini…” kataku cengengesan sambil garuk-garuk belakang kepala.
“Iya, koh… Suami saya Amek yang bulan kemarin kemari itu-loh…” kata kak Sandra menimpali juga cengengesan malu karena dikira membawa suami baru.
“Ooh… Masih yang itu suami kamu… Saya kira dah ganti… Makanya saya heran kamu bawa laki-laki ini… He he he…” katanya dengan sedikit bercanda. Banyak keknya pasien beliau ini sampe dia tidak hapal detil tertentu dari pasiennya. “Minta dia untuk menghamilimu… Dia bisa… Kalo gak mau paksa… Wa jamin… Lu gak usah datang mari lagi kalo wa boong…” katanya tiba-tiba. Matanya terpejam, beda dari beberapa saat sebelumnya.
Sontak kami berdua kaget mendengarnya. Kenapa tiba-tiba suaranya berubah menjadi suara Dewa Kera Emas lagi dan melontarkan kata-kata mengejutkan itu. Dan dalam bahasa Indonesia pulak laginya. Kami berdua pandang-pandangan gak ngerti. Ia tiba-tiba dirasuki dewa itu lagi tanpa ada komunikasi sebelumnya. Dewa Kera Emas membajak kesadarannya hanya sebentar saja dan beliau kembali ke dirinya semula. Dan ia tak sadar itu.
“Coba saya hitung keberuntungan kamu, Fan… Mm…” katanya malah sibuk membuka-buka buku catatannya yang lumayan tebal. Ia lumayan sistemik tentang pasiennya, dicatat data-datanya yang bisa diperiksa sewaktu-waktu. “Kamu shio Kerbau air yang menurut hitungan saya sangat cocok dengan shio Ular api… Suami kamu, Amek bukan shio Ular, kan? Dia shio Anjing besi…”
“Dia ini shio Ular, koh…” potong kak Sandra menunjukku. Beliau menatap kak Sandra sebentar lalu beralih padaku. Lalu matanya terpejam lagi.
“Benar, kan?… Dia shio Ular api yang cocok pas denganmu… Paksa dia untuk menghamili lu kalo nolak… Selamat berjuang…”
Kembali kami berpandangan heran akan situasi membingungkan ini. Beliau, sang medium kembali membuka mata dan sadar. Tapi tak tau kalau entitas tadi kembali membajak tubuhnya dan menjejali kami dengan informasi gila tadi. Dewa Kera Emas mengambil alih tubuhnya hanya sekonyong-konyong saja dan langsung pergi seperti ada dua kepribadian di dalam dirinya yang bisa muncul sewaktu-waktu.
“… kamu yang Shio Kerbau air akan menenggelamkan Anjing besi yang tak pandai berenang ini… Saya gak nyarankan hal yang tak pantas… tapi sementara ini dalam hal bisnis atau keturunan… dia partner yang tepat untukmu…” tutur beliau hati-hati. Menjaga kata-katanya agar tidak disalah artikan. Ia lalu menuturkan beberapa nasehat lainnya sesuai dengan keilmuannya. Seperti tentang kesehatan dan juga hubungan dengan orang tua.
——————————————————————————-
“Apa pendapat lu?” tanya kak Sandra serius. Kami sedang di sebuah restoran kecil di tengah kota Pangkalan Brandan. Ia biasa kemari sepulang konsultasi dari pekong tadi. Restoran ini sepi dan kami memilih meja jauh terpencil di sudut sana agar tak terganggu apapun.
“Payah cakap awak… Gak ngerti aku, kak…” jawabku bingung. Kami sedang membicarakan apa yang disampaikan Dewa Kera Emas tentang kondisinya. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku selalu menganggapnya seperti kakakku sendiri dalam bergaul, apalagi dia seumuran dan memang teman kakakku; kak Dedek. Seorang pemimpin yang kusegani dalam organisasi perusahaan kami. Dia yang mengangkat derajatku hingga aku jadi sedemikian ini dalam karier. Aku dulu hanyalah seorang kenek tukang cuci AC selepas tamat SMA. Sepupuku yang punya usaha servis dan cuci AC, memperkerjakanku. Kak Sandra mengenaliku saat aku sedang bekerja membersihkan AC di pabrik ini, sebagai adik temannya. Dia duluan yang mengenaliku, aku tidak. Diajaknya aku bekerja di pabrik ini mulai dari nol. Disuruhnya aku les komputer sampai mahir karena dia akan menaikkan jabatanku yang awalnya hanya bagian lapangan ke office. Meningkat terus seiring waktu sampai sekarang.
“Lu mau dengar rencana-rencana hidup wa, gak?” katanya setelah menyeruput es teh manis miliknya. Aku beralih menatapnya sebentar tetapi sedikit menunduk. “Wa gak selamanya mau terus di pabrik itu walau sudah setinggi ini jabatan wa… Wa yakin entar-entar lagi juga koh Asui bakalan nendang tuh adiknya koh Atam yang gak becus jadi direktur… trus wa yang gantiin dia… Tinggal nunggu waktu aja itu… Tapi tetap bakal wa tinggalin ini semua… Wa tinggalin ini semua kalau wa udah punya anak… Anak yang gak pernah diberikan Amek sama wa… Lu tau cerita seterusnya…” tutur kak Sandra serius seperti biasa kala kami sedang bekerja. Tapi kami sedang tidak bekerja dan itu terdengar sangat menegangkan.
“Kenapa batasnya sampai kalau sudah punya anak?… Anggap aja lu nanya gitu… Karena wa merasa belum jadi orang yang sempurna… Manusia yang sempurna… Perempuan yang sempurna… Lu tau wa gimana… Wa dah pernah cerita… Wa dari esde, esempe, esema… wa selalu rangking satu… Kuliah IP wa 3 koma 98… Wa lulus cum laude… Wa kerja sampe jadi Factory Manager sekarang… Wa gak sempurna apa lagi kata orang idup wa… Kata wa… ‘wa gak sempurna’… Wa belum bisa hamil dan melahirkan… Karena itu wa belum sempurna…” katanya dengan sistematis, step by step, lugas.
“Tapi kenapa harus resign kalo dah punya anak?” tanyaku mulai tertarik dengan jalan pikirannya. Gak semua perempuan bisa berpikir seperti ini.
“Wa jabanin apa maunya si Amek… Mau dia punya gundik sampe berapa juga wa ikutin maunya… Tapi satu… Biayain wa dan anak wa… Wa mau didik anak wa jadi orang yang sukses seperti apa yang wa capai sekarang… Itu baru orang yang sempurna… Dalam kasus wa… perempuan yang sempurna… Gak usah banyak cingcong deh… Perempuan itu kodratnya di rumah ngasuh anak sama ngurus laki… wa paham itu… Trus kalau wa gak punya anak ama laki wa ntah dimana mending wa kerja, kan?” rentetan kata-katanya terdengar menggebu-gebu khas kak Sandra.
“Iya, sih…” komentarku pendek saja. Ada benarnya pendapatnya barusan.
“Jadi… lu hamilin wa… Wa kasih sama lu tuh Pajero… Trus nanti wa resign… wa rekomendasi’in lu buat gantiin wa sama koh Asui…” katanya mantap menatapku tajam. Serius. Petir meledak di dalam kepalaku.
Bersambung