Part #21 : Hubungan liar dengan Iva
Aku dua kali lagi memberi setoran sperma pada Iva. Ranjangnya sudah berantakan gak karuan karena pergumulan liar kami. Berbagai macam gaya sudah kuperagakan pada istri Toni yang lagi mancing jauh di jermal tengah laut sana. Yang lagi doggy sambil kutampar-tampar pantatnya. Iva WOT lalu keremas gemes bukit manjanya. Doggy lagi sambil berdiri menghadap foto nikahnya, Iva nakal mengelus-elus muka suaminya sambil minta izin. Iva berbaring di lantai beralaskan beberapa seragam PNS suaminya, kugenjot brutal sampai ia kaing-kaing keenakan. Pasti ada bekas spermaku di seragam itu. Sori ya, Ton. Binikmu yang nakal senakal-nakalnya.
Sebenarnya gontai berjalanku saat keluar dari pintu besi kede Iva. Tentunya harus dipastikan aman dulu, tidak ada orang yang lewat. Aman dan aku berjalan pulang. Ini sudah hampir jam 4 sore. Satu-satu kendaraan bermotor sudah mulai lewat di gang ini.
Rasa nikmat sisa persenggamaan dengan Iva masih terasa di Aseng junior yang aman bobok manis di dalam peraduannya. Rasa kenyal dua bukit manja masih terasa di tanganku beserta lembut kulitnya. Rasa empuk pantatnya kala kuremas masih terngiang-ngiang di otakku. Erangan seksi beserta desahan manjanya masih menjadi ringtone paling merdu di telingaku. Apalagi rasa sempit memeknya berikut gelitik jembut lebatnya masih dirasakan Aseng junior yang menang banyak hari ini. Sudah 2 perempuan yang dinikmatinya hari ini.
“… bang Aseng…” samar-samar aku mendengar suara memanggil. Suaranya tidak asing. Ini di depan rumah Aida.
“Eh… bu Aida… Sehat, bu?” sapaku basa-basi sambil celingak-celinguk kanan kiri. Aman masih sepi. Gak ada yang lewat melintas.
“Masuk, bang…” katanya yang berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit. Pagar rumah yang tak bergerbang bisa membuatku masuk dengan mudah. Teringat beberapa bulan lalu aku menyelinap masuk di tengah malam untuk menghamilinya—dan berhasil. Perutnya terlihat membuncit berisi anakku. Aida mengundangku masuk? Waduh… Kalo disuruh masuk begini… pasti masuk ke sana tentunya; ke liang kawinnya.
Aku tidak tau bagaimana ceritanya, tau-tau udah di dalam rumah Aida aja jiwa ragaku. Perempuan hamil muda itu lalu mengunci rapat pintunya lalu memelukku erat. Perut buncitnya menekan tidak terlalu kuat perutku. “Aida kangen, bang…” bisiknya yang sedang menekankan pipinya ke dadaku. Kalo kuingat-ingat lagi, aku bergegas masuk ke dalam rumah Aida karena ini harus dilakukan dengan sangat cepat dan sigap karena kesempatan seperti ini tidak akan terulang dua kali. Apalagi aku hanya sempat menyambanginya selama 4 malam, Aseng junior pasti kangen padanya.
“Abang juga kangen, Aida…” kataku mengelus-elus rambutnya. Entah apa yang dikangenkannya padaku. Aseng junior atau apanya dariku? Ia menengadahkan wajahnya padaku seakan minta cium. Aku menggeleng. “Eits… Masih ingat perjanjiannya? Gak boleh ciuuum…” kataku menempelkan jariku ke bibir tebal lembutnya.
“Tapi dedek bebinya kangen pengen dijenguuuk…” katanya manyun dengan bibir dimonyong-monyongkan sembari menggoyang-goyangkan pelukannya pada tubuhku. “…pengen dijenguk papa Aseng…” lanjutnya. Aku baru tau Aida begini manja. Mungkin pengaruh kehamilannya.
“Oo… Dedek bebi kangen papa, ya… Cup cup… Sini…” kataku lalu beringsut turun dan mencium perut buncitnya yang tertutup daster berbunga-bunga merah yang dikenakannya. Kuelus-elus perutnya. Aida memperhatikanku melakukan itu semua dengan wajah sumringah senang. Gak pa-pa deh nyenengin bumil begini. Katanya kangen papanya.
“Kuraaang… Dari siniii…” lanjut Aida tak terduga malah menarik bagian bawah dasternya hingga perut buncit dan semua bagian bawahnya keliatan polos. Ya… Polos beneran! Tak ada celana dalam yang menutupi selangkangannya sehingga aku bisa melihat kumis Hitler itu menempel di permukaan vaginanya. Kumis Hitler yang kurindukan.
“Boleh, Aida?” tanyaku mendongak memastikan kalo aku diperbolehkan menjamah keseluruhan tubuhnya lagi di kondisi hamil mudanya ini. Setauku, bahkan suaminya, Agus-pun gak dapat jatah berbulan-bulan ini karena kondisi kehamilan ini kesehatannya merosot. Aseng junior melonjak-lonjak senang dan menggeliat bangun mengingat kesenangan yang sudah direguknya dari perempuan ini berbulan lalu.
“Boleh, bang Aseng… Udah aman… Agus juga pulangnya malam kok… Dia baru berangkat kerja jam 12 tadi…” jawabnya sekaligus. Bahkan gangguan dari suaminya pun tidak usah dikhawatirkan. Daster yang tadinya hanya nangkring di puncak perut buncitnya kini diloloskan lepas semuanya hingga ia bugil tanpa apapun, ia tak memakai pakaian dalam sama sekali. Ibu hamil mah bebas di dalam rumah. Aku sudah mafhum hal itu.
Kuciumi perut buncitnya. Kulitnya meremang lembut karena geli dan terangsang. Kuelus-elus. “Sehat ya dek di dalam… Cepat besar… Jangan nyusahin mama Aida, ya…” kataku berkomunikasi dengan bayi di dalam kandungannya. Aida mengelus-elus rambutku. Kemudian aku menjamah bongkah pantatnya yang semakin bahenol aja. Setidaknya berat badan Aida melonjak 5-6 kilo sejak hamil ini sehingga bertambah semok aja MILF satu ini.
“Enak, bang… Mm…” desah Aida menikmati remasan dan elusanku pada bongkah pantatnya. Apalagi kuciumi kumis Hitler itu dan kujilati belahan vaginanya yang merah merekah membengkak. Ujung lidahku bermain dengan klitorisnya yang membesar hingga mencuat dari belahan kemaluannya, menambah erangan dan gerakan menggesek Aida tambah intens. “Baanng…” suaranya menjadi serak sejurus lidahku menerobos masuk dan menemukan kelembaban belahan kemaluannya. Diangkatnya sebelah kakinya, bertumpu di betis hingga aku bisa mengeksplor lebih mudah lipatan indah berhias kumis Hitler itu.
“Bang… di kamar aja yuk… Aida gak sabaaar…” pintanya masih dengan suara serak tanda birahinya sudah meluap-luap minta pelampiasan segera. Aseng junior-ku juga menggeliat bangun padahal udah 3 kali ngecrot sama Iva dan sebelumnya 2 kali sama Dani, masih mau lagi. Seng-Seng?
Di kamar itu, kamar yang beberapa bulan lalu pernah kudominasi selama 4 malam, kembali kukunjungi lagi setelah sekian lama. Tidak banyak perubahan, hanya ada tambahan TV LED kecil untuk hiburan Aida yang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk istirahat. Selagi mengamati kamar, Aida mempreteli pakaian yang kukenakan selayaknya seorang istri yang berbakti. “Bang Aseng tadi abis main sama orang rumah, ya?” tembak Aida setelah membaui pakaianku yang sudah tanggal.
“I-Iyaa…” jawabku gugup. Pasti masih ada aroma spermaku di sana hingga Aida langsung tanggap. Ia memegang celana dalamku dan menciumi aromanya. Lalu ia berjongkok di lututnya dan membaui Aseng junior yang sudah mengacung setengah tiang. Dihidunya aroma yang ada di sekujur batang Aseng junior yang dipeganginya dengan hikmat. Seperti ahli penilai cerutu menghidu aroma tembakau terbaik. “Tadi barusan aja… Orang rumah minta jatah siang-siang… Anak-anak pas lagi tidur juga… Ini mau beli gula di kede… tapi pada tutup… He he he…” alasanku. Padahal baru sama Iva tadi. Selevel dengannya sih. Sama-sama dalam program hamil juga bedanya Aida sudah berhasil, Iva masih baru mulai. Aida senior, dong.
“Yaa… gak pa-pa dong, bang Aseng… Sama istri sendiri… Aida juga minta jatah, yaa… Yang enak… Kangen ini…” katanya menunjuk Aseng junior lalu beringsut naik ke ranjangnya dengan tubuh telanjang bulatnya. “Jangan ejek perut Aida yang buncit, yaaa… Kan bang Aseng yang bikiiin…” katanya menggemaskan sambil melebarkan kakinya. Belahan vaginanya yang merekah bengkak merah menggoda.
Aku langsung menuju kesana. Ke tempat lahir betaaa… Vaginanya sungguh menggodaaaa… Kujilaaat dan kujilaaaaat sajaaaa… Bacanya pake irama lagu itu baru passs. Liang kawinnya merekah dengan gerinjal gerinjal ngangenin itu. Lidahku menjawil klitorisnya sementara jariku menusuk dalam. Mengorek-ngorek isi liangnya yang panas. Aida mengerang-erang keenakan menggapai-gapai padaku.
Kuarahkan kakiku ke arahnya dan ia berhasil mendapatkan Aseng junior dan kami melakukan posisi 69. Kuusahakan sebaik mungkin agar aku tidak menyentuh perutnya yang masih belum terlalu besar tetapi Aida sudah menggila. Aseng junior dikenyot-kenyotnya dengan gemas. Sedotannya makin yahud saja. Pipi chubby-nya jadi kempot karena menyedot kemaluanku dengan kencang. Aku tak ketinggalan menusuk masuk dengan dua jari dan sedotan klitoris. Kami berdua blingsatan karena sama-sama kangen.
Reuni ini kulanjutkan dengan menusukkan Aseng junior dalam-dalam dan langsung kugoyang walau tak boleh terlalu cepat. Aida mengaduh-aduh dan mengerang keenakan. Entah seks yang terakhir itu adalah malam terakhir kami bersama baginya, tapi sepertinya Aida sangat menikmati ini. Ia meracau-racau kalimat binal dan nakal, antara lain: kontol, memek, ngentot, fuck dan teman-temannya.
Tetek Aida yang membengkak lebih besar dari sebelumnya jadi mainanku tentunya. Payudara sensitif itu kukenyot dan perah dengan hati-hati karena terkadang bisa sakit bagi beberapa perempuan. Tapi Aida pengennya ditangani dengan sedikit lebih kuat. Jadilah pentilnya yang membesar juga aerola melebar itu jadi santapan sedap bagi mulutku. Lidahku berdecap-decap seolah menikmati jamuan paling sedap di dunia. Kenyalnya bertambah sesuai ukurannya. Kalo ia sudah menjelang melahirkan, ukurannya akan mencapai maksimal. Apalagi nanti kalo sudah memproduksi ASI. Wuih… Tambah mantap pastinya!
Aseng junior bergerak bak piston–naik turun mencoblos liang kawin Aida dengan lancar. Kakinya berkait di pantatku. Aku tetap menjaga agar aku tidak membentur perutnya karenanya tubuhku yang kupaksakan melengkung agar dapat tetap menikmati teteknya yang semakin yahud. Gerakan keluar masuk seirama dengan erangan Aida. “Trus, baang… Yang kenceeeng… Uhh… uhh… Enaak, baang…” erangnya kemudian berkejat-kejat. Kuhentikan goyanganku, Aseng junior tercabut, kupeluk ia sebisanya dan mengelus-elus perutnya yang buncit. Nafasnya tersengal-sengal. Kuelus keningnya, merapikan rambut yang berantakan di sana. Kembali ia minta cium yang harus kutolak. Aku hanya menempelkan dua jari yang bekas kurekatkan di bibirku ke bibirnya, mewakili.
“Lanjut yaaa… Sampe keluar…” kataku memposisikan diriku lagi di kangkangan kakinya. Menghadapi vaginanya yang merah merekah. Lancar masuk Aseng junior-ku membelah dan menusuk. Kembali Aida mengerang-ngerang keenakan meremas tanganku yang bertumpu di samping pangkal lengannya. Teteknya berguncang-guncang kompak dengan desakan dorongan tubuhku yang menjojos kandas liang kawinnya dengan Aseng junior. Lesakan lugas batang kemaluanku keknya akan mencapai batasnya. Terasa sudah ngilu karena baru saja aku ejakulasi 3 kali bersama Iva di kamarnya sana, kini harus mendonorkan sperma lainnya pada perempuan bunting ini.
“Yang kenceeng, baang… Maau lagii niihh… Uumm… Uuhh…” erang Aida. Aku pun makin semangat menggoyang pantatku maju mundur. Sudah terasa geli di balik rasa ngilu ini sebenarnya. Tapi rasa enak sangat nagih. Gak akan bosan dengan kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh saat ejakulasi terjadi. Rasa membuncah yang tak terkatakan. Seolah jiwamu ikut melayang saat kenikmatan itu mendera. Aku ketagihan rasa nikmat itu. Walaupun berasal dari perempuan-perempuan yang berbeda.
“Aaahh… Crott… croott… croottt!” semburan spermaku memasuki Aida. Tidak banyak memang tetapi cukuplah untuk membasahi liang kawinnya yang juga berkedut-kedut memeras Aseng junior-ku. Ia juga orgasme berbarengan denganku. Perutku rapat ke perutnya, menembakkan bibit-bibit yang dulu pernah membuahinya. Memberi salam pada janin yang ada di dalam rahimnya.
Aku lalu berguling dan melepaskan batang kemaluanku yang lelah, memerah dan entah-lah. Kupeluk ia dari samping, mengelus perut buncitnya. Kuakui ada rasa sayang yang tiba-tiba kurasakan terbersit di benakku. Cepat-cepat kubuang pikiran itu. Jangan baper pikirku. Itu hanya pikiran sesaat. Aku hanya melaksanakan tugasku. Kupindahkan elusanku ke teteknya dengan remasan juga pilinan.
“Aida jadi endut ya, bang?” bisiknya saat ia berbaring memunggungiku. Aku masih memainkan teteknya yang bengkak.
“Yaa wajar, Daa… Kalo gak tambah gendut itu malah masalah sama bayinya nanti… Karena normalnya ibu hamil itu akan bertambah beratnya sebab beberapa bagian tubuhnya meningkat massanya… Apalagi ada bayi yang Aida nanti sejak lama… Dinikmati aja… Jangan terlalu stres, ya?” kataku menghiburnya. Ini juga kata-kataku dulu pada istriku yang mengeluh kala tubuhnya melar kala mengandung dua anakku sebelumnya.
“Nanti bang Aseng gak mau lagi sama Aidaaa…” rajuknya menangkap tanganku.
“Kan ada Agus lakikmu… Ngapain sama awak pulak…” kataku hampir tertawa.
“Males sama Agus… Badannya udah tambah melar aja… Malah dia yang mangkin rajin ngemil… Yang hamil kan Aida…” katanya lagi mirip curhat. Aku tertawa kecil mendengar ceritanya. “Nanti kalo Aida mau anak lagi… sama bang Aseng aja, ya?”
“Lah… Nanti dua-duanya anak awak semua-lah… Anaknya bagian Agus mana?” kataku kocak.
“Agus suruh biayain aja… Dia gak pande buatnya, sih…” Aida ikut tertawa karena pembicaraan gak jelas ini.
—————————————————————————
Minum air dingin dari kulkas di dapur Aida, aku lumayan segar. Seharusnya aku jalan sempoyongan karena kegiatan barusan di kamar Aida, kegiatan enak. Sampe rumah, pintu masih tertutup dan orang-orang tercintaku masih tidur. Istriku dan kedua anakku tidur dengan nyenyaknya. Maafkan aku istriku sayang, aku melakukan ini semua di belakangmu.
Tidur siang sampai sore di hari Sabtu begini sebenarnya menyenangkan kalau tidak ada acara kemana-mana. Tapi aku sudah menyambangi dua perempuan di kamarnya masing-masing. Aku mandi untuk membersihkan penat di tubuhku. Kuambil gulungan karpet kecil dan kugelar di bawah tempat tidurku karena tidak memungkinkan tidur bareng mereka bertiga tanpa mengusik. Segera terlelap…
“Mm…” terasa basah. Apa yang basah? Aseng junior terasa basah. Kenapa Aseng junior bisa basah? Mm… Keknya ada yang memainkannya. Ketika kubuka mataku yang masih berat, wajah istriku yang tersenyum lebar sedang mempermainkan Aseng junior yang sudah menegang keras menunjuk langit. “Mamaa?” desahku.
“Sstt… Jangan berisik… Anaknya masih bobo semua…” bisik istriku yang sudah melepas semua kancing piyama yang dipakainya. Ia biasa tak memakai bra kala tidur jadi payudaranya bergantungan bebas. Dikocoknya Aseng junior yang sudah memerah keras. Lidahnya mencicipi pre-cum yang menitik di ujung kemaluanku. Sambil bangkit, intip-intip ke atas, ke arah dua anak kami yang masih tidur dengan damai, ia melepas celana panjang padanan piyama itu beserta celana dalamnya. “Nungguin papa malam-malam keburu ngantuk… Sore-sore aja yaa…” katanya. Oalah… Karena terlalu sering menyambangi perempuan-perempuan lain, kebutuhan istriku sendiri jadi berkurang. Maafkan aku lagi istriku, yang tak peka akan kebutuhan biologismu. Terima kasih atas kesabaranmu pada suamimu yang tak tau balas jasa ini. Maafkan aku…
Kubiarkan istriku menikmati tubuhku sesukanya. Ia bergaya WOT dan menunggani Aseng junior-ku dengan ganas walau tanpa suara. Aku hanya meladeni nafsunya dengan menggerayangi kedua payudaranya yang sudah mensuplai ASI bergizi bagi anak-anakku dan mainan lezat bagiku. Tubuhnya berguncang-guncang atau mengejang kala ia mendapatkan puncak kenikmatannya. Aseng junior ikut andil besar karena mau kerja sama ereksi penuh walau ia pastinya sudah lelah lahir bathin.
Istriku dengan bebas menciumi dan menikmati mulutku. Hanya ini yang bisa kuberikan eksklusif untukmu, wahai istriku. Hanya bibir ini yang sepenuh hati kupersembahkan untukmu, sesuka hatimu. Beserta jiwa ragaku—juga hatiku.
Di kamar mandi, kami bercinta lagi. Kali ini berani tegas kukatakan bercinta, karena kami saling mencinta dan kami melakukannya dengan cinta. Berawal dari saling menyabuni, berujung saling remas—berlanjut bercinta kembali. Apesnya pas lagi enak-enaknya, terdengar tangisan Salwa yang terbangun karena tak menemukan mamanya di sampingnya. Karena biasanya kalau ia bangun tidur akan berlanjut pada acara mimik cucu. Istriku meninggalkanku dengan teganya kentang sendirian di kamar mandi dengan Aseng junior masih ngaceng karena tadinya masih enak-enakan ngejos. Yahh… Tau kan rasanya ngentang. Gini deh…
Kuintip istriku yang sedang berbaring menyamping menyusui Salwa. Ia tadi hanya membalut tubuhnya sekenanya dengan handuk dan langsung keluar kamar mandi. Tak jauh Rio masih molor berantakan. Handuk yang dikenakan istriku hanya dipakai sekenanya. Namanya juga sama istri sendiri. Bebas ya kan, woy… Walau protes, istriku tak bisa mencegahku memasukkan Aseng junior ke sarang sahnya. Sensasinya berbeda kalo boleh kukatakan. Rasanya lebih nyaman dengan istri sendiri walau dikelilingi anak-anak yang bisa sewaktu-waktu bangun.
Kupompa pelan-pelan agar springbed King size ini tidak terlalu berguncang. Aku belum sanggup waktu itu beli springbed mahal yang gak goyang walau ada kuda lari-lari di atasnya. Nanti kubeli ah. Istriku merem melek merasakan rojokan Aseng junior di liang kawinnya yang diproteksi asuransi IUD. Belum masanya Salwa punya adik, kan?
“Udah-ah… Mandi lagi sana…” usir istriku setelah aku menyelesaikan hasratku untuk yang keberapa kalinya hari ini. Abis ini aku harus poding telor bebek mentah 5 bijik. Isi pelerku udah kering keknya. Aku mandi lagi menyegarkan tubuhku yang lelah. Sehabis mandi aku ngaso dengan duduk-duduk di teras depan rumah. Menikmati angin dan matahari sore menjelang malam Minggu. Gak kerasa malah aku ketiduran di kursi ini.
Bangun-bangun malah sudah ada orang lain yang menemaniku duduk di teras ini. Istriku dan Yuli ada di sini. Mereka sedang ngobrolin sesuatu dan membiarkanku tidur nyenyak. Aku gak mau tau apa yang mereka obrolin. Istriku sedang mendandani anak gadisnya yang beranjak besar dengan bermacam pernik bayi yang imut dan lucu.
“Tidur di dalam sana… Kek gak ada tempat tidur aja…” kata istriku yang diberitau Yuli kalau aku sudah bangun. “Elap itu encesnya… Kek anakmu aja tuh si Rio belum bangun…” katanya lagi. Yuli tertawa-tawa melihat tingkahku. Gunung 38DD sedikit berguncang karenanya. Aku sudah tau semua isinya jadi gak perlu penasaran lagi.
“Lucu ya, papanya Rio…” komentarnya lalu menutup mulutnya tertawa lagi. Aku masuk rumah dan mengerling padanya tanpa diketahui istriku. Menuju kamar lagi dan tidur bareng Rio sampe menjelang Maghrib. Gak sehat kali ya, kan? Bangun tidur Rio sudah gak ada. Mungkin ia bangun gak lama aku terlelap di sampingnya. Apa mungkin terganggu ngorokku?
Karena merasa bersalah telah mengabaikan keluargaku akhir-akhir ini, malam Minggu itu aku habiskan jalan-jalan bersama keluarga kecilku. Kubawa mereka ke satu mall paling hits di Medan. Kubiarkan istriku belanja sesukanya, anakku bermain sepuasnya. Aku ikutin semua keinginan mereka. Istriku terheran-heran karena aku gak segan-segan ngeluarkan uang banyak malam itu. Tak mengapa asal kalian bahagia. Walau bahagia tak bisa diukur lewat harta. Yang penting selalu bersama.
Walaupun sedang jalan bareng keluargaku, tanggung jawabku harus tetap kujaga. Beberapa kontak rutin kuhubungi.
Yuli: bg Aseng mlm ini ZONK misua ada di rumah besok2 lg ya?
Aseng: iya mlm ini istirahat dulu awak. minta jatah sm abg itu dl ya
Yuli: iya paham bye :kiss
———————————————-
Ppt: jam berapa kemari bg?
Aseng: blom tau Pit msh diluar
Ppt: jgn capek2 ntr gk fit bikin anaknya
Aseng: oc bos
Ppt: kabarin cpt ya. :hug
Istriku bolak balik menanyakan pendapatku tentang beberapa barang yang ditaksirnya dengan mengirim foto ke BB-ku. Aku mengawal kedua anakku yang sedang riang-riangnya bermain di arena permainan. Banyak MILF-MILF cantik di sekitarku yang juga bersama anaknya. Momong anak sekalian cuci mata nih ceritanya.
Polda: bagusan yg merah ato maroon?
Aseng: sm2 merah kan itu
Polda: ato yg burgundy aja?
Aseng: msh merah jg kan?
Polda: tp lbh elegan yg biru tua sih
JDERR! Tau deh yang punya polda di rumah ato minimal pacar ya? Belanja bareng mereka bikin ribet. Akur, ya? Gak usah dibahas karena mereka mahluk paling ribet sejagat raya. Paling enak digenjot juga. Jadi para lelaki harus punya ekstra kesabaran kalau masih mau nggenjot mahluk paling enak sekaligus paling ribet di jagat raya.
Abis shopping dan bermain, diakhiri dengan makan di satu resto makanan khas Italy. Karena kedua anak kami sudah ngantuk jadinya pakai jasa take-away aja dan langsung pulang. Rio dijepit di antara aku dan istriku, Salwa digendong. Ribet ya kalo pake motor berempat begini. Sabar… Jasa Supra X 125-ku sungguh besar mengantarku mencari rejeki dan jalan-jalan menghibur keluarga.
————————————————————————
Sampai rumah, ternyata istriku belum juga ngantuk. Mungkin masih terlalu gembira karena dibiarkan shopping ria. Dia juga bertanya-tanya dari mana uangnya karena ia belanja cukup banyak dan tentunya menghabiskan banyak uang. Aku hanya bilang kalo ada rezeki lebih dari hamba Tuhan. Sebagai ucapan terima kasihnya, ia malah menyervis Aseng junior kembali. Padahal udah disiapin buat Pipit itu muatan, kan? Trus kalo ada sisa buat Iva juga. Hu-uh.
Istriku terkapar lelah dengan tubuh bugil dan liang kawinnya bernoda spermaku. Ia tidur lelap di karpet di bawah ranjang seserahanku padanya 5 tahun lalu. Kedua anakku tidur dengan damai di atas ranjang, tak terganggu pertempuran orang tuanya barusan. Kututupi tubuh istriku dengan selimut agar tidak masuk angin berbugil ria begitu. Aku bersih-bersih di kamar mandi. Jangan sampai Pipit mencium aroma sisa pergumulanku barusan. Aku tetap harus menjaga perasaannya.
Ini sudah jam 23:12 malam. Sebelum menyatroni rumah Pipit, aku keluar gang dulu ke keramaian Mabar untuk ngisi tenaga. Istilah Medan-nya poding. 5 butir telor bebek campur madu kutenggak habis. Amis euy. Malam Minggu di gang kami ini agak sedikit ramai karena di salah satu rumah ada yang lagi kumpul-kumpul bakar ikan. Tercium aroma bakarannya yang enak. Aku merapat di sana sebentar untuk basa-basi lalu pamit secepatnya. Nyari jalan memutar agar bisa masuk dari pintu samping rumah Pipit yang gelap karena lampu tidak dinyalakan. Pipit sudah membuka kunci pintu itu agar aku dapat masuk dengan leluasa. Masuk ke rumah orang bak maling, aku sudah berada di dapur rumah Pipit yang gelap. Hanya lampu di teras depan yang menyala dan di dalam kamar. Ada beberapa kamar di rumah sebesar ini dan hanya itu yang menyala, terlihat pendar cahaya dari sela atas dan bawah pintu.
Kuketuk pintu dua kali dengan nada yang sama seperti waktu di hotel kemaren-kemaren. Tak lama pintu terbuka sedikit karena Pipit mengintip dari balik sana dengan senyum malu-malu. Ditutupnya kembali pintu tetapi tidak rapat dan undur diri tak terlihat lagi. Cukup untukku masuk sebagai garong binor.
Pipit berdiri di sana dengan pakaian yang sangaaat seksi dan provokatif. Pakaian yang seperti terbuat dari full renda berwarna hitam karena dari bahan kainnya tembus pandang kulit di baliknya. Pakaian ketat sampai menutup kaki itu tak berlengan, bermotif floral di beberapa bagiannya. Pipit berdiri tegak dengan high heel hitamnya walau masih malu-malu menutupi bagian-bagian vitalnya yang terawang karena bahan pakaian vulgar ini.
“Wow… Pit… Ini seksi sekali… Woow…” kataku masih terperangah. Kenapa ia berpenampilan seperti ini di malam begini. Aku mengelap mulutku yang ngiler beberapa kali. Bagian vital yang jelas terlihat tentu saja dua titik putingnya yang menyembul di atas payudaranya. Lain halnya dengan témpek mungilnya yang tak berambut plontos, hanya berbentuk segitiga imut saja.
“Bagus gak?” tanyanya memaksakan diri berkacak pinggang, memamerkan seluruh tubuhnya padaku. Ia menggigit bibir bawahnya karena masih kikuk belum tau pendapatku.
“Ini de best, mbaaaak… Dua jempol pokok’e…” kataku menyodorkan dua jempolku padanya. “Tambah satu lagi-la ini… Kalo tambah dua… jatuh awak…” lanjutku menyodorkan jempol kaki kiriku sehingga 3 jempol untuknya, aku berdiri satu kaki. Ini di luar bayanganku. Bahkan Iva yang seksi di foto-fotonya gak punya koleksi seberani ini.
“Ish… bang Aseng… Aku isin-loh ini… Beneran, toh?” tanya Pipit menarik satu tangannya dari pinggangnya untuk menutup selangkangannya. Pipit menggembungkan pipinya dengan lucu karena ngambek mengira aku bercanda.
“Beneeer loh, mbak… Aku tambahin koprol ini…” kataku berusaha meyakinkannya dengan jungkir balik di hadapannya. Lalu menyodorkan keempat jempol yang aku punya sambil selonjoran di lantai. Alhasil Pipit tertawa terbahak-bahak karena lucu akan dagelanku. “Bener loh, mbak… Ini top markotop punya… Apa awak harus koprol lagi trus guling-guling, piye?” tawarku nambah salto plus jadi kambing guling.
“Wes… uwes… Bang Aseng opo, toh… Beneran isin-loh aku ini…” cegahnya tapi menempatkan lagi kedua tangannya ke pinggang hingga penampilannya kembali paripurna. Bener-bener seksi nih binik orang. Beruntung kali kau Imran yang lagi jauh di Jakarta sana. Tapi walaupun beruntungnya sedang kucaplok karena aku udah beberapa kali ngecrotin binor ini. Ditambah lagi malam ini. Calon diencrotin lagi.
“Seksi abis, mbaaak… Suwer kewer-kewer… Gak nyangka aku, mbak… Beli dimana nih, Pit? Belanja online?” tanyaku masih duduk nonton parade Pipit yang kini memberanikan diri berjalan-jalan di seputar kamarnya dengan outfit seksi ketat berbahan renda hitam itu. Perasaan kek nonton pagelaran busana live oleh Victoria Secret’s jadinya.
“Dibeliin suami di sono-noh… Tadi sore baru nyampe paketnya… Katanya pengen nyobain nanti kalau dia sudah pulang nanti… Kangen berat katanya…” jelasnya akan asal-muasal outfit seksi ini. Begitu ceritanya.
“Trus… kok ditunjukin ke awak, ya?” aku gak habis pikir juga nih. Ini harusnya privat mereka berdua aja, kan? Masak perdana ditunjukin padaku. Kek ngasih pertunjukan perawannya padaku. Perawan? Analoginya cocok gak ya?
“Ish… Bang Aseng gak peka-ih… Pipit make-nya khusus untuk abang aja malam ini… Pertama-tama harus untuk abang Aseng dulu… Biar semangat buatin anak ke Pipit-nya…” ngambek manja deh ini binor. Tangannya bersilang di bawah dada, kaki dihentak-hentak manja, pipi menggembung dan mulut manyun pengen tak cipok aja kalo gak ingat-ingat.
“Yee… Ngambek binik orang… Gak usah pake gini-gini juga awak semangat 45 aja trus… Ayo… keluarin yang lain…” kataku sesumbar. “Eh… Masih ada yang lain, ya?” malah nebak sendiri. Pipit merubah mood-nya dengan tersenyum lebar yang manis sekali. Ia mendadak bersinar-sinar karena bahagia yang diciptakan pikirannya sendiri. Ia kembali berjalan bak pragawati ke balik ranjangnya sana yang ada partisi rotan yang biasa dipakai untuk berganti pakaian.
“Awas jangan ngintip! Tak culek matanya-sek…” ancam Pipit padaku agar gak macem-macem. Lah buat apa ngumpet-ngumpet gitu? Lah aku udah liat semua-mua tubuhnya sampe dalam-dalamnya segala. Mungkin karena tadi itu ‘isin’. Jadilah selama menunggu Pipit ganti kostum aku menilai bentuk kamar yang berbentuk elegan sekaligus nyaman nanti. Di sini ternyata selama ini Pipit mengurung dirinya. Kamar ini dibuat senyaman mungkin untuknya mengisolir diri dengan lengkap. Kamar berukuran luas ini mungkin ruangan paling luas di rumah ini karena prabotannya. Bahkan ada sofa santai di depan TV layar lebar yang lengkap dengan home theater-nya. Aku duduk nunggu di sofa itu.
“Bang Aseng?…” ia keluar dari balik partisi dan aku langsung sumringah lagi melihatnya. Selera Imran, lakiknya sangat piawai dalam memilih outfit seksi buat biniknya. “… kalau yang ini gimanaa?” tanya Pipit memamerkan pakaian yang baru dicobanya ini. Berupa pakaian seksi serupa baju renang one piece (seluruh badan) berlengan panjang berleher turtle neck tetapi bawannya hanya cangcut minim berwarna abu-abu. Seksi abis…
“Ini bagus kali, Pit…” kataku bolak-balik atas bawah menjilati seluruh tubuhnya dengan mataku. Bagian payudaranya menggembung walau ia tak memakai bra di balik sana tapi karena kostum ini ketat hingga bentuk sempurna tubuh Pipit jadi semakin indah. Apalagi kala ia memposisikan kedua tangannya di pinggangnya yang ramping, dadanya semakin membusung indah. Ia berputar perlahan memamerkan sisi belakang pakaian itu. Pantatnya yang indah terekspos sempurna karena kecilnya bahan yang menutupi belahan bokongnya saja.
“Beneran, bang?” kata Pipit memastikan perkataanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain kembali memberi empat jempolku yang ditanggapinya dengan senyum lebar puas. “Yo wis… Aku tak salin yang lain disek, yoo…” katanya lalu ngumpet lagi di balik partisi itu. Ada berapa biji rupanya pakaian seksi yang dibeli Imran di Jakarta sana untuk biniknya? Sukak hati dia aja-la… Aku yang ketiban durian runtuh menikmati pemandangannya pertama kali dengan semua pakaian itu. Di balik partisi sana terlihat beberapa kilasan lampu flash. Mungkin ia mengambil foto lagi untuk dikirimkan pada suaminya nanti sebagai bukti kalo semua pakaian itu sudah dicobain semua.
Aku menanti dengan antusias akan apa yang nantinya akan ditampilkan Pipit padaku. Pakaian seksi macam apa yang akan dipakainya? “Bang Aseeng…?” ia keluar juga. Nafasku seperti berhenti karena takut kehilangan momen indah ini. Ini paripurna seksinya. “… kalau yang iniii… Gimana?” katanya berdiri tegak tetapi tangan kananya bersilang di bawah dadanya. Aku hanya bisa mengangguk-angguk. “Apaa? Ngomong dong?”
“Piit… Awak boleh nerkam sekarang, gaaak? Ini udah naik…” kataku menunjuk pada gembungan di celanaku yang membentuk tenda Indian. Aseng junior sudah bangun dari tidur indahnya. Aku bener-bener harus meminta izinnya kali ini. Pakaiannya kali ini kurang ajar seksi dan nakal. Masih bertema pakaian renang one piece, tanpa lengan tapi seluruh bahannya berupa jaring-jaring halus yang tentu saja menunjukkan semua apapun yang ada di baliknya. Kedua putingnya dan dadanya, bolongan pusarnya, apalagi bentuk témpek gundul mungil dengan jengger berlebih itu.
“Eits… No… no… noo…” katanya sambil menggoyangkan jari tanda verboden. Aku belum boleh ngapa-ngapain Pipit sekarang juga padahal ini nafsu udah di ubun-ubun. Ditambah lagi ia berputar dan memamerkan bagian belakang tubuhnya sambil sesekali melirikku yang sudah siap-siap menerima instruksi serbu. Gerakan-gerakan yang hanya dilakukan normal saja menjadi super binal sekarang berkat pakaian bahan jaring ini. “Masih ada yang lain… Sabar ya, baaang…” nakal ia berlari kecil ke balik partisi lagi.
Kalo gak mikir-mikir ancamannya tadi, aku sudah samperin partisi itu dan menggasaknya sekarang juga. Tapi ia pengen dipuaskan dengan cara ini. Setidaknya aku harus menghormati fantasy Pipit juga. Ia sudah menahan malu untuk banyak hal padaku dan aku hanya perlu bersabar dan mengikuti keinginannya. Lagipula aku pasti bisa menggagahinya sepuasnya malam ini. Terliat kilatan flash kembali dari balik partisi itu. Beruntung kali kau Imran, punya binik cantik dan seksi seperti ini. Walau aku yang bertugas menghamilinya malam ini.
“Kaloo yang iniii… gimanaaa?” ia keluar beberapa waktu kemudian setelah salin kembali akan outfit seksi baru. Ia keluar dengan pakaian hitam lainnya, masih semi transparan dengan banyak pita yang seksi dan imut karena memang berbahan minim. Ia hampir tergelak tertawa melihatku yang sedang merancap Aseng junior pelan-pelan sambil miring kanan-miring kiri untuk memuaskan mataku akan penampilan seksi Pipit. Pake apa aja pasti seksi pastinya ini perempuan. Apalagi kalo bugil. Aku juga yakin kalo bunting sekalipun pasti tetap seksi.
“Piiit… Awak dah gak tahan niiih… Seksi kali Pipiit pake itu semuaa… Gak tahan kali awaakk…” keluhku masih dengan Aseng junior di tangan. Takutnya keluar duluan karena ngayal kelamaan ngeliat bodi seksinya. “Ayok-laa, Pit…” kataku memintanya segera gelut.
“Masih ada yang lain-loh, bang Aseng… Yang sabar yaaa…” katanya menggantungku lebih lama dan kembali ngacir kebalik partisi rotan itu. Terliat kembali kilatan flash dari kamera HP-nya beberapa kali. Aku melepas peganganku pada Aseng junior yang tentunya kerasa enak karena birahi sudah tinggi. Kalo lama-lama mungkin ubun-ubunku akan mengepul. Sayang aja kalo aku harus ngecrot di tangan sendiri. Minimal harus menyentuh Pipit, ujung jari kakinya pun gak pa-pa.
Lagi-lagi ia menyiksaku dengan tampilan seksi pakaian bertema perawat berwarna putih dan lagi lagi transparan. Hingga kedua puting terlihat gelap menggantung indah di payudaranya. Rok menjuntai terusan dari bawah dada hanya sampai setengah paha. Untungnya Pipit masih memakai celana dalam putih yang imut karena mungilnya. Ada tanda palang merah di tengah dadanya. Berputar-putar ia mengibaskan rok pakaian itu hingga mengembang nakal hingga celana dalam imut di baliknya mengintip. Aku mencekik Aseng junior karena gak tahan.
Entah ada berapa banyak lagi stok pakaian seksi yang dikirimkan Imran untuk biniknya ini. Pastinya, walau berbahan minim begitu harganya pasti mahal. Dan Pipit keluar lagi dari markas penyiksaannya padaku dengan kostum Maid yang tak kurang seksi. Pakaian berwarna hitam putih itu juga minim bahan apalagi roknya sangat pendek hingga ujung segitiga celana dalam hitam mungilnya mengintip kala Pipit berpose tanpa malu-malu lagi di hadapanku. Apalagi kala ia berbalik waduuh.
“Ini yang terakhir, baaang…” katanya keluar setelah rangkaian beberapa kostum yang telah dipamerkannya padaku. Sebelum keluar ia malah sudah melakukan foto-foto duluan di balik partisi. Tak kalah seksi, kostum merah menyala ini masih berbentuk pakaian renang one piece. Bagian belahan dadanya berjarak lebar hingga mengekspos payudaranya dengan vulgar, terus sampe bagian bawah yang disatukan tautan tali bersilang berwarna senada. Jalinan tali terhenti tepat di atas témpek mungilnya yang tak terlindungi apapun karena bagian bawah penutupnya hanya melintas di bagian samping selangkangannya. “Gimanaaa? Seksi, gak?” tanya Pipit kek udah tanpa beban lagi. Pipit udah gak malu-malu lagi melakukan ini. Ia berputar memamerkan lagi bagian belakang tubuhnya yang tertutup pakaian binal ini.
“Seksi kali, Piiit… Awak keknya udah mabook ini, Piit…” kataku merancap pelan Aseng junior sambil bersandar lemas di sofa ini. Semua pakaianku udah kubuka dari tadi karena aku dah kek orang gila yang melotot non-stop pada binik orang yang memamerkan tubuhnya padaku walau masih berbalut pakaian minim. Dimana Imran membeli semua itu? Aku mau beli juga untuk istriku nanti. Mau gak dia makenya?
Pipit ketawa-ketiwi melihat keadaanku yang sudah kek pemadat sakaw. Tangan memegangi Aseng junior yang menegang keras berwarna merah kebiruan akibat dipaksa menahan diri. “Sori ya, bang Aseng… Kaciaaan yaaa… Sini-sini Pipit ademin dulu…” katanya pengertian. Jantungku berdebar kencang melihatnya menghampiriku yang duduk bersender lemes di sofa kecil ini masih dengan kostum merah itu. Apa yang akan dilakukannya? Ngisepin Aseng junior? Atau apa?
Seperti sebuah adegan slow motion yang kuliat ketika ia menaiki sofa ini, menepis tanganku yang masih mencekik Aseng junior, mengarahkannya pada liang kawin témpek mungilnya yang ternyata sudah basah, menurunkan tubuhnya hingga Aseng junior amblas masuk, menarik belahan dada kostumnya hingga kedua payudaranya melompat keluar, dijejalkannya ke mulutku.
“Aaahh…” erang Pipit yang mulai menggoyangkan tubuhnya naik-turun. Mulutku sibuk menikmati salah satu payudaranya. Pipit berpegangan pada bahuku mengontrol kecepatannya, menekankan dadanya ke mukaku. Hanya perlu beberapa kali goyangan dan kocokan dan tak butuh waktu lama, kami meledak bersama-sama. Gelegak sperma panasku meluncur masuk dan memenuhi rahimnya. Pipit menjerit sekali lalu membenamkan mukanya di kepalaku kala tubuhnya mengejang dan meremas Aseng junior-ku menyemprotkan bibit. Kami berpelukan erat dengan Pipit masih dipangkuanku. Semua pertunjukan tadi sangat tepat ditutup dengan cara ini. Pertunjukannya sukses memukau. Ia menciumi rambutku dengan puas.
“Pipit nakal-ih… Lama kali awak digantung kek tadi… Untung masih sempat keluar disitu…” kataku mengelus-elus payudaranya yang menyembul keluar dari kostum pamungkas itu. Pipit berbaring di sofa ini–pantat diganjal bantal, aku duduk lesehan di bawahnya kek kacung sedang ngobrol sama majikannya.
“Sengaja ngerjain bang Aseng Pipit, baaang… Hi hi hi…” ngakunya begitu. “Sori yaa, bang Aseeng… Tapi enaaak, kan?” katanya mencubit pipiku lalu mengguncangnya. “Pipit kan tau abang tahannya seberapa… Kalo suami Pipit mah dari tadi pasti udah crot duluan digituin… Bang Aseng deee best, deh…” pujinya lalu mengelus pipi yang tadi dicubitnya.
“Jantung abang lemah dek digituin… Kelamaan dag-dig-dug… Kapan ya? Kapan ya? Gitu trus… Ini udah tegang aja trus dari awal… pengen masuk… Tapi memang enak kali jadinya pas keluar bareng, ya?” kataku mengingat kenikmatan barusan. Kami berdua tertawa-tawa waktu aku mengatakan kalo aku juga pengen beli beberapa outfit kek tadi buat istri di rumah.
Bersambung