Part #20 : Istri Orang Mulai Nakal

Pulang kerja jam 2 siang, aku ketemuan dengan sepasang suami istri itu di suatu warung bakso di seputaran Mabar. Suami Dani bernama Akbar yang bekerja masih di seputaran Kawasan Industri ini juga di sebuah gudang otomotif.

Aku berikan mereka bualan standar dukun atau orang pintar yang biasa jualan obat. Kuberikan padanya botol air mineral yang diberi Dani tadi pagi, yang kukatakan sudah kubaca-bacain doa bin mantra beserta cara pakainya. Mereka mentraktirku makan bakso padahal aku sudah makan siang tadi. Alhasil aku pesan bawa pulang aja untuk orang rumah. Sewaktu pulang, Akbar bahkan menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah ke tanganku saat kami bersalaman. Kutolak itu semua mentah-mentah. Aku jadinya kek dibayar untuk ngentoti biniknya. Dibayar untuk menghamili biniknya. Dibayar untuk memberi enak biniknya.

“Gak usah, Bar… Awak cuma nolong aja… Awak gak mau dibayar kek gini-lah… Aku iklas nolongin kelen berdua… Betol… Serius aku…” tolakku walau ia terus memaksa. Dani senyam-senyum aja di belakang suaminya melihat adegan itu. Seolah menertawakan realita apa yang sudah terjadi dua kali di gudang arsip kantor tadi.

—————————————————
Sampe rumah, semua penghuni rumah dalam keadaan tidur siang. Istri dan kedua anakku tidur di kamar dengan damainya. Maksudnya pengen bobo siang juga, makanya motor kumasukkan ke dalam rumah agar aman. Sewaktu motor udah melewati pintu, terlihat sebuah taksi berwarna biru langit masuk melalui jalanan gang. Kendaraan itu berjalan perlahan karena memang gang ini tidak terlalu luas jalannya, hanya pas untuk satu mobil saja.

Penumpang di kursi belakang menurunkan kaca saat melewati rumahku. Itu Pipit. Dia pulang dari hotel? Menyudahi beberapa hari menginap di hotel di tengah kota itu. Dia tersenyum kecil padaku menyadari kalau rumahku sepi. Apa ini artinya, aku harus menyatroni rumahnya nanti malam untuk program hamilnya? Hari ini saja udah ada Dani. Kalau Yuli harus stop dulu karena suaminya sudah pulang. Kalau begini, hanya tinggal Pipit saja yang harus diurus.

Beberapa waktu kemudian taksi itu keluar lagi. Aku duduk-duduk di depan rumah sambil megang HP lagi.

Aseng: kok udah pulang?

Ppt: bosan di kamar hotel trus

Aseng: trus gimana?

Ppt: gimana apanya?

Aseng: programnya?

Ppt: program apa?

Aseng: ish Pipit. hamilnya

Ppt: ya kemari aj skrg. kkak itu mana?

Aseng: bobok siang sm anak2

Ppt: abg bobok sini aj brg aq

Aseng: gk ah

Ppt: klo gitu nnt malam aj

Aseng: tunggu kabar ya jam brp

Ppt: ok de ppt mau bobo cantik dulu

Aseng: met bobo cantik

Wah… Pengertian kali Pipit ini. Pake ngajak bobok siang bareng segala. Padahal mau istirahat dulu nih abis dikuras abis sama Dani di kantor tadi sampe 2 kali. Apa yang kurang ya? Buat teh dulu baru bobok siang. Yah… Gulanya abis. Beli dulu ah gulanya di tempat Iva. Sekalian cuci mata sebentar. Gang ini lumayan sunyi siang-siang begini. Anak-anak yang biasanya bermain disuruh tidur siang sama mamaknya semua. Hanya ada beberapa anak kucel yang kurang perhatian orang tuanya yang bermain di jalanan gang.

“Dah tutup, bu Ipa?” tanyaku pada pemilik warung/kede yang sedang memasukkan beberapa dagangannya yang digantung di depan pintu kede-nya yang terbuat dari besi.

iva

“Iya, bang Aseng… Mau bobo siang… Sepi… Jadinya ngantuk gak ada yang beli…” jawabnya lalu melongokkan kepalanya ke arah jalan gang yang sepi. Tidak ada orang sama sekali. Ia celingak-celinguk kanan-kiri. “Beli apa, bang Aseng?” tanyanya beralih lagi padaku yang memandanginya heran.

“Beli gula setengah, Pa…” kataku mengangsurkan uangnya.

“Gak sekalian beli pulsa lagi?” tawarnya genit sambil mengerling manja. Ia mempermainkan rambut panjangnya.

“Gak-la, Pa… Masih banyak dari yang kemaren itu… Iva sih… jahat…” tukasku. Kok kek pernah ngalamin ini, ya? Deja vu lagi-kah?

“Yakiiin? Kalau dikasih yang ini… gimana? Apa yakin… masih mau nolak?” remasnya. Ia meremas kedua payudara yang masih terbungkus kaos tanpa lengan itu dengan penuh nafsu. Lidahnya menjilat-jilat bibirnya genit. Kakinya digesek-gesekkan satu sama lainnya. Kulit putihnya bersinar cemerlang di dalam kede ini. Diantara kemilau plastik pembungkus jajanan yang digantung di sekitarku.

“…” aku hanya bisa melongo melihat adegan itu. Ini persis sama seperti mimpiku waktu itu. Bahkan dialognya sama persis. Aku bagai kerbau yang dicocok hidung, menurut saja kala ia menarik tanganku lebih masuk ke dalam kede-nya. Ia menutup rapat pintu besi itu setelah memastikan kembali tidak ada orang yang lewat, menguncinya lalu mendorongku masuk lebih dalam.

Di belakang etalase kaca kecil dimana ia menata bungkus rokok dan menyimpan uang pecahan kecil, ternyata ada sebuah kasur busa tipis yang biasa dipakainya tidur-tiduran kala menunggu pelanggan datang. Di sana ia mendudukkanku. Aku pasrah aja melakukan apa yang disuruhnya karena tersihir oleh pesonanya.

“Bang Aseng diam aja yaaa… Ipa mau nyobain abang duluuu…” ujarnya binal dengan ujung jari menelusuri pipi hingga bibirku. Masuk ke dalam mulutku dan membasahi jarinya dengan ludahku. Dipermainkannya lidahku. Selama itu ia agak membungkuk sehingga aku bisa menikmati pemandangan belahan dadanya yang terhidang di hadapanku. Ia sadar mempertontonkan ini semua.

Dijilatinya jarinya yang basah bekas ludah dari mulutku dengan seksi dan binal. Seperti menjilati es krim yang meleleh. “Uumm… Slk…” Ia menikmati jarinya untuk beberapa saat. Ia lalu melepas ikatan rambutnya dan mengurainya dengan elegan. Rambut panjangnya terurai indah di punggungnya. “Ini? Mau yang ini, kan?” tanyanya menunjuk. “Ipa buka, ya…”

Tanpa ragu ia menarik kaos tanpa lengan itu ke atas. Lolos dari kepalanya lalu kedua tangannya. Meninggalkan sebuah bra mungil yang hampir tak sanggup menopang dua bukit manja yang ranum-montok. Mencuat mengkal berwarna putih serupa seluruh warna kulitnya. Ia tak lepas menatap wajahku menilai ekspresi yang kutampilkan. Aku menatap bengong pada dua bukit manja itu bergantian dengan wajah cantiknya. Tangannya tak berhenti, bergerak ke belakang dan melepas kait bra mungil itu hingga bukit itu seperti runtuh–jatuh.

“Boing-boing…” dua bukit manja itu terbebas dari pengekang yang mengkungkungnya selama ini. Bentuknya sangat indah dan besarnya sangat pas untuk tubuhnya. Sepasang putingnya berwarna merah muda dan mungil. Belum ada bayi yang menyusu di sana karena anaknya adalah anak adopsi. Iva tersenyum lebar melihat ekspresi mupeng yang kutampilkan. Pria mana aja pasti mupeng melihat pertunjukanmu ini, Pa.

“Pa… Awak cuma mau beli gula… Gak sama susu…” kataku dengan nada serak. Apa ia sudah sering melakukan ini pada pembeli lain?

“Ssst… Ini bonusnya, bang…” katanya malah menubrukku yang masih duduk di kasur busa tipis ini. Lututnya bersedeku di samping kakiku, tubuh rapat padaku hingga dua bukit manja itu tepat di depan mataku. Nafasku tiba-tiba panas seperti terbakar, seperti menyemburkan api. Kepalaku panas terbakar juga.

“Paa… Jangan kek gini, Pa… Nanti ketauan tetangga…” cegahku. Ini masih siang bolong. Sekali waktu masih ada orang yang seliweran berjalan kaki atau dengan kendaraan di depan kede tertutup ini.

“Santai aja, bang Aseng… Aman, kok…” katanya malah menjejalkan satu bukit manja ke mulutku untuk membungkam protesku. “Isep, bang… Ipa dah kepengen kali, baaang… Mmph…” erangnya yang sepertinya sudah sangat bernafsu. Didusel-duselkannya sebelah bukit manja itu pada mukaku yang segera kutangkap dengan mulutku. “Enak bang… Isep yang kuaaat… Nghh…”

Kucucup-cucup pentil mungil itu. Pentil cantik secantik pemiliknya. Pentil yang imut walau sudah bertahun-tahun diemut Toni, suaminya. Entah kalau pacar-pacarnya yang dulu. Kusentil-sentil pake lidah lalu kugigit dengan bibir karena gemes. Iva mengerang-erang manja sambil mengacak-acak rambutku. Iva bahkan lebih manja daripada Pipit karena memang sehari-harinya ia memang begitu pada semua orang. Kalau Pipit hanya saat di ranjang aja ia berlaku demikian.

Iva meremas-remas bahuku lalu berusaha melepaskan kaos polo yang kukenakan sejak di kantor tadi. Lalu dijejalkannya kembali bukit manjanya padaku. Membuatku tak pernah lepas dari perangkap nikmatnya. Tanganku mengelus-elus punggungnya dan ia memindahkannya ke bongkah pantat padatnya yang masih terbungkus celana pendek. Kenyal dan padat. Sesuai dengan ekspektasiku, sesuai yang kubayangkan selama ini setelah mendapat berbagai foto pose seksinya. Tak jemu aku meremas-remas hingga Iva makin liar bergerak menduselkan bukit manjanya.

“Buka semua, bang…” bisiknya nakal menyuruhku melepas sisa pakaian yang tersisa di tubuhnya.

Aku yang sudah panas, tidak bisa berpikir jernih lagi dan menelusupkan tanganku masuk melewati kain celana dalamnya sekaligus demi menyentuh bongkah pantatnya langsung. Kulit ke kulit tanganku menyentuh kulit pantatnya yang lembut seperti pantat bayi. Halus lembut. Kutarik ke bawah dan celana pendek berbahan katun itu lepas dengan mudah. Sisanya Iva yang melakukannya. Aku tak bisa melihat semuanya karena mukaku masih terjejal dua buah bukit manja yang runtuh tepat menghimpitku. Tapi dari gerakannya, ia sudah meloloskan pakaian terakhir itu.

Itu artinya… Iva bugil di depanku!

Kudekap pantatnya dengan erat agar tubuhnya rapat denganku. “Mmphh…” erangnya. Terasa bulu-bulu pubis menyentuh dadaku. Terasa panjang dan menggelitik. Gundukannya lumayan tebal dan lembut. Mulutku mencaplok satu bukit manja itu dan berusaha memasukkan sebisanya ke mulutku yang kubuka lebar. Menyedotnya kuat.

“Bang Aseng saingan Mei-Mei, yaa… Pinter bener nyedotnya…” pujinya. Berpindah sedotanku ke bukit manja satunya. Kulakukan hal yang sama, membuatnya mengerang keenakan. Ditekan-tekannya perutnya ke arahku, mengangsurkan kemaluannya padaku untuk dikondisikan. Bahuku diremas-remas kuat. “Uuhh… Enak banget, baaang… Uhhm… Uhh…”

Lidahku menjulur tak rela kala Iva menarik dadanya dari jangkauanku. Pucuk kedua bukit manja itu basah kuyup oleh ludahku. Duduk di pangkuanku, ia menatapku sebentar penuh nafsu lalu menyerbu maju. Lidahku dengan mudah diserangnya. Disedot-sedotnya lidahku yang secara sukarela menjulur pasrah. Lidahnya ikut membelit-belit, bercengkrama dengan milikku. Pertukaran ludah menjadi hal biasa. Cairan manis saling bersua dan silaturahmi, menderakan rasa nikmat juga syahdu. Bibirku menjadi bulan-bulanannya kala ia mengulumnya bergantian atas bawah. Sungguh ia sangat piawai dalam seni bercinta ini. Tanganku tak mau nganggur, kedua bukit manja itu menjadi bahan remasanku. Ia memberiku ruang di sela permainan mulut kami.

“Cups…” kami berdua bernafas tersengal-sengal. Dipatuknya lagi tadi setelah mulut kami berpisah. “Bibir bang Aseng enak… Pinter juga gocekannya…” pujinya lagi. Disentuhnya bibirku dengan ujung jarinya lalu turun ke dagu. Ia beringsut mundur dari pangkuanku tetapi mengaitkan jarinya di tepi celana pendek selutut yang kukenakan. “Gantian…” Dengan gerakan cepat dan terukur Iva berhasil melepas celana pendekku beserta sempak sekaligus sampai batas betisku. Tak sanggup kutendang lepas.

Aku masih bengong tak mampu mencegah apapun. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Iva yang cantik rupawan, sedang bertelanjang bulat di depanku yang juga sudah telanjang bulat. Aseng junior-ku mengacung menunjuk langit—terangsang abis. Aku hanya bisa menggerakkan mataku melihat gerakan-gerakan MILF satu ini. “Ivaa…?”

“Ssstt… Abang diam-diam aja, ya…” bisiknya dengan nafas berat. Tangan kanannya melakukan sesuatu di lipatan selangkangannya. Entah berapa jari yang masuk mengorek-ngorek kemaluannya. “Ipa dah lama pengen berduaan aja dengan bang Aseng…” lanjutnya merapatkan dirinya. “Bang Aseng keknya juga suka, kan liat Ipa begini…? Bang Aseng sering ngebayangin Ipa bugil begini, kan? Maenin nenen Ipaaa… Ngentotin Ipaa…” desahnya bertambah seksi. Kening dan pipi kami bergesekan. Sesekali ia menjilat mukaku sementara tangannya terus bekerja.

“Mmm… Besar dan keraaas… Uhh…” tangannya sudah menggenggam batang Aseng junior. “Aahh… Enak, kaaan? Mmm… Keraass…” ia menggesek-gesekkan tubuhnya padaku. Apalagi ia juga sudah menggesekkan kepala Aseng junior ke belahan kemaluannya. “Mm… Memek Ipa gatel kali, baaang… Masukin, yaaa?” ia semakin gencar menggesekkan Aseng junior-ku ke memeknya. Rambut kemaluannya yang panjang tersibak becek akibat kegiatan ini. “Mmmpp… Ah…”

Aseng junior membelah sesuatu yang lembut dan hangat juga basah bergerinjal. Masuk perlahan seirama turunnya tubuh Ipa. Dan ZYAARR!! Kilatan putih menyerangku dari bagian depan. Tak dinyana ternyata Iva juga mempunyai gangguan semacam ini. Apa ini penyebab ia tak kunjung mempunyai keturunan sendiri? Aku berada sendirian di dalam rumah ini. Iva tidak ada dimanapun. Kisi-kisi pintu besi dan jendela di dekatnya gelap tak bercahaya. Ini dimensi yang berbeda. Ini bukan daerah Menggala seperti biasanya. Daerahnya tetap rumah ini semata. Ini pengaruh mahluk ghaib…

Buru-buru kupakai kembali celana pendekku. Untung tadi belum lepas jadi aku tidak harus berbugil ria kalau harus bertarung lagi. Apa yang menyerangku kali ini? Aku harus segera mencari tau. Cahaya ini? Cahaya putih yang tadi berkilat menyilaukan berasal dari benda ini. Sebuah wayang kulit yang dibingkai figura mewah berwarna emas mengkilap. Apa wayang kulit ini yang menyerangku? Apa salahku? Apa karena aku sedang menyelingkuhi istri pemilik wayang ini? Milik Toni? Apa Toni tau kalau wayang ini punya kekuatan?
“Selamat siang?” kataku mencoba menyapa benda itu. “Apakah engkau yang ada didalam wayang kulit ini bisa saya ajak berdialog secara baik-baik?” kusatukan tanganku kala berbicara pada benda itu. Aku yakin 100% ada sesuatu di sana. Kembali cahaya putih itu berkilat-kilat berberapa kali dan sesosok mahluk berbentuk pria berpakaian adat Jawa, lebih tepatnya wayang–keluar dari figura itu. Di punggungnya ada beberapa anak panah. Apa ini tokoh Arjuna yang piawai memanah di cerita pewayangan itu? Aku gak ngerti wayang sama sekali tapi mahluk berbentuk pria berpakaian wayang orang ini menari-nari di depanku sebentar dengan luwes dan gemulai tetapi penuh dengan kharismanya.

Ia kemudian berhenti setelah menyelesaikan entah tarian perkenalannya atau tarian apa. Ia menghaturkan kedua tangannya padaku dan kubalas agar keliatan sopan aja. Ia menatapku dengan persona bentuk pria yang memakai wayang orang lengkap. Walau kriterianya lengkap, aku menganggapnya tidak memakai baju juga seperti yang terjadi padaku saat ini, gak pake baju–hanya celana pendek sederhana. Aksesorisnya lengkap dengan kalung, topi, gelang lengan dan sejenis selendang kecil di dadanya.

“Perkenalkan nama saya adalah Prabu Pandu Dewanata… Suami dari Putri Kunti dan Putri Madri… Ayah dari para Pandawa Lima…” katanya memperkenalkan diri. Sumpah aku kaget mendengarnya. Bahkan lebih kaget dari pada mendengar suara klenengan gamelan Jawa di background percakapan kami ini. Kaget tentu karena level tokoh ini sangat tinggi di cerita epiknya. Bayangin aja kalo aku sampe ribut sama ini tokoh, trus dia manggil kelima anaknya, apa gak auto modyar akunya? Bayangin ada Yudhistira, Bima, Arjuna dan si kembar Nakula-Sadewa. Itu lima bintang-bintang semua, kan di cerita Mahabharata.
“Nama saya Nasrul… Orang-orang memanggilku sebagai Aseng… Menggala Suba dan juga Menggala Wasi… Salam kenal…” kataku gak mau kalah pamor. Biarin dia gak ngerti. Lah wong aku juga gak paham kali wayang-wayangan juga, kok. “Apakah ada masalah sehingga anda harus melakukan ini pada saya… sedemikian rupa… Mengundang saya ke tempat ini… Sudikah anda memberi saya wejangan?” kataku masih hati-hati. Apa perannya?

“Saya adalah seorang Prabu Hastinapura… Seorang pria malang yang mendapat kutukan walau sedemikian banyak anugrah yang kumiliki… Memiliki kerajaan yang masyur dan makmur… Mahir memanah…” aku belum bisa menangkap arah pembicaraannya kecuali tentang kutukan pria malang dan pemanah. Jangan bilang kalau kau pencemburu. “… hanya gara-gara kijang biadab yang ternyata resi mesum itu… ia mengutukku seperti ini…” O… Keeh… Jadi curhat dia. “Mandul…”

Jadi kalau menurut cerita asli Mahabharata, yang asli dari India sana, Prabu Pandu Dewanata ini bukanlah ayah biologis dari kelima Pandawa (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Ini dikarenakan ia pernah memanah seekor kijang yang rupa-rupanya adalah perubahan seorang Resi bernama Kindama. Ia berubah menjadi kijang karena pengen ngerasain rasanya kimpoi (mungkin kalo bentuk manusia tengsin dia kawin karena status Resi-nya, jadi kijang mah bebas). Sang Resi mengutuknya akan langsung meninggal jikalau ia melakukan hubungan suami-istri (dendam membara nih Resi lagi kimpoi dipanah dan mati). Punya dua istri (hampir tiga malah) dan gak bisa ngeseks untuk meneruskan keturunan itu fatal banget bagi seorang raja untuk kelangsungan kerajaannya. Jadi bertahun-tahun karena takut mati, ia tidak pernah menggauli kedua istrinya dan tentu saja tak bisa mendapat keturunan. Trus, Pandawa Lima dari mana? Pandawa itu artinya keturunan Pandu. Ternyata istri pertamanya, Kunti pernah mendapat anugrah mantra untuk memanggil Dewa untuk mendapatkan berkah. Dari sana ia memanggil Dewa Yama/Dharma yang bijaksana untuk mendapatkan Yudhistira, Dewa Bayu yang kuat dan cepat seperti angin untuk mendapatkan Bima lalu Dewa Indra yang tampan, sakti juga jago memanah untuk mendapatkan Arjuna. Kunti mengajarkan mantra ini ke istri kedua, Madri untuk memanggil Dewa kembar Aswin untuk mendapatkan anugrah Nakula dan Sadewa. Prabu Pandu Dewanata tewas 15 tahun kemudian karena ia mencoba ngeseks dengan istri keduanya, kutukan berlaku dan ia wafat. Madri merasa bersalah dan ikut mati dalam api pembakaran suaminya. (Ini adalah versi asli Mahabharata, versi Jawa yang kita kenal agak sedikit berubah di sana-sini)

“Trus… Apa hubungannya dengan keluarga ini? Kau juga membuat suami perempuan ini mandul agar sama denganmu?” tembakku. Aku sudah mencium gelagat gak beres sejak tokoh ini keluar dari figura wayang kulit ini. Aku memperhatikan gerak-geriknya selama menceritakan kisah hidupnya tadi. Terlalu mengada-ada kalau seorang Prabu Pandu Dewanata muncul disini, kan?

“Demi kebijaksanaan… bukankah itu hal yang sepadan…” ujarnya.

“Kebijaksanaan? Jadi suami perempuan ini menyimpan wayang kulit ini supaya tertular sifat bijaksana tokohmu itu… Kemampuan jago memanah? Sekalian sama mandulnya juga? Bah! Mengada-ada aja kao!” ilang semua rasa respect-ku sama tokoh yang diselewengkan mahluk ini.

“Semua ada harganya… Aku tidak minta ada disini… Aku juga tidak minta ia mengagumiku…” katanya lagi tetap dengan personanya.

“Stop-ya… Banyak kali cengkunek (bualan) kao kurasa… Kao tunjukkan batang idung asli kao sekarang juga… Kalo enggak…. Kutepok kepala otak kao itu… Aku dah gerem aja nengok congor kao kek gitu…” kesalku dengan gigi rapat. Enak pulak dia mempermainkan manusia kek gitu. Dikiranya manusia itu apa? Tempat sampah yang bisa ditendang-tendang? Kuacungkan bakiak merah andalanku ke arahnya. Kalo dia gak buru-buru menunjukkan bentuk aslinya, tau-lah kao rasa pedas ditopar (ditampar) bakiak Bulan Pencak.

“Bentuk asli apa? Ini-lah bentuk sejatiku… Prabu Pandu Dewanata… Suami dari Putri Kunti dan Putri Madri… Ayah dari para PandaGUH!!” Kuhajar kepala wayang orang keblinger ini tepat di bagian kuping kirinya menggunakan bakiak Bulan Pencak-ku.

“Kauu… kalo nyamar jadi wayang kau pilih tokoh yang sesuai dengan sifatmu sendiri aja… Jangan kau rusak imej Prabu Pandu yang agung… Jadi buto cakil ato buto ijo cocok-nya kau…” makiku pada mahluk yang bergulingan setelah mendapatkan tamparan telak di kupingnya. Kutunjuk-tunjuk mukanya yang sudah berubah ke wujud aslinya, hitam penuh bulu lebat, sebagaimana seluruh tubuhnya. “Apa maumu sebenarnya? Cuma mau terus nidurin perempuan ini aja kao, kan?” kuinjak kakinya.

“AMPOOON!” jeritnya kesakitan kakinya kuinjak. Matanya yang merah menakutkan bagi penakut, menangis dengan bulir-bulir air mata sebesar kelereng. Kutendang lagi bekas injakanku tadi. “ADOOOHH!! AMPOOON! TOBAATT!” katanya minta maaf menjerit-jerit sejadinya. Bising pulak genderuwo pukimak ini kurasa. Udah kek begal motor ketangkap massa. Tadi garang kali, sekarang kek kucing masuk paret.

“Apa maumu? Jangan jerit-jerit aja kerjamu? Kupecahkan pulak kepala kao nanti!” ancamku mengangkat bakiak Bulan Pencak di tanganku.

“JANGAN TUAAAN… JANGAN DIPECAHKAN, TUAAAN… MATI HAMBA NANTI, TUAAAN…” jeritnya lagi menjura hormat padaku.

“Iyaah! Menjerit lagi? Jawab!” ancamku lagi dengan tangan terangkat.

“IYA-IYAA, TUAAN…. Perempuan ini sangat istimewa sekali, tuan… Cantik dan menawan… Hamba tertarik untuk memilikinya selalu… Kalau dia sampai hamil… bakal rusak kecantikannya… Jadi kubuat suaminya dan lelaki manapun yang mendekatinya mandul seperti Prabu Pandu Dewanata, tuan…” jelas genderuwo kimak satu ini. Entah udah berapa kali ia meniduri Iva. Bertahun-tahun-eh…

“Ooh… Ngono toh?” pahamku manggut-manggut. “Udah berapa lelaki yang kau buat mandul?” tanyaku. Secara gak langsung aku bisa tau sudah sama berapa lelaki Iva berselingkuh.

“Selain suaminya… Ada dua tuan…” katanya bersungut-sungut menjijikkan sambil mengelus kakinya yang sakit.

“Ya, udah… Sebelum kau kuusir… Tinggalkan mustika-mu di sini…” perintahku menunjuk lantai dengan bakiak.

“Ampun, tuan… Jangan tuan… Hamba bisa mati nanti tuan…” rengeknya menjura menyembahku agar aku berubah pikiran. Rata-rata mahluk ghaib di level ini mempunyai inti kekuatan yang dipakainya untuk berbagai hal. Genderuwo ini menggunakannya untuk mempengaruhi manusia sedemikian rupa. Mustika genderuwo ini biasanya berbentuk batu mulia dan sejenisnya.

“Kubilang tinggalkan mustika-mu… Atau kupecahkan kepalamu sekarang juga! Sama-sama mati-nya kau…” ancamku dengan mengangkat bakiak yang ditakutinya. Senjataku ini terbukti bisa membuatnya gempor ampun-ampunan. Ia masih menjura menyembah. “Kalau kau pergi kuusir gitu aja… kau bisa mengulanginya lagi sama perempuan lain… Cepat! Taroh di sini mustika-mu!” bentakku.

“Ampun, tuaaan… Apaa tidak ada cara lain? Huu huu… huu huu…” nangis pulak pukimak satu ini. Kukencingi juga setan satu ini.

Dengan kaki kiri yang masih memakai bakiak Bulan Pencak, kuinjak pergelangan kakinya yang sehat. Ia menjerit mengaduh-aduh kek babi dijagal. Tangan kanan bersedia menghajar kepalanya pakai bakiak kanan kalau dia masih enggan.

“IYAAA, TUAAAN… INI… INI… MUSTIKA-KU, TUAAAN…” ia meludahkan sebuah gelang lengan yang kerap dipakai wayang orang, terbuat dari emas asli dengan ukiran rumit bertahtakan beberapa permata kecil berwarna merah dan putih. Sepertinya barang kuno dari jaman kerajaan dulu. Pastinya ini barang berharga. Kukutip benda itu lalu kuperhatikan lebih seksama. Dengan ini ia sudah memperdaya banyak manusia dan mencelakai juga. Ia mengelus-elus kedua kakinya yang sakit.

“Ya udah!… Pergi kau jauh-jauh sana!… Awas kalau kau buat ulah lagi… Kupecahkan kepala otak kao itu…” usirku. Ia dengan manut patuh pergi membawa tubuh hitam besar penuh bulu kasar itu dari rumah ini dan menghilang di balik tembok entah kemana. Mustika genderuwo itu kusimpan agar tidak membuat ulah. Kuposisikan tubuhku semirip mungkin dengan posisi terakhir saat bersama Iva tadi, sebelum insiden bersama genderuwo pukimak tadi. Celana melorot sampai betis…

“Baang… mana? Manaa?” desah Iva sange berat karena Aseng junior-ku tidak jadi menusuk masuk ke memeknya. Iya, benar, Aseng junior-ku menciut akibat kejadian barusan dengan wayang orang gadungan tadi. Kupeluk tubuhnya yang duduk di pangkuanku. Aseng junior menggeliat karena terjepit belahan pantatnya yang halus.

“Ipa… Ipaa… Dengerin? Awak mau tanya dulu… Dua orang yang Ipa ajak selingkuh kek gini itu siapa aja?” tanyaku. Ekspresinya langsung berubah kaget karena aku tau rahasianya.

“Ma-maksudnya, bang?” matanya bergerak-gerak menatapku. Ia tidak bisa kabur karena tubuhnya kupeluk erat.

“Iya… Siapa aja? Kasihan mereka berdua, kan? Burungnya gak bisa idup lagi sama kek Toni…” kataku mengecup cepat bibir manisnya. Iva hampir menangis mendengar kata-kataku barusan. Iva lalu menuturkan nama-nama dua orang tersebut. Pertama adalah abang iparnya sendiri, yang membantu memasukkan Toni jadi PNS dengan gelontoran duit sogokan yang tak sedikit. Minta balas budi malah pengen nyicipin tubuh istri adik iparnya sendiri. Lelaki itu adalah suami dari kakak Toni—lebih jelasnya. Yang kedua adalah mantan pacarnya saat sekolah dulu, bertemu lagi setelah sekian lama terpisah. Selingkuh dengan dua pria ini dan itu terjadi setahun yang lalu.

“Jadi… awak ini selingkuhan Ipa yang ketiga-lah ya?” tanyaku. Ia mengangguk tak bisa mengelak. Dada kami rapat terhimpit dan Aseng junior mengangguk-angguk bangkit di belahan pantatnya.

“Tapi burung mereka gak bisa bangun, bang Aseng… Gak bisa masuk… Aku ini perempuan normal, kan? Pengen ngerasain enak… Pengen disayang… Pengen punya anak sendiri… Toni udah berobat kemana-mana tapi burungnya tetep gak bisa bangun, bang…” katanya menunduk sedih. “Masak Ipa harus pake burung-burungan (dildo) terus…” kesahnya.

“Apa Ipa gak heran… kenapa Toni… dan dua laki-laki itu gak bisa bangun burungnya? Gak curiga gitu… Trus… awak ini dah bangun loh…” Aseng junior kubuat menepuk-nepuk pantatnya. “… Apa nanti gak bangun juga?”

“Iya-ya, bang? Kenapa ya, bang? Kenapa waktu mau sama Ipa mereka gak bangun? Ipa salah apa?” herannya.

“Itu karena Ipa suka make burung-burungan itu… Ada genderuwo yang suka sama Ipa… Waktu Ipa make burung-burungan itu… sebenarnya genderuwo itulah yang masuk ke Ipa… Serem, kan?” kataku menjelaskan.

“Genderuwo!?” kagetnya lalu menubruk dan memelukku juga. Tubuhnya semakin rapat denganku. Karena gerakannya dan berkat ketelanjangan kami berdua yang berpelukan erat begini, Aseng junior sudah nangkring bebas ke belahan memeknya dengan sukses. “Ahhnn… Mmmm… Oohh…” diturunkannya tubuhnya hingga Aseng junior kini bersarungkan memek Iva. Liang kawin Iva yang licin dan basah sukses ditembus Aseng junior-ku. Mata Iva terpejam erat merasakan keras dan pejal kejantananku memenuhi dirinya. “Bhaaang… Masuuuk, bhaanng…. Mmmpph… Uuhh…” Kutahan tubuhnya yang bermaksud hendak bergerak naik-turun. “Bang… Ayo goyang… Kenapa?” ia tak sabar. Aku menahan tepat pada bagian pinggulnya dengan kedua tanganku sehingga ia terkunci begitu saja duduk dipangkuanku, masih dengan Aseng junior terpendam di dalam liang kawinnya yang basah.

“Dengarkan awak dulu, Pa… Kita teruskan kalo semua sudah jelas… OK?” kataku mencoba menarik perhatiannya agar fokus dengan kata-kataku. Iva mencoba menawar dengan mengempot-empotkan liang kawin. Aseng junior diremas-remas di dalam sana. Meki gundul Dani lebih sempit dari milik Iva tapi lumayan menjepit karena sama-sama belum pernah turun mesin. Ia lalu mengangguk setuju. “Genderuwo itu sudah tidak ada… Sudah pergi dan gak akan mengganggu lagi… Kalau kita teruskan ini… ada kemungkinan besar Iva bisa hamil… Mau?” tawarku.

“Hamil, bang?” ulangnya dengan wajah berseri-seri. Aku mengangguk meyakinkannya. Dipeluknya aku dengan erat lagi memeriahkan kegembiraanya. Lalu ia menciumi mulutku lagi lebih jauh. Lidahku dan ludahku menjadi mainannya. Lidahku disedot-sedotnya dan menawarkan lidahnya juga untuk kupermainkan. Aku gak ada waktu untuk itu, Aseng junior sudah cenat-cenut pengen digoyang. Bibirku kemudian menjadi bulan-bulanannya. Diemut dan dikulumnya sampe puas. Gerakan-gerakan tubuh Iva tak urung membuat kocokan tak disengaja walau kutahan. “Trus… Gimana, bang?”

“Harus ada perjanjian yang harus kita buat… Harus kita setujui bersama… Mau? Ada tiga poin saja, kok…” kataku. Perjanjian belum dibuat, Aseng junior sudah masuk aja. Iva mengangguk asal-asalan. Entah apa motivasinya. Karena ia sudah pernah selingkuh sebelumnya walau 2 pria itu gagal melakukan penetrasi akibat ulah genderuwo kimak yang meloyokan burung keduanya, ia tidak sungkan untuk selingkuh lagi denganku. Apalagi kali ini ada kemungkinan ia bisa hamil karena tak ada gangguan lagi.

“Yang pertama… Ipa tidak boleh lagi mencium awak karena hubungan ini tidak boleh ada perasaan lain… Hanya agar Ipa hamil saja… Ingat hanya agar Ipa hamil… Cium-cium itu gak perlu… Ingat?” kataku tentang hubungan. Masalah ciuman kutekankan berulang karena sepertinya Iva suka kali ciuman.

“Yang kedua… Ipa tidak boleh lagi selingkuh dengan siapapun setelah ini… Ingat?… Ini karena Ipa bakal jadi ibu anak ini nantinya… Dan gak boleh juga membicarakan ini dengan orang lain… Ini rahasia kita berdua… Bisa, kan?” kataku tentang kepercayaan. Ini karena sepertinya Iva akan ada bibit-bibit penyelewengan lagi di kemudian hari.

“Yang ketiga… Ipa dan Toni adalah orang tua dari anak ini kelak… Perlakukan ia dengan baik seperti seharusnya… Besarkan ia sebagaimana harusnya… Ini anak kalian berdua… Ini bisa, kan? Itu saja…” kataku tentang masa depan. Ini poin terpenting bagiku di setiap perjanjianku dengan para MILF-MILF ini.

“Tiga ya, bang? Ipa paham semuanya…” katanya dan kami bersalaman menandakan sahnya perjanjian kami (walau Aseng junior dan memeknya sudah bersalaman dari tadi). “Jadi boleh diterusin kan, bang?” Iva kembali mengedutkan liang kawinnya sporadis.

“Iya…” kulepaskan penahananku dan kubiarkan Iva mulai bergerak naik turun. Gerakannya teratur dan rapat ke tubuhku hingga dada kami bergesekan intens. Mulutnya menganga seksi merasakan nikmat yang terjadi di tubuhnya, berpusat di memeknya. Ia mengerang-erang dan terus bergerak.

“Yaahh… Aahh… Ahh… Uuhh… Enak kali, bang… Uhmm… Udah lama Ipa gak kek giniii, baang… Uuh…” ia bergerak binal memompakan tubuhnya pada tonggak Aseng junior yang berdiri tegak. Bukit manjanya juga bergesekan kasar ke dadaku. Pentilnya yang menegang menggerus dadaku dan sesekali juga berlaga dengan pentilku. Binal dan lugas sekali gerakan Iva. Dengan bertumpu pada lututnya, ia menggerakkan pantatnya naik turun hingga Aseng junior menghujam dalam ke memeknya tanpa halangan. Rambut kemaluan kami bertautan di banyak kesempatan dan mulai berkeringat.

“Bang Aseng yakin gak mau ciuman lagi? Enak loh ciuman sama bang Aseng…” katanya menggodaku dengan menggeolkan pantatnya berputar perlahan. Aseng junior-ku seperti diperas di dalam sana. Siku bertumpu di bahuku dan ia memegangi kedua sisi wajahku seolah akan mengecup bibirku lagi. Beberapa kali ia seakan bergerak maju akan mencium dan batal. Sebenarnya aku juga tergoda ingin menciumnya, tetapi teringat janji. Untung aku buat perjanjian setelah sudah merasakan kedahsyatan mulutnya. Itu untung atau rugi? Untung karena prinsipku terjaga. Rugi karena tak dapat merasakannya lagi.

“Enggak, Pa… Gak boleh lagi… Kita kan udah deal tadi gak boleh pake perasaan… Ciuman itu bisa buat perasaan kacau-loh…” kataku meringis karena Aseng junior diperas di dalam liang memeknya yang berputar geol yahud. “Di sini mulai panas ya… Sempit begini…” usulku minta pertimbangannya untuk tempat yang lebih baik dari ini. Diantara etalase dan dinding kede ruangnya sangat terbatas begini.

“Di kamar aja yuk… Ntar Ipa idupin AC-nya…” tanggap Iva. Aku mengiyakan. Iva bangkit dan terlepaslah Aseng junior dari kungkungan liang kawinnya yang sempit. Ia berdiri tepat di depanku yang terduduk. “Hi hi hi…” katanya tergelak manja karena memamerkan kemaluannya tepat di depanku. Jembutnya berbulu lebat panjang-panjang. Gemes aku ingin mencaploknya tapi ia keburu beranjak masuk ke dalam rumah.

Kususul dia yang berlenggak-lenggok menggodaku dengan pinggulnya yang digeal-geolkan berlebihan. Pantatnya yang telanjang tentu saja sangat mempesona. Pakaianku dan pakaiannya kubawa serta memasuki kamar yang ditujunya. Kututup pintu kamar dengan rapat dan terasa sejuk dari AC yang menyala. Iva membaringkan dirinya di atas ranjang yang seharusnya hanya jadi miliknya dan suaminya, tapi ia membawaku masuk. Bahkan dua pria itu juga masuk kemari.

“Sama dua orang itu… mainnya di sini juga, Pa?” tanyaku kepo.

“Iya… Abisnya Toni sering mancing kek hari ini… Ipa kan butuh pelampiasan juga… Ipa disuruhnya jaga kede aja terus…” jawabnya memposisikan dirinya senyaman mungkin di atas ranjang dengan tersenyum-senyum karena ngeliatin aku yang mengocok pelan Aseng junior agar tetap tegang maksimal. “Punya bang Aseng gede… Enak… E-eh…”

Kaget Iva karena kakinya kutarik hingga tubuhnya tertarik hingga pinggiran ranjang dan aku berjongkok di depannya. “Yaamm…” aku memakan memeknya yang terasa gurih becek setelah terlebih dahulu menyibak jembutnya yang panjang lebat. Iva mengerang hebat dengan pantat mengangkat akibat jilatan yang kulakukan. Rambut pubiknya basah oleh cairan lendirnya bercampur ludahku. Kulebarkan bukaan bibir memeknya agar aku tidak terganggu oleh lebat jembutnya. Iva membantu dengan melebarkan dan menahan kakinya agar terbuka luas.

“Aaahhsss…. Yaaa… Ituuu… Ituu… Mmmh… Auuhh… Yaaah…” erangnya berulang-ulang keenakan. Apalagi saat lidahku menusuk masuk bertindak seperti penis kecil yang menyenggamai lubang memeknya yang haus belaian lelaki. Ia menjerit-jerit kala kacang itilnya kusedot-sedot berbagai kekuatan sedotan, apalagi ditingkahi sentilan lidah, makin melambung tinggi dia jadinya. Belahan berwarna merah, merekah basah siap untuk dikawini kembali segera.

Tanganku mengelus-elus paha mulusnya yang menegang tak kala sedotan pada memeknya terus berlanjut. Mata kami bersitatap kala aku terus bermain-main di memeknya. Ia mengerang-erang seperti akan tertawa. “Kumis bang Aseng lebat kali…. Hi hi hi… Ahhh… Uh…” kimbek rupanya karena lebat jembutnya menempel di mulutku jadi mirip kumis Jampang.

“Ngejek yaa… Nih…” kujejalkan jariku masuk ke dalam liang kawinnya dan ia menjerit keenakan. Tambah jadi dua jari hingga liangnya semakin sesak mengatup ditambah lagi jilatanku pada kacang itilnya. Bertambah menjerit-jerit keenakan Iva jadinya. Ujung jariku mengaduk-aduk isi liang kemaluannya. Mengais-ngais bentuk gerinjal di dalam sana untuk titik pusat kenikmatannya. Di bagian atas ada gerinjal sedikit kasar dan itu kugesek-gesek membuat Iva blingsatan gak karu-karuan. Pantatnya geol kemana-mana dengan liar dan aku terus mengejarnya.

“Aahhkkh… Ah… Ahhh… Akkhh…” berkejat-kejat tubuhnya menegang kaku membentuk lengkungan sedikit kayang. Ujung jari kakinya cecah ke lantai dan kepalanya di kasur. Kedua tangannya mengepal sprei dengan kuat. Sementara kedua jariku terjepit erat karena lesakan kenikmatan orgasme Iva yang menyeruak dahsyat. Kucabut tanganku dan kupeluk tubuh kejangnya, berusaha menutup mulutnya agar tidak berteriak lebih kuat. Aku gak tau gimana kondisi kamar di rumah ini. Takutnya kedengaran sampai keluar suaranya. Bisa geger satu kampung kalo aku ketahuan ada di di dalam sini. Iva bisa menahan suaranya dan akhirnya hanya nafasnya yang terdengar.

“Bang Aseng… hu hu hu… Enak kali, baaang… Lemes Ipa, baang…” keluhnya manja tapi lemas berbaring dengan kaki terbuka di pinggiran ranjang.

“Enak ya… Udah boleh masuk lagi, kan?” pintaku permisi. Aseng junior kukocok-kocok pelan agar kembali greng maksimal. Iva mengangguk dengan meneguk ludah kehabisan suara. Kedua bukit manjanya naik turun teratur menarik nafas. Kulebarkan kaki Iva yang lemas lalu kupepet dan kutekan dengan tubuhku agar tetap terbuka. Alhasil Aseng junior menempel ke sarang barunya. Sarung cap Iva ngangkang.

“Aah…” desahnya kala Aseng junior meluncur masuk dengan berkat gerinjal-gerinjal nikmat sepanjang jalur liang kawinnya. Basah dan licin karena orgasme barusan. Seluruh panjang Aseng junior terbenam mentok hingga jembutku dan miliknya bertemu saling sapa. Perut Iva menegang kembali walau tak sampai membuatnya orgasme lagi. Mulutnya membuka menganga merasakan Aseng junior-ku menemukan tempat terdalamnya. Kutarik mundur dengan posisi tetap berdiri di tepian ranjang. Kedua kakinya kupegang di bawah lutut. Aksi sebenarnya Aseng junior.

Genjotanku kulakukan pelan-pelan tetapi panjang. Kutarik hingga sebatas leher Aseng junior lalu kudorong masuk sampai mentok, ulangi lagi. Masuk lagi sampai mentok. Kerasa sekali gerinjal memijat batang Aseng junior-ku. Licin dan gerinjal sangat pas kombinasinya. Batang kemaluanku terpijat sempurna di dalam memek Iva. Kepala Iva menggeleng-geleng menikmati rasa yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Erangannya berganti-ganti berbagai suku kata. Racauannya dijaga agar tidak terlalu berisik. Sesekali ia meremas bukit manjanya.

Kucondongkan tubuhku rebah kehadapannya untuk menikmati kembali kedua bukit manjanya yang bergoyang-goyang indah. Selama ini aku hanya maksimal melihat belahannya saja di foto-foto yang pernah dikirimnya, kali ini terbuka bebas semua. Pucuk-pucuknya kujilat, kusedot dan kugigit gemes selagi mendorongkan Aseng junior pendek-pendek. Lembut dan kenyal bukit manja itu bergoyang seirama dorongan lesakan Aseng junior mengobok-obok rajin memek berjembut lebat Iva. Ia terus mengerang-erang keenakan dan mengacak-acak sprei ranjangnya sampai tercerabut dari sudut-sudutnya, mengumpul di sekitar tubuhnya.

“Baang… Enaak kali, baang Aseeng… Kenaapa gak dari duluu kuajaak abaang ke kamaarku, baaang…” racaunya. Kepalanya terbanting ke segala arah dan liang kawinnya berdenyut-denyut menggila mendapat sodokan terus-menerusku. Entah kapan terakhir kali ia mendapatkan seks seperti ini bersama suaminya sebelum genderuwo itu merusak segalanya. “Hamilii Ipaaa, baang Aseeng… Uuhh…. Haamilii Ipaa, baaang… Aahh… Yaa… Gituuu… Umm…” racaunya seperti kehilangan kewarasannya. Kenikmatan menderanya. Pinggulnya ikut bergoyang-goyang berputar menyambut sodokanku sehingga kombinasi ini sangat mematikan bagiku. Aseng junior-ku seperti diperas-peras.

“Aaahhkk… Aauuh… Uhh… Uh…” erangnya dengan tubuh berkejat tegang. Lehernya tertekuk ke atas dengan kepala menengadah. Perut dan kakinya menegang, mengkait keras di punggungku. Kelamin kami bersatu erat. Aseng junior diperas sejadi-jadinya di dalam sempit liang kawin Iva. Aku hanya bisa menikmati menyucup satu puncak bukit manjanya. Iva orgasme kembali. Aseng junior terasa hangat dengan tambahan cairan pelumas di liangnya. Lalu ia melepaskan kaitan kakinya dan mengangkang lemas.

Aseng junior sungguh kasihan, tubuhnya kemerahan karena abis diperas di dalam liang kawin dahsyat itu. Kurancap sebentar untuk mengurangi cairan lengket yang menempel di sekujur batangnya. “Ivaa… Iva?” bisikku di telinganya. Ia bernafas berat. Sepasang bukit manjanya naik turun seperti sedang bergelora. “Ivaa?”

“Hmm… Apa, baang?” jawabnya lirih.

“Dimana Iva simpan burung-burungan itu?” tanyaku masih berbisik.

Ia tersenyum walau masih dengan mata terpejam dan nafas bergemuruh, sesak. “Bang Aseng nakal, ya?” Lalu ia menunjuk lemari pakaian yang ada di sudut kamar. Pada bagian pintu kecil atas sudut kiri, ada sebuah kotak sepatu berwarna putih tanpa merk. Kuturunkan kotak sepatu itu dan kubuka tutupnya. Ada sebuah dildo berukuran sedang berwarna kulit gelap sepanjang 20-an cm. “Untuk apa, bang?” tanya Iva begitu benda itu kupegang.

“Untuk memuaskan, Ipa… Kasian Ipa dah lama gak ngerasain enak-enak kek gini, kan? Ada servis khusus untuk Ipa hari ini…” kataku kek penjual TV shopping mempromosikan dagangannya. Iva tergelak melihat tingkahku. Ia mengangguk menerima tawaranku. Pokoknya enak-lah. Terima enak aja. Aku lalu menaiki ranjang dan duduk di belakangnya lalu merapatkan tubuhku pada Iva yang masih duduk di tepi ranjang. Kulit kami saling bersentuhan.

“Ngapain, bang?” tanya Iva karena aku memepetkan wajahku ke rambutnya, menciumi harum rambutnya. Tanganku kukalungkan ke perutnya dan membelai kulit halus perutnya yang rata. “Ehhmmng…” erangnya kegelian apalagi meremas satu bukit manjanya. Mendesah, kepalanya digesekkannya ke wajahku. Dikecupnya pipiku berusaha menjangkau bibirku. Tentu saja aku mengelak. “Ahh…”

Dildo yang kupegang kuelus-eluskan ke memeknya. Otomatis Iva melebarkan kakinya. Jembut lebatnya kusibak dengan ujung kepala dildo dan aku segera menemukan kacang itilnya yang mengeras di puncak bukaan memek itu. Kugesek-gesek dildo itu di sana membuat perempuan ini blingsatan dengan menggeol-geolkan pinggangnya. Kenapa Aseng junior enggak dikaryakan lagi? Lagi istirahat dia, bro. Seperti yang kubilang tadi, ada servis khusus untuk Iva makanya, durasi permainan diperpanjang dengan mengulur waktu begini. Setidaknya aku akan membuatnya orgasme sekali-dua kali dengan memanfaatkan dildo ini. Beda kan sensasinya kalo dibuat enak sama orang lain?

“Ooo-oohh…” lolong Iva kala kujejalkan pelan-pelan dildo itu memasuki memeknya. Dildo perlahan membelah memek berjembut lebat itu. Bukaan paha Iva membantu prosesi masuk sang dildo. Walau bukan Aseng junior yang masuk, aku tau rasanya menempuh liang sempit itu. Cukup terasa kala dildo menyeruak masuk tidak mudah. Apalagi dildo ini bertekstur seperti penis asli lengkap dengan gerinjal urat-urat yang menonjol. “Ooh… Aaah… Mmmss…. Aahh…” erangnya kala semua dildo itu terbenam hampir seluruhnya di dalam liang kawinnya, lebih dalam dari yang dapat dijangkau Aseng junior-ku. Kutarik perlahan dan terasa kembali gerinjal beradu dan Iva mengerang keenakan kembali. Aku menciumi bahunya dan ia menjambak rambutku gemes.

Dildo bergerak teratur pelan-palan dan Iva menyambutnya dengan gerakan ritmis juga. Pinggulnya geal-geol berputar seirama kocokan dildo di tanganku. Tanganku yang bebas tentu saja memerah bukit manjanya yang tegang. Putingnya dipilin bergantian kanan dan kiri. Tubuh Iva semakin melorot akibat gerakan geolnya dan tanganku semakin jauh untuk menjangkau kemaluannya karena ia bergeser ke kiri. Sepertinya ia sengaja melakukan ini. Iva mengincar ini ternyata.

“Mlohh… Slurupp… Slrrp…” Aseng junior sudah digelomoh masuk ke dalam mulutnya. Gak tanggung-tanggung ia langsung menelan panjang Aseng junior sedalam mungkin. Iva menyedot dan memainkan lidahnya simultan pada Aseng junior. Aseng junior terasa becek karena Iva banyak memainkan ludahnya saat menyedot. Di posisi menyamping begini, ia menyedot kemaluanku dan aku masih memainkan memeknya dengan dildo. Ia mengangkat sebelah kakinya sehingga benar-benar mengangkang lebar. Aku gak boleh kalah…

Gencar kugerakkan dildo itu keluar masuk dan Iva mengerang-erang sambil tetap rajin menyedot Aseng junior. Kecipak becek bersahutan dari memeknya dan juga penisku. Aku menjambak rambut Iva sambil menahan mati-matian agar gak ngecrot duluan. Untung saja hari ini aku sudah ejakulasi dua kali bersama Dani di kantor tadi, sehingga yang berikutnya akan lebih lama. Tapi akan masih ada stok untukmu, Pa. Masih banyak di sini. Tenang aja. Kebagian semua.

“Aaah…” jeritnya lalu berbaring di pangkuanku dengan tubuh kejang dan kubiarkan dildo itu bercokol di dalam memeknya kala ia mencapai orgasmenya. Tubuhnya mengeras kala ia menikmati gelombang nikmat orgasme yang kesekian kalinya. Ia bahkan tak sadar ketika kuseret tubuh telanjangnya ke tengah ranjang yang sudag awut-awutan ini. Dildo kucabut dan memeknya mengeluarkan sejumlah cairan bening. Tak segan kujilat memeknya untuk mencoba mencicipi rasa cairan nikmatnya. Rasanya segar dan cukup menyenangkan, seperti orangnya yang cantik dan asyik punya. Iva menggeliat kala semua itu kulakukan.

“Uuh…” keluhnya pelan karena kutusukkan Aseng junior sampai amblas dan mulai kupompa teratur. Dari tadi sudah terasa geli dan aku masih selalu bisa meminta ronde tambahan padanya kalo perlu. Apalagi ada dildo ini sebagai teman yang bisa membantuku menawarkan kehausan Iva. Aku benar-benar fokus hanya memompa agar terasa pas enaknya. Benar-benar meresapi dan menikmati gesekan yahud antara Aseng junior-ku dan liang kawinnya. Gesekan nikmat. Gesekan nikmat. Gesekan enak. Mm… Ini dia.

“Paaa… Ini, Paaa… Ngg… Uhk… Uhh… Uhh…” kepalaku terasa ringan saat Aseng junior-ku menyemprotkan cairan-cairan kental ke dalam rahim Iva. “Croot… crooot… crooott!” bermili-mili liter cairan kental putih keruh itu memenuhi rahimnya, memberi rasa hangat dan penuh di dalam sana. Iva menggeliat-geliat nyaman merasakan penuh perutnya disembur cairan hangatku. Ia mendesah dan mengerang, pastinya sudah lama ia tak merasakan sensasi ini. Sperma di dalam rahimnya.

Sebuah bantal kumanfaatkan untuk mengganjal pantatnya agar lebih tinggi hingga spermaku tetap menggenang di dalam sana. Hampir semua perempuan dalam program hamilnya kuperlakukan begini. Begitu Aseng junior kucabut, genangan kental itu berusaha keluar tetapi tertahan oleh gravitasi dan tetap bercokol di sana, menyurut masuk dan memenuhi rahim. Aku berbaring di samping Iva sambil menciumi pangkal lengannya yang putih berkeringat. Kedua bukit manjanya naik turun cepat untuk berburu oksigen. Kuremas bukit itu dengan gemes. Iva kembali mendesah.

“Enak, bang Aseng… Banyak banget air maninya, ya?” kata Iva dengan mata sayu memegangi tanganku yang meremas bukit manjanya.

“Iya… Semoga bisa hamil segera ya, Pa… Enak gak?” tanyaku lagi gak berhenti gemes meremas kekenyalan itu, ditambah pilinan puting.

“Enaaak banget, bang… Sekali atau dua kali lagi masih bisa, kan?” pintanya. Aku melirik pada jam dinding di kamar ini. Sudah jam 15:22. Bisalah sekali lagi. Takutnya istriku mencari, motornya ada di rumah orangnya gak ada. Lirikan berikutnya pada jembut lebat yang basah dengan titik-titk sperma kental, yang menggunung akibat diganjal bantal. Rasanya belum puas dan masih penasaran tentunya. Belum terlalu banyak dieksplor itu memek.

“Bisa-lah sekali lagi untuk Ipa… Kocokin-la…” mintaku juga agar semua bisa diatur. Ia harus sedikit membantuku. Kusodorkan Aseng junior-ku yang lemas masih berlumuran sperma dekat tangannya. Ia dengan senang hati dan tanpa ragu menyambutnya. Dirancapnya Aseng junior sebentar lalu ditariknya agar mendekati mulutnya. Ini lebih bagus lagi.

“Slurp.. slurp… Slllrp…” dengan ahlinya Iva menyenangkan Aseng junior-ku. Disedotnya dalam-dalam batang penisku. Aku yakin masih ada sisa-sisa sperma yang berhasil disedotnya. Sesekali, lidahnya menyentil-menyentil dengan pandangan binal kepadaku–mengerling nakal. Kepala Aseng junior diemut-emutnya hingga membangkitkan lagi kejantananku ke ukuran maksimalnya. Yahud kali Iva ini sepongannya. Dipijat-pijatnya juga dua biji pelerku dengan lembut. Menstimulasinya agar segera memproduksi sperma baru yang akan disemprotkan lagi ke memeknya.

“Iva… tadi pagi ngomongnya serius ya… nungguin awak kemari?” tanyaku baru teringat. Tadi pagi Iva sebenarnya sudah mengundangku untuk menemaninya tidur nanti malam karena tak ada siapa-siapa di rumah ini kecuali dirinya. Katanya sampe jam berapa aja ditunggu, tinggal ping aja pasti dibukain pintu.

“Muahh… Iya… beneran-lah, bang… Masak ecek-ecek (main-main)… Ipa dah lama pengen kek gini sama abang… Abang itu udah kek suami idaman di gang ini… Mana ada bapak-bapak lain yang rajin kali gendong anaknya keliling gang rutin begitu… Mamak-mamak lain kalo ngegosipin abang kek gitu, bang… Ipa jadi ngayalin gimana kalo bobok cantik bareng bang Aseng… Pasti asik kan?” katanya sambil mengocok Aseng junior. Sesekali dikecupnya.

“Sekarang udah gak ngayal lagi, kan?” kataku juga sambil mempermainkan puting bukit manjanya.

“Tapi nanti malam masih dibukain pintu kok, bang Aseng… Kalo tau begini enak… mau dong tiap malam dikelonin sama bang Aseng…” katanya sambil meremas Aseng junior-ku yang sudah mengeras tegang dengan gemes.

“Liat sikontol (situasi, kondisi dan toleransi) dulu, Pa… Mana tau orang rumah-pun minta jatah… Bisa runyam nanti dunia persilatan kalo dia gak dikasih jatah…” kataku berusaha menjaga jarak. Bahaya kalau Iva mulai merasa nyaman dan baper. Nanti bisa ngelunjak dan merembet kemana-mana. Apalagi masih ada Pipit yang harus kusambangi juga nanti malam. Makanya lebih baik Iva dipuas-puasin aja sampe gempor siang menjelang sore ini. “O-iya… Punya Toni sekarang keknya udah bisa idup loh… Bagus, kan?”

Bersambung

gadis hyper
Aku Ketagihan Dengan Penis Besar Pak Polisi
Ngentot adik kakak
Adik Dan Kakak Jadi Pemuas Nafsu Ku
Foto Bugilin Tante Sedang Tidur Ngangkang dan Dientot
ngentot tante
Aku Menjadi Kekasih Gelap Tetangga Ku Bagian Dua
buah terlarang
Buah terlarang
pembantu lugu
Melampiaskan hasrat ku pada pembantu tante yang hot
mama hot
Gara-gara Tidur Sekamar Hotel Dengan Ibu Kandungku
Foto memek anak SMA berseragam telanjang pamer belahan vagina
Foto Janda Toge Gede Siap Ngentot
pegawai bank bca cantik
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Satu
abg di entot dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian dua
tante hot
Ngentot Tante Ku Sendiri Yang Sedang Asyik Masak Di Dapur
Cewek cantik perawan sexy
Teman Kampusku Pemuas Nafsuku
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
Dua Cewek Jilbab Kurus Show Memek Pengen Ngentot
ngentot mama
Aku menikmati setiap kali bersetubuh dengan mama dan tante kandung ku sendiri