Part #19 : Merasakan Memek Dani
Pagi-pagi ketika berjalan-jalan rutin dengan bayiku, kulihat suami Yuli yang bernama Suradi memasuki gang dengan berjalan kaki dengan tas ransel dan seplastik besar barang lainnya. O-iya. Hari ini hari Sabtu. Hari dimana ia biasanya pulang ke rumah. Sepertinya dia diantar temannya dan di-drop di depan gang. Kusapa dia dan berbincang sebentar. Sepertinya ia sangat lelah dan katanya mau tidur. Ia sudah tau kalau istri dan anak tirinya sedang menginap di hotel dan sebelum tengah hari check out.
Kupandangi punggungnya yang menelusuri gang untuk ke rumahnya dengan perasaan campur aduk. Selagi ia bekerja jauh sampai luar provinsi, biniknya kugarap untuk dihamili. Kukangkangi otonomi rumahnya untuk menggagahi ladangnya. Kusetor sejumlah besar bibitku untuk mengandung anakku, yang kelak akan diakui olehnya. Anak yang mereka berdua idam-idamkan selama ini.
“Tiin! Tiiinn!” sepeda motor di belakangku memberi peringatan dan aku berbalik juga menepi. Seorang perempuan mengendarai motor matic dengan pakaian sehari-harinya yang seksi. Ya… Iva. Iva saudara-saudara. Sambutlah dia…
Ia tersenyum lebar mengetahui akan mencapaiku sebentar lagi. Sebuah polisi tidur yang terbuat dari kayu melintang di jalan beton gang ini untuk mengurangi laju kendaraan, mengguncangnya. Bagaikan sebuah tayangan slow motion kulihat guncangan yang terjadi. Dua buah gunungan pejal dan kenyal berguncang indah kala ban depan motor menabrak polisi tidur itu dan diredam shock breaker. Berayun-ayun bak dua buah mangga golek ukuran besar yang tumbuh di halaman rumahku kala diterpa angin. Saling beradu siapa yang paling kenyal guncangannya. Lalu disusul guncangan kedua kala ban belakang membentur polisi tidur, menyebabkan shock breaker belakang membuat motor dan penumpangnya berguncang. Kembali dua buah dada proporsional itu berguncang indah lagi. Byung! Byung! Aku bisa memperkirakan bentuk bra yang dikenakannya dari garis-garis menonjol di bahan kain kaos ketat tak berlengan berwarna hijaunya. Bra yang mungil, yang hanya bisa menyangga dan menampung muatan sekenanya.
“Bang Aseng… Mei-Mei…” sapanya malah berhenti di depanku. Senyumnya tambah lebar memamerkan gigi-geligi putih rapi dengan gusi sehat berwarna merah muda cerah. Lengan dan kakinya yang terbuka terlihat cerah disapa cahaya mentari pagi yang ceria. Rambutnya diikat ekor kuda. Berguncang kembali yang bisa berguncang karena proses berhenti motornya. Aku yakin Iva tau kalo aku memperhatikan guncangan dadanya. Semua lelaki akan melihat itu. Aku yakin.
“Bu Ipa…” balasku menyapanya dengan senyum lebar juga. Aku membiarkan perempuan cantik itu menjawil-jawil pipi Salwa dengan gemas.
“Kerja, bang Aseng hari Sabtu begini?” tanyanya sembari menjawil dagu Salwa.
“Kerja, bu Ipa… Cuma setengah hari tapinya… Jam dua siang udah pulang…” jawabku. Aku teringat mimpiku kemarin tentang perempuan ini yang berani meremas dadanya sendiri di depanku. Tapi itu cuma mimpi aja. Mungkin karena aku sering cuci mata di warungnya.
“Oo… Toni–lakik awak udah terbang sama kawan-kawannya dari semalam mancing di jermal (bangunan di tengah laut yang berdiri di atas pasak kayu/bambu, untuk menangkap ikan yang dipasangi jaring pada bagian bawahnya)… Minggu malam paling pulangnya…” katanya sambil tersenyum-senyum. Ngapain ngasih tau tentang lakiknya yang mancing mania sampe nginap-nginap di tengah laut kek gitu? Aku gak nanya kok? “Suka kali dia mancing sampe jauh ke sana… Nginap lagi…” sambungnya.
“Oo…” aku hanya memandangi mukanya yang cantik dan abai atas informasinya. “Jadi berdua ajalah sama Ara (Rara; anaknya) di rumah?” kataku basa-basi. Siapa tau Iva minta ditemani bobo nanti malam.
“Enggak… Ara nanti mau dijemput neneknya… Mau jalan-jalan… Kenapa bang? Mau nemenin Ipa?” genitnya sambil menyandarkan kedua sikunya pada speedo meter motornya. Kedua lengan telanjangnya terekspos nyata dan sedikit bagian ketiak mulus. Kedua buah dada montoknya bergantung bagus. Ia terkekeh geli sehingga ada yang ikut berguncang.
“Ah… Ipa ada-ada aja… Jadi sendirian aja, nih? Gak takut apa nanti digondol wewe?” jawabku meningkahi candaannya. Salwa anakku padahal udah gak betah dijahili terus dan maunya jalan lagi. Kami berdua tertawa-tawa di pinggiran jalan gang ini.
“Takut-lah, bang… Makanya… nanti malam temenin Iva, yah?” katanya mengerlingkan sebelah matanya. Tentu aja aku melongo mendengar perkataannya barusan. Ia mengatakannya tanpa beban sama sekali. Padahal beberapa orang pengguna jalan yang notabene adalah penghuni gang ini lalu lalang. Walau suaranya tadi tidak kuat dan mereka juga tidak mungkin dengar, tapi… Gagal fokus deh aku karenanya.
“Nanti malam?” ulangku memastikan kalau itu memang masih bagian bercandanya.
“Iya, nanti malam… Kalo bang Aseng udah mau datang… ping dulu Iva… Biar Iva bukain pintunya…” jawabnya sambil memberi gestur membuka kunci pintu rumahnya. “Iva tungguin deh sampe jam berapa aja… Bener, ya?” sambungnya dan menstarter motornya kembali. “Iva tungguin loh… Udah ya, bang… Iva mau belanja barang-barang kede dulu…” dan ia berlalu begitu saja setelah terlebih dahulu menjawil dagu Salwa dan melambaikan dadanya, eh tangannya.
Angin pagi yang sejuk bertiup agak kuat menerbangkan sebuah plastik kresek berwarna merah yang dibuang sembarangan di jalan. Meliuk-liuk terbang rendah di atas jalan dan langsung nemplok di mukaku. Plok! Kimbek! Dah kek tempat sampah mukaku jadinya. Ya… Itu semua bisa kejadian karena aku melongo. Kenapa Iva mengundangku ke rumahnya malam-malam di saat lakiknya gak ada di rumah karena pergi mancing? Jam berapa aja aku datang akan dibukakannya pintu. Bajunya sekalian?
Kan… Jadi kotor lagi kepalaku dengan bayangan-bayangan indah Iva. Memori foto-foto yang dikirimkannya bermain-main di kepalaku. Menggabung-gabungkan beberapa pose menjadi nakal sampai ada yang bugil segala di fantasiku. Memori mimpiku juga bergabung menjadi gerakan-gerakan sensual yang nakal menggodaku. Ini beneran apa tidak? Ini mimpi apa tidak? Ini kenyataan apa tidak?
“Uwaaaaaaaa!” teriakan Salwa menyadarkanku. Kuayun-ayun bayiku yang sedang belajar merangkak dengan dua tangan dan dua kakinya, agar diam dari ngambeknya.
————————————————-
Masuk kantor di hari Sabtu memang agak menyebalkan. Di saat kantor-kantor lain libur di akhir minggu begini, kantor kami tetap buka karena lini produksi pabrik tetap berjalan di hari Sabtu dan Minggu walau tidak full seperti hari biasa.
Duduk di dalam cubicle-ku tercinta sambil memandangi layar LCD 19″ menampilkan logo Windows yang baru aja selesai boot. Tumpukan file segar sudah duduk manis di atas mejaku. Jam kerja baru mulai jam 9 nanti tapi aku sudah sampai jam 08:24. Aku masih bimbang mau keliling tur pabrik dulu atau memeriksa laporan produksi tadi malam. Aku sering bengong sekarang. Memandangi pot berisi tanaman lidah buaya berukuran kecil yang kuminta dari bagian Umum. Aku memang minta tanaman hias dan mereka memberiku ini. Imut dan lucu bentuknya nangkring di pot kecil. Padahal aku membayangkan akan dapat sekelas Anthurium atau Aglonema. Mahal itu, cuy.
“Bang Aseng… Ini…” tiba-tiba ada yang menyodorkan sebotol minuman mineral ukuran 600ml kepadaku. Padahal lagi enak-enak menikmati imutnya lidah buaya mini itu di atas mejaku. Perempuan itu langsung menarik sebuah kursi yang secara gak resmi jadi penghuni cubicle-ku. Si Dani.
Tumben dia berdandan agak lebih hari Sabtu begini? Apa pulang kerja nanti dia mau langsung ke kondangan ya? Para staff kantor punya seragam tersendiri yang membedakan dengan seragam karyawan lapangan yang wajib dikenakan selama hari Senin sampai Kamis, Jumat berupa batik dan Sabtu memakai pakaian bebas, seperti yang kukenakan saat ini berupa kaos polo dan jeans. Dani memakai baju lengan panjang ketat berwarna coklat dan celana pensil ketat plus hijab berwarna senada. High heel-nya kiclong walau masih matching dengan overall pakaiannya. Dandan berlebihnya yang kumaksud tadi adalah riasannya. Biasanya ia hanya ber-make up tipis dan sedikit olesan lipstick, kali ini lebih wah. Membuatnya tampak lebih cantik dengan bulu mata lentik berhias eye liner dan warna lipstik elegan.
“Dani… dandan? Mo kemana?” tanyaku kepo. Padahal aku gak biasanya aku nanya gini sama perempuan satu ini. Aku memegangi botol air mineral pemberiannya.
“Gak kemana-mana, bang…” jawabnya tersipu dan mengalihkan pandangannya ke arah luar cubicle. “Itu air yang nanti abang berikan ke suamiku nanti… Nanti kita ketemu di warung bakso dekat-dekat sini aja…” katanya menyebutkan salah satu warung bakso paling hit di Mabar. Aku hanya mengangguk aja mengikuti jadwalnya. Sabtu ini dia pulang kerja akan dijemput suaminya dan kami bertemu di warung itu.
“Dani yakin… dengan ini semua?” tanyaku mencoba mengkonfirmasi rencananya ini. Ini bisa jadi skandal yang mengerikan kalau sampai terbongkar.
“Yakin, bang… Dani udah capek begini-begini aja… Harus ada perubahan drastis yang perlu Dani buat…” jawabnya mantap. Ia mengatakan itu semua tidak dengan ragu. Seperti saat ia mendelegasikan semua tugas pada bawahannya. Lugas dan tegas.
“Ini… berdosa loh, Dan?” kataku berani mempertentangkannya dengan atribut keagamaan yang dikenakannya. Aku tidak terlalu urus sama kegiatan beribadahnya. Entah dia rajin ibadah atau enggak aku-pun gak tau. “Awak bukannya suci-suci kali, Dan… Tapi Dani harus mikir matang… Sematang-matangnya… Karena kalo udah dimulai… gak boleh ada kata menyesal…” kataku.
“Dani udah yakin, bang… Gini… Kita lakukan nanti jam 10 pas… di gudang arsip… Dani yang masuk ke sana duluan… Abang nyusul tepat 2 menit kemudian… Kita main cepat aja… Kalo bisa dibawah 5 menit… Dani lagi keluar duluan dan abang menyusul abis itu 2 menit kemudian… Tidak akan ada yang curiga kalau kita melakukan dengan cara ini…” katanya lugas kek menjelaskan sebuah prosedur kerja. Untung aja gak diketiknya dan dijadikan SOP (Standard Operation Procedure) skandal ini.
“Main cepat?” ulangku hanya pada bagian itu saja. Main cepat itu maksudnya quickie, kan?
“Kenapa, bang? 5 menit apa terlalu lama? Apa lebih cepat lagi?” tanya Dani dengan muka menyelidik. Dan nyut! Ia melirik sekali ke bawah. Ke bawah itu maksudnya pada Aseng junior berada. Lirikannya cepat tapi aku melihat itu dengan jelas karena ia duduk tepat di depanku tidak jauh. Seolah ia meyakinkan diri sendiri kalo aku mampu menjalankan tugas yang diamanatkannya. Perempuan ini pasti tau kalo anakku sudah dua dari istriku dan itu kudapatkan tanpa kesulitan. Aku sendiri sebenarnya pe-de bisa menghamilinya dan perempuan-perempuan lain apalagi sudah dibuktikan pada Aida. Kalo soal 5 menit aku gak berani sesumbar padanya kalo durasiku biasanya lebih dari segitu. Kemampuanku bisa lebih dari 15-20 menit biasanya.
“Ng… Kita coba aja-la, Dan… Tapi tolong dipikirkan masak-masak… Berulang-ulang… Kasih jawabannya jam 9 nanti… Di BB aja…” kataku tidak bermaksud memperpanjang pembicaraan ini. Walau tersamar seperti diskusi masalah pekerjaan, tapi perasaanku tidak merasa nyaman.
“OK, bang… Nanti Dani BB jawabannya jam 9 nanti… Tapi jadwalnya masih tetap jam 10 pas… Tidak berubah…” ujarnya bangkit dari duduknya lalu keluar dari wilayah cubicle-ku. Kupandangi kepalanya yang melintasi partisi cubicle dan menghilang di sudut sana, kembali ke daerah cubicle para PPIC. Selama berjalan tadi, ia memandang lurus ke depan dengan yakin. Aku tau sifat dan perangai Dani gimana selama bekerja sama beberapa tahun ini. Ia pekerja yang tegas dan cenderung keras. Makanya manajemen mempercayakan dia untuk menjadi kepala bagian PPIC. Dia hanya berteman atau bergaul sekenanya dengan karyawan lain dan tak memihak pada geng-geng tertentu yang terbentuk di kantor ini. Tau-kan biasanya ada geng tertentu dimanapun termasuk di kantor ini. Ada geng gosip, geng agamis, geng makan, geng jalan-jalan atau geng sporty.
Mengingat bagaimana sifat dan perangai Dani, aku ragu ia akan berubah pikiran. Makanya dari pada itu sebelum lupa, kutuliskan 3 poin perjanjian di sehelai kertas apabila Dani tetap dengan pendiriannya. Akan kuberikan padanya agar dibacanya dan pahami untuk disetujui. Perjanjian yang mirip-mirip dengan yang sudah kusodorkan pada Aida, Yuli, dan Pipit.
1. Hubungan. Semua kegiatan ini tidak diperbolehkan mengikutkan perasaan sama sekali. Ini semua hanya sekedar hubungan tolong menolong. Aku menolong Dani agar hamil. Aku tegaskan tanpa perasaan jadi tidak akan hubungan yang lebih dari pada itu.
2. Kepercayaan. Dilarang membicarakan mengenai masalah ini pada orang lain bahkan pada suami/istri. Ini hanya sepengetahuan kita berdua saja (Aseng dan Dani). Singkatnya, rahasia kita berdua.
3. Masa Depan. Jika benar Dani berhasil hamil, anak itu adalah anak Dani dan suami. Rawat dan besarkan dia sebagaimana harusnya. Jangan melihat asal-usulnya, dia anak kalian berdua karena terlahir darimu sendiri di pernikahan kalian.
Benar saja, tepat jam 9, sebuah pesan BB masuk ke HP-ku dari Dani yang berbunyi dia tetap pada rencananya, meminta bantuan agar hamil dari bibit yang berasal dariku. Kukirim balasan agar ia mengambil kertas yang kutulis sebelumnya agar dibaca dahulu dan dipahami dan dibalas lagi secepatnya. Tak menunggu lama, ia datang ke cubicle-ku dan kuserahkan sehelai kertas itu tanpa ada percakapan. Ia langsung balik ke tempatnya. Dan tak butuh waktu lama juga ia menyetujui semua poin perjanjianku. Hanya perlu disegel dengan salaman kala kami bertemu di gudang arsip jam 10 nanti.
Aku segera kembali tenggelam di pekerjaan sembari menunggu jam 10 tiba. Sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan perhatianku dari pada memikirkan masalah Dani gak akan ada solusinya kecuali dijalani aja. Toh aku sudah melakukan ini pada Aida, Yuli dan Pipit. Tambah satu lagi untuk menolong Dani memperoleh keturunan keknya gak masalah. Itung-itung bantu keluarga lain yang kesulitan mendapatkan anak. Butuh beberapa minggu sampai ada kabar baik dari Yuli yang sudah digauli seminggu ini. Tinggal menunggu jadwal menstruasinya terlambat saja dan bisa dipastikan dari test-pack sederhana yang bisa dibeli di apotik mana saja. Dan bisa dikuatkan dengan mengunjungi bidan atau dokter kandungan.
“Ping!”
Notifikasi pesan BB masuk ke HP-ku. Ini jam 10 tepat. Ini pasti pesan dari Dani untuk mengingatkan kalo ini jam 10. Panjang umur… Itu dia berjalan ke arah sana. Ke arah pintu dimana ruangan Meeting 3 dan gudang arsip berada. Tempat itu sebenarnya agak tersembunyi dan jarang dipergunakan apalagi hari Sabtu begini jarang ada rapat, jadi cukup kondusif untuk kegiatan mesum ini. Aku harus menyusulnya 2 menit kemudian kalau begitu.
Apa langsung maen masuk-masuk aja Aseng junior-ku? Apa Dani sedang siap-siap di sana, di gudang arsip itu? Buka baju semua? Keknya enggak deh. Mungkin dia cuma meloroti celana pensil-nya dikit untukku masuk. Apa Aseng junior bisa langsung ereksi? Kemaren, pas liat Dani masturbasi akibat kesurupan Jerangkong itu, Aseng junior-ku bisa sukses ngaceng. Semoga kali ini bisa sukses kembali.
2 menit. Aku menyusul Dani ke gudang arsip dengan jantung berdegub kencang. Belum pernah aku segugup ini dibanding 3 perempuan yang kubantu sebelumnya. Ini karena lokasinya masih di kantor dan banyak orang ada di sini. Apalagi aku juga tidak begitu akrab dengan Dani. Tidak pernah ada percakapan akrab apalagi menjurus genit bahkan mesum. BRAK! Begitu aja aku harus menghamilinya.
Gugup, bahkan aku sampai mengetuk pintu gudang arsip ini seperti mengharap ada jawaban yang mempersilahkanku masuk. Di dalam sana sana sangat kedap, bahkan kalau Dani menjawab-pun aku tidak akan bisa mendengarnya. Aku membuka pintu dan masuk perlahan. Dari 4 lampu sumber cahaya hanya satu yang menyala; yaitu yang di dekat pintu ini. Sisanya mati. Samar-samar di kegelapan di antara tumpukan kardus file dan arsip, Dani duduk di tumpukan kardus di posisinya kemaren. Kudekati ia.
Dani duduk menunduk juga dalam gugup begitu aku tiba di depannya. Pintu gudang arsip sudah kukunci rapat dari dalam. Tidak ada yang bisa masuk. Jantungku dan pasti juga jantungnya berdegub kencang bagai pukulan genderang perang Baratayudha. Perang Pandawa dan Kurawa yang epik. Kisahku tak se-epik itu tapi suara genderangnya aku yakin mirip. Aseng junior menghangat menyadari potensi kesempatannya. Ia bisa menggeliat.
“Dan… Salaman dulu tanda deal dengan perjanjian yang kutulis tadi…” ucapku lirih. Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat. Tanganku mengulur padanya. Disambutnya tanganku, lembut tangannya yang dingin menggenggam cepat dan mengguncangnya pelan sekali tanda setuju. Lalu lepas. “Baiklah… Semua sudah siap?” tanyaku. Di remang gudang arsip yang kekurangan cahaya, kulihat dia mengangguk.
“Trus… Gimana mulainya? Apa yang harus awak lakukan?” tanyaku kikuk. Menanyakan gimana cara mengentoti teman sekerja. Itu pertanyaan yang sangat aneh saat ini.
Tak menjawab ia malah berbalik, melepas sepatu high heels-nya dan lalu sedikit menungging. Dari gerak-geriknya, ia melepaskan kancing celana pensilnya beserta menurunkan restletingnya. Sejurus kemudian menurunkan celana itu sekaligus dengan celana dalam putihnya sampai sebatas pertengahan paha. Ia menungging dan menumpukan tubuhnya pada tumpukan kardus berkas di depannya. Begini maunya. Jadi aku hanya sekedar mengeluarkan Aseng junior saja tanpa buka celana. Seks masih berpakaian lengkap. Quickie.
“Awak masuk dari belakang gini, Dan?” pastiku mengeluarkan Aseng junior dari sangkarnya. Ia menggeliat bangun mengingat sasaran tembaknya berupa meki gundul yang kuliat kemaren. Di keremangan ruangan, aku bisa mengira-ngira siluet bentuknya yang indah dan mereka saat ini karena Dani juga tau menempatkan dirinya–dilebarkannya kedua kakinya sampai terhalang lebar celana yang menggantung di pertengahan pahanya. Ia mengangguk, terlihat dari gerakan belakang hijab yang dipakainya.
Kukocok-kocok Aseng junior untuk meningkatkan ukurannya sembari kupelototi liang kawin yang walau gelap tapi jelas tepat di depanku. Gak pa-pa mungkin ya… kalo kujamah sedikit meki gundul itu untuk memeriksa kesiapannya. Jadilah tangan kananku merancap Aseng junior dan tangan kiri menggapai pada meki gundul itu. Ujung jari tengah kiriku menggapai dan…
Hangat dan basah. “Hhmm…” itu suara pertama yang dikeluarkan Dani selama kami berdua di gudang arsip ini. Dan yang pertama itu adalah suara lenguhan kala ujung jariku menyentuh belahan hangat meki gundulnya. Tubuhnya merinding tapi tidak beranjak pertanda ia tak akan lari atau malah teriak. Berabe kalau Dani tereak. Rusak semua-semuanya. Sirsak si buah Buni. Cakep! Karierku rusak karena Dani.
Kuelus-elus untuk meratakan cairan lembab yang ada di sekujur meki gundulnya. Bahkan jariku melata masuk seujung ke dalam hangat liang kawinnya. Sudah cukup basah untuk dicoblos. Tapi apakah ia siap dengan ukuranku? Harus dicoba supaya tau kan, bos? Menari-nari sebentar di klitoris kecil nan keras pertanda sudah cukup stimulasi. Aku merapat. Kepala Aseng junior kutempelkan di bukaan liang kawin Dani. Terdorong penyok meki gundul itu menyambut desakan perdana Aseng junior. Bahunya terangkat sedikit tanda kaget. “Mm…”
Gesek-gesek bentar, ke atas-bawah untuk membasahi kepala Aseng junior dengan cairan pelicin yang dikeluarkan Dani. Terasa enak menggesek-geseknya. Rasa gugup tadi yang cukup panas di kepala kini berganti menjadi hangat nafsu di sekujur tubuhku. Kutekan-tekan sebagai mula percobaan senggama utama. Kepala Aseng junior mencoba menerobos masuk. Liang kawin Dani ternyata cukup rapat dan sempit. Khas binor yang belum pernah melahirkan.
“Masuk ya, Daaan…” bisikku saat kami berdua sudah siap sedia. Kudorong pelan…
“Mphh…” Tubuh Dani menegang tanda ia sudah bersiap siaga. Kepalanya bergerak sedikit. Siap tempur!
Pelan namun pasti, Aseng junior meluncur masuk ke dalam liang kawin meki gundul itu. Seret tetapi licin. Ketat menggigit. Gerinjal otot serupa cincin di sekujur liang kawinnya menggenggam erat. Tarik-dorong-tarik-dorong yang kulakukan untuk dapat mencapai kedalaman maksimal liang kawin Dani dan juga panjang Aseng junior-ku harus bersatu padu. Aseng junior menemukan sarang baru di tubuh Dani.
Baik Aseng junior maupun meki gundulnya sama-sama berkedut gencar. Dani menggigit kain baju tangannya untuk membungkam mulutnya. Seharusnya ia berteriak tapi mengingat lokasi ini tidak memungkinkan untuk ekspresi itu, hal ini yang terpaksa dilakukannya walau aku yakin gak bakal kedengaran keluar ruangan. Ini pilihan tempatmu, Dan. Kudiamkan Aseng junior diremas-remas kedutan yang tidak bisa dikontrol Dani pada liang kawinnya. Mungkin penis suaminya tak sebesar milikku ini dan ini barang asing bagi tubuhnya. Kaget tentu mekinya.
Pendek-pendek kutarik Aseng junior lalu kudorong masuk lagi. Aku sama sekali tidak menyentuh bagian tubuhnya yang lain. Padahal pinggulnya terbuka bebas kupegang, kutahan diriku. Sebagai gantinya, aku memegangi pantatku sendiri sebagai bantuan dorong. Sudah terasa enak dari tadi sebenarnya, tapi akan jauh lebih enak kalau Dani juga mengekspresikannya dengan desahan. Aku hanya bisa menikmati pemandangan gelap tetapi terlihat—pantat mulus langsing tetapi padat miliknya. Buah pantatnya ketat seketat katupannya pada Aseng junior.
Apalagi liang kawin Dani sangat ketat membekap Aseng junior. Perempuan ini kek baru aja diperawani beberapa hari yang lalu peretnya. Lahan basah suaminya ini sudah bertahun-tahun digarap tetapi masih segini rapet. The Best-lah. Gerakan dorong-tarikku semakin lancar dengan licinnya liang kawin Dani. Untung licin kalau gak, mungkin udah lecet liang sempit ini bergesekan terus menerus dengan Aseng junior-ku. Aseng junior juga bisa ikutan lecet.
Kuberanikan untuk memegang kedua sisi pinggul Dani karena bosan juga megang pantat sendiri. Ahh… Dia tidak keberatan kusentuh apalagi dipegang begini. Setidaknya aku punya cengkraman sekarang untuk menyodokkan Aseng junior dengan lugas. Kuremas-remas pinggulnya kala Aseng junior-ku makin lancar keluar masuk. Makin panjang tarikan dan dorongan yang kulakukan sampai ke batas leher Aseng junior. Kutekan agak lebih kuat kala aku mendorong masuk Aseng junior hingga jembutku dapat menggelitik belahan pantatnya.
Dani masih membekap mulutnya dengan menggigit kain lengan kanannya walau dari gerakannya sudah terombang-ambing ke segala arah. Kau pasti merasakannya, Dan. Ini pasti enak, kan? Aku-pun merasakan enak ini, Dan. Nikmati aja. Gak usah ditahan-tahan. “Mmaaahh…” erangnya tiba-tiba. Pantatnya meliuk-liuk dan cengkraman liang kawinnya semakin ketat. Aseng junior tercekik di dalam sana dan flop! Aseng junior terlepas karena kedua lututnya bergerak liar, bergetar dan menyerah hingga rebah berlutut ke lantai. Lalu ia terduduk di atas pergelangan kakinya.
“Bhang… Bhang Aseng… Akuu kenaapa? Hhash… hashh… Akuu kenapaa, bhaang?” racaunya dengan nafas tersengal-sengal. Ia memegangi lehernya yang mungkin terasa sangat haus. Ada titik keringat di dahinya walau keadaan gelap. Pahanya masih bergetar-getar. Kenapa-lah perempuan satu ini? Enak kok nanya? Trus dia mendadak diam dan beralih ke jam tangannya. “Udah jam 10:18, bang Aseng… Abang belom keluar?”
“Belum…” jawabku. Tadi harusnya bentar-bentar lagi udah mau keluar tapi karena keburu tercabut, berhenti—batal, deh.
“Belum? Punya bang Aseng besar, bang… Lain sama punya suamiku… Paling 5 menit dah keluar…” katanya masih duduk bersimpuh bertumpu di pergelangan kakinya masih terengah-engah. Di posisinya itu, Dani tentu bisa melihat Aseng junior yang berkilat-kilat terkena sinar lampu karena cairan pelumas miliknya menempel.
“Dikit lagi keluar, Dan… Apa kita stop aja?” tanyaku sok keren. Padahal kentang, euy. Aseng junior aja mengangguk-angguk pengen masuk lagi secepatnya.
“Trus… Dani gak dapat anak? Kita teruskan, bang…” tekadnya lalu menggerakkan pantatnya yang masih gemetaran, kakinya menyerah. Hanya bisa terduduk saja. Mental kuat tidak diimbangi dengan fisik. “Bang Aseng… serius, bang… Tadi Dani itu kenapa? Masih ada gangguan setan lagi-kah?” ia menyerah dan hanya bisa duduk saja dengan kaki lemes. “Ini kenapa Dani lemes banget abis… abis enak yang enak banget tadi?”
“Daan? Dani itu udah kawin 4 taun lebih masa gak pernah orgasme, sih? Itu tadi, kan namanya orgasme… Gimana, sih?” heranku gak abis pikir. Itu kemaren ngocok pake tangan sendiri bisa ngecrot squirt gitu kan orgasme juga.
“Itu orgasme?” tanyanya ngulang bego. Ini orang berdua selama 4 taun ngapain aja. Apa cuma suaminya aja yang goyang-goyang 5 menit ngecrot udah itu selesai trus ngeluh gak dapat anak. Trus perempuan ini ngangkang aja dicoblos, digoyang-goyang 5 menit kurang, diencrotin ngeluh gak kunjung hamil. Telat nakal nih perempuan. Lah untung ketemu sama aku, bisa kucoblos begini pake Aseng junior-ku. Boleh dihamili lagi.
“Dani gak ingat selama kesurupan itu orgasme waktu maenin punya sendiri… Atau gak tau?” tanyaku. Dani menggeleng dengan polosnya. Rontok semua image ketegasan dan ketegaran dirinya selama ini kala bekerja sama. Aku pandangi wajahnya yang cantik walau temaram. Ada nuansa berbeda memandang keindahan di kurangnya cahaya begini.
“Kalau begitu… gini aja…” aku menunduk lalu ikut berlutut di lantai. Kupegang kedua lututnya dan kuarahkan padaku untuk melepas celana pensil itu dari kakinya. Kulebarkan kakinya sehingga ia setengah berbaring di atas lantai berubin keramik.
“Eh… bang? Ngapain?” kagetnya tak siap berganti-gantian meliat mukaku dan Aseng junior yang masih mengacung. “Bang Aseng? Bang?” ia berusaha mencegahku mendekatkan Aseng junior ke meki gundulnya. Kakinya yang terbentang lebar berusaha dikatupkannya kembali. Kepala Aseng junior berhasil menempel lalu lepas kembali.
“Katanya mau hamil? Biarkan awak melakukan tugas itu… Diam aja, ya?” kataku selembut mungkin untuk menghilangkan kecanggungannya. Kok masih bisa canggung juga? Tadi kan udah masuk Aseng junior-ku mengobok-obok isi meki gundulmu. Udah bikin enak lagi. Kuambil tangannya yang menahan perutku agar lebih maju lagi, kuarahkan agar memegangi kedua pangkal pahanya, menahan agar lebih tetap lebar. “Kalau Dani malu… merem aja…” usulku.
Kakinya masih mengeras tegang. Agak berbeda dari penetrasi pertama karena kami tak saling berhadapan, kali bersitatap muka walau temaram. Wajahnya gelap terlihat dan diturutinya usulku untuk memejamkan mata. Dipejamkan kuat-kuat. “Rileks aja, Dan… Kalau perlu dinikmati…” kataku mengelus-eluskan kepala Aseng junior ke bukaan meki gundulnya yang merekah. Tak seperti pemiliknya yang tegang, meki-nya cukup rileks dan menyambut Aseng junior dengan cukup terbuka. Mungkin karena tadi mereka udah kenalan ya?
“Mmm…” desahnya ketika kepala Aseng junior menelusup masuk dan memberi rasa hangat pada kami berdua. Aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin karena aku gak sempat buka celana di posisi ini. Betul-betul gak nyaman. Bayangin aja, pake celana jeans yang melorot sampai setengah paha, terbuka lebar sebisanya, menekan paha telanjang Dani, berusaha menggagahinya. “Pelan-pelan, bang…” Ia menahan dadaku dengan kedua telapak tangannya sehingga tubuhnya sedikit melengkung berbaring di lantai ini. “Mmhh…” keluhnya ketika Aseng junior menelusup masuk jauh lebih dalam. Kulebarkan selebar-lebarnya kakinya agar aku bisa memasukinya lebih dalam lagi karena masih ada sisa batang Aseng junior-ku yang belum masuk. Mulut Dani menganga tak mampu bersuara. Hanya mampu mengkedut-kedutkan otot rongga liang kawinnya. Meremas Aseng junior.
“Enghh…” erangku pelan dan puas ketika aku sudah mengkandaskan Aseng junior seluruhnya di dalam liang kawin Dani yang sedang megap-megap. Diremasnya dadaku yang ditolaknya agar menjauh. Baju lengan panjang ketatnya bergerak-gerak pada bagian dadanya yang tak terlalu besar, mengundangku untuk meremasnya. “Udah masuk semua, Dan… Awak mulai gerak lagi, ya?”
Dani yang membuang mukanya ke kanan dan mata terpejam hanya bisa mengangguk sambil mengulum semua bibir bawahnya entah menahan apa. Entah sakit atau enak. Kutarik Aseng junior, meluncur mulus karena di dalam sana masih cukup becek oleh cairan pelumasnya. Oli bawah Dani ini melumasi proses penghamilan dirinya ini. Dan kudorong masuk lagi. Begitu berulang-ulang sambil kuperhatikan ekspresi yang timbul di wajahnya. Matanya terpejam kuat, hidungnya kembang-kempis, mulutnya menganga berbagai ukuran huruf O, U dan A besar.
Tambah lama tambah lancar gerakan keluar masukku menusuk Dani bersenjatakan Aseng junior. Dani tambah ekspresif dengan mengeluarkan suara-suara erangan seksi pelan. “Aahh… ahh… Ahh… Uhh… Mmm… Auhh…” mengaduh kala sodokan Aseng junior menghentak kuat hingga perutku beradu dengan permukaan meki gundulnya. Kakiku bukan pegel lagi namanya. Udah mau copot rasanya karena gak nyaman. Ini sudah lebih dari 20 menit sejak mulai pertama tadi dan kayaknya walau katupan erat peret meki gundul Dani sangat yahud, aku belum akan ngecrot dalam waktu dekat ini.
“Aaauuhh… Ahh!… Ahh!…” Nah, kan. Malah dia yang dapat kenikmatan itu lagi hingga Aseng junior-ku diremas-remas saat punggungnya melengkung dengan kuat beserta geletar tak terkendali di kakinya seperti kesurupan lagi. Untung Aseng junior segera lepas dari sana dan terlihat squirt kecil meledak di bukaan mekinya walau tak sedahsyat yang kusaksikan kemaren. Kedua tangannya mendarat di meki-nya sendiri. Berbaring lemas di lantai.
Di kesempatan itu, kubuka celana jeans pengganggu ini hingga aku hanya memakai kaos polo dan kaos kaki. Aku harus segera menuntaskannya. Ini seharusnya quickie dan ini sudah terlalu lama. Orang-orang mungkin akan mencari kami berdua dan itu tidak boleh terjadi. Kuposisikan diriku kembali di bukaan kakinya yang menggawangi meki gundul becek yang merekah merah abis orgasme. Kususupkan kembali Aseng junior dengan mudah dan meluncur masuk.
“Bhaang Aseeng… Enak kaliii, bhaang… Ahkk…” erang Dani merasakanku memasukinya kembali walau masih ada sisa-sisa ekstasi kenikmatan terdahulu mendera tubuhnya. Nekad, kuangkat cepat pakaiannya, kuturunkan cup bra yang dikenakannya langsung brutal kusedot payudara kanannya. Dani menjengit kaget awalnya lalu membiarkanku seiring gempuran sodokan Aseng junior yang semakin cepat. Berganti-ganti kanan dan kiri kusedot, kupermainkan payudaranya. Sodokan Aseng junior memasuki top-speed. Sudah terasa geli-geli enak. Menggelegak di deposit spermaku, mematangkan ruang pembakaran untuk segera menyemburkan akselerasi cepat—semprot!
“Akkhh!! Egh! Eghh!” punggungku melengkung, melepas hidangan payudara Dani yang berukuran sedang saja, menikmati kenikmatan puncakku pagi menjelang siang ini. “Splurt! Splurt! Splurt!” sejumlah besar spermaku meluncur masuk dan membanjiri rahim Dani. Aku buru-buru meliat bagaimana ekspresi Dani kala kusemprotkan bibitku ke dalam peranakannya. Apa yang akan menjadi tampilannya? Wajah bahagia ternyata. Ada seulas senyuman tipis di sudut bibirnya. Bahagia kenapa? Membiarkan pria yang bukan suaminya menitipkan benih ke dalam tubuhnya?
Cepat kucabut Aseng junior dari liang meki gundulnya dan melelehlah cairan kental putih itu dari sana. Aku harus mengganjalnya dengan apa? Kalau keluar terlalu cepat begini, takutnya gak ada yang mengendap di dalam sana dan bekerja sesuai fungsinya, menerobos sel telur itu dan membuahinya. Dani ternyata juga terkesiap dan bangkit. Dikutipnya celana dalam dan celana pensilnya yang kubuang tak jauh dari kami berada. Dipakainya pakaian dalam itu dalam diam dan tunduk lalu celana pensil bersamaan dengan merapikan bra dan pakaiannya yang tersingkap. Yakin kalau sudah cukup rapi, tanpa kata-kata ia bergerak.
“Ng… Dan… Apa gak sebaiknya ditahan dulu… Nanti itu… keluar semua…” kataku mencegahnya pergi cepat-cepat dari gudang arsip ini. Tapi ia tetap beranjak ke arah pintu yang terang di gudang arsip ini. “Semoga jadi anak ya, Daaan…” kataku tak dapat mencegahnya keluar dari pintu setelah membuka kunci dan hilang di balik sana.
Dua menit kemudian aku juga keluar dari gudang arsip dan kembali ke cubicle-ku. Ternyata Dani tidak ada di tempatnya. Mungkin ia ke toilet dahulu. Aku duduk dulu, bengong sebentar lalu meneruskan pekerjaanku yang terinterupsi tadi. “Ping!” Ada pesan masuk dari Dani.
Dani: banyak bgt bang aseng.
Aseng: keluar semua?
Dani: sekarang udah semua
Aseng: apa gk ditahan dl?
Dani: nnt wkt istirahat sekali lg
Heh? Sekali lagi waktu istirahat? Kukira ia gak menyukai ide ini. Lah dia mau sekali lagi nanti. Apa Dani masih di toilet membersihkan spermaku dari liang kawin mekinya? Sejak dia keluar dari gudang arsip sampai sekarang udah 10 menitan. Lama juga ya? Tuh kan dia belum balik dari toilet. Cubicle tim PPIC masih tanpa dirinya, hanya anak-anak PPIC lain yang ada di sana.
Aseng: sekali lagi?
Dani: ya. meningkatkan % keberhasilan. masih bisa kan?
Aseng: bisa
Tanpa memikirkan atau nanya ‘Capek, bang?’ ato ‘Perlu dipijetin dulu, bang?’ ato juga ‘Mau diisepin dulu, bang?’ Main sekali lagi-sekali lagi aja itu perempuan. Lah dia enak tinggal ngangkang, dapat enak berulang-ulang. Aku capek genjotnya sampe dengkul lemes. Main sekali lagi. Jadilah aku cuma duduk-duduk aja sambil membaca laporan sambil lalu, sekedarnya aja. Menunggu jam berputar dan sampai pada jam 12 siang pertanda istirahat.
OB kantor mengantarkan makan siang pesananku dan kusikat cepat-cepat. Jangan sampai Dani mengirim pesan OTW gudang arsip, perut masih keroncongan. Dan benar saja, ping terdengar dari HP-ku, notifikasi darinya. Suara ketukan sepatu high heels-nya terdengar melewati cubicle-ku menuju gudang arsip. Staff lainnya udah pada ngacir duluan ke pantry. Ia melirikku sebentar dan menunjuk sekilas ke arah gudang arsip, dengan sedikit senyum tadi. Senyum kecil tadi.
Kantor sudah sepi dari semua penghuninya sudah berpindah ke pantry untuk makan siang dan jam 2 nanti udah pada cabut pulang semua. Enak sebenarnya hari Sabtu begini. Kerjanya sebentar, istirahat, pulang. Plus aku ngecrot dua kali. Sebentar lagi yang kedua.
Udah mirip kek deja vu kurasa. Aku kembali di depan pintu ini, pintu gudang arsip. Jam 10 tadi aku baru kemari dan sekarang jam 12 kembali lagi. Bahkan kembali aku mengetuknya berharap akan ada jawaban dari dalam sana. Tersadar dan aku masuk saja. Kembali hanya lampu di dekat pintu ini saja yang menyala dan membuat temaram bagian lain gudang arsip ini. Dani duduk di atas kardus itu kembali.
“Sekali lagi, Dan?” tanyaku basa-basi. Padahal Aseng junior-ku sudah menggeliat bangun teringat pengalamannya bersama sarang barunya.
Dani tak bersuara menjawabnya. Hanya bangkit dan meloloskan celana pensil dan celana dalam miliknya sekaligus tanpa ragu sedikitpun. Meki gundulnya terlihat memanggil-manggil. Seolah-olah itu adalah hal wajar yang dilakukannya. Dilipatnya celana pensil itu dan ditaruhnya di atas satu kardus baik-baik. Ditambah lagi, disingkapkannya pakaiannya ke atas sampai bra-nya terlihat lalu diturunkannya hingga kedua payudaranya terlihat. Puting berwarna coklat mudanya ternyata sudah berdiri menantang walau imut tetapi berani. Merendahkan tubuhnya lalu berbaring di punggungnya lalu pelan-pelan membuka kakinya. Ia sudah siap!
Buru-buru aku juga melepas celana jeans beserta sempakku. Aseng junior sudah setengah bangun. Kugulung kaos polo yang kupakai sampai ke atas perut dan kudekati Dani di lantai. Ia memejamkan matanya, berpaling pasrah pada apapun yang akan kulakukan. Ia membiarkanku berada di antara kakinya. Bahkan mengapitku dengan kakinya, tak membiarkanku menjauh. Kulit pahanya yang lembut bersentuhan dengan kulitku.
“Pemanasan dulu, ya?” lirihku menunduk. Payudara dengan puting imutnya yang menjadi pusat pemanasanku. Mulutku langsung mengenyot satu puting sedang yang lain kuremas pelan. Kenyal dan lembut. Ini menjadi mainanku sekarang setelah selama ini hanya menjadi mainan suaminya. Kudorong-dorong tubuhnya, menggesekkan Aseng junior yang pelan-pelan panas dan membengkak ke ukuran tempurnya. Aseng junior menggesek-gesek perut Dani dengan nakal, memberi jejak pre-cum bening lengket—menandai domain barunya.
Bantuan tangan kulakukan untuk mengarahkan Aseng junior ke sasaran tembaknya. Kugesek-gesek saja dan ternyata sudah basah. Test the water, ah. Kudorong-dorong iseng Aseng junior masuk dan ternyata memberi efek nikmat bagi Dani yang mengerang-mengaduh kek belum siap. Padahal udah basah sedemikian gitu loh. Kutinggalkan payudaranya dan fokus pada penetrasi. Kupegangi kedua lututnya.
Gerakan mendorongku menyebabkan goyangan tak terlalu berguncang pada payudaranya yang memang tidak berukuran besar. Apalagi dalam keadaan berbaring begini, besar massanya akan terbenam di tubuhnya. Hanya berupa gundukan kecil saja yang bisa bergoyang kenyal. Kegiatan tusuk dan gesek Aseng junior membuatnya basah dan geli tentunya. Apalagi klitoris mungil yang tersembunyi juga kena gesek berkali-kali membuat tubuh Dani menggigil berkali-kali.
Dani tetap memejamkan matanya kala kusorongkan Aseng junior pelan-pelan dan meluncur masuk dengan lancar. Mulutnya menganga membentuk huruf O besar. Tidak langsung dalam. Walau hanya dua jam yang lalu sudah dicoblos, kondisi rapet liang kawinnya masih sangat terjaga ketat mencengkram. Tarik lagi lalu dorong lebih dalam. Tarik lagi dan semakin dalam didorong. Gak lama semua panjang Aseng junior terbenam seluruhnya dalam kegiatan ngentot-mengentot ini. Pompaanku sudah berlangsung lancar dan rasa enak liang kawin Dani menyelimuti seluruh tubuhku yang diwakili langsung oleh Aseng junior-ku.
Perempuan di hadapanku ini juga sudah mengerang-ngerang keenakan. Ia bahkan mungkin tak sadar mempermainkan puting payudaranya sendiri. Aku hanya fokus pertama memperhatikan ekspresi wajahnya dengan mata tetap terpejam, keenakan tentunya. Fokus kedua konstan memompakan Aseng junior keluar masuk. “Ouhh… Ohh… Oooh… Ahh… Yaahh…”
Cuma kalo goyang keluar masuk aja, rasanya cuma enak di Aseng junior aja. Cyup! Aku kembali mendaratkan kenyotan di payudaranya. Mulut dan pinggangku bekerja simultan. Kusedot-sedot putingnya kanan-kiri, kugigit nakal berulang-ulang, kujilat-jilat seperti es krim, kuciumi tanpa meninggalkan jejak kemerahan. Pinggangku maju mundur mendorong keluar masuk Aseng junior menjajah meki gundul Dani yang semakin licin walau ketat mengatup.
“AAhhh… Ahh!! Aahh!!” erangnya dengan tubuh menegang. Didekapnya kepalaku yang masih bermain dengan dadanya. Kenikmatannya datang mendera. Tubuhnya gemetaran dan jepitan liang kawinnya semakin erat ketat meremas Aseng junior-ku. Kudiamkan pinggangku tak lagi memompa untuk membiarkannya menikmati semua keindahan kenikmatan itu. “Hah… haa… haah… hah…” nafasnya tersengal berat. “Enak banget, bang…”
Aku diam saja tak merespon karena aku harus bergerak kembali. “Apa seharusnya memang seenak ini, bang?” tanya Dani masih dengan mata terpejam. “Dengan suamiku gak pernah begini enaknya…” lanjutnya lagi tambah melebarkan bentangan kakinya. “Apakah suamiku kurang jantan?” lanjutnya lagi. “Sampe-sampe gak bisa ngehamilin Dani hingga sekarang…” matanya terbuka sedikit. Aseng junior-ku mulai bekerja kembali pelan-pelan, masih gigi satu. Dani mengencangkan perutnya sehingga otot di dalam liang kawinnya meremas Aseng junior. Diulangnya berulang-ulang sampai aku membentur berkali-kali liang peretnya yang sempit walau basah. Matanya kini terbuka lebar dan memandangiku yang kesusahan menggagahinya. “Punya abang besar kali… Sesak rasanya di dalam punyaku, bang…”
“Harus enak, Dan… Kalo gak enak gak jadi anak…” bualku lebih pada bercanda. Ia tertawa. Ini kemajuan di komunikasi kami. Genjotanku lebih lancar walau kedutan yang dilakukannya gak berhenti. Hanya menambah variasi persenggamaan ini.
“Isepin lagi, bang… Enak…” mintanya mengenai payudaranya. Kuturuti dan kukenyot hingga mendesah keenakan. Dielus-elusnya rambutku. “Bang Aseng pinter…” pujinya membuatku semakin bersemangat menggenjot liang kawinnya. “Uuh… Pinter kali, bang Aseng… Punyaku keenakan… Uhh… Mmm…” puja dan pujinya semakin membuatku semangatku membara. Aseng junior-pun semakin menggebu-gebu merangsek, memborbardir meki gundul yang ekstra sempit itu. Kecipak suara pertarungan kami terdengar jelas. Ia tidak perduli akan waktu lagi. Yang penting adalah kenikmatan.
Kutarik-tarik gemas putingnya dengan bibirku dan ia mendesah nakal. Berputar-putar lidahku mempermainkan kenyal payudaranya sampai kuyup oleh liurku. Sedot-sedot kuat sampai tertarik naik membuatnya mengerang keenakan. Terasa geli-geli lagi pertanda puncak kenikmatanku segera akan menyerbu. “Daan… Udah mau keluarr…” infoku. Kulepas permainan mulutku dan fokus menggenjot saja.
“Aku juuuga, bhang…” Dani kini makin pintar dan malah melingkarkan kakinya ke pinggangku. Tangannya juga memegang erat lenganku. Kami berdua berpandangan selagi aku memacu genjotanku yang semakin cepat. Terasa panas gesekan yang terjadi akibat pertempuran kami ini.
“Daannn…. Eggh… Uh… Uhh… Crot! Croott! Croot!” kuhentakkan dalam-dalam Aseng junior selagi menyemburkan sperma-ku untuk kedua kalinya hari ini. Berdenyar-denyar hebat serasa seluruh tubuhku melepaskan rasa nikmat itu. Kepalaku terasa ringan dan plong selagi semprot-semprot susulan menyeruak masuk ke rahim Dani. Begitu pula yang dirasakan lawan senggamaku ini. Ia menekankan seluruh pinggangnya padaku, menyambut ledakan ejakulasiku dengan orgasmenya. Diremasnya pegangannya pada lenganku. Berkejat-kejat tubuhnya merasakan kenikmatan bersama ini. “Aaahh…” aku ambruk.
Untuk beberapa lama, aku membaringkan mukaku di dadanya. Aroma ludahku ada semua di sana. Putingnya masih mengeras dengan warna sedikit kemerahan–aslinya coklat muda. Dada Dani naik turun menarik hembus nafas. Aku malah jadi membebani tubuhnya. Kugulingkan tubuhku hingga Aseng junior tercabut dari liang kawin Dani. “Gini, Dan…” aku yang masih lemas, menggunakan pahaku sendiri untuk mengganjal pantatnya agar perutnya lebih tinggi dari dadanya sehingga terjadi genangan sperma di vaginanya.
“Supaya apa, bang?” tanya Dani lemas.
“Supaya gak langsung keluar semua, Dan… Biar dulu sebentar di sana… Masih banyak waktu, kan?” aku malas untuk melihat jam tanganku sendiri.
“Sepuluh menit lagi jam satu, bang… Kita harus buru-buru… Entar lagi waktu istirahat habis…” dipaksakannya tubuhnya untuk bangkit walau pastinya lemas. Beberapa helai tisu digunakannya untuk menyeka kemaluannya yang masih banjir spermaku. Dipakainya celana dalam lalu disumpalkannya tisu tadi ke dalam sana untuk menghentikan lelehan spermaku. Kemudian celana pensilnya menyusul. Dirapikannya pakaiannya yang kusut, membenahi jilbabnya lalu berjongkok di depanku. “Bang Aseng bener-bener pinter… Dani bolak-balik keenakan… Ini jagoan, deh…” katanya malah nakal menjawil Aseng junior yang mulai menciut, berlumuran sperma kental.
“Eh…” kagetku. Ia langsung berlalu dan berhenti di depan pintu yang terang. Dibauinya jari yang tadi menjawil Aseng junior lalu dijilatnya. Tersenyum sekilas lalu menghilang di balik pintu. “Dan-Daaan?… Makin nakal aja itu binik orang…” gumamku sendiri.
Bersambung