Part #18 : Apem Mlenuk Yuli
Sebagai Wali sah dari kakak dan adikku, aku berkewajiban untuk menikahkannya dengan seorang pria baik-baik. Ayahku sudah lama berpulang ke hadirat-Nya tak lama setelah anak pertamaku lahir. Ibuku yang sudah tidak bekerja bisa menikmati masa tuanya dengan jalan-jalan bolak balik kampung-Medan. Atau kemanapun ia mau. Ia bahkan sudah naik Haji, patungan kami semua anaknya.
Di kampung, kami masih punya rumah. Rumah warisan dari ibunya ibuku. Di Toboh Gadang, Pariaman—di daerah Minang sana tradisinya adalah Matrilineal yang mengikut garis keturunan ibu. Daerah ini masih kental dengan tradisi Minangkabau-nya. Kalo kelen dengar kalau orang Padang mau kawin, yang ngelamar pihak perempuan, nah di sini ini tempatnya. Mayoritas daerah Pariaman begitu. Tapi-ada tapinya. Kalau sama-sama orang Pariaman juga dan sudah sepakat mengikuti tradisi itu. Jadi misal, pihak pria dari Padang dan pihak perempuan dari Pariaman, masih bisa sepakat kalau tidak mengikuti tradisi ini. Jadi tetap dengan cara kebanyakan, pihak pria melamar pihak perempuan. Apalagi kalo pria-nya berasal bukan dari Minangkabau, aman.
Nah inti dari kedatangan kak Dedek tadi adalah memberitau kepadaku tentang rencana perjodohan adikku, Selvi dengan seorang pria yang berasal dari kampung ibuku, di Toboh Gadang, Pariaman. Karena sekampung, kena-lah tradisi-tradisi tadi. Paham, ya? Jadi nantinya kami sebagai pihak perempuan yang akan melamar/meminang ke pihak pria.
Kak Dedek memberikan nomor kontak sang pria itu sebagai usaha perkenalan keluarga. Sampe ke akun fesbuk-nya pun ada. Dari sana aku baru paham sedikit-sedikit tentang calon adik iparku ini. Ia seorang pelaut yang seumuran dengan adikku. Kapten kapal yang mengoperasikan kapal kargo yang malang melintang di Indonesia Timur, berkantor di Surabaya.Telat menikah juga walau laki-laki keknya lebih santuy ya kalo telat. Layaknya pria Minangkabau yang gemar merantau, ia jarang-jarang ada di kampung karena profesinya ini. Ia seringnya mengunjungi ibunya yang juga sekampung dengan kami. Keknya pria yang baik dan bertanggung jawab, agamis juga untuk membimbing adikku.
Kami berdua, aku dan kak Dedek tidak ada masalah dengan perjodohan ini, karena sudah terlalu lama adik kami itu tidak kunjung menemukan pasangan dan lama menjomblo juga karena selalu kandas di percintaan. Di tradisi Minangkabau, segala urusan adat dan kekeluargaan menjadi tanggung jawab para Ninik Mamak. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Perjodohan ini juga tak lepas dari campur tangan mereka. Beberapa bulan belakangan ini ibuku memang ada di kampung bersama adikku. Bagus, deh. Tanggal cantiknya akan kembali dirembugkan dan akan diinformasikan kembali kepada kami berdua.
Mereka, kak Dedek, suaminya dan ketiga anaknya pulang sehabis Isya karena rumah mereka cukup jauh dari sini–di daerah Setia Budi. Dan aku juga berangkat lagi ke pabrik sesuai jadwalku. Ngibul, ding! Jangan bilang-bilang ya? Jangan bilang-bilang kalo aku menuju hotel.
Sampe di hotel, aku langsung ke kamar dimana Pipit berada. Seperti malam-malam sebelumnya, ia mengintip sebelum membuka lebar pintu untukku masuk. Benar saja, Pipit tambah bersinar berkat warna baru rambutnya yang baru. Kemaren-kemaren kemerahan, sekarang ini coklat. Kulit putihnya sangat cocok dengan warna rambut seperti ini. Apalagi ia memang dari sananya sudah cantik. Jadi diapain aja udah cantik. Apalagi kalo lagi bugil.
“Gimana, bang? Cantik gak?” tanyanya menanyakan pendapatku. Ia berputar perlahan memamerkan warna baru rambut barunya. Ia memakai jenis pakaian kesukaannya saat di rumah, kaos tanpa lengan dan celana pendek setengah paha, tak beralas kaki.
“Cantik… Pipit ngapain aja cantik, kok…” kataku standar. Itu jawaban jujur sebenarnya karena ia memang asli cantik.
“Kaaan… Jawabnya yang bener, dooong? Cantik gaaak?” rajuknya memanyunkan bibir tipisnya.
“Pipit tanya-la satu hotel ini di front desk bawah sana itu… Pasti semua pada bilang cantik… Gak percaya kali… Betol loh, Pit… Suwer… Awak rela Pipit perkosa kalo boong…” kataku memberikan acungan dua jari. Manyunnya berubah jadi senyum lebar karena candaanku ini.
“Bang Aseng pengen diperkosa, yaaa?” matanya menyipit penuh selidik sambil menunjukku. Jarinya berputar-putar jenaka kala ia merangsek maju.
“Auhh… Jangan nyonyaaa! Jangan perkosa saya, nyonyaaa… Saya masih perjakaaa… Saya belum pernaaah…” jawabku dengan tangan bersilang di depan dada. Pipit mendorong-dorongku dengan ujung jarinya yang ditusukkan ke dadaku. “Jangaan…” aku duduk bersimpuh di depannya kek perawan di sarang penyamun. Yang tak punya harapan bisa lolos dari sergapan buas. Sandiwara semacam ini layak untuk dimainkan.
Dengan muka mesum yang dibuat-buat walau tak mampu menghapus kecantikannya, ia menarik daguku agar aku mendongak. “Diam! Rasain ini…” hardiknya hampir tertawa sendiri. Tubuhnya dipepetkannya padaku, tepatnya selangkangannya pada mukaku. Jelas saja celana pendek katun itu ngepres ke bagian hidungku, tepat di bagian selangkangannya. Kalo aku gak salah rasa, Pipit keknya gak pake celana dalam karena terasa bentuk témpek mungilnya tertekan hidungku.
“Apa yang kamu rasain?” tanyanya kembali dengan sedikit hardikan.
“Anu nyonya…” jawabku dilucu-lucuin dengan kepala mendongak.
“Anu-anu… Anu apa?” hardiknya mendorong hingga hidungku terjejal témpek mungilnya.
“Anu nyonya… Anu nyonya yang enak ini…” kataku agak menggigit di akhir kalimat. Ia tergelak tanpa suara.
“Bukain punya saya!” lanjutnya lagi. Aku yang terduduk menyamping bak perawan ting-ting membuat wajah bloon, melongo. Pipit gemas dan menjejalkan pinggangnya ke mulutku. “Bukain… Buruan!” perintahnya.
Tanganku kubuat gemetar saat menarik perlahan karet pinggiran celana pendek katun itu dan benar saja tak ada celana dalam dibaliknya. Sampai pertengahan pahanya aku berhenti. “Tarik semua! Sampe bawah!” lanjutnya memerintah. Sementara témpek mungilnya sudah terhidang di depan mataku. Rambut-rambut jarang yang kuingat ada di sana kemaren sudah menghilang. Ternyata ia sekalian melakukan perawatan waxing rambut kemaluan juga di salon itu. Pipit tersenyum melihatku menyadari itu tapi terus bermain. Aku melepaskan celana pendeknya dari kakinya.
“Keluarin lidahmu! Julurin!” perintahnya lebih tegas sekarang. Ia mau aku menjilati témpek mungilnya. Dengan patuh, kujulurkan lidahku sepanjang mungkin. Lidah basahku sedikit lagi menyentuh bagian terluar témpek Pipit. Dia masih memegangi daguku dan ia mulai menggerakkan kepalaku. Mengendalikan alat pemuasnya.
“Naanhaaa…” (nyonya…) desahku karena lidahku masih menjulur keluar. Lidahku mengelus permukaan luar bibir tipis témpeknya yang terasa mulus tanpa rambut. Lidahku tanpa disuruh langsung menari-nari. Membelah lipatan bibir tipis témpek Pipit, menemukan jengger berlebihnya lalu mengaisnya. Ujung lidahku menembus masuk, mencolek isi belahan kemaluan Pipit yang jadi lembab.
“Mm… Aaahh… Pinter kamuuu… Uuhh…” desah Pipit menerima permainan lidahku. Ditekan-tekankannya pinggangnya tak sabar selagi mengelus-elus rambutku. Mulutku penuh dengan témpek mungilnya kala kucucup kuat kacang itilnya, membuatnya menjerit manja. Masih di posisi berdiri, dijejalkannya, dijojoh-jojohkannya terus ke mulutku. Kujepit dengan bibir berulang-ulang jengger sensitifnya lalu kuhisap membuat pinggulnya bergetar berkali-kali merasakan nikmat. Rambutku udah acak-acakan dikremes-kremesnya gemes.
“Nyonya… Anu nyonya enaaak…” kataku saat ia dengan nafas tersengal-sengal melepas sebentar mulutku dari témpek mungilnya. Aku bahkan mengacungkan dua jempolku.
“Ii-ih… Bang Aseng… Anu-anu… Iku jenenge témpek, loh…” gemes Pipit gak mau bermain lagi, memakai bahasa ibunya dan menerjang mukaku lagi. Mukaku sepenuhnya terbenam di selangkangannya. Didorongnya tanpa ampun kepalaku hingga aku terdorong dan rebah di lantai berkarpet ini. Didudukinya mukaku dan menggesek-gesekkan témpek mungilnya pada hidung dan mulutku. Lidahku menjulur kaku, mencoba menangkap apapun yang melaluinya. Jengger Pipit yang paling sering bergesekan dengan lidah dan hidungku, kemudian kacang itilnya. Goyang-goyang lalu menekan dalam. Lidahku menyeruak masuk sebisanya ke liang kawinnya yang becek.
“Mmm… Bang Aseng…” keluhnya, samar-samar aku bisa melihat Pipit meloloskan kaos tanpa lengannya di sela gerakannya. Bergoyang indah kedua payudaranya yang berpentil gelap kala pakaian itu lenyap dari pandanganku. Bergoyang sesuai gerakannya menggeruskan témpek mungilnya di mukaku. Pipit memerah sendiri payudaranya dan terus bergerak menggoyangkan pinggulnya. Wajahnya merah dan ia menjilati bibirnya selagi mendesah-desah. Aku hanya bisa bersilat lidah melawan témpek mungil dan mengelus kedua pahanya.
Gerakannya makin liar dan tekanan tubuhnya menekan kuat pertanda ia akan mencapai sesuatu yang nikmat. Menunggu di balik tirai nafsunya. Perutnya terlihat tegang dan remasan perah pada dadanya sendiri menguat. Pacuan gerak pinggulnya menggila sehingga aku harus menyelamatkan kepalaku dari beban berat tubuhnya dengan menahan pahanya, mengurangi beban.
“AAKkkhh…. Akhh…” ejannya berhenti bergerak. Tetapi gerak tubuhnya yang tak bisa dikendalikannya adalah geletar-geletar yang menyetrum sekujur tubuhnya kala gelombang orgasme menguasai syaraf. Ia duduki mukaku sambil bergetar-getar. Telunjuk kanan digigitnya dengan mata terpejam. Beberapa kali geletar susulan melanda membuatku lega karena kenikmatan yang dicarinya sudah mulai mereda. Ia mengerang-erang dengan nafas berat.
Perlahan ia berdiri walau masih lemas. Kubantu dengan menopangkan kedua tanganku pada kedua tangannya. Kami berpegangan. Ia berdiri tegak dengan sempoyongan tetapi berparas puas ditandai senyum manis. Tubuh telanjangnya dengan warna rambut baru dan témpek mungil becek nan gundul pasca waxing, menagih kenikmatan lagi.
Senyum manis di wajah dan tubuhnya telanjang berdiri di tengah kamar membuatku bangkit bersemangat. Kukupas semua pakaian yang masih lengkap kupakai. Tidak tergesa-gesa karena sambil menikmati pemandangan tubuh Pipit yang polos. Ia juga melakukan hal yang sama padaku, menikmati prosesku. Dijelangnya diriku dengan langkah ringan dan senyum mengembang, lalu dipeluknya erat. Dada kami berhimpitan. Sayang aku tidak boleh mencumbu mulutnya demi prinsip. Kami harus menukarnya dengan hal lain walau tanpa ciuman dari Prancis.
Sentuhan langsung kulit ke kulit membuat rasa nyaman yang memabukkan. Pipit mendusel-duselkan wajahnya ke leherku selagi aku menghidu aroma rambutnya yang wangi. Tangan kami saling mengelus-elus punggung dan berubah menjadi remasan akhirnya. Aku meremas buah pantatnya yang kenyal sementara ia meremas otot pinggulku. Aseng junior tergencet di perutnya. Berkedut-kedut memberi sinyal pada Pipit.
Pipit mengecup-ngecup leher, turun ke dadaku, perut dan berjongkok di depan Aseng junior yang mengacung tegang. Tanpa minta izin dulu, dicaploknya kepala Aseng junior dan mengulum dengan sentilan lidah. Geli sekali karena ia mempermainkan ludahnya di kepala Aseng junior sehingga terasa basah dan lengket. Baluran ludah basah di lubang kencingku ditingkahi permainan lidahnya yang bergerak dinamis. Tangannya lugas mengocok bagian batang dan memijat peler.
“Uuhh… Piiitt… Enaak kali, Piit…” erangku sampai berjinjit-jinjit menerima serangan dahsyat mulutnya. Gemetaran kakiku mendapat serangan full-cream kek gitu. Lidah basahnya bermain ludah di Aseng junior-ku yang kuyup. Lalu ditelannya semampu dalam rongga mulutnya dengan lidah menjulur. Sejumlah ludah menetes-netes dari lidahnya. Dan disedotnya sebagai deep throat. “Aduhh… maakkk!” erangku meremas rambut Pipit gak kuat. Kutarik kepalanya agar melepas Aseng junior yang brutal disedotnya. Aku gak kuat dan hampir ngecrot…
“Puah… Napa, bang?” heran Pipit yang merasa belum puas bermain dengan Aseng junior-ku. Bibirnya basah oleh ludahnya. Ia menatapku dengan kepala menengadah masih berlutut.
“Gak kuat awak, deeek… Ampir nembak awak tadi… Sayang…” kataku. Ya sayang, kan harus ngecrot di mulut karena ini adalah program menghamilinya. Kalo lain waktu bolehlah dicoba ngecrot di mulut.
“Bang Aseng… sayang sama… Pipit?” ulangnya malah dengan nada yang berbeda. Heh? Sayang? Matanya berkaca-kaca atau berbinar-binar aku tak tau yang mana satu. Apa dia salah tangkap makna kataku tadi?
“Sayang? Sayang kalo… Eh!”
Pipit menubruk tubuhku dengan dekapan erat. Tubuhku terhuyung-huyung tak siap dengan sergapan tiba-tibanya dan mendarat di atas ranjang hotel–terduduk. Didorongnya tubuhku hingga berbaring dan ia menghimpit tubuhku.
“Pipit juga sayang sama bang Aseng…” katanya menyembunyikan mukanya di ketiakku. Tak berani menatapku.
“Bukan, Piit… Awak tadi bilang sayang… sayang kalo keluar di mulut Pipit… Itu…” jelas bingung-lah aku ya, kan? Kok bisa pulak jadi kek gini kejadiannya? Tak ada pulak maksudku untuk sayang-sayang sama binik orang. Kalo dientot, kan belom berarti sayang, kan? Tapi kok jadi kek gini tanggapan Pipit? Haduuuh…
“Pipit tau… Tapi apa bang Aseng gak sayang sama Pipit?” tanyanya lalu duduk di atas kakiku dengan tubuh tegak. Ia menatapku kini dengan mata sembab. Mata berisi air yang belum jatuh. Belum tau akan menjadi apa. Masih gantung. Aseng junior-ku masih kurang ajar berdiri tegak tepat di depan permukaan plontos témpek mungil Pipit.
Aku bangkit dan menghadapinya. Tubuh kami menjadi rapat. Pipit menatapku berani walau dengan mulut terkatup rapat. Rahangnya ketat. Matanya masih menahan air itu. Kupegangi kedua lengannya dan kutatap balik matanya. “Aku sayang sama Pipit sebagai seorang tetangga yang mau membantunya mendapatkan anak…” jawabku perlahan agar ia mendengarnya dengan jelas dan tak salah tafsir. “Itu saja…”
Bergerak-gerak matanya meneliti mataku. Air mata mengalir dari mata kanannya pertama kali, menyusul yang kiri. Mengalir di kedua belah pipinya dan jatuh. “Cium Pipit, bang… Biar Pipit tau…”
Kucium bibirnya dan kukulum sebentar kedua bibirnya sekaligus. Ia tidak merespon apa-apa, hanya diam dan memejamkan mata. Air mata kembali mengalir dari sudut kedua matanya saat terpejam itu. Lepas dan melekatkan kening kami berdua. “Makanya Pipit awak larang untuk mengikutkan perasaan di sini… Seperti inilah jadinya… Kita tidak bisa berciuman karena ini, Pit… Tolong pahamilah…” nafasku agak tersengal mengatakan itu. Kukecup keningnya dan ia menangis.
—————————————————–
“Aahh… Ahh… Terus, bhaanng…. Ehmm…” erang Pipit yang berbaring miring. Aku menggerakkan pantatku dengan susah payah dari belakangnya. Aseng junior menusuk rajin walau tak bisa bekerja optimal menembus dalam. Kubenamkan mukaku di punggungnya kala melakukan penetrasi sulit ini. Rasanya Aseng junior kurang panjang di posisi ini. Tapi Pipit suka begini karena gesekannya begitu terasa karena jalan kawinnya tertindih sehingga sempit.
Aku berhasil menenangkannya setelah insiden kecil tadi. Memberinya pengertian-pengertian agar ia tidak baper akan hubungan rahasia ini. Kuulangi semua inti perjanjian yang sudah kami sepakati kala itu masih di kamar ini juga. Kuingatkan ia pentingnya menepati semua janji itu karena ada sumpah di dalamnya. Dan itu semua tidak boleh dianggap remeh. Lalu ditingkahi candaan, banyolan kontol, eh konyol dan ia lumer kembali dan berhenti menangis. Ngobrol lagi sebentar dan kami kemudian bisa bertempur kembali seperti saat ini.
Ini sudah ronde kedua sebenarnya dan bentar-bentar lagi aku bakalan ngecrot-lah. Udah terasa geli-geli enak di sekujur tubuhku apalagi di kepala Aseng junior yang sudah megap kelelep di dalam sana. Pipit terus mengerang-erang seksi menerima sodokan Aseng junior dan membekap tanganku yang meremas-remas sebelah payudaranya.
“Cepat, bang… Cepat, bhaanng… Ahhss… Asshhh… Uh…” erangnya dengan gerakan kepala liar. Rambutnya yang berwarna berantakan indah memberi warna di ranjang bersprei putih ini. Peluh kami berbekas di beberapa bagiannya–bekas pergumulan sebelumnya.
“Iniih, Piiit… Ini dia, Piiitt…Uhh…” geramku dan menekan perutku dalam-dalam ke pantatnya. Aseng junior menusuk dalam semampunya dan menyemprotkan spermaku beserta bibit calon anakku ke rahimnya. Kami berdua mengerang bersama. Kedutan-kedutan melanda tubuh Pipit dan tubuhku. Aku menguras semua spermaku agar tersalur ke dalam Pipit di saluran uterusnya. Bercokol dan bertahan di dalam rahimnya. Prosentase keberhasilan harus selalu dimaksimalkan. Menjadi anak yang diinginkannya.
Aku terus memeluk Pipit dari belakang masih dengan keadaan Aseng junior bercokol di témpeknya, sekaligus berfungsi sebagai penyumbat agar spermaku gak buru-buru keluar lagi. Kuremas-remas satu payudaranya yang bisa kujangkau, kuciumi punggung dan rambutnya. Nafas kami masih tersengal-sengal. Aku tak dapat melihat wajahnya.
“Gak usah diciumi terus, bang Aseng… Nanti cinta…” kelakarnya. Ia tergelak sendiri. Aku mendiamkan kelakarnya dan menjawab dengan meremas payudaranya sedikit lebih keras. “Auhh… Iih, bang Aseng… Atiit…” keluhnya masih dengan nada canda manja.
“Abisnya binik orang ini gemesin kali…” kataku ngomong di punggungnya.
“Bininya siapa dulu?”
“Imran…” jawabku. “Pipit gak kangen lakikmu di sana?” tanyaku.
“Yaa… kangen… Kan tiap hari teleponan bisa…” jawabnya masih memunggungiku. “Katanya juga dia kangen sama Pipit… Kangen ‘gini-ginian’ tiap malamnya…”
“Tapi biniknya malah ‘gini-ginian’ sama lakik orang…” jawabku mengecup punggungnya. “Imran ada kecendrungan selingkuh gak kalo jauh dari Pipit? Cewek sana kan cantik-cantik…” aku kini memainkan putingnya. Aseng junior berangsur mengecil setelah bongkar muatan tadi.
“Keknya semua cowok cenderung begitu deh, ya? Buktinya bang Aseng juga… Bini dekat juga bisa selingkuh… Gak perlu saling jauh… Tapi gak pa-pa deh… Yang penting saling percaya aja…” kata Pipit mengungkapkan pendapatnya.
“Selingkuh itu kalo pakek hati, neng… Kalo pake nafsu aja keknya gak selingkuh-ah…” sergahku mencari pembenaran. Makanya aku gak mau mengikut sertakan perasaan dan teman-temannya kalo dalam keadaan ini. Aku cuma bawa Aseng junior saja. Piis. Cocok klen rasa? Toss kita kalo setuju.
“Alasan aja… Bilang aja gak berani…” ejeknya sedikit menggerakkan kepalanya memprovokasi tentang insiden sebelumnya.
“Iyaa… Awak gak berani-lah kalo gitu-gitu… Awak ini anak baik… Gak boleh gitu-gitu… Nanti marah mamak…” kataku mendekap tubuhnya erat. Hampir aja aku membuat cupang di punggungnya karena gemes kalo gak ingat-ingat.
“Percaya, dee…”
——————————————————-
Gak perlu kukasih tau lagi berapa kali aku ngecrot ke Pipit ini malam? Yak benar! 4 aer. 4 kali.
Ia melepasku dengan godaan yang sangat menggemaskan di balik pintu. Ia berdiri mengantarku keluar kamar masih tanpa busana sehelaipun dan menggigit ujung jarinya dengan imut. Memandangiku penuh kepuasan. Aku melambaikan tangan dengan janji akan kembali lagi besok malam kalau tidak ada halangan yang tak dapat dielakkan.
Apa halangan yang tak dapat dielakkan? Misal ada yang mati, ada yang terluka, ada bencana alam, ada zombie apocalypse, perang bersenjata. Pokoknya yang-yang force majeur gitu-lah. Kalo masih ada yang bisa ngaceng di kondisi seperti itu, paten kali-lah kelen pokoknya.
Jarak dari hotel ini ke hotel berikutnya dimana Yuli berada cukup jauh sebenarnya. Tapi karena kondisi malam, lalu lintas lancar selancarnya, tidak perlu makan waktu lama untuk tiba di sana. Ini sudah jam 00:54 dan aku bermaksud memberitau Yuli kalo aku sudah di parkiran sepeda motor. Udara malam terasa dingin kala kubuka jaketku menyusul helm. Parkir hotel ini untuk sepeda motor terbuka, jadi kalo hujan-ya basahlah semua.
“Alo?” jawabku karena ada telepon masuk sebelum aku sempat membuka aplikasi BB di HP-ku.
“Ha-halo?” jawabnya disana. Suaranya bukan Yuli. Kuliat kembali layar HP-ku untuk melihat siapa penelponku ini. Ini bukan Yuli tapi Dani.
“Ya… Apa, Dan?” kubuat suaraku se-kasual mungkin agar ia tidak segugup itu. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi di kantor.
“A-abang belom tidur, kan?” tanyanya disana. Lah bisa ngangkat telepon berarti gak tidur-lah. Gimana, sih?
“Belom, Dan… Masih di luar nih… Ada apa, nih? Langsung aja…” kataku agak buru-buru. Lama-lama dingin juga di parkiran hotel ini. Si penjaga parkir udah clingak-clinguk karena aku gak nongol-nongol ke tempatnya. Dikirain nanti aku mau nyuri helm. Ke sana aja dulu sambil jalan nelponnya.
“Ada-ada yang mau Dani omongin sa-sama bang Aseng… Bisa minta waktunya sebentar?” katanya malah formil kek mau jualan asuransi.
“Lama gak, Dan? Kalo lama biar awak nyari tempat duduk dulu…” kataku. Ah itu pelataran hotel ada bak tanamannya, bisa keknya dibuat duduk. Aku duduk di sana. Lalu lintas di depan hotel sepi tengah malam begini. Beberapa mobil parkir di halaman hotel. “Nah… Ngomong-lah… Awak dah duduk, nih…”
“Tadi barusan aja… Dani mimpi, bang Aseng…” mulainya. Ada mimpi-mimpinya. Mimpi digigit ular? “Ada kakek-kakek ngasih tau ke Dani kalo bang Aseng bisa bantuin Dani kalo mau hamil…”
BAH! Apa lagi ini? Dani dimimpiin kakek-kakek yang ngasih wangsit kalo dia bisa hamil kalau kubantu. Kek pernah dengar ya? Ya… Ini aku mau nyambangin perempuan yang udah bayar DP 50 juta untuk dihamilin. Sebelumnya juga di hotel satu lagi beberapa saat lalu. Nambah satu lagi?
“Kakek-kakek? Dani percaya omongan kakek-kakek di mimpi itu?” tanyaku masih dalam posisi duduk walau sedikit terhenyak kaget.
“Yaa… Enggak juga sih, bang… Tapi kenapa kakek itu spesifik bilang abang bisa…” lanjutnya.
“Spesifik gimana? Apa kakek itu bilang cara awak membantu Dani supaya hamil-nya? Apa awak harus baca-baca doa gitu?” tanyaku sedikit geram. Kesel sih tepatnya.
“Katanya… katanya yaa… pake hubungan suami istri gitu…” suara memudar di akhir kalimat. Tapi aku bisa dengar semua dengan jelas walau kepalaku mendadak panas. Teringat meki gundulnya yang kembang-kempis di gudang arsip tadi.
“Hubungan?” ulangku. Fix! Aku diminta untuk menghamili rekan kerjaku itu. Lalu ia mengulangi ceritanya tentang isi mimpi yang baru saja dialaminya tadi. Barusan aja dia mengalami mimpi itu. Terbangun disamping suaminya. Keknya mereka berdua abis indehoy. Bangun dan mencoba mencerna isi mimpi–bukan mengajak suaminya berdiskusi tentang arti mimpi barusan tapi malah menelponku minta tolong agar bisa hamil. “Trus Dani percaya bisa hamil kalo melakukan itu dengan awak?”
“…” ia terdiam di sana untuk beberapa lama. “Tapi bisa dicoba, kan?”
——————————————————-
Sambil menggenjot Yuli yang sedang termehek-mehek menerima genjotan Aseng junior di apem mlenuknya, aku jadi memikirkan pembicaraanku saat di bawah hotel tadi. Hasilnya malah aku jadi lama gak ngecrot-ngecrot walau sudah hampir mencapai 30 menit aku bergoyang. Sedangkan Yuli udah dua kali melolong mendapat kenikmatannya.
Aku jadi gak konsentrasi menikmati tubuhnya yang semok bergelora dengan guncangan gunung seukuran 38DD. Padahal ini malam terakhir kami bisa bersama minggu ini karena pagi atau siang nanti suaminya sudah akan sampai Medan dari tour ngantar sembako via truknya. Anaknya tidur di tempat tidur terpisah dari kami berdua yang bergumul bolak-balik. Benar aja, itu anak seperti gak terganggu walau sebising apapun Yuli menjerit-jerit keenakan. Aku berkali-kali mengingatkannya agar jangan terlalu berisik, tapi memang anaknya tidur kek kebo. Mereka menginap di hotel ini karena tadi siang anaknya bermain-main di kolam renang hotel dan lanjut check in.
Ini semua karena telepon Dani tadi. Ia mendesakku dengan pembenaran kalo kata kakek-kakek itu ‘bang Aseng udah biasa’ membantu perempuan lain untuk hamil. Mimpi kok dipercaya. Kakek-kakeknya pun tak jelas gitu. Nyuruh ngentot sama lakik orang pulak lagi.
“Emang Dani mau ‘maen’ sama awak?” tanyaku vulgar karena terpaksa. Itupun pilihan katanya diperhalus. Harusnya ngentot!
Ia diam beberapa detik. Tak berani menjawab. “Kalau perlu…” tak disangka dan dinyana jawabnya perlahan akhirnya. WHADDEPAK!
Walo gak konsen, tapi pantatku terus memompa konstan keluar masuk ke apem mlenuk Yuli yang sudah basah—banjir cairan cintanya. Kakinya yang gempal padat terkangkang lebar. Mempersilahkan aku menggaulinya dan menghamilinya. Sudah beberapa malam aku mengunjungi dan menebarkan bibit-bibit suburku ke rahimnya. Kalo berhasil hamil, total aku akan mendapatkan 100 juta rupiah dengan DP 50%. Walau terasa enak, pembicaraan dengan Dani tadi memecah konsentrasiku.
Kuremas-remas walau seadanya gunung kembar 38DD itu dan ia mendesah-desah keenakan meremas-remas sprei hotel hingga carut marut. Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua. Tanganku tetap meremas lumer kenyal besar 38DD itu. Kutengadahkan mukaku ke langit-langit seolah sedang menikmati tubuh Yuli padahal pikiranku bercabang. Pada apem mlenuk Yuli yang sedang kegenjot dan meki gundul Dani.
“Apa Dani gak cerita kalo jerangkong itu sudah gak ada sama suamimu?” tanyaku. Sebelumnya ia cerita kalo dari terakhir ia kesurupan sampai saat itu di gudang arsip, ia tidak lagi mendapat serangan. Setidaknya ia akan mengalaminya dua sampai tiga kali lagi. Makanya malam itu mereka merayakannya dengan bercinta yang sudah lama tak mereka lakukan—dengan gembira.
“Abis itu… baru Dani cerita ke suami kalo bang Aseng yang ngancurin jerangkong itu…” jelasnya. “Dia bilang minta tolong bang Aseng bantuin lagi biar kami berdua gak diganggu…” sambungnya dengan antusias. Dani ngakunya nelpon di luar kamar karena suaminya masih tidur kecapekan di kamar.
“Awak bukan dukun, Dan…” elakku.
Kimak si Aseng junior ini… Gara-gara gak konsen malah merajalela dia gak mau ngecrot. Udah kek minum obat kuat pulak aku jadinya. Durasiku meningkat jadi dua kali lipat dari kebiasaan 15-20 menit. Ini sudah 30 menit lebih dan Yuli udah kubolak-balik kek ikan goreng. Udah lemes itu binik orang kubuat karena sudah tiga kali orgasme sampe menjerit-jerit bising. Kini ia kubuat menunggingkan pantat besar lagi semoknya yang berkeringat mengkilap. Apem mlenuk beceknya merah merekah mekar bebas dicoblos. Aseng junior meluncur masuk dengan lancar dan kembali mengaduk-aduk.
Kuremas-remas pantatnya bergantian dengan pinggulnya. Sekali-kali kutampar pantatnya untuk mendapatkan kejutan remasan mendadak kala ia merasakan panas akibatnya. Pantatnya menjadi kemerahan yang membuatnya semakin binal. Erangannya tak lagi dijaga seperti kala melakukan ini di rumahnya. Herannya, anaknya tak merasa terganggu.
“Nanti abang kutemukan dengan suamiku… Kita ketemu dimana gitu… Ntah warung bakso ato apalah… Abang kasih ke dia air putih… Pake botol air mineral yang kecil aja… Bilang aja udah abang baca-bacain biar bisa punya anak dan gak diganggu mahluk ghaib lagi… Minum selama seminggu kek minum obat sampe abis… Gitu…” katanya malah menyodorkan sebuah skenario itu padaku. Pantesan aja dia jago mengatur jadwal PPIC, dia bisa memikirkan hal sampai sedetil ini, mengatur banyak orang, flow bahan jadi dan inventory yang jumlah bejibun—apalagi cuma suaminya.
“Kalo kek gitu… udah kek dukun aku, Daaan…”
Kubenamkan Aseng junior dalam-dalam dan kusemburkan spermaku yang meledak-ledak. Kepalaku jadi ringan berkat letupan-letupan nikmat dari nikmat yang akhirnya datang ini. Berasal dari kesal, gemes dan juga penasaran. Yuli juga melolong lagi menyambut tembakan spermaku dengan bareng merasakan kenikmatannya juga. Kutindih tubuhnya yang menelungkup sambil merasakan Aseng junior berkedut-kedut menguras sisa muatannya. Apem mlenuk Yuli juga memeras tiada henti. Napas kami menderu-deru seperti habis marathon. Kuremas 38DD-nya gemas, juga mengecupi punggung berkeringatnya.
Bersambung