Part #17 : Harus setoran pada dua orang perempuan sampai pagi

Agenda padat beberapa hari ini dimana aku harus setoran pada dua orang perempuan sampai pagi, berangkat kerja pagi sampai sore. Kapan aku tidurnya?

Kamu… Ya, kamu, kan yang nanya gitu tadi? Benar sih. Secara normal aku gak tidur-tidur. Pergi kerja masuk jam 9 pagi… Pulang jam 5. Cengkrama bareng anak dan istri sore hari sampe malam, aku ngelembur di hotel bareng Pipit sampe tengah malam. Lanjut lagi dengan Yuli sampe pagi menjelang Subuh. Abis Subuh bantu-bantu istri beres-beres rumah kalo anak belum pada bangun. Bagi tugas mandiin kedua anakku sementara istri buat sarapan. Jalan-jalan ritual pagi keliling gang. Betul gak ada tidurnya ya…

Kok masih idup?

Ha ha ha ha… Kadang anda terlalu kejam kisanak. Haram jadah kau, mak Lampir! Bedebah! Terima seranganku! Hyaaat! Gubrak.

Bisa, kok. Aku bisa tidur dengan nyenyak. Cukup lama juga. Sekali tidur bisa dua-tiga jam. Kapan? Kapan aku mau. Makan gaji buta, ya? Nyuri waktu kerja? Ngakunya lagi ke lapangan, taunya cari pojokan sepi dan aman? Bukan. Bukan itu. Tuh kan kamu kejam menuduh serendah itu. Gajiku halal loh ini. Gak ada bagian makan gaji butanya. Jauhi ghibah dekatin janda. Apaaa-lah kao, Seng?

Gini penjelasannya. Pada tau, kan penjelasan Menggala sebelumnya dan juga kejadian pertarungan-pertarungan seru melawan individu-individu supranatural waktu itu. Semua dilakukan di dimensi lain yang tak terikat waktu. Sayangnya belum pernah ada yang meneliti fenomena ini apa sama dengan Alternate Realm ato apapun itu namanya. Dimensi-dimensi itu adalah milik mereka, para lawanku. Jadi lingkungan gelap dengan dinding lapuk itu milik si wak dukun kimak itu, hutan bambu itu milik si wak mesum gendheng itu, dan padang savana itu adalah milik Pipit sebagai seorang Menggala. Aku yang juga seorang Menggala tentunya juga punya dimensi semacam itu. Aku tidur di sana.

Sesimpel itu, kok. Aku mah gitu orangnya… Simpel. Setidaknya jiwaku sudah beristirahat cukup dan tubuh mengikuti. Men sano incorpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Betul ya tulisannya kek gitu? Mbuh. Jadi kalo jiwaku sudah beristirahat cukup, tubuhku juga sudah beristirahat. Gitu deh.

Jadi kalo aku lagi bengong sebentar, mungkin itu aku lagi tidur. Kalo air dari dispenser meluap dari cangkir kopiku, mungkin itu aku lagi tidur. Kalo aku ngupil gak dapet-dapet sasarannya, mungkin itu aku lagi tidur.

OK? Clear, kan semua? Gak ada masalah lagi? Puas dengan jawaban saya. Kalau kurang coba cari binor di sekitar anda, mana tau bisa memuaskan dahaga anda-anda sekalian. Okeh… Kita lanjut.

——————————————————-
Saat ini kerjaan lagi seru-serunya nih. Masih jam 10 pagi. Masih semangat pol. Ketik laporan itu. Klik-klik ini. Periksa laporan si fulan dan si anu. Coret-coret revisi proposal. Evaluasi bagian itu dan ini. Prospek jangka pendek dan realisasinya. Seru, kan? Kalo bosan aku tidur sekelak.

“Bang Aseng… Jadwal PPIC-nya bisa bentrok kalo begini caranya-lah…” kata seorang staf yang datang ke mejaku. Ia memegang beberapa lembar kertas yang biasanya jadwal-jadwal produksi yang didelegasikan kepada bagian produksi di lapangan. Nambah lagi kerjaanku untuk menjelaskan beberapa revisi yang sudah kulakukan sebagai bagian perintah dari kak Sandra beberapa waktu lalu. Lalu beberapa orang lagi kupanggil juga untuk sekalian ku-briefing agar gak perlu dijelasin satu-satu.

Jadi ada briefing mendadak di sekitar mejaku yang dihadiri beberapa staff PPIC dan beberapa lainnya yang kiranya terkait seperti Maintenance dan Logistic. Ada sekitar setengah jam aku harus menjelaskan beberapa point yang telah dirombak abis-abisan sesuai arahan dari Factory Manager yang juga merupakan kebijakan dari atasannya lagi, Direktur Utama.

Kenapa gak kak Sandra yang melakukan ini semua? Entah juga ya? Aku pun kok baru nyadar sudah disuruh-suruh ngelakuin tugas yang bukan tanggung jawabku. “Alo, kak?” teleponku langsung ke ruangannya minta penjelasan.

“Ha?… Hamik, Seng?” (Apa, Seng?) jawabnya cepat terdengar suara ketukan tuts kibot laptopnya di sana.

“Kok awak yang ngasih penjelasan ke PPIC, ya kak? Bingung awak… Mengenai yang tadi pagi itu loh…” tanyaku.

“Anggap aja lu training jadi wakil wa…” jawabnya tetap bekerja multi tasking.

“Kan ada Tiwi, kak… Masak awak jadi wakil kakak, sih?” protesku. Kan ada asistennya, si mendadak hijaber Tiwi. Anak Marelan Pasar 5 dekat lapangan bola itu.

“Tiwi itu asisten wa… Kek sekretaris wa… Beda-la sama wakil…” jawabnya santai. Eh langsung ditutup.

“Wakil?” gumamku di antara tumpukan berkas-berkas laporan dari beberapa bagian yang harus aku ku-cross check dengan beberapa data di layar komputerku. “Tambah botak-lah rambutku ini…” sambil mengelus-elus kepalaku. Udah sering dijambakin perempuan kalo ngeseks, tambah lagi stress.

Ternyata ada seseorang yang lagi berdiri di sudut mejaku sedang maenan HP. Mungkin menunggu aku selesai teleponan tadi. “Kenapa, Dan?” sapaku untuk beralih meladeninya. Dani ini adalah kepala bagian PPIC. Berarti dia balik lagi setelah semua yang tadi briefing kembali ke tempatnya masing-masing. Mungkin ada yang mau ditanyakannya lagi lebih jelas.

“Tunggu, ya bang…” selanya ingin menyelesaikan urusannya di HP itu. Sebagai staff senior di kantor ini, sabar kali awak ini nunggu perempuan satu ini selesai chatting sama temannya. Padahal urusanku pun banyak kali juga. Senyum-senyum pulak dia ngetik-ngetik di HP-nya. Nama lengkapnya Rahmadani sehingga lebih sering dipanggil Dani. Ada cerita lucu tentang namanya karena waktu SMA ia pernah merengek minta ganti nama sama orang tuanya. Waktu kecil karena sok keren dikasih nama Rahmadhani. Pas SMA itu, waktu diabsen guru, dia panggil Rahmad Hani. Kek gitu kali motongnya. Udah berubah jadi laki-laki pulak. Jadilah sampai sekarang huruf ‘h’ itu dihilangkan jadi kalau dipotong jadi Rahma Dani. Kek mana kalo ada yang manggil Rahmad Ani? Sama aja, kan? Ntah lah! Gak urusanku-la itu. Urus kali-pun.

Bertopang dagu awak jadinya menunggu ia selesai. Hng? Ngapain perempuan satu ini? Chatting kok pake gesek-gesek di ujung mejaku? Pas pulak yang digesek bagian itunya. Iya bagian itu. Kelen cobak-la berdiri menghadap meja kantoran yang berbentuk segi empat, pas di sudut 90°-nya. Apa yang kenak? Segitiga pengaman itu, kan? Kalo kao laki-laki, gelik pulak aku ngebayanginnya. Ini si Dani, perempuan berjilbab modis yang tinggi langsing itu sedang menggesek-gesekkan bagian depan selangkangannya. Kadang ditekan-tekannya hingga bagian depan kulot (model celana yang ketat pada bagian paha dan gombrang pada bagian betis) hitam yang dikenakannya itu berbentuk jelas cetak ketat tembem meki-nya terbelah.

Apa yang sedang di-chatting-kannya di sana? Sex-text? Ato sedang berkombur (ngobrol ngalur-ngidul) dengan temannya? Gatel mungkin ya meki si Dani ini hingga harus multi-tasking antara nge-chat dan garuk. Ntah-la pulak. Ada sekitar 2 menit ia melakukan itu lalu menyudahi maenan HP-nya. Ia rupanya ingin menanyakan sesuatu yang lebih detil tentang program-program tadi. Gak kusinggung kok tentang gesek-gesek enaknya tadi. Mungkin dia-pun tak sadar melakukan itu. Tak lama ia pergi kembali ke tempatnya. Segera kucek sudut mejaku. Lecet gak?

Menang banyak-la kao sudut meja. Bisa kao rasain meki tembem si Dani tadi. Ada bau-bau segar… Aku membaui bekas yang kuambil dari sudut itu di jariku. Bukan bau gak enak kalo keputihan yang sering jadi penyebab kemaluan perempuan gatal. Kupandangi lama sudut meja itu. Pandanganku terhalangi karena setumpuk file lain diletakkan Tiwi di dekat sudut itu. “Awas melamun bang Aseng… Traktiran odong-odongnya belom…” kata Tiwi ingat aja. Ia tertawa-tawa pergi. Asem itu anak.

Baru aja mau nyentuh itu tetikus, muncul lagi itu perempuan. “Ya, Dan… Ada yang lain?” tanyaku. Itu perempuan modis berhijab tadi nongol lagi tiba-tiba dan berdiri begitu aja di samping mejaku. Dia berdiri tidak di sudut meja tadi melainkan di sudut meja yang ada di sampingku.

“Aa… Mmm… Itu…” ujarnya gugup. Ragu apa yang mau diungkapkannya. Kuputar kursi kerjaku agar bisa ngeliat dia langsung yang seperti salah tingkah. Jarinya seperti menunjuk-nunjuk ke satu tempat. Apa dia lagi ngeliat penampakan mahluk ghaib? Hanya orang-orang tertentu yang bisa ngeliat mereka. Kuikuti arah jarinya menunjuk. Kesitu?

“Kenapa, Dani? Ada apa disitu?” tanyaku melongok ke arah yang diliatinnya. “Ini ya?” kataku mengelus-elus sudut meja yang tadi sempat dinikmatinya. Gerakan mengelusku kubuat selentur dan seerotis mungkin. Ia berdiri kikuk dengan kedua tangan dalam posisi defensif di depan menutupi kemaluannya yang tentu saja masih tertutup celana kulotnya.

“Bang… Aseng ngeliat ya?” suaranya lirih.

“Yaaa… Dikit… Kok diulang lagi?” jawabku dan langsung nanya lagi. Karena ia entah kenapa malah menggesekkan mekinya lagi di sudut meja yang tepat berada di samping kananku. Kaget aku melihat tingkahnya. Kenapa anak ini? Kembali ia menggesek-gesekkan bagian depan kemaluannya pada sudut mejaku hingga terlihat belahannya jelas terbentuk.

“Mm… Gak tau, bang… Dani gak bisa menahannya… Maunya diginiin aja…” katanya bingung. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang memerah dengan sedikit titik keringat.

“Udah-udah… Hentikan itu, Dan… Nanti ada yang lain ngeliat…” kataku menepuk bahunya lalu mengusap-usap lengannya untuk menenangkannya. Telah terjadi sesuatu padanya. Tapi entah apa. Kuambil sebuah kursi dan kusuruh ia duduk di sana. Lebih baik kutanya pelan-pelan. Dani bernafas pelan-pelan dan duduk menenangkan diri dengan pandangan menunduk. Kenapa perempuan ini? Kenapa ia bisa melakukan hal memalukan ini di depan laki-laki yang bukan siapa-siapanya. Kalo sama lakiknya, kurasa sah-sah aja sebagai pancingan atau lelucuan. Lah ini di depanku, berulang lagi. “Apa yang terjadi Dani? Ada apa ini?”

Ia tetap menunduk. Tangan kirinya bergerak perlahan yang awalnya dipegangi tangan kanan, terlepas, menyusuri pahanya dan mendarat di permukaan mekinya lagi. “Jangan lagi, Dan!” cegahku dengan suara tertahan. Seperti ada yang sedang mengendalikan tubuhnya. Ada aura jahat yang menyelimuti tubuh perempuan ini. Kutahan tangan kiri Dani yang menggesek-gesek kemaluannya dari luar celana kulot yang dikenakannya. Keras! Kenapa tangan mungil yang terlihat lemah dan lembut itu begitu keras. Tanpa bisa kucegah lebih jauh, tangannya menelusup masuk ke dalam celananya dan kembali melakukan gerakan menggesek itu lagi.

“Baang Aseeng… Toolong, Daaniii…” isaknya pelan lebih mirip bisikan. Tangan kanannya mencengkram pegangan kursi yang didudukinya. Di posisinya duduk saat ini, memang situasinya cukup kondusif. Kami seperti sedang mendiskusikan sesuatu yang biasa kami lakukan sehari-hari. Para penghuni kantor lainnya sedang asik dengan pekerjaannya masing-masing. Terkadang ada yang lalu lalang tapi cubicle milikku memang sedikit lebih luas daripada staff lainnya karena aku menyimpan banyak data-data dari berbagai bagian yang disortir dalam beberapa kardus berbeda. Ditumpuk dan diberi label.

Dani & Monstera

Aku harus mencari daun! Segera! Ah… Aku harusnya memelihara tanaman di meja kerjaku lain waktu. Ah… Tak jauh dari sini, di dekat tangga ada tanaman hias bernama Monstera. Tanaman berukuran besar ini mirip keladi dengan warna daun hijau tua tetapi berlubang-lubang searah kontur tulang daunnya mirip kipas. Daunnya mengkilap karena selalu dilap OB kantor. Waduh… Daunnya cuma ada tiga helai lagi. Kalau kuambil satu, bisa-bisa OB kena masalah nih. Oop! Itu dia… Peace Lily. Berdaun banyak dengan bunga kuncup berwarna hijau muda. Daunnya mirip daun jahe dan sejenisnya yang tumbuh dari rimpang. Kuambil dua helai daunnya dan buru-buru balik lagi ke cubicle-ku.


Peace Lily

Lah! Mana Dani-nya? Kemana perempuan itu pergi. Apa dia tadi menyusulku. Kepalaku mendongak celingukan mencari di antara cubicle lainnya. Hanya ada kesibukan biasa di antara pekerja lainnya yang seliweran di sekitar area kerjanya. Sekelebatan aku melihatnya menutup pintu kaca di ujung sana. Aku tanda dengan hijab hitam yang dikenakannya ada sedikit aksen merah senada dengan seragam kerja. Tak mau buru-buru, aku berjalan belagak mau kesana juga. Pintu itu menuju pada gudang arsip di sebelah ruang Meeting nomor 3.

Bikin repot aja nih. Celingak-celinguk aku membuka ruang Meeting dan kosong. Hanya gudang arsip yang tersisa. Kuperiksa di sana. Pintunya terbuka. Pasti Dani ada di dalam sini. Itu dia. Duduk membelakangiku di sebuah kardus penuh file 2 tahun lalu. Ada banyak kardus sejenis di gudang ini karena filling cabinetnya sudah penuh dengan file yang lebih penting. Bersusun bertumpuk sampai hampir mencapai langit-langit. Untung saja tempat ini diinsulasi dengan baik juga ventilasi mencukupi sehingga kelembabannya terjaga.

“Dani?…” sapaku mendekat. Ia menunduk seperti tadi dengan celana kulot sudah turun sampai ke betis bersama celana dalam berwarna putihnya. Tangan kirinya bebas menggerepe dirinya sendiri. Isakannya terdengar jelas karena aku berdiri di sampingnya. Lebih mirip desahan kurasa. Paha mulus dan putihnya kulirik sekilas dan pandanganku tertumbuk pada permukaan celana dalamnya yang menggantung bersama celana kulotnya. Ada cairan bening membekas di sana.

“Dani… Apa kau masih sadar?” tanyaku. Kelakuannya ini sudah mirip kesurupan. Ia kutenggarai sedang dikendalikan oleh sesuatu yang ingin menguasainya. Sebuah ilmu hitam yang jahat karena mengkondisikan korbannya jadi seperti ini. Hanya ada suara decak becek berkecipak kobelan jarinya pada vaginanya sendiri. Dua jari; jari tengah dan jari manis tenggelam di dalam liang kawinnya.

“Clak-clak-clak-clak!” suara kasar kecipak vagina basah terdengar jelas di telingaku. Ia seperti tidak perduli apapun lagi. Muka Dani memerah dengan mata terpejam dan ia menggigit bibir bawahnya. Gerakan mencoblos itu makin cepat dan liar, kemudian cepat lebih cepat lagi.

“AAaahh!!” berkejat tubuh Dani melepas kedua jari yang bercokol di dalam vaginanya sendiri. Sejumlah cairan meluncur deras berupa squirt beberapa kali, mendarat di lantai keramik. Wow! Baru kali ini aku melihat perempuan squirt kek gitu. Bisa nembak gitu, ya? Geleng kepala aku takjub. Kurang dari satu meter jauhnya semburan squirt barusan.

Dani terduduk lemas dengan kepala menunduk. Kakinya berselonjor lebar sekenanya. Seragam kerja berupa kemeja lengan panjang berwarna hitam dengan aksen merah di kerah dan ujung lengan, tergulung sembarangan dibagian bawahnya. Memaparkan bagian bawah tubuhnya yang terbuka. Aku bahkan bisa melihat meki gundul becek basah yang masih berkedut-kedut miliknya, sedikit terbuka sisa permainan tadi.

“Dan… Dani?” ulangku memanggilnya. Kedua helai daun Peace Lily kupegang erat di dua tangan. Aku menjaga jarak. “Dani… Apa kau bisa mendengarku? Kau gak pa-pa?” aku gak mau mendekat lebih dari 5 langkah darinya. Ini jarak amanku sesuai senjata yang kusiapkan.

“ROAARRKKHHH!!” tiba-tiba sesosok asing dan mengerikan melompat keluar dari tubuhnya. Ada kepulan asap hitam yang mengikutinya. Bentuknya berupa tengkorak gosong dengan beberapa sisa daging yang hangus masih menempel. Terjangan cepatnya sudah kuantisipasi. Jari berupa tulangnya menggapai akan mencakar mukaku. Melompat mundur, menjatuhkan badan, dua daun pedang Peace Lily menahan lalu menyabet tangan kanannya hingga putus pada pertengahan tangannya. Kuat juga daun tanaman hias ini.

Tubuhnya geblak jatuh di lantai keramik dan terdengar suara kletukan tulang-tulang yang beradu di lantai keras. Gak mau menunggu lama-lama langsung kuhajar bagian kepalanya dengan sabetan pedang lagi silih berganti. Alhasil kepala dan sebagian tulang lehernya hancur tercerai berai. Mahluk ghaib yang lazim disebut jerangkong ini menggeliat-geliat mengalami kehancuran fatal pada bagian kepalanya. Terdiam lalu hilang menjadi debu. Puff! Sisa tulang tangannya juga hilang.

Kuacungkan sebilah pedang kiri Peace Lily pada ubun-ubun Dani untuk jaga-jaga. Kanan bersiap menyabet kalau ada jerangkong lagi yang muncul menyusul temannya yang udah kubantai. Aura jahat itu sudah tidak ada. Aku tidak merasakannya lagi. Apa sudah selesai? Kutunggu sebentar lagi dan tak ada kejadian lanjutan apapun. Dua pedang Peace Lily balik menjadi daun dan hancur. “Dani? Daan… Dani… bangun…” kataku segan-segan menyentuh lututnya dan menggoyang-goyangkannya. Tentu aja untuk membangunkannya. Ini perempuan pingsan ato masih keenakan orgasme squirt barusan?

Aku yang berjongkok tepat di depannya tentu aja bisa melihat lipatan meki buka-nutup waktu kugoyangkan lututnya beberapa kali. Aku bahkan yakin kalau ada tetesan cairan bening sisa orgasme dari bukaan mekinya. Kulirik sisa squirt-nya di belakangku. “Daaan?” panggilku berusaha mencapai dagunya.

“Mpp… Aaah!” tetiba ia bangun dan meregangkan kedua tangannya lebar-lebar kek baru bangun dari tidur yang sangat lelap. Tentu aja aku melongo meliat adegan ini. Dadanya membusung walau tak besar, tetapi jadi lebih mencuat karena dibusungkan ke depan. Digeretakkan tulang pinggulnya ke kanan dan kiri, terdengar gemeletuk suara tulangnya berderak dua kali. Ktuk! Kletuk! “Aah… Loh? Bang Aseng?”

Kaget Dani melihatku ada di depannya sedang berlutut. “Eh?” kaget dan panik ia menyadari kalau celananya terbuka dan melorot sampai betis dan kemaluan terpampang jelas dipamerkan kepadaku. Dibalikkan tubuhnya dengan paksa dan menarik semua gulungan celananya dengan buru-buru. “Kok Dani ada disini…? Ini gu-gudang arsip, kan?” ia meneliti tempatnya berada dan segera mengenali ruangan ini. “Apa yang abang buat padaku? Apa?… Apa, bang?” ia mendekap dadanya erat dan belahan antara kakinya.

“Dani gak ingat?” tanyaku. Fix dia tadi kesurupan. “Tadi Dani duduk disitu sendiri sambil ngobel-ngobel anumu… Keknya sampe dapat enak… Waktu awak masuk kemari pas waktu enak itu… Awak pastinya penasaran-lah… Awak gak ngapa-ngapain Dani, kok… Suwer!” kataku. Orang dalam kondisi begini mudah sekali diperdaya dan dialihkan. Berlipat-lipat alisnya kek kain lecek berpikir keras. Sepertinya ini bukan pertama kalinya terjadi.

“B-bang Aseng liat… liat semua?” tanya Dani ragu-ragu.

“Dikit, sih… Apa ada yang ngasih obat perangsang gitu sama Dani, ya? Sampe Dani sange’an gitu?” tanyaku dengan sudut pandang orang awam. Kuperagakan dua jari yang bergerak-gerak mengorek. Mudah-mudahan ia mau cerita.

“Obat perangsang?” ia berpikir sejenak. “Mungkin juga… Mm…” kembali ia berpikir karena bimbang akan cerita atau tetap menyimpannya sendiri. “Bang Aseng jangan cerita sama siapa-siapa ya?” katanya memintaku masih dengan menunduk. Hanya sesekali melirikku.

“Yaaa… Gak-lah abang mau cerita-cerita kek gini sama orang lain… Ya udah… Keluar sana… Awak mo nyarik laporan dulu…” kataku sok cool padahal dari tadi Aseng junior-ku udah ngaceng menyaksikan meki Dani yang segar dan gundul. Kalo aku berdiri sekarang, pasti bakal keliatan, makanya aku tetap berjongkok menyamarkannya.

Dani berdiri dan merapikan kembali pakaiannya. Ragu-ragu ia beranjak. Sepertinya ia akan menceritakan sesuatu padaku tapi ragu. Tau-lah kek mana gesture orang kalau maju mundur karena ragu. Tapi akhirnya ia pergi dan keluar dari gudang arsip ini. Kutunggu beberapa saat dan aku kembali lagi ke tempat kerjaku dan melanjutkan kesibukan harian.

———————————————————-
Karena kerjaan yang bejibun, aku memutuskan makan di meja kerja aja. Bisa lanjut tidur juga berkat pelindung beberapa tumpuk file yang menggunung. Aku bahkan sama sekali gak kepikiran lagi soal kejadian tadi dengan Dani. Dan ia muncul lagi di cubicle-ku.

“Gak makan siang, bang?” tanya perempuan itu. Ia membawa plastik kresek berisi makanannya. Kantor ini sepi karena semuanya pada makan di pantry khusus staff office. Ia langsung duduk saja di kursi kosong bekas dia tadi pagi.

“Udah abis, nih…” tunjukku pada bungkus sisa makananku di tempat sampah. “Masih banyak kerjaan…” padahal aku mau tidur dulu sekelak, eh dianya nongol tiba-tiba. “Ada yang bisa awak bantu?” tanyaku lalu melipat tangan di atas meja sok jadi konsultan profesional. Tumpukan file di atas mejaku ada beberapa bagian.

“Mm… Itu bang… Mengenai yang tadi itu…” gumamnya.

“Yang tadi? Yang tadi itu…” ulangku dengan dua jari tengah dan manis rapat bergerak-gerak kek salam metal jadinya. “… di gudang arsip?”

“He-eh…” jawabnya pendek dan mengangguk dalam. “Dani sering kesurupan kek gitu, bang…” begitu selesai kalimat itu ia menunduk lagi. Kakinya terkatup rapat dan kedua tangannya memegangi lututnya. “Makin lama makin sering…”

“Kesurupan? Tapi tadi Dani gak ada kejang-kejang… gak ada tereak-tereak kek gitu… Awak liat kayak orang sange aja…” kataku antusias pengen tau apa yang terjadi.

“Kesurupannya memang kek gitu, bang… Dani jadi suka megang-megang ini… anu Dani, bang… Kalau uda selesai… baru kesurupannya ilang…” jelasnya agak lebih terbuka. Mukanya memerah dibingkai hijab hitam yang dikenakannya. Jadi ceritanya ini setannya mesum-lah.

“Baru tau awak ada kesurupan kek gitu…” kataku garuk-garuk dagu. “Baru dengar pulak…”

“Awalnya badan Dani anget… Maunya gesek-gesek anu Dani ke… yang bisa digesek aja… Terus tambah panas… Lalu pake tangan… Buka celana… Kek yang abang liat di gudang arsip tadi itu-lah…” jelasnya semakin dalam menunduk. “Dani udah pernah di-ruqyah… Beberapa ustadz Dani datangi untuk mengusir setan itu… Tapi dia selalu balik lagi-balik lagi…”

Aku termangu.

“Hari ini aja udah dua kali, bang… Yang pertama… tadi pagi di rumah… Yang kedua yang sama abang tadi… ” lanjutnya. Ia meremas lututnya resah.

“Apa yang sudah Dani lakukan sampai mengundang setan itu ke tubuhmu? Bentuknya jerangkong… Tengkorak hitam gosong terbakar…” kataku tiba-tiba tembak langsung. Pasti sudah terjadi sesuatu. Setidaknya perempuan ini sudah melakukan sesuatu yang menyimpang.

“Mm… Tengkorak hitam ya, bang?” herannya dan memandangiku untuk beberapa saat. Pasti dia heran kok aku bisa tau. “Abang kok bisa tau?” tanyanya penuh penasaran.

“Gak usah bahas itu… Jawab aja… Apa yang sudah Dani lakukan? Apa yang kau minta sama Jerangkong itu?” tanyaku tegas. Kupandangi wajah cantiknya yang terlihat takut. Keringat menetes padahal ruangan ini sejuk.

“Da-Dani sama suami minta anak, bang… Hiks…” jawabnya pelan.

“Sama dukun?” bentakku. Ia mengangguk lalu mengelap air mata di sisi kirinya. Ia mulai terisak. Lalu ia mulai cerita kalau dukun itu mengarahkan mereka berdua untuk mandi di tujuh buah sumur kramat di beberapa daerah. Keduanya mandi kembang dengan air dari ketujuh sumur itu berturut-turut. Awalnya mereka tidak terlalu khawatir karena beberapa sumur ada di lingkungan mesjid. Sumur terakhir berada di tengah hutan di daerah Sibolangit. Tempat itu seharusnya punya banyak mata air jernih karena satu merek air minuman mineral terkenal (Aq**) juga bersumber di sana, tetapi sumur ini tidak. Hanya ada lumpur hitam di dasarnya. Lumpur itu mereka campur sedikit air agar lebih encer dan dipaksakan juga untuk mandi kembang. Lengkap 7 sumur dan mereka diwajibkan berpuasa sehari semalam mulai saat itu sampai keesokan di jam yang sama. Buka puasa mereka diharuskan bersenggama di dekat sumur terakhir itu. Karena mereka suami istri dan lokasinya di tengah hutan juga, mereka tidak masalah. (Saat senggama dukun gak hadir, ding). Tapi sampai sekarang mereka belum juga mendapatkan khasiat semua ritual tadi. Dan itu sudah 9 bulan yang lalu.

“… Setelah itu… malah Dani mulai kesurupan seperti ini… Hiks-hiks… Kami sangat menyesal, bang… ikut ritual itu…” sudah jadi tangisan sekarang. Ia berkali-kali narik ingus yang meler. “Malah jadi sesat kami, bang…”

“Daan… Daan… Kok mesti ke dukun-lah kelen?” sesalku mengusap muka.

“Terakhir kami dengar… rupanya sumur terakhir itu dulu pernah dipakai untuk membuang mayat pembunuhan, bang… Sekali ketemu udah tinggal tengkoraknya aja… Itu mungkin hantu yang dibunuh itu ya, bang… Hiks-hiks…” katanya nambah informasi baru. Nah itu baru kerjaan setan. Setan yang berbentuk manusia. Dani dan suaminya menikah tak lama setelah aku juga menikah. Itu lebih dari 4 tahun yang lalu. Memang ia tak kunjung dikaruniai anak. Tapi karena pembawaannya yang happy-go-lucky, ia seperti tak terlalu mempermasalahkannya. Sering jalan-jalan dan berlibur. Pokoknya senang-senang-lah. Ternyata dibalik itu mereka bahkan melakukan hal sampai yang ekstrim sekalipun. Ritual sesat. Bawa-bawa sumur mesjid lagi.

“Jadi… Dani cerita kek gini sama awak maksudnya apa?” tanyaku dengan nada rendah agar ia tidak merasa terintimidasi. “Cam awak apa aja?… Mana-lah ngerti awak kek gitu-gitu…” kataku.

“Tengkorak hitam itu yang bilang sendiri, bang… ‘Bawa kemari kawan kau yang bernama Aseng itu. Kuhancurkan kepalanya’… gitu katanya, bang waktu beberapa malam kemaren Dani kesurupan di rumah… Suami Dani yang dengar semuanya…” ujarnya memperagakan dirinya sendiri yang sedang kesurupan sambil mengatakan tantangan tadi. Heleh! Kepala kao yang sudah kuhancurkan! Tau kao! Bacrit kao! Banyak crita kao!

“Takut-lah awak kalo kek gitu, Dan… Masak disuruh duel sama setan… Kalo pulut ketan bisa kumakan… Lah ini setan tengkorak?” kataku bergidik-gidik takut. “Gak-lah… Nehi-nehi acha…” aku bergoyang gemulai kek nari dekat pohon.

“Tolong-lah, bang… Kami gak tau lagi harus gimana?” katanya mendesak sampai memegangi tanganku memohon bantuan. “Tengkorak itu nantang bang Aseng karena dia tau bang Aseng bisa… Gitu kata suamiku…” diguncang-guncangnya tanganku dengan tangan lembutnya. Lain pulak yang kutengok berguncang. Tetek mungilnya, bro. Bisa berguncang rupanya. Lucu keknya di balik sana.

“Udah… Iya-iya… Udah gak ada jerangkong itu… Udah kupecahkan tadi kepalanya…” kataku sambil menahan tangannya agar berhenti mengguncang tanganku lagi. Kedengaran kek mengada-ada. Tentunya dia gak percaya. Percaya sama Tuhan kao, dek. Jangan sama Aseng. Musyrik kao nanti.

Kontan ia berhenti dan menatapku tak percaya. “Yang betol-lah, bang… Abang-pun maen-maen… Serius Dani, bang…” katanya berubah kesal dan melepas tanganku dengan sedikit dibanting.

“Gak percaya, kan? Ya udah…” kataku dengan senyum lebar. Setidaknya aku sudah menolongnya menyingkirkan setan yang selama ini merasukinya walau secara gak sengaja. Siapa yang doyan dicakar tengkorak angus kek tadi? Kenak bante-lah dia. Dah untung gak kukasih ke anjing piaraan tetanggaku. Kutolehkan pandanganku ke sekitar karena beberapa teman-teman sesama staff office mulai masuk ruangan karena waktu istirahat hampir berakhir. “Udah mulai rame, Dan… Balik sana… nanti dikirain kita ada apa-apa lagi…”

Dengan enggan ia beranjak dari kursinya dan kembali ke cubicle tempat dimana team PPIC berada.

————————————————————
“Beli apa, bang Aseng?” tanya si empunya kede.

“Beli gula setengah, Pa…” kataku mengangsurkan uangnya.

“Gak sekalian beli pulsa lagi?” tawarnya genit sambil mengerling manja.

“Gak-la, Pa… Masih banyak dari yang kemaren itu… Iva sih… jahat…” tukasku.

“Yakiiin? Kalau dikasih yang ini… gimana? Apa yakin… masih mau nolak?” remasnya.

GYAAAHHH!

Untung cepat-cepat aku bangun dari tidurku yang dilakukan secara curi-curi ini di alam spiritual kekuasaanku. Buru-buru aku bangun karena dalam mimpiku Iva meremas kedua payudaranya yang sangat menggoda, walau masih berbungkus–penuh nafsu. Aseng junior menggeliat bangun karenanya. Jangan sampe tegang kao!

Orang mau tidur aja mesti pake bunga-bunga mimpi indah kek gitu, sih? Pake mimpi biasa aja napa? Jalan-jalan ke pantai, ke taman, ke gunung—gitu. Itu, kan gunung juga. Gunung kembar. Plak!

Usap-usap muka karena kalo mau nyambung tidur lagi, kentang. Aku dah gak selera. Keluar dulu, ah dari sini. Nyambung kerja lagi.

Ini sebenarnya namanya penyalah-gunaan kekuasaan. Tapi karena ini memang alam kekuasaanku, ya suka-sukaku-lah mau kuapakan alam ini. Mau kupake tidur, pake latihan, pake untuk tidur eh yang ini tadi udah. Sesuai dengan jenis kekuatan yang kerap kupakai, yang bersenjatakan daun-daunan, daerah kekuasaanku ini berupa taman yang penuh dengan bermacam tanaman. Tanaman bunga, tanaman hias, pohon, rerumputan. Aku bahkan merakit sebuah hammock; tempat tidur gantung dari jalinan akar-akaran yang ditambatkan pada dua pohon cemara jarum yang berukuran besar. Di hammock itu-lah aku selalu tidur. Karena tidak bisa membawa bahan tidak organik selain yang dikenakan, hammock itu hanya beralas alang-alang, daun, dan rumput kering agar empuk. Tetap nyaman sekali.

Tapi kok bisa mimpiin Iva pulak, ya? Iva-nya tambah ganas. Pakek remas-remas tetek. Kalo kutahan agak lebih lama, mungkin udah telanjang dia. Nyam-nyam-nyam. Kerja. Kerjaa. Kerjaaa.

Ppt: Ping!

Aseng: Ya, pit?

Ppt: nnt malam jam yg biasa?

Aseng: tentu dong. ada problem?

Ppt: gk cm mastiin aja. ppt lagi nyalon

Aseng: selamat ya. dapil mana?

Ppt: ih bg aseng. di salon lg ngecat rambut nih

Aseng: sama aja kan nnt bakalan dicoblos jg wkwkwk

Ppt:

Dikit-dikit chatting sama binik orang lagi. Sebelum tidur chatting dengan Yuli juga kalo dia pengen nyoba nginap di hotel untuk program hamilnya. Untung hotelnya gak sama dengan Pipit. Hotel yang dipilihnya adalah hotel besar yang ada di jalan Sutomo ujung yang dekat Universitas Nommensen itu. Jadwalnya tetap sama, yaitu tengah malam setelah kelar dengan Pipit. Aku sempat nanya tentang anaknya, Mimi, gimana? Anaknya ada ikut dengannya tidur di hotel juga. Tapi biasanya kalau tidur, anak itu kek kebo. Gonjang-ganjing kek gimana-pun gak bakal bangun.

“Kring kringg kringg!”

“Halo… Assamekum… Ya, ma? Ada apa Mama sayang?” jawabku.

“Lekum salam… Papa nanti malam ada lembur lagi?” tanya istriku di sana.

“Kek-nya iya, Ma… Masih kacau ini… Tapi nanti Papa pulang dulu bentar… Malam baru balik ke pabrik lagi…” jawabku.

“Ini… Nanti sore kak Dedek katanya mau ke rumah… Gak enak kalo lewat telpon ngomongnya… Soal Selvi nih kayaknya…” jelas istriku secara singkat dan padat. Aku segera paham maksudnya.

“Hmm… Ya udah… Nanti Papa balik ke pabrik lagi kalo kak Dedek dah pulang aja…” putusku.

“OK… Gitu aja, Pa… Assamekum…” lalu ia menutup telpon. Istriku tidak pernah mau nelpon lama-lama. Cukup intinya saja tanpa basa-basi. O-iya. Kak Dedek dan Selvi ini adalah kakak dan adik kandungku. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Satu-satunya anak lelaki yang diapit kakak dan adik perempuan. Kakakku punya 3 anak sedang adikku belum menikah. Yang unik adalah; Salwa dan anak ketiga kakakku udah kayak kembar beda ibu-bapak karena lahirnya di hari yang sama. Hanya beda jam saja. Salwa lahir sehabis Subuh, sedangkan anak kakakku lahir abis Ashar. Soal Selvi yang dikatakan istriku tadi tentunya soal statusnya. Adikku ini terlambat menikah, umurnya sudah hampir 30 tahun. Apa kak Dedek menemukan jodoh untuk adik kami itu, ya?

Tunggu aja-lah nanti kalo udah ketemu dengan kak Dedek.

Bersambung

Gambar Bugil Ngentot Animasi Gif Bergerak
tante gatel
Petualangan Sex Dengan Tante Gatel Dan Anak Nya
dua gadis sexy
Nonton Bokep Bareng Saudara Tiri Yang Cantik-Cantik
Emak dan nenek ku ketagihan ngentot denganku
tante hot
Cerita sex aku dan tanteku yang sexy
Pembantu baru
Tidur Seranjang Dengan Menantu Waktu Di Kapal
ngentot mam
Mengobati Rasa Kesedihan Mama Bagian Dua
Bercinta Dengan Yuli Wanita Yang Baru Kenal
janda muda berjilbab
Bercinta Dengan Janda Muda Berjilbab
Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
ABG Putih mulu berkaca mata lagi sange colok memek berbulu
toge cantik
Pacarku Tega Menjual Tubuh Ku
Mai Shirakawa uncensored
Foto Bugil Jilbab Telanjang Bulat Dalam Mobil
abg sexy
Cerita ngentot kegadisan ku yang di renggut pakdhe ku sendiri
Awalnya penasaran akhirnya keterusan