Part #16 : Desahan Pipit
“Aah… aah… ahh…” desah Pipit ketika kugenjot ia yang sedang menungging di atas ranjang. Kedua lutut dan kedua tangannya bertumpu bersamaan selagi kusodok témpeknya dari belakang dengan keras. Aku gemas dan menjejalkan Aseng junior-ku bertubi-tubi menumbuki pantatnya berlaga dengan perutku. Pinggulnya kupegangi erat. Pipit berkali-kali mengerang dan menoleh ke belakang minta dukungan atau apalah yang akan dicapainya.
“Plok-plok-plok!” terus suara benturan tubuh kami terdengar nyaring dan basah oleh keringat bercucuran. Batang Aseng junior sudah becek oleh campuran sisa spermaku sebelumnya dan cairan cinta Pipit. Berbuih-buih berkumpul di pangkal batangku, tertangkap oleh rambut kemaluanku. Juga ikut mencemari sekitar bibir kecil tipis témpek Pipit sampai anusnya yang kembang-kempis.
“Piit… Jangan direkam teruuss… Bahayaa loohh…” kataku disela doronganku. Pipit merekam aksi doggy style ini dari pantulan kami yang muncul di cermin di samping ranjang hotel. Terlihat jelas tubuh telanjang kami berdua sedang bersenggama dengan lugasnya di atas ranjang ini. Pipit sepertinya senang sekali mendokumentasikan hal semacam ini. Apa dia tidak ingat dulu pernah viral karena keisengannya ini?
“Langsung… langshuung diapusss… bhaanngg…” jawabnya tetap memegang HP-nya mengarah ke arah cermin. Sodokan Aseng junior-ku masih rajin keluar masuk. “Rekamin, bhaanng…” sambungnya menyerahkan gawai itu padaku. Aku gak bisa berpikir lama-lama kecuali menerimanya dan mem-video-kan proses Aseng junior yang ngegenjot témpek Pipit. “Ahhss…” terdengar desahan Pipit kembali karena Aseng junior terasa memuai sedikit membesar karena aku lumayan makin terangsang karena sensasi ini. Berasa jadi bintang bokep dengan genre MILF.
Pelan dan rajin Aseng junior menembus témpek Pipit sampai menetes-netes. Sesekali kucabut lalu kugesek-gesekkan di bibir tipis menggemaskan itu. Kulebarkan dengan jari lalu tanpa bantuan Aseng junior melesak masuk. Pelan-pelan kupompa coblosanku agar terlihat bagus di rekaman video bermodalkan HP ini. Di sana, Pipit mengerang dan mendesah menjadi back sound penambah indah proses shooting amatir ini. Begini toh sensasinya bercinta sambil direkam itu. Ada rasa bangga sedikit juga sok terkenal.
Kucabut Aseng junior dan kutekan pinggulnya ke samping memberi tanda agar ia berbaring kembali di punggungnya. Pipit menurut dan HP-nya masih di tanganku. Dibentangkannya kedua kakinya lebar-lebar untuk memberiku jalan masuk. Wajah cantik kemerahan sangenya yang kurekam pertama kali, lalu ke bagian dadanya yang turun naik menghela nafas, perut lalu témpek mungil berbulu jarang yang berlepotan cairan kental. Kusibak jengger penutup kemaluannya dengan jari lalu ku-shoot lubang yang barusan kucoblos bahkan sudah kusemprot. Ada cairan yang menempel di sana. Seksi sekali. Kamera kutarik mundur. Kualitas kamera HP ini sudah lumayan di masa ini karena semua tadi terekam dengan baik. (Jangan disamain dengan teknologi sekarang karena masa itu masih jaman jaya-jayanya Bla** Be**y)
Aseng junior kutepuk-tepukan beberapa kali ke témpek mungil itu lalu kuselipkan kembali ke belahan merekahnya. Meluncur perlahan dan tetap merekam. Kembali Pipit mengerang. Pelan-pelan Aseng junior keluar masuk mengakibatkan getaran pada rekaman yang kulakukan, tidak banyak. Fokusku pada proses keluar masuk Aseng junior. Aku takjub kalau témpek mungil seperti itu bisa menerima Aseng junior-ku yang sedang meradang besar. Diameter Aseng junior sekitar 4.5 cm kalau sedang garang-garangnya, seperti saat ini karena aku terangsang berat karena sensasi rekaman ini.
Témpek Pipit terlihat tergencet menyedihkan kala Aseng junior-ku menusuk dalam, seolah semua bagian luar bibir kemaluannya terseret masuk ke dalam liang itu. Berganti monyong seperti manyun kala Aseng junior-ku ditarik hampir pada bagian lehernya, jenggernya terseret oleh licinnya cairan pelumas yang membanjiri liang kawin Pipit. Ahh… Indah sekali. Kalo kelen pada ngeliat hasil rekaman ini pasti pada ngocok pake tamboh-tamboh (tambah). Gesekan pada jengger itu pasti menjadi sensasi sendiri yang dirasakan Pipit. Mungkin-mungkin juga karena itulah gairahnya mudah meledak-ledak waktu remaja dulu. Senggol dikit aja langsung buka celana. WKWK. Sekarang ini aja dia sudah bisa sedikit mengendalikannya. Untungnya lakiknya bisa mengimbangi gairahnya selama ini walau tak kunjung bisa menghamilinya.
Mata Pipit merem melek merasakan sodokanku pendek-pendek yang menggesek jengger berlebihnya itu. Mulutnya mendesah seperti kepedesan. “Assh… Usshh… Asshh…. Uussh…” Apalagi gerakan payudaranya kala bergoncang bergoyang maju mundur seirama sodokanku. Perut ratanya mengejang ketat saat ia mendapat kenikmatan orgasme-nya. Tubuhnya kelojotan dan pinggangku dikepitnya erat dengan kedua tungkainya. Aseng junior-ku diperas di dalam liang kawinnya. Biniknya Imran ini sangat menggairahkan. Kenapa-la gak kao bawa ke Ibu Kota sana, Mran-Imran? Paok kali kao. Kuembat-la binikmu ini.
Berkedut-kedut permukaan témpeknya ditandai dengan bergerak-geraknya kacang itilnya. Rasanya luar biasa bagi Aseng junior-ku, diperas kek cucian. Membuatku mabuk kepayang gak sanggup lagi bertahan lama. Menunggu ia pulih, kuremas payudara kirinya dan kupermainkan pentilnya. Nafasnya masih tersengal-sengal untuk beberapa lama dan kuberhentikan semua kegiatan dorong-mendorong. Hanya asik merekam dan meremas tetek yang kulakukan. Sampai ia membuka mata dan tersenyum manja padaku kembali. Tareek, mang…
Sekarang giliranku, ya Pit. Gerakan memompaku, sekarang dipercepat. Nafas berhembus dari hidung dan goncangan payudara Pipit semakin brutal. Fokus kamera kuarahkan ke pertemuan kelamin kami yang bertarung sengit. Sesekali cairan terciprat ke arah paha dan perutku akibat cepatnya gerakan yang kulakukan. Sudah terasa geli-geli enak berkumpul di gudang penyimpanan bibitku, sedang menunggu PO ditanda tangani oleh kepala gudang tanda ACC dan crut!
“O-Ooohh…” lenguhku berat. Hentakan akhirku kutekan dalam-dalam dan kulihat batang Aseng junior berkedut beberapa kali menyalurkan bibit-bibit menyembur kencang memasuki rahim Pipit. Lemas dan enak yang tak terperi yang kurasakan saat ini. Tanganku tetap mengarahkan kamera HP ini ke arah pertemuan kedua kelamin kami. Pipit juga bergetar menerima curahan spermaku yang menyembur kencang memenuhi rahim masa suburnya. Kugerak-gerakkan Aseng junior pelan, rasa enak campur geli masih menyelimuti seluruh batang sensitif itu. Badanku terasa plong dan ringan.
Kucabut Aseng junior pelan-pelan dan melelehlah dengan deras sejumlah cairan kental berwarna putih keruh dari liang kawin merah Pipit. Cepat-cepat kuangkat pantatnya lalu kuganjalkan bantal untuk meninggikan posisi bawah tubuhnya agar bibit berhargaku tidak buru-buru keluar dulu. Yang terlanjur keluar, dengan setengah bercanda kumasukkan kembali membuat Pipit tergelak geli. Rekaman selesai.
Rebah tubuh penatku di samping Pipit yang berbaring lemas juga. Kukembalikan gawai itu padanya dan ia menyambutnya dengan senyum manja yang menggemaskan. “Capek, Pit…” keluhku dan membenamkan mukaku ke lehernya. Aroma birahi ada di sekujur tubuhnya bercampur dengan aroma spermaku di liang kawinnya. Tanganku iseng meraba payudaranya dan meremas nakal. Pipit tak keberatan.
“Katanya tadi jangan direkam… eh bang Aseng malah yang paling semangat ngerekam, kan?” olok-oloknya memiringkan tubuhnya ke arahku tapi tidak dengan pinggang ke bawah yang masih diganjal bantal demi program hamilnya. “Nonton rekamannya yuk?”
“Jangan, Pit…”
“Kenapa?” herannya mengelus pipiku lalu rambutku. Sentuhannya sangat lembut, aku sampai merinding ke ubun-ubun. Hanya ibuku, istriku dan sentuhan kedua anakku pada rambut yang bisa membuatku begini hanya lewat sentuhan. Karena mereka melakukannya dengan rasa sayang. Kupandangi Pipit sebentar…
“Nanti awak ngaceng lagi…”
Tertawa Pipit terkekeh-kekeh karena jawabanku barusan. Ia menutup mulutnya karena tawa khasnya itu. Dicubitnya dadaku pelan. “Kalo ngaceng lagi… kita maen lagi, bang… Hi hi hi…” dirapatkannya wajahnya ke dadaku. Ingin rasanya aku mengecup keningnya tapi bergulat dengan prinsip janjiku. Ingin rasanya kukulum bibirnya yang basah. Ingin rasanya kuentot lagi binik ORANG INI!! Kan dah senget (gila) aku, kan?
Plus, tangan Pipit udah mengukur panjang Aseng junior alias mengocoknya dengan nakal. Betol, kan? Naek dia, kan? Jogal (keras kepala) kali kurasa si Aseng junior ini. Gak disuruh naek, naek dia sendiri. Baru dipegang cewek cantik dikit aja dah naek… Kek mana kalo dipegang perawan ting-ting? Dah terbang kurasa dia. Ompa’an (dibuat-buat) kali ah.
—————————————————-
Betol aja yang kubilang. Maen lagi kami sekali lagi gara-gara itu. Pipit memutar rekaman percintaan kami barusan dan kami menontonnya bersama-sama sambil saling kobel. Pipit mengocok Aseng junior dan aku mengobel kacang itilnya. Padahal belum ada 5 menit kami selesai ronde kedua tadi, dah bersambung ke ronde ketiga.
Tapi yang paling kuingat dari rekaman itu adalah saat kurekam ekspresi wajahnya saat keenakan digenjot adalah gerakan mulut tanpa suara di satu adegan. Ia mengatakan ‘I love you’ tanpa suara. Ia berdalih mengatakan ‘All of you’. Tapi dari gerakan mulutnya aku tau ia mengatakan itu. Perjanjian kami tidak memperbolehkan ada perasaan. Ini sangat kontradiktif. Ia melanggar semua itu. Entah sadar entah tidak. Aku tidak ingat ia melakukan itu saat merekam karena konsentrasi terbelah dua dengan menggerakkan pinggulku dengan ritmis dan merekam percintaan kami. Kenapa aku berani mengatakan percintaan? Bukan perzinahan? Ternyata Pipit melakukannya dengan cinta.
Wo-hoo… Dalam. Dalam kao, Seng. Kenapa dalam? Kek mana kalo binik orang ini sampe jatuh cinta padamu, Seng? Apa cerita? Biar aja… Itu hak dia. Bukan gitu juga, Seng. Kelen berdua ada perjanjian, kan? Gak boleh pakek perasaan. Kelen berdua dah punya pasangan sah masing-masing. Kalo laki-laki bisa poligami, tapi perempuan gak cocok pulak kalo poliandri. Marah pulak poliklinik sama si Andri disuruh kawin. Paok kao! Ntah hapa-hapa yang kao bilang.
Kututup mukaku dengan bantal yang tadinya dipakai Pipit untuk mengganjal pantatnya. Sedang Pipit sedang asik menggelomoh Aseng junior yang sedang tegang dengan mulut pro-nya. Tak diindahkannya sisa sperma dan cairan cintanya yang tadi masih menempel di sekujur bodi Aseng junior. Dijilati dan dibersihkannya dengan telaten. Ia menginginkan ronde keempat. Ini udah lewat jam 11 malam.
Pikiranku masih berkecamuk tapi Aseng junior pukimak itu berani-beraninya membangkang dan naek tanpa komando. Ntah siapa komandannya disini? Basah sekujur bodi Aseng junior dengan liur Pipit. Terasa perempuan cantik menggemaskan itu bergerak-gerak di atas ranjang ini untuk mengatur posisi. Lututnya memberi tekanan terbesar di atas ranjang springbed hotel ini dan terasa olehku ia memposisikan dirinya di atas tubuhku.
“Bang Aseng… Lagi, ya…” bisiknya manja dan rebah di atas tubuhku setelah menyingkirkan bantal yang menutupi wajahku. Payudaranya menekan perutku, terasa lembut dan kenyal. Aseng junior menjulang di antara belahan pantatnya, menggesek belahan vagina mungilnya.
Dengan terpaksa aku mengangguk dan membiarkannya mengambil alih kendali. Cie… terpaksa itu kalo disuruh bayar utang, ini dikasih témpek kok terpaksa. Mentiko (belagu) kali kao, Seng-Seng. Lembut payudaranya terasa terseret di kulit dadaku berkat pentilnya yang mengeras saat ia akan bangkit. Kayak-kayaknya ini akan jadi WOT. Wadon On Top. “Cups!”
Nah-kan. Apa kubilang? Pake perasaan, kan? Dengan gaya malu-malu manja Pipit bangkit setelah mengecup kilat bibirku barusan. Lebih tepatnya dipatuk keknya. Ia sekarang duduk tanpa rasa bersalah. Menduduki Aseng junior hingga tergencet di perutku. “Piit… Jangan kek gitulah maennya… Kan udah pakek perjanjian kita tadi… Gak boleh gitu-gitu-ah…” kataku protes.
“Dikiiiit aja… he he he he…” katanya memberi gestur jari telunjuk dan jempol yang hampir rapat tanda sedikit dengan gaya manja menjepit kedua payudaranya. Lalu ia meleletkan lidahnya manja, menunjukkan lidah tebalnya yang merah. Enak keknya mengulum itu…
“Jangan lagi ya, Piit…” kataku memohon padanya. “Awas kalo dibuat lagi… tak gigit nanti…” ancamku sambil mengatup-ngatupkan mulutku sehingga gigi gemeletuk bersuara.
“Atuuut… Bang Aseng maraaah… Hu-uuuh…” manjanya sambil pura-pura nangis. Padahal ia sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya, akibatnya vagina mungilnya yang masih basah menggerus sebagian besar Aseng junior. Tertekan demikian rupa membuatnya semakin tegang. “Bang Aseng ojo marah-marah… Bang Aseng merah-merah ini aja… Bang Aseng ojo nesu-nesu… Bang Aseng nyusu aja…” taktik bulus Pipit mengarahkan kedua tanganku untuk memerah kedua payudaranya yang menggantung indah, menantang. Lembut dan kenyal. Ia tetap menggerakkan pinggulnya pelan. “Mmm… Enak, bang?”
Gimana awak bisa marah kalo digituin? Kuentot abis-abisan yang ada perempuan ini kalo berlagak manja begitu. Tak lama Aseng junior mendobrak masuk dan memborbardir témpeknya yang sudah sehat. Pipit bergoyang-goyang maju mundur, naik-turun. Katanya dia bisa Jaipong padahal dia orang Semarang. Tau kelen goyang Jaipong? Waduh! Aduh! Terasa diplintir-plintir Aseng junior di dalam sana. Ditekannya kedua dadaku untuk penopang gerakan Jaipong aba-abal ciptaannya. Aku kelabakan menahan diriku untuk tidak segera ngecrot lagi.
“Piit… Piitt… Tunggu, Piiit… Pipit! Ahh…” erangku berulang-ulang.
Apalagi waktu ia bersandar dengan kedua tangan di lututku, dengan kaki mengangkang–kayang, ia mengocok Aseng junior dengan menaik-turunkan pantatnya. Terlihat jelas proses keluar masuk batang kelaminku di liang kawin yang berbibir tipis. Dengan ahli ia melakukan gaya ini seperti di film-film itu. Aseng junior melengkung ke arahnya dan gesekan sangat terasa. Berasa sempit kali liang kawin Pipit di gaya ini. Ia juga meringis-ringis keenakan karena gesekan di jengger minora-nya.
“Aaahh… ahh… ahh…” Pipit tetiba melepas patok Aseng junior di témpeknya demi sebuah kenikmatan orgasmenya. Ia rebah di antara kakiku. Pantatnya terangkat kala kedutan-kedutan geletar tubuhnya menyerang seluruh syaraf. Lubang sempit yang sedikit membuka itu berkedut-kedut mengeluarkan cairan cinta lagi dan lagi malam ini. Matanya terpejam damai dan mulutnya terbuka lebar menyedot udara sebanyak mungkin pengganti energinya yang terkuras. Dadanya bergerak-gerak menggemaskan memanggil minta diremas lagi.
Aku akan membalasmu. Bersiaplah!
Kakiku masih lemas, cuy. Pelan-pelan saja aku bangkit, lagi pula kasian juga binik orang ini kalau langsung dicoblos dalam keadaan begini. Menunggu waktu yang tepat, kubersihkan ekses cairan yang menempel di sekujur bodi Aseng junior. Dari samping tubuhnya aku mulai serangan baru, kuciumi perutnya. Terasa keringat yang membasahi tubuhnya. Kujilat tak perduli. Pipit bergidik. Kuelus pahanya, ia mengerang. Ambil posisi lagi di antara kakinya yang kubentangkan dan membimbing masuk Aseng junior untuk menyudahi ronde keempat ini.
Pipit mengaduh pelan kala Aseng junior menerobos masuk dan mulai kupompa gradual. Dari pelan ke cepat. Kunikmati pemandangan guncangan indah seumpama jeli kedua payudaranya dengan topping kacang walnut bersalut coklat. “Plok-plok-plok!” semakin cepat dan Pipit bersiap-siap menerima semburan spermaku untuk keempat kalinya malam ini. Dipandanginya mataku dengan mesra, memberiku semangat agar sungguh-sungguh memberinya anak yang diidam-idamkannya. Ia meremas payudaranya sendiri untuk menambah rangsangan visual untukku menunjukkan kenakalannya yang orisinil.
Semakin cepat dan cepat. “Aahh… Piiitt… Mau keluaar… Mm… Piit… Piit… Uhh… Uh…” keluhku tak mau menahan-nahan lagi. Splurt-sprut-sprutt!! Kusemburkan spermaku dalam-dalam di rahimnya. Sudah empat kali aku bongkar muatan di dalam liang kawin binik orang ini. Rasanya puas kali malam ini. Empat kali berturut-turut. Anda puas awak lemas.
Kurebahkan tubuhku di payudara Pipit dan tanganku menggapai-gapai lemah mencari bantal terdekat untuk diganjalkan di pantat Pipit agar bibitku tergenang dulu untuk sementara waktu di dalam rahimnya. Memperbesar persentase keberhasilan proses penghamilan Pipit malam ini. Sudah miliaran sperma yang kusetor ke Pipit mungkin malam ini. Lemes dong? Bahkan untuk menjilat pentil anyep di depan hidungku-pun aku gak sempat. Aku harus istirahat.
—————————————–
“Yakin gak mau lagi, bang?… Abang doyan, kan?” bujuknya kala beristirahat bareng. Aku duduk bersandar di headboard ranjang hotel, Pipit bersandar manja di dadaku. Aku menciumi ubun-ubunnya untuk aroma rambut wanginya.
“Udah empat kali-loh, Pit… Masa belum puas juga?” tolakku. Ia mengalungkan tanganku ke dadanya dan mendekapnya. Kenyal lembutnya menjadi milikku seutuhnya malam ini. Ia rela diapain aja malam ini. Sampe pagi sekalipun. Aseng junior untungnya mau kerjasama dengan terkulai tidur karena kugencetkan ke punggung Pipit, jadi tidak bisa dijangkau.
“Besok lagi… bisaaa?” tanyanya manja menoleh ke arahku. Kulit kami yang terbuka bersentuhan intim. Lembut kulitnya melenakan. Ia mengusap-usap pergelangan tanganku.
“Mmm… Bisa, sih… Pipit masih disini terus?” tanyaku lalu menopangkan daguku di bahunya. Pipit menyatukan pipi kami lalu menggesek-gesekkan pipi kami tanda membenarkan. “Gak mahal?” sambung pertanyaanku.
“Gak masalah mahal… Yang penting bang Aseng mau kemari lagi besok malam ya?” jawabnya menjawil ujung hidungku lalu bibir bawahku. Dijepitnya dengan iseng bibir bawahku lalu dipelintirnya. Ini perempuan mau buat alen-alen (pengganan keras bersalut gula yang bentuknya memang mlintir) pake muncungku, ya?
“Iyaa, deh… Semoga jadi anak, yaa…?” kataku lalu mengelus-elus perutnya seolah ada bayi yang sedang berkembang di sana.
“Aamiin, deh… papa Aseng… Hi hi hi…” katanya mengaminkan perkataanku barusan. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kala tertawa geli setelah mengatakan ‘papa Aseng’ tadi. Aku memang seorang papa bagi anak-anakku. Anak Aida kelak, anak Yuli dan anak Pipit ini. Secara biologis walau tak administratif.
“Ih… Nakal, ya?” kataku menekan iganya dengan ujung jari. Alhasil Pipit berjengit geli dan memperbaiki posisinya sambil terus tertawa. Wajahnya semakin dekat denganku dan ia kemudian duduk di pangkuanku, tangan melingkari leher. Memaksakan mulutnya ke mulutku.
“Muach… Slrrpp… Muahh…” lidahnya menyeruak masuk dengan basah ke dalam mulutku. Buas ia mengulum bibirku dengan mata terpejam. Serangannya sangat dahsyat aku tak mampu mengelak. Dipancingnya lidahku keluar untuk bertarung di tempat bebas dengan membelitnya. Dicaploknya lidahku lalu mengulumnya dan disedot-sedot tanpa ampun. Ludahku dihisapnya seolah itu minuman paling enak. Jago sekali ia berolah mulut. Aku tak sanggup melawannya. Rambut belakangku diremas-remasnya sekaligus menahan kepalaku agar tidak dapat berpaling. Cukup lama ia menikmati mulutku, seisi mulutku. Sampai ia melepaskannya sendiri.
Dipandanginya mataku lekat seperti sedang mengukur perasaannya sendiri. Ada air mata di sudut matanya. Lama kami berpandangan. Aku juga sedang memandangi matanya yang cantik. Apa yang kau mau, Pit? Ini tidak boleh mengarah kesana. Itu harus kita hindari. Aku harus tetap menjaga hatiku. Hatiku ini hanya untuknya. Hanya untuknya. Kau harus bisa membaca itu dari mataku saat ini. Kau harus tau.
“Cups” dipatuknya lagi bibirku singkat untuk memastikan perasaannya. Lalu ia menunduk… Ya… Itu seharusnya.
“Maaf, bang Aseng… Pipit terbawa suasana…” ia merenggangkan dekapannya. Payudaranya yang tadi lekat ke dadaku, merenggang menjauh. Jari-jarinya perlahan menelusuri turun dari bahu ke dada dan lepas. Ia membalikkan badannya hingga kembali bersandar di dadaku. Nafasnya kembali tersengal-sengal. Kudekap erat bahunya dan kusenderkan dahiku di belakang kepalanya.
“Maaf ya, Pit…”
Bersambung