Part #15 : Pipit Minta Anak

“Ma… Papa pergi lagi abis Maghrib, ya? Ada masalah di pabrik…” kataku setelah abis keliling-liling gang bareng Salwa sore itu juga. Istriku sedang memasak sesuatu di dapur. Aroma sambal gorengnya memenuhi seisi rumah. Rio udah duduk anteng di meja makan dengan telur mata sapi kegemarannya dengan nasi plus kecap.

“Makan dulu kalo gitu…” katanya memasukkan ikan goreng ke dalam sambal tadi lalu mengaduknya.

“Iya…” jawabku pendek dan duduk di depan meja makan bersama Rio masih memangku Salwa. Rio ngisengin adiknya dengan potongan putih telor yang belepotan kecap. Berdecap-decap mulutnya merasakan rasa manis itu dengan semangat.

“Bu Yuli beli kreta baru itu, pah?” kata istriku menyiapkan makan malamku. Nasi putih ngebul, ikan goreng sambal dan bening sayur bayam.

“Yang B*at merah itu?” kataku pura-pura gak tau. “Iya kali…” menyerahkan Salwa padanya untuk diambil alih. Istriku tidak pernah ngiri pada tetangga yang beli ini-itu kek yang lain-lain itu. Dia hanya cukup tau kalo itu punya orang tersebut dan habis cerita. Dia duduk di dekat Rio dan memangku Salwa. “Mama mau kreta juga?” tawarku.

Ia mendengus. “Uangnya dari mana, pah? Kan tau sendiri semua apa-apa mahal… Mama aja harus mutar-mutar uang belanja biar cukup sampe gajian lagi… Kalo kredit cuma nambah beban aja… Rio udah masuk TK tahun depan…” katanya sambil menciumi pipi Salwa yang chubby.

“Adaa… Untuk istri papa yang paling cantik sejagat Mabar ini ada… Nanti papa beliin…” kataku merayu. Hehehe… Awak memang ada duitnya. Bisa kubeli kontan motor matik baru yang mirip dengan punya Yuli. 50 jeti masih kusimpan utuh dan plus 50 jeti lagi kalo Yuli berhasil hamil. Aku harus rajin setoran sperma terus untuk itu. Aku sudah merencanakan beli ini itu dari duit yang kuterima.

“Heleh… Mama buat apa kreta?” katanya menolak halus. Padahal mau tuh.

“Yaaa… Buat belanja ke kede depan… Ngantar Rio sekolah nanti… Trus… Sukak-sukak mama-lah pokoknya…” desakku agar ia setuju. Ia diam saja dan terus menciumi Salwa. Itu mamaknya aja suka kali nyiumin anaknya sendiri, apalagi orang lain.

—————————————————
Berangkat abis Maghrib, aku meluncur lagi ke arah pusat kota, ke arah hotel dimana Pipit menginap selama dua hari ini. Para tetangga taunya kalau Pipit pergi bersama suaminya liburan karena beberapa biang gosip di gang melihat mereka berdua pergi pagi itu naik taksi. Cuma aku aja yang tau kalo sebenarnya Pipit hanya mengantar suaminya ke bandara dan menginap di hotel itu setelahnya. Pipit yang tertutup tidak terlalu menyolok kalaupun dia tidak ada.

Kembali ia mengintip dari bukaan kecil pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamar hotelnya malam-malam begini. Segera ia tersenyum begitu ia mengenaliku dan melebarkan bukaan pintu agar aku bisa masuk. Dipersilahkannya aku duduk di meja yang semalam dan disuguhi minuman ringan kaleng dan beberapa potong bika ambon.

pipit

“Makasih loh bang… sudah mau datang lagi kemari…” katanya membuka obrolan. Aku hanya manggut-manggut. Suhu kamar ini terlalu dingin buatku. Temperaturnya mungkin dibuat terlalu rendah oleh Pipit yang terbiasa begini di rumahnya.

“Apa yang Pipit rasakan abis kemaren?” tanyaku. Aku harus menanyakan efek penumpasan Menggala Suba-nya waktu itu. Pasti akan ada efek tertentu yang akan dirasakan setelahnya. Siluman pohon beringin itu sudah bak parasit berpenyakit di dalam tubuhnya. Sudah-lah menjadi parasit, penyakitan pulak yang berimbas pada kesehatan inangnya, Pipit. Tapi itu semua udah beres. Aku sudah menghancurkan penyakit itu dan Kojek menelannya bulat-bulat.

“Rasanya Pipit jadi lebih sehat dan segar, bang…” jawabnya antusias. Ia berseri-seri. Lah… Aku kedinginan kek gini dia santai aja pake baju minim bahan kek gitu. Pakaian yang biasa dikenakannya saat di rumah dengan santai. Kaos tanpa lengan dan celana pendek. Memamerkan kemulusan kulitnya yang putih kek pualam. Urat-urat kehijauan halus membayang di sekujur kulitnya karena putih bersih. “Perut Pipit juga udah gak sakit-sakit lagi sekarang…”

“Berarti sudah sembuh kalo begitu… Harusnya sudah selesai, kan?” kataku.

“Tapi masih ada yang kurang…” sergahnya cepat bahkan buru-buru diucapkannya.

“Kurang? Apa…?” kataku tak mampu menakar dalam pikirannya.

“Anak…”

“Anak?” ulangku.

“Kalau ada anak… Lengkap semuanya…”

“Begitu… Kalo gitu susul Imran ke Jakarta… Buatlah anak yang banyak…” kataku terus terang aja.

Ia tertawa kecil menganggap itu hanya sebuah candaan biasaku. Padahal aku serius. “Tidur bersama Imran memang menyenangkan… Tapi dia sudah bertahun-tahun gagal memberiku anak… Sebagai dosa… Pipit tidak keberatan membuat banyak anak dengan bang Aseng…”

Berdecit nyaring kaki kursi kayu yang kududuki ini karena aku terhenyak kaget kata-kata berani barusan. Ia menunjukkan sebuah alat pemeriksa kehamilan. Aku hampir protes kalau alat itu tidak akan bisa secepat itu bisa memberitahu seseorang hamil hanya dalam sekali dibuahi dalam masa suburnya karena sebelum berangkat suaminya sudah berusaha membuahinya. Bukan itu maksud Pipit. “Ini hanya untuk menunjukkan kalau Pipit sekarang dalam masa subur untuk beberapa hari… Harusnya bang Aseng bisa menghamili Pipit dalam beberapa hari itu juga…” diletakkan alat itu. Oh. Bukan tes kehamilan ternyata. Hanya menunjukkan masa subur saja.

“Kenapa harus awak? Bukan lakikmu?” tolakku tidak langsung.

“Bang Aseng itu sudah terbukti subur… Buktinya istri abang udah hamil dua kali tanpa ada kesulitan sama sekali… Cus langsung jadi. Tidak sulit memilih Abang… Pipit juga merasa nyaman dengan abang… nyambung selama kita ngobrol… Abang juga lumayan pinter… Itu artinya bibitnya berkualitas… Contohnya dua anak abang ganteng dan cantik sekali… Pipit gak masalah punya anak dari abang Aseng…” katanya tenang. Ia bisa mengatakan itu semua dalam kondisi tenang dan tertata. Ia duduk dengan menyilangkan kaki dengan elegan, kedua tangannya bertopang di lutut dengan tenang. Dia pasti sudah melatih ini semua.

“Abang tidak tertarik dengan tawaran Pipit ini?”

“Tunggu, Pit… Tunggu sebentar… Gimana bi-sa? Gimana bisa meminta laki-laki yang bukan suamimu menghamilimu… Itu tidak bisa dikatakan dengan… dengan setenang itu? Bagaimana kalau Imran tau? Bagaimana perasaannya nanti… Bagaimana perasaan Pipit sendiri?” bingung tentu aku-nya. Ia harus bisa menjelaskan ini semua dengan jelas agar masuk ke akalku yang sedang kusut ini.

“Idenya dari bang Aseng sendiri, sih… Kalau sebuah dosa ini bisa memberiku seorang anak… Pipit akan dengan senang hati menerima dosa itu… Tetapi anak akan tetap menjadi seorang anak… Ia tak berdosa walau dibuat dengan dosa… Sesimpel itu sih… Bang Aseng yang menyadarkan Pipit kalau sebenarnya… Pipit tidak takut berdosa… Sudah banyak dosa yang pernah Pipit lakukan… Tidak masalah menambah satu lagi demi… demi Pipit mendapatkan seorang anak…” jelasnya gamblang. Aku jelas ngeri mendengarnya. Aku tak pernah membayangkan kalau ada perempuan yang hidup dengan pemikiran seperti ini. Budaya Timur yang kental tak membuatnya jengah dengan pikirannya sendiri. Ia cocoknya hidup di Barat yang toleran dengan pemikiran seperti ini. Apa aku baru membebaskannya dari kungkungan ikatan itu dengan menghancurkan status Menggala Suba-nya? Ia sama sekali tidak terganggu dengan tumpukan dosa masa lalunya?

“Mengenai Imran… pastinya jangan sampai dia tau, dong… Sudah banyak kesempatan untuknya melakukan tugas itu… Sekarang Pipit ambil inisiatif mengambil jalan lain… Bang Aseng yang ambil alih tugas untuk menghamili Pipit… Kalau bisa secepatnya…” katanya menyambung ketenangannya saat ini. “Perasaan Pipit… Ini keputusan yang harus Pipit ambil… Saat ini… Pipit sangat antusias… Pipit yakin bisa berhasil dengan cara ini…”

“Pit… Itu pikiran yang salah, Pipit… Dosa tetaplah dosa… Akan ada perhitungan atas itu semua nanti…” ujarku lirih. Pipit tetap tersenyum tenang. Aku takut terjerumus juga dalam pikiran seperti itu lalu menjadi iblis sejati. Iblis yang tak mengenal kata dosa. Karena keberadaannya adalah sebuah dosa.

“Itu resiko, bang Aseng… Tawarannya masih tersedia… tapi tidak lama…” WHAT DE FAK? Apa maksudnya ia akan menawarkan ini pada orang lain? Pria lain? Pria lain pasti gak akan pikir panjang dan mengiyakan langsung begitu kata-kata tawaran telah terucap. Ia mendesakku dan harus kuputuskan cepat. DEAL!

“Abang terima… Tetapi dengan syarat-syarat. Mau?” putusku dengan term of condition tertentu. Ini harus kuambil cepat. Tidak usah munafik deh dengan tawaran menggiurkan seperti ini. Gak setiap hari ada. Tunggu… Aku sudah menerima dua tawaran sejenis sebelumnya. Sudah dua binor kutiduri dengan harapan dapat hamil berkat benihku. Satu sudah postif hamil dan satunya dalam proses. Bertambah satu lagi dan counting… 1… 2… 3

“Mau…” jawabnya tenang. Seiris senyum tercipta di sudut bibirnya. Aku segera mempersiapkan perjanjiannya.

“Pertama… Yang akan kita lakukan ini harus dilakukan tanpa perasaan yang berlebihan… Agar Pipit tidak terjerumus lebih jauh lagi dalam dosa-dosa itu… Cukup lakukan dengan abang seorang aja… Jangan dengan yang lain… Mengerti?” terangku akan syarat pertama. Ia mengangguk setuju. “Jangan tawarkan ini pada orang lain… Itu yang pertama…” Ini mengenai janji.

“Kedua… Masih berhubungan dengan yang pertama tadi… Jangan memberitau siapapun tentang hal ini… Siapapun juga… tanpa terkecuali… Jadi ini hanya antara kita berdua saja… Just the two of us…” kembali ia mengangguk setuju dengan syarat kedua. “Ingat tanpa kecuali…” Ini mengenai kepercayaan.

“Yang terakhir… ketiga… Jika Pipit bisa hamil… jadikan anak ini sebagai pengingat Pipit untuk menjadi ibu yang baik dan bersih… Baik dalam artian jauh dari dosa… Bersih dari kotornya dosa… Ia akan menjadi anak suami Pipit dan Pipit yang menjadikan kalian berbagia dalam rumah tangga…” menitik air mata dari sudut kedua matanya yang indah mendengar kata-kata syaratku barusan. Ia mengangguk dalam. “Semoga Pipit bahagia selalu… dan tetap tegar…” Ini tentang kebahagiaan.

Kuacungkan tangan kananku mengajaknya bersalaman. Dipandanginya tanganku sesaat menilai pentingnya salaman ini lalu menyambutnya. Kami bersalaman pertanda perjanjian telah dibuat dan disetujui dua pihak. Disekanya tepi matanya juga menarik ingus dari hidungnya yang ikut basah. Senyumnya mengembang. Lebar. Ia sangat bahagia dan jauh-jauh lebih berseri dari sebelumnya. Gilang gemilang penuh ekstasi.

“Sori ya, bang Aseng…. Membuat bang Aseng jadi begini…” katanya perlahan. Pembawaannya tidak seperti tadi. Ini lebih rileks dan terbuka. “Pipit udah melatih kata-kata tadi semalaman sampe siang… Pipit gak tau harus gimana lagi… Pipit keras kepala, ya?” Sudah kutebak. Ini karakternya.

“Sedikit… Abang ada teman yang lebih keras kepala… Pipit belum ada apa-apanya sama dia… Tapi dia bisa lembut juga kok bila sudah menemukan titik lemahnya…” kisahku sedikit. Matanya menyipit mencoba mencerna kata-kataku barusan. Ditegakkannya badannya tanda dia ingin tau.

“Teman? Lebih keras kepala dari Pipit berkali-kali lipat? Gimana bang Aseng menaklukannya?” tanya Pipit jadi kepo beneran.

“Abang nikahi dia…” jawabku singkat.

“Oo…” bibirnya membentuk bulat sempurna. “Mbak itu…”

—————————————————–
“Jadi…? Kapan kita mulai?” tanyaku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk menghangatkan tubuh. Kami masih duduk di tempat yang sama seperti beberapa menit sebelumnya saat mendiskusikan keadaan dan syarat barusan. Pipit sudah memikirkan ini matang-matang. Entah darimana ia mendapat pikiran moderat seperti demikian, yang penting mendapatkan anak walau bukan dari suaminya, dosa dan moral urusan belakangan. Ini sudah menjadi fenomena di masyarakat dimana seorang atau individu tertentu, terutama kaum perempuan yang tak malu mempunyai anak di luar nikah atau tak jelas asal-usulnya. Warga hanya sekedar bergunjing, hanya sekedar membicarakan tanpa aksi nyata. Dekadensi moral ini hampir merata di perkotaan dan merambah.

“Kayaknya bang Aseng dah sering, ya?” cetus Pipit kembali menyipitkan matanya menyelidik.

“Yaa… Gak sesering Pipit dulu-lah…” kataku menyindirnya. Aku tidak khawatir ia tersinggung karena kami sudah tau belang masing-masing. Ia tertawa dengan suara khasnya yang berat ngebass. Berdiri dari duduknya lalu menuju ke kamar mandi.

“Pipit bersih-bersih dulu, ya…” katanya ringan dan menghilang di balik pintu. “Bang Aseng gak mau ikut?” ia iseng keluar menongolkan kepalanya. Asik juga kalo di kamar mandi. Tapi pasti lebih dingin. “Guyoooon…” ia langsung menghilang lagi sambil tertawa-tawa. Mungkin candaan seperti itu yang ngangenin Imran sehingga ia ngebet minta mengawini perempuan ini. Bikin pinisirin. WKWK

Kuteguk tipis-tipis minuman soda kalengan yang disuguhkan Pipit untuk membasahi tenggorokanku. Abis di sini membuahinya, aku masih ada jadwal dengan Yuli juga di rumahnya. Setidaknya di sini sampai tengah malam. Bergadang lagi deh. Kata bang haji Oma; Jangan bergadang kalau tiada artinya. Ini ada gunanya bang haji, ngamilin binor.

Seng junior, menang banyak-la kao. Dapat mangsa baru lagi, kan? Pipit yang cantik dan budiman yang lagi bersih-bersih di kamar mandi itu. Lagi ngurus témpek agar pantas dipersembahkan padaku malam ini. Berikutnya siapa, Seng? Iva juga? Keknya bisa tuh binor. Dia udah ngasih sinyal-sinyal gitu, kan? Kok bagus kali hoki-ku akhir-akhir ini, ya? Udah tiga aja binor yang rela kuhamili demi mendapatkan anak. Anak yang menjadi alasannya. Apa karena aku yang terlalu subur ya? Anugrah Tuhan ini kumanfaatkan betul-betul kali ini. Gak cuma untuk menghamili istriku saja, juga menghamili binik orang.

Aku memeriksa aplikasi pesan untuk memeriksa ada kabar-kabar tidak. Ada beberapa pesan dari teman juga saudara. Selesai baca, terdengar pintu kamar mandi terbuka pertanda Pipit sudah selesai dengan bersih-bersih. JRENG! Ini super duper panas membara. Rambut panjang kemerahan yang selalu diikatnya itu digerai lebar di belakang punggungnya. Kulit putihnya berkilauan bercahaya kontras dengan warna rambutnya. Tubuhnya tanpa balutan apapun hanya ditutup sehelai handuk yang dipegangi menjuntai di depan dada sekedar menghalangi pandanganku pada payudara dan segitiga kemaluannya. “Wow…” gumamku tak sadar.

Wajahnya memerah karena malu dan sesekali ditutupnya dengan handuk itu hingga pucuk kemaluannya terlihat karena handuk itu tertarik ke atas. Aah… Binik si Imran ini indah sekali, bah. Betah-la pulak dia ngeloni selama ini. Sayang kali gak kau bawak dia ke Jakarta sampe harus minta dihamilin sama aku. Sori-la ya, Mran… Bukan mauku ini. Ini kemauan binikmu kok. Binikmu yang sedang telanjang bulat di kamar hotel ini. Binikmu yang sudah mengundangku ke kamar ini.

“Kok malu sih, Pit? Biasa aja-la… Kan udah biasa dulu…” kataku masih duduk di tempatku dan menikmati semua pemandangan ini pelan-pelan. “Pipit seksi dan cantik sekali begitu…” pujiku pada yang masih berdiri tak jauh dari pintu kamar mandi. Ia berhenti di sana.

“Bang Aseng sih… liatinnya begitu amat… Pipit malu nih… Perutnya udah mulai buncit kebanyakan ngemil…” ujarnya manja sambil menggoyang-goyangkan badannya. Lah… Perut masih rata gitu dibilang buncit. Standar kurusnya gimana?

“Nanti kalo udah hamil… malah tambah endut lagi loh, Pit… Gak pa-pa kok… Seksi kok…” rayuku agar ia tidak malu-malu lagi. Mungkin karena kenakalan yang dilakukannya dulu sudah cukup lama, ia jadi lupa sensasinya. Mulai lagi denganku bertahun-tahun kemudian malah jadi malu begini. Ditutupinya hidung dan mulutnya dengan handuk yang dibentang pendek bak cadar. Itu muka tertutup tapi témpeknya terlihat jelas. Rambut-rambut jarang yang tumbuh menghiasi kemaluannya keliatan sangat segar. Ia pasti baru membersihkan isi di dalamnya. Segar seperti oase.

“Malu bang Aseng…” katanya manja tetap bergoyang-goyang.

“Ya udah gini aja… Abang juga buka baju deh…” kataku bangkit dan dengan cepat melucuti semua pakaianku agar skor imbang 1-1. Nanar ia memandangi semua prosesku menguliti semua pakaianku. Kupandangi matanya sepanjang waktu. Kukumpulkan semua pakaianku yang udah lepas dan kutumpuk di kursi kosong bekas didudukinya tadi. Aku kembali duduk bersandar. Aseng junior berdiri tegak. Padahal ini dingin sekali-lah woy. Tadi aja masih pake baju kedinginan, ini malah bugil. Gak ketulungan dinginnya lagi. Matanya liar memandangi tubuhku. Pastinya terutama pada Aseng junior yang tegang maksimal.

“Serem bang Aseng… Gede…” katanya akan maju tapi tidak jadi. Ragu-ragu begitu dan mendekapkan handuk pada dadanya yang menyembul besar. Kuyakin pucuk-pucuk payudaranya sudah mengeras dan desir geli di kemaluannya sudah terpercik. Aseng junior malah mengangguk-angguk seperti memanggil Pipit agar mendekat. Yang jauh mendekat! Yang dekat merapat! Yang rapat ternikmat! Yang nikmat kuembat!

“Ini yang Pipit minta, kan? Ini yang akan memberi Pipit anak…” kuingatkan dia niat awalnya. Kegilaan yang dimulai dan dimintanya. Tak apa kalo gak jadi dan ia masuk kembali ke kamar mandi dan memakai kembali pakaiannya. Aku akan memakai kembali pakaianku juga dan pulang. Kuelus Aseng junior perlahan. Pipit meneguk ludah. Terlihat jelas di leher jenjangnya. Didekapnya handuk itu erat-erat di tengah belahan dadanya. Handuk itu berkerut dan kedua dadanya menyembul ke samping. Kedua pucuknya terlihat jelas. Putingnya gelap berwarna coklat tua dan lingkar besar sisa karena dulu sempat hamil beberapa bulan. Urat-urat kehijauan samar muncul karena padat dan kenyal tekanan. “Kemari…”

“Mm…” ia bergerak ragu dan malah berjalan menyamping. Diperbaikinya handuk yang tak menutupi sisi payudaranya yang menyembul besar. Kaki kirinya dilebarkannya lalu menyusul kaki kanan. Ia mengintip malu-malu untuk jarak yang sudah dilewatinya. Padahal dari tempat berawal ke tempatku hanya 5 langkah saja. Tapi perlu langkah besar yang penuh keberanian seperti akan membuka peradaban.

Kulirik bagian belakangnya yang terekspos. Lekuk tubuhnya sangat bagus. Buah pantatnya melekuk indah dengan pas di tempatnya lalu disambung paha jenjang dan betis sempurna. Mulutku terbuka mengatakan WOW lagi menikmati keindahan Pipit dari sisi sampingnya. “Iih… bang Aseng…” rengeknya manja karena aku sampai memiringkan kepalaku memperhatikan sisi belakang tubuhnya. Aku suka nada rengekan manjanya. Tak pada setiap orang dia pastinya melakukan itu. Hanya orang-orang yang sempat menikmatinya seperti saat ini yang dapat mendengarnya. Manja dan menyenangkan karena jarangnya.

Waduh… Ia malah berbalik. Lekuk pinggulnya yang pertama kali nemplok di mataku. Kedua adalah bulat bentuk bokongnya yang sempurna. Kulit putih bersih kek pualam seluruh punggung, bokong dan kaki dengan siluet bayangan pembentuk tekstur tubuhnya bersatu padan dengan rambut merahnya. Aseng junior-ku makin mengeras menikmati bentuk dua buah bulatan pantatnya yang kayaknya kenyal dan lembut. Menikmati pemandangan lekuk tubuh binik orang yang telanjang memunggungiku, memamerkan bagian belakang tubuhnya padaku. Aseng junior makin berkedut kencang kala aku menunduk ingin mengintip detail belahan pantatnya. Pucuk kemaluannya yang tersembunyi di ujung belahan pantatnya terlihat lembab. Pipit menoleh ke belakang.

“Iih… bang Aseng nakal…” ditutupinya kedua buah pantatnya dengan dua tangannya sehingga handuk itu mendarat di lantai di hadapannya. Ia gelagapan dan mengutipnya kembali dengan menunduk. Nungging pastinya, kan? Jarak kami hanya tinggal tiga langkah saja. Tiga langkah itu sudah sangat dekat dan aku bisa melihat dengan jelas bentuk belahan dan sekelumit isi dalam témpek indah itu. Walau sekilas tapi berbekas. Kuremas Aseng junior yang sudah tak sabar. Air bening sedikit kental berjuluk pre-cum sudah menitik di pucuk Aseng junior pertanda ia sudah tak sabar ingin nyoblos.

“Piit… Seksi kali kau, Pit…” erangku tak sadar karena aksinya barusan. Ia melirikku yang sedang meremas Aseng junior. Ia hampir tertawa. Ia sudah mengutip handuk itu kembali dan ia tersandung.

“Eh… ehhh…” ternyata satu kakinya menginjak ujung handuk dan ketika ditariknya ia berdiri tak seimbang, tersandung tebal karpet lantai. Dung… dung… Plek! Ia sudah duduk menyerong di pangkuanku. WADAW! Aku refleks menangkap tubuhnya. Tangan kiriku memeluk perutnya menelusup di balik handuk, tangan kanan memegang lengannya, rambutnya luruh melambai menampar hidungku. Tercium aroma sampo yang wangi lembut. Aseng junior terjepit di samping pahanya. Mata kami bertatapan. “So-sori, bang Aseng… Berat, ya?”

Aku menggeleng tak sabar. Pelukan tanganku kupererat hingga tubuhnya semakin rapat padaku. Pipit berjengit geli kala mukaku kubenamkan ke leher di belakang telinganya. Nafas panasku berhembus membuatnya kegelian. “Ahh… Bang?” Mukaku makin dalam menghirup udara di rambut dan lehernya. Kukecup-kecup ringan sisi lehernya. Bulu kuduknya meremang begitu juga di lengan dan kakinya. Tangannya masih rajin mendekap dadanya dengan handuk tadi. Kuremas pelan perutnya juga lengannya. Terasa lembut sekali kulitnya. Udah kek anak bayi lembutnya. Beruntung sekali orang-orang yang sudah sempat menjamahnya.

Menggeliat Pipit merasakan cumbuanku di lehernya. Kepalanya bergerak-gerak bersentuhan dengan kepalaku. Tangan kirinya meremas tangan kiriku yang menjamah kulit perutnya. Tangannya yang lain tetap bersidekap memegang handuk. Aseng junior menjadi semakin panas tersentuh paha mulus dan lembut Pipit, ia menegang maksimal. “Akhhss…” keluhku.

Pipit menggenggam Aseng junior dengan tidak terduga. Ia menunduk untuk melihat apa yang sudah dipegangnya. Diremas-remasnya batang Aseng junior lalu dikocoknya pelan. “Enak, Pit…” bisikku di telinganya. Halus tangannya sangat membius. Kujilati cuping telinganya pelan-pelan. Ia juga mendesah. Kugigit-gigit pelan gelambir bawah telinganya yang bertindik giwang kecil. Lidahku menyapu sampai bagian belakang telinganya sampai meninggalkan jejak basah. Gelisah ia duduk di pangkuanku.

Kusibak rambut di punggungnya untuk dapat akses lebih luas ke leher dan punggungnya. Tengkuknya mendapat perhatian lebih dariku. Perut dan lengannya tetap kuelus-elus ditambah remasan juga. Pertahanannya makin kendor karena ia memegangi lemah handuk yang menutupi dada dan sebagian besar torso bawahnya. Kukecup-kecup leher belakang hingga tengkuknya, membuatnya bergidik geli. Tubuhnya mulai hangat seperti juga aku. Ia tetap meremas-remas Aseng junior. Lidahku juga mulai bermain dan menjilati bagian atas punggungnya.

“Mmhh…” keluhnya kala tangan kananku menjelajah lebih jauh. Menelusup dari bawah ketiaknya dan menemukan gundukan lembut lagi kenyal payudaranya. “Bang Aseng nakaaal…” Kuremas-remas perlahan segenggaman tak sampai massa lemak di dadanya. Handuk penutup sisa dadanya kutepikan dan ia menurut, kini bertumpuk di atas pangkuannya. Tanganku satunya menggenggam dada lainnya. “Aahh…” Pipit menyandarkan punggungnya padaku. Aku menciumi tengkuknya dan kedua tanganku memerah dadanya.

Degub jantungnya bertalu-talu layaknya menggedor seperti juga jantungku berpacu kencang akan sensasi ini. Ia pasti dapat merasakannya juga. Pucuk payudaranya yang mengeras kupilin-pilin perlahan, menaikkan intensitas panas malam ini di kamar hotel hanya berdua saja. “Enak bang Aseng… Mm…” keluhnya diantara pilinan jariku. Tiga jariku bermain di tiap pucuk payudara Pipit. Ia makin keras meremas Aseng junior bak gemas mencekiknya berulang-ulang. “Trus, bang…” makin rajin kupilin putingnya dan kuciumi lehernya. Gerakan-gerakan Pipit di pangkuanku makin tidak karuan. Pantatnya yang nemplok di pahaku terasa semakin panas. Ia gelisah. Titik-titik cairan terasa menetes mengenai kulit pahaku pertanda ia mulai basah. Aroma kewanitaannya mulai tersebar membaui atmosfir kamar. Kamar ini mulai panas. Ia menyentuh dirinya sendiri.

“Aahh! Aahh… Ahmm…” beberapa kali kedutan tubuhnya. Dilepaskannya Aseng junior saat ia menikmati puncak kenikmatannya hanya dengan pilinan jari dan ciuman di tengkuknya. Kepalanya bersandar lemah di bahuku. Ingin rasanya kukecup bibirnya yang terbuka itu tapi tidak jadi. Aku masih tetap setia dengan prinsip dan janjiku. Jadinya yang kuciumi adalah sisi rahang yang ada di bawah telinganya. Tanganku tetap memerah payudaranya dengan perlahan. Tetap menikmati rasa kenyal dan lembutnya.

Nafasnya masih berat ketika turun ngelongsor dari pangkuanku dan duduk berlutut di depanku. Dibereskannya rambut yang mengganggu pandangannya dengan ditautkan ke kedua telinganya. “Gini mau kan, bang?” tanyanya mencengkram Aseng junior lagi. Ia masih penasaran dengan Aseng junior-ku. Aku yang masih duduk di kursi ini hanya mengangguk memperbolehkannya. Pipit melebarkan kakiku dan maju selagi mengocok perlahan Aseng junior. Tangan lentiknya menggenggam seluruh batang kemaluanku di pangkalnya, mulutnya terbuka dengan lidah menjulur.

“Slerrp…” ia menjilat panjang Aseng junior dari bawah ke atas. Lidah tebal dan hangatnya bercampur dingin ludahnya berjalan-jalan di sepanjang permukaan batangku. Basah lalu dikocoknya memberi efek nikmat yang memabukkan. Selagi mengocok itu, diemutnya kepala Aseng junior pelan-pelan, lidahnya menyentil leher kepala Aseng junior-ku. Gemetar tubuhku menerima perlakuan lidah Pipit yang dahsyat ini. Ia pemain yang pro. Ia tau betul cara memperlakukan penis pria agar enak. Kau tau yang kumau.

Pantatku sampai naik menikmati sedotannya. Ia tetap mengontrol Aseng junior agar tidak terlalu masuk ke mulutnya dengan mencengkram pangkal batangku sehingga ia bisa mengatur kedalaman. Dipandanginya mataku saat ia mencucup panjang kepala Aseng junior sampai pipinya kempot. “Ccuupp!” Aku hanya bisa mencengkram pegangan kursi yang sedang kududuki ini. Aseng junior sudah merah padam dengan urat-urat menonjol liar., penuh dengan birahi dan darah yang terperangkap. “Puahh…” dilepaskannya Aseng junior hingga terbanting ke perutku, kepalanya penuh liur.

Ditangkapnya, dibekapnya kepala Aseng junior yang rapat ke perutku, wajah maju hingga rapat. Biji pelerku diemutnya. “Uuuh…” keluhku penuh rasa kenikmatan. Kutengadahkan kepalaku ke langit-langit dan kueratkan remasanku pada pegangan kursi kayu ini. Dua biji itu dipermainkannya di dalam mulut bergantian. Rasa nikmat dan ngilu bercampur menjadi satu. Lidahnya mengaduk-aduk biji pelerku. Kulitnya yang keriput di sedot-sedotnya tak mengindahkan rambut-rambut yang tumbuh liar di sana. Masih dengan membekap kepala Aseng junior, lidahnya melata ke atas. Menyusuri saluran penyemprot sperma dan urin-ku. Jago kali si Pipit ini-ah.

Geli dan nikmat jadi satu takala ujung lidah Pipit menari-nari merayap naik turun di saluran itu. Kusentuh ubun-ubun kepalanya lalu kuusap-usap dengan perasaan campur aduk. Rasanya pengen nyayangin tapi binik orang. Pengen nafkahin tapi lakiknya lebih mampu dari pada awak. Awak entot aja-lah. “Piiit… Udah, Piit… Nembak nanti…” keluhku benar-benar gak kuat. Malu nanti awak, masak diisepin aja bisa ngecrot. Padahal enak kali mainan Pipit ini. Ia melepas bekapan tangannya pada kepala Aseng junior dan menjauhkan kepalanya dari selangkanganku.

Kubimbing dia agar bangkit dari posisi berlututnya dan kuarahkan untuk menuju ranjang. Apakah sudah akan ditunggangi? Ini masih jam 20:30. Masih sore. Bisa-lah 2-3 aer… Selagi menuju ranjang, kuperhatikan benar-benar tubuh telanjangnya. Ia kembali malu dan menutupi dada beserta segitiga selangkangannya yang terlindungi penutup handuk lagi. Selagi disepongnya tadi, aku tak sempat menikmati pemandangan payudaranya.

Ia duduk di tepi ranjang hotel dengan kaki rapat dan tangan bersilang menutup dada dan bawah perutnya. Aku berdiri tepat di depannya. Ia menengadah pelan-pelan. Kuberikan senyuman terbaikku agar ia merasa nyaman dan mau membuka dirinya tanpa malu lagi. Padahal dia sudah berkenalan intim dengan Aseng junior barusan. “Awak periksa dulu dadanya ya, buk…” kataku bercanda tapi memang mau memeriksa dadanya. Penasaran kalau dikenyot gimana rasanya.

“I-iya, pak dokter…” tapi ia urung melepaskan tangannya dari dekapan pada dadanya. Aku maju dan sedikit membungkuk di depannya untuk melepaskan tangan yang melindungi payudaranya. Matanya tak lepas memandangi reaksi wajahku akan tingkahnya. Sepertinya ia sedang menilai kesabaranku.

“Gak pa-pa, buk… Gak sakit kok… Saya gak gigit… Cuma diemut aja…” kataku menahan tawa akan pilihan kataku sambil berusaha mengupas tangan kirinya yang melintang di depan dadanya, ditahannya. Kedua dada yang tertekan tangannya menggelembung pada semua tepiannya. “Kalau udah selesai periksa… nanti saya kasi permen, deh…” kataku.

“Permen apa?” tanya Pipit jenaka.

“Ini…” jawabku menyodorkan Aseng junior yang kedinginan abis kena ludah Pipit tak lama lalu. Ia masih ngaceng penasaran kenapa lama kali action-nya. Ini beneran dingin loh? Dia pengen masuk yang anget-anget. Pipit tertawa dan menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Kesempatan…

“Aahh…” keluh Pipit karena aku langsung nyosor ke dadanya. Mulutku langsung menyucup puting besar dada sebelah kirinya. Dada kanannya kuremas gemas. Tubuhku kudesakkan masuk membelah kedua kakinya yang tadinya menyatu rapat. Memanfaatkan kelengahan Pipit barusan, Aseng senior bergerak masuk. Tangan kananku yang bebas kukaryakan untuk mengelus punggungnya.

Ntah kenapa laki-laki dewasa suka kali nyusu sama perempuan. Padahal tak ada-pun rasanya. Anyep, kan? Gak ada rasanya sama sekali. Kalo kenyal-kenyal dada itu lain cerita. Cukup diremas-remas aja cukup kerasa kenyalnya. Tapi kenapa harus pakek mulut ngenyotnya. Terutama di pentilnya. Pentil Pipit lumayan besar. Cukup besar untuk pas dikulum pakai mulut. Tapi gak ada rasanya kecuali kalo bisa mengeluarkan ASI. Pernah tau rasanya ASI? Aku tentu tau, lah istriku saat ini sedang menyusui anakku, kan? Rasanya sedikit manis. Enggak-la kuisep betul-betul sampe kuminum, cuma sekedar tau aja waktu sedang bercinta dengannya. Berhenti aku ngisep kalo dah keluar ASI-nya. Itu kalau ASI yang diproduksi istriku, gak tau pulak kalau yang diproduksi perempuan lain. Entah ada yang rasa mocca ato kental manis mungkin.

Ntah kenapa laki-laki dewasa memuja abis-abisan perempuan berdada besar atau malah jumbo. Walau ada juga yang suka dengan kecil atau sedang. Tapi mayoritas laki-laki suka yang besar. Yang besar lebih spektakular! Nah ukuran dada Pipit ini cukup besar kurasa. Putih, kenyal, lembut dan besar. Pipit belum bagi tau ukurannya tapi nanti bisa kutanyakan. Pentilnya besar dengan aerola yang besar juga berwarna coklat tua. Kontras dengan warna kulitnya yang putih.

Pipit melengkungkan punggungnya menikmati perlakuanku pada kedua payudaranya. Alhasil semakin dalam aku tenggelam dalam kehangatan dadanya. Tanganku makin rajin memerah payudara kanannya. Bibir dan lidahku semakin giat memainkan pentil payudara kirinya. Tangan kananku mengelus-elus punggung dan rambutnya. Pipit memegangi pinggangku dan menarik rapat. Byung! Aseng junior menyundul perutnya. Tepatnya di bawah pusar.

Tangannya menyambar Aseng junior kembali dan mengocoknya perlahan. Kutekuk sedikit kakiku dan mencoba mengarahkannya pada haribaannya. Tempat seharusnya berada. Pipit termakan pancinganku, diarahkannya Aseng junior ke arah kemaluannya. Kepala Aseng junior terasa menyentuh rambut-rambut jarang yang tumbuh di daging empuk dan lembut. Pipit menggesek-gesekkan Aseng junior pada bagian atas vaginanya. Penetrasi akan sulit di posisi ini. Tak apa, aku-pun tak berharap banyak. Ini sudah kemajuan yang sangat pesat.

Kutusuk-tusukkan Aseng junior selagi Pipit terus menggesekkannya ke permukaan vaginanya sendiri. Sekali waktu, Aseng junior jauh menjelajah dan menemukan titik basah yang kutaksir adalah klitorisnya. Ia mendesah kala itu. Masih tersamar dengan kenyotanku yang berganti ke pentil payudara kanan. Payudara kiri kini gantian kuperah. Tanganku berganti, mengelus mempermainkan leher dan kupingnya. Pipit mengunyel-unyel rambutku. Diremas-remasnya rambutku dengan gemas sampai kucel. Meliuk badannya karena rasa enak yang mendera tubuhnya. Pangkal pahaku sudah bertabrakan dengan pangkal pahanya. Pipit mencondongkan pinggulnya ke depan hingga pertemuan kedua kelamin kami semakin erat. Terasa sangat basah.

“Masuuk, baang…” erangnya. Pinggulnya sudah condong ke depan. Pantas kerasa enak ke Aseng junior. Rupanya dia udah meluncur masuk ke yang anget-anget itu. Pipit mencengkram kedua lenganku dan berusaha merebahkan tubuhnya ke ranjang. “Mmm… aahh…” desahnya lagi kala kudorong perlahan pinggangku. Katupan erat terasa menjepit batang Aseng junior. Aku terpaksa harus melepas mulut dan tanganku yang masih belum puas berkarya di kedua payudaranya.

Aih mak! Indah kali témpek Pipit ini-ah. Tidak tebal, tipis malah cenderung kecil dengan rambut-rambut jarang berwarna pirang seperti rambut bayi baru tumbuh. Terjepit di antara dua paha padat yang saat ini mengangkang lebar kumasuki dengan Aseng junior-ku. Bibir tipisnya melebar karena didesak oleh volume Aseng junior yang menerobos masuk. Gelambirnya yang baru pertama ini kusaksikan sendiri, bahasa kerennya labia minora, panjang berlebih keluar dari labia mayora-nya seperti jengger ayam. Membentuk mahkota dan berpuncak pada klitoris imut di bagian atasnya. Sebelum terlalu keenakan, kucabut Aseng junior buru-buru. Flop!

“Bhaang?” protes Pipit yang mulai keenakan karena aku sudah mulai masuk. Kubungkam protesnya dengan membenamkan mukaku pada vagina imutnya. “Ahhkk!” pinggulnya melonjak karena serangan mendadak terbaruku.

Lidahku menjulur-julur rakus menyapu semua permukaan témpek Pipit yang imut sekali kurasa. Aku belum pernah merasakan yang semacam ini sebelumnya. Kujilat-jilat semua yang ada, ya bibir tipisnya, jengger ayamnya, kacang itilnya, apalagi lubang kawinnya. Tergial-gial liar tubuh Pipit jadinya mendapat perlakuan lidahku ini. Dengan jari kulebarkan bibir tipis témpek-nya lalu lidahku menerobos masuk. Pipit melolong seperti srigala. Jenggernya kugigit dengan bibir lalu kusedot-sedot sementara jariku menerobos masuk. Satu-dua jari masuk. Mengorek-ngorek agar segera mendapat jackpot. Dan kudapatkan itu setelah kacang itilnya kusedot tanpa ampun.

Dijambaknya rambutku tanpa peduli apapun ketika ia membuncah penuh kenikmatan. Pantatnya terangkat, punggungnya melengkung, sprei ranjang direnggutnya, suaranya melengking tinggi. “HYAAaaaa…” Kejat-kejat seperti terkena serangan ayan akut. Seluruh tubuhnya mengejang dan kulepas semua sentuhanku. Kubiarkan ia menikmatinya.

“Hah-hah-hah… Bhang Aseeng…” suara parau yang keluar dari bibir manisnya. Dadanya terpompa turun naik. Beberapa kali getaran masih terjadi di pahanya yang membuat tremor juga di seluruh tubuhnya. Ada genangan basah di dekat kemaluannya di sprei ranjang hotel. Ia menatap nanar ke langit-langit kamar. Di sudut matanya ada titik air mata. Kau bisa mengeluarkan air mata kala sedih yang dalam, senang tertawa lucu, gembira yang tak terhingga dan pasrah dalam nikmat. Pipit mengalami yang terakhir itu.

“Enak banget, bang Aseng… Pipit lemes… tapi masih mau lagi…” katanya manja. Aku merangkak naik ke atas ranjang dan memposisikan kakinya. Pasrah ia kala kuatur kakinya agar terbuka lebar dan aku masuk diantaranya. Témpek-nya segera kutempeli Aseng junior yang sudah meradang minta jatah yang tadi tertunda. Satu tanganku mengkondisikan bibir tipis vaginanya agar terbuka dan lainnya mengarahkan Aseng junior untuk masuk. Terbelah mudah karena kondisi basah big-O barusan.

“Bang Aseng ngenthu-nya pinter…” pujinya selagi mengawasi jalan proses masuknya Aseng junior ke témpeknya. Kepalanya diangkatnya untuk melihat itu. “Pipit keenakan, bang…” Kusenyumin aja ia sambil membimbing Aseng junior yang akan melesak masuk. “Ahmm…”

Tarik-dorong-tarik-dorong dan aku bisa mengkandaskan Aseng junior sampai ke panjang maksimalnya. Menjelajahi kedalaman liang kawin Pipit yang sah-nya milik lakiknya; Imran. Denyut-denyut seirama jantung Pipit menjadi remasan tersendiri memijat Aseng junior-ku yang sedang bersenang-senang, berkubang kenikmatan dalam témpek binik orang ini. “Aahh…” gumam Pipit merem melek merasakan témpeknya penuh disumbat Aseng junior. Kakinya dibuka lebar-lebar. Dicengkramnya tanganku yang bertumpu di tepi iganya.

Tarik sedikit aja lalu didesak masuk lagi adalah caraku kemudian untuk kembali menikmati payudara paripurna milik Pipit. Pentilnya mengeras sedari awal, bikin nagih untuk terus dikulum dan dikenyot-kenyot. Ludahku sudah membasahi sekujur puncak payudara indahnya, yang rajin bergoyang-goyang seirama desakan maju-mundur hentakanku. Pipit hanya sanggup mendesah-desah atau melebarkan kakinya untuk membiarkan vagina mungilnya menelan kenikmatan yang kutawarkan. Gempuran Aseng junior silih berganti begitu juga serangan mulutku di payudaranya. Sungguh menakjubkan menyaksikan goncangannya bak agar-agar kenyal. Agar-agar mah lewat bisa basi. Ini gak ada matinya.

Pipit meremas tangan dan lenganku kala hentakanku membuatnya kembali melolong dan kami kelak akan melolong bersama karena aku tak kuasa menahan nikmat ini terlalu lama. Ini terlalu enak. Terlalu nikmat untuk sebuah kenyataan. Kenyataan kalau aku bertugas untuk menghamili tetanggaku. Istri tetanggaku. Kamu laki-laki pasti pengen punya pengalaman seperti ini. Aku mewakili kalian semua. Ngecrot-lah bareng-bareng kalau kalian setuju. Satu…. Dua… Tigaaa…. “AAhh… CROTT!! CRROOOT!!”

Kubenamkan dalam-dalam Aseng junior di dalam témpek Pipit. Ia mengalungkan kakinya, berkait ke punggungku juga dengan punggung melengkung. Aseng junior-ku yang sedang menyembur-nyemburkan isi muatannya, bibit suburku, diremas-remas oleh liang kawin Pipit yang juga bareng mendapatkan kenikmatan puncak ini. Remasan tangannya tak kuhiraukan menekan kulit lenganku hingga memerah. Kami berdua melolong.

Pipit terkapar setelahnya dengan kaki lemas mengangkang. Aku masih bertumpu dengan kedua tanganku di samping iganya. Nafas kami berdua sama, berburu oksigen yang mahal di panas kamar ini. Perutku masih rapat gencet dengan selangkangannya. Kemaluan kami masih saling pagut tak mau lepas akibat percampuran dua jenis cairan kental di rahimnya. Badanku masih hangat tetapi di dalam liang kawin Pipit lagi lebih panas. Tanda kehidupan di Pipit hanyalah gerakan dadanya yang turun naik akibat proses respirasi. Hanya itu. Selebihnya ia seperti tewas dalam kenikmatan.

Sewaktu kucabut batang Aseng junior yang berlumuran sperma, ia tetap mengangkang. Bahkan ketika kuganjal pantatnya dengan bantal, ia tetap diam dan bernafas. Aku duduk di tepian ranjang dan memandangi tubuh seksi binik orang ini dengan kemaluan menjuntai habis kerja keras. Ada tisu basah yang sudah disiapkan Pipit di meja kecil di samping ranjang. Dengan itu kubersihkan Aseng junior yang berlepotan.

Kubersihkan bagian luar vagina Pipit yang berlepotan juga dengan tisu, pun ia tetap tak bergeming. Tetap bernafas walau kini lebih normal. Kukecupi pangkal pahanya untuk membangunkannya. Bagian ini pasti geli abis kalau dirangsang begini. Kukutik-kutik kacang itilnya pakai ujung jari baru ia bergeming dan respon dengan lenguhan.

“Hei… Jangan nakutin gitu-la… Takut awak Pipit kenapa-napa…” kataku sambil mengelus keningnya. Ia tersenyum manis setelah membuka matanya.

“Jangan gitu, bang… Pipit takut Pipit jatuh hati sama abang Aseng…” katanya dengan bibir maju, bermanja-manja.

“Eits… Gak boleh pake perasaan… Marah mamak nanti…” kataku menyentuh ujung hidungnya. Ia mengeryit manja dan mencaplok jariku itu dan mengemutnya. Digigit-gigitnya pelan jariku itu lalu disedotnya bak Aseng junior mini.

“Kaki Pipit diapain, sih?” tanyanya menyatukan kedua pahanya lalu digoyangkannya ke kanan-kiri. Pantatnya masih terganjal bantal. Usai nanya itu, jariku diemutnya lagi lalu dicium.

“Supaya bibitnya gak keluar dulu… Biarin dulu mereka berenang-renang disana… Biar jadi anak…” kataku.

“Aamiin…” jawabnya cepat. Kami berdua tertawa-tawa kemudian.

Bersambung

Membantu Memuaskan Tante Lela
500 foto chika bandung saat masih perawan dan lugu bugil
bercinta dengan ttm
Sabrina, TTM Ku Tersayang
gadis manja
Cerita cewek manja yang punya nafsu gede
ngentot anak angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian dua
Jadi pemuas nafsu pembantu ku
SPG Cantik
Bercinta Dengan SPG Cantik Yang Masih Perawan
Foto ngentot dengan gadis tembem crot di dalam meki
ngentot mertua
Menikmati tubuh mulus ibu mertua bagian satu
istri teman
Membalaskan Dendam Istri Teman Kantor Ku
Skandal SMA pakai seragam pamer memek tembem
cewek nakal
Tiga cewek nakal yang ngerjain tukang kebun impoten
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
anak kost
Kost bareng dengan mbak santi, saudara ku yang montok
Pembantu binal
Mbak Yeyen Pembantu Binal Yang Suka Maksa
cantik selingkuh
Hukuman untuk istri tercinta karena ketahuan selingkuh