Part #14 : Pipit Malu-Malu Kucing
“Trus… Mm… Gini… Pipit malu nyeritainnya… Jadi… ini yang terakhir mau Pipit tanya… Kenapa Pipit sering mimpi… ML sama bang Aseng, ya?” tanya Pipit shy-shy cat alias malu-malu kucing. GUBRAK! Aku kejedot lantai.
Jadi Pipit baru aja selesai masa haid-nya dan menghabiskan malam terakhirnya bersama suaminya ena-enaan. Untung pas waktunya kalo enggak lakiknya harus nunggu 3 minggu lagi baru dapat jatah. Tapi gak tau juga kalo dia nyari lobang di Jakarta sana. Foto pagi-pagi buta dan mendapatkan tulisan di cermin berembun itu setelah mandi wajib.
Pipit akhir-akhir ini jadi sering mimpi bercinta denganku setelah kejadian hilangnya burung itu. Satu hari bisa dua-tiga kali ia bermimpi hal yang sama. Apalagi karena ia lebih sering berada di rumah saja tentu lebih banyak molornya. Pagi-pagi abis beres-beres rumah, dia tidur. Abis makan siang tidur lagi sampe sore. Malam tidur lagi jam 9. Menungguku datang malam ini aja dia sempat-sempatin tidur. Tiap tidur ia selalu memimpikan hal itu berulang-ulang.
“Pipit jadi senengannya bobo… Enak…” katanya lirih malu-malu. Hampir aja kujedotkan kepalaku ke setir mengingat itu. Aku ingat betul kata-katanya itu kala nyetir pulang tengah malam ini. Aku mengarahkan mobil ini kembali ke pabrik, karena sepeda motorku masih diparkir di sana. Security shift malam menyambutku lalu pulang dengan motorku ke rumah. Cek orang rumah sudah pada tidur semua. Kuperiksa kembali semua jendela dan pintu dalam keadaan tertutup rapat. Kembali aku menyelinap masuk ke rumah tetangga sebelah; Yuli.
Pintu belakang rumah ini hanya ditutup tetapi tidak dikunci. Sebenarnya ini riskan tetapi gang ini masih cukup aman. Yuli tertidur lelap bersama anaknya, Mimi di kamar depan. Ia memakai daster pendek yang tersingkap sampai keliatan celana dalamnya. Kuelus-elus pahanya sampai ke bongkahan padat pantatnya yang semok lagi mulus. Kuremas-remas buah pantatnya yang besar sampai aku terangsang sendiri. Yuli menggeliat bangun dan tersenyum manis melihatku sedang menyentuhnya. Dilebarkannya kakinya dan membiarkanku mengelus selangkangan tebalnya. Terasa agak lembab.
“Bang Aseng?” katanya mengucek mata dengan senyum manis gingsulnya. Diikatnya rambutnya lalu beringsut hati-hati turun dari ranjangnya agar anaknya tidak terbangun karena gerakannya. Ia memberi kode agar aku menunggunya di kamar samping. Ini sudah jam 1 malam dan aku duduk bertelanjang dada di kasur kapuk di dalam kamar-gudang. Tak lama Yuli masuk dan menutup pintu.
Tanpa menunggu lama-lama, Yuli langsung menubrukku dan berusaha melumat mulutku. “Yul… Sstt… Jangan cium… Gak boleh-lah… Jangan… Nanti Yuli baper-loh…” cegahku. Tapi Yuli tidak perduli dan terus aja nyosor. Sepertinya ia suka sekali dengan ciuman yang panas-panas PANAS-PANAS-PANAS PALA INI PUSING… PUSING-PUSING
“Yuli! Stop!” cetusku tertahan sembari memegangi kedua bahunya. Kedua gunung 38DD itu menekan perutku, ia tak memakai bra. Kilau jingga lampu 5 watt di atas kami berpendar di matanya yang terlalu bersemangat. “Ingat perjanjian kita… Jangan dilanggar… Ingat?” katanya mengingatkannya akan perjanjian yang sudah kami buat kala di rumah makan Padang itu. Matanya berkedip-kedip beberapa kali. Dia harus ingat janji yang harus ditepatinya itu. Aku tentu tidak mau ada apa-apa yang menimpanya kelak.
“Maaf, bang Aseng… Yuli udah gak sabaran…” katanya menunduk tetapi memeluk perutku. Dibenamkannya wajahnya pada dadaku. “Nungguin bang Aseng lama kali datangnya… Yuli sampek ketiduran dan mimpi maen sama bang Aseng… Udah basah ini-loh…” katanya menghirup aroma tubuhku. Dieratkannya pelukan hingga terasa sesak ditekan dua 38DD. “Bang Aseng lama kali lemburnya…” Yaa… Aku ngakunya lembur karena ada masalah di pabrik yang harus aku tangani.
“Maafin awak juga, Yul… Tapi perjanjian kita jelas waktu itu kita gak boleh pake perasaan… Kita sama-sama punya pasangan… Yuli punya suami… Awak punya istri… Awak cuma menjalankan tugas untuk menghamili Yuli… Itu saja… Kita tetap jadi tetangga yang baik saja…” jelasku mengangkat wajahnya agar sejajar denganku, mendengarkan keseriusanku. Ini sangat penting bagiku karena aku yang mengajukan perjanjian itu.
“Maaf lagi, bang… Awak kebawa suasana… Abang gak marah, kan?” tanya Yuli keliatan hampir menangis. Ia menunduk lagi.
“Gak kok, Yul… Awak gak marah, kok… Cuma mengingatkan kalau kita ada perjanjian, kan? Itu penting untuk selalu kita jaga… Penting, Yul…” kataku menekankan pentingnya menjaga tiga pasal perjanjian kami. Tidak banyak tuntutan disana. Hanya harus tetap mematuhi tiga pasal perjanjian saja. 1. Hubungan. 2. Kepercayaan. 3. Masa Depan. “Masih ingat, kan?”
“Masih, bang… Maaf ya, bang… Yuli kesusu (buru-buru)…” katanya minta maaf lagi dan lagi.
“Awak-lah yang ke susu…” kataku mencoba mencairkan suasana gak enak ini dengan mencengkram kedua gunung 38DD yang tak abis-abis membuatku takjub. Yuli tertawa kegelian mendengar permainan bahasaku. Ia membusungkan dadanya yang masih terbungkus daster pendek itu agar aku lebih bebas memainkan teteknya. Ia menggeliat geli kala kutemukan pentilnya dan kupilin-pilin. Permainan kami mulai menghangat.
Yuli meraba celana pendekku dan segera menemukan Aseng junior yang sudah menggembung di dalam sangkarnya. Lancar ia meloloskan celana pendek sekalian sempakku dan Aseng junior melompat bebas. Ditangkapnya batang Aseng junior selagi aku masih terus mempermainkan dua 38DD itu. Kepalanya lalu menunduk menjilati puting dadaku. Geli dan dingin terasa ludahnya belepotan di putingku sementara Aseng junior dikocoknya pelan. Dipandanginya mataku selagi terus mempermainkan putingku. Terkadang ia mengulum sebisanya. Seperti yang lazim dilakukan kala berciuman. Terserah kamu aja, Yul… Asal jangan di mulutku.
Permainan mulut dan lidahnya menjalar ke perut, berputar-putar dan akhirnya bermuara dengan dicaploknya Aseng junior ke dalam mulutnya yang hangat. Mmhh… Nyaman-nya. Enak kali emutan Yuli. Lidahnya menari-nari menggelitik lubang kencingku lalu menari-nari di sekitar leher kepala Aseng junior. Aku duduk bersandar di dinding sambil mengelus-elus rambutnya. Menikmati kala Yuli menyedot-nyedot kepala Aseng junior dengan kuat. Sampai berkali-kali aku mengaduh enak dan pantatku terangkat. Yuli juga meremas pantatku dengan gemas.
Kubisikkan angka 69 padanya dan ia segera paham. Masih mengulum Aseng junior dibagian pipinya, Yuli melepas celana dalamnya, menendangnya entah kemana lalu badannya berputar. Di posisiku duduk bersandar seperti ini, Yuli menunggingkan pantatnya ke arahku. Bokong bohay-nya lalu terpampang di depanku. Berkilat oleh cahaya lampu temaram aku bisa menemukan apem mlenuk-nya yang memang sudah basah. Kubenamkan mukaku di belahan padat itu. Lidahku segera menyeruak masuk membelah kelembaban itu. Yuli bergidik geli. Desahannya memenuhi kamar ini dengan suara perlahan.
Dilebarkannya kangkangan kakinya agar aku bisa lebih berkreasi di selangkangannya. Tanganku meremas-remas paha bagian dalamnya sementara lidahku terus menjilat-jilat semua yang bisa kujangkau di belahan apem mlenuk Yuli. Kasar jembutnya tak begitu kupedulikan apalagi tak ada aroma pesing atau yang gak enak lainnya. Kusedot-sedot berulang itilnya sampai Yuli melepas Aseng junior untuk mendesah. Kuperlebar bukaan apem itu untuk memasukkan lidahku kubuat seperti corong. “Aaaeehh…” desahnya kala lidahku masuk. Aseng junior junior-ku sudah basah kuyup dipermainkannya. Aku udah gak tahan dan kutarik Aseng junior dari emutan mulutnya. Kupegangi pinggulnya pertanda aku akan masuk dari belakang untuk pertama kalinya. Ia tetap menungging.
Yuli mengusap mulutnya yang berlepotan liur selagi merasakan kepala Aseng junior kugesek-gesekkan ke belahan apem mlenuk-nya. Ia menungging rendah hingga kepalanya bertumpu di kasur kapuk. Aseng junior mulai meluncur masuk dengan lancar walau ketat liang kawin apem mlenuk Yuli mengapit. “Mmm…” erangku menekan masuk hingga Aseng junior terbenam mentok. Yuli mengerang juga dan menengadah dengan kedua sikunya menjadi penopang tubuh. Kuremas-remas pinggul berlemak lembutnya dengan gemas.
Perlahan kupompa apem mlenuk Yuli sambil menengadah merasakan enak nikmatnya. Nikmat pergesekan kelamin kami berdua. Ketat menjepit liang kawin Yuli sangat melenakan. Pelumas di sekujur liangnya melancarkan gerakanku keluar masuk. Kuremas-remas terus pinggul lembutnya dengan gemas. Karena gerakanku maju-mundur, daster pendeknya melorot turun sampai mencapai dadanya. Gunung kembar 38DD berguncang-guncang menggoda. Menyentuh gencet dengan permukaan kasur kapuk. Yuli mendesah-desah seperti kepedasan kebanyakan makan sambal. Leher dan punggung putihnya menjadi pemandanganku.
Kucabut sekali-kali Aseng junior dari dalam liang kawin Yuli untuk mengulur waktu. Kuremas-remas buah pantatnya dengan gemas. Kugesek-gesekkan ke belahan pantatnya lalu kuciumi kembali vagina mlenuk itu. Kucoblos kembali dengan gemas buru-buru. Aku mendesah lagi ketika Aseng junior terbenam mentok mengakibatkan tubuh Yuli juga terjengat keenakan. Hangat sekali jepitan apem mlenuk di malam yang dingin ini. Malam menjadi panas dengan persetubuhan kami. Ada sekitar 5 menit kugagahi Yuli di posisi anjing kawin ini. Dah kerasa enak-enak mau ngecrot gitu. Harus diulur lagi nih. Enak kali rasa binik orang ini. Kucabut lagi.
Kuarahkan Yuli untuk berbaring menelentang dengan kaki terbuka. Ia mendesah pasrah dan lega karena ia harus keluar tenaga ekstra untuk menungging seperti tadi. Kugesek-gesekkan Aseng junior di sekitar itilnya lalu terbenam masuk. Yuli menggeliatkan punggungnya ketika Aseng junior meluncur masuk dengan mulut terbuka tanpa suara. Pelan kupompa hingga gunung kembarnya bergoyang naik turun juga. Goyangannya sungguh aduhai, menggodaku untuk menahannya agar tidak bergerak dengan cara diremas. Tanganku lumer saat menggenggam massa besar lemak yang lembut lagi kenyal. Aseng junior terus saja bergerak teratur.
“Bhaang… lebiiihh cephaaat, bhaanng…” kayaknya Yuli hampir mendapat kenikmatan puncaknya. Kalo kupercepat lebih dari ini, bisa-bisa aku juga ikut ngecrot juga nih. Aku tetap konstan tapi menambah rangsangan dengan memasukkan pentil dada kirinya ke mulutku.
Kugelomoh dada besar yang kek melon super itu rakus. Mulutku berdecap-decap bermain lidah, sesekali digigit kecil gemes. Aseng junior terus memompa teratur. Tubuh Yuli menggelinjang minta lebih dan lebih. Tadi dia minta lebih cepat. Pindah-pindah kanan-kiri kumainkan dada 38DD itu bergantian. Kuremas-remas juga dengan gemas. “Akkhhh!!” menegang tubuhnya kaku. Perutnya kaku dan Aseng junior tercekik di dalam liang kawin Yuli. Berdenyut-denyut cepat seirama detak jantungnya. Serasa dipulas Aseng junior di dalam sana. Aku hanya bisa nyengir.
Berhenti sejenak untuk mengatur nafas, kupandangi Yuli yang juga terengah-engah yang juga menatapku balik. Bahkan tersenyum dengan sepasang gingsulnya-pun ia tak mampu. Hanya mulut terbuka, berebutan oksigen untuk dihirup denganku. “Ahmm…” desahnya kala Aseng junior kucabut pelan-pelan. Cairan vagina Yuli berlepotan di sekujur batang Aseng junior, hingga bisa menetes. Kubersihkan dengan sedikit mengocoknya. Kuarahkan kembali untuk masuk apem mlenuk yang menggairahkan itu.
Cukup istirahatnya, Yuli menahan nafasnya untuk menyambut Aseng junior meluncur masuk kembali. Sluurb… Meluncur masuk tanpa halangan. Pelan-pelan kembali kupompa. Kedua kaki Yuli kupegangi pada bagian lipatan di belakang lututnya. Sesekali kukembangkan agar Aseng junior-ku masuk lebih dalam, atau kuciumi lututnya atau juga kutahan di bahuku. Saat ditahan di bahu, ini top speed. Genjotanku semakin cepat karena aku gak mau nahan-nahan lagi. Nanti bisa nyambung lagi, kan…. “Gehh…. Hhh…”
Yuli yang tau aku bakalan ngecrot bentar-bentar lagi mencari pegangan dengan tangan kanannya dan menggigit telapak tangannya karena gesekan nikmat semakin kuat. Kulit Aseng junior bergesekan cepat di dalam liang kawinnya. Untung saja pelumasan cukup melicinkan gesekan nikmat ini. “AaAAH!”
Splurt! Spurt Spurt!
Kubenamkan kuat-kuatkan hentakan akhir pompaanku yang menyemburkan benih-benihku ke rahim Yuli. Tubuh Yuli ikut melengkung merasakan semburan primaku yang membanjiri rahim laparnya. Berkedut-kedut Aseng junior menyemburkan sisa-sisa yang ikut keluar memberi after taste yang membius. Lemas lututku dan ringan rasanya tulang punggungku setelah melepas muatan enak ini.
Kuambil sebuah bantal yang ada di sana untuk mengganjal pantatnya kemudian kubiarkan kaki Yuli ngelongsor lepas dari bahuku dan terbentang lebar sebab lemas lalu kulepaskan Aseng junior dari sarang barunya. Genangan spermaku berusaha keluar tetapi tertahan karena ganjalan bantal di bawah pantat Yuli. Biar jutaan bibitku bertahan dulu di sana sementara waktu. Ini waktunya untuk mereka berjuang menemukan sasaran. Hanya butuh satu saja diantara jutaan sel mikroskopis itu.
“Baaang… Enak kaliii, bang…” erang Yuli masih mengangkang menggairahkan. Kalo aja Aseng junior masih bisa ngaceng sekarang juga, udah kuembat lagi ini perempuan yang menggemaskan ini. Apem mlenuknya yang banjir spermaku memanggil-manggil masuk lagi. Kujawil itilnya yang merah. Yuli bergidik geli. Berkedut-kedut mulut liang kawinnya mempermainkan genangan spermaku.
“Moga-moga jadi anak ya, Yul…” kataku.
—————————————–
Menjelang Subuh aku pulang ke rumahku setelah 4 kali setoran sperma pada apem mlenuk Yuli. Dah kek jadi kebiasaan kalo tiap setoran harus 4 kali ngecrot kurasa. Tapi enak-lah pulak barang binik orang itu. Gak bosan-bosan pulang Aseng junior-ku berkelana di dalam sana. Apalagi buntelan 38DD-nya sangat adiktif. Dah kayak nyabu nyedot ato ngeremes kedua gunung besar itu.
Iseng kuperiksa HP-ku ternyata ada beberapa chat masuk dari Pipit. Ia hanya menanyakan apa aku uda sampe rumah dengan selamat. Perhatian-nya binik orang ini. Mungkin dia khawatir karena tak kunjung ada jawaban. Kubalas sekenanya. Dia pasti masih tidur apalagi dengan kegemaran barunya itu. Apa kegemaran barunya? Mimpi ML denganku? Sok paten kali kao, Seng.
Ppt: kok baru dijawab? khawatir ppt loh
Eh langsung dijawab. Belom tidur dia ternyata.
Aseng: sori da smpe dr tdi kok. ppt nungguin? gk tidur?
Ppt: gk bsa tdr kepikiran trs
Aseng: kepikiran apa?
Ppt: kejadian td aneh y
Aseng: yg penting ppt skrg da sembuh itu yg penting
Ppt: satu lg bg aseng yg kepikiran
Aseng: apa itu
Ppt: bg aseng prnh bilang klo gk takut dosa ada jalan utk masalahmu pit
Kaget tentunya aku membaca tulisannya yang ini. Bagaimana dia bisa ingat betul kata-kataku? Kata-kata ini kuucapkan waktu pertama kali ngobrol serius dengannya di pinggiran jalan Belawan sehabis masalah dukun palsu itu. Konteks-ku waktu itu adalah mengenai sulitnya dia punya anak sampai saat ini. Itu juga karena masih terpengaruh euforia kenikmatan yang sudah aku dapat dari Aida. Aida yang notabene juga sulit mendapatkan anak seperti dirinya, hamil berkat berhubungan intim denganku 4 hari saja.
Ppt: maksudnya gmna bg?
Ppt: bg?
Ppt: blm tidur kn?
Aseng: kt obrolin lg nnt y
Ppt: nnt mlm lg. ppt tambah hr di kmr hotel ini
Nah loh. Trus menerus didesak Pipit kan bingung juga jadinya. Kutebak dia sudah tau apa maksud kata-kataku waktu itu. Dia hanya ingin memastikan semuanya. Tapi aku gak mau memulainya, biar dia sendiri aja yang mengatakannya. Kan dia yang perlu. Awak dah cukuplah dengan Aida sama Yuli saat ini.
——————————————
“Lu naikkin 5% sampe jam 12 siang nanti… Sisanya simpan di warehouse… Trus yang nomer 7 sama 8 kalau udah selesai… di maintenance dulu bagian yang kurang optimal…” rapat kecil yang dipimpin kak Sandra di balkon yang menghadap bagian produksi. Beberapa kepala bagian mesin produksi mencatat apa-apa yang didelegasikan padanya barusan. Tak lama mereka kembali ke bagiannya masing-masing.
“Lu orang gak ngantuk pulang tengah malam nemanin wa?” tanyanya padaku setelah asistennya, Tiwi juga menghilang di balik pintu.
“Ngantuk-la, kak… Kakak gak?” tanyaku balik.
“Lu orang tau wa andelannya minum kopi ginseng dari tanah leluhur wa…” jawabnya. Ia masih memandangi area produksi yang membentang luas di hadapan kami. Ratusan orang bekerja di bagiannya masing-masing. Mesin-mesin bekerja pada tempatnya dengan suara-suaranya. Untung aja di dalam kantor suara itu hilang semua. “Lain waktu lu temanin wa lagi, ya?” lanjutnya setelah seperti berpikir akan sesuatu.
“Ngapain, kak? Minum? Kalo itu gaakk bisa kak…” tolakku tegas.
“Siang-siang lo, Seng… Ngapain wa minum siang-siang…” katanya menonjok lenganku. Aduh atit.
“Ngapain siang-siang, kak? Kan kerja…” jawabku. Kalo hari Minggu, nehi-nehi acha… Hari Minggu adalah hari khusus untuk keluarga tercinta saja.
“Bisnis-la… Tapi nanti aja kita cari waktu yang pas… Lu shio Ular, kan? Belom berubah?” tanyanya berubah tiba-tiba. Kok nanyain shio lagi nih si kakak cantik.
“Masih-la kak… Memangnya bisa berubah-rubah gitu ya?” tanyaku paok. Aku-pun taunya ber-shio Ular karena dulu pernah ditanya sama kakak cantik ini tanggal-bulan-tahun lahirku. Katanya di bentangan waktu itu ber-shio Ular api. Ular panggang-lah jadinya.
“Mana bisaaa… Bodoh kali-pun lu nanya bisa berubah-rubah… Lu pikir pawer renjes bisa berubah…” makinya sambil tertawa-tawa.
“Kakak-nya yang pertama nanyak belum berubah shio-ku… Padusi kalera ko ma…” kataku bersungut-sungut. (Kira-kira artinya perempuan kimak)
“Ih… pakek bahasa Padang pulak lu… Cibay!” trus kami ledek-ledekkan walau suasana bising di balkon ini.
——————————————–
“Wa disuruh bos besar (dirut) ke satu pekong (wihara) di daerah Pangkalan Brandan… Wa disuruh nanyain sesuatu tentang peruntungan ato hoki perusahaan tahun depan… Lu kan tau bos percaya banget dengan yang begitu-begituan… Lu temanin wa… Bos udah izin, kok…” jelas kak Sandra saat sore hari menjelang pulang kerja. Dia memanggilku ke ruangannya dan kami ngobrol sudah 5 menit ini.
“Kapan, kak?” tanyaku.
“Minggu depan sih… Kalo gak Jumat… Sabtu gitu…” jawabnya sambil ngetik sesuatu di HP-nya. “Bisa, kan lu?” ia melirik sebentar lalu fokus kembali ke layar HP.
“Yaa… Bisa-bisa aja sih, kak… Kalo mengenai pekerjaan sih bisa ajaa… Ini kan mengenai pabrik juga… Awak cari makan di sini, kan?” kataku mengiyakan. Kak Sandra tersenyum puas.
“Ya udah-lah… Itu aja yang mao wa omongin sama lu… Lu orang langsung pulang ato gimana?” tanya kak Sandra mengumpulkan barang-barang pribadinya ke dalam tas tangannya.
“Pulang-la, kak… Emangnya kakak… Gak ada orang di rumah… Anakku dah nungguin tuh di rumah…” kataku beralasan. Alasanku kuat; Salwa pasti minta jalan keliling jatahnya tiap pagi dan sore.
“Cibay lu-ah…” makinya tapi tertawa.
——————————————————
Rumah Pipit tampak lengang ketika kami melewati tempat itu. Hanya lampu teras dan beberapa lampu dalam rumahnya yang menyala. Garasinya tertutup rapat. Dia benar-benar memperpanjang sewa kamarnya di hotel itu. Burung-burung milik lakiknya pasti sudah minta diurus sementara sama tetangga depan rumah sesama pencinta burung berkicau.
“Mancing, Ton?” tanyaku saat lewat di depan warungnya Iva dalam perjalanan balik ke rumah. Toni sedang menyiapkan motornya untuk pergi. Warung/kede milik biniknya masih rame oleh pembeli yang mayoritas anak-anak. Tas ransel miliknya penuh dengan peralatan pancing. Beberapa joran dalam beragam ukuran dan peralatan lain.
“Iya, bang… Mancing malam biar gak kepanasan…” katanya mengengkol motornya. Digebernya motornya pelan.
“Dimana?” tanyaku basa-basi tepatnya. Aku gak pernah mancing tapi kepengen tapi gak punya joran tapi gimana. Heran liat orang mancing berjam-jam cuma dapat beberapa ekor ikan yang juga bisa dibeli di pasar. Gak susah. Tapi itu pasti selera masing-masing.
“Di Paloh Percut, bang…” jawabnya. Aku cuma bisa Oo. Di bayanganku pasti banyak nyamuk dan segala macam temannya. Toni pergi menjelang hobinya. Meninggalkan biniknya di rumah sendirian. Mampos kau binikmu dipancing orang. WKWKWKWK!
“Gak ikut, Pa?” tanyaku pada Iva yang sudah selesai melayani tuyul-tuyul berbedak cemong itu. Kami masuk agak ke dalam kede itu karena Salwa suka mempermainkan jajanan yang digantung di bagian depan. Ia mengenakan pakaian seksi seragam sehari-harinya. Long dress ketat berlengan pendek berwarna ungu gelap. Adeem beneer liatnya. Aneh liat perempuan pake long dress padahal cuma lagi jaga kede? Iva mah udah biasa.
“Malas-lah, bang… Mancing malam-malam gitu… Digigiti nyamuk yang ada awak di paloh (rawa) gitu… Merah-merah kulit awak semua…” katanya mengelus kulit lengannya yang mulus kek pualam. Iva baru mandi dan segala ritual keperempuanannya untuk menjaganya tetap cantik dan wangi. Iva selesai baru lakiknya bisa berangkat mancing tadi karena disuruh jaga kede dulu.
“Pake A**tan-lah biar gak digigit nyamuk…” kataku sambil mengayun pelan Salwa yang berusaha menggapai satu renceng jajanan yang digantung.
“Gak bagus untuk kulit Ipa itu, bang… Kulit Ipa sering sensitif pake lotion anti nyamuk gitu…” katanya lalu menyodorkan lengannya tanpa rasa bersalah sedikitpun, memamerkan kemulusan dan kebersihan kulitnya yang kinclong. Bah… Kucing diumpanin ikan mentah? Mau rasanya awak menjilati itu kulit lengan yang mulus kek lantai granit Italy. Heh? Diambilnya tanganku yang tak menopang Salwa dan jari-jariku disusurkannya ke lengannya itu.
Alamakjang! Bergetar iman awak karenanya. Hangat Aseng junior juga. Kala jariku bersentuhan dengan kulitnya, terasa lembut dan kenyal. Halus dan mulus. Abis keknya gaji si Toni untuk perawatan kulit biniknya ini. Eh? Cemana pulak ceritanya kok si Iva tiba-tiba mengizinkan aku menyentuh kulit lengannya ini? Apa pasal? Tentu bengong campur paok-la mukaku saat itu. Tambah lagi si Salwa ngences karena gak kunjung dapat renceng jajanan itu yang digapai-gapainya. Kupandangi wajah cantik Iva. Ia cuma menggigit bibir bawahnya sambil menunduk sambil tetap memegangi tanganku yang menyentuh pergelangan tangannya. “Mulus, kan?”
“Mu-mulus, Pa… Bersih…” gugup awak karenanya. Tapi gak mau pulak tanganku ini melepas kemulusan itu. Naik lagi ah. Naik. Naik. Naik. Ah. Mulus nian kau, Pa. Telapak tanganku udah nyampe lagi di lengannya. Tiba-tiba ia mundur. KIMAK! Seorang pengendara motor dengan suara knalpot cempreng lewat. Pengen rasanya kucabut knalpot itu trus kujejalkan ke pantatnya. Gara-gara ninja kimak itu kesempatan emas menyentuh Iva berakhir.
“Abang mau beli berapa tadi?” tanyanya sudah berada dibalik etalase kaca kecilnya sambil sudah memegang HP. KIMAK! Ternyata di belakangku ada seorang wawak-wawak mau membeli sesuatu juga. Gara-gara knalpot bising itu juga aku jadi tidak awas ada orang lain di sekitarku. Iva yang posisi berdirinya langsung menghadap keluar kede tau persis siapa yang lalu lalang.
“Yang limpul (lima puluh ribu, pulsa), Pa…” jawabku. Padahal pulsaku masih banyak. Waduh jadi sekali elus lengan mulus harganya limpul? Kalo ngecrot di dalam berapa ya? Plak! Paok kao!
Iva curi-curi pandang dengan senyum penuh arti saat menerima pembayaran buat pulsa barusan bersamaan ia masih melayani wawak-wawak itu beli rokok. “Ada lagi, bang?” tanyanya ketika wawak-wawak itu pergi. Aku masih meladeni Salwa yang mencoba meraih sebuah tali rafia yang menjuntai, bekas jajanan yang sudah habis. Dari balik etalase kecilnya itu, Iva menarik rok long dress miliknya yang sedikit di atas lutut menjadi lebih naik. Paha putih mulusnya dipertontonkan. Haqqul yakin aku kalo Iva rajin nge-wax rambut-rambut di sekujur tubuhnya karena tak ada sedikitpun di sana. Mulus-lus-lus kek cermin. Semut akan tergelincir jatuh saat mencoba menaikinya. Tarikan rok itu berhenti hanya dua jari dari pangkal pahanya. Sedikit lagi seharusnya aku sudah bisa melihat surganya. Yang masih tertutup tentunya.
Aku menahan nafas tanpa sengaja. Aku takut kalo aku bernafas, rok itu akan jatuh kembali. Iva tetap menunduk sambil mengelus-elus pahanya seolah menggaruk yang gatal. Ia tetap menggigit bibir bawahnya. Nafasnya agak berat terlihat dari dadanya bergerak naik turun. Ia tak berani menatapku. “Yang itu juga mulus, Pa… Digigit nyamuk, ya?” Aku segera berharap kalau Iva akan membimbing tanganku meraba dan merasakan mulus pahanya. Disuruh belik pulsa lagi gak pa-pa-lah.
“Enggak, bang… Tapi gatel…” Entah apapun yang gatel. Kakinya ato yang lain…
Bersambung