Part #18 : Semalam suntuk bersenggama liar dengan Mama

Bunyi alarm yang kencang sontak membangunkanku. Dengan tergesa aku meraih ponsel untuk mematikannya. Kepalaku masih terasa pengar, baru saja semalam suntuk bersenggama liar dengan Mama. Ah sialan, kenapa sih lupa matiin alarm di akhir pekan gini? omelku dalam hati. Padahal hari ini aku hanya ingin beristirahat menikmati akhir pekan saja.

Oh hampir saja aku lupa! Beberapa detik kemudian kesadaranku sudah kembali utuh, mengingatkanku bahwa ada hal lain yang harus dilakukan pagi ini. Hari ini kan aku harus pergi jogging. Meski Desy belum membalas ajakan jogging-ku dari kemarin, aku harus tetap berangkat. Aku sudah ingkar janji kemarin, jangan sampai Ia menungguku lagi untuk kedua kalinya. Jika sampai itu terjadi maka ia pasti tak akan mau menemuiku lagi.

Dengan tenaga yang tersisa aku langsung mencuci muka dan mengganti pakaian. Baru saja aku hendak meninggalkan rumah kala seseorang memanggilku dari ruang televisi.

“Kakak mau jogging ya? Nissa ikut ya.”

“Ni-Nissa? Tumben kamu bangun pagi,” balasku, agak tergagap.

“Nissa ikut ya Kak?” tanyanya sekali lagi.

Aku hanya bisa menelan ludah. Aduh, pasti akan berabe kalau Nissa ikut dan tahu bahwa selama ini aku jogging bersama musuh bebuyutannya. Belum sempat aku menjawab, Nissa langsung berlari masuk ke kamarnya. Ia kembali lima menit kemudian, dengan celana legging dan baju ketat lengan panjang yang membuat payudara besarnya nampak sangat menyembul, ia juga tetap mengenakan jilbab. Tubuh langsingnya nampak begitu seksi dengan pakaian ketat berbahan nilon itu. Ia kini sudah siap dengan setelan olahraganya.

“Tapi, aku jogging-nya bakal jauh Nis,” aku berusaha keras mencari alasan agar menghentikan niat adikku untuk ikut.

“Gapapa, kan Kakak yang pernah bilang kalau capek tinggal istirahat.”

“Yakin? Pulang nanti cuacanya sudah terik loh,” ini adalah harapan terakhirku agar ia tak ikut. Namun Nissa hanya memasang wajah tak peduli.

“Iya Kak, Nissa bisa. Yuk berangkat!” jawab Nissa sembari berjalan mendahuluiku.

Sambil memandangi tubuhnya dari belakang aku hanya berharap semoga tidak ada pertengkaran jika nanti Nissa bertemu dengan Desy di sana. Semoga pula Nissa tidak merasa marah padaku. Aku sudah tak bisa berdalih lagi, Nissa benar-benar ingin ikut jogging pagi ini. Dan, sebagai kakak yang baik aku tentu tak tega membuatnya kecewa, terlebih beberapa hari terakhir ia selalu nampak murung. Semoga saja lari pagi kami bisa memperbaiki suasana hatinya yang kacau selama beberapa hari ini.

“Ini mau lari sampai mana sih, Kak?” tanya Nissa tersengal. Nafasnya sudah tak karuan, hingga membuatnya meminta berhenti. Air minum Nissa sudah habis separuh. Mau tak mau kami melanjutkan sisa jogging menuju tempat Desy dengan berjalan kaki. Tak jauh lagi, bangku jalan tempat aku biasa bertemu dengan Desy akan terlihat.

“Sabar ya, sedikit lagi sampai.”

Sepanjang perjalanan aku mulai berharap agar Desy tidak datang pagi ini. Ia nampaknya kesal karena aku ingkar janji kemarin dan tak kunjung membalas pesan ajakan jogging-ku sejak kemarin sore. Setidaknya dengan cara itu kami bisa impas, ia menungguku sekali, aku juga menunggunya sekali. Di sisi lain, Nissa juga tak perlu mengetahui bahwa beberapa hari ini kami selalu jogging bersama. Aku dan Nissa sudah berada di titik pertemuan biasanya. Tak terlihat kehadiran sosok manusia pada bangku di ujung jalan itu.

Ah iya, Desy pasti tak datang, keyakinanku mulai timbul.

Melihat langkahku terhenti, Nissa pun langsung mengambil duduk di bangku jalan itu. “Jadi tujuan Kakak ke sini ya? Emang ada apa di sini?”

“E-enggak ada kok, lebih adem aja suasananya di sini,” fiuh, perasaan lega mulai tumbuh di dadaku. Bisa hancur aku kalau Nissa ketemu dengan Desy di sini.

Aku pun turut duduk di samping adikku ini. Nampak bulir keringat menetes di pipinya. Pakaian bahan nilonnya nampak basah, payudaranya maju mundur seiring dengan deru nafasnya yang belum teratur. Celana legging yang mengapit pahanya juga nampak menyisakan noda keringat. Aroma kelelahan mulai tercium dari tubuh adikku ini.

“Kenapa sih kak lihatinnya gitu banget?” tegur Nissa sambil memasang wajah sinis.

“Enggak kok Nis… tapi ngomong-ngomong kita udah lama ya ga gituan.”

“Gituan apa kak? Kalau ngomong yang jelas dong.”

“Ya itu Nis hehehe.”

Nissa

“Dih sama adik sendiri aja malu-malu nih Kak Dio…” ucap Nissa sambil tertawa kecil, kini tangannya memegang pahaku. Pelan-pelan menaik hingga menyentuh tonjolan penisku yang telah keras. Tegang juga rasanya disentuh oleh Nissa. Ku tatap mata sayunya yang juga menginginkan tubuhku. “bilang aja kakak minta ngento…”

“DIO!” sapa suara dari belakang. Suara yang seketika memotong ucapan Nissa. Membuat kami berbarengan menoleh ke arah samping. Nissa buru-buru menarik tangannya menjauh. Oh tidak, semoga dugaanku salah. Namun dugaanku benar. Sosok perempuan berjalan menghampiri kami. Seorang perempuan dengan kaki jenjang, berwajah bule, kulit yang eksotis, rambut panjang terikat, dan mengenakan sport bra berwarna hitam, sedang berlari ke arah sini. Desy ternyata tetap datang pagi ini.

Desy

Sama terkejutnya dengan kami, langkah Desy juga terhenti begitu tahu bahwa perempuan yang duduk di sampingku adalah Nissa. Wajah mereka bertatapan, dan ya, memang benar ada rasa permusuhan yang menguak dari ekspresi mereka. Tangan Nissa mengepal kencang, wajahnya memerah. Sepertinya kali ini ia tak hanya merasa kesal kepada Desy, tetapi juga padaku. Kakak pembohong yang ternyata sedang dekat dengan musuhnya sendiri.

Sedangkan Desy sempat terdiam sejenak dengan mata sinis yang tajam. Setelah mulai mencerna keadaan yang terjadi, ia kembali melangkah dengan senyum manis. Memamerkan lesung pipi dan wajah ayunya yang sedikit berkeringat dan menyapa kami. Aku hanya bisa diam, membiarkan drama terjadi begitu saja di hadapanku.

“Oh ada Nissa juga ya,” ucap Desy sambil menyodorkan tangan kepada Nissa yang tentu saja tak diacuhkan. Tangannya dibiarkan menggantung.

“Ngapain kamu di sini?!” tegas Nissa.

“Oh, kamu belum kasih tau dia ya, Yo?” tanyanya sambil memegang pelan pundakku. Sepertinya Desy sengaja membuat-buat tingkahnya agar Nissa semakin kesal. “Selama ini kita kan selalu jogging bareng.”

“Lebih tepatnya udah dua kali kami jogging bareng,” potongku, berusaha mengklarifikasi ucapan Desy yang memberi kesan bahwa kami selalu jogging bersama sejak lama.

Desy berdiri tepat di depanku. Perutnya yang rata dan mengkilat karena keringat hampir sejajar dengan pandangan mataku. Tangannya mulai mengelus-elus rambutku, tingkah yang sangat berbeda dari biasanya. Ku tengok ke arah Nissa nampak tatapannya juga kini telah beralih padaku. Ia memerhatikan tangan Desy yang menyentuhku begitu akrab.

“Kamu kok kemarin gak datang? Aku nunggu sampai lama tau.”

Seakan sudah muak, Nissa tiba-tiba menepis tangan Desy dari kepalaku. Ia lalu bergantian menatap kami berdua.

“Jadi selama ini kakak sama dia…” omongannya terputus. Nissa terdiam sejenak, seakan menghentikan amarah yang sudah siap ditumpahkan. Sambil menatap sinis ke arah Desy, ia menghela nafas.

“Ah sudahlah.” Nissa langsung berdiri, dan tanpa mengindahkan kami berjalan ke arah rumah. Ia berjalan begitu cepat sampai-sampai aku tak sempat menahannya untuk tetap tinggal.

“Nissa!” panggilku, bersiap berlari mengejarnya. Namun pada saat yang bersamaan, telapak tangan lembut menggenggam erat tanganku dari belakang. Genggaman yang bertenaga dan menyentak. Aku menoleh menatap ke arah Desy yang tak kunjung melepaskan tangannya dariku. Kali ini genggamannya lebih lunak.

“Kamu ga mau jogging bareng sama aku aja, Yo? Aku belum maafin karena kamu gak datang kemarin loh,” kata Desy dengan senyum kecil yang mengundang iba. Bagai terhipnotis aku juga menepis keinginanku untuk mengejar Nissa.

“I-iya, Des,” ucapku, lalu kembali duduk ke bangku jalan. Padahal baru saja tadi tangan Nissa hampir bergerilya di penisku, batinku mengingat lagi hubunganku dengan Nissa yang tadi masih baik-baik saja.

“Ga tau Nissa-nya, aku sih udah ga ada masalah sama dia,” dalih Desy, begitu ku tanyai mengapa Nissa begitu kesal melihatnya. Mungkin memang itu kebenarannya, toh sedari tadi Desy masih bisa tersenyum manis ke arah Nissa.

“Lupain tentang Nissa dulu. Kali ini giliran aku yang nanya, kamu kok bikin aku nunggu kemarin?” Desy mengganti topik percakapan. Kali ini gantian aku yang harus berdalih.

“E-eh, kesiangan Des, soalnya aku ngelembur tugas malamnya,” ucapku, mencoba berbohong. Semoga saja tak terlalu nampak jelas. Mana mungkin aku bisa jujur bahwa selagi ia menungguku di sini, aku justru sedang di kamar hotel bersama Elma dan Aurel kemarin pagi.

Ia memicingkan mata padaku seakan tak percaya. Namun aku tetap memberikan senyuman canggung terbaikku hingga akhirnya Desy menghela nafas, “Ya udah kalau gitu. Untuk selanjutnya, aku pengen kamu tau kalau aku paling ga suka disuruh nunggu, apalagi harus nunggu cowok.”

Aku hanya mengangguk mendengar ungkapannya. Kami pun melanjutkan lari pagi itu hingga matahari sudah cukup tinggi menjangkau langit. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, pada jogging pagi ini Desy cukup sering memberikan afeksi fisik seperti menowel, menepuk tubuhku.

“Nissa di kamar terus dari tadi pagi,” ucap Mama sambil mengubek-ngubek isi kulkas. Sudah pukul 4 sore dan Nissa belum mau memunculkan batang hidungnya. Ia memang selalu mengeram di kamar kala sedang kesal.

“Bukannya tadi pagi Nissa jogging sama kamu, Yo? Kok pulangnya sendirian aja tadi.” tanya Kak Sasha yang juga sedang ada di dapur.

“Nissa udah kecapekan duluan Kak,” jawabku berbohong.

“Ya, ditemeninlah adiknya, kan ga tiap hari Nissa ikut kamu jogging,” timpa Mama kali ini.

“I-iya sih Ma… tadi Nissa-nya buru-buru minta pulang.”

Sedari tadi, Mama mengubek-ngubek isi bawah kulkas seakan sedang mencari sesuatu. Ia lalu melirik Kak Sasha, lalu menggeleng, “Kayaknya memang ga cukup deh bahan makanannya.”

“Makan yang ada aja dulu, Ma. Ga usah masak banyak-banyak,” celetukku.

“Bukan cuma buat kita, nanti Om Salim bakal makan malam bareng kita,” sanggah Kak Sasha.

Oh, sialan, pasti ada hubungannya dengan pernikahan terkutuk itu. Aku memandang ke arah Mama yang kini sedang mengangkat bahunya. Aku benar-benar tak siap melihat Mama harus menikah. Sambil tertawa kecil, Mama berjalan mendekatiku.

“Ya udah Dio, kalau gitu kamu pergi ke pasar. Nanti Mama bikin daftar bahan yang harus kamu beli.”

“Ga usah dibuatin daftar Tante, nanti perginya bareng aku,” ucap Kak Sasha tiba-tiba.

Ia mengatakannya sambil menatapku. Membuatku terpaku salah tingkah. Sebelum ini kami tak pernah pergi belanja bersama.

“Nah, jadi lebih gampang lagi berarti. Kalian hati-hati di jalan ya,” jawab Mama dengan wajah yang lebih riang. Sebaliknya, meski senang, aku juga sedikit merasa tegang. Entah kecanggungan apa lagi yang akan timbul di antara kami berdua sore ini.

Alih-alih berangkat ke pasar tradisional, kami justru berakhir di sebuah supermarket dalam mall saat ini. Kata Kak Sasha, lebih mudah menemukan daging berkualitas baik di supermarket. Terlebih lagi malam ini begitu spesial bagi Mama mengingat Om Salim untuk pertama kalinya ikut makan malam bersama keluarga kami. Aku hanya mengikut saja, toh Kak Sasha tentu jauh lebih paham urusan bahan makanan seperti ini.

“Asparagus udah, selada udah, kecap asin udah, apa lagi ya?” ucap Kak Sasha sambil memeriksa keranjang di tanganku.

“Tinggal pulang kan, Kak?”

Namun ia menggeleng. “Daging, ya benar daging! Untuk malam ini kita harus beli yang tenderloin,” ucapnya, heboh sendiri. Terkadang sifat kakunya bisa mendadak hilang kala sudah berurusan dengan masak memasak. Ku melirik wajahnya yang nampak begitu ceria. Harusnya Kak Sasha jadi koki aja, ngapain sih jadi dosen, batinku.

Kak Sasha

Tangan Kak Sasha sedang sibuk memilah beberapa daging. Daging yang nampaknya sama saja bagiku. Namun tidak bagi Kak Sasha, baginya meskipun nampak sama, daging-daging tersebut sebenarnya memiliki perbedaan kualitas yang hanya bisa diperhatikan dengan teliti, baik terkait warna daging maupun ketebalannya kala dipotong. Ya, tentu saja aku tahu, sejak tiba di supermarket tadi Kak Sasha terus saja sibuk menceramahiku tentang bahan makanan.

Sambil sibuk memerhatikan Kak Sasha, tiba-tiba nampak sosok perempuan yang ku kenal. Perempuan berambut pendek, berkulit putih, mata sipit, dengan poni yang unik, siapa lagi kalau bukan Aurel. Ia tak sendiri kala ini. Di sampingnya nampak temannya yang bertemu denganku di bukit kala itu, namanya Jessie kalau tak salah. Perempuan yang kehadirannya membuat Aurel seketika menjauhiku.

Hampir pada saat yang bersamaan, teman Aurel juga melihatku. “Itu teman kamu kan? Yang hari itu di bukit…” karena berdirinya cukup jauh, aku hanya bisa mendengar percakapan mereka secara samar. Bisa saja ia membicarakan hal lain, aku hanya bisa menerka.

Aurel langsung menoleh, lalu dengan matanya sedikit melebar, ia menyadari bahwa aku memang berada di tempat yang sama dengannya saat ini. Aku tersenyum lebar melihatnya, sebaliknya, Aurel tak balik tersenyum, namun kakinya tetap melangkah ke arahku.

Aurel

“Kamu kok di sini?” tanyanya begitu kami sudah berhadapan.

Pertanyaan itu membuat Jessie turut mengernyit, “Loh, memang kenapa kalau dia di sini?”

“E-enggak apa-apa kok,” ucapnya, sambil melirikku.

“Kebetulan aja ke sini, lagi belanja bahan makanan,” balasku, berusaha menahan bingung, setelah melihat Aurel tak nampak senang tidak sengaja bertemu denganku saat ini. Sejak kapan anak manja ini jadi serius di hadapanku? “Ka-kamu sendiri, ngapain?”

“Jalan-jalan aja,” jawabnya singkat.

“Oh,” ucapku, sambil menganggukkan kepala. Rasanya ia memang tak siap untuk bertemu denganku di sini. Aku baru saja mau menyuruh mereka untuk melanjutkan jalan-jalan mereka kala Kak Sasha sudah berdiri di sampingku. Sambil menyodorkan tangannya, ia memperkenalkan diri pada Aurel dan Jessie.

“Teman-temannya Dio ya?” tanya Kak Sasha, sambil tersenyum.

“I-iya,” jawab Aurel pelan.

Aurel yang tadinya memasang ekspresi cuek seakan langsung penasaran. Matanya terus menatap Kak Sasha, kakinya yang sedari tadi terus bergerak seakan ingin segera beranjak kini benar-benar terpaku.

Seakan sadar pada tatapan penasaran Aurel, Kak Sasha langsung tertawa kecil. “Hahaha, aku sepupunya Dio, kebetulan juga selama ini tinggal di rumahnya dia.”

“Kamu kok ga pernah cerita punya sepupu, Yo?” tanya Aurel padaku. Nampak air wajahnya sedikit berubah, ia nampak lebih lega mendengar perkataan Kak Sasha.

“Kamu kan ga pernah nanya Rel.”

“Oh, jadi kalian ini teman dekat ya?” tanya Kak Sasha lagi.

“Iya kak, di kampus aku ada geng berempat bareng Dio, jadinya sering makan siang bareng,” jawab Aurel, kali ini ia sudah tersenyum. Makan siang apaan, kemarin kita malah threesome bareng Elma, batinku.

“Duh, serunya punya teman geng kayak gitu, jadi kangen masa S1 lagi aku kan,” balas Kak Sasha. “Kalian sesekali main ke rumah juga dong. Dio nih dari dulu ga pernah bawa teman ke rumah.”

“Mau, Kak! Dio-nya aja yang ga pernah ngajak,” entah dari mana datangnya percakapan yang cair ini. Percakapan yang awalnya hanya sambil lalu itu ternyata berlangsung cukup lama. Bahkan sesekali, Jessie juga ikut nimbrung dan tertawa bersama mereka. Aku yang memang tak pandai berbasa-basi kini hanya diacuhkan sambil mengangkat keranjang berisi bahan makanan.

Namun kejutan tidak berakhir saat ini. Tiba-tiba saja seorang lelaki muda, tinggi, dan berkulit putih, yang sangat berkebalikan denganku datang menghampiri Aurel dan Jessie.

“Kok lama banget? Katanya cuma beli minum?”

Wajah Aurel yang sedari tadi sudah mulai santai, kini mendadak tegang lagi. Kepalaya kini setengah menoleh ke samping seakan takut bertatapan denganku.

“Santai aja kali, Dimas. Ini kebetulan ketemu teman kampusnya Aurel, jadi ngobrol dulu deh,” balas Jessie.

“Yaudah buruan, jadi mau nonton film gak?”

“Iya-iya, Dio, Mba Sasha, kita balik duluan ya,” ucap Jessie sambil melambaikan tangan. Aurel hanya memasang wajah kaku, lalu buru-buru berjalan meninggalkan kami, sedangkan Dimas bahkan tak menyempatkan diri melirik ke arah kami. Ia hanya mendengus saja lalu berjalan menjauh. Tangannya merangkul pundak Aurel yang mungil. Aku hanya bisa diam saja melihat hal yang baru saja terjadi di depanku saat ini.

Sepanjang perjalanan pulang kepalaku sibuk mengingat-ingat. Pantas saja Aurel nampak salah tingkah kala bertemu denganku tadi. Ternyata memang ada yang disembunyikan. Lelaki sombong yang bersamanya tadi adalah Dimas, orang yang kalau menurut cerita Aurel di bukit dulu adalah mantannya sejak SMA. Orang yang ia bilang sudah diputuskan karena telah berlaku kasar padanya. Masih teringat jelas di kepalaku betapa Aurel seketika melepaskan genggamanku di depan teman-temannya kala di bukit seminggu yang lalu, masih teringat juga betapa Aurel seakan tak mengakuiku di depan mereka saat itu.

Kini semuanya terjawab jelas. Aurel memang masih bersama Dimas, dan entah untuk alasan apa, ia masih saja berusaha mendekatiku selama ini. Dengan segala kebohongannya, ternyata ia menjalani hidup yang tak pernah ia ceritakan padaku. Lebih buruk lagi, ia bahkan masih sempat untuk mengatakan cinta padaku. Membuatku kepikiran begitu saja, lalu dihempas sesuka hatinya.

“AARGH,” teriakku sambil menggelengkan kepala.

“Kamu kenapa Yo?” tanya Kak Sasha dari belakang.

Pertanyaannya seakan menyadarkanku. Di depanku saat ini ialah barisan kendaraan yang sedang menunggu datangnya lampu hijau. Samar deru kendaraan masih terdengar di sekitarku. Saking penuhnya kepalaku memikirkan Aurel sampai-sampai membuatku lupa bahwa aku sedang di jalan menuju pulang saat ini. Beruntung saat ini aku sedang di dalam mobil Kak Sasha, tak terbayang bagaimana malunya aku kalau dilihati orang karena tiba-tiba berteriak seperti itu di atas motor.

“Ga kok kak, gapapa,” balasku sambil tersenyum.

Kak Sasha terus menatapku. Entah ia paham atau tidak akan apa yang sedang ku pikirkan saat ini, tiba-tiba saja ia mengelus pundakku pelan, membuat tubuhku merasa rileks lagi. Ada perempuan seperti Kak Sasha dalam hidupku saat ini, untuk apa juga aku sibuk mikirin Aurel, batinku sambil tersenyum tipis ke arah sepupuku ini.

Makan malam pun berlangsung. Kali ini Mama meminta agar aku, Nissa, dan Kak Sasha juga turut berpakaian rapi menyambut kehadiran Om Salim. Pria yang ditunggu-tunggu juga tak kalah rapi, ia mengenakan setelan tuksedo dan rambut putihnya yang dibasahi, wajahnya justru terlihat seperti mafia Italia dalam film Godfather.

Kami berencana menikah”

“Nanti kita akan tetap tinggal di rumah ini”

“Tapi tanggalnya belum ditentukan kok”

Kira-kira begitulah isi pembicaraan yang di meja makan malam ini. Mataku sedari tadi tak henti-henti memerhatikan kedua calon pasutri itu. Entah apa sebenarnya yang dilihat Mama dari Om Salim. Meski bertubuh tinggi, sebenarnya punggung orang ini sudah mulai terlihat bungkuk. Belum lagi kebiasaannya untuk tersenyum yang membuatnya nampak seperti lelaki lemah yang tak bisa diandalkan. Apa gara-gara uang ya? pikirku sejenak, namun segera ku tampik. Aku sudah mengenal Mama sepanjang hidupku, telah beberapa kali sebelumnya ada pria kaya raya yang datang untuk meminangnya namun selalu ditolaknya. Mulai dari rektor, pengusaha meubel, hingga wakil bupati di suatu daerah telah datang ke rumah untuk meminangnya, tak ada satu pun yang bisa membalikkan hati Mama.

Mama

Di sisi lain, Mama juga tak henti-hentinya tersenyum. Tangannya begitu lincah mengambil makanan tiap kali piring Om Salim sudah nampak kosong. Mulutnya juga terus ngobrol seakan hatinya memang sedang begitu bersemangat. Aura bahagia yang terpancar membuat Mama terlihat semakin memikat di balik gaun merahnya malam ini.

Satu hal yang ku sadari pagi ini ialah betapa hebatnya Mama menutupi perbuatan tabunya denganku. Ia benar-benar bertingkah biasa, seakan ia tak baru saja bercumbu dengan anaknya sendiri malam tadi. Jujur saja, aku masih begitu ingin merasakan tubuh Mama dalam diriku. Membuat ia menampilkan sisi liar yang selama ini dengan hebat disembunyikan. Perasaan itulah yang mungkin membuatku masih tak terima jika Mama akan segera menikah sebentar lagi.

Kak Sasha nampak begitu cantik malam ini. Ia mengenakan dress berwarna biru, rambutnya yang biasanya tergerai diikat malam ini. Senyum manis juga terus muncul dari bibirnya. Sesekali ku tangkap ia sedang mencuri pandang ke arahku, tiap kali mata kami terpaku maka aku akan segera memalingkan wajah karena salah tingkah. Meski sudah terbiasa saling bertatapan dengannya, namun melihatnya seanggun malam ini masih saja membuatku kagok. Berbanding terbalik dengan Nissa, meski tetap cantik seperti biasa, namun jelas sekali raut cemberut dari bibirnya. Ia hanya makan sedikit dan tidak pernah sekali pun menimbrungi percakapan di meja ini.

“Sayangnya dia mendadak ada acara lain malam ini, padahal anak Om itu seumuran kamu, Nissa,” ucap Om Salim, di tengah percakapan. Ia sedang membahas anaknya yag tak bisa bergabung.

Namun Nissa tidak bereaksi, matanya hanya menatap nanar memandangi isi gelas yang sudah tandas. Ia yang biasanya selalu aktif kala berbincang kini bagai menyingkirkan diri dari siapa pun. Mama langsung menyenggol tangan Nissa begitu melihat tingkahnya yang mencuekki Om Salim.

“Itu kamu diajak ngomong loh, kok diam aja.”

Dengan sedikit kaget Nissa menengadah. Ternyata sedari tadi ia mengkhayal. Bukan hanya Nissa tidak ikut nimbrung dalam percakapan malam ini, Ia juga bahkan sama sekali tak memerhatikan.

“Udah, Dian. Mungkin Nissa lagi ga enak badan,” jawab Om Salim, begitu melihat Nissa nampak linglung. Nissa hanya tersenyum kecil tanpa menjawab apa pun. Terlihat ekspresi Mama yang sedikit kesal melihatnya. Aku sendiri masih heran kenapa Nissa bisa begini sendunya hanya karena aku jogging bersama Desy.

Setelah makan malam, Mama dan Om Salim pergi meninggalkan rumah. Semacam malam mingguan atau apalah, mereka sedang mengalami pubertas kedua bersama-sama. Hati mereka pasti senang sekali malam ini. Berkebalikan denganku yang justru sedang banyak pikiran hingga memilih untuk duduk santai di teras. Sambil memerhatikan kendaraan yang lewat aku memikirkan Aurel. Entah kenapa, melihat ia jalan dengan mantannya sendiri di depanku tadi membuatku jadi berat hati. Padahal selama ini aku jarang sekali memikirkan dia. Selama ini aku hanya berpikir bahwa Aurel adalah temanku. Kami bisa bercinta kapan pun kami mau, dan sebatas itulah hubungan kami. Tak pernah ku bayangkan bahwa rasanya begitu tak enak melihatnya jalan dengan lelaki lain. Ah sial, kemarin kepikiran Kak Sasha, hari ini Aurel, aku harus bisa menentukan perasaanku yang sebenarnya, batinku.

Saking fokusnya dengan isi kepalaku, sampai-sampai aku tak menyadari bahwa sedari tadi Nissa ternyata sedang duduk di kursi sebelah.

“Nissa, tumben keluar kamar,” tegurku.

“Pengennya di kamar aja, tapi kayaknya Nissa ga boleh terus-terusan tenggelam sama perasaan ga enak seperti ini,” jawabnya.

Sepertinya ia sudah merasa lebih baik. Aku pun tersenyum melihat wajah adikku itu. Akhirnya kesalahpahaman tadi bisa berakhir.

“Tapi gak berarti Nissa udah maafin Kakak ya!” seru Nissa, seakan membaca isi pikiranku. Kini raut kesal nampak kembali muncul di wajahnya.

“Ma-maksud kamu Nis?”

“Nissa belum terima kalau kak Dio sering ketemu Desy kayak gitu.”

“Aku tau Nis. Makanya aku minta maaf karena udah ga jujur ke kamu.”

“Tetap aja- tetap aja Nissa ga sudi kakak bisa dekat dengan dia.”

“Emang kenapa sih Nis? Katanya kamu udah ga peduli lagi sama Ramli. Tapi kenapa kamu masih marah gara-gara Desy sama Ramli selingkuh?”

“Ga cuma itu kak…” Kali ini nadanya terdengar bergetar.

“Ga cuma itu apa, Nis?”

Nissa hanya menggeleng. Wajahnya yang sedari tadi mengeras karena marah kini kembali terlihat lesu. Seakan ada hal lain yang menghujani isi kepalanya akibat ucapanku.

“Jawab Nis. Jujur aja sama aku.”

Ia terus menggelengkan kepala. Namun kini aku sudah tak tahan lagi. Sudah cukup semingguan ini aku melihatnya murung tanpa alasan. Sudah waktunya ia membuka mulut.

“Kalau kamu mau aku berhenti jogging dengan Desy, ya, aku ga bakal ketemu dia lagi. Ga masalah, karena bagi aku kamu jauh lebih penting dari dia. Tapi aku juga ga bisa terus-terusan lihat kamu murung kayak gini Nis. Mana Nissa yang biasanya ceria di rumah? Yang selalu bikin rumah jadi rame. Capek aku lihat kamu murung terus kayak gini, Nis.”

Nissa tertunduk mendengar ucapanku. Ku lihat air mata Nissa mulai menetes. Tangannya terlipat di dada, badannya bergetar. Dengan melihat ekspresinya saja aku bisa menebak bahwa memang masalahnya lebih besar dari sekadar Ramli. Pasti ada hal yang…

“Semua karena Desy…” ucapnya tiba-tiba. “Dia punya semuanya kak. Waktu kakak grebek Nissa di tempatnya Ramli minggu lalu, ternyata Desy sempat fotoin Nissa dari luar. Foto Nissa pakai pakaian bra sama celana dalam aja. Te-terus foto itu dia pakai buat ancamin Nissa. Kalau… kalau Nissa gak turutin mau dia, dia ngancem bakal nyebarin foto bugil Nissa ke sekolah.”

Ia menatapku dengan matanya yang telah penuh basah. Hidungnya kembang kempis menahan emosinya yang tak tertahan. “Sekarang… sekarang, Nissa tiap hari kerjain PR dia, ngangkatin barang-barang dia di sekolah, ngelakuin itu di depan semua orang, aku tersiksa Kak. Malu aku tiap hari dirundung kayak gitu. Berat banget langkah Nissa buat berangkat sekolah, rasanya sakit tiap pagi harus lihat muka dia.”

Aku mengepalkan tangan dengan geram. Kini aku mengerti segalanya, sangat wajar jika Nissa ternyata menjadi murung saat ini. Perempuan yang beberapa hari ini ku temui ternyata tak lebih dari seorang tukang bully pengecut. Aku sungguh tak menyangka, apalagi jika mengingat betapa menyenangkannya menghabiskan waktu bersama Desy tiap pagi. Aku bahkan sempat berpikir bahwa dia berpikiran dewasa dan bisa menjadi tempat curhat yang baik.

Aku tak bisa melihat Nissa menangis lagi. “Besok akan aku tegur dia Nis. Akan ku pastiin dia ga berani ganggu kamu lagi.”

“Ja-jangan Kak! Dia justru akan nyebarin kalau tau Nissa mengadu tentang ini.”

“Terus aku bisa apa Nis? Aku bakal lakuin apa pun buat bantu kamu.”

Ting

Pada saat bersamaan, muncul notifikasi pesan dari ponselku. Dari Desy, namun kali ini aku sama sekali tak tertarik melihat pesannya. Ia ternyata tak sebaik yang ku pikir. Sebaliknya, Nissa justru memerhatikan pesan itu dengan seksama. Tangannya langsung menarik ponselku mendekat.

“Kak?”

“Iya Nis.”

“Kakak janji bakal lakuin apa pun buat Nissa?”

Aku menyipitkan mata ke arahnya. Samar-samar aku bisa melihat senyum di wajahnya. Pasti ia sedang memikirkan hal yang aneh. Namun janji adalah janji, aku harus membantu adikku lolos dari masa yang berat ini.

“Iya Nis, kakak janji.”

Aku sudah berpakaian dengan rapi siang ini. Ada pertemuan yang harus ku jalani. Dengan tubuh wangi aku pun beranjak meninggalkan rumah. Tak perlu waktu yang lama aku sudah menjemput perempuan yang ku tuju. Seorang perempuan berambut panjang, berlesung pipi, dan hidung mancung. Perempuan itu ialah Desy.

“Setelah beberapa hari ini sering ngabisin waktu bareng, akhirnya kita bisa jalan bareng ya,” ucapnya di motor.

Aku hanya mengangguk saja. Perjalanan siang ini ialah rencana Nissa. Setelah membaca pesan Desy yang mengajakku jogging semalam, ia langsung membalasnya dengan, “Bagaimana kalau jalan-jalan aja pas siang?” Dan, kebetulan pula Desy menerima ajakanku… maksudku ajakan Nissa itu.

Tujuan kami adalah bioskop. Desy yang memilih filmnya. Sebuah film bergenre horor Hollywood. Namun, berkebalikan dengan pilihannya, Desy justru ternyata sangat penakut. Sepanjang awal film saja ia telah beberapa kali menempelkan kepalanya di pundakku. Sekilas aku jadi teringat pada Aurel yang juga memiliki reaksi serupa kala menonton horor. Dan, karena teringat pada Aurel pula, aku jadi tahu satu cara untuk membuat Desy berhenti merasa takut.

Ku raih telapak tangannya dengan tanganku. Ku genggam dengan lembut. Jemariku masuk ke celah jemarinya. Sesuai dugaan, ia menerimanya tanpa protes. Ia menengok ke arahku.

“A-apa?” tanyaku.

“Ng-nggak kok. Filmnya seru ya,” jawabnya dalam kegelapan. Ku tengok balik ke arahnya. Seandainya tak jahat kepada Nissa, sebenarnya Desy adalah perempuan yang begitu menawan.

Seiring berjalannya film, Desy semakin menempel padaku. Aroma parfumnya yang feminin memancar ke hidungku. Dadanya menempel ke arah pundak kiriku. Rasa kenyal dadanya menekan tubuhku. Rasanya dada Desy berukuran tegak maju dengan bulatan yang berukuran sedang, terkaku. Tanpa ku sadari, perhatianku pada film kini beralih. Penisku pelan-pelan penisku sudah mulai tegang.

Ku lepaskan tanganku dari genggamannya. Ku gunakan tanganku untuk merangkul pundak Desy. Tubuhnya begitu kencang karena rajin berolahraga. Kira-kira hampir sekencang Mama-lah.

Sambil tetap melirik ke arah layar, tanganku perlahan-lahan menyentuh area sekitar pundaknya lalu masuk ke dalam kardigannya. Ia nampaknya tak protes. Tanganku langsung turun ke arah lengan atas, memijat-mijat lengannya yang kencang. Bergerak naik menyentuh kulit pundaknya yang hanya dilapisi oleh seutas tali tanktop yang tipis. Nafas Desy terasa lebih deras dari sebelumnya. Sepertinya ia sadar akan ke mana arah perbuatanku selanjutnya.

“Lanjutin ga Des?” tanyaku, sambil berbisik di telinganya.

Sambil menggigit bibir, ia mengangguk. Tanganku kini mulai meremas payudara Desy dari luar tanktop. Ku masukkan jariku melalui celah ketiaknya. Menyentuh lapisan luar branya, lalu menyelusup masuk ke menyentuh kulit payudaranya.

“Hhhh,” erangnya tiba-tiba. Beruntung tak ada orang di barisan belakang. Bioskop memang sedang cukup sepi siang ini.

Aku menyentuh puting payudaranya yang sudah tegak. Memelintirnya dengan pelan. Suhu hangat yang terasa dari balik branya membuatku tanganku semakin nyaman. Ku perhatikan tanganku yang nampak naik turun di dalam tanktopnya. Desy hanya bisa berpegangan dengan pahaku. Ku lihat matanya juga sudah tak fokus lagi menonton film.

Ku mainkan putingnya selama beberapa menit dengan satu tanganku. Dengan menyentuhnya dari luar saja, aku menyadari bahwa payudara Desy berada di tengah-tengah jika dibanding payudara Mama yang kecil namun kencang dan payudara besar Nissa. Payudara Desy, meski lebih kecil dari Nissa namun tetap berisi dan memiliki tekstur yang kencang. Tekstur payudaranya yang begitu kenyal dan kencang membuat penisku bergerilya tak karuan. Tangan kananku langsung menarik retsletingku turun, ku tarik penisku keluar.

Desy tersentak melihat perbuatanku. Nampak penisku yang berurat sudah mengacung keras.

“Besar banget.”

Aku hanya mengangguk lalu mulai mengocok penisku sambil tetap memainkan payudaranya. Ku lihat wajah Desy sudah berkeringat. Tatapan sayunya semakin menjadi setelah melihat penisku. Sesekali ia menjilati bibirnya dengan tatapan nafsu. Ku tarik tangannya ke penisku.

“Kamu mau pegang?” ia balik mengangguk.

Pelan-pelan tangannya meremas penisku, lalu mengocoknya naik turun. Ahhhh, aku menahan desahanku. Sesekali ia membasahi tangannya dengan air liur, membuat rasa kocokannya semakin legit.

Aku tak mau kalah. Ku dekatkan tubuh Desy, membuat tubuh kami kini saling condong ke arah satu sama lain. Tangan kananku lalu menyelusup ke celah pinggangnya. Masuk langsung ke balik celana dalamnya. Menyentuh vaginanya yang terasa baru dicukur, lalu menyentuh klitorisnya. Menyentilnya ke kiri dan ke kanan berulang-ulang. Terasa begitu basah dan hangat di bawah sana.

“Ahhh,” kocokannya sempat berhenti begitu aku menyentuh vaginanya.

Ia menarik wajahku, lalu memagut bibirku dengan penuh birahi. Rasa lidahnya begitu hangat, aroma tubuhnya begitu wangi, membuatku semakin bernafsu. Kami berciuman tanpa peduli lagi pada apa pun. Tangannya masih mengocok penisku, tanganku masih memainkan vagina dan payudaranya.

“Desy…”

“Ya?”

“Mau taruhan?”

“Taruhan apa hhh?”

“Siapa… ahhhh…. yang bisa bikin orgasme duluan dia yang menang.”

“Lalu hadiahnya apa ahhhh?” ucapnya sambil menatapku sayu.

“Terserah yang menang Deshh.”

Bersamaan dengan itu, Desy langsung menundukkan kepalanya. Ia mulai mengulum penisku sepanjang yang ia bisa. Namun karena posisinya agak menyamping sehingga hanya sebagian saja yang bisa masuk ke mulutnya. Taruhan telah dimulai.

Rasa kulumannya ternyata begitu nikmat. Ia begitu profesional memainkan penisku. Sial, ingin sekali ku telanjangi dia saat ini. Oral seks darinya membuatku terbang ke awang-awang. Jangan sampai aku kalah.

Ku angkat naik paha Desy ke atas kursi. Membuat kakinya memanjang hingga dua kursi ke samping. Dengan posisi agak berbaring lebih mudah bagiku untuk menyentuh vaginanya. Ku tarik turun celana dan celana dalamnya, memamerkan pantat langsingnya yang bulat. Pantat yang bahkan mampu menarik perhatian dalam kegelapan bioskop. Ku kangkangkan kedua paha Desy. Lalu tanpa aba-aba aku langsung memasukkan dua jariku ke dalam vaginanya yang telah banjir.

“Ahhhh,” desah Desy, sambil berpegangan pada penisku.

Jadilah di bioskop kali ini kami saling berlomba membuat diri satu sama lain orgasme. Ia terus mengulum dan mengocok penisku dengan cepat, sedangkan aku mencolok-colok vaginanya sambil memelintir putingnya. Desahan tertahan yang hanya bisa terdengar oleh kami berdua terus bergelora. Pantat Desy yang semakin menaik seiring sentuhanku pada vaginanya. Begitu juga pahaku yang semakin mengencang. Rasanya aku akan kalah sebentar lagi.

“Yo, aku ga tahan lagi,” ucap Desy sambil membenamkan wajahnya pada pahaku.

Mendengar itu, aku semakin bersemangat untuk membuatnya orgasme duluan. Ku percepat gerakan tanganku hingga suaranya terdengar cukup nyaring. Tanganku bergerak cepat keluar masuk vaginanya, begitu cepat sampai-sampai cairan vaginanya berceceran keluar. Tak tak tak, begitulah suara jariku. Tubuh Desy semakin menggeliat tak karuan. Kakinya mengejan lebar hingga, kaki kirinya telah jatuh ke bawah kursi. Ia juga tak mau kalah, tangannya mengocok penisku begitu kencang.

Oh, kapan dia cum… Tanganku semakin cepat keluar masuk. Saking cepatnya, rasa pegal mulai terasa di tanganku. Makin lama semakin sakit. Lendir vaginanya mulai menetes sedikit, sebelum akhirnya Desy mendesah pelan.

“Yo, ini aku cum, aku cum, aku cuuu….mmm….”

Dan benar saja, sontak pantatnya terangkat tinggi, sampai hampir melewati tinggi kursi depan kami. Sebelum akhirnya tersentak ke bawah lalu tubuhnya mengencang. Semprotan kecil cairan keluar menerjang jemariku. Ia orgasme dengan liar. Tangannya meremas-remas bajuku. Jari kakinya mengait pada sandaran kursi agar tak terjatuh. Sambil menengadah menatapku, ku lihat matanya memejam erat. Tubuhnya terlipat bagai ikan yang meninggalkan saat orgasme kali ini. Desahan tak henti terkomat-kamit dari mulutnya.

Ia begitu beberapa lama sebelum tubuhnya berhenti bereaksi. Lalu terguling hingga akhirnya benar-benar terjatuh ke bawah kursi. Beruntung aku sempat menahan kepalanya terlebih dahulu. Aku tahu kalau Elma dan Mama bisa mengeluarkan cairan yang jauh lebih banyak, namun reaksi orgasme Desy adalah keindahan yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Ia benar-benar mengejan dan tubuhnya meringkuk tak peduli tempat.

“Aku menang, Des,” ucapku sambil mengelus rambutnya. Terasa penisku sudah berdenyut-denyut setelah sudah hampir menumpahkan sperma tadi.


Desy

“Jadi ini hadiah yang kamu mau, Yo?” ucapnya sambil mengambil bantal berwarna putih dan memeluknya.

Sebagai hadiah dari kemenanganku, aku meminta agar Desy ikut denganku untuk menyewa kamar hotel. Karena kalah taruhan ia tentu saja mengikutinya… namun, sepertinya ia akan tetap ikut meski tak kalah taruhan. Kini kami sudah berduaan di kamar.

Tanpa membuang waktu, aku langsung mendatangi Desy. Melumat bibirnya dengan lembut hingga ia terbaring. Sambil menindih, aku mencabut kardigan Desy, lalu melepas naik tanktop hitamnya. Nampak bra hitam dengan indah menutupi payudara Desy. Ku lepas pengait bra itu lalu melepasnya perlahan. Memang benar, payudara Desy begitu sekal dan kencang. Payudaranya terangkat dengan tegak dengan puting yang sedikit mengacung ke atas. Puting payudara Desy berwarna coklat dengan areola yang lumayan besar. Pemandangan yang indah terlebih jika melihat perutnya yang memiliki garis otot dan tangannya yang agak kekar. Tubuh Desy benar-benar mengingatkanku pada Mama, namun dengan warna kulit yang lebih eksotis.

Dengan penuh nafsu ku jilati puting payudaranya. Bergantian puting itu ku jilati hingga mengeras dengan sempurna. Desy hanya bisa memegang kepalaku, menikmati perlakuan yang diperolehnya.

Sudah cukup pemanasannya. Aku tak tahan lagi. Aku sudah hampir orgasme di bioskop tadi, kini waktunya penisku menuntaskan birahi yang menggebu. Ku lepaskan seluruh pakaianku dan celana Desy. Kini kami berdua sudah telanjang bulat. Dengan tinggi tubuh yang nyaris identik, kami berdiri berciuman. Ku sandarkan dia pada dinding kamar. Tangan Desy mengocok-ngocok penisku sambil tetap memagut bibirku.

Langsung ku gendong tubuhnya seperti yang ku lakukan pada Aurel di ruang kelas beberapa hari lalu. Ternyata tubuh Desy jauh lebih ringan dari yang ku duga. Dengan cukup mudah aku mengangkatnya dengan melebarkan kakinya. Ia berpegangan ke leherku dengan wajah yang memerah. Penisku kini telah menyentuh sisi luar vaginanya yang basah.

Ku biarkan posisi kami seperti itu agar bisa bergesekan dengan vaginanya dulu. Hingga beberapa lama kepala penisku telah basah dan siap untuk mencicipinya. Blassss, dalam satu sentakan penisku berhasil masuk ke dalam vaginanya.

“Se…sak… ba…nget…” desah Desy, begitu penisku amblas ke vaginanya.

“Ahhh enak banget vaginamu Des.”

Karena masih begitu muda, ia baru 18 tahun, dan rajin berolahraga, rasa vagina Desy mampu terasa begitu sempit. Jepitannya begitu kencang bagai sedang memijat penisku. Sambil mengangkat badannya, tubuh Desy kini naik turun memompa penisku.

Ku lihat wajahnya begitu ayu dengan rambut tercepol. Memamerkan leher jenjangnya yang ku jilati bertubi-tubi di tengah percumbuan kami. Tulang selangkanya yang timbul entah mengapa justru membuat tubuhnya jadi semakin seksi. Saking kencangnya, payudara Desy hanya bergetar namun tak naik turun seiring dengan genjotanku.

Desy mengangkat satu tangannya naik, membuat ketiak kanannya terekspos. Ketiak yang mulus dan tak berbulu, sambil menggigit bibir aku menghujam ketiaknya. Menjilati ketiaknya tanpa memperlambat genjotan kami. Desy makin mendesah tak karuan.

“Ahhh Yo, ahhh seandainya kamu bukan kakak Nissa.”

“Hhhh kenapa emang kalau aku kakaknya Nissa Des?”

“Iya, kenapa emang kalau dia kakak Nissa?” ucap suara dari arah meja.

Dengan terkejut tubuh Desy langsung mendorong tubuhku menjauh. Sambil berjalan menjauh ke pojok ruangan, ia menatap sosok itu bagaikan sedang melihat hantu. Di meja telah nampak Nissa, menggenggam ponsel, merekam segala yang telah terjadi.

“Ke-kenapa kamu di sini?!”

Nissa tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Sambil tersenyum ia menaruh ponselnya ke tas, lalu berjalan ke arahku. Ia lalu meraih wajah dan memagut bibirku.

“Terima kasih ya, kak,” ucapnya, lalu lanjut menciumku buas.

Ku lirik ke arah Desy yang nampak semakin terkejut. Setelah kaget atas kehadiran Nissa, ia semakin kaget lagi melihat Nissa mencium bibir kakaknya yang sedang telanjang.

“Kakak mau Nissa pakai jilbab atau ngga?”

Nissa

“Pakai Nis,” ucapku sambil mendorongnya ke ranjang. Dengan penuh nafsu yang sudah tertahan sejak tadi, aku tak lagi melakukan pemanasan. Langsung ku buka baju, bra, celana, dan celana dalam Nissa dengan kasar. Membuatnya telanjang bulat. Setelah beberapa hari akhirnya aku bisa melihat payudara besar Nissa lagi.

“Kamu masih kaget yah?” ucap Nissa, sambil menikmati gesekan penisku ke vaginanya. Vagina Nissa juga sudah basah tanpa perlu pemanasan dulu.

“Apa-apaan ini? Dan kalian kok…”

“Emang kita kayak gini kok. Lihat kontol Kak Dio ini, siapa sih yang ga nafsu lihatnya? Kak Dio juga nafsu banget lihat toket Nissa yang gede.”

Desy langsung mengerang kecil, lalu segera mengambil pakaiannya.

“Kamu mau lari? Nissa punya semua fotonya loh. Boleh aja kamu sebarin foto Nissa pakai bra sama celana dalam, tapi Nissa punya video kamu lagi ngentot hihihihi.”

Ku lirik langkah Desy seketika terhenti. Ia langsung buru-buru meraih tasnya, membongkar isinya seakan sedang mencari sesuatu.

“Kenapa? Kamu mau rekam Nissa ngentot sama kakak? Cari dulu HP kamu kalau gitu. Udah Nissa amankan selagi kamu asik nikmatin kontol Kak Dio.”

Seakan putus asa, Desy lalu terduduk di atas ranjang. Tubuhnya yang masih telanjang kini nampak begitu lemas.

“Mau kamu apa, Nis?”

Aku semakin bernafsu melihat drama yang sedang terjadi di depanku. Penisku yang sedari tadi masih bergesekkan kini ku arahkan masuk ke dalam vagina. Dalam tiga kali sentakan, penisku pun berhasil masuk penuh ke vagina Nissa.

“Ahhhh Kak Dio, Nissa suka banget ahhh.”

“Ah Nis vaginamu selalu nikmat buat aku.”

“Memek Kak, ahhh, bukan vagina.”

Ku genjot tubuh adikku dengan begitu bertenaga. Membuatnya berteriak tak karuan. Jilbabnya semakin berantakan seiring gerakannya yang tak teratur. Payudara Nissa bergerak naik turun bagaikan buah melon. Ahh nikmatnya tubuh adikku.

“Hhhh kamu mau tau apa mau aku? Sini men…dekat,” tegas Nissa, membuat Desy mendekatkan posisi duduknya ke Nissa.

Dengan nakal Nissa langsung mengarahkan tangannya ke payudara Desy. Meremasnya berkali-kali. Desy sempat menahan tangan Nissa, namun dengan satu tatapan saja ia langsung menyadari bahwa sebaiknya mendengarkan saja. Kini ia harus menuai apa yang telah ia tanam. Ia yang memulai segala hal ini. Nissa tersenyum melihat kepatuhan Desy lalu mulai memainkan puting bekas sahabatnya itu.

Perlahan-lahan badan Desy mulai melemas. Ia tak lagi melawan nikmat yang dirasakannya. Ahhh ahhh, samar-samar desahannya terdengar. Sesekali ia masih berusaha menggigit bibir agar desahannya tak terdengar. Kakinya juga sudah mulai merapat seakan sedang menekan vaginanya.

“Toket kamu bagus juga ya Des. Pantas suka dipamerin, kalau jogging cuma pakai sport bra aja supaya dilihatin orang-orang. Tapi toket kamu ga sebesar aku,” ia lalu menarik tangan Desy untuk memegang payudaranya. “Besar kan?” ucapnya sambil menggunakan jari Desy untuk menekan-nekan putingnya.

Desy mengangguk, ia tetap memegang payudara Nissa tanpa dituntun lagi. “Hhhh kok diam aja? Aku tanya, besar atau nggak toket aku?” tanya Nissa lagi. Ia benar-benar menikmati perannya kali ini. Orang yang mem-bully-nya selama ini gantian ia bully di atas ranjang.

“Be-besar, Nis,” jawab Desy.

“Ahhh Nis, aku udah mau cum,” ucapku. Sedari tadi genjotanku tak ku hentikan. Bahkan, semakin lama semakin nikmat pula rasanya.

“Hhhh Nissa juga kak. Nissa juga.”

Sambil melihati tubuhnya dari atas, ku lihat mata Nissa sudah sayu. Keringat membasahi dahinya. Jilbab ketat yang mengikat kepalanya membuat pemandanganku semakin mengundang nafsu.

“Ahhh Nissa suka banget kontol kakak.”

“Kakak pengen cum Nis.”

“Nissa juga hampir cum, kak.”

Kali ini Nissa menarik kepala Desy mendekat.

“Jilatin toket Nissa!” seru Nissa.

Tanpa berkata apa-apa Desy langsung menjilatinya. Nissa nampak begitu menikmati jilatan Desy. Ia menarik kepala Desy dengan kencang, membuat Desy kesulitan bernafas di lapisan payudara yang kenyal itu.

Penisku kini telah mencapai ketegangan maksimal. Kini spermaku sudah di ujung penis. Sedikit lagi aku akan mengeluarkan laharku.

“Nis, aku cum di mana?”

Nissa langsung menarik Desy. Mengarahkan kepala Desy agar terbaring di sebelahnya, berbagi bantal dengannya. Desy mengikuti perintah Nissa.

“Di muka kita, kak,” ucap Nissa, sambil menunjuk wajah mereka yang bersebelahan. Wajah cantik yang sedang dilanda nafsu.

Buru-buru ku tarik keluar penisku. Spermanya benar-benar sudah hampir keluar. Tanpa mengocoknya lagi. Spermaku langsung menyemprot keluar. Semprotan pertama mengarah ke dada hingga dagu Nissa, membuat jilbabnya ternoda oleh spermaku. Baru pada semprotan kedua penisku benar-benar mengarah ke wajah mereka. Crot crot crot… Spermaku yang kental dengan bebas menerjang wajah Nissa dan Desy bergantian. Hidung dan bibir Nissa kini juga dibasahi oleh spermaku, sedangkan Desy menerima lebih banyak sperma, mulai dari jidat, mata, hidung, dan bibirnya kini dilumuri sperma.

“Ahhhh,” desahku kencang.

Tubuhku mengejang beberapa kali. Saking nikmatnya aku sampai tak bisa menopang tubuhku lagi. Aku terbaring menimpa tubuh mereka berdua. Sambil berbaring di atas perut mereka, ku tatap ke arah wajah mereka berdua. Mereka memang dua perempuan yang berkebalikan. Desy dengan rambut terikat dan wajah bule memiliki kesan seperti anak gaul yang populer. Tubuh seksi, kulit eksotis, ia terlihat seperti model dari sampul majalah. Sebaliknya Nissa dengan jilbab dan wajah alimnya memiliki kesan layaknya perempuan kutu buku yang biasa kita temukan di kelas. Hanya saja bedanya, Nissa memiliki paras yang cantik dan payudara yang luar biasa besarnya. Tak ku sangka kedua perempuan ini terbaring dengan wajah yang dilumuri spermaku.

Tepat kala ku pandangi, tiba-tiba Nissa bermanuver lagi. Ia langsung menghujami bibir Desy dengan lidahnya. Meski tiba-tiba, Desy perlahan mulai mengikuti tempo Nissa. Pada fase ini aku tak lagi tahu apakah Desy terpaksa atau tidak kala mengikuti keinginan Nissa.

“Jilatin sperma di muka Nissa, Des.”

Desy langsung mengangkat tubuhnya, lalu mulai menjilati wajah Nissa. Gumpalan sperma di hidung dan mulut Nissa ia jilat dan telan hingga habis. Bahkan area yang tidak terkena lelehan sperma seperti jidat dan mata pun turut dijilatinya dengan penuh nafsu. Gantian Nissa yang menjilati sperma di wajah Desy. Hanya saja Nissa tidak melakukannya sehandal Desy. Banyak lelehan sperma di wajah Desy yang akhirnya menetes jatuh karena tidak sigap diisap olehnya.

“Kamu mau urusan foto-foto ini berakhir kan?” tanya Nissa.

“I-iya.”

“Kalau gitu kamu punya satu tugas lagi, lalu setelah ini ga akan ada ancaman lagi, baik dari Nissa, maupun dari kamu…” tanya Nissa. Meski diterpa nafsu, logika tetap mampu menguasai pikirannya hingga tak lupa dengan alasan mengapa ia ada di sini saat ini.

“Tugas kamu, sekarang jilatin memek Nissa,” ucap Nissa.

Ku lihat wajah Desy nampak mengernyit. Menjilati payudara dan berciuman adalah mungkin bisa diterima, namun menjilati vagina mungkin benar-benar melebihi batas toleransinya. Bagaimana pun sebagai perempuan, ia tahu persis betapa sakralnya vagina. Dan, tugas kali ini untuk menjilati vagina benar-benar di luar dugaannya.

“Kamu mau video kamu nyebar aja?”

“Eng-enggak Nis,” balas Desy lalu menurunkan tubuhnya ke sela paha Nissa.

Matanya sempat bertatapan denganku, nampak raut yang tak bisa ku tebak. Entah dia malu, marah, atau justru menyukai apa yang terjadi, aku tak tahu. Rambutnya yang tercepol sudah mulai tak rapi. Nissa mulai mendesah, pertanda Desy sudah mulai menjilati vaginanya. Aku langsung berjalan ke arah bawah tubuh Nissa untuk benar-benar melihat proses oral seks yang diberikan Desy.

“Ahhh yang kencang sedotnya,” tegur Nissa. Desy langsung memperkencang sedotannya hingga suaranya terdengar jelas. Slurrrppp. “Ya, kayak gitu. Kamu jago sayang,” ucap Nissa lagi.

Desy membalas pujian itu dengan meremas payudara Nissa.

“Ahhh kamu tau gak gimana aku bisa masuk sini?”

Desy yang sedang sibuk menjilati vagina tentu saja tak menjawab. Maka Nissa langsung menjawab pertanyaannya sendiri, “Kita memang udah rencanain ini Des, ahhh, awalnya kita ga berencana kamu bakal mau diajak ngamar hari ini juga. Tapi memang kamu binal ahhhhh, enaknya Des, jadinya hari ini kamu udah langsung ngentot aja sama Kak Dio. Jadi tadi sebelum masuk kamar Kak Dio udah nyelipin kartu kunci kamar di depan pintu tanpa kamu tahu ahhhh. Tahu-tahu pas Nissa masuk kamu udah di atas penis Kak Dio aja.”

Ku lihat Desy semakin bersemangat menjilati vagina Nissa. Kini ia juga menggunakan dua jarinya menusuk vagina Nissa, membuat adikku semakin merasa nikmat. Aku juga mulai bernafsu lagi. Ku tempatkan diriku nungging di samping Desy, lalu kami pun bersama-sama menjilati vagina Nissa.

“Ahhh kak Dio,” desah Nissa.

Aku dan Desy bagai berebutan vagina Nissa. Aku menjilati area klitoris sedangkan ia menjilati area labia minora Nissa. Nissa semakin tak karuan, dijilati oleh dua mulut. Pinggangnya bergerak naik turun menikmati gerakan kita.

“Ahhh Des… Kak Dio… Nissa mau cum…”

“Cum aja Nis, keluarin ke muka kita,” jawab Desy tiba-tiba. Ia lalu memijit keras puting payudara Nissa dengan tangannya.

“Ahhh iyaa… iyaa… ini aku, ini aku cuuummmm…”

Tubuh Nissa lalu mengejan kencang. Lalu berguling kecil, pantatnya terangkat, kakinya terlipat naik. Paha licinnya yang sudah dipenuhi peluh keringat kini menjepit-jepit kepala kami. “Ahhhhh,” teriaknya berulang. Setumpuk cairan orgasme keluar dari vaginanya, menyirami wajah kami dengan deras. Nissa masih tersengal-sengal, payudara besarnya naik turun dengan kencang. Ku tatap Desy tertawa kecil dengan wajah basahnya. Rambutnya yang tercepol juga nampak mengkilat karena tersemprot cairan kenikmatan Nissa.

Tanpa menunda waktu lagi, ku angkat tubuh Desy. Ku buat nungging tubuhnya. Tungkainya yang jenjang kini telah dipenuhi keringat, tubuhnya begitu basah bagaikan sehabis jogging. Ia dengan sigap langsung menonjolkan pantatnya yang bulat dan kencang. Ku dorong masuk penisku hingga masuk semua. “Ahhhhh,” teriaknya.

Dengan cepat ku dorong keluar masuk penisku dari vagina Desy. Vaginanya benar-benar telah basah, bahkan area sekitar pantatnya pun telah basah. Jepitan vaginanya terasa jauh lebih sempit dengan posisi ini.

Pantat Desy benar-benar bulat dan seksi. Entah dorongan dari mana, ku basahi jariku dengan cairan di sekitar pantat Desy lalu ku dorong masuk. Plop, kedua jariku berhasil masuk ke pantat Desy.

Desy kini mengerang tak karuan. Suaranya yang sedikit serak mendesah kencang memenuhi seisi kamar. Ia sedang menikmati kepuasan yang diperoleh dari kedua lubangnya. Kali ini gantian ia yang menarik tangan Nissa untuk memainkan payudaranya. Meski masih lemas, Nissa segera menempatkan kepalanya di bawah dada Desy. Alih-alih hanya memegang payudara Desy, Nissa justru menjilati dengan kencang. Desy makin liar tak kepalang, vaginanya semakin basah.

Ku tatap penisku yang besar keluar masuk dari vagina Desy. Semakin sering aku bersenggama semakin bangga saja diriku pada penisku ini. Ia telah membuat lima wanita sejauh ini menggila tak karuan. Apalagi kali ini yang ku nikmati adalah perempuan berdarah blasteran dengan tubuh seksi. Makin lama menggenjot Desy semakin terasa juga spermaku akan keluar lagi.

“Enak kan kontol Kakak Nissa?”

“Iya Nis, enak… banget kontol Dio.”

“Kamu suka kontol kak Dio, Des?”

“Suka banget Nis ahhh.”

“Tau gini kenapa ya dulu kita ga threesome aja bareng Ramli?”

“Ogah, kontolnya kecil Nis. Yang ada kita ditinggal tidur habis dia cum.”

“Kan kita bisa saling gesek memek habis itu.”

“Ahhhh kamu jorok banget Nis. Sama Dio aja kita threesome.”

“Emang gesek memek sama Nissa itu jorok ya Des?”

“Enggak Nis, ahhhh. Aku mau.”

“Besok jam istirahat ke kamar mandi sekolah mau gak?”

“Ahhh Nis aku ga tahan.”

“Mau gak?”

“Mau ahhhh…”

“Kamu mau beneran, Des?”

Sugesti Nissa benar-benar memancing birahi Desy. Vaginanya semakin basah. Denyut di vaginanya yang menekan penisku juga tak kunjung berhenti. Pantat Desy seakan makin menjepit jariku. Desy dengan penuh tenaga menggerakkan pinggangnya maju mundur.

“Mau Nis, beneran mau ahhhhhh aku cuuummmm.”

“Cum Des, cum yang banyak.”

“Iya sayanggg ahhhh.”

Pantat Desy seketika menaik ke atas, membuat penisku semakin terjepit. Cairan dari vaginanya menyemprot kencang keluar. Akhirnya ia mengalami orgasme. Ia mengejan cukup lama, hingga akhirnya meringkuk lemah di samping Nissa.

“Ahhh Nis, aku udah keluar…” ucapnya sambil baring di sebelah Nissa.

Penisku sudah berdenyut-denyut ingin mengeluarkan sperma. Ku lihat wajah Nissa yang sepertinya masih memiliki tenaga lebih. Langsung ku tarik tubuh Nissa.

“Kamu masih bisa kan Nis? Aku udah mau keluar.”

Sambil tersenyum, Nissa langsung mengangkangkan kakinya. Vaginanya masih dilumuri oleh cairan. Payudaranya nampak mengkilat di bawah sinar lampu.

Ku dorong tubuhku ke arahnya. Dengan mudah penisku yang basah masuk ke vaginanya. Ku genjot tubuh Nissa. Ia meraba wajahku sambil tersenyum, seakan sedang menikmati momen. Ku sedot kedua payudaranya bergantian. Hingga akhirnya, kenikmatan tiada lara itu sudah terasa begitu dekat.

“Aku udah mau cum lagi Nis.”

“Sini kak,” jawab Nissa, sambil menekan payudaranya.

Langsung ku tarik penisku keluar. Ku arahkan ke kedua payudara Nissa. Ahhh, jepitannya memang tak ada duanya. Payudara yang besar dan kenyal itu bergerak naik turun seiring gerakan penisku. Bahkan penisku jadi tak terlihat begitu besar kala disandingkan payudara adikku ini. Pemandangan ini membuatku tak bisa menahan lagi.

Rasa nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ku rasakan cairan spermaku mengalir ke atas. Menujur kepala penis lalu langsung menyemprot bebas menuju wajah Nissa.

“Ahhh Nissa, susumu Dek.” Crot… crot… crot… dengan deras spermaku mengucur ke jilbab Nissa. Jepitan payudara Nissa dengan sangat berhasil menguras isi bola zakarku. “Ahhhh,” desahku, saat semprotan terakhir keluar.

Dengan begitu lega aku mengelus-elus rambut adikku. Aku masih terduduk di atas perutnya, menyaksikan wajah Nissa yang dipenuhi sperma. Kali ini tanpa diperintah Desy langsung mendekat, mengisap habis sisa sperma yang menempel di wajah Nissa. Mereka lalu berciuman dengan penuh peluh.

Kami beberapa kali bersenggama lagi hingga malam hari tiba. Desy dan Nissa bergantian menikmati genjotan penisku hingga orgasme beberapa kali. Saking bugarnya tubuh Desy, ia sanggup untuk bersenggama sampai delapan kali. Badan berototnya yang dibalut keringat nampak semakin mencolok tiap kali ku cumbu.

Nampak Nissa dan Desy juga telah benar-benar berdamai, bahkan mungkin bisa bersahabat kembali setelah ini. Foto dan video aib yang mereka simpan masing-masing kini telah dihapus. Tak ada lagi ancaman di antara mereka

“Ga ada dendam kan?” tanyaku, sebelum kami pulang.

“Ga ada,” ucap mereka kompak. Mereka pun sempat bersalaman sebelum berpisah.

Bersambung

500 foto chika bandung pakai baju sexy keliatan memek nya
Kimcil
Gadis Imut Dengan Payudara Baru Tumbuh
Cerita ngentot gadis bertoket gede waktu magang
hamil muda
Cerita dewasa menikmati tubuh wanita yang sedang hamil muda
istri teman sexy
Istri Temanku Yang Aduhai
rintihan Kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Istriku Bercinta Dengan Pembantu
Foto memek cewek amoy yang cantik suka ngangkang
pacar anak kampung
Cerita ML dengan pacar baru ku yang masih perawan waktu rumah nya sepi
gadis binal
Calon Pengantin Wanita Yang Berselingkuh Ayah Mertua Di Saat Resepsi Pernikahan
Nikmatnya Bercinta Dengan Tanteku
mama muda memek
Nikmatya Ngentot Ibu Muda Tetangga Ku
Foto bugil Rino Sakura gadis cantik tanpa sensor
mtsmadrasah jilbab bugil
Nikmatya Ngentot Cewek Madrasah Berjilbab
ibu guru mesum
Cerita hot tak sengaja ngintipin guru bahasa inggris yang sedang ngentot di ruang guru
Ngentot baby sitter
Mbak Marni, Baby Sitter Yang Merawatku Dari Kecil
foto tante cantik telanjang
Foto tante girang cantik putih mulus lagi bugil