Part #17 : Masa sekali aja
Dengan raut kelelahan kami bertiga duduk di sofa lobi hotel. Saat ini kami sedang menunggu mobil jemputan Aurel. Kebetulan Elma juga menumpang Aurel siang ini. Ya, siang ini. Kami bertiga terlalu sibuk bercinta sampai lupa akan kuliah yang harusnya kami hadiri pagi tadi.
Kemeja Aurel sudah kusut tak karuan, begitu pula roknya. Rambut pendeknya yang biasanya nampak rapi kini terlihat mengembang acak-acakan. Begitu pula Elma yang jilbabnya masih sedikit basah karena baru saja dicuci tadi begitu ia tersadar bahwa noda spermaku masih menempel di sana. Raut kelelahan jelas sekali terlihat dari kantung mata kami semua. Sesekali ku lirik Elma dan Aurel sedang memejamkan mata seakan sedang tertidur sebentar.
Beragam ekspresi nampak dari wajah mereka berdua. Jika ekspresi kepuasan nampak jelas di wajah Aurel, maka ekspresi ragu samar-samar terlihat di wajah Elma. Setelah meninggalkan kamar tubuhnya perlahan lebih lemas, bukan karena kelelahan saja, namun juga karena rasa takut untuk menghadapi rumah. Meski Harun nampaknya sudah percaya bahwa Elma menginap di rumah Aurel semalam namun tetap saja ada kemungkinan bahwa suaminya itu akan menaruh curiga. Apalagi ini adalah pertama kalinya Elma menginap di rumah seseorang sejak merantau ke kota ini.
“Senyum dong El, kok dari tadi mukanya bete gitu,” ucap Aurel. Elma hanya membalas dengan senyuman tipis saja lalu kembali pada raut seriusnya.
“Kamu ga pulang ya seharian?” tanya Kak Sasha begitu aku masuk ke rumah. Aku terlonjak sedikit kaget atas suaranya yang mendadak muncul dari belakang. Tumben rumah tak kosong di siang hari.
“Ka-kakak gak kuliah?”
“Kan tinggal nunggu wisuda.”
Ah, benar juga, kuliah S2-nya kan baru selesai. Ku lihat mata Kak Sasha yang menatapku penuh penasaran. Aku pasti terlihat berantakan ya? pikirku. Meski sempat mandi sebelum meninggalkan hotel namun tampang ku yang lusuh akibat bercinta semalaman pasti tak bisa ku sembunyikan.
“Jadi… dari mana saja kamu?” nadanya terdengar sungguh ingin tahu.
“Da-dari rumah teman Kak, main PS sampai ketiduran, hehehehe,” ucapku cengengesan. Belum pernah sebelumnya Kak Sasha menanyaiku seperti ini, biasanya kami hanya berbasa-basi kala bersua, bahkan sesekali hanya mengangguk saat tak sengaja berpapasan di rumah. Namun nampaknya belakangan ada perubahan pada sifat kami berdua. Kak Sasha hanya geleng-geleng mendengar jawabanku.
“Yaudah, buruan ganti baju sana, lusuh banget baju kamu tuh. Udah mau jumatan.”
“Siap laksanakan!” balasku sambil memberikan gestur hormat, membuat Kak Sasha tersenyum.
Sambil berganti pakaian ada hal yang mengganjal di kepalaku. Rasanya sejak tadi pagi aku baru saja melupakan sesuatu. Tugas sudah dikerjakan semua, barang-barang juga tidak ketinggalan dari hotel, solat Jumat juga belum terlewat, entah apa yang ku lupakan. Jika bisa lupa, pasti bukan hal yang penting, pikirku, sambil mengisi daya baterai ponselku yang sudah mati sejak semalam.
Ingin sekali rasanya duduk berduaan dengan Kak Sasha, sayangnya, aku masih harus ke kampus siang ini. Masih ada kelas yang perlu dihadiri. Meski sudah telanjur membolos namun hatiku masih saja merasa berat untuk melewati semua kelas sekaligus.
Kampus nampak ramai siang ini. Gerombolan mahasiswa berjalan di sepanjang area kampus sambil menunggu kelas selanjutnya dimulai. Seperti biasa, aku selalu membenci keramaian seperti ini. Percakapan yang berisik, wajah-wajah yang memperhatikan, dan teguran dari teman-teman yang tak terlalu akrab kala aku lewat seakan sedang berusaha mengganggu hariku yang sudah melelahkan ini.
Aku sedang melewati ruang dosen kala keramaian sedang terjadi di sana. Pintu ruangan dosen terbuka saking sesaknya kerumunan, membuat aku yang hanya lewat bisa mendengar isi percakapan mereka.
“Aduh kok udah langsung datang, ga istirahat dulu Pak di rumah?” tanya seorang ibu dosen yang suaranya tak ku kenali.
“Hahaha, orang kayak saya itu malah gak betah kalau ditinggal lama di rumah, Bu,” balas suara yang satunya. Kali ini suaranya ku kenali. Bukan sekadar kenal malah, suara itu, suara itu seketika membuat kakiku berhenti melangkah.
Dengan kaki tertegun aku menoleh sedikit ke arah pemilik suara itu. Benar dugaanku, pria yang sedang dikerumuni itu adalah Pak Yono, dengan mengenakan perban di kepalanya, ia sedang terduduk di sofa. Sialan, cepat banget sembuhnya. Padahal baru saja minggu lalu tubuhnya terbujur kaku dipenuhi darah kala ku banting, hari ini Ia sudah bisa tertawa ramah di hadapan orang-orang.
Aurel harus segera tahu bahwa pemerkosanya kini sudah mengajar lagi di kampus. Jangan sampai tua bangka ini berani mendekatinya lagi. Tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan Pak Yono. Ia memicingkan mata seakan berusaha meyakinkan diri bahwa ia tak salah lihat. Buru-buru aku memasang tudung hoodie-ku lalu berjalan cepat menuju kelas. Jangan sampai kami saling bersinggungan dulu.
Ternyata baik Aurel maupun Elma tak datang ke kelas siang ini. Pasti karena masih lelah, pikirku sambil tersenyum. Bangga juga rasanya bisa membuat dua perempuan sekaligus tepar seperti itu. Kabar buruknya adalah siang ini hanya ada Harun saja. Sulit rasanya harus duduk bersebelahan tanpa merasa bersalah karena sudah berselingkuh dengan istrinya semalam suntuk tadi.
“Kok Elma ga ada kabar ya dari semalam?” Harun memecah keheningan.
“Bu-bukannya dia nginep sama Aurel.”
“Iya sih, tapi masa biar telefon sama chat juga ga ada yang dibalas sampai sekarang.”
“Namanya cewek emang gitu kalau nginap bareng, suka ga mau diganggu,” ucapku, berusaha mengurangi kecurigaan Harun.
“Ngomong-ngomong, kamu juga kok ga bisa dihubungi dari semalam? Aku ngontak buat nanyain Elma masih di kafe apa ngga, tapi sampai sekarang belum dibales,” ucapnya dengan nada ketus.
Tiba-tiba aku teringat akan ponsel yang baru ku charge kala pulang ke rumah tadi. Aku langsung meraih ke arah saku, mencari ponsel yang sedari tadi memang belum ku sentuh. Hasilnya nihil. Pasti aku lupa bawa, saking buru-burunya berangkat kampus tadi. Pasti banyak pesan yang masuk sejak semalam kala ponselku mati karena habis baterai. Ku lihat wajah Harun yang sudah menaruh mimik curiga.
“Aku ga megang ponsel seharian,” ucapku, berusaha memasang wajah datar.
Ia hanya mengangkat bahu saja, lalu balik memainkan ponselnya. Sambil memerhatikan Harun tiba-tiba aku tersadar pada lebam biru pada kepalan tangannya. Tiba-tiba aku teringat pada tubuh telanjang Elma yang dipenuhi bekas lebam. Aku memang sudah tak percaya kala Elma berkata bahwa Maura, anaknya sendirilah yang menciptakan lebam-lebam itu. Mana mungkin anak berumur satu tahun bisa cukup kuat untuk melukai tubuh ibunya. Apa jangan-jangan Harun selama ini sering berbuat kasar kepada Elma?
“Tanganmu kenapa sampai biru-biru gitu?” tanyaku.
Ia seketika langsung teralih dari ponselnya, dengan tersenyum kecil ia menjawab, “Hahaha, ini mah sisa mukulin tembok di rumah,” ucapnya sambil lalu. Aku langsung memalingkan wajah menyembunyikan ekspresi curiga.
Jika dugaanku benar, maka aku paham dari mana timbulnya sifat binal Elma selama ini. Mengapa ia kemarin begitu ngotot ingin tetap bercinta bahkan sampai mengajak Aurel sekalipun. Elma bukan hanya ingin mencari pelampiasan karena telah diselingkuhi, ia juga mencari pelampiasan atas tindak kekerasan yang telah dialaminya di rumah selama ini. Sekilas tanganku mengepal kuat, berusaha menahan emosi yang seketika tumbuh di dadaku. Perempuan yang selama ini telah begitu baik padaku ternyata memiliki kisah yang kelam di rumahnya sendiri. Semoga dugaanku salah, semoga Elma bukanlah korban kekerasan dalam rumah tangga seperti yang aku pikirkan. Rasanya tak tega orang seperti Elma harus mengalami penderitaan seperti itu.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan lelah yang memenuhi isi kepala. Tanpa menghampiri Mama dan Kak Sasha yang sedang duduk menonton di ruang keluarga, aku langsung bergegas ke kamar. Tempat ponselku masih mengisi daya baterai sejak siang tadi. Ku scroll seisi pesan yang masuk di ponselku. Isinya seperti yang ku duga, barisan pesan dari Mama menanyai kenapa aku tidak pulang, Harun yang terus-terusan menanyakan keberadaan Elma, beberapa pesan dari Elma dan Aurel yang kira-kira intinya “lain kali lagi yuk!”, dan dua pesan lain yang membuatku seketika tersadar.
Desy
05:40 km sudah dimana?
06:25 ga jd datang ya… yaudah, aku pulang dulu
Pantas saja dari tadi rasanya ada yang mengganjal. Aku sudah janjian untuk jogging pagi ini dengan Desy. Aduh, padahal baru saja punya teman baru yang menyenangkan, lagi-lagi aku sudah mengecewakan. Ku ingat lagi sejenak, sepertinya waktu pukul 5 pagi aku baru saja selesai bersenggama dengan Elma selagi Aurel sudah tertidur lelap. Diriku semakin merasa bersalah saja bahwa selagi aku enak-enakkan, seorang perempuan justru menungguku di tepi jalan raya.
Maaf Des, aku beneran lupa pagi ini, dan memang seharusnya aku bisa ingat, aku tahu kalau kamu kecewa. Kalau kamu masih mau maafin aku, besok aku ‘pasti’ bakal jogging lagi di sana dengan waktu yang sama. Mungkin kita bisa ketemu lagi.
Pesan itu ku kirimkan ke Desy. Ku harap ia masih mau datang dan menerima permintaan maafku.
Malamnya, aku menghabiskan waktu dengan duduk di teras sambil melihati jalanan. Barisan kendaraan melintas dari luar pagar. Sesekali kendaraan tetangga yang berlalu membunyikan klakson untuk bertegur sapa, yang ku balas dengan mengangkat tangan. Masyarakat sekitar sini memang masih akrab satu sama lain.
Sedari tadi Nissa terlihat cemberut dan langsung masuk ke kamar setelah makan malam. Sudah beberapa hari ini ia terlihat begitu murung dan selalu menghindar sampai-sampai aku tak sempat menanyainya. Awalnya aku berpikir mungkin ia baru saja menjalani hari yang buruk di sekolah seperti kala diselingkuhi Ramli seminggu yang lalu, namun setelah berhari-hari seperti itu nampaknya memang ada yang tak beres dengan adikku. Di sisi lain, Mama sedang pergi keluar bersama Om Salim sejak selepas magrib tadi. Hmm, entah pergi ke mana mereka di malam jumat seperti ini.
Selagi tenggelam dengan pikiranku sendiri, Kak Sasha datang mengambil duduk di kursi sebelahku. Belakangan ia cukup sering mendatangiku seperti ini. Padahal ada kalanya dulu kami seakan saling cuek pada satu sama lain hingga membuat kami jarang berpapasan meski tinggal di atap yang sama.
Berduaan dengan Kak Sasha membuat dadaku bergemuruh, bukan karena terpaan nafsu seperti caraku melihat perempuan lain, namun murni karena adrenalin yang seketika melonjak. Perasaan deg-degan kala melihat senyum manisnya selalu tumbuh, terlebih sejak percakapan kami dua malam yang lalu. Entah bagaimana cara yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang ku miliki kala berjumpa dengannya.
Kami hanya duduk saja tanpa bertukar kata-kata. Sesekali Kak Sasha menyesap kopi yang dibuatnya sambil terus melihati jalanan. Begitu juga denganku yang sedari tadi meraih irisan apel di meja. Entah mengapa aku tak bisa berucap, sekadar basa-basi pun tak sanggup. Dalam keheningan, tubuhku terpaku erat di kursi teras itu.
Melihat matanya yang begitu syahdu menatap ke depan. Rambutnya yang sesekali berkibar kala diterpa angin. Kaos hitamnya yang begitu kontras dengan tubuh putihnya, membuatku terpana. Segala basa-basi yang sedari tadi ingin ku ucapkan satu persatu tertelan, tak jadi diungkapkan. Memandanginya di malam-malam terakhir sebelum ia pergi seperti ini jauh lebih bernilai dari ribuan kata-kata sekalipun. Aku pasti akan merindukan kehadirannya kala Ia pindah nanti.
Kak Sasha yang menyadari pandangan mataku juga tak mengucapkan sepatah kata. Tak juga ia menyunggingkan senyum meledek seperti biasa. Sebaliknya, ia berusaha memalingkan wajahnya seperti sedang malu. Wajahnya merona merah. Tangannya salah tingkah, bolak-balik mengaduk cangkir kopi yang hanya tersisa ampasnya saja. Dari balik kacamatanya, ku lihat mata yang sedang berbicara. Seakan menyimpan perasaan mendalam yang terus-terusan dipendam.
Bahkan berdiam diri denganmu pun rasanya menyenangkan, batinku. Entah sudah berapa banyak kendaraan lewat, berapa sering juga nyanyian jangkrik yang menderu, kami tetap sama, berdiam memperhatikan jalanan. Tak sekali pun tangan kami menyentuh ponsel yang terbaring dingin di atas meja. Hingga tak ada lagi jejak kopi yang bisa disesap, tak ada lagi irisan apel yang bisa diraih.
Kami terus-terusan diam seperti itu hingga larut malam. Kala kehadiran mobil Om Salim di depan rumah memecahkan kesunyian di antara kami pada pukul 11 malam. Mama yang turun dari mobil langsung menegur kami berdua. Dengan senyumnya ia lalu saling bertukar sapa dengan Kak Sasha.
“Tumben masih di teras jam segini. Lagi ngobrol seru ya?” tanya Mama, begitu mobil Om Salim telah pergi menjauh.
“I-Iya tante,” jawab Kak Sasha, berbohong. Ngobrol seru apanya, kami bahkan tak saling bicara sedikit pun sejak tadi. Aku turut mengangguk tanda setuju, setidaknya jangan Kak Sasha saja yang berbohong.
“Ya sudah, tante masuk duluan ya. Ingat, jangan terlalu kemalaman kalian tidurnya, banyak nyamuk,” ucapnya sambil berjalan masuk. Malam ini Mama mengenakan setelan sopan, yakni kemeja lengan panjang, rok panjang, dan jilbab.
Kehadiran Mama membuat suasana yang tadinya syahdu justru terasa canggung. Wajah kami berdua memerah seakan kompak berpikir, “Ngapain sih kita di sini dari tadi?!” Tak lama kemudian Kak Sasha pun menguap palsu.
“Huahhh, kayaknya aku udah ngantuk Yo,” ucapnya sambil mengangkat cangkir kopinya.
“I-Iya Kak, aku juga… masuk yuk,” balasku, sambil melangkah masuk ke dalam.
Baru saja kakiku menginjak sisi dalam rumah tiba-tiba tanganku diraih Kak Sasha dari belakang. Seketika aku langsung berbalik ke belakang, membuat tubuh kami berhadapan di muka pintu. Wajah Kak Sasha kini tepat di depanku. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dariku kini telah berdiri tegap. Tangannya meremas tanganku pelan.
“Apa memang kita harus selalu kayak gini ya Yo? Apa cuma ini cara kita ngabisin waktu-waktu terakhir sebelum aku pindah?” ucapnya sambil tertunduk. Ekspresinya yang selama ini selalu dewasa dan mampu menyembunyikan perasaan kini memudar. Kak Sasha di depanku kini justru terlihat seperti gadis kecil yang mengharapkan sesuatu namun terlalu malu untuk mengucapkannya terang-terangan.
Kali ini desakkan untuk mencurahkan isi hatiku sudah siap membuncah. Aku juga tak ingin berdiam terus seperti ini, aku ingin bisa lebih lama lagi dengan Kak Sasha. Aku ingin dia tahu apa yang selama ini ku rasakan saat bersamanya. Ku remas balik tangannya yang lembut.
“Gak tau Kak… Aku gak tau… mungkin memang kayak gini yang terbaik.” Sialan, lagi-lagi bibirku kembali mengkhianati perasaan di hati. Entah kenapa, segala kata yang ku harapkan muncul justru tak mau keluar dari mulutku. Tidak, bukan itu yang mau ku ucapkan.
Ku lihat rona kecewa pada wajah Kak Sasha, yang lalu dengan cepat berjalan meninggalkanku. Langkahnya berjalan menaruh gelas kopinya ke dapur, lalu buru-buru menuju kamarnya. Sebelum masuk kamar, ia berhenti dulu untuk menatap sekali lagi padaku. Dengan sorot mata yang kembali nampak dewasa dan tegas.
“Selamat malam Dio,” ucapnya, diiringi suara pintu yang menutup pelan.
Rasa lelah yang tadinya menimpa kepalaku kini telah lenyap semua. Sambil terbaring di atas kasur, aku terus memandangi langit-langit yang sudah hampir lapuk. Meratapi kebodohanku yang tak juga bisa sanggup untuk mengutarakan isi hatiku. Mungkin saja plafon bisa memberikanku jawaban.
“Apakah aku harus mengutarakan rasa dan melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan Kak Sasha?” Pertanyaan itu mengalun terus-terusan di kepalaku.
“Lakukan aja Yo, gak banyak perempuan seperti Kak Sasha di luar sana. Jangan khianati perasaanmu lagi,” balas isi hatiku, seketika hampir saja aku bergegas untuk mengetuk pintu kamar Kak Sasha.
“Jangan! Dia kan sepupumu, sekalipun dia benar-benar punya rasa juga dengan kamu, pada akhirnya hubungan kalian memang diciptakan untuk gagal. Memangnya orang tua kalian bakal mengizinkan apa?” kali ini logikaku membalas, meredam motivasi yang tadinya sudah menggebu-gebu.
“Aku sayang kamu Yo.”
Tiba-tiba aku teringat pada ucapan Aurel di bawah shower. Dengan pelukannya yang lembut, Ia mengutarakan kata-kata tersebut untuk pertama kalinya semalam. Ucapan yang tak bisa ku balas, beruntung Elma datang di saat yang tepat dan menyelamatkanku dari keharusan menjawab. Bukan- bukan karena aku tak memiliki rasa pada Aurel, sebaliknya, Ia adalah perempuan paling ideal yang bisa menjadi pendamping hidupku. Aku bahkan masih merasa sakit kala ia sempat mengabaikanku di bukit minggu lalu. Ahhh, kini aku sudah benar-benar bingung.
Tap… Tap… Tap…
Selagi isi kepalaku sedang ramai berdebat, samar-samar terdengar suara langkah kaki di dekat kamarku. Langkah yang semakin dekat hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu. Mama? Kak Sasha? Nissa? aku coba menerka.
Krakkkk
Kali ini terdengar suara pintu terbuka pelan. Belum sempat aku mengatakan apa-apa, orang itu sudah menutup kembali pintu setelah berjalan memasuki kamar. Aku langsung mengurungkan niatku untuk menoleh dan memilih untuk memejamkan mata di bawah sinar temaram ini. Rasanya seperti deja vu.
Ku teringat beberapa waktu lalu kala aku bermimpi basah tentang Mama yang mengocokkan penisku. Mimpi yang seiring berjalannya waktu justru terasa semakin nyata. Apakah Mama ingin mengulangi perbuatannya lagi? Malam ini aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tubuh itu lalu duduk di sisi kanan kasurku. Dadaku naik turun karena deg-degan. Aku berusaha keras agar mataku benar-benar nampak seperti sedang tertidur mengingat saat ini lampu baca masih menyala. Mama atau siapa pun yang datang kali ini dapat melihat jika ada pergerakan pada pupil mataku.
Tanpa membuang waktu, sosok itu langsung menarik turun celanaku. Membuat penisku yang sudah setengah tegang terlihat. Semoga saja ia tak curiga, rasanya aneh jika orang yang tertidur bisa setengah ereksi seperti ini. Namun aku tetap memilih melanjutkan aktingku, terus menunggu. Hingga akhirnya saat waktunya tepat, aku akan menangkap basah dirinya.
Kini tangannya memegang penisku. Bergantian, sekali dengan tangan kanannya, lalu tangan kiri. Sesekali ia juga mengelusnya dari atas ke bawah, menyentuh bola zakarku, dan saat penisku sudah menegang penuh, tangan itu pun langsung mengocok batang penisku. Hmmmh, aku berusaha keras menahan desahan.
“Mendesah aja Yo, Mama tau kok kalau kamu masih bangun.”
Glek, seketika aku langsung menelan ludah. Mataku yang sedari tadi pura-pura terpejam langsung terbuka penuh. Di sampingku, nampak Mama, dengan hanya mengenakan celana pendek dan rambut sebahu yang diikat sedang duduk sambil mengocok penisku. Mama tertawa kecil melihatku gelagapan. Makin terkejut lagi kala menyadari bahwa Mama memasuki kamarku tanpa mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi bagian atas tubuhnya.
Payudaranya yang kecil, dengan kulit putih dihiasi oleh urat-urat samar nampak bergoyang seiring dengan kocokan tangannya. Perutnya yang begitu kencang dan tangannya yang nampak berotot benar-benar memancarkan sinar kemudaan yang kuat. Luar biasa rasanya, seorang wanita berusia 42 tahun masih memiliki tubuh sebugar ini.
Mama melepaskan tangannya dari penisku, menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhku, lalu ikut berbaring di sampingku. Ia menghadap ke tubuhku, membuat payudaranya setengah menempel dengan lengan kananku.
“Be-berarti pas minggu lalu aku ngerasa Mama ngocokkin penis aku pas tidur itu bukan mimpi Ma?” tanyaku, berusaha menahan nada salah tingkah. Niatku ingin menangkap basah Mama malah ditangkap basah duluan.
Mama hanya tersenyum lalu mengangguk. “Kamu ga keberatan kan?”
“Gak keberatan Ma…”
Tangannya dimasukkan ke dalam kaosku, lengan hangatnya meraba dadaku. “Waktu itu Mama sebenarnya masuk kamarmu buat ngasihin uang jajan untuk jaga-jaga pas Mama keluar kota, tapi kamu malah tidur telanjang, mana penisnya udah keras lagi. Kan Mama lihat penis gede kayak gitu jadi gemetar…” kali ini aku memberanikan diri menghadapkan tubuh padanya. Wajah kami kini berhadapan.
“Mama gemetar lihat penis aku?”
“I-iya, Mama bangga kalau anak-anak Mama mewarisi fisik yang luar biasa. Lihat adikmu itu, payudaranya besar banget padahal badannya kurus gitu, kamu juga kontolmu bisa gede gitu padahal Papamu dulu biasa aja ukuran kontolnya… saking kagumnya, Mama sampai terdorong buat nyentuh kontol kamu dulu.”
Mama menggigit bibirnya kala menyebut kata “kontol”. Ku rasa jemarinya yang kini sedang memelintir putingku, ternyata rasanya nikmat juga. Payudara Mama bergerak naik turun seiring nafasnya. Penisku yang berdiri keras sudah membentur paha Mama.
“Terus malam ini Mama ke kamar aku karena…”
“Karena Mama harus ngomongin sesuatu ke kamu Yo,” ucapnya, memotong omonganku. Ia terdiam sejenak, seakan memikirkan kembali perihal yang ingin Ia ungkapkan. “Om Salim tadi ngajak Mama nikah… dan Mama terima.”
“Ma-Mama mau nikah?!” tanyaku terkejut. Kabar ini datangnya begitu tiba-tiba. Aku bahkan baru saja bertemu Om Salim beberapa hari lalu. Tak ada angin dan hujan, Mama yang sudah lebih 10 tahun mengasuh kami sendirian tiba-tiba saja memutuskan untuk menikah. Namun aku berusaha mengontrol reaksiku, jangan sampai ucapanku justru menyakiti Mama. “Mama memang cinta sama Om Salim?”
“Di umur Mama, orang gak lagi nikah karena cinta Yo. Banyak yang perlu dipikirin. Salim itu baik, penyabar, meski baru kenal Mama bisa lihat betapa sayang dia sama orang di sekitarnya…” mulutnya seketika terdiam, Mama nampak mengambil jeda untuk berpikir, nampak matanya berkaca-kaca, “…di samping itu, secara ekonomi dia udah mapan Yo. Bentar lagi adikmu lulus sekolahnya, gaji Mama sebagai dosen ga bakal cukup untuk kuliahin dua anak sekaligus.”
“Aku bisa nyari sendiri Ma,” aku memotong ucapannya. Rasanya panas juga hatiku mendengar bahwa Mama harus menikahi seseorang hanya demi menghidupiku.
“Keputusan Mama sudah bulat,” ucap Mama sambil menyapu jejak air matanya sebelum sempat menetes. Raut sedih di wajahnya, pelan-pelan terganti oleh wajah binalnya yang tadi. “Mama ga ke sini buat minta izin Yo.”
Mama lalu menarik tanganku ke payudaranya. Ukuran tanganku masih terlalu besar bagi payudara Mama yang hanya sedikit lebih besar dari milik Aurel. Puting Mama yang panjang menyentuh telapak tanganku.
“Makanya Mama ke kamar kamu malam ini Yo…” ucapnya kini ia meraih penisku, lalu mengocoknya pelan. “Mama ingin kamu mencicipi tubuh Mama, malam ini saja. Sebelum akhirnya Mama akan melanjutkan hidup yang baru.”
Aku berusaha mencerna perubahan ekspresi Mama yang tiba-tiba. Penisku yang tadi sempat mengendur, kini mulai terangsang lagi. Ku mainkan jemariku di payudaranya.
“Ahhh…” desah Mama.
Mendengar pengakuan Mama membuatku sedikit merasa cemburu. Mama yang selama belasan tahun terakhir ini mendedikasikan hidupnya hanya untukku dan Nissa, kini akan memiliki hati yang lain lagi. Seseorang yang akan menyita perhatian dan waktunya dari kami. Kecemburuan itu memengaruhi gerakanku yang biasanya bermain lembut kala sedang bercumbu menjadi lebih berapi-api. Dengan cukup keras aku meremas payudara Mama.
“Ahhh Yo, terlalu kencang,” ucap Mama, tangannya terlepas dari penisku.
Namun aku tak mau tahu. Sambil tetap memainkan payudaranya dengan buas, ku tindihkan tubuhku padanya. Ku pagut bibirnya, menukarkan lidah kami dengan bergelora. Ku lepehkan ludahku ke dalam mulutnya, memaksa Ia menelan semuanya.
“Khamu… bhuas… Yo,” ucap Mama.
Kali ini ku turunkan wajahku mengisap payudaranya yang mungil. Ku pagut putingnya yang panjang dan berwarna gelap. Sesekali ku gigit kecil puting Mama, membuatnya mengaduh nikmat. Mama juga membalasku dengan kasar, rambutnya menjambak rambutku kencang.
Ku gunakan tanganku untuk menarik celana Mama dengan kencang. Membuatnya hampir saja sobek seandainya Mama tidak cepat mengangkat pantatnya sehingga celananya bisa turun. Nampaklah vagina yang berbulu lebat itu, dengan rambut keriting berwarna hitam yang menutupi sisi depan vaginanya. Nafsuku justru semakin menggebu melihat vagina Mama yang terlihat berbeda dari vagina lain yang pernah ku temui.
Ku turunkan mulutku, menjilati pusar, pinggang, lalu turun ke rambut vaginanya yang lebat. Tercium aroma wangi yang memancar, membuatku makin bersemangat. Ku turunkan lagi kepalaku, dan tepat di hadapanku terpampanglah lubang yang telah melahirkanku dan Nissa. Lubang yang nampak begitu segar dan basah. Ku jilati lubang vagina dan klitoris Mama dengan buas lalu menyedotnya kencang sampai membuat Mama menggelinjang.
“Ahhhh anakku, jilati Mamamu ini Diooo.”
Ucapannya yang frontal membuatku semakin berani. Ku masukkan dua jariku sekaligus ke dalam vaginanya, membuat Mama seketika meremas selimut di sampingnya. Sambil tetap menyedot klitorisnya, jariku dengan begitu cepat menyodok-nyodok vaginanya. Pantat Mama yang bulat kencang terangkat.
Melihat wajah Mama yang merah tak tahan, aku pun langsung menarik keluar jemariku dari vaginanya. Mama memandangiku dengan ekspresi kekecewaan, nampak ia benar-benar menikmati sodokan jariku di vaginanya.
Kali ini tanpa memberikan aba-aba ku angkat penisku. Wajah Mama sempat tersenyum kecil mengira vaginanya akan mendapatkan hujaman penisku, namun ia salah. Ku arahkan penisku ke depan sampai di depan wajahnya, lalu menusukkan ke bibirnya. Mama tak sempat bereaksi kala penisku sudah sudah tertelan separuh ke dalam mulutnya. Wajahnya nampak kewalahan menghisap penisku yang begitu penuh di mulutnya.
Namun aku sedang tak berbelas hati. Ku masukkan penisku lebih dalam lagi hingga tak bisa dimajukan lagi. Penisku hampir masuk semua di mulutnya. Mama memukul-mukul bokongku berusaha agar diberikan nafas. Aku tak menurut, penisku kini keluar masuk dengan kencang ke dalam mulutnya. Ku sodok-sodok kerongkongannya, membuat mata Mama agak melotot. Wajahnya yang sebelumnya merah karena kenikmatan, kini nampak merah karena sulit bernafas.
Ku percepat gerakan pinggangku, seakan yang sedang ku senggamai saat ini ialah vagina sempit. Pukulan Mama pada bokongku semakin kencang. Matanya menatapku penuh makna mungkin tak menyangka bahwa anak kandungnya bisa begitu berani padanya.
“Ahhh… gimana Ma? Ini kan penis yang Mama bilang gede?”
Mama hanya bisa menggeleng kecil, membuat penisku sedikit terkena gigi. Di saat yang bersamaan, ku rasakan penisku telah begitu penuh. Spermaku sudah siap menyembur masuk langsung ke dalam kerongkongan Mama.
Lidah dan langit-langit mulut Mama menjepit penisku erat. Jepitannya yang empuk membuat pahaku mengencang.
“Aku mau keluar Ma,” ku lihat mata Mama makin melotot. Hidungnya mengembang karena kesulitan bernafas.
“Ahhhh, ahhhhh, ahhhhh,” desahku kencang, ku tarik kepala Mama untuk menelan penisku lebih dalam. Hampir bersamaan, penisku menumpahkan sperma dengan deras langsung ke dalam kerongkongan Mama. Entah berapa kali semprotan, aku tetap menarik kepala Mama bahkan setelah spermaku keluar semua.
“Ahhhh Mama, telan spermaku…”
Lalu setelah beberapa saat barulah aku menarik penisku keluar. Nampak cairan putih sperma bercampur ludah keluar bersamaan dengan penisku. Mama langsung terbatuk, baring tengkurap, tanpa memedulikan apa pun, ia melepehkan sisa spermaku yang tak tertelan ke sprei. Nafas dari mulutnya begitu kencang tak tertahan.
Sambil mengatur nafas, Mama lalu bersandar di dipan. Kilasan amarah kali ini tersirat dari tatapan matanya. Tubuhnya nampak semakin kencang dihiasi keringat. Ia memerhatikanku tanpa berkata apa-apa.
Sambil sedikit tertawa aku mendekati Mama. “Kenapa Ma? Kegedean ya… ahhh,” tiba-tiba Mama menerjang, lalu dengan cepat memberikan kuncian ke tanganku.
Kali ini gantian tubuhku yang terlungkup dengan Mama duduk di atas pinggangku. Tangan kananku terkunci di belakang, sedangkan tangan kiriku kesulitan mencapai tubuh Mama. Terlebih staminaku sudah agak habis setelah baru mengalami orgasme, membuatku semakin tak berdaya.
“Kamuh kira kamu bisah kalahin Mama hah?” ucap Mama sambil memijit-mijit bola zakarku. Nafasnya masih sedikit tersengal.
“Hrrrhhhhh,” aku menggigit selimut menahan nyeri yang ku rasakan. Rasanya menjalar naik sampai ke perut.
Mama yang melihatku kesakitan justru semakin puas. Kini ia memukul-mukul bola zakarku, makin lama makin kencang. Membuatku menggeleng-geleng kesakitan.
“Ampun Mahhh,” ucapku, mulai menyesali kelengahanku tadi. Bisa-bisanya aku lupa akan ketangguhan Mama.
Pukulan Mama ke zakarku semakin kencang. Dengan wajah yang begitu serius, Ia menatapku tanpa ampun.
“Kamu kira Mama ga susah nafas apa?” dengan pukulan yang lebih kencang dari sebelumnya.
Namun sesuatu tiba-tiba terjadi. Rasa nyeri yang sedari tadi ku rasakan, kini berganti rasa nikmat. Ku rasakan penisku yang terlipat ke atas tertindih pinggang kini sudah mengeras. Tiap pukulan dari tangan lembut Mama justru membuatku semakin kebal. Rasa enak yang janggal kini menjalari tubuhku. Alih-alih merintih kali ini aku mendesah nikmat.
“Ahhhh,” sialan, aku jadi kesal dengan diriku sendiri. Alih-alih merintih kesakitan, pukulan Mama di zakarku justru membuatku merasa nikmat. Membuatku tanpa sadar mengeluarkan desahan.
“Jadi… yang tadi enak ya?” ia tersenyum.
“Ahhh, terus Ma.”
Dengan pandangan penuh tanya Mama memperhatikan perubahan ekspresiku. Kali ini tangannya semakin kencang memukulku, namun semakin jadi pula desahan kenikmatanku. Plak Plak Plak, begitu suara yang diikuti desahan itu.
“Loh, kok kamu malah keenakan?” ucap Mama sambil menertawaiku. Pipiku merah karena salah tingkah. Namun entah mengapa, kali ini aku hanya diam saja membiarkan Mama ‘menyiksaku’.
Penisku malah semakin tegang. Rasanya tersiksa ditindih seperti ini. Ku gunakan tanganku yang satu untuk membebaskan penisku, hingga mengarah ke bawah. Mama yang melihat penisku menyembul justru semakin senang.
“Penismu tambah keras ya zakarmu dimainin gini…” ia menghantamkan tangannya semakin kencang. Melihatku sudah berhenti melawan, Mama lalu melepaskan kuncian tanganku lalu menggunakan tangannya menyentuh kepala penisku. “Ini ada cairan putih dikit keluar.” Aku hanya bisa merapatkan wajahku pada sprei tak lagi berusaha menahan tangan Mama. Aku tak lagi sanggup menatap balik ke arah Mama selagi aku terlihat payah seperti ini.
Mama menggunakan tangan yang satunya untuk mengocok sebagian penisku yang mengacung. Ia juga tak lagi hanya memukul zakarku namun juga sesekali meremasnya pelan. Membuatku merasa nyeri namun makin bernafsu. Aku tak pernah merasakan nikmat seaneh ini. Mama makin mempercepat gerakan tangannya. Semakin cepat hingga desahanku tak tertahan lagi. Keringat telah meluncur dari dahiku. Persis ketika desahanku semakin kencang, tiba-tiba Mama menarik tangannya.
“Gimana? Kamu kira kamu aja yang bisa nguasain Mama?” ucapnya sambil berdiri. Menenggak segelas air putih yang ku simpan di meja belajarku. Dengan sekali teguk ia menghabiskan semuanya. Aku hanya terbaring saja, tak sanggup lagi berkata.
Kejantananku yang sudah terbukti kala menaklukan Nissa, Elma, dan Aurel di ranjang kini seakan menguap entah ke mana. Di hadapan Mama aku justru dipermainkan seperti ini.
Mama lalu balik berjalan ke kasur. Kali ini ia mendorong tubuhku agar baring telentang. Ia duduk di atas tubuhku dan mencium bibirku sebentar. “Ga usah ngerasa malu sama Mama, Mama jadi tambah sange kok lihat kamu kayak gitu.”
Tiba-tiba senyum mengejek Mama berubah jadi tatapan nafsu. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Mama ga akan puas sampai beneran bisa rasain kontolmu Yo.”
Mama lalu mengarahkan vaginanya ke penisku. Blesss, penisku telah sepenuhnya masuk ke dalam vaginanya. Nampaknya ia benar-benar makin terangsang, vaginanya basah kuyup. Bahkan dengan cairan sebanyak ini vaginanya tetap saja terasa menjepit erat.
“Ahhhhh anakku…”
Gairahku yang sempat teredam kini bangkit lagi. Sambil memijat-mijat payudara Mama aku juga mendesah. Tak terbayang, Mama yang selama ini merawatku justru menyerahkan vaginanya kepadaku. Lubang tempat aku dilahirkan kini sedang digerakkan naik turun menghujam penisku.
Wajah Mama yang biasanya begitu teduh kini nampak dipenuhi keringat. Mulutnya sedikit membuka sambil mengeluarkan desahan. Matanya sayu, hidungnya sedikit mengembang, ikatan pada rambut pendeknya sudah lepas entah ke mana, membuat rambutnya berkibar naik turun tak karuan.
“Penis anak sendirii… ahhh… paling enak…”
“Ahhh vagina Mama, untuk aku…” ku perhatikan jembut di vaginanya yang bergerak indah. Tangan Mama yang berpegangan di dadaku sempat hampir terpeleset, tubuh kami sudah sama-sama licin. Kotak-kotak otot perutnya nampak semakin jelas selagi ia menggenjot penisku.
Vagina Mama terasa mulai berkedut. Jepitan vagina membuat penisku mencapai kenikmatan yang tak bisa tergambarkan. Nampak wajah Mama terus menatapku, memperlihatkan wajah binalnya yang selama ini tak diketahui oleh siapa pun.
“Kok bisa ge…de banget kontolmu… Yoh?”
“Ga tau Mahhh.”
Kali ini ku dorong tubuh Mama, membuatnya terbaring. Rupa Mama yang sedang terbaring sungguhlah menggiurkan, namun aku ada ide lain. Kali ini ku arahkan tubuhnya agar menungging. Mama dengan patuh menuruti. Aku pun menyodokkan penisku masuk.
“Ahhhhh,” desah kami berdua. Penisku terasa semakin terjepit. Selagi menyodok, penisku seakan menyentuh dinding atas bawah vaginanya. Mama berpegangan erat pada dipan sambil tetap menopang dengan sikunya yang satu.
“Ahhh anak kandungku, seandainya dari duluh… kita ngentot…”
Kali ini ku rasakan cairan vagina Mama makin banyak keluar. Penisku juga sudah hampir orgasme lagi. Ku percepat sodokanku, ku angkat kaki kanan Mama dengan tanganku. Membuat penisku semakin leluasa. Tubuh Mama begitu fleksibel sehingga mudah bagiku untuk bereksperimen. Di sisi lain, Mama justru semakin meronta nikmat atas perlakuanku.
“Kamu jago… banget di ranjang Yo…”
“Mama, Mama, juga liar, ahhh… ga alim kayak… di depan orang-orang ahhh.”
Mama semakin mengaduh dengan binal. Ku rasakan otot betisnya di tanganku semakin mengencang.
“Mama mau keluar Yo!”
“Mama yakin…. ah mau nikah sama orang lain? Mama yakin ini… terakhir kalinyah Mama mau dimasukin penis aku?”
“Nghhh, Mama mau penis kamu terus Yo… ahhh…”
“Yakin Mahh?”
“Iya anakku ahhhh.”
“Ahhh Mama suka dientot anak sendiri…”
“Iyaaa Mama sukaahhhh…”
Crottt…. crottt…. crottttt…
Cairan itu pun keluar deras. Menghantam perut, hingga wajahku. Mama orgasme sambil terpipis-pipis, persis seperti Elma. Tubuhnya mengejan kencang, lalu tubuhnya tertelungkup sambil masih tetap menyemprotkan cairan. Membuat penisku tercabut dari vaginanya.
Tubuhnya yang begitu basah kini meringkuk menahan sisa orgasmenya. Seluruh otot tubuh Mama semakin timbul. Pantatnya nampak sesekali bergetar. Aku pun langsung membaringkan diri di samping Mama, mencium pipinya kali ini dengan lembut. Nampak poni yang basah kini menempel pada wajahnya.
Mama justru tersenyum melihatku terbaring. “Kenapa hhhh? Kamu kira Mama cuma bisa sekali saja?” tanpa menunggu jawaban, Mama kini berbaring telentang lalu menyuruhku untuk memasukkan penisku lagi.
“Mama kuat banget ya.”
“Makanya banyak laki-laki ga bisa hadapin Mama,” kami tertawa bersama.
Penisku lalu masuk ke vaginanya. Kali ini gaya misionaris saja. Kami pun saling berciuman kali ini dengan lembut. Gerakan pinggang kami pun tidak secepat yang tadi. Rasa vaginanya justru semakin menjepit.
“Hhhh, jauh-jauh Mama cari laki-laki tangguh… ahhh, ternyata laki-lakinya ada di rumah Mama sendiri,” ucapnya, sambil menyapukan keringat di wajahku dengan tangannya.
Aku tak tahan lagi. Spermaku sudah di ujung penis. Gerakan pelan justru semakin memacunya untuk keluar.
“Ma, Dio mau keluar ahhh…”
“Di dalam… di dalam… di dalam sayang Mama pakai pengaman ahhhhh.”
Spermaku keluar semuanya. Menyemprot dinding rahim Mama dengan deras. Rasanya banyak sekali yang keluar. Aku bahkan sampai terkejut. Bagaimana tidak, rasanya sejak semalam di kamar hotel dan malam ini Aku sudah orgasme sebanyak sepuluh kali. Namun memang sensasi bercinta dengan Mama mampu mengalahkan kemampuan tubuh sekalipun.
Tubuhku langsung terbaring lunglai memeluk Mama. Mama balik memelukku, sambil mengelus-elus rambutku. Ia membiarkanku menikmati orgasmeku di tubuhnya. Dada kami yang naik turun saling bertemu.
“Kamu masih ngelihat Mama sebagai ibu yang baik gak, Yo?” tanyanya.
“Selalu, Ma… selalu.”
Mama pun mengecup dahiku, lalu berjalan dari kasur. Ia memungut pakaiannya lalu terus melangkah tanpa mengenakannya terlebih dahulu. Pantatnya yang kencang berlenggak-lenggok di hadapanku. Jika dilihat dari belakang, tubuh Mama benar-benar tak kalah muda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah ku cumbu selama ini. Keindahan tubuh Mama membuatku tak ingin melepaskannya.
“Masa sekali aja, Ma?”
Namun Mama hanya memberikan tatapan yang dalam. Ia berdiri cukup lama di depan pintu lalu berjalan meninggalkan kamar. Entah apakah hari ini benar-benar pertama dan terakhir kalinya kami bersenggama. Tatapan Mama barusan seakan menyiratkan banyak makna yang tak bisa ku terjemahkan. Rasanya berat juga harus melepaskan Mama untuk lelaki lain, terlebih di saat Ia sudah mau menyerahkan tubuhnya seperti saat ini.
Tanpa terasa kantuk di mataku juga sudah tak tertahankan.
Ah, hari yang melelahkan.
Bersambung