Part #15 : SEMUA TENTANG KITA

Hidup adalah serangkaian perubahan yang alami dan spontan.
Jangan mencoba untuk melawan.
Karena jika kamu melakukannya, hanya akan tercipta kesedihan.
– Lao Tzu

Smartphone Nanto tiba-tiba saja menyala dan menyalak, bergetar, berbunyi riang, mengagetkan, dan membangunkan. Sang empunya yang tadinya masih terlelap mau tak mau terpaksa membuka mata, mengedip berulang, menatap gelap ruangan, lalu terkejap sesaat sebelum akhirnya sadar pagi sudah menjelang saat menatap jam mejanya yang mungil.

Sinar mentari memang hanya tipis menyelinap di balik gorden yang masih tertutup dan malu-malu mengintip ke dalam ruangan, gelap menandakan mentari masih belum bangkit dan belum saatnya bersinar lebih cerah. Pagi memang pasti menjelang dan mentari akan bersinar terang, tapi untuk saat ini biarlah mereka yang masih lelap kembali mempererat pelukan selimut yang menghangatkan.

Si bengal meraih ponselnya yang masih nyaring terdengar, perasaan dia tadi malem ga nyalain alarm deh. Kok pagi ini bunyi ya?

Melirik ke layar barulah Nanto menyadari, apa yang semula ia sangka bunyi alarm rupanya adalah bunyi panggilan telepon – siapa lagi kalau bukan Asty – sang pacar. Hehehe, pagi-pagi udah kangen aja. Nanto mengucek-ucek mata sembari menekan tombol terima, ia menguap lebar-lebar. Biasanya jam segini dia sudah olahraga, tapi tidak hari ini. Entah kenapa rasanya kasurnya terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu, tinggal lah mimpi.

Duduk bersandar tembok, Nanto menempelkan ponselnya ke telinga.

Hanna Dwi Bestari

“Halo?”

HaiUdah bangun, sayang?

Belum. Ini angkat telpon sambil ngorok.

“Hehehe. Udah dong. Udah dari tadi – mau lari pagi habis ini.”

Boong banget.

Wih keren. Kapan ya kita bisa lari pagi bareng.”

Suara Asty terdengar lirih dan pelan – seperti sembunyi-sembunyi melakukan panggilan telepon ini, tentu saja pasti ada alasannya. Nanto sih tidak berniat bertanya, mendengar suaranya yang merdu aja dia sudah bahagia. Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali ia menemui Asty dan memadu kasih di malam yang penuh desah birahi.

“Ayo lah, kapan?” tanya si bengal.

Kali ini ia berdiri dan berjalan pelan menuju jendela. Pemuda itu membuka gorden dan jendela kamar. Ah, udara pagi menyeruak masuk membuat ruangan yang tadinya pengap menjadi segar. Sinar matahari yang awalnya malu-malu kini mulai berani berkacak pinggang, memamerkan cahayanya yang perlahan terang.

Seterang hati yang sedang senang berbunga-bunga.

Indahnya pagi ini, apalagi sembari berbincang dengan kekasih hati. Hari terasa lebih penuh harapan dan lebih bahagia. Harapan menyala karena wajah cantik yang disana sedang mendamba dan mencinta. Hidup memang jadi lebih segar kalau kita punya pacar.

Kapaaan ya bisa lari pagi bareng? Aku atur-atur jadwal deh, siapa tahu weekend ini bisa menginap di hotel mana gitu, biar bisa seharian sama kamu. Mau kan?

Oh wow. Menginap! Bakalan bisa seharian ena-ena dong! Siapa yang ga mau?

“Hmm, ntar aku lihat juga ya jadwal aku, kemungkinan sih bisa.”

Kocheng oren keselek sedan!

Gaya banget, Nyuk! Bilang aja bisa! Emangnya punya jadwal apaan wahai pengangguran? Nanto terkekeh dalam hati. Santai… santai… ini yang namanya tarik ulur, gegayaan dikit biar ga terlalu dibilang gampangan. Ben rodo mbois.

“Ih, awas aja kalau ga bisa! Pokoknya sayang harus siapin waktu buat aku!”

“Iyaa… iyaa… jangan mewek gitu ah, ntar cakepnya ilang. Kalau cakepnya ilang kan…”

Oh, jadi kamu suka sama aku gara-gara penampilan aja? Kalau ga dandan ga mau ketemu?

“Nggak dong, aku suka semuanya. Kamu itu orangnya baik, perhatian, dan penyayang. Pokoknya semua yang baik ada di kamu. Nah kalau selain hatinya apik kamu juga kebetulan cantik. Wah, itu bonus plus buat aku. Apalagi kan memang dasarnya kamu cantik natural, bikin aku bangga.”

Bisaaa aja, kaleng sarden.

Nanto tertawa.

Hari ini mau ngapain aja rencananya? Awas ya kalo kamu berantem lagi.”

“Hehehe, nggak lah. Masa berantem direncanain sih. Aku hari ini mau ke kantornya Very-Plus. Minggu kemarin direkomendasiin sama Om Darno buat masukin lamaran kerja di sana – katanya mereka sedang butuh karyawan administrasi gitu deh. Tempo hari udah aku kirim surat lamarannya, terus ternyata kemarin ditelpon ada panggilan wawancara buat hari ini.”

Oh gitu. Ya bagus lah. Very-Plus itu… apa ya? Perusahaan apa gitu?

“Toko buku, distributor, penerbit buku gitu deh kayaknya. Kebanyakan terbitin buku-buku sastra klasik dari luar negeri. Aku sendiri juga ga tau itu buku-buku apaan aja yang dijual. Om Darno kemarin cuma kasih contoh buku berbahasa Inggris yang judulnya Oliver Twist. Mereka baru buka dua cabang di kota ini, di Bandara dan Mal Kota.”

Hehehe. Ya udah sih jalanin aja. Mudah-mudahan semuanya lancar.

“Amin.”

Lucu juga mendengar doa dari seorang wanita yang tidak setia pada suaminya sendiri. Jadi gimana, Bu Asty? Berdoa supaya selingkuhnya dilancarkan juga ya? Hahaha. Wew. Manusia… manusia…. kadang tidak memahami batasan-batasan dalam hidupnya karena hasrat untuk memenuhi kebutuhan ego dan cinta diri. Hiyungalah.

Ya udah, ati-ati ya. Itu suami aku sudah bangun, mau masak dulu bentar. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat, mudah-mudahan sukses wawancaranya. Kabarin aku kalau udah beres semua. Nanti aku telpon lagi.

“Oke oke siyap. Kamu juga semangat ya kerjanya.”

Iyaaa… sayang kamu.

“Sayang kamu juga.”

Mmmuah.

Uwu.

“Muah.”

Telpon ditutup tapi hati bungah ra karuan – senangnya ga kira-kira. Bagaikan bunga cinta yang baru bersemi dan mekar mewangi. Ada yang dagdigdug tapi berujung degdegser. Ah Asty… Asty… kamu memang…

“Nantoooo? Kamu sudah bangun, Le? Ayo sarapan dulu.”

“Siap Teee. Aku mau setrika baju bentar buat nanti wawancara kerja.”

“Entar aja abis sarapan, mandinya juga ntar aja. Udah ditungguin Om sarapan tuh.”

“Ok deeeh.”

Ternyata tantenya sudah bangun dan sempat-sempatnya menyiapkan sarapan sepagi ini, edan juga si Tante. Matahari belum serius terbit, sarapan sudah siap. Ini sarapan atau sahur? Tapi hidup di sini memang harus seperti itu, Om Darno dan Tante Susan memiliki kesibukan yang luar biasa dan harus dimaklumi, bahkan anak-anak mereka yang masih sekolah pun harus ikut berjibaku dengan jadwal orangtuanya yang super padat.

Itu sebabnya sarapan sepagi ini pun jadi wajar karena kemungkinan Om Darno berangkat ke kantornya harus pagi banget atau justru buru-buru karena hendak mengejar pesawat pagi untuk perjalanan dinas ke luar kota.

Ya sudah!

Sarapan dulu kuy!

Tiara Maharani

Ara menghapus keringat yang menetes deras di pelipisnya dengan punggung tangan, rambutnya yang panjang dan indah diikat kuncir kuda melambai ke kanan dan kiri seiring kecepatan lari sang dara. Gadis itu sedang membiasakan diri untuk lari pagi demi membugarkan tubuh, kadang ia juga ikut senam aerobik yang diadakan oleh ibu-ibu komplek di Taman Tabungan Nasional yang jaraknya sekitar dua kilo dari komplek perumahannya. Mumpung sedang tidak ada jadwal kuliah, apa salahnya berolahraga, ye kan?

Sayang rasanya membiarkan pagi seindah ini hilang tanpa kesan, jadi mari kita berolahraga!

Dara manis itu mengenakan topi bersimbol kampusnya tercinta Universitas Amora Lamat, sneaker warna putih dengan ornamen tiga garis sejajar berwarna pink, baju olahraga kutung warna hitam yang agak ketat dan celana pendek mini – outfit yang teramat gagal menyembunyikan keseksian tubuhnya. Beberapa orang pemuda yang melihat Ara lari pagi tentu saja tergoda untuk bersiul mengagumi keindahannya.

Tentu saja Ara cuek dan masa bodoh dengan siulan-siulan nakal seperti itu, ia melenggang saja tanpa peduli. Apalagi ia juga mengenakan earphone yang dihubungkan ke ponselnya mendengarkan lagu-lagu rancak yang selain bisa bikin semangat, juga membuat dia lebih berkonsentrasi tanpa mempedulikan godaan dari sekitar.

Ara meletakkan kain handuk kecil untuk menyeka keringat di saku celana belakang, disiapkan untuk sesekali mengelap tangan dan dahinya yang basah. Saat melewati sebuah tanjakan dan tangga yang tidak begitu tinggi, tiba-tiba saja handuk kecil itu terjatuh tanpa Ara sadari.

Alih-alih berhenti, Ara malah justru terus berlari dengan santainya.

Untungnya ada seseorang yang sadar dan peduli.

Seorang pemuda bergerak cepat mengambil handuk kecil yang memiliki gambar tokoh imut Hello Kitty itu dan menepuknya untuk menghilangkan sedikit kotor yang membercak. Untung saja handuk itu jatuh di tempat yang bersih dan buru-buru diambil. Laki-laki yang rupanya juga sedang berolahraga pagi di Taman Tabungan Nasional itu berlari kencang untuk mencoba mengejar Ara yang sudah mulai menjauh.

“Maaf…”

Katanya saat berhasil mensejajari Ara, tapi tentu saja gadis itu tak mendengar suara apapun.

“Maaf.”

Sekali lagi ia mencoba menyapa dan lagi-lagi gagal. Cewek ini manis-manis kok bolot ya? Pemuda itu lantas memperhatikan telinga Ara. Oh hiyungalahjebul pake earphone, pantes aja ga denger apa-apa. Mau ga mau harus dicolek, coleknya sak ndulit aja, biar ga dikira macem-macem.

Colek apa tepuk? Tepuk aja deh ya?

Ara kaget setengah mati kala ada tangan seseorang menepuk pundaknya.

“Aaaaahhh!” gadis itu terkejut sampai-sampai melompat.

Ia memutar badan ke samping dan melihat sesosok pria yang masih cukup muda – wajahnya lumayan, berkacamata hitam, mengenakan kaus warna abu-abu tanpa gambar, celana pendek abu-abu selutut, sneaker warna hitam, dan potongan rambut model buzz cut. Postur tubuh yang lumayan kekar membuat Ara agak-agak gimana gitu.

“Maaf mengagetkan. Kamu menjatuhkan ini.” Kata pria itu sambil tersenyum dan memberikan handuk Ara yang tadi terjatuh.

“Eh… eum… iya ya. Makasih ya.” Ara menerima handuk itu sambil tersenyum malu.

“Anak UAL ya?”

“Hmm?” Ara mengerutkan kening. “Maaf?”

“Kamu anak UAL ya?”

“Eh iya, bener. Kamu juga?”

“Bukan.”

“Lho kok tau aku dari UAL?”

“Itu topinya.”

Lah iya ya ada logonya? Dasar pekok. Ara menggerutu dalam hati. “Oh iya.”

“Salam kenal ya, aku dari Unzakha.”

“Oh gitu. Sama-sama mahasiswa ya. Semester berapa?”

“Hahaha, jangan ditanya kalau itu. Udah semester lumayan.”

“Kekekeke. Aku baru masuk tahun kemarin.”

Si ganteng mengulurkan tangan, “Sori malah lupa memperkenalkan diri. Ga sopan banget. Kenalkan aku Simon Sebastian, panggil aja Simon.”

Ara tersenyum sembari menyambut salam Simon. “Tiara Maharani. Ara.”

“Sering olahraga di sini kalau pagi?”

“Ga sering juga sih, beberapa kali aja sebulan, mumpung kuliah belum masuk. Kamu?” pandangan mata Ara berkeliling dan akhirnya tertumbuk pada satu gerobak yang cukup ramai. “Eh, makan siomay yuk. Aku traktir deh. Soalnya kamu udah baik tadi balikin handuk kecil aku.”

“Hmm… nggak ah, ga perlu ditraktir gitu juga kali. Cuma balikin handuk ini.”

“Yakin?” Ara terkekeh.

“Yakin.” Simon tersenyum.

Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh dari perut sang pemuda ganteng. Baik Simon maupun Ara sama-sama saling tatap. Keduanya pun tertawa.

“Kuy. Nanti dimarahin sama perut.” Kata Ara sambil mengayunkan tangan, mengajak Simon.

Simon pun menghela napas panjang sambil tersenyum. Ga salah juga kan kalau makan siomay? Ia akhirnya ikut saja langkah Ara menuju ke gerobak siomay yang laris manis tanjung kimpul.

Setelah memesan dua porsi, keduanya duduk di kursi plastik merah bolong tengah yang masih kosong sembari menonton orang-orang yang sedang lalu-lalang. Karena hari ini bukan hari libur, tidak begitu banyak orang yang berolahraga seperti biasanya – namun tukang siomay ini memang cukup populer sehingga bukan hari libur pun yang beli lumayan banyak. Mampirlah ke sini kalau sempat, Siomay Bang Tagor namanya – nama yang ironis.

Bang Tagor membagikan piring berisi siomay untuk Ara dan Simon.

“Ini katanya enak banget ya. Belum pernah nyobain.” Kata Simon sambil menyendok siomay-nya.

“Wow, sering ke sini tapi belum pernah ngerasain siomay Bang Tagor? Sungguh penistaan!” kata Ara dengan wajah serius untuk beberapa detik sebelum akhirnya ia tertawa.

Simon pun ikut tertawa. “Hahaha. Beneran kok aku baru kali ini nyobain. Biasanya kalau olahraga pagi sudah bawa bekal dari rumah – jadi ga perlu jajan di jalan. Meski ya biasanya sih cuma bawa air minum sama singkong rebus aja.”

“Singkong rebus? Serius?”

“Serius.”

“Seriuuuus? Hari gini masih ada yang bawa bekal singkong rebus?”

“Serius. Kenapa emang? Aku suka banget tuh yang rebus-rebus gitu. Kentang, singkong, becak motor, mesin ATM, terminal Busway asal direbus, semua aku makan.”

“Hahaha. Ngaco ah, tapi keren juga ada yang masih doyan bawa bekal singkong rebus. Keren.”

Keduanya lantas tenggelam dalam canda dan tawa di sela sarapan siomay yang hangat dan pedes-pedes manis. Simon yang selesai duluan langsung mengembalikan piringnya ke Bang Tagor. Ia pun segera berpamitan pada Ara.

“Eh udahan dulu ya. Makasih banget ini tadi sudah ditraktir. Senang dapat kenalan baru. Semoga kapan-kapan kita ketemu lagi di sini kalau olahraga pagi. Kalau ketemu lagi, gantian deh, aku yang akan traktir kamu.” Kata Simon sambil tersenyum lebar.

Ara mengangguk, “siap Mas. Ati-ati di jalan ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi.”

Simon melambaikan tangan dan berjalan pelan menuju ke arah jalan raya, keluar dari Taman Tabungan Nasional. Ara yang akhirnya menyelesaikan siomay-nya segera menyerahkan piringnya ke Bang Tagor.

“Jadi semua berapa, Bang? Sama yang tadi?”

“Sudah dibayar, Neng.”

“Ha? Kok sudah dibayar? Kan duitnya saya yang pegang ini.”

“Iya, pan udah dibayar sama abang ganteng yang duduk sama Neng tadi.”

Haaah? Jadi bukannya dia yang traktir Simon, malah sebaliknya? Bener-bener deh. Ara membalikkan badan melihat ke arah jauh tempat Simon tadi melangkah, tapi dia sudah tidak terlihat.

Ara tersenyum saja.

Terima kasih… Simon.

Nuke Kurniasih

“Halo.”

Nuke berbisik agar tidak ada satu orang pun yang mendengar suaranya. Gadis itu sedang berada di lorong rumah sakit, menunggu sang kekasih yang masih dirawat karena kondisinya belum ada kemajuan usai ditusuk begal di pinggir jalan. Menurut dokter selain hampir kehabisan darah karena tidak buru-buru mendapatkan pertolongan, kondisi kesehatan Ridwan juga sangat drop.

Dunia Nuke seakan runtuh.

Laki-laki yang amat dia cintai tergeletak tak berdaya di dalam bangsal. Lemas sekali rasanya, ia tak lagi sanggup menemani Kinan mengajari anak-anak jalanan, tidak sempat membantu jualan di dekat lapangan, tidak sempat ngapa-ngapain.

Yang ada hanyalah kemarahan yang amat sangat. Kemarahan yang siap meledak.

Panggilan telpon Nuke diangkat dari ujung.

Ya. Ono opo? Ada apa?

“Bang Gunar? Aku butuh bantuan.”

Ngopo meneh? Ada apa lagi? Ngomong yang jelas, Nuk. Aku lagi sibuk banget iki.

Terdengar suara desahan wanita yang terengah-engah di ujung sana. Yeah right, sibuk. Jangan-jangan angkat telpon sambil ngentot nih preman satu. Suara Joko Gunar yang tidak beraturan seakan memastikan kalau kecurigaan Nuke memang benar – orang ini sedang ena-ena. Dasar kampret, pagi-pagi begini sudah ngentot aja.

Tak lama kemudian terdengar tawa cekikikan dari dua cewek lain. Buset, berapa cewek nih yang lagi ngamar bareng Gunar?

“Cowokku ditusuk orang Patnem, Bang.”

Terus?

“Abang kan dulu pernah jadi anak angkat Papah. Mungkin bisa kalau aku minta tolong…”

Howra ono urusan! Urusanku sama papah kamu, Nuk! Bukan sama kamu, bukan sama Patnem! Aku ga peduli! Wes yo! Sudah ya, aku beneran sibuk ini!

“Baaang! Tolong dengerin aku sekali ini aja! Sekali ini aja, Bang. Aku selama ini ga pernah mengemis minta tolong ke abang kalau tidak benar-benar kondisinya parah. Tolong aku sekali ini, Bang. Tolong.” Nuke terisak, air matanya meleleh deras. “Aku pasti bayar Bang, berapapun yang Abang minta aku bayar.”

Tidak terdengar suara di ujung sana kecuali suara tiga cewek yang sedang bercanda.

Terdengar suara napas yang ditarik di dekat telepon, berat dan serak suaranya, diseling batuk-batuk kecil. Khas seorang perokok aktif. “Jangan berjanji kalau kamu tidak bisa menepati, Nuk. Kamu akan menyesal. Sudah, tutup telepon ini dan lupakan urusan dengan Patnem. Kalian hanya sedang sial, relakan saja. Kamu ga akan mampu bayar biaya hancurin Patnem.

“Baaang!” tangisan Nuke makin kencang, “Aku minta tolong. Carikan motor Ridwan, Bang. Carikan motornya. Balaskan dendamku ke orang Patnem, habisi mereka semua, Bang. Habisi mereka semua.”

Dendam-mu bukan urusanku.

“Baaang! Tolong, Bang!”

Yang kamu minta itu perang terbuka keluarga aku dengan Patnem. Paham kamu? Kamu minta aku mengerahkan anak-anak untuk membasmi Patnem sampai tuntas kan? Ga bakalan aku…

“Aku bayar dengan apa saja! Apa saja!”

Kembali hanya terdengar suara napas yang berat dari Joko Gunar.

Nuk… sekali lagi aku ga akan…

“Bang!” Nuke sudah disudutkan ke pojok, satu-satunya kartu as harus dimainkan. “A-aku tahu Abang dulu sering melirik-lirik ke aku sewaktu masih sering mampir ke rumah. Aku tahu abang pernah naksir aku. Kalau sekarang Abang nolong aku…” terdengar isak tercekat di suara Nuke, “Abang boleh ambil punya aku.”

Suara Nuke makin lama makin lirih.

Desahan napas Gunar yang berat makin terdengar makin jelas. Kembang kempis menahan napsu yang tiba-tiba saja melonjak. “Yakin?

Nuke meneguk ludah. “Yakin, Bang.”

Bohong.

“Yakin, Bang.”

Kapan bisa aku minta DP-nya?

Nuke tersentak. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia harus menjawab… dia harus menjawab! Kapan? Kapan dia bisa…?

“Setelah Abang habisi orang-orang Patnem.”

Tidak… tidak… aku butuh jaminan di muka. Kalau kamu bisa janjiin kasih DP, pagi ini juga aku kerahkan keluargaku memburu satu persatu petinggi Patnem. Aku sudah tahu posisi mereka.

Gimana? Jawab, Nuk! Jawab!

“Lusa. Aku berikan lusa. Tapi baru DP saja. Tidak kurang tidak lebih.”

Oke. Lusa, jam tujuh malam di Hotel Pahpoh deket Tamanasri. Dandan yang cantik.

Terdengar kekehan Gunar saat ia menutup telepon.

Nuke kembali menangis tersedu-sedu, ponselnya jatuh ke lantai.

Maafkan aku, Mas Ridwan.

.::..::..::..::.

Hotel Novel ada di tengah kota.

Suasananya cukup ramai hari ini meski bukan masa liburan, terutama karena lokasi dan pelayanan hotel sangat diminati dan memiliki review yang amat positif di berbagai situs. Hotel yang menjadi magnet baik untuk wisatawan asing maupun lokal. Posisi hotel yang strategis di tengah kota memudahkan penyewa kamar ke tujuan mana saja, meski hanya berjalan kaki sekalipun.

Di masa-masa liburan akan susah sekali mendapatkan kamar di hotel ini karena minat yang membludak. kalaupun dapat kamar, harganya pasti sudah selangit.

Saat ini pun tingkat hunian kamar cukup padat dengan masing-masing customer memiliki urusan dan keperluannya sendiri, termasuk pasangan di kamar 606 yang baru masuk kemarin.

Meski pagi baru saja menjelang, keduanya justru tengah menikmati gelora napsu birahi yang tak tertahankan. Belum lagi mandi dan sarapan, permainan seks lebih menggoda keduanya untuk memadu kasih.

Sang pria tampan, sang wanita jelita. Serasi?

Eva Kusuma

Wanita itu sebenarnya adalah seorang janda muda tanpa anak. Cantik jelita dengan tubuh indah yang populer disebut body goals – tubuh yang diimpikan dan dipuja-puji ribuan follower instagram-nya. Entah apa yang dipikirkan sang suami saat melepaskan berlian seperti wanita yang bernama Eva Kusuma ini.

Sang pria adalah Glen. Kekasih dan calon tunangan Hanna.

Bagaimana ceritanya Glen bisa ada di sini? Bersama Eva? Itu cerita untuk lain kali.

Saat ini keduanya sudah telanjang bulat, tubuh Glen di atas Eva yang sintal menggoda. Pria ganteng itu memegang paha sang bidadari yang merentang menantang, sementara wajah jelitanya pasrah, banjir peluh hingga basah. Sodokan pinggul Glen tak terhentikan, masuk keluar memek Eva dengan liar, sementara jemarinya naik turun antara paha dan susu.

Payudara bulat bundar menggoda milik sang dewi menjadi sasaran remasan – dipilin, diputar, dan dijilat, sementara batang di bawah dicelupin. Digenjot dan diperlakukan seliar ini membuat Eva mendesah-desah hebat, ia harus beberapa kali menahan diri dengan menggigit bantal agar teriakannya tak terlalu kencang.

“Hmmmmhhh!! Hmmmhhh!!! Enaaaaak, Beb!!”

Berulang-ulang kali Eva mengucapkan desahan tak terperi, makin lama makin kencang, seiring gerakan menumbuk yang dilakukan oleh Glen.

Pinggul Glen bergerak makin cepat dan makin laju maju mundur, menumbuk, menggilas, menerjang, terus, terus, terus bagaikan mengirimkan serangan gatling gun dengan penisnya. Sesekali pria itu menyelingi gerakannya dengan putaran pinggul yang membuat penisnya bergerak kian liar mengaduk-aduk meki sang bidadari.

Seperti halnya Eva yang menjadi obyek serangan, Glen pun merem melek dihujani derai kenikmatan tanpa jeda yang ingin terus menerus ia rasakan. Berulang kali Glen meringis tiap kali penisnya dipijat dan diremas-remas di dalam vagina sang janda muda yang masih terasa rapat.

“Ennn… enaaaakghhh banget memekgh kamuuuuhhh…”

Larut dalam kenikmatan napsu yang membuncah dari keduanya, perangai Glen dan Eva berubah menjadi liar dan ganas. Lenguhan makin tak beraturan, gerakan makin cepat, pembaringan bergetar hebat.

Teriakan Eva yang sudah tak lagi dapat ditahan mungkin bahkan terdengar di lorong-lorong hotel karena begitu kencangnya.

“Ooooohhhh… aaaaahhh… haaaaaahh… haaaaahhh…” tubuh seksi Eva menggelinjang sementara mulutnya terbuka dan menganga saat deraan nikmat datang melanda tubuhnya yang indah. Napasnya kembang kempis tak beraturan, keringat basah membanjiri sekujur tubuh.

Begitu pula dengan Glen. Ia makin bernafsu mendaki ke puncak kenikmatan yang sudah sejak tadi ia inginkan. Pinggulnya bergerak makin lincah menumbuk memek Eva yang meski janda tapi rapatnya luar biasa. Glen bahagia dan ingin berucap… ini jandaku, mana jandamu.

Tangan pria ganteng itu memainkan buah dada sang bidadari yang padat, sintal, membulat, indah dipandang, nyaman disentuh, enak diremas. Tubuh sang janda muda pun melonjak-lonjak menerima semua hukuman di selangkangan yang membuat vaginanya dijajah oleh batang kelelakian Glen yang sudah bertamu dan tak ingin buru-buru pulang.

“Ooooohhhh… aaaaahhh… awwww… awww…” bibir Eva komat-kamit meracau dengan nyaring.

“E-Eva… putar tubuhmu.”

Sang bidadari hanya mengangguk tanpa daya. Diputar-putar bagaimanapun dia tidak akan menolak. Asal sama Glen, dunianya indah, memeknya enak, nafsunya terpuaskan.

Eva didorong pelan supaya menungging dengan pantat naik tinggi, belahan mekinya yang terawat sangat menantang untuk segera dieksekusi. Tanpa banyak babibu, Glen mendorong kemaluannya keras-keras untuk masuk ke memek sang janda muda yang seksi itu.

Tangan Glen kencang erat memegang pinggang ramping mulus terawat sementara kantung kemaluannya berulang-ulang dihantamkan ke pantat bulat padat milik Eva. Ini surgawi, sungguh nikmat lezat.

“Haaaahhhh… haaaahhhh… haaahhhh…”

Suara keduanya saling menimpa, saling melenguh, saling menelan, saling bercumbu bersamaan dalam gelombang birahi yang padu padan.

Plok! Plok! Plok!

Bunyi tamparan kedua tubuh yang saling membentur terdengar bagai cabikan yang ringan, nyaman, menyenangkan, dan memberi kepuasan. Apalagi kemudian dipadukan dengan suara erangan dan lenguhan kenikmatan.

Gerakan goyang dombret Glen makin tak beraturan seiring kecepatannya yang makin meningkat dan otaknya yang makin tenggelam di lautan nafsu, makin kencang sembari sesekali disertai dengan lonjakan mengejang. Begitu pula Eva yang memutar pinggulnya liar dan mengangkat-turunkan bokongnya untuk membenturkan berulang dua alat kelamin beda jenis yang berkecipak-kecipuk dipadu kenikmatan basah-basah sedap.

“Ayoooo, Beb! Teruuusss… keluaaarkaaan…! Di dalaaaam jugaaa boleeeeh!!! Aaaaah!! Aaahhhh!!” cerocos Eva tidak karuan, suaranya bergetar, menahan kenikmatan yang sebentar lagi hadir di selangkangan. “Ha-hamili akuuuu!”

Pesona janda seperti Eva memang luar biasa, masih muda tapi sudah amat berpengalaman. Di balik kecantikannya yang bak bidadari khayangan, ia menyimpan gejolak gairah binal yang selalu menuntut untuk dipuaskan. Suami bodoh macam apa yang menceraikan wanita semenarik ini? Ah, biarkan saja orang bodoh itu! Yang penting sekarang memek rapet milik Eva sudah tersedia dan bisa dinikmati Glen kapan saja ia mau!

Kedua orang yang sedang mendaki puncak kenikmatan itu menjerit hampir bersamaan, melenguh hampir bersamaan, dan memeluk semakin erat bersamaan.

“Hnggh…! Haaarrrghhh!! Oooouuuggghh!!”

Glen mendengus dan melenguh sambil terus menghisap pundak mulus sang bidadari. Ia mengecup dan meninggalkan bekas bercak merah cap bibir. Kecupannya makin kencang dan makin sadis, bagai hendak mengoyak daging.

“Aaaaaakhhh!!!” Eva mengerang.

Tubuh keduanya mengejang beberapa kali, beberapa saat, sebelum akhirnya reda. Kilasan detik-detik pemuncak kepuasan yang dahsyat dan ditunggu-tunggu. Ketika deburan ombak yang menerjang pantai asmara itu akhirnya reda, kedua insan yang sedang dimabuk nafsu akhirnya rebah lemas di kasur empuk yang nyaman.

Tak ada kata hanya diam, tak ada suara hanya tenang, tanpa kata, tanpa gerak, hanya menikmati sisa-sisa kilasan pemuncak kepuasan yang masih terasa.

Howly shyte. Wuff. Enak banget, sumpah. Makasih Eva, kamu bener-bener deh. Bikin aku jadi berasa seger setelah penat seminggu ga ketolong.” Kata Glen sambil mengecup pipi dan leher kekasih gelapnya. “Kamu memang obat paling manjur buat aku setiap kali galau melanda. Cewekku bosenin banget ga kaya kamu.”

“Ehmm… maca cih? Aku juga puas banget, Beb. Kamu hebat.” Balas Eva dengan senyuman genit yang menggoda.

Glen jadi gemes ih kalau lihat Eva menggoda begini. Cakepnya ga nahan. Towel juga nih toket!

“Awww! Jangan nakal ah, Beb! Sakiiit.”

“Hih! Abis gemesin!”

“Gemes kenapa?”

“Kamu itu nggemesin. Udah cantik, seksi, manja pula. Suka banget aku.”

“Aku kan udah buat kamu. Selamanya buat kamu. Ga usah gemes, semua yang ada di tubuh aku kamu apain aja boleh. Semalam aja anal aja aku bolehin kan?”

Glen tersenyum dan mengecup bibir manis Eva sebelum akhirnya menarik selimut untuk melindungi diri dari dinginnya kamar.

Glen dan wanita jelita yang baru saja ia setubuhi itu akhirnya kembali sama-sama rebah tanpa bicara di pembaringan, beristirahat setelah mencapai puncak kepuasan. Senyum membias dari bibir keduanya. Sama-sama puas dan dipuaskan.

Seperempat jam berlalu tanpa ada gerakan berarti dari keduanya.

Ponsel Glen bergetar kencang di samping bantal, karena suaranya di-mute smartphone itu tak mengeluarkan bunyi ringtone apapun kecuali suara getarannya yang kencang. Ada nama Hanna muncul di bagian depan layar, menandakan gadis itu tengah berusaha menghubungi sang kekasih.

Eva melirik ke arah ponsel dan mengguncang bahu Glen. “Beb… cewek kamu telpon nih. Mau diangkat atau ga?”

Glen mencibir dan mendengus, “ga ah. Males aku pagi-pagi begini, paling minta dianterin kemana gitu. Ntar aja aku telpon agak siangan. Ga usah diangkat ya. Jangan dibalas juga, nanti dia curiga. Biar sekarang dia cari taksi online aja.”

Eva tertawa. Si cantik itu menyampingkan rambut panjangnya di bahu dan mengamati wajah Hanna yang muncul di layar ponsel Glen.

Cantik juga nih perempuan.

Terlalu cantik malah.

Bikin jealous.

Eva melirik ke arah Glen yang memejamkan mata dan melirik kembali ke ponsel Glen. Hanna masih terus mencoba menghubungi pria yang baru saja menyetubuhi Eva. Hahaha, kasihan deh kamu. Bukannya nganterin kamu, eh malah tidur sama aku – begitu batin si cantik Eva dengan jumawa.

Wanita jelita itu tak berhenti menatap foto Hanna di layar. Ribuan konspirasi berbelit dimainkan di otaknya. Hmm… Hanna akan menjadi penghalang utama Eva untuk mendapatkan Glen dan cewek seperti itu harus dihancurkan sampai jadi abu. Sebagai cewek yang berambisi untuk pansos tanpa takut penjara, Eva mulai menyusun rencana busuk.

Terdengar suara dengkur lembut Glen di samping Eva. Hmm, sudah ngorok aja si ganteng ini. Eva pun mengecup pipi Glen sambil meraih ponselnya yang kebetulan diletakkan di meja di samping Glen.

Setelah mendapatkan ponselnya sendiri, Eva berdiri dan melangkah menuju meja kerja yang ada di samping jendela hotel sambil membawa juga ponsel Glen. Ia segera mencatat nomor ponsel Hanna dan memasukkannya ke dalam kontaknya sendiri. Karena ponsel Glen tidak dikunci, ia pun mencari foto-foto Hanna dan mengirimkannya melalui WhatsApp, lantas menghapusnya dari sisi ponsel Glen. Foto-foto Hanna pun berpindah ke ponsel Eva tanpa sepengetahuan sang pemilik.

Hanna Dwi Bestari. Kamu memang cantik, bahkan mungkin terlalu cantik untuk Glen. Relakan dia buat aku saja ya? Aku akan mencarikan pekerjaan lain buat kamu supaya kamu lebih laris di pasar pria-pria jomblo. Bagaimana kalau aku jadikan kamu sebagai target buat laki-laki hidung belang? Gampang kok, kamu tinggal bentangin paha kamu lebar-lebar. Hehehe…

Eva terkekeh memikirkan rencana jahatnya. Janda muda itupun mengirimkan pesan singkat melalui WhatsApp ke salah satu kawan FWB-nya, Edo – Eduardus Rando Wanggai.

“Do.” Ketik Eva. “Udah bangun belum? Jangan-jangan lagi teler kebanyakan mabuk.”

Eva pun meletakkan ponselnya dan mulai mengenakan kimono yang sudah disediakan di lemari pakaian. Hari ini lumayan juga bisa sarapan di hotel, bahkan mungkin bisa menginap semalam lagi kalau dia bisa merayu Glen. Ah, seandainya saja Glen benar-benar bisa menjadi miliknya, dia dapat menikmati kekayaan melimpah ruah yang tak akan habis tujuh turunan. Naik derajatnya dong – tidak lagi menjadi janda jarang dibelai yang harus ngemis sama Om-om tiap minggu hanya demi membeli barang ini itu yang branded.

Kalau dia bisa memiliki Glen, dia akan mendapatkan dunia dalam genggaman.

Terdengar suara lonceng kecil dari ponsel Eva. Balasan dari Edo.

Ssu bangun tra mabo ee! Asal pu ko bilang! Sa su di gym. Ko pi mana kah? Kemari sudah, jang malas. Kita mantap-mantap seperti biasa toh.”

“Pakai Bahasa Indonesia, Do. Puyeng bacanya, ga usah gegayaan pakai aksen. Biasanya juga ngobrol biasa aja. Aku ada kerjaan nih buat kamu.” Edo sudah sangat lama tinggal di kota ini, jadi Eva tahu dia pasti bisa menggunakan kalimat tanpa dialek khas timurnya. Eva menambahkan satu ketikan kalimat lagi. “Kalau berhasil aku bayar pake dollar.”

Kerja apa?

“Aku mau kamu SSI satu perempuan cantik sampe dapet. Gampang kan? Otong kamu kan gede, pasti gampang lah dapetin dia.”

Ada jeda sebelum Edo membalas ketikan Eva. Mungkin dia sedang terkejut dan merasa kikuk dengan permintaan Eva yang memang selalu aneh-aneh saja. Entah sudah beberapa kali Edo tiba-tiba saja di WhatsApp tengah malam hanya untuk diminta datang ke apartemen sang janda dan memuaskan hasrat seksual Eva. Untung di Edo tentunya karena Eva cakepnya ampun-ampun, untung di Eva juga karena barang si Edo besarnya aduh aduh. Tapi kali ini permintaan Eva agak unik. SSI cewek? Kenapa harus gitu?

SSI? Buat apa?

“Supaya dia putus dari calon tunangannya.”

Eva lantas mengirimkan foto-foto Hanna kepada Edo. Kembali ada jeda, tidak muncul notifikasi di ponsel Eva. Setelah beberapa detik barulah notifikasi itu muncul.

Cantik! Cantiknya si nona! De pu kulit su seperti kasbi takupas. Sa mau sekali. Baru bagaimana cara sa gagal de pu pertunangan?

“Bahasa Indonesia, Do! Hih! Ga ngerti aku kamu ngomong apa! Ya itu tadi. Kamu SSI dia sampai jatuh ke pelukan kamu. Kalau tidak bisa kamu SSI, gunakan cara apapun termasuk paksaan asal jangan berlebihan dan diam-diam supaya kamu tidak diundang ke kantor polisi. Yang penting gagalkan pertunangan dia, bikin hidupnya jadi berantakan, bubarkan hubungannya dengan calon tunangan. Paham? Oh ya. Permintaan aku satu aja yang khusus – entah bagaimana caranya – kamu harus berhasil hamili dia.”

Baru kenapa nona cantik yang hamil? Tra Eva saja yang hamil dulu jadi de pu tunangan terpaksa kawini Eva?

“Reputasiku harus bersih, Do. Kekeke. Sudah janda, hamil duluan pula. Mau ditaruh mana mukaku di hadapan keluarganya.”

Edo mengirimkan emoticon tawa. “Begitu rupanya. Siaaap, Eva!

“Bagus. Deal ya?”

Deal.”

Eva pun menutup ponselnya dengan senyum penuh kepuasan.

Wanita jelita itu lantas kembali melihat-lihat wajah Hanna yang tersebar di galeri yang ada di ponsel Glen. Senyum licik tergurat di wajah sang janda.

Maafkan aku Hanna cantik, tapi tidak ada jalan lain untuk merebut Glen darimu kecuali dengan menghancurkanmu. Pasti akan sangat menyenangkan melihat perutmu membesar karena menampung benih dari pria seperti Edo. Jangan khawatirkan soal Glen karena karena kelak aku yang akan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Eva terkikik senang.

.::..::..::..::.

Siang itu matahari terasa terik, padahal jam baru berdentang sepuluh kali.

Suasana kawasan lapangan bola Universitas Zamrud Khatulistiwa bagaikan gurun pasir di Afrika. Panas suasana, panas di wajah, panas di hati.

Markus Abednego jatuh berdebam di tanah, bibirnya pecah. Rahangnya terasa panas. Batinnya terbakar amarah, seluruh tubuhnya meradang ingin menyerang. Buru-buru pria yang biasa dipanggil Abed itu mencoba berdiri dan menatap orang yang baru saja menyarangkan bogem mentah ke wajahnya.

Ga ada angin ga ada hujan tiba-tiba main pukul aja, siapa orang ini?

Pria lain yang bernama Hasan Abidin – atau biasanya dipanggil Abi segera membantu kawannya yang terjatuh dengan memegangi lengan Abed. Keduanya terkejut karena aksi tiba-tiba yang dilakukan untuk menyerang mereka! Siapa orang ini?

Bajingan!

Sopo kowe, su? Siapa namamu? Berani-beraninya menantang Sonoz!” Abi meludah.

Hageng Dirga Wijaya tersenyum, ia menatap tiga orang gagah yang menjadi penjaga gerbang markas besar Sonoz. Tubuh Hageng teramat tinggi – mungkin hampir setara pemain basket di luar negeri yang jangkungnya menjulang. Tidak hanya itu, meskipun jangkungnya kebangetan Hageng tidak kurus kerempeng, si monster ini memiliki postur tubuh yang proporsional, berotot gempal, berdada bidang, dan kekar kebangetan – dia juga cukup lincah untuk seseorang yang memiliki tubuh sebongsor itu. Postur yang jelas mengintimidasi ketiga orang Sonoz yang bertubuh lebih pendek yang saat ini berada di hadapannya.

Abed, Abi, dan satu lagi yang bernama Jaka Hamid atau biasa dipanggil si Jack sesungguhnya adalah nama yang ditakuti di Unzakha. Ketiganya adalah orang-orang yang jelas tidak boleh diremehkan, terutama sekali Abi yang menyandang jabatan Koordinator Lapangan atau Korlap – pangkat yang setara dengan jabatan kapten di DoP. Sejak masuk ke Sonoz, mungkin baru kali ini mereka bertiga merasa kecil dan terintimidasi oleh seseorang yang tidak mereka kenal.

Sebetulnya ketiga orang Sonoz itu tidak benar-benar pendek, namun di hadapan Hageng yang tinggi bagaikan menara Petronas – ketiganya menjelma bak manusia kurcaci.

Hageng mengelus rambut hitam kriwilnya yang tebal dan susah dirapikan sehingga dibiarkan saja dengan style Afro ala Marouane Fellaini, mulut si raksasa ini berkomat-kamit sembari menelan Kue Gandos yang gurih dan manis – berulang kali ia mengecap bibir sambil menikmati kuenya.

“Aku ke zini mencari Zimon Zebastian. Zuruh dia keluar!”

Abed, Abi, dan Jack saling berpandangan. Mereka tidak percaya ada kejadian seperti ini. Bajingan, kirik, wassuu! Sopo toh orang ini berani-beraninya menyuruh komandan tertinggi Sonoz keluar? Sudah ganda nyawanya?

Abi maju dengan gagah berani, pria berwajah oval dengan rambut jarang-jarang itu harus mendongak agar dapat menatap mata bandel Hageng. “Sekali lagi kamu ngomong ga pakai dipikir, kami bertiga akan mengebiri kamu. Jadi pilihannya ada dua, segera jelaskan maksud kamu menyambangi wilayah Sonoz, atau buruan angkat kaki dari sini!”

Hageng tertawa menghina, “Bwahahahaha. Lucu zampeyan, maz. Lucu. Maz pikir maz biza menghajar aku dengan mudahnya, begitu? Kalian mau maju empat atau lima orang zaja belum tentu bisa bikin aku jongkok. Zudah! Mana Zimon!? Aku zedang mencari lawan yang zepadan!”

Hageng yang lidahnya pendek memang susah mengucapkan huruf s, semua yang keluar dari mulutnya berubah menjadi huruf z. Bikin puyeng dengernya.

Abed yang sudah terbakar amarah langsung maju dengan kepalan tergenggam, dia memang yang paling emosi karena tadi tidak ada babibu tiba-tiba saja kena hantam oleh cecunguk jangkung cadel satu ini. Kakinya kencang melaju, melewati Abi dan Jack yang terkejut karena kawan mereka tiba-tiba saja sudah menyerang!

Dengan satu lompatan Abed menerjang ke atas, mengirimkan kepalan ke wajah Hageng. Si jangkung tidak perlu menghindar dari kiriman itu, ia menerima pukulan dari Abed dan menahannya dengan lengannya. Dengan satu sentakan, pukulan Abed ditepis dan pria itu terpaksa mendarat cepat di samping kiri Hageng.

Tapi ia belum selesai, ia maju lagi untuk mengirim kepalan ke pinggang si jangkung.

“Haaaaarrghh!” teriak Abed penuh emosi.

Bletaghhkkk!!

Kaki Hageng sudah lebih dulu berputar dan rahang Abed jadi sasaran paling empuk. Pria asal pulau dari timur Nusantara itupun terlempar jauh. Sekali lagi ia jatuh berdebam memeluk bumi.

Abi dan Jack tidak lagi tahan dengan penghinaan ini, keduanya menyerang bersamaan, dari kanan dan kiri. Abi yang tubuhnya lebih berisi menyerang bagian bawah, ia menurunkan tubuh dan memutar kaki untuk menyapu betis Hageng. Di saat yang sama, Jack melompat tinggi untuk mengirimkan tendangan memutar ke wajah si jangkung.

Hageng melakukan hal yang tidak diduga oleh keduanya.

Ia melompat tinggi, bahkan lebih tinggi dari lompatan Jack dan pada saat yang bersamaan dengan salah satu punggawa Sonoz itu, Hageng mengirimkan tendangan memutar yang jauh lebih cepat dan jauh lebih dahsyat!

Alih-alih masuk sasaran, tendangan Jack justru dimentahkan oleh tendangan Hageng yang lebih cepat. Bahkan tendangan dari si jangkung itu berhasil melontarkan tubuh Jack agak jauh. Tubuh si kerempeng Jack pun luruh di tanah dengan kerasnya.

Bagaimana dengan Hageng? Saat dirinya mendarat, Hageng sudah harus menyambut rantai pukulan dari Abi!

Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk!

Tidak bisa mengelak! Hageng menggunakan punggung tangan untuk melindungi diri dari serangan Abi yang bertubi. Pukulan dari pria yang berwajah oval ini tidak main-main, sengatan hantaman yang bersarang di punggung tangan Hageng benar-benar bak setrum yang membuat Hageng berkali-kali mengaduh.

Pria jangkung itu terdesak mundur!

Bletaaaghkkkk!

Pukulan dari Abed bersarang di wajah Hageng, si jangkung itupun doyong ke arah kanan. Tapi kaki Hageng kokoh menapak tanah, tidak mungkin ia akan jatuh hanya dengan serangan seremeh itu. Si rambut Afro pun tersenyum sinis sembari terkekeh. Cuma begini aja Sonoz? Dia pikir bakalan sekuat apa.

Sejak meninggalkan SMA Cendikia Berbangsa, Hageng memilih transfer dari kampus lamanya ke Unzakha sebagai tujuan lanjut karena di kampus ini terdapat satu fakultas yang populer yang menjadi idamannya – meski akhirnya gagal di berbagai tes dan terjerumus ke pilihan kedua yaitu Fakultas Ekonomi, Hageng tetap suka masuk Unzakha. Salah satunya adalah karena keberadaan Sons of Z! Sonoz! Di kawasan utara, ada empat geng kampus kuat yang lumayan disegani. Meski bukan yang paling besar tetapi Sonoz termasuk yang disegani, lalu ada DoP di UAL, dan dua geng di kampus lain.

Sejak masih SMA, Hageng kagum sekali dengan hasil karya anak-anak Sonoz yang meninggalkan mural apik di berbagai lokasi, seperti kaki jembatan layang, tembok pertokoan, sampai tembok rumah yang tersebar di penjuru kota – lengkap dengan tanda tangan khas mereka, SNZ.

Nah kini, dia sudah masuk Unzakha! Saatnya berkenalan dengan Sonoz!

“Kalian zebagai zenior memang luar biaza bebalnya. Aku kan zudah bilang kalian tidak akan biza menjatuhkan aku, tapi tetap zaja ngeyel. Aku mazih menghormati kalian zebagai zenior di Unzakha, tapi kalau Zimon tidak juga keluar, aku tidak akan jamin bagaimana nazib kalian.”

Abi kesal. Pria yang rambutnya jarang bahkan cenderung botak itu mencibir, “jadi kamu itu junior kami? Anak baru!? Kampret! Gene yo mung cah anyar! Kok yo wani-wanine lho! Bajingan tenan! Kok ya kamu berani-beraninya mencoba masuk gerbang Sonoz, heh?!”

Hageng tersenyum, “Bahahaha. Kita belum kenalan ya? Namaku Hageng! Orang yang akan menghajar ziapapun yang bikin aku kezal! Zalah zatu hal yang bikin aku kezal adalah memandang rendah orang lain hanya karena mereka baru mazuk Unzakha dan berperan zebagai junior!”

Abi mendengus, “howra peduli! Masa bodo kamu siapa! Gerbang Sonoz tidak akan dibuka untuk siapapun kecuali seizin Zimon… eh Simon!!!”

Bangsat! Jadi ikutan latah ngomong Z!

Gerbang Sonoz yang dimaksud Abi adalah sebuah pintu besar di belakangnya, pintu yang memisahkan antara lapangan bola dan gedung kecil yang dipakai sebagai tempat berkumpulnya ekstra kurikuler pencinta alam, di sekeliling gerbang terdapat tembok tinggi dan tembok kawat yang susah sekali dipanjat. Sudah sejak lama gedung kecil tempat berkumpulnya Mapala Unzakha itu justru dipakai sebagai mabes Sonoz.

“Bahahaha, aku pikir Zonoz menganut aturan seperti lambang yang zelalu dibanggakan! Lambang gunung menjulang! Ziapapun yang berhasil mendaki akan menjadi pemimpin!”

“Hirarki di Sonoz sudah jelas dan tak bisa dibantah! Tidak ada tikus yang tiba-tiba saja bisa menantang sang singa! Apalagi cuma tikus wirok macam kamu!”

Hageng maju perlahan, demikian juga Abi. Keduanya saling menatap, saling dekat, wajah mereka mengeras, mata menatap tajam tanpa ampun. Saat itu memang tidak ada batas tua muda, senior yunior, besar kecil, yang ada hanyalah lawan.

“Akulah orang yang bakal menghancurkan hirarki itu. Aku yang akan membasmi semua zenior – bahkan Zimon, sampai akhirnya berdiri di puncak gunung Zonoz! Ziapapun yang menghalangi, ziap-ziap ditumpas!”

Wedhus! Dikandhani kok ngeyel wae! Dibilangin malah nyolot!” Abed yang sudah bangkit kembali menyerang dari samping meski rahangnya masih terasa sakit.

Kali ini Hageng bergerak dengan sangat cepat, hanya dengan satu lompatan saja tiba-tiba tubuh raksasanya sudah berada di depan Abed yang terkejut!

Tapak kaki Hageng yang besarnya gila itu pun segera menyambar selangkangan Abed yang langsung berteriak kesakitan, tubuhnya membungkuk. Hageng tidak menyianyiakan kesempatan. Si jangkung itupun bergerak cepat, ia menjepit kepala Abed yang sudah membungkuk dengan kedua pahanya, erat sekali!

Sembari sedikit membungkuk, Hageng kini menggunakan kedua tangan untuk mengunci pinggang dan perut Abed dan mengangkatnya tubuhnya ke atas! Diangkatnya tinggi, lebih tinggi, lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi! Tubuh Abed kini sudah naik dipondong terbalik oleh Hageng dengan kaki dipangku terbalik di pundaknya.

Abed yang masih kesakitan, kebingungan karena dia diangkat setinggi itu! ia menatap ke bawah dan melihat mata tajam Hageng menemani senyum sinisnya. Abed menggelengkan kepala, tidak! Tidak! Tidaaak! Jangaaaaaaaan!!

Boom!!

Tubuh Abed dihentakkan ke bawah dengan dahsyat!

Inilah gerakan andalan si monster Hageng! Powerbomb! Abed mengerang kesakitan dan berasa remuk di sekujur badan, ia tidak lagi dapat bergerak, lemas sekali!

Jack yang sudah bangkit juga mencoba menyergap Hageng dari belakang! Tapi pria raksasa itu sudah siap juga! Bak seekor kalajengking, kaki Hageng disepakkan ke belakang! Tepat di selangkangan Jack!

Prajurit Sonoz itupun langsung menjerit kesakitan karena tendangan tumit Hageng bagai meremukkan telurnya tercinta!

Tubuh Jack membungkuk dan Hageng pun langsung mengempit kepala sang lawan dengan paha! Apa yang dilakukannya pada Abed diulangnya pada Jack. Tangan kekar Hageng mengunci pinggangnya, lalu diangkatnya tubuh besar Jack ke atas, pangku terbalik di pundak dan…

Boom!

Dihentakkannya dengan keras ke tanah! Powerbomb kedua! Mantaaaap!

“Banzaaaai!!” teriak Hageng senang.

Melihat kedua temannya sudah terkapar tak berdaya, Abi bersiap maju dan menyerang. Saat itu pula tiba-tiba ada tangan yang lembut menepuk pundaknya. Abi pun menoleh dan ia amat terkejut melihat siapa yang sudah hadir!

“Ka… Kak Simon!”

DI belakang Abi berdiri orang itu – orang yang paling ditakuti di Unzakha, seorang pria yang masih cukup muda dengan wajah lumayan ganteng, mengenakan kacamata hitam, memakai kaus warna abu-abu tanpa gambar, celana pendek abu-abu selutut, sneaker warna hitam, dan potongan rambut model buzz cut – ini dia Simon Sebastian, sang pemuncak gunung Sonoz!

“Kamu mundur aja, Abi. Biar dia mencoba melawan aku.”

Abi masih kebingungan mengapa Simon dengan tenang mencoba meladeni Hageng – sang junior yang kurang ajar! Di Unzakha memang ada hukum tak tertulis bahwa siapa pun yang dapat mengalahkan ketua Sonoz, maka orang itu akan menjadi pemimpin baru Sonoz! Itulah aturan pemuncak gunung yang khas dari Sonoz! Tapi peralihan kekuasaan itu biasa dilakukan dengan elegan, tarung satu lawan satu ala gladiator yang dilakukan di depan seluruh anggota sebagai saksi, tidak acak seperti ini.

Kalau Simon bersedia melayani Hageng, maka jawabannya hanya satu.

Simon sangat yakin ia bisa mengalahkan si monster.

Hageng bersidekap dengan jumawa, haha! Akhirnya muncul juga si pemuncak Sonoz! “Akhirnya datang juga! Zalam kenal, Zimon! Namaku Hageng! Aku yang akan menggantikanmu zebagai Komandan Zonoz! Ahahahaha!”

Simon hanya tersenyum selintas, tangannya bergerak sedikit.

Hageng buru-buru memasang kuda-kuda dan menaikkan penjagaan dengan kedua lengan! Ia sudah bersiap kapan saja Simon menyerang!

Tapi alih-alih menyerang, Simon rupanya hanya merogoh ke saku jaketnya untuk mengambil sebungkus permen karet tipis. Pimpinan Sonoz itu menyobek bungkusnya – mengantongi bekas bungkus yang sudah dilepas, lalu mengambil permen karetnya, memasukkannya ke mulut, dan mulai mengunyah. Sesantai itu.

“Kamu yakin mau melakukan ini, adik kelas?”

Hageng tertegun dan kembali tertawa. “Bahahahaha! Jangan menyesal yaaa!”

Hageng menarik kepalan tangannya mundur untuk beberapa detik sebelum akhirnya diluncurkan dengan kencangnya bak peluru kendali ke wajah Simon!

Whoom!

Masuk telak!! Simon beringsut setapak ke belakang.

Abi, Abed, dan Jack menatap ngeri ke arah Simon! Tapi wajah sang pimpinan tak menampakkan perubahan, tidak kesakitan, tidak juga senang, lempeng-lempeng aja.

Tidak menunggu lama, Hageng sudah mengirimkan tendangan kait depan ke arah kepala Simon. Kakinya menjulang ke atas sejajar dengan kepala sang pimpinan Sonoz, lalu menyepak dengan cepat ke belakang!

Whuuuush! Bggkkkhh!

Kembali masuk telak!

Tapi kali ini Simon tidak bergerak sedikit pun. Ia masih tegak berdiri tak bergeming, mulutnya juga masih mengunyah permen karet dengan santainya.

Hageng-lah yang terbelalak kali ini.

Simon menatapnya dengan senyuman sinis, “masih belum lulus.”

Hageng terbata-bata, “ba-bagaimana bi… biza?”

“Kekuatanmu memang besar, memang dahsyat, tapi ga pakai aturan, ga pakai hati, ga pakai semangat. Kamu main pukul ya cuma sekedar mukul orang aja. Menghajar orang hanya karena alasan yang tidak jelas. Singkat kata – pukulanmu tidak ada tenaganya.

“Kenapa main-main dengan pukulanmu padahal kamu mampu? Apa kamu ragu-ragu? Katanya mau jadi pemimpin Sonoz? Kita sekarang tidak berada di ring tinju, tidak sedang adu gulat di WWE. Ini bukan ajang pura-pura dan butuh keseriusan. Kalau kamu tidak mengerahkan hati seratus persen dan penuh ambisi untuk berada di puncak atau untuk menjadi pemimpin, maka kamu tidak akan dapat mengalahkanku dan tidak berhak menjadi pimpinan Sonoz.”

Hageng terdiam.

“Sebagai pemimpin Sonoz aku hanya akan mengeluarkan tinju ketika keadaan membutuhkan dan hanya melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa setiap energi dan jiwaku hadir di setiap pukulan yang aku lepas. Singkat kata, semua pukulan yang serius menunjukkan perlawanan dari hati, bukan asal lempar pukulan.”

Hageng masih terdiam.

“Tidak hanya aku saja, semua anggota Sonoz harus memiliki keyakinan yang sama. Yakin dengan kepalannya. Kamu memang sudah membuat Abed dan Si Jack tak berdaya, tapi begitu mereka bangkit, mereka akan membalas apa yang sudah kamu lakukan beratus-ratus kali lipat. Jadi siap-siap saja.”

Hageng kini ganti tersenyum sinis, “Bahahaha. Bacot apalagi zih, Zimon? Kamu zaja tadi tidak zempat bergerak zewaktu aku zerang! Kamu tidak zelincah yang aku kira. Mazuk zemua kan pukulanku?”

Simon meringis, “aku tidak butuh mengelak. Buat apa. Kalau memang takut kena pukul, kenapa berantem? Itu namanya bodoh. Hanya orang yang berani adu hantam dan punya nyali menerima pukulan secara langsung yang dapat bertarung dengan sungguh-sungguh. Kalau hanya ngawur melemparkan pukulan, itu namanya tarung bocah.

“Kerahkan semua kekuatan, semua emosi dan semua ambisi dalam tiap kepalanmu, baru kamu berhak menantangku. Aku butuh seratus persen, bukan hanya bocah gegayaan dan main-main.”

“Kita coba zaja!”

Hageng berlari kencang bagaikan jet tempur yang ngebut dengan teramat kencang menuju ke arah Simon yang sudah membalikkan badan dan berjalan menuju gerbang yang dijaga Abi. Tentu saja pria yang menjadi pemuncak teratas hirarki kepemimpinan di Sonoz itu mendengar derap kaki Hageng yang kencang.

Kaki Simon ringan berputar, ia membalikkan badan dengan satu tangan masuk ke kantong celana. Simon menyiapkan tangan kirinya. Hageng sudah sampai!

Swooosh! Boom!

Tangan kiri Simon bak peluru kendali lepas dari sarang dengan sebuah gerakan reverse punch – berputar sebelum masuk ke sasaran, menyambar wajah Hageng laksana petir, menghunjam bagai tombak, telak menghantam bagai palu godam.

Tubuh raksasa Hageng terbang terlempar hampir dua meter akibat pukulan Simon.

Pemuda itu hampir-hampir tak sadarkan diri saat terlontar jauh, bahkan sebelum tubuh besarnya jatuh berdebam di tanah. Bola matanya bergulir ke atas, berubah menjadi seluruhnya putih.

Hageng pingsan.

Simon membalik badan dengan santai dan melangkah masuk ke gerbang, ia sempat mengucapkan kata pada Abi, “bawa ke klinik depan kampus dan tinggal di sana tanpa banyak menjelaskan. Jangan dihajar, dia sudah mendapatkan pelajaran berharga. Biar dia memahaminya dulu, kalau memang dia berminat masuk Sonoz, dia bisa jadi aset berharga.”

“Siap.”

“Oh iya, nanti Beni Gundul dari Patnem akan datang, biarkan saja dia masuk. Aku ada beberapa hal yang harus dibicarakan dengannya.”

“Siap. Bagaimana dengan persiapan kita ke UTD?”

“Hari ini juga ya?”

“Iya.”

“Ya sudah. Setelah Patnem datang, kita ngeluruk ke sana. Semua Korlap harus hadir.”

“Siap, Kak.”

Simon mendengus. Hari ini ya? Ia menatap gunung yang menjulang di kejauhan untuk sesaat, lalu berjalan kembali menuju mabes Sonoz.

.::..::..::..::.

Huff. Sudah siap kan? Sudah. Anggap saja sudah.

Nanto duduk dengan spaneng di ruangan kecil yang menjadi terasa penuh karena keberadaan beberapa orang yang saat ini juga sama-sama menunggu panggilan seperti halnya dia. Nanto menengok ke arah sebuah cermin besar yang ada di samping kiri tempatnya duduk, sebenarnya hanya sebuah ornamen penghias dinding saja tapi lumayan bisa dipakai untuk berkaca demi memperbaiki penampilan.

Melihat sekeliling, Nanto sadar tidak hanya dia saja yang merasa tegang, wajah-wajah yang lain pun tegang bukan main. Apakah ini kali pertama mereka melakukan wawancara seperti halnya Nanto? Ataukah di setiap wawancara mereka akan menghadapi ketegangan yang sama seperti ini? Apakah dia siap bersaing dengan mereka yang jauh lebih baik darinya untuk mendapatkan pekerjaan ini? Apakah dia cukup memadai?

“Wuh, meski ber-ac tetep aja kerasa panas.” Kata seseorang di samping Nanto. “Iya gak, Bro?”

Wajah orang ini cukup terpelajar dengan kacamata kotak berkesan mahal, penampilan rapi jali bak eksekutif, dan yang paling menonjol tentunya dasi berwarna pink.

Nanto yang merasa diajak ngobrol mengangguk. “Bener nih. Tegang banget. Memangnya berapa orang yang diterima ya, Bro?”

“Satu orang doang sih katanya.”

“Haah? Satu orang doang? Yang masukin lamaran sakbajeg-bajeg begini.”

“Hahaha. Biasa lah, Mas Bro. Pemandangan lumrah ini.”

Nanto tersenyum, ketahuan dah ga banyak pengalaman. “Hehehe. Iya ya?”

“Baru ini ngelamar kerjaan?”

“Hehehe… iya. Kelihatan culun ya, Bro?”

“Santai. Kalau belum keterima kerja, kita semua jadi orang culun dulu ga apa-apa. Aku Erik, Erik Ramlan.”

“Aku Jalak Harnanto. Panggil aja Nanto.”

Keduanya bersalaman.

“Sampeyan sudah sering ngelamar kerja, Mas Erik?”

“Sudah sering. Ini ga tau udah yang keberapa kalinya. Hehehe. Mencoba-coba terus setelah resign dari kerjaan setahun yang lalu.”

“Weleh. Setahun yang lalu dan belum keterima juga sampai sekarang?”

“Hehehe. Beginilah.”

“Memangnya kenapa dulu resign? Kalau boleh tahu.”

“Ditawarin temen kerja buka usaha sendiri, buka coffee-shop, tapi bubar jalan. Modal habis, ga ada profit, ga ada cuan, ga ada pemasukan. Yang ada utang nambah. Begini-begini sambil jalan juga jadi ojek online, Mas Bro. Kalau ga sambil diniatin bener-bener ga ada duit buat bayar utang.”

“Gitu ya.” Nanto mengangguk-angguk. Beberapa hari ini memang kepikiran untuk jadi ojek online. Sepertinya bisa jadi alternatif solusi sementara waktu.

“Tegang ya, Bro?”

“Banget nih. Maklum baru pertama kali.” Kata Nanto jujur. Jantungnya memang bergetar digidigidam digidigidum.

“Aku juga ga banyak pengalaman diterima kerja sih, tapi kalau boleh kasih tips, coba rileks aja, dibikin santai aja. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah santai. Miliki pola pikir positif. Apapun hasil tesnya nanti, hal itu adalah hal yang terbaik yang akan Mas Bro dapatkan. Jangan pernah pesimis meskipun dapetnya zonk.”

Nanto mengangguk-angguk. “Ada tips lain ga, Bro?”

“Oke. Begini… pertama tentu saja persiapan harus matang. Kuasai bidang yang ditawarkan, pelajari perusahaan, teliti benar-benar instansi itu dan pekerjaan yang lowong. Jangan main asal tembak apalagi kalau memang tidak ada pengalaman kerja dan minim ijazah. Kalau memang punya orang belakang, mainkan saja. Pasti akan sangat berpengaruh.

“Kedua istirahat yang cukup sebelum wawancara supaya tenaga cukup, hati tenang, wajah segar. Kan asyik tuh yang wawancara lihat muka kita seger dan tenang. Bukannya datang-datang udah buluk kayak landak masuk ke mesin cuci?”

“Hahahaha. Mantap, Bos.”

“Ketiga berdoa. Jangan lupa berdoa. Sudah paham ya? Diulang lagi supaya jelas. Pokoknya jangan sampai lupa berdoa. Nah yang keempat, berpakaian rapi, menarik, dan manis. Tonjolkan kepribadian profesional sesuai dengan perusahaan yang membuka lowongan. Pakaian kamu sudah lumayan sih, Mas Bro. Tapi baju putih, celana hitam, dasi hitam itu standar banget. Lain kali lebih rapi lagi – bukan bermaksud sombong, tapi mungkin bisa kayak aku gini.”

“Siap siap.” Nanto manggut-manggut.

“Kelima, tadi sudah bener, Mas Bro. Aku lihat sampeyan hadirnya tepat waktu. Nah itu sudah bagus. Udah ngelamar kerjaan, tes wawancaranya telat pula. Ga banget kan? Pasti langsung dapet coret silang besar dari si pewawancara. Jadi jauh-jauh hari pastikan lokasi wawancara dan pelajari rutenya supaya tidak kena macet.

“Nah yang keenam nih, beri kesan baik sewaktu wawancara kerja. Ingat ya, Masbro. Kesan pertama akan sangat memberikan penilaian mendalam. Di sini people akan judge the book by it’s cover. Paham ya maksudnya? Entah itu dari sisi penampilan, kemampuan, ataupun cara bicara. Jadi bersikaplah percaya diri, fokus, dan ga usah aneh-aneh. Jadi diri sendiri saja. Jika diberikan pertanyaan berupa masalah yang harus dipecahkan, berikan solusi – bukan malah bertanya balik atau memberikan jawaban yang membingungkan si pewawancara.

“Yang terakhir, yang sering dilupakan orang-orang yang melamar pekerjaan dan melakukan tes wawancara adalah ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Jangan lupa itu. Orang yang sopan akan mendapatkan pekerjaan yang baik kok.”

“Wow. Makasih banget ini, Mas Bro. Pencerahan ini.”

“Hehehe. Sama-sama. Gayanya sok kasih tahu, padahal belum dapet kerja juga.”

“Hahaha.”

Seorang gadis manis keluar dari ruang wawancara. Ia memegang map berisi nama-nama peserta tes wawancara. “Cagak Harnanto? Mas Cagak Harnanto?”

Erik tertawa geli.

Nanto mengangkat tangannya. “Jalak, Mbak. Jalak Harnanto.”

“Ah iya. Jalak ya? Maaf Mas. Ini tulisannya imut banget masnya.”

“Hahaha.”

WewLagi-lagi.

“Silahkan masuk ke ruangan B ya, Mas. HRD kami sudah menunggu untuk tes wawancara. Hasilnya akan langsung disampaikan setelah wawancara semua kandidat selesai hari ini. Jadi bisa ditunggu sampai sebelum makan siang.”

“Baik, Mbak. Terima kasih.”

Nanto mengangkat jempolnya ke Erik. “Duluan, Mas Bro.”

Erik mengangguk dan tersenyum. “Siap. Serang aja jangan kasih kendor.”

Nanto melangkah menuju pintu yang dituju. Jantungnya berdetak kencang digidigidam digidigidum. Si bengal mengetuk pintu, membukanya, mengucapkan salam dan langsung dihadapkan pada beberapa pasang mata yang menatap acuh tak acuh, mereka hanya membalas salam dari Nanto secara formal.

Tak ada yang tersenyum, tak ada yang menyapa ramah.

Keringat dingin mulai deras membasahi tubuh Nanto, degdegan ga karuan, bingung apa yang harus dilakukan, otak jadi blank, kelakuan jadi awkward, merasa diri kecil dan tidak percaya diri.

Yakin ini kamu, Nanto? Jadi diri sendiri saja! Ga banget dah. Giliran berantem aja jagoan, ini ngadepin wawancara jiper. Ah elah. Yang penting siap dan semangat.

Selamat datang di dunia wawancara kerja, Nyuk.

.::..::..::..::.

Bian melepas ikatan plastik di bungkus rokok, membuka bungkus dan menarik satu batang dari dalamnya. Ia juga mengeluarkan korek api andalan berwarna hijau bening yang kalau dipinjam orang pasti ilang. Korek dinyalakan, rokok dihisap, asap dikebulkan. Ah. Pagi yang cerah dan senyum di bibir merah. Pemuda yang sedang iseng naik motor pagi-pagi keliling ringroad itu mampir di Indom@ret di depan perumahan dan pertokoan elit Casaguava yang desainnya bak perumahan dewa-dewa Yunani. Sudah dari tadi malam dia tidak tidur, jadi main-main aja ke sini cari rokok dan beli roti.

Eh tapi… lokasi ini jaraknya agak jauh dari tempatnya tinggal, jadi kenapa dia bisa sampai di sini? Pertama karena iseng saja, kedua karena menurutnya penjaga kasir Indom@ret di sini wajahnya mirip anggota JKT69. Unyu banget cuy – meski yah bedanya kalau yang di sini pakai kerudung, yang aslinya nggak.

Setahu Bian, mbak-mbak kasir yang namanya dia belum tahu ini kalau berjaga seringnya di shift pagi. Jadi beberapa hari sekali Bian menyatroni tempat ini dengan degdegser uhuy uhuy cuci jemur cuci jemur hanya demi tepe-tepe.

Selain rokok dan roti, Bian juga acapkali beli susu kesehatan yang ada gambar beruang dan merk-nya Be@r. Untung cocok ya. Kalau gambarnya beruang dan merk-nya Burung Murai Batu kan beda lagi urusannya.

Bian duduk di kursi putih yang ada di depan Indom@ret, ia meletakkan rokok, roti, dan korek apinya di sana. Kalau sudah posisi wuenak begini asyiknya buka-buka instagram, ye kan? Tangan kanan pegang hape, tangan kiri susu kaleng. Sedap.

“Ah, susu saya susu Indira. Wuwu.”

Kekeh Bian sembari meminum sekaleng Be@r Brand dan mengamati feed instagram dari salah satu anggota JKT69 yang paling kiyut menurutnya. Bian emang gitu. Serem tongkrongannya, tapi wota hatinya – hashtag Sumini. Bagi Bian dunia boleh berhenti berputar tapi Sumini kamu tetap sempurna.

Langit tiba-tiba saja berubah menjadi mendung seiring ke-alay-an Bian yang menjadi-jadi. Tidak lama lagi pasti akan turun hujan, seperti hari-hari sebelumnya yang memang sedang musim. Bian pun menghabiskan susunya, melemparkan kaleng ke tempat sampah dengan gerakan bak seorang pemain basket dan melenggang ke arah motor setelah memasukkan semua yang tadi ia beli dan diletakkan di meja ke kantong plastik.

Dadah mbak-mbak kasir yang imoet. Aku padamu, Mbak. Begitu batin Bian.

Pemuda itu pun berjalan santai ke arah parkiran motor.

“Bian?”

Bian menengok ke belakang. Ada beberapa orang yang tidak ia kenal yang berdiri di sana. Cukup banyak. Sepuluh orang? Sebelas? Dua belas? Dari mana mereka? Sejak kapan mereka datang? Semuanya berwajah keras, memiliki tato di sekujur tubuh, dan hampir semuanya memiliki rambut yang dicat warna-warni. Ini anggota sirkus mana pula?

Kowe Bian seko Patnem to, Su? Kamu Bian dari Patnem, kan?” salah seorang dari gerombolan bertato itu maju, ia mengenakan masker tengkorak dan mengacungkan telunjuknya ke arah Bian.

“Bukan.” Jawab Bian sekenanya.

Ada urusan apa lagi ini? Mereka jelas bukan gerombolan klitih yang main-main, kenapa mereka sepertinya mengincar dirinya? Ada masalah apa? Kalau harus berantem di sini Bian pasti akan kesulitan karena kalah jumlah. Bangsat! Kenapa juga tadi dia harus berhenti di sini. Mereka pasti sudah mengikutinya sejak lama, bahkan mungkin sejak pagi sewaktu dia keluar dari kontrakan! Wasu! Kenapa dia tidak sadar diikuti rombongan orang sirkus segambreng begini!?

Ini semua pasti gara-gara rasa bahagia ingin segera berjumpa mbak-mbak kasir yang mirip Sumini! Dia jadi salfok! Ah! Lagi-lagi gara-gara wanita!

“Ada pesan dari Pimpinan Kelompok PSG, Su.”

PSG? Paris Saint-Germain? Jelas bukanlah. PSG itu singkatan dari Pasargede, tempat berkutatnya gerombolan geng preman yang merajalela di kota. Bian tahu kelompok geng PSG bukanlah kelompok kaleng-kaleng. Mereka cukup besar dan ditakuti dengan jumlah anggota seabrek-abrek. Bangsat! Urusannya kenapa jadi kemana-mana ini? Ada urusan apa PSG sampe-sampe nerjunin pasukan segini banyak cuma buat dia seorang?

Bian tentu tidak tahu kalau Joko Gunar sudah menginstruksikan anak buahnya untuk memburu dan membasmi semua petinggi Patnem, termasuk dirinya.

“Apa pesannya?”

“Patnem salah sasaran. Bosku minta ganti rugi.”

Sompret. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi Ini sudah kode buat bunuh-bunuhan. Bajingan! Ya sudah kalau begitu! Lebih baik menyerang sebelum diserang! Apapun urusannya yang penting hajar dulu mikir belakangan!!

“Heeeaaaaaaaaaaa!!!” Bian berteriak kencang dan mulai maju menerjang. Si masker tengkorak jadi sasaran pertamanya!

Rombongan penyerangnya juga berteriak dan maju bersamaan.

Arena tercipta di siang bolong!

Satu lawan belasan!

.::..::..::..::.

Hageng melangkah masuk ke teras kos-kosannya dengan kesal. Wajahnya masih terasa panas meski dia sudah beristirahat cukup lama di klinik. Beristirahat? Mungkin lebih tepat disebut pingsan. Dia benar-benar dihabisi oleh Simon, si bongsor itu tidak mengira sama sekali kalau pimpinan Sonoz akan sedemikian kuatnya.

Tapi justru kekuatan Simon membuat Hageng tertawa senang. Bagus. Paling tidak hari-harinya di Unzakha kelak tidak akan sepi, tidak percuma dia transfer kampus ke Unzakha. Karena dia akan berusaha menantang dan mencari kesempatan dan kelemahan Simon setiap hari sampai dia benar-benar dapat mencapai puncak gunung menjulang.

Tapi itu suatu hari nanti, bukan saat ini.

Saat ini dia tidak lebih bagaikan burung dara goreng di pinggan yang sudah siap dihidangkan di depan Simon yang memegang garpu dan sendok. Tidak ada artinya semua yang ia kuasai kalau dia tidak bisa berkembang! Dia harus berkembang.

Hageng berbelok menuju kamar kost yang berada di ujung paling belakang. Untuk sampai ke kamar dia memang harus melewati lika liku kamar kos yang selalu laku. Saat ia sudah melalui belokan terakhir, tiba-tiba saja terdengar suara sambutan yang ceria.

T-Rex bodol! Kemana aja kamu seharian? Sampai capek kami nungguin.”

Su-suara itu! Pa-panggilan itu!

Hanya ada segelintir orang saja yang memanggilnya dengan sebutan T-Rex! Segelintir orang yang sudah bertahun-tahun tidak ia temui!

Mata Hageng mengembang, wajahnya menjadi cerah. Buru-buru ia mengejapkan mata yang kabur untuk memastikan bahwa dia tidak sedang mengalami halusinasi akibat kepalanya digetok terlalu keras. Tapi dia memang beneran tidak halu. Di sana, duduk di kursi rotan depan kamarnya – ada dua sosok manusia yang amat ia rindukan! Sangat-sangat ia rindukan!

“Ro-Roy? Deka?!” Hageng berkaca-kaca. “Ini beneran kalian!? Kalian benar-benar datang!?”

“Sudah kubilang dia pasti bakal mewek, Ndes.” Kata Roy sambil tertawa.

“Memang, ga ada bedanya sama dulu. Masih jadi yang paling cengeng.” Deka geleng-geleng.

“Huwaaaa!!!!” dengan wajah bak anjing kecil yang bahagia Hageng berlari mendekat ke Deka dan Roy dan memeluk keduanya dalam satu tangkupan tangan yang merentang lebar. Kangen banget dia sama mereka! “Tidak pernah kuzangka kalian akan datang!! Huwaaaa! Ini benar-benar hari yang menyenangkan! Zenang! Zenang zekali!”

“G-ga gini juga, Nyuk!”

Deka tertekan sampai penyet. Mungkin mirip seperti perasaan si wadah odol yang udah habis tapi terus menerus dipencet.

“Bangsat! Bau kamu apek banget, Rex! Habis nyebur di kandang sapi mana?” ucap Roy sembari menjulurkan lidah huek-huek.

“Bahahahahah! Aku zenang zekali! Maaf maaf! Aku zudah tidak mandi tiga hari ini.” Hageng melepas kedua kawan lamanya yang langsung saling menatap dan menutup hidung, buset tiga hari ga mandi, udah gitu keringetnya sekolam. Kecoak iseng aja ogah deket-deket. “Zudah lama kalian?”

Roy menggeleng, Deka mengangguk.

Kembali Hageng tertawa lepas sembari memberikan fist bump ke Roy dan Deka. Yang begini ini yang dia kangenin, kawan-kawan lama yang setia dan satu hati meski pendapatnya berbeda-beda.

“Mana Bian, Roy?” tanya Hageng sambil memasukkan kunci ke pintu kamarnya. Begitu dibuka bau apek menyebar bak ruang karantina mummy yang sudah tidak pernah dibuka sejak zaman firaun baru peletakan batu pertama piramida. Mungkin inilah satu-satunya kamar di dunia yang bahkan laler sama kaki seribu pun sungkan masuk karena gas beracun.

“Ga tau dimana si Bian. Susah dia sih.”

“Hmm…” Hageng mengangguk-angguk. “Paham… paham…”

“Kami datang karena ada alasan penting, Rex.” Deka membuka percakapan.

“Alazan apa itu?”

“Nanto.”

“Nanto?”

“Nanto sudah kembali ke kota ini.”

“Haaaaaah!?? Beneran!? Zeriuz? Waaaah!!” wajah Hageng menjadi benar-benar cerah kali ini. Ia yang tadinya berdiri di depan pintu kamar bahkan sampai terduduk mendengar kabar itu. Hageng membenamkan wajahnya di lengannya, hampir-hampir menangis bahagia. “Nanto! Hahahahaha! Zeru zekali! Zeru! Anjir! Kita zudah zeharuznya reunian ini! Haruz!”

Roy dan Deka saling berpandangan dan tersenyum. Keduanya duduk di samping kanan dan kiri si raksasa, lalu menepuk-nepuk pundaknya. Meskipun tubuhnya paling besar, hati Hageng juga paling lembut. The gentle giant.

“Kangen banget zama kalian, Njir. Apalagi zama dia.”

Deka mengangguk dan tersenyum.

“Saat ini dia butuh bantuan kita, Rex. Kamu mau bantuin kan?”

Hageng mendongak, ia menatap Deka dengan wajah mengeras. “Dia butuh bantuan? Pazti. Tanpa banyak omong, pazti aku bantu! Katakan zaja apa mazalahnya, dan aku akan datang ke zana!”

Deka sekali lagi mengangguk. Ia menepuk pundak Hageng lebih keras lagi.

Terdengar bunyi dering notifikasi di ponsel Roy.

“Kamu kayak habis berantem gini, Rex? Dari mana aja?” Deka menepuk-nepuk bahu besar sang raksasa yang lembut.

“Hahahahaha! Tidak mazalah! Baru zaja cari angin! Hahahaa!”

“Cari angin? Belum masuk kuliah, kan? Kuliah di mana sih sekarang? Asli ga tahu.”

“Zudah tranzfer ke Unzhaka zekarang. Kuliah di tempat lama tidak azyik.”

“Tidak asyik?”

“Tidak zeru.”

“Tidak seru gimana?”

“Tidak ada yang berantem.”

Badalah. Ya justru itu malah enak buat kuliah beneran. Oalah T-Rex… T-Rex…”

Hageng hanya tertawa sementara Deka geleng-geleng kepala.

“Gaes. Kayaknya kita harus segera cabut.” Kata Roy tiba-tiba sambil menunjuk ke arah ponselnya.

Wajah Roy tegang.

.::..::..::..::.

Kandang Walet berdiri angker di samping Universitas Amora Lamat.

Meski bertajuk gedung kosong yang seharusnya berpenghunikan kelelawar, kecoak, dan tikus namun tempat ini menjadi lumayan terawat berkat kehadiran juru bersih-bersih yang dihadirkan oleh keberadaan DoP. Siapa juru bersih-bersih itu? Korban-korban DoP yang berasal dari mahasiswa baru UAL. Terpaksa tidak terpaksa mereka diminta bebersih tiga lantai. Lumayan melelahkan? Pasti. Tapi bisa apa para mahasiswa baru melawan kekuatan geng terbesar di UAL?

Di hari bersih-bersih kali ini, sebagian besar anggota DoP berkumpul di bawah, hanya beberapa orang berjaga di lantai dua, dan hanya dewan pimpinan tertinggi berada di lantai atas.

Para pemuncak rantai kepemimpinan DoP tengah melakukan pembicaraan bersifat rahasia dan teramat penting hari itu – tentunya berkaitan dengan perang dingin melawan Sonoz yang makin tak terelakkan.

“Apa yang kamu lakukan itu gegabah!” Oppa bersungut-sungut karena tindakan Remon yang lancang mendahului keputusan dari pimpinan tertinggi DoP dengan melakukan tindakan vandalisme ke Unzakha. “Perbuatan bodoh itu justru melegitimasi mereka untuk menyerang kita! Sebelum ini tidak pernah ada tindakan terang-terangan dari Sonoz! Tapi gara-gara ulahmu, kita sekarang harus bersiap untuk perang terbuka dengan mereka! Seorang kapten harusnya bisa berlaku lebih bijak bukan main serang seperti ini!”

“Ckckck… Oppaa… Oppaaa… sejak kapan kamu jadi pengecut?! Memangnya kamu takut sama Sonoz? Kalau memang mereka mau menyerang, ya biarkan saja mereka menyerang! Kita sudah siap dengan segala kemungkinan!” Remon mendengus kesal. “Jangan lupa kalau mereka duluan yang menyuruh Patnem menyerang Rao! Apakah itu tidak termasuk tindakan terang-terangan dari Sonoz? Kamu sudah lupa kejadian itu? Mantep tenan!

“Aku tidak lupa. Kita masih belum tahu apakah Simon yang menginstruksikan penyerangan kepada Rao, ataukah orang-orang Patnem beraksi sendirian.” Oppa menyentuh hidungnya berulang. Dia gelisah dan tidak nyaman beradu argumen sesama kapten di hadapan pimpinan tertinggi DoP dan kedua jendralnya.

Seperti yang sudah disampaikan tadi, saat itu memang sedang diadakan pertemuan khusus antara para petinggi DoP. Semua hadir di lantai teratas Kandang Walet. Mulai dari keempat kapten: Amon, Remon, Oppa, dan Don Bravo; kedua jenderal: Rikson dan Kori, serta tentunya sang pimpinan –Rahardian Oka Prawira yang lebih sering dipanggil dengan nickname Rao.

Oppa melirik ke arah sang komandan.

Pimpinan DoP itu masih duduk santai di pinggiran rooftop, mengamati pemandangan kota dari tempatnya duduk menuju ke utara. Pemandangan atap rumah, pohon menghijau, gedung tinggi, hingga gunung yang menjulang. Rokoknya dihisap dan asap dihembuskan ke angkasa. Tak nampak kekhawatiran sedikitpun di wajah bandelnya. Rao ongkang-ongkang kaki dengan kopi di samping kanan, lengkap dengan gedhang goreng hangat nikmat. Mana lagi yang lebih nikmat dari ini?

Komandan tertinggi DoP itu bahkan seakan tidak peduli ketika Oppa dan Remon berdebat, dia hanya asyik menatap keindahan alam di pagi hari.

Ponsel Kori tiba-tiba berdering kencang.

Pria yang punya ketakutan berlebih terhadap kuman itu mengangkat telponnya dan menekan tombol terima. Suaranya datar tanpa ekspresi saat melihat siapa yang melakukan panggilan. “Ya.”

Ada perubahan di mimik wajahnya saat suara di ujung sana mengucapkan beberapa patah kata. Ia mengangguk meski tahu pasti orang yang di ujung sana tidak akan dapat melihat. “Jam berapa? Sekarang? Ya. Kami siap kapan saja.”

Hubungan telepon itu tidak lama, Kori pun menyimpan ponselnya kembali di saku saat penelpon di ujung menutup panggilan.

Sang jenderal mendekat ke arah Rao.

“Barusan dari Ableh Ndaho, kaptennya Talatawon. Kita ditunggu Sonoz di UTD siang ini.”

Talatawon adalah geng kampus yang memiliki basis di Universitas Teknologi Digdaya atau UTD, kampus yang berada di wilayah ringroad utara – lokasinya tidak terlalu jauh dengan terminal bis antar kota. Di samping UTD terdapat lapangan basket luas dan lapang yang sering dijadikan ajang pertarungan bebas baik legal maupun ilegal. Sebulan sekali setiap tanggal tertentu, tempat ini bahkan menjadi ajang tarung gladiator antar kampus yang biasanya diikuti oleh perwakilan geng kampus. Semua kapten dan jenderal DoP pernah menjadi pemenang tarung gladiator di tempat itu.

Undangan dari Talatawon jelas legit, undangan resmi.

Mendengar keterangan dari Kori, Rao pun tertawa, ia masih menatap gunung megah yang berdiri jumawa di utara kota. “Sonoz mengenal aturan kepemimpinan yang disebut sistem gunung menjulang. Siapapun yang bisa meraih puncak akan menjadi pemimpin, yang tidak bisa bertahan di puncak akan digantikan.”

Semua yang ada di situ menatap ke arah Rao. Sejak tadi baru kali inilah sang komandan berucap.

“Gunung menjulang. Keren juga.” Kata pria itu sambil tersenyum. ia membuang puntung rokoknya. Membalikkan badan dan melompat turun dari pinggiran rooftop. Ia mengenakan jaket kulitnya dan tertawa saat mendekati Kori.

“Seperti yang sudah kita perkirakan ya? Tarung Para Wakil?”

Kori mengangguk tanpa senyum.

Tarung Para Wakil adalah solusi dari pertarungan antar geng yang dilakukan untuk meminimalisir korban dan kekacauan yang ditimbulkan – solusi ini diciptakan untuk mengatasi pertikaian abadi geng legendaris Joxo Gendeng (JXG) dan Qhaoz-Kings (QZK) bertahun-tahun yang lalu.

Jika ada dua geng sedang bertarung, berperang, atau berselisih paham – maka diadakan Tarung Para Wakil yang dilakukan di tanah netral dengan saksi dari pihak ketiga untuk menjadi juri pertarungan representatif dari masing-masing kelompok geng, biasanya jumlah pertarungannya ganjil untuk menghindari draw atau stalemate. Tiga lawan tiga atau lima lawan lima. Pemenang akan menentukan apa yang selanjutnya dilakukan oleh pihak yang kalah. Salah satu hukuman paling fatal tentunya adalah membubarkan diri.

Karena yang bertarung hanya delegasi, maka korban yang ditimbulkan tidak banyak dan kerusakan yang diakibatkan perangnya tidak massive. Jika sampai ada yang mengingkari hasil Tarung Antar Wakil – maka semua geng kampus di seluruh penjuru kota akan memburu dan menghabisi setiap anggota kelompok pengingkar sampai habis tak tersisa. Semua akan dibumihanguskan jadi debu.

Pertarungan itulah yang kini akan menentukan nasib DoP dan Sonoz.

Rao melewati jendral dan kaptennya dengan santai menuju tangga turun Kandang Walet, sang komandan tersenyum lebar penuh keyakinan. Ia melesakkan tangannya ke saku celana dan bersiul. Kacamata hitam tidak pernah lepas dari mata.

“Kita berangkat sekarang. Siapkan kepalan kalian.” Kata sang komandan. “Sudah saatnya gunung menjulang kita ratakan dengan tanah.”

“Wooohooo!” Don Bravo mengangkat tangannya yang masih memegang bokken dengan gembira.

Satu persatu personil papan atas DoP menyusul Rao menuruni tangga dengan wajah yang penuh semangat. Semua. Kecuali satu orang. Ia membuka ponselnya dengan cekatan, mengirimkan secarik pesan untuk seseorang di Sonoz.

Otw. Plan A.

.::..::..::..::.

Papan pengumuman di depan kantor distribusi Very-Plus mendadak dipadati orang siang itu. Wajah-wajah yang berubah nampak dari sekian peserta, ada yang berubah senang, ada yang berubah sedih, ada yang berubah bengong.

Ada yang tersenyum bahagia, ada yang tersenyum pahit, ada yang hanya bisa melongo.

Nanto menghela napas, hasil wawancara sudah langsung diumumkan. Yang lolos masuk ke tahap selanjutnya, yaitu wawancara dengan dewan direksi. Nah tegangnya jadi dobel dong kalau sudah wawancara sama direksi, sama HRD aja degdegser apalagi sama direkturnya.

Erik menghampiri Nanto. Pria berdasi pink itu tersenyum dan menggeleng. “Belum rejekiku, Masbro. Kamu gimana?”

Nanto tersenyum lebar.

“Widih, mantap abis. Jadi lolos nih, Masbro? Keren keren. Jadi nih kita makan-makan di mie ayam depan gang.”

“Hahahaha, apaan dah. Sama aja kok, Bro. Belum rejekiku juga. Itu ada keterangannya belum memenuhi syarat.”

Wadidaw. Hahaha. Udah senyum-senyum kirain lolos, Bro.”

Memang tidak semudah itu ya mencari kerja. Untuk satu jabatan yang sebenarnya penting ga penting untuk perusahaan, yang masukin lamaran puluhan, dan dari sekian banyaknya pelamar diperas-peras kayak jeruk sampai akhirnya hanya tersisa satu, yang lainnya kecut. Kalau sudah begitu tentu semua orang berjuang untuk diri masing-masing.

“Aku terusan dulu deh, Bro. Mau balik.” Kata Erik kemudian.

“Sama kalau gitu, mau balik juga.”

“Kabar-kabar aja kalau ada lowongan lain. Nanti kalau aku ada kabar lowongan aku kabarin juga ke situ. Mantap toh?”

“Siaaap.” Nanto mengangkat jempol.

Memang kebetulan mereka tadi sudah bertukar nomor telepon.

Ga dapat kerjaan, dapat kawan seperjuangan.

Si bengal melangkah gontai menuju ke parkir motor. Rasanya memang lemes banget kalau gagal seperti ini, berasa diri sendiri ga ada istimewanya. Tapi ya harus tetap optimis saja kan? Karena memang hanya itu satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Masa mau ngotot? Emang siapa kita? Yang punya perusahaan?

Kita bukan makhluk lemah yang hanya bisa mengeluh tiap kali ditolak kerja. Pasti masih ada pekerjaan lain untuk kita di luar sana, kalau sekarang ditolak, belum tentu diterima di tempat lain. Eh salah. Kalau sekarang ditolak, itu artinya pekerjaan yang sekarang ini memang belum jodoh kita.

Bukan berarti pula bahwa ketika kita ditolak kerja di sebuah perusahaan itu karena kita memang bodoh dan tolol dan tidak pantas bekerja di sana, salah besar merendahkan diri seperti itu. Anggap saja bahwa sebenarnya perusahaan tersebut sudah menetapkan kriteria tertentu untuk calon karyawan dan interviewer sudah paham mana yang cocok bekerja di kultur perusahaan dan mana yang tidak. Nah, kebetulan kita tidak termasuk yang lolos saringan.

Anggap saja latihan mental, ditolak di perusahaan ini bukan berarti diterima di perusahaan lain. Eh salah lagi. Hahaha. Intinya kalau jatuh, ya bangkit lagi. Bukan malah duduk merenung sambil pundung, lalu curhat pada semut merah yang berbaris di dinding dan menangis meraung-raung. Kan lebay ya, Bos?

Inilah yang namanya pertarungan hidup, ga ada yang instan, semuanya harus diperjuangkan. Lama-kelamaan seseorang akan terlatih untuk berhadapan dengan interviewer dan mampu memahami bagaimana menyiasati sebuah tes wawancara demi memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Jadi… bukan berarti kita tidak memiliki nilai atau tidak pantas bekerja di perusahaan tertentu, mungkin waktu dan lowongan yang dibutuhkan masih belum tepat – atau memang tempat kita nantinya bekerja bukan di situ, melainkan di tempat yang lebih baik lagi.

Begitu ya, Nyuk? Cari kerja yang lain! Jangan takut gagal!

Ponsel Nanto bergetar tepat saat ia berada di depan motornya. Ia melirik ke arah layar, mencari tahu siapa yang baru saja menghubunginya melalui WhatsApp.

Deka?

Lumayan juga sih ada temen kayak Deka, mungkin dia bisa ngajakin Deka dan Ara main-main bareng kemana gitu buat menghapus duka lara setelah ditolak kerja hari ini. Ke pantai asyik juga sepertinya, sudah lama banget dia tidak ke pantai. Kan lumayan tuh teriak-teriak di tepi pantai buat habisin emosi yang selama ini cuma dipendam. Eh, tapi Ara mau ga ya?

Nanto membuka screenlock dan membaca kalimat yang diketikkan Deka di pesan singkatnya.

Kode Bravo. Depan unit pertokoan Casaguava. Bian.”

Wajah si bengal yang tadinya sempat senyam-senyum ketika membuka WhatsApp berubah menjadi sangat serius. Apa yang ditulis Deka adalah sebuah kode khusus yang dikirimkan oleh anggota kelompoknya dulu di SMA CB saat ada bahaya yang mengancam.

Nanto buru-buru mengenakan helm dan menaiki motornya. Tak lama setelah memberikan uang ke tukang parkir, pemuda itu memacu motornya ke arah yang disebutkan Deka.

Lima jari, hanya bisa membentuk kepalan jika ada lima. Nanto sudah tidak peduli lagi seberapa cepat ia memacu kecepatan motor yang ia kendarai. Speedometer-nya melejit bak busur. Peduli setan dengan orang yang memaki di jalan.

Ia pasti datang.

Tunggu aku.

Bersambung

Ceria Dewasa Enak-Enak Dengan Istri Teman
Ngewe dengan pasien sendiri
cantik indonesia cerita sex
Ohh Aku Telah Menghancurkan Gadis Yang Tulus
perawan
Merawanin dua gadis cantik yang masih daun muda
abg nakal
Wisata unik di jogja, mencoba three some dengan tiga gadis abg
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
Cerita Dewasa ABG Sekolah Ingin Merasakan Enak-Enak
guru sexy
DI beri pelajaran oleh ibu guru sexy
Membantu Memuaskan Tante Lela
belahan dada pembantu
Nikmatya Memek Sempit Pembantu Ku
Gambar Bugil Ngentot Animasi Gif Bergerak
Tetangga Kos Yang Cantik Based True Story
Ngentot mertua
Menikmati tubuh mulus ibu mertua bagian dua
Cerita dewasa ngentot di toilet
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
gadis cantik
Gadis Cantik Adik Sohibku Yang Menjadi Fantasi Sexual Ku