Part #15 : Bertemu Desy
Pagi ini pukul 5:15 aku meninggalkan rumah untuk melakukan jogging. Meski sudah sering berkeringat karena adegan seks yang seminggu ini terus menimpaku, namun aku tetap harus rajin berolahraga agar tetap bugar. Lagipula, terjaganya bentuk tubuhku ialah salah satu alasan yang membantuku untuk mampu dekat dan berhubungan dengan para wanita selama 9 hari terakhir ini.
Aku telah berlari cukup jauh, matahari sudah mulai naik, kini waktunya beristirahat. Aku sedang duduk meluruskan kaki di trotoar sambil meminum air sebelum seseorang tiba-tiba menegurku.
“Rajin juga ya kamu, sepagi ini sudah jogging.”
Aku menengok ke belakang untuk mencari si pemilik suara itu. Di luar dugaan, seorang perempuan muda berambut panjang terikat, dengan wajah kecoklatan blasteran barat menghampiriku. Ia mengenakan legging ketat yang membalut kaki jenjangnya, dan sport bra bermerek mahal yang memamerkan perut kencang dan tonjolan payudara berukuran sedangnya. Tanpa berkata apa-apa Ia mengambil duduk di sampingku. Aroma manis samar tercium dari tubuhnya yang berkeringat ini.
“Desy?” tanyaku sambil memicingkan mata. Aku cukup terkejut karena Desy, teman sekaligus musuh Nissa kini entah dari mana tiba-tiba menghampiriku. Kami baru pernah berkomunikasi sekali denganku sebelum ini.
“Lihatnya gitu amat… iya aku tau, aku dan Nissa memang saling benci, tapi ga berarti kamu harus benci aku juga kan?” Ucapannya masuk akal juga, aku pun memberikan senyum tipis pertanda bahwa tak ada masalah di antara kami.
“A-Aku gak ikut benci kok, cuma kaget aja bisa ga sengaja ketemu gini.”
“Aku memang sering jogging di area sini. Bentar lagi turnamen basket, jadi aku harus mastiin kaki aku siap untuk olahraga dengan tensi tinggi.” Aku hanya mengangguk saja mendengar ucapannya.
“Pasti kamu juga sering olahraga ya?” tanyanya. Entah Ia tahu dari mana, padahal saat ini aku sedang mengenakan hoodie yang menutupi tubuhku sehingga tak terekspos. Aku sekali lagi hanya bisa menganggukkan kepala.
“Kelihatan kok, kemarin pas ngehajar Ramli kelihatan kalau badan kamu kuat.” Pujiannya membuat wajahku memerah. Entah mengapa aku bisa kesulitan berkomunikasi dengan perempuan yang lebih muda dariku ini. Padahal beberapa hari lalu aku berbicara dengan lancar saja dengannya, entah mengapa hari ini nuansanya terasa lebih canggung. Mungkin suasana yang berbeda cukup memengaruhiku. Seakan sadar atas sifat diamku, Desy pun menegur.
“Kamu emang sediam ini apa karena ga pengen aku duduk sini?”
Kali ini aku tak lagi tinggal diam. Ia sudah bersiap berdiri sebelum akhirnya aku membuka mulut.
“Kamu duduk sini saja. Aku hanya lagi sibuk merhatiin pemandangan sini sampai lupa ngomong.”
“Jalanan sepi gini emang ada pemandangan apaan?” tanyanya sambil menoleh ke selusur jalan kosong itu.
“Kamu, pemandangannya kamu,” ucapku sambil menatapnya. Kali ini gantian wajah Desy yang merona. Entah dari mana datangnya keberanianku, namun mau apa lagi mending dilanjutkan saja.
“Da-dasar!” tegurnya sambil kikuk memegang kedua lututnya.
Setelah itu kami pun mulai bercengkerama dengan lancar. Kami tidak membuka diri satu sama lain, sebaliknya kami hanya bertukar candaan, membahas apa pun yang lewat di jalanan depan kami. Sesekali ia tertawa, lucu juga melihat lesung pipinya yang timbul kala tersenyum. Suaranya yang sedikit serak membuatnya terdengar begitu seksi. Setelah asyik bercengkerama kami pun lanjut berlari memutari area sekitar.
“Udah 6:10, kamu emang ga pulang buat siap-siap sekolah?”
“I-inih kan depan rumah akuh…” balasnya sambil bertumpu lutut, nafas Desy sudah ngos-ngosan. Haha, ternyata sambil jogging aku sekalian mengantarnya pulang.
Aku sudah bersiap jalan menjauh, aku juga ada kuliah pukul 8 pagi ini. Harus segera bersiap-siap.
“Dio!” ucapnya tiba-tiba sambil mengejarku.
“Ya?”
“Aku-Aku mau minta nomor telepon kamu,” ucapnya, menunduk malu sebelum menatapku sambil tersenyum manis, menyapu sisa rasa lelah dari wajahnya. “Siapa tau lain kali kita bisa jogging bareng lagi. Mu-mungkin kalau ada temannya aku bisa lebih semangat jogging.”
“Bo-boleh,” jawabku.
Sambil berlari kecil menuju rumah, aku sedikit kepikiran pada Desy. Ternyata Ia manis juga, perilakunya juga tak memberikan indikasi apa pun yang membuat aku harus membencinya. Sebaliknya, Ia mungkin bisa menjadi teman baikku kelak. Ia suka olahraga, ia lucu, dan yang unik, Ia tidak melihatku sebagai kakak dari Nissa. Sebaliknya Ia bersikap seakan kami adalah teman yang sepantaran saja, membuatku jadi turut merasa santai berada di dekatnya. Nissa tentu akan sangat marah padaku jika mengetahui aku jogging bersama siapa pagi ini.
Siang ini seusai kelas aku duduk di kantin bersama Aurel dan Elma. Tadinya Harun juga di sini, namun mendadak teman-temannya yang lain memanggilnya pergi. Terakhir kali kami duduk bertiga seperti ini di kantin, Elma dan Aurel masih saling bertukar canda bahkan sesekali meledekku. Begitu kontras dengan siang ini, kala kedua perempuan itu duduk sunyi bersampingan sambil saling melempar tatapan dingin. Aurel berulang-ulang memainkan ponsel lalu menaruhnya kembali sambil sesekali menatap aku dan Elma, sebaliknya Elma sedari tadi hanya sibuk mengaduk sisa gula di gelas es tehnya dengan tatapan lurus yang hampa.
Mungkin kesannya kepedean, namun kali ini aku begitu yakin bahwa akulah penyebab perselisihan mereka kali ini. Elma tahu kalau aku telah memiliki hubungan dengan Aurel, begitu pula sebaliknya. Mereka saling tahu namun tak kunjung mau mengakui, hasilnya justru malah menimbulkan rasa kesal satu sama lain. Aduh, masa sahabat yang udah kayak perangko selama ini bisa saling kesal gara-gara ‘rebutin’ aku? batinku.
Alih-alih merasa bangga, aku justru jadi merasa bersalah. Aku tahu betapa pentingnya Aurel bagi Elma dan begitu pula sebaliknya. Mereka sudah begitu dekat satu sama lain sejak masih jadi mahasiswa baru. Siapa yang sangka bahwa kehadirankulah yang bisa membuat hubungan mereka merenggang? Aku harus segera memperbaiki kerusakan yang telah ku buat.
“Siang ini cuacanya dingin juga ya?” ucapku melempar bahan obrolan ke meja yang canggung ini. Namun bukannya disambut baik, baik Elma maupun Aurel justru saling melempar tatapan sinis padaku. Seakan berkata “Kamu jangan sok ga tau apa-apa!”
Aku pun hanya diam, tak berani berucap lagi. Meja kami dihinggapi keheningan lagi. Namun ternyata mereka tak betah juga atas keheningan ini, setelah beberapa menit diam, Elma pun membuka suara.
“Huft… kayaknya aku sebagai yang lebih dewasa dalam pertemanan kita ini perlu meluruskan perihal yang terjadi beberapa hari ini,” ucap Elma sambil tersenyum kecut. Ia mendongakkan kepalanya menatap Aurel di sampingnya.
Namun bukannya disambut baik, Aurel justru memasang wajah kesal. Dengan balik mendongak, ia berkata, “Maksud kamu lebih dewasa? Hanya karena kamu udah punya anak, lebih tua, ga berarti kamu lebih dewasa dari aku.” Ia menatap Elma sambil melipat tangannya ke dada. Oh sialan, sepertinya perdamaiannya tak kunjung terjadi.
“Loh, kok kamu bawa-bawa anak aku sih? Kalau kamu ada masalah sama aku ya bahasnya tentang aku aja. Tau ga sifatmu yang kekanak-kanakan itu dari dulu suka buat aku sebal, aku selalu tahan selama ini namun sekarang kamu udah melampaui batas. Sekali lagi kamu bawa-bawa anak aku dalam argumen kayak gini aku bakal…”
“Bakal apa?! Kamu pikir aku takut sama kamu? Kamu pikir selama ini aku ga pernah kesal juga sama sifat kamu?” jawab Aurel sambil menatap Elma tajam. Kali ini aku hanya bisa memasang wajah kikuk menghadapi orang-orang di kantin yang mulai memerhatikan keributan ini.
Mereka berdua saling bertatapan tajam cukup lama. Ku lihat tangan Aurel mengepalkan tinju seakan menahan amarah, sedangkan Elma memainkan gelas di depannya dengan cukup kencang seakan berusaha menekan emosi yang memuncak. Air wajah mereka memancarkan emosi yang tak tertahan. Kok bisa jadi beneran kesal-kesalan kayak gini?
“Hei-hei, udah yuk, itu dilihat sama orang-orang,” ucapku berusaha menenangkan mereka.
“Terus kenapa? Kamu malu kalau orang-orang tau? Giliran celup sana sini aja ga ada malu kamu,” ucap Aurel sambil menatapku. Aduh, bukannya kita sudah berdamai dengan hal ini kemarin? Kok diungkit lagi? Untungnya Aurel tidak mengucapkannya dengan lantang sehingga tak terdengar oleh orang lain.
“Rel! Jaga omongan kamu! Ga malu apa kalau didengar orang lain,” tegur Elma kali ini.
“Ia Rel, mending kita bahas ini di tempat lain aja,” timpaku.
Aurel yang merasa tak dibela kali ini menatap kami berdua bergantian. Dengan penuh rasa kesal Ia kemudian mendengus lalu meninggalkan meja. Meninggalkan aku, Elma, dan tatapan penasaran orang-orang.
Tak lama kemudian Harun pun datang menghampiri kami. “Aurel katanya pergi sambil marah-marah ya tadi? Memangnya ada masalah apa?” tanyanya yang hanya dijawab oleh kami dengan keheningan. Kalau kamu tahu yang sebenarnya terjadi kamu juga bakal marah kok Run, batinku.
Sepanjang siang itu aku memutar otak. Rusaknya hubungan Elma dan Aurel adalah hal yang tak aku sangka-sangka selama ini. Aku awalnya berpikir bahwa mereka mampu menerima hubunganku dengan mereka berdua sekaligus sesuai dengan apa yang mereka katakan. Perdamaianku dengan Aurel dua hari lalu seakan lenyap begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Namun di sisi lain aku juga tak boleh lengah atas hubunganku dengan Elma. Ia yang selama ini lebih banyak diam nampak mulai berapi-api belakangan ini, bukan tidak mungkin amarahnya bisa dialihkan padaku jika aku salah berbuat.
Tiba-tiba aku teringat pada uang yang diberikan Mama kemarin. 2 juta adalah uang yang cukup untuk ku gunakan untuk bersenang-senang. Apa aku sekalian ngajak mereka bergantian ke hotel ya? Mungkin dengan cara itu aku bisa memastikan bahwa mereka tidak marah padaku. Lagipula aku juga bisa memperoleh kenikmatan dengan cara itu. Baiklah, sisanya tinggal menentukan kapan dan siapa dulu yang akan ku ajak menginap di hotel. Untuk saat ini aku lebih baik pulang ke rumah saja dulu, memikirkan matang-matang niatku itu.
Aku pulang ke rumah pukul 5:25 sore. Pemandangan yang tak asing muncul di dapur sore ini. Tak lain dan tak bukan adalah hadirnya dua perempuan rupawan yang sedang bekerja di dapur saat ini. Mama yang sedang mengenakan tanktop hitam dan celana pendek coklat, melihatku sambil tersenyum.
“Udah makan belum?” tanya Mama sambil mengangkat panci dari kompor.
Aku hanya menggeleng sambil terpaku. Sosok yang berdiri di samping Mama, yang dengan telatennya memotong bawang merah. Sosok yang dengan kaos kebesaran dan celana pendeknya langsung melepas pisau lalu tersenyum begitu melihatku mendekat. Menampilkan pipinya yang chubby putih serta bibir tipisnya dengan rambut panjang yang diikat. Aku tahu kalau ia akan pulang hari ini, namun melihat langsung Kak Sasha di depanku saat ini benar-benar membuatku terpesona.
“Ma-masaknya banyak banget Kak,” ucapku mencoba menutupi rasa terpesonaku. “Emang ada acara apa?”
Kak Sasha hanya tersenyum kecil sambil memandang ke arah Mama. Mereka saling bertukar tatapan lalu melihatku lagi. “Nanti kamu dikasih tahu setelah makan malam,” jawab Mama.
Meski hanya ada kami berempat, namun makan malam kali ini berlangsung meriah. Semur daging, sayur asem, udang sambal goreng, dan juga nasi putih tentunya dihidangkan di meja makan. Beberapa kue pudding juga dihidangkan begitu kami telah selesai dengan hidangan utama.
Wajah Kak Sasha juga nampak lebih sumringah malam ini, seakan ada kebahagiaan yang dipancarkan dari wajah ayunya. Mama juga malam ini terlihat lebih ceria, sifat kakunya yang sesekali muncul sama sekali tidak nampak malam ini. Mama yang biasanya hanya memakan sayur pun kali ini turut menyantap semur daging. Sebaliknya, Nissa yang biasanya periang justru terlihat lesu. Ia tak kunjung berkata apa pun dan hanya makan sedikit malam ini. Pasti ada yang spesial dengan hari ini pikirku.
“Jadi apa yang mau dikasih tau nih?” tanyaku penasaran.
“Kamu aja yang kasih tahu adik-adikmu,” ucap Mama ke Kak Sasha.
“Jadi… minggu depan aku bakal wisuda…”
“Hore!” ucapku, turut merasa girang atas keberhasilan sepupuku itu. Aku bangga melihatnya bisa lebih dekat dengan cita-citanya.
“Belum selesai,” ucap Kak Sasha, sambil tertawa melihat euforiaku. Nissa juga ikut tersenyum girang mendengar kabar itu. “Selain itu, aku juga udah ditawarin kerja sebagai dosen,” ucapnya tersenyum.
Kini aku tak lagi menahan rasa senangku. Aku berdiri lalu memeluk Kak Sasha, Ia balik memelukku lebih erat. Ia memang selalu ingin jadi dosen sejak dulu, entah terinspirasi dari Mama atau siapa. Dengan sifat anggunnya yang berwibawa, tentu Kak Sasha memang sangat layak menyandang profesi yang mulia itu.
“Berarti Kak Sasha bakal ngajar Dio di kampus?” tanyaku.
Seketika Kak Sasha dan Mama saling bertukar pandangan. Senyum yang tadinya menghiasi wajahnya perlahan pudar, kali ini tatapannya mulai serius. “Sayangnya nggak, aku keterima kerjanya di kampus XXX di ibu kota. Mulai minggu depan aku bakal langsung pindahan ke sana dan mulai ngajar.”
Kali ini rasa senang yang menghampiriku langsung lenyap entah ke mana. Ternyata kebahagiaan yang kami rayakan malam ini adalah awal dari akhir yang baru. Sebentar lagi Kak Sasha akan berpisah dari rumah ini. Berpisah dari aku di saat hubungan kami sudah lebih dekat dari biasanya. Perempuan berwajah ayu yang selama ini menjadi penyemangat dalam rumah kami akan beranjak memulai hidup barunya tak lama lagi.
Setelah makan malam Nissa langsung masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya Ia juga sama kecewanya denganku. Seharian ini wajahnya terus-terusan cemberut, bahkan sebelum diberitahu tentang rencana kepindahan Kak Sasha. Jangan-jangan karena ulah Ramli lagi? batinku.
Di sisi lain, Mama masih mengobrol dengan Kak Sasha di ruang keluarga. Mereka berbincang cukup lama, Mama nampak begitu bahagia atas keberhasilan keponakannya itu. Mama memang begitu dekat dengan Kak Sasha, bahkan mungkin sudah menganggap Kak Sasha sebagai anaknya sendiri. Sedangkan aku yang masih kecewa pada kabar akan pindahnya Kak Sasha masih merasa malas di dapur. Cukup sulit membayangkan bahwa satu kamar di rumah ini akan kosong ditinggal pemiliknya. Lebih sulit lagi, mengingat orang yang akan pergi itu adalah Kak Sasha. Perempuan yang selalu membuat rumah ini tak pernah terasa sepi.
Tiba-tiba aku teringat pada suatu tempat di rumah ini. Tempat aku dan Kak Sasha dulu sering menghabiskan waktu kala ku kecil. Aku segera berjalan ke halaman belakang rumah. Mengambil tangga besi usang lalu menyandarkannya ke dinding. Tangganya masih kuat meski sudah lama tidak digunakan. Ku daki satu persatu, sampai akhirnya tiba di atap rumah yang tidak terlalu curam. Sesaat perasaanku untuk mengenang masa lalu tumbuh lagi. Ya, aku dan Kak Sasha dulu memang sering menghabiskan waktu di atap ini. Sambil merasakan angin malam menerpa dan menatap barisan bintang yang berkerlap-kerlip di angkasa.
Aku duduk memandangi awan yang menutupi munculnya bintang malam ini. Menatap nanar sambil memikirkan Kak Sasha yang sebentar lagi pergi. Betapa payahnya aku selama ini tidak memanfaatkan waktuku dengan baik agar bisa lebih dekat lagi dengan perempuan yang ku idamkan selama ini. Alih-alih aku malah lebih sering merasa canggung hingga menutup diri darinya. Baru belakangan ini kami mulai dekat lagi, namun sialnya kali ini waktu yang tak mengizinkan. Kami sudah harus berpisah lagi.
“Sudah aku duga pasti kamu di sini,” ucap Kak Sasha sambil manjat menaiki atap rumah ini. Aku meraih tangan Kak Sasha untuk memudahkannya naik. Ia pun mengambil posisi, lalu duduk bersila di sebelahku.
“Mama udah tidur Kak?” Ia mengangguk sambil tetap memandangi langit.
“Kamu ingat dulu kita selalu duduk di sini sebelum tidur?” tanyanya, tanpa menjawab basa-basiku.
“Hahaha, iya Kak.”
“Sambil bawa kacang sama termos isi teh, kita manjatin ini. Nontonin bintang sambil cerita seram atau sekadar buat nunggu supaya bisa ngantuk. Mama kamu sampai marah-marah dari bawah pas pertama kali nemuin kita,” ujar Kak Sasha sambil terbahak. Aku juga ikut terbahak mendengar ulah kami di masa kecil dulu.
“Ga kerasa ya, kita udah beranjak dewasa.”
Aku menarik nafas panjang, merasakan waktu yang berlalu terlalu cepat. Aku akan berusia 20 akhir tahun ini, Kak Sasha juga akan berusia 24 tahun ini, tawa kecil kekanak-kanakan kami kini telah terhapus oleh perbincangan dingin khas jiwa-jiwa yang termakan umur.
“Dan… sebentar lagi kita berpisah Dio,” ucapnya lagi sambil mendongak menatap ke arah langit.
“Iya Kak.”
Ia menatap wajahku cukup lama, seakan hendak mengatakan sesuatu. Aku menatapnya balik juga, memandangi wajahnya yang diterangi sinar rembulan.
“Aku sedih kita bakal tinggal berjauhan setelah ini,” ucapnya. “Selama ini kita kurang ngehabisin waktu bersama, dan aku nyesalin itu. Aku selama ini selalu berpikir kalau kamu adalah laki-laki menarik yang bisa membuat waktu-waktu tak bernilai jadi menyenangkan. Kita udah begitu akrab sejak kecil, namun entah mengapa hubungan kita justru mulai merenggang saat beranjak dewasa.” Ungkapan itu menghujamku tepat, ternyata kami memikirkan hal yang sama. Aku hanya menunduk, entah mengapa tak bisa menatap wajahnya.
Kami berdiam untuk sesaat. Entah mengapa, perbincangan kami yang terakhir kali di sofa ruang keluarga mengalun di kepalaku. Saat itu, entah serius atau tidak, Kak Sasha berkata bahwa Ia mau berpacaran denganku sekalipun ada hubungan sedarah sepersepupuan di antara kami.
“Sekarang aku udah siap untuk kejar kehidupanku yang baru. Gak akan bisa untuk sering ketemu kamu lagi. Mungkin kita ga bisa ngobrol dari ke hati lagi seperti malam ini, da-dan mungkin saat ketemu lagi, kita udah bersama pasangan masing-masing, dan bahagia dengan hidup yang dipilihkan untuk diri kita masing-masing,” ucapnya agak bergetar. Aku mengintip ke arah wajah Kak Sasha. Nampak matanya berkaca-kaca di bawah sinar temaram ini. Wajahnya yang sendu membuatku terpana. Apakah selama ini Kak Sasha merasakan hal yang sama juga sepertiku?
Aku memegang tangan Kak Sasha yang dingin. Berusaha menenangkan dirinya, agar tak segera menumpahkan segala isi hatinya. Sudah terlalu terlambat jika diutarakan sekarang. Hanya membuat kami akan merasa lebih sakit. Akan pedih rasanya bagiku jika harus menerima bahwa perempuan yang selama ini aku dambakan ternyata ada di sini, mengharapkanku juga. Dan saat kami sudah tahu isi hati masing-masing, waktu justru mengambil peran untuk memisahkan kami.
“Ka-Kamu ga ingin ngomong apa-apa Yo?” ucapnya sambil menatapku. Kini ku lihat air matanya telah menetes. Wajahnya yang rupawan nampak begitu pucat di kegelapan malam. Aku hanya menelan ludah, memikirkan jawaban yang harusnya ku ucapkan. “Aku juga ingin hidup dengan Kak Sasha. Ngejalanin hidup bersama, di mana pun itu,” batinku. Namun tidak, bukan itu yang ku ucapkan.
“Tidak Kak, aku sedang ga ingin ngomong apa-apa,” ucapku sambil menggeleng. “Sudah malam Kak, anginnya makin dingin, sebaiknya kita masuk,” timpaku sambil melangkah meninggalkan atap rumah dan Kak Sasha yang memandangiku berpaling.
Aku berbaring di kamar. Memandangi hari yang aneh ini. Hari aneh, karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, aku menjalani hari tanpa adanya peristiwa seksual yang menimpaku. Hari yang normal untuk orang lain, namun janggal bagiku. Sebaliknya hari ini aku justru merasa galau atas hal yang tidak ku sangka-sangka sebelumnya. Untuk pertama kalinya sejak Papa meninggalkan keluarga kami, aku akan merasakan sedihnya ditinggalkan lagi.
Begitu lama merenung membuat mataku berat. Sebelum akhirnya jatuh tertidur sebuah pesan masuk ke ponselku lagi.
Besok lari lg yuk! Ketemu ditempat dan waktu yg sama kyk tadi pagi
Desy
Bersambung