Part #11 : Petualangan Sexs Liar Ku
Aku berjalan di sepanjang jalan paving perumahan dengan wajah babak belur tidak tahu harus kemana. Kalau saja aku mengikuti apa saran dari Lisa mungkin aku tidak akan mengalami hal seperti ini.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, sekarang hubungan ku dengan Justin sudah berakhir bahkan menjadi musuh. Sekarang tujuan ku menjadi pemain basket profesional sepertinya akan kandas. Yang harus aku lakukan sekarang hanya bertahan hidup.
Saat aku sedang berjalan tanpa arah dengan membawa tas ku yang berisi barang-barang yang tidak terlalu banyak tiba-tiba ponsel ku berdering.
Drrrt…drrrt…drrrt…
Ku lihat nama kontak yang tertera di layar ponsel, ‘My Love’.
“Shit!” umpat ku dalam hati.
Di saat seperti ini kak Ranty menelfon, semoga saja dia tidak melakukan video call, bisa gawat kalau dia melihat kondisi wajah ku saat ini, bisa-bisa aku di suruh pulang atau dia yang nekat datang ke sini.
Dengan ragu-ragu aku angkat telfonnya.
“Halo kak?” sapa ku.
“Halo sayang, lagi ngapain?” balas kak Ranty.
“A…anu ini emm apa namanya?! Ssst…lagi latihan, iya lagi latihan,” ucap ku gugup.
“Kok gugup gitu? beneran lagi latihan?”
“Iya kak, ini lagi latihan.”
“Kok bisa angkat telefon?” tanyanya penasaran.
“Ini…eee lagi istirahat bentar, ini juga mau mulai lagi kok,” jawab ku berharap telefon segera ditutup.
“Mana coba kakak mau liat!”
“Hah?! liat gimana?”
Kak Ranty tidak menjawab melainkan langsung berpindah ke video call. Aku bingung buru-buru berjalan mencari tempat yang strategis.
Aku ingat di dekat situ ada sebuah lapangan basket yang cukup meyakinkan untuk jadi tempat latihan.
Kebetulan di sana ada beberapa orang remaja yang sedang bermain basket. Aku lalu duduk dan mengangkat video call itu.
Aku arahkan kamera itu ke atas sehingga yang tertangkap hanya sebatas dahi ku.
“Halo Ran kamu dimana? kok kaya di outdoor gitu?”
“Iya kak, kan Randy masih masa trial, jadi latihannya belum sama tim inti, dipisah kak,” ujar ku berbohong.
“Oh, gitu ya,” balas kak Ranty singkat.
“Udah dulu ya kak, aku mau lanjut lagi.”
“Hmm…ya udah semangat yah sayang.”
“Iya kak bye, i love you…”
“Love you too…”
Langsung aku matikan panggilan itu.
“Huft,, hampir aja ketahuan.”
Aku menghembuskan nafas berat. Pikiran ku kacau, aku tak bisa seperti ini terus dengan membohongi kak Ranty. Dia adalah alasan kenapa aku ada di sini, dia adalah masa depan ku.
Dalam situasi kacau seperti ini aku putuskan untuk menghubungi Lisa. Dia satu-satunya orang yang dapat membuat perasaan hati ku jadi lebih baik.
Tuuuuttt…tuuuuttt…tuuuuttt…
Lisa mengangkat video call dari ku.
“Hallo Ran, apa kabbb…barr…?” sapa Lisa terputus ketika melihat wajah ku yang lebam.
“Lu kenapa?” tanya dia kembali.
“Hehehe…”
Aku hanya tertawa kecil melihat ekspresi khawatir dari Lisa. Namun setelah melihat aku tertawa dia hanya berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Itu muka apa bakpao?” sindir Lisa melihat wajah ku bengkak-bengkak.
“Anjirrr,, muka ganteng kek gini dibilang bakpao,” balas ku penuh percaya diri.
“Cihhh,, seriusan kenapa?”
“Tadi kan gue lagi mau ena-ena sama sama Anes tuh.”
“Pacarnya Justin?” tebak Lisa.
Aku hanya mengangguk.
“Nah terus…”
“Lu ketauan sama Justin terus digebukin?” potong Lisa kembali menebak dengan benar.
Aku kembali mengangguk.
“Aduh Ran…Ran,, cari penyakit aja lu, gue kan udah bilang mending gak usah dilanjutin, cari aja yang masih single atau tante girang aja sekalian, kalo udah gini kan repot,” ujar Lisa memberi saran.
“Ya gimana dong? rencananya gue mau nyobain sekali abis itu udah,” pungkas ku santai seolah itu bukan masalah besar.
“Ya elah,, kontol lu mana mau nyobain cuma sekali, gue aja yang berkali-kali gak bikin lu puas.”
“Kalo lu sih udah jadi sarang gue, wkwkwk…”
“No…no…no…no more.”
“Hah,, artinya apaan?” tanya ku tak paham.
“Gue udah punya pacar,, hehehe…” jawab Lisa dengan tersenyum sambil mengacungkan jempol.
Tiba-tiba senyum ku hilang, ada rasa sesak yang menyeruak di dada ku, namun aku berusaha untuk menutupinya.
“Wah siapa cowok yang tidak beruntung itu?” gurau ku.
“Anjirrr enak aja lu,” balas Lisa kesal.
Aku hanya tersenyum kecut, ada rasa tidak rela di hati tapi hal itu cepat atau lambat pasti akan terjadi juga.
“Yah,, gue gak dapet jatah lagi dong dari lu.”
Aku memasang wajah seolah kecewa, namun percayalah hati ku jauh lebih hancur dari pada kondisi wajah ku saat ini.
“Lu kan masih ada kak Ranty, terus koleksi lu yang lain masih banyak, ibunya Ririn? hehehe…”
“Hmm…iya deh iya,, selamat yah semoga langgeng sampe nikah, Amin…”
Bibir ku mendoakan Lisa bahagia bersama orang lain tapi hati ku berdoa sebaliknya, EGOIS!
“Amin,, makasih Randy.”
Lisa mengedipkan salah satu matanya.
“Aku harap kamu bahagia tapi jangan lebih bahagia dari saat bersama ku,” batin ki.
“Sippp,, kabar-kabar nanti kalo nikah ya,” kata ku setengah hati.
“Hahaha,, masih lama keles.”
Aku ikut tertawa menimpali tawanya.
“Ya udah gue mau mulung dulu, siapa tau ketemu tante-tante terus diangkat jadi anak.”
“Yang ada dijadiin peliharaan kali, wkwkwk,” candanya membalas gurauan ku.
“Wkwkwk…asemp…”
Kami berdua tertawa bersama-sama.
“Ya udah,, sukses terus ya Ran, kabarin kalo lu ada masalah, tapi kalo lagi gak ada masalah juga gak papa.”
“Sippp…bye!”
“Bye juga…”
Aku kemudian menutup telfon ku.
“Hmm…kalo Lisa udah punya cowok, apa mereka udah pernah ngentot ya?” tanya ku dalam hati.
“Ya pasti lah!” imbuh ku lagi frustasi.
Tak mau ambil pusing, aku kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda karena telfon dari kak Ranty.
Saat aku melintas di depan rumah Reza, aku melihat Annisa baru turun dari mobil dan sedang berjalan memasuki rumah.
Setelah mobil Reza pergi, tanpa membuang-buang waktu aku langsung berlari ke arahnya.
“Annisa!” panggil ku kepadanya.
Dia pun menoleh sedikit mengernyitkan dahinya. Sesaat dia mengamati siapa orang yang memanggilnya barusan.
Namun dia langsung sadar ketika melihat pakaian yang aku kenakan sama dengan orang yang mendekatinya di kampus tadi.
“Kamu! stalker ya?!” bentak Annisa yang menuduh ku mengikutinya sejak dari kampus.
“Eh,, siapa yang stalker? aku aja lagi jalan kebetulan liat kamu masuk ke sini, mungkin ini yang namanya jodoh,” balas ku dengan menyunggingkan sebelah bibir ku.
Annisa hanya melotot kesal ke arah ku. Tak lama berselang pintu rumahnya terbuka. Tampak sesosok wanita mengenakan jilbab panjang berwarna hitam dan rok yang menutupi seluruh kakinya sehingga seluruh tubuhnya tertutup kecuali wajahnya. Dia adalah Icha.
“Ada apa ini Annisa? kok ribut-ribut?” tanya Icha kepada Annisa.
“Ini kak, ada stalker ngikutin aku dari kampus,” ucap Annisa mengadu.
Sepertinya Icha belum sadar kalau lelaki dengan wajah lebam itu adalah diri ku. Dia kemudian berjalan menghampiri kami dengan ekspresi hendak menceramahi ku.
“Maaf ya mas, tolong jangan ganggu adik saya, dia itu…”
“Icha!” pungkas ku memotong perkataannya.
Ekspresi wajahnya seketika berubah kala aku memanggil namanya. Annisa tampak mengernyitkan dahinya mengamati apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Loh, kakak kenal sama dia?” tanya Annisa penasaran.
Icha terlihat panik dan salah tingkah.
“Alicia Salsabila,” imbuh ku lagi.
Dia kembali melotot terkejut karena aku mengetahui nama lengkapnya. Aku mengetahui hal itu dari percakapan ayah dan ibu ku soal undangan pernikahan Reza dan Icha dahulu (Season 1).
“Annisa tolong kamu temani Humaira dulu, barusan kakak ninggalin dia waktu kebangun, takutnya jatuh dari kasur.”
“Ta…tapi kak!”
“Nanti kakak jelasin!”
Annisa tidak punya pilihan lain kecuali menuruti kakak iparnya tersebut.
Dia pun berjalan masuk ke dalam rumah. Setelah punggung Annisa menghilang di balik pintu rumahnya, Icha kemudian menatap ku dengan tatapan tajam lalu mendekat.
“Aku gak tau darimana kamu dapat info adiknya Reza, tapi aku tau kalau tujuan mu itu untuk balas dendam kan?” terka Icha sembari menunjuk ke arah wajah ku.
Aku hanya tersenyum sambil melipat tangan ku di depan dada.
“Ran dengar ya, Annisa itu gak ada hubungannya dengan masalah mu, dia itu gak tau apa-apa, jadi tolong jangan libatkan dia dalam masalah ini!” mohonnya.
“Cih,, siapa juga yang mau balas dendam, gue emang tertarik kok sama dia,” ujar ku sedikit berbohong.
Tujuan utama ku memang balas dendam, tetapi tidak dipungkiri aku juga tertarik kepadanya.
“Pokoknya aku gak mau tau! kalo kamu masih nekat deketin Annisa, aku gak segan untuk lapor polisi!” ancamnya dengan nada tinggi.
“Oh bagus dong kalo gitu.”
Aku kemudian mendekatkan bibir ku ke telinganya.
“Sekalian gue bilang sama keluarga Reza tentang masa lalu lu, tentang asal-usul Humaira, hehehe…” imbuh ku lagi membuatnya tersentak.
Wajahnya yang semula terlihat mengancam berubah menjadi pucat.
“Ran, apa gak cukup kamu balas dendam dengan melemparkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi milik mu ke Reza?” ucapnya mengingatkan kepada ku yang telah menghamili dirinya dan tidak mau bertanggung jawab.
“Lu gak tau, apa yang udah gue lakuin ke Reza itu belum ada apa-apanya dari apa yang udah dia lakuin sama keluarga gue!” sergah ku sambil jari ku menunjuk ke arah diri ku sendiri.
“Apa maksud mu?”
“Yang jelas Reza udah libatin keluarga gue, nyokap gue, kakak gue.”
Aku lalu memegang pergelangan tangannya dan mengangkat ke atas sebatas dada.
“Lepasin!” protesnya sembari menepis tangan ku.
Aku hanya tersenyum sinis.
“Udah lu tenang aja, gue akan ‘main lembut’ kok sama Annisa, gak kaya sama lu yang suka ‘main kasar’, ya kan?”
Icha melotot ke arah ku. Tangannya sudah menggenggam bersiap untuk memukul ku. Namun entah kenapa tidak kunjung ia lakukan.
“Sekarang lebih baik kamu pergi, aku gak mau lihat muka mu lagi!” ucap Icha kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
Mereka tak sadar ada sepasang mata sedang mengamati interaksi di antara mereka dari balik jendela kamar.
Saat Icha masuk ke kamar, dia langsung disambut oleh tatapan penuh curiga dari Annisa.
“Kak, sebenarnya ada hubungan apa kakak sama cowok itu?” tanya Annisa penuh selidik.
Icha tampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya Annisa agar terlihat meyakinkan.
“Di…dia temen kampus kakak dulu, dia itu orang brengsek Annisa, dia itu playboy, korban dia udah banyak di kampus dulu, lebih baik kamu jangan dekat-dekat sama dia,” ujar Icha mengarang cerita.
“Apa kakak termasuk salah satunya?”
Icha diam sejenak, bingung harus menjawab apa pertanyaan itu. Dia takut pandangan Annisa akan berubah terhadap dirinya jika dia tahu yang sebenarnya.
Dia tidak mau adik iparnya itu mengetahui tentang masa lalunya yang seperti wanita jalang, yang merelakan bagian intimnya dinikmati oleh banyak lelaki bahkan dia juga ikut menikmatinya. Seperti kelakuan Reza yang tak pernah diketahui oleh keluarganya sendiri.
Dia sudah memutuskan untuk menutup rapat-rapat aibnya di masa lalu dan bertobat menuju jalan kebenaran.
“Eng…enggak kok, yah kakak memang pernah sih dideketin sama dia tapi kakak gak pernah jatuh sama dia apalagi sampai berhubungan intim, karena kakak tau dari pengalaman temen-temen kakak.”
Annisa mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Icha.
“Tapi kan Annisa gak bahas ke arah situ kak?!” ungkap Annisa bingung karena Icha menyinggung masalah hubungan seks padahal dia sama sekali tidak berpikir ke arah situ.
Icha gelagapan menimpali pernyataan Annisa. Dia merutuki diri sendiri karena telah keceplosan tentang hal yang sangat sensitif bagi Annisa yang masih polos.
“Ehh,, bukan maksud kakak begitu, emm…pokoknya pesen kakak, kamu jauhi dia, jangan terpengaruh apapun kata-katanya, dia itu licik,” sergah Icha dengan sedikit resah.
Annisa tidak menimpali, melainkan hanya mengangguk pelan menyetujui apa yang dikatakan oleh kakak iparnya itu.
Dalam hati dia masih curiga dengan penjelasan Icha yang terlihat tidak meyakinkan.
“Kalo kak Icha gak ada hubungan apa-apa sama lelaki itu, kenapa dia begitu resah saat bertemu dengan pria itu, seakan mereka menyembunyikan sebuah rahasia yang besar.”
Annisa menggigit bibir bawahnya seraya menatap mengamati raut wajah Icha yang gugup. Hal itu malah membuat dirinya semakin penasaran.
“Hmm…harus aku selidiki masalah ini,” ujarnya dalam hati.
Bersambung