Part #12 : Petualangan Sexs Liar Ku
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Setelah mengisi perut ku di sebuah warung pinggir jalan, aku kemudian pergi menuju ke alamat yang tertera pada sebuah kartu nama yang diberikan oleh seorang pria yang anaknya aku tolong.
Aku pergi dengan menggunakan ojek online yang aku pesan. Sesampainya di alamat yang aku tuju, aku kembali mengecek ulang.
Alamat yang aku tuju sudah tepat, aku mendapati sebuah rumah besar yang cukup mewah. Tanpa ragu aku lalu menghampiri rumah itu dan memencet bel.
Ting…tong…
Ting…tong…
Ting…tong…
Beberapa kali aku memencet bel namun belum ada yang menyahut. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ada seseorang yang membukakan pintu.
Ckrek…
Keluarlah seorang wanita paruh baya dengan menggunakan setelan daster yang motifnya sudah agak memudar.
“Maaf cari siapa ya?” tanya wanita itu.
“Permisi apakah ini benar rumah bapak Ginanjar?” tanya ku penuh kesopanan.
Dia tak langsung menjawab melainkan memicingkan matanya sambil mengamati tubuh ku dari atas sampai bawah.
“Ada perlu apa sama tuan Ginanjar? apa sudah ada janji?”
Wanita paruh baya itu tampak curiga dengan ku, mungkin karena biasanya tamu tuannya itu orang yang berpenampilan rapih dan berwibawa sedangkan penampilan ku saat itu seperti preman habis berkelahi.
Belum sempat aku menjawab tiba-tiba seorang wanita mengenakan kimono yang pernah aku temui sebelumnya datang menghampiri kami dengan menggendong seorang anak.
“Siapa bi?” ucap wanita itu.
Wanita paruh baya itu pun menoleh ke dalam rumah.
“Eh,, ini non, ada tamu nyari tuan,” jawabnya.
Setelah mengamati dengan seksama, wanita itu tahu bahwa aku adalah orang yang menolong anaknya yang jatuh dari lantai dua mall siang tadi.
“Kamu yang tadi siang itu kan?”
Aku tersenyum lalu mengangguk.
“Iya tante,” jawab ku singkat.
Aku kemudian dipersilahkan duduk oleh wanita itu.
“Bi, tolong bikinin minuman yah, sekalian makanan kecil,” suruhnya kepada wanita yang aku perkirakan adalah pembantu rumah tangganya.
“Baik nyonya,” balasnya singkat.
“Maaf saya kira mas mau datang akhir pekan sesuai janji dari suami saya, terus kenapa mas mukanya babak belur begitu?”
Aku memutar otak untuk mencari alasan akan keadaan ku saat itu agar dia tidak berpikiran aku adalah orang yang jahat.
“Jadi tadi saya diusir dari kontrakan, gak cuma itu saya juga dipukuli sama anak buah pemilik kontrakan itu sampai saya babak belur,” jawab ku asal-asalan.
“Duh kasihan banget, emang mas kerja atau masih sekolah?”
“Saya anak rantau dan belum punya pekerjaan tetap, di sini saya kerja serabutan,” ujar ku kembali berdusta.
“Oh gitu,, hmm…”
Wanita itu melipat tangannya di dada tampak sedang berpikir solusi apa yang cocok untuk masalah ku.
“Kebetulan suami saya baru saja pergi ke Tanggerang tadi sore untuk urusan bisnis, kalo gitu saya telfon dulu ya.”
Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya pergi menuju telepon rumah yang tak jauh dari posisinya saat itu.
Pinggulnya menghentak ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan jalannya. Anak yang digendongnya sempat melirik ke arah ku dengan tatapan innocent.
Aku kemudian menjulurkan lidah ku dan memasang wajah konyol ke arah anak itu. Dia tertawa kegirangan melihat hal itu.
Sontak si pemilik dari anak itu menoleh, lalu aku buru-buru menormalkan ekspresi wajah ku dan menyunggingkan senyum di wajah sambil mengangguk pelan.
Wanita itu sempat melemparkan senyum manisnya sebelum duduk dan mengangkat gagang telepon lalu memencet beberapa tombol nomor yang ada di sana.
“Halo pah,, enggak ini orang yang tadi siang nolongin Raihan Dateng.”
“…”
“Iya katanya habis diusir dari kontrakan, terus mukanya babak belur habis dihajar sama pemilik kontrakan, kasihan loh pah.”
“…”
“Oh gitu iya iya.”
Selanjutnya wanita itu hanya mengangguk pelan dengan gagang telepon masih menempel di telinganya.
Setelah beberapa saat kemudian, wanita itu menutup teleponnya lalu berjalan menghampiri ku kembali.
“Ehm…gini mas.”
“Panggil Randy aja tante,” saran ku.
“Emm…iya Randy gini, kamu bisa nyetir mobil?”
Matanya menatap ku intens.
“Belum bisa tante,” jawab ku jujur.
Bagaimana aku bisa nyetir mobil, naik mobil saja aku tidak pernah selain milik Justin, itu pun sebagai penumpang.
“Duh gimana ya? paling cuma itu yang bisa saya tawarkan, sebenernya saya biasa sih naik mobil sendiri kemana-mana, tapi berhubung kamu sudah berjasa untuk keluarga kami dan butuh banget pekerjaan jadi ya cuma pekerjaan itu.”
“Saya bisa kok latihan dulu, saya yakin bisa cepat menguasai.”
Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ya sudah, besok pagi saya antar kamu ke tempat les mengemudi ya, biar administrasinya saya yang bayar.”
“Makasih tante, nanti saya ganti uangnya dari gaji saya,” ucap ku penuh semangat.
Dia kemudian menggeser duduknya mendekat ke arah ku lalu menepuk-nepuk punggung tangan ku.
“Udah kamu simpan aja, lagian kalo dipikir-pikir uang segitu gak sebanding dengan pertolongan kamu buat anak saya,” jawabnya seraya menatap anak yang sedang digendongnya.
Aku tak tahu apa maksud dari menepuk-nepuk punggung tangan ku tapi aku menangkap sinyal positif kalau dia menyukai sifat ku.
“Oh ya, kamu belum punya tempat tinggal sementara ya?”
Dia bertanya saat aku larut dalam lamunan.
“E…eh iya, saya belum punya tempat tinggal lagi tante,” jawab ku sekenanya karena kaget.
“Kalo gitu kamu bisa pake kamar belakang di samping kamar bi Lastri, tapi mungkin hanya untuk sementara karena suami saya gak suka ada lelaki lain di dalam rumah.”
“Gak papa, makasih tante.”
“Panggil Dewi aja,” ujarnya menyarankan.
“Makasih, tante Dewi,” balas ku.
Tak berselang lama bi Lastri datang dengan membawa teh dan makanan ringan.
“Eh ya bi, untuk sementara Randy akan tinggal di sini, tolong anterin ke kamar belakang ya,” suruh Tante Dewi.
“Ta…tapi tuan?”
“Udah, nanti saya yang bilang sendiri, dia sudah berjasa loh atas keselamatan Raihan.”
Tante Dewi melirik ke arah ku sambil menarik salah satu ujung bibirnya.
“Baik nyonya,” balasnya sembari mengangguk ke arah ku memberi isyarat aku untuk mengikutinya.
Sejenak aku membalas senyum tante Dewi lalu berlalu mengikuti bi Lastri. Sesampainya di depan kamar yang akan aku tempati ternyata pintunya sudah terbuka dan lampunya menyala.
Saat aku melihat ke arah dalam aku terkejut karena kamar itu sangat berantakan dengan banyak pakaian berserakan entah itu di ranjang, di kursi, atau di meja.
“Ini kamar apa tempat laundry?” pikir ku.
“Nyonya bilang kamar belakang kan? jadi ya ini kamar belakangnya,” ujarnya ketus.
Aku memang sudah menangkap gerak-gerik pembantunya ini tampak kurang ramah terhadap ku sejak aku mengetuk pintu tadi.
“Iya bi,” jawab ku singkat.
“Enak aja panggil bi, emang kamu majikan saya?” katanya kembali dengan nada tinggi.
Aku hanya menatapnya dengan tatapan datar.
“Panggil Bu Lastri!” imbuhnya.
“Iya!”
Aku tak ambil pusing dengan sikap dari Bu Lastri itu karena tidak ada pengaruhnya terhadap hidup ku juga.
“Ini tempat buat saya nyetrika baju jadi kalo mau tidur jangan dikunci pintunya kalo gak mau saya gedor, soalnya pagi subuh saya biasa nyetrika.”
“Iya.”
Aku kemudian berinisiatif membereskan ranjang single bed itu dari pakaian yang berserakan dan menaruhnya di meja lalu merebahkan diri ku karena aku rasa sangat lelah hari itu. Aku telah mengalami kejadian yang sangat banyak dalam satu hari.
Dari mulai kejadian di mall, lalu hubungan dengan Justin yang hancur, Annisa adik dari Reza yang jutek, lalu sekarang dengan pembantu yang sok kerad.
Bu Lastri kemudian pergi meninggalkan ku tanpa mengucapkan satu kata pun. Malam itu aku tidur dengan pulas.
Skip…
Pagi harinya aku terbangun pukul 06:00 WIB. Saat aku membuka mata, aku sudah melihat sesosok wanita yang sedari kemarin begitu ketus kepada ku sedang menggosok pakaian.
“Bangun udah siang, pembantu kok kaya majikan,” sindir bi Lastri kepada ku.
Aku kemudian meregangkan tubuh ku sesaat lalu bangkit duduk di tepi ranjang sembari mengumpulkan nyawa ku. Tampak sorot mata bi Lastri begitu benci kepada ku, aku pun tak tahu mengapa dia berperilaku begitu.
“Iya bu tenang aja, aku di sini juga cuma sementara kok.”
Kalau saja tubuh wanita paruh baya itu sedikit menggoda, sudah aku garap dia sejak semalam. Tetapi kenyataannya dia tak lebih dari seorang wanita tua bangka berusia kurang lebih hampir enam puluh tahun yang menyebalkan.
Saat itu aku baru ingat kalau aku sudah ada janji dengan tante Dewi untuk kursus mengemudi. Aku langsung loncat dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi.
Setelah mandi, aku kembali ke kamar ku untuk berganti pakaian, namun di sana masih ada bi Lastri yang masih menyetrika pakaian.
“Bu, saya mau ganti baju dulu, bisa keluar bentar gak?” tanya ku pelan.
“Kamu gak lihat apa saya lagi kerja!” pungkasnya ketus tanpa memberikan solusi.
Aku hanya menghembuskan nafas berat. Menghadapi ibu-ibu rese memang harus ekstra sabar. aku kemudian masuk dan mengambil pakaian yang akan aku kenakan lalu keluar dari kamar.
“Hmm…di kamar Bu Lastri aja deh,” pikir ku karena kamar itu kosong, daripada harus balik ke kamar mandi hanya untuk berganti pakaian.
Aku lalu melepaskan handuk yang sedari tadi melilit di pinggang ku hingga aku telanjang bulat. Ku tatap tubuh telanjang ku dari arah cermin.
Masih terlihat oke dengan tinggi yang cukup jangkung dan berat badan proporsional serta otot-otot tubuh ku yang terbentuk sempurna meskipun aku jarang latihan. Mungkin karena metabolisme yang baik.
Aku lihat kontol ku yang ukurannya di atas rata-rata orang Indonesia sedang menggeliat.
“Kapan aku terakhir kali bersenggama ya?” tanya ku dalam hati.
Dengan Icha saat itu, tidak ada lagi wanita yang aku taklukan sejak aku sampai di Bandung. Anes belum sempat aku nikmati tetapi sudah mendapat ultimatum dari sang pemilik.
Hal yang membuat tujuan ku datang ke Bandung harus hancur berkeping-keping dan harus berjuang untuk hidup, shit!
Saat aku sedang mematung di depan cermin, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.
“Bi, sarapannya udah siap bel…”
Belum sempat si wanita pemilik suara itu menyelesaikan kata-katanya, dia terdiam melihat orang yang dia cari tidak ada, namun justru yang didapati dirinya adalah seorang lelaki dewasa yang sedang dalam kondisi telanjang bulat dengan kontol setengah tegang.
Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut, mulutnya melongo membentuk huruf ‘o’, matanya menatap ke bagian bawah perut ku sesaat sebelum mukanya memerah.
“E…eh maaf tante gak tau kalo kamu ada di dalam,” ujarnya canggung sembari menutup pintu.
“Gak papa kok tan.”
Aku menghampiri pintu yang belum tertutup sempurna dan membukanya sedikit sambil kepala ku tengok keluar.
“Ada apa tante?”
Aku bertanya kepada tante Dewi yang masih berada di depan pintu.
“Eng…enggak tante tadi mau nanya sama bi Lastri sarapannya udah disiapin apa belum.”
Dia menunduk dengan wajah memerah.
“Oh Bu Lastri ada di kamar saya tante, lagi nyetrika,” jawab ku santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Oh ya sudah, kamu lanjutin aja yang tadi, nanti habis sarapan kan kamu mau kursus nyetir, tante mau panggil bi Lastri buat siapin sarapan,” ucapnya kemudian berlalu.
Aku menutup pintu kembali dan berpikir, memangnya aku tadi ngapain?
Tak mau ambil pusing, aku bergegas mengganti baju ku dan keluar ruangan.
Bersambung