Part #10 : Petualangan Sexs Liar Ku
Setelah ditinggalkan oleh Annisa, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun saat aku sedang berjalan menuju parkiran tiba-tiba aku melihat Anes berjalan di koridor sendirian.
“Kok gak sama Justin, dia kemana ya?” pikir ku.
Daripada aku penasaran akhirnya aku hampiri dia.
“Kak Anes!” panggil ku kepadanya.
Anes sontak menengok ke arah ku.
“Loh kok kamu ada di sini?” tanya Anes terkejut saat melihat ku.
“Hehehe,, main aja kak! eh ya kakak kok sendirian? Justin mana?”
“Justin minggat latihan, udah biasa kok ninggalin kuliah demi latihan,” ujar Anes.
“Terus kakak pulangnya gimana?”
“Naik ojol,” jawabnya singkat.
“Lah kasihan amat, hahaha…”
“Itu simpati apa ngeledek?!” protes Anes dengan senyum manja.
“Berarti dulu waktu kakak beliin aku makanan itu kakak pulang sendiri?” tanya ku mengingatkannya pada saat kita makan bersama di kamar ku.
“Iya,, hihihi…” balasnya sembari tertawa kecil.
Sudah kuduga Anes tidak mungkin membungkus dan memakan makanannya di rumah kalau dia bersama Justin.
“Emang resiko punya pacar pemain basket sih, sering ditinggal keluar kota juga buat tanding,” imbuhnya lagi.
“Ya udah jangan pacaran sama pemain basket kalo gitu, hehehe…”
“Sekarang malah punya pacar dua pemain basket,” ujar Anes dengan wajah bersemu merah.
Aku tahu kalau yang dia maksud adalah diri ku. Namun aku tidak menimpalinya.
“Ehh iya,, habis ini kakak masih ada kuliah gak?”
“Enggak ada, udah selesai,” jawabnya.
“Mampir dulu ke kafe yuk!” ajak ku kepadanya.
“Mau ngapain?”
“Makan siang lah, aku laper nih.”
“Tapi aku gak bawa uang,” sergah Anes menolaknya.
“Aku yang bayar, tenang.”
“Emangnya kamu punya uang?” tanya Anes meragukan ku.
“Ngece banget nih kakak, ya punya lah,” jawab ku menimpali pertanyaannya.
“Darimana?”
“Tadi sebelum aku ke sini aku ngerampok bank dulu,” balas ku dengan bercanda.
“Ishh…!!!”
Anes kemudian mencubit pinggang ku karena kesal. Aku hanya memekik lirih.
“Hehehe,, ya udah yuk!”
Dia hanya mengangguk sekali. Aku lalu mencoba untuk merangkulnya namun langsung ditepis.
“Jangan di sini! banyak temennya Justin,” sergahnya kepada ku.
Aku pun hanya mengiyakan saja kemudian kami berjalan ke parkiran motor. Setelah itu kami pergi menuju kafe terdekat yang ditunjuk oleh Anes.
Di kafe tersebut kami duduk di salah satu meja dan memesan makanan. Saat sedang menunggu pesanan datang, kami mulai berbincang-bincang.
“Kak, aku mau tanya sesuatu boleh?”
“Mau nanya apa Ran?” ujarnya penasaran.
“Tapi jawab jujur ya!”
Anes hanya mengangguk.
“Soal Justin kak.”
Dia mengernyitkan dahinya.
“Justin kenapa?”
“Sebenernya dia keberatan gak sih kalo aku tinggal di rumahnya agak lama,” tanya ku dengan tenang.
“Bukannya dia yang nawarin kamu buat tinggal sama dia ya.”
“Iya sih, tapi kan gak sampe selama ini, perkiraan awal juga paling cuma beberapa hari.”
Anes tampak berfikir, dia memangku dagunya dengan tangannya sembari menatap ku dalam.
“Emm…selama ini sih dia gak bilang apa-apa soal itu,” jawabnya ragu-ragu.
Aku menangkap gelagat aneh dari Anes. Aku merasa kalau dia sedang berbohong bahwa sebenarnya Justin keberatan kalau aku tinggal di rumahnya terlalu lama.
“Oh gitu ya,” balas ku singkat.
“Kenapa emang?”
“Gak papa, aku aja yang ngerasa gak enak sama kalian.”
“Santai aja lah,” ucapnya lalu menerima pesanan yang baru saja datang.
Kami lalu mulai menyantap makanan dalam diam. Sesekali dia memainkan ponselnya. Aku hanya memandangi wajahnya yang cantik tanpa berkedip. Terdapat bulir-bulir keringat di atas bibirnya.
Setelah selesai makan aku menutupnya dengan meminum jus alpukat yang aku pesan. Anes sudah mengelap bibirnya dengan tisu.
“Hufttt…” Aku menghembuskan nafas dalam.
“Kak!”
“Iya?”
“Apa sebaiknya aku cari kost-kosan aja ya?”
Seketika Anes langsung menatap ku.
“Buat apa nyari kost-kosan, mending tinggal di rumah kita aja biar rame, lagian kamu kan belum punya penghasilan, terus bayar kostnya gimana?” sergah Anes yang secara tidak langsung melarang ku untuk pergi dari rumahnya.
“Tadi ada sih orang yang nawarin aku pekerjaan untuk sementara, jadi aku gak ngandelin Justin terus,” ucap ku menyanggah kata-katanya.
Anes kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, bibir bawahnya ia majukan tampak kesal dengan penjelasan ku.
“Ya udah sih kalo kamu pengin tinggal sendiri, itu kan hak kamu, aku gak bisa ngelarang, aku kan bukan siapa-siapa kamu kok.”
“Kata siapa kita? kita kan…”
Brakkk…!!!
Belum sempat aku selesaikan kata-kata ku, Anes tiba-tiba menggebrak meja dan berdiri.
“Udah cukup, aku mau pulang, capeee…”
Saat Anes akan berbalik meninggalkan ku, seketika aku tahan tangannya.
“Pulang pake apa kak? kan sama aku.”
“Gak usah, aku pulang naik taksi aja, kan kamu mau nyari kost-kosan,” sergahnya dengan nada ketus.
“Ngambek nih ceritanya,” sindir ku dengan sedikit tersenyum.
“Gak!” jawabnya singkat sembari mencoba melepaskan genggaman tangan ku.
Namun karena genggaman ku yang terlalu kuat menjadikan usahanya gagal. Aku kemudian bangkit dari kursi yang ku duduki lalu menyeret Anes untuk ikut bersama ku.
“Ihh,, Randy apa-apaan! sakit tau!” protes Anes.
Aku tidak memperdulikannya, dan hanya cuek saat aku menggandeng tangannya menuju motor yang aku parkirkan di dekat kafe.
“Naik!” perintah ku.
“Gak!” tolak Anes.
Ku tatap matanya dalam.
“Naik atau aku cium?!” ucap ku dengan nada ancaman.
Anes menghembuskan nafas berat sembari mengernyitkan dahinya tampak kesal, tetapi sesaat kemudian dia akhirnya mau naik ke motor yang aku tunggangi.
Di perjalanan kami hanya diam, tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Aku sengaja menaikkan kecepatan motor ku secara tiba-tiba sehingga membuatnya tersentak lalu secara reflek memeluk pinggang ku.
Sesampainya di rumah, Anes langsung masuk dengan membuka kunci terlebih dahulu. Aku kemudian menyusulnya masuk.
Di dalam rumah aku kembali menahan tangan Anes saat akan masuk ke kamarnya. Dia pun berbalik lalu…
Cuppp…
Secepat kilat ku cium bibirnya dalam-dalam. Anes diam tanpa melawan. Tangannya ia letakkan di lengan bawah ku, begitu juga sebaliknya.
Aku dorong perlahan tubuhnya ke arah sofa, lalu ku jatuhkan di atasnya sehingga kini posisi kami saling bertindihan.
Dalam posisi masih berciuman, aku remas toketnya sebelah kanan dari luar kemeja yang dipakainya.
“Emphhh…” lenguhnya tertahan.
Perlahan Anes mulai membalas ciuman ku. Paha kanan ku tepat berada di selangkangannya. Aku tekan paha ku ke memeknya, dia reflek menjepit paha ku dengan kedua kakinya.
“Emphhh…sssppp…cppp…”
Ciuman Anes menjadi semakin ganas. Ku coba untuk melepaskan kancingnya satu per satu menampakkan bra berwarna biru muda dengan pengait berada di depan.
Aku tempatkan jari ku di pengait branya, kemudian ku lepas pagutan ku dan ku tatap matanya dalam seolah meminta ijin untuk melepaskannya.
Anes hanya diam mematung dengan bibir merekah. Merasa mendapatkan lampu hijau, aku langsung melepaskan pengait itu dan…
Blusss…
Payudara Anes terpampang jelas dihadapan ku tampak lebih besar lagi ketika sudah tak tercover.
Tak menunggu waktu lama aku sentuh kulit toketnya itu dan aku remas. Terasa halus, lembut, dan kenyal.
“Ouhhh…Rhann…!!!” pekik Anes ketika merasakan puting payudaranya aku jepit dengan jari telunjuk dan jari tengah ku.
Aku sudah tidak tahan lagi, maka tanpa meminta persetujuan dari Anes aku langsung mencaplok puting payudaranya dengan mulut ku.
“Emphhh…achhh…ehmmm…!!!”
Tangan kanan Anes meremas rambut ku dan menekannya semakin erat menempel di toketnya.
Aku sedot tonjolan itu yang tampak cukup besar dengan area sekitar puting yang lebar dan kecoklatan.
Mengingatkan ku akan milik Icha. Bentuknya seperti seorang yang sudah memiliki anak atau sudah pernah menyusui, tetapi itu hanya dugaan ku saja.
Atau mungkin itu karena bentuk payudaranya yang oversize aku pun tak yakin. Tetapi aku memutuskan untuk tidak memperdulikannya.
Di saat Anes terus meracau, aku ambil kesempatan untuk menyusupkan telapak tangan kiri ku ke dalam celana jeans-nya.
Namun celana itu sangat ketat hingga tangan ku tak dapat celah yang cukup untuk memasukannya.
Maka aku memutuskan untuk melepaskan kancing celana beserta resletingnya.
Alhasil tangan ku kini dapat masuk dan tepat menyentuh bibir memeknya dari balik celana dalam.
Mendapatkan sentuhan di area sensitifnya, dia reflek mengapit tangan ku dengan pahanya.
Tampaknya dia belum seratus persen merelakan daerah itu untuk ku jamah, tetapi aku tetap bersabar. Aku yakin kalau suatu saat Anes akan merelakan seluruh bagian tubuhnya kepada ku.
Perhatian ku kembali ke payudaranya yang menggiurkan itu. Aku benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sebelumnya dia larang.
Saat aku sedang menikmati hal itu tiba-tiba tubuh Anes menegang tetapi bukan karena orgasme namun karena hal lain.
Seketika Anes seakan memberontak, mendorong ku dan memaksa ku untuk melepaskannya.
Merasa aneh dengan sikapnya, aku pun mendongak untuk melihat ke arah wajahnya.
Ekspresi wajahnya melotot ke arah belakang punggung ku, tampak panik akan suatu hal.
Tak berselang lama aku merasakan sebuah tangan menyentuh bahu kiri ku, lalu dengan kuat menarik tubuh ku kebelakang.
Saat aku masih mencoba untuk mengetahui situasi yang sedang terjadi tiba-tiba aku merasakan sebuah pukulan mendarat tepat di ujung tepi bibir ku.
Braakkkk….!!!!
Aku pun tersungkur di lantai, darah segar keluar dari bibir ku. Setelah aku tersadar apa yang terjadi, aku sudah mendapatkan tatapan murka dari Justin.
“B*ngsattt lu Ran!!! lu diem-diem nusuk gue dari belakang! Ternyata ini balasan dari lu atas semua yang udah gue kasih buat lu?!” bentaknya kepada ku.
Aku diam sembari mengelap darah yang mengalir di dagu ku dengan punggung tangan.
“Udah beib, ini cuma salah paham!”
Anes mencoba menenangkan kekasihnya yang sedang emosi itu. Dia memegang lengan Justin dengan kedua tangannya.
“Diam lu…!!!” umpat Justin yang baru pertama kali menyebut Anes dengan kata ‘lu’.
Tangan Anes ditangkisnya dengan kasar.
“Emangnya gue buta apa?! gue liat dengan mata kepala gue sendiri!”
Tangan Justin sudah terayun ke arah pipi kekasihnya itu. Anes hanya memejamkan matanya pasrah akan mendapatkan tamparan dari Justin.
Namun secepat kilat tangan ku terulur menggapai tangan Justin sebelum sempat mendarat di pipi Anes.
Deppp…!!!
Justin menatap ku dengan tatapan tajam.
“Itu bukan salah Anes, gue yang coba perkosa dia tadi!” seru ku berbohong untuk menyelamatkan Anes dari amukan Justin.
“B*jingan…!!!”
Ditangkisnya tangan ku yang sedang memegang tangannya, lalu tangan satunya telah bersiap dengan bogem mentah ke wajah ku dan…
Buggg…!!!
Kembali sebuah pukulan mendarat, kali ini di tulang pipi kanan ku membuat ku sedikit mundur ke belakang.
Justin dengan amarah yang sudah mencapai puncaknya berlari ke arah ku dan…
Buggg…!!!
Lagi-lagi dia mendaratkan pukulannya kepada diri ku. Saat itu aku bisa saja dengan mudah melawan dirinya dengan teknik taekwondo yang aku kuasai. Namun aku memilih diam menerima segala serangan yang dia lakukan.
Aku hanya akan melawannya apabila aku dalam posisi yang benar. Tetapi saat itu aku di posisi yang bersalah, maka aku anggap semua itu adalah hukuman bagi ku.
Bakkk…!!! Buggg…!!! Bakkk…!!! Buggg…!!!
Bakkk…!!! Buggg…!!! Bakkk…!!! Buggg…!!!
Justin melancarkan serangan bertubi-tubi dengan posisi dia berada di atas tubuh ku yang tersungkur ke lantai.
“UDAHHH…!!!” teriak Anes sembari memeluk Justin dari belakang agar dia menghentikan pukulannya terhadap ku.
Justin masih menatap ku dengan nafas tersengal-sengal, Anes terlihat menangis, aku hanya menatap keduanya datar dengan satu mata karena mata sebelah kiri ku sudah tertutup oleh lebamnya kelopak mata ku.
Sesaat kemudian Justin bangkit dari atas tubuh ku. Aku pun lalu terduduk merasakan panas di area wajah ku.
“Pokoknya mulai hari ini lu pergi dari rumah gue!!!” sergah Justin dengan nada tinggi.
Hari itu adalah hari yang kacau. Mungkin itu adalah karma yang harus aku terima karena telah berani bermain api dengan seseorang yang seharusnya aku beri respek.
Aku pun kemudian mengemasi barang-barang ku saat itu juga dan pergi meninggalkan rumahnya.
Bersambung